1 1. PENDAHULUAN 1.1. Kedekatan Teori Hukum. 1. Teori Hukum tidak dapat berpuas diri dalam suatu kemashuran (popularitas) yang besar. Hal itu mewujudkan sebuah rintangan. Bagi banyak orang, hukum dan Teori Hukum adalah dua obyek studi yang terpisah, masing-masing dikhususkan bagi dua jenis yuris yang bebas yang satu dari yang lainnya: yang satu kabur, untuk sebagian tidak relevan dan untuk sisanya berlebihan, yang kedua solid, berguna dan lebih dari itu mutlak diperlukan (onontbeerlijk). Ihwalnya seperti dua dunia. Mungkin sekali para teoretisi hukum dan filsuf hukum sendiri yang bertanggung-jawab atas pemisahan ini. Orang dapat menyalahkan kekurangan pada pengembanan Teori Hukum dan Filsafat Hukum dipandang dalam keseluruhannya yang dapat menjadi penyebab dari lemahnya daya tarik yang dipancarkan mereka. Kami akan menyinggung tiga di antaranya. Teori Hukum pertama-tama menjadi sosok yang berdiri sendiri di atas suatu latar belakang yang bagi banyak orang merupakan pengalaman yang buruk: matakuliah tahun pertama yang di bawah penamaan yang beragam berupaya memberikan kejelasan kepada auditoria (sidang pendengar, para hadirin), yang nyaris tidak memiliki pengetahuan tentang keterberian-keterberian yuridikal (juridisch gegevens), tentang apa hukum itu, di mana letak bidang-bidang yang bersinggungan (snijvlakken) dengan moral, apa yang menjadi landasannya dan bagaimana ia diklasifikasi. Materi yang dikuliahkan sering sudah terlalu abstrak, dan kepentingannya (nilai pentingnya) dari hukum tidak tampak yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Selain itu, kedua, bahasa dari Teori Hukum, yang dengannya kami memaksudkan baik penggunaan kata maupun pembentukan pengertian (konsep). Untuk banyak tulisan bidang Teori Hukum berlaku kritik Aldous Huxley terhadap “bahasa yang secara abstrak merupakan bencana dari buku-buku pelajaran yang dibaca orang dengan perasaan jengkel dan keengganan”. Ia menulis: “Halnya tidaklah mengherankan bahwa fakta-fakta dan teori-teori ilmiah yang dipresentasikan dalam bahasa sedemikian itu dihayati sebagai tidak relevan” (J. Huxley, Het menselijk bestaan, rangkaian ceramah pada tahun 1959 di Universitas S. Barbara, California, Amsterdam, 1979: 12, bab tentang “pendidikan terintegrasi”). Semua kolokium (pertemuan para pakar) bidang Teori Hukum dan Filsafat Hukum dikeluhkan, bahkan oleh mereka yang berpengetahuan luas dalam bidang terkait, tentang kesulitan untuk memahami dunia kata-kata dan pengertian-pengertian dari penulispenulis yang dibahas atau bahkan dari pemakalah-pemakalah (pemrasaran) sendiri. Dalam sebuah telaah-buku (boekbespreking), Langemeijer berbicara tentang “kekaburan” dari “pengertian-pengertian yang digunakan secara bersaling-silang” yang tentangnya tidak diberikan definisi-definisi terlebih dahulu dan yang membiarkan pembaca berupaya sendiri untuk menyimpulkan makna yang padat (pregnante betekenis) dari perkaitanperkaitan dalam uraian itu. Dari pembaca diharapkan ikhtiar untuk menginterpretasi pengertian-pengertian yang “kabur” dan “yang digunakan secara bersaling-silang” itu sehingga jalan pikirannya koheren dan setidak-tidaknya dalam garis besar menjadi tampak, namun pembacaan yang kreatif ini tidak dapat dihindari menjebabkan kesalahpahaman yang hanya, dan juga hanya untuk sebagian saja, dapat ditiadakan (dikurangi, bijgeschaafd) dalam perdebatan tanpa akhir dalam jurnal-jurnal dan kongres-kongres (seminar, simposium). Ihwalnya sudah jelas bahwa para yuris rata-rata (doorsnee-jurist), yang berkenaan dengan tugas-pokoknya, hukum, yang urusannya memang berkenaan 1 2 dengan itu, tidak akan mempertimbangkan untuk melibatkan diri ke dalamnya (yakni ke dalam upaya menghilangkan kesalah pahaman dan kekaburan tersebut), itupun dengan pengandaian bahwa ia mempunyai waktu untuk itu. Hanya para spesialis yang memiliki kebebasan untuk itu yang menempuh jalan kedua lebih jauh, “jauh dari yang umum”: jadi juga di sini suatu jalan sendiri dalam suatu dunia sendiri. Ketiga, kekaburan dan ketidakjelasan dalam pengertian dan perkataan juga berlaku untuk pengertian dan perkataan “teori hukum” itu sendiri. Teori Hukum kehilangan sebagian dari daya-tarik potensialnya disebabkan oleh banyak dari pengembannya terlalu membiarkan diri untuk tetap berada dalam keraguan tentang apa Teori Hukum itu dan apa tujuannya (mau mencapai apa). Kesulitannya terutama terletak dalam hal menetapkan batas-batas antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Sering kedua perkataan itu dalam satu karya atau kontribusi yang sama saling digunakan sebagai sinonim-sinonim. Di tempat lain mereka disebut bersama dalam satu tarikan nafas, seolah-olah mereka itu adalah saudara kembar yang orang tidak berani menyebutnya masing-masing dengan suatu nama (voornaam) sendiri karena jika mereka dipisahkan tidak dapat dipertahankan. Jarak yang dengan demikian timbul antara hukum dan Teori Hukum, yang seolah-olah sebagai dua dunia yang dengan cara sendiri ditemukan oleh yuris-yuris yang bekerja yang satu terlepas dari yang lain, adalah tidak alami (bertentangan dengan hakikatnya). 2. Kemungkinan untuk menjembatani celah (jurang pemisah) ini, terletak dalam suatu penetapan ganda (dubbele vaststelling). 3. Pada satu sisi, Teori Hukum sebagaimana kami memahaminya terkait secara erat pada praktek. Keterikatan bersama ini memperlihatkan berbagai aspek. Baik bagi praktisi maupun bagi teoretisi, ihwalnya berkenaan dengan suatu realitas yang sama: hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Teori Hukum mempunyai sebagai obyek, sama seperti praktek, bukan “hukum” sebagai konsep filosofikal, melainkan tata hukum (rechtsbestel) sendiri yang konkret menurut waktu dan tempat, yakni suatu keseluruhan kompleks penataan yuridikal dari lembaga-lembaga, pengaturanpengaturan, urusan-urusan dan subyek-subyek atau bagian-bagiannya: hukum positif Belgia atau Hukum Masyarakat Eropa atau Hukum Internasional, sesuai pilihan, atau pranata-pranata hukumnya atau masalah-masalah hukum di dalamnya, semuanya ini anno 1982. Unsur-unsur perbandingan hukum dari tatanan-tatanan hukum terkait/sejenis sesuai dengan sifatnya sangat diterima karena sangat menolong untuk memperoleh kejelasan dalam upaya untuk mengetahui bagaimana dalam negara-negara dengan sistem penataan negara (staatsinrichting), tingkat perkembangan dan keadaan sosial-ekonomi yang dapat dibandingkan, masalah-masalah yang sama diselesaikan. Ihwalnya juga harus sejalan berkenaan dengan hukum yang berlaku. Mendahului uraian pembuktian lebih jauh, sekarang sudah dapat kita tetapkan bahwa Teori Hukum, menurut pandangan kami, mencari (berupaya memperoleh) penjelasan tentang hukum dari sudut faktor-faktor bukan-hukum (non-yuridikal) yang bekerja di dalam masyarakat, dan untuk itu menggunakan suatu metode interdisipliner. Dengan demikian, oleh penetapan tujuan dan metode, Teori Hukum membedakan diri secara wajar dari pengembanan hukum praktikal. Untuk sementara hal ini hanya untuk menunjukkan bahwa baik dalam praktek maupun dalam teori, ihwalnya berkenaan dengan obyek yang sama: hukum yang berlaku. Karena itu, Teori Hukum tidak dapat 2 3 berkiprah tanpa suatu penelitian empirikal yang luas dan mendasar terhadap hukum positif. Mungkin saja banyak tulisan dalam bidang Teori Hukum yang menyandang kelemahan karena kurang luas dan kurang mendasarnya pengetahuan tentang hukum; mereka sering, dan karena itu tepat, diabaikan oleh para praktisi sebagai tidak relevan dan bahkan tidak riil, dengan mengangkat bahu “semuanya itu hanya teori saja”. Jadi, pengemban Teori Hukum (teoretisi hukum) harus meningkatkan diri pada tataran pengetahuan dari praktisi. Ia sebaiknya memilih contoh-contoh dari masalah-masalah yang sungguh-sungguh terjadi ketimbang membuat rekaan ilustrasi-ilustrasi simplistik. Bagaimanapun, walaupun ada kekurangan-kekurangan pada pihak teoretisi hukum, obyeknya baik bagi praktisi maupun bagi teoretisi adalah sama, yang akan harus memberikan kesempatan yang luas untuk saling didekatkan. Teori Hukum memandang hukum yang ada dari sudut situasi yuris, yakni orang-orang yang berurusan dengan undang-undang, traktat-traktat, kontrak-kontrak, kebiasaankebiasaan, praktek-praktek yuridikal, perikatan-perikatan dari semua jenis dan peradilan. Titik berdiri dari mana Teori Hukum meneliti hukum adalah titik berdiri orang dalam (insider), bukan dari orang luar yang mempunyai kepentingan: dengan itu ia membedakan diri dari disiplin-disiplin lain yang juga memilih hukum sebagai obyek studinya, Filsafat, Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, Psikologi, dan lain-lain. Akhirnya, Teori Hukum mempelajari hukum dengan tujuan suatu pemahaman yang lebih baik dan terutama lebih mendasar tentang hukum, demi hukum, bukan demi suatu pemahaman dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan atau dalam kaidah-kaidah etikal yang dianut dalam masyarakat atau dalam reaksi-reaksi psikhologikal dari suatu penduduk. Ini tidak berarti bahwa Teori Hukum langsung bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkret dengan memformulasikan kaidah-kaidah “de lege ferenda” (hukum yang akan datang, ius constituendum): ia adalah bukan pembentuk undangundang. Memang benar bahwa mereka beranjak dari hal bahwa suatu pengetahuan yang lebih mendalam tentang latar belakang dari hukum dapat memberikan kontribusi pada suatu pengaturan yuridikal yang lebih baik terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Seorang teoretisi hukum tidak akan pernah menjelaskan bahwa karyanya tidak relevan bagi tatanan hukumnya dan masalah-masalah yang diajukan di dalamnya. Singkatnya, pokok-telaah (onderwerp), tujuan dan peneliti sendiri, sama seperti di dalam praktek hukum, disituasikan dalam suasana hukum (rechtssfeer). Teori Hukum adalah sebuah cabang dari Ilmu Hukum dan bukan ilmu bantu dari Ilmu Hukum. 4. Pada sisi lain juga harus jelas bahwa jika Teori Hukum di hadapan para praktisi memang sudah menampilkan diri sebagai hal yang tidak menarik atau tidak taktis, namun ia di dalam praktek selalu sangat dekat, bahkan selalu hadir. Untuk mengilustrasikan hal ini tampaknya harus sudah diuraikan: “teori” dapat berarti apa. Melakukan hal ini sungguh-sungguh merupakan tugas yang sulit mengingat perkataan teori digunakan dalam arti yang banyak dan mungkin juga disalah-gunakan (digunakan secara salah). Dalam Ajaran Ilmu dewasa ini, teori menunjuk antara lain pada suatu kompleks (seperangkat) hipotesis yang terolah untuk memberikan penjelasan tentang gejala-gejala tertentu (misalnya “teori peran” dalam Sosiologi untuk memberikan penjelasan tentang perilaku individual dalam suatu lingkungan kemasyarakatan, teori marxistik berkenaan dengan peranan menentukan dalam masyarakat dari hal memiliki dan tidak memiliki alat-alat produksi, teori konflik atau model konflik) atau pada 3 4 landasan dari teknik (teori navigasi) atau tentang suatu metode ilmiah (positivisme yang hanya mau mempertimbangkan bahan terberi empirikal) atau dari suatu cara berpikir (teori eksistensial yang memandang manusia sebagai suatu eksistensi yang dengan beranjak dari suatu situasi tertentu mengembangkan diri). Ihwalnya ternyata bahwa artiarti tersebut untuk sebagian berjalan saling silang menyilang. Lebih dari itu, pengertian teori dapat digunakan untuk suatu gambaran masa depan yang normatif atau yang memberikan arah, yang lazimnya didukung di atas suatu teori untuk memberikan penjelasan tentang gejala-gejala kemasyarakatan atau di atas suatu teori sebagai landasan dari suatu cara berpikir (teori liberal yang mengemukakan suatu gambaran negara yang di dalamnya warga-masyarakat harus dapat menikmati seluas mungkin kebebasan sebagai hal yang dapat diakomodasikan dengan kebebasan dari para sesama warga-masyarakat). 5. Berdasarkan kekacau-balauan yang berlaku, mungkin sekali layak untuk memilih (mengutamakan) memberikan arti yang paling luas pada perkataan teori, yakni arti yang semula diberikan orang pada Zaman Yunani: suatu sikap menelaah terhadap bahan-bahan terberi atau tersaji (data) dari kehidupan sehari-hari, upaya mencapai suatu kadar pengetahuan (kennisgehalte) yang meningkat di atas hal-hal yang praktikal dan langsung, suatu penggalian ke dasar-dasar dari kenyataan yang lebih mendalam menembus apa yang tampak dan yang terletak di hadapan mata, singkatnya, suatu kegiatan kreatif yang mencipta ulang apa yang terberi ke dalam keseluruhan yang terikhtisar dan dapat dimengerti sehingga orang memperoleh pemahaman dalam dan terutama dapat memberikan makna pada bahan-bahan pengalaman (empiri) terberi yang tersebar (verspreide ervaringsgegevens). 6. Demikianlah sekarang, praktisi dari hukum sangat mengenal pembentukan teori dalam arti luas ini: ia secara permanen menggunakan pengertian-pengertian teoretikal dan teoriteori dan ia ikut berpartisipasi pada pembentukan pengertian-pengertian dan teori-teori tersebut secara permanen, dalam arti bahwa ia berkarya dengan suatu sarana atau instrumentarium pikiran-pikiran yang tidak begitu saja ditemukan di dalam hukum, di dalam teks-teks undang-undang, traktat-traktat, peradilan dan lain-lain; begitu saja, artinya tanpa pembentukan teori. Pembentukan teori tersebut dapat dilaksanakan pada berbagai tataran, dapat lebih terbatas atau lebih mendasar. 7. Sebuah tataran yang pertama adalah apa yang selanjutnya akan kami uraikan sebagai wilayah-karya dari Ajaran Hukum (rechtsleer), yang disebut Dogmatika Hukum (rechtsdogmatiek). Kami ambil sebagai contoh “desentralisasi”. Pengertian ini tidak pernah ditetapkan (didefinisikan) dalam perundang-undangan Belgia. Pengertian ini lewat abstraksi diangkat dari pembentukan organisasi yang ada (konkret: provinsiprovinsi dan kotamadya-kotamadya) pada tataran teoretikal yang berdasarkannya ia dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah keorganisasian yang baru. Desentralisasi adalah lebih dari sekedar sebuah pengertian: di belakangnya tersembunyi sebuah teori, antara lain tentang keadaan-keadaan yang di dalamnya desentralisasi dapat diterapkan secara berhasil-guna ketimbang dekonsentrasi di satu pihak dan federasi di lain pihak, tentang berbagai cara untuk menekankan otonomi dari lembaga maupun kedudukan subordinatifnya pada suatu kekuasaan yang lebih tinggi, tentang penyusunan 4 5 dari badan-badan kebijakannya (beleidsorganen), dsb. Dalam hal ini orang berbicara tentang teori dari desentralisasi. Demikianlah orang juga membangun suatu teori dari organisasi internasional berdasarkan sejumlah bahan-bahan terberi yang tersedia, suatu teori tentang pertanggung-gugatan, tentang badan hukum, tentang subyek hukum dan bahkan tentang kaidah hukum. Semua pengertian-pengertian ini dan pembentukan teori yang memberikan dukungan terhadapnya, termasuk ke dalam pengembanan hukum dalam kehidupan sehari-hari. 8. Namun masih banyak lagi. Tiap yuris yang berpraktek yang menjalankan pekerjaannya dengan sepenuh hati menapaki, menurut kami, jalur dari Teori Hukum atau membuktikan (memberikan kesaksian pada) suatu kebutuhan pada Teori Hukum begitu ia, mengambil jarak dari yang rutin, merenungkan tentang ihwal dari mananya, ihwal mengapanya dan ihwal kemananya obyek dari hukum yang dengannya ia menyibukkan diri. Pertanyaan-pertanyaan ini dalam pandangan kami adalah pertanyaan-pertanyaan dari Teori Hukum. Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan bahan-bahan terberi yang dapat ditemukan dalam hukum positif seperti pada tataran Ajaran Hukum atau Dogmatika Hukum yang barusan dipaparkan, “karena hal itu tercantum dalam undangundang”, “karena hakim telah memutuskan demikian”. Pertanyaan dalam Teori Hukum adalah “mengapa pembentuk undang-undang telah menghendakinya” atau “mengapa hakim telah memutuskan demikian”. Sebuah perbedaan antara praktisi dan teoretisi terletak dalam keadaan bahwa praktisi, karena kurangnya waktu dan sarana, lazimnya hanya secara insidental mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian ini, sedangkan teoretisi mengemban tugas untuk menangani pertanyaan-pertanyaan tersebut secara sadar bertujuan dan sistematikal. Suatu perbedaan lain terletak dalam upaya secara terargumentasi membuat jawaban-jawaban menjadi umum, artinya dalam pembentukan teori yang sesungguhnya yang tidak diharapkan dari praktisi hukum sebagai demikian (as such) dengan alasan-alasan yang sama. Namun pertanyaan-pertanyaannya dalam hakikatnya adalah sama. Sebagai contoh kami ambil interpretasi undang-undang yang berkaitan dengan hakim (penemuan hukum) merupakan tema dari Teori Hukum yang disukai. Interpretasi termasuk esensi dari kegiatan yuridikal (juridische bedrijvigheid): tiap orang yang sebagai yuris, dan dengan demikian bukan hanya sebagai hakim, membuat putusan, memberikan suatu nasihat, merumuskan sebuah usulan atau mengambil suatu titik berdiri (standpunt), ia menginterpretasi. Jadi interpretasi termasuk ke dalam suasana dari kehidupan sehari-hari yang secara spontan (serta-merta) menimbulkan pertanyaanpertanyaan pada tiga tingkatan atau tataran yang berbeda. Ambil saja pertanyaan, para hakim menetapkan batas-batas apa pada kebebasan interpretasi mereka, apakah mereka menginterpretasi secara luas atau sempit dan bila serta berdasarkan metode-metode apa (gramatikal, sistematikal, historikal atau teleologikal)? Jawaban-jawaban, untuk dapat berguna, harus disintetisasi (disintesiskan) atau disistematisasi. Mereka bersifat memaparkan dan mensituasikan diri pada tataran deskriptif. Bahan-bahan terberi yang tersistematisasi ini serta-merta memunculkan pertanyaanpertanyaan berikut: mengapa mereka menetapkan batas-batasnya di sana dan tidak di tempat lain, mengapa mereka menginterpretasi secara luas atau secara sempit dan mengapa mereka menggunakan metode tertentu (yang itu) dan tidak metode interpretasi 5 6 yang lain? Jawaban-jawaban ini bersifat menjelaskan dan mensituasikan diri pada tataran eksplikatif. Akhirnya orang, tetap selalu dengan pengandaian bahwa orang ingin lebih mendalam ketimbang hanya sekedar memperoleh pengetahuan tentang sekumpulan vonis-vonis, akan membiarkan diri untuk tidak mengabaikan bersikap kritikal dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: apa yang seharusnya menjadi batas-batas dari kebebasan interpretasi, atau apa yang seharusnya menjadi metode-metode interpretasi dan tiap kali atas dasar (alasan) apa. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat mengharuskan (normatif) dan mensituasikan diri pada tataran preskriptif. 9. Pertanyaan-pertanyaan sehari-hari tentang suatu bahan terberi hukum ini (sebuah vonis, sebuah undang-undang, sebuah penetapan pemerintah atau sebuah nasihat) memuat benih atau merupakan titik tolak dari suatu penelitian teoretikal hukum (penelitian bidang Teori Hukum) karena mereka adalah pertanyaan yang tidak dapat dijawab berdasarkan hukum positif. Sebab perundang-undangan Belgia tidak menetapkan aturan-aturan interpretasi dan tentang hal itu putusan (peradilan) Hof van Cassatie memuat petunjuk-petunjuk yang sangat langka. Keseluruhan permasalahan interpretasi berurusan dengan Ilmu Bahasa dan Gramatika, dengan Logika, dengan doktrin-doktrin interpretasi ekstra-yuridikal, dengan Etika, dengan latar belakang Filsafat Negara dan Filsafat Hukum, dengan apa yang oleh Sosiologi ditunjuk sebagai pola-pikir dan polahidup di dalam masyarakat, dengan pensituasian historikal dari teks undang-undang (lama) dan dari fakta-fakta (masa kini) yang harus dinilai, dengan syarat-syarat kehasilgunaan teknikal dan bahkan dengan pertanggung-jawaban kebijakan dari hakim yang tentang hal itu menyadari bahwa vonisnya, yang mungkin dalam kasus terkait diputuskan, dapat menentukan bagi perilaku dari banyak orang. Penggunaan nilai-nilai dan pemahaman-pemahaman dari luar hukum ini, untuk mengatur masalah-masalah yuridikal, adalah ciri khas, sebagaimana yang akan kami pertahankan, bagi Teori Hukum, namun praktisi hukum menggunakan kurang lebih secara sadar nilai-nilai dan pemahaman-pemahaman yang sama. Karena itu kami mengatakan bahwa Teori Hukum itu sangat dekat dengan praktisi. Kini tiba saatnya untuk menunjukkan batas-batas antara berbagai cara pengembanan hukum secara ilmiah, dengan kata lain untuk mensituasikan Teori Hukum ke dalam kerangka yang paling mencakup yang akan kami namakan “Ilmu Hukum” (rechtswetenschap). 1.2. Tiga tingkatan dari Ilmu Hukum. 10. Kami menggunakan perkataan “Ilmu Hukum” sebagai nama (istilah) cakupan untuk semua hal yang berurusan dengan kegiatan mempelajari hukum. Istilah cakupan ini mengungkapkan sedikit saja dan karena itu ihwalnya tidak akan banyak berarti apakah kami akan menggunakan perkataan lain (misalnya “keahlian hukum terdidik”, “rechtsgeleerdheid”). Ia adalah padanan dari “jurisprudence” dalam bahasa Inggeris dan “Jurisprudenz” dalam bahasa Jerman. Yurisprudensi (jurisprudentie) tidak dapat dipakai karena perkataan tersebut, dengan “jurisprudence” dalam bahasa Perancis di latar belakang, pada kita sinonim dengan putusan hakim (peradilan). Di sini ihwalnya berkenaan dengan upaya membuat menjadi jelas bahwa kegiatan mempelajari secara ilmiah memperlihatkan suatu pelapisan. 6 7 Sejak dari permulaan “pengetahuan hukum” (rechtskennis) harus dipisahkan dari “ilmu hukum” (rechtswetenschap). Pengetahuan Hukum menunjuk pada tataran minimum dari hal mengetahui yang berkenaan dengannya bagi pemakai hukum dan penerap hukum (rechtstoepasser) biasa sudah cukup sepanjang tidak timbul masalah-masalah. Pada tataran ini orang membatasi untuk itu dengan mengetahui secara cermat apa isi tata hukum (rechtsbestel) yang ada pada badan-badan kekuasaan yang berwenang dan memerintahkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Orang menempuh ujian mengemudi harus mengetahui aturan lalu-lintas (verkeersreglement). Ihwalnya berkenaan dengan pengetahuan yang dibutuhkan para warga masyarakat rata-rata pada umumnya (doorsnee burger) dan kebanyakan memilikinya untuk sebagian, tentang hukum persewaan, hak milik, hukum perkawinan, perpajakan, jaminan sosial, pengetahuan yang ia, jika diperlukan, dapat melengkapinya dengan meminta bantuan kepada seorang penasihat yang tanpa kesulitan akan dapat membuatnya menjadi lebih tahu. Banyak pertanyaan-pertanyaan dari kehidupan seharihari dapat dijawab dengan “ini hukumnya berkenaan dengan ihwal terkait”. Tataran ini sudah mencukupi dalam praktek notaris, advokat dan hakim, untuk kebanyakan kejadian rutin yang paling sederhana yang untuknya “subsumsi” biasa sudah cukup, artinya bila suatu keadaan diletakkan di bawah suatu aturan dipandang tidak dapat diragukan lagi sudah cocok pada tempatnya. Kami tidak akan membahas tataran ini lebih jauh tanpa memandang rendah terhadapnya: tidak ada Ilmu Hukum tanpa pengetahuan hukum yang demikian itu. 11. Seperti ilmu-ilmu lain, Ilmu Hukum mengarah pada suatu penjelasan sistematikal dan bertanggung-jawab, dalam hal ini tentang bahan-bahan terberi yuridikal, strukturstruktur kekuasaan, kaidah-kaidah, perikatan-perikatan. Ia pertama-tama mensyaratkan pengumpulan bahan-bahan terberi (data, bahan tersaji) yang dipandang relevan seluas mungkin dan penguraian terhadapnya (penjabaran ke dalam unsur-unsurnya): penelitian empirikal. Bahan-bahan terberi ini harus diolah sehingga eventual kesaling-terhubungan di antara mereka tampak: sistematisasi. Dua pengolahan ini tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lainnya: orang tidak melakukan pencarian secara membuta, melainkan sebaliknya, dengan membayangkan suatu gambaran dari kemungkinan perhubungan, atau, dikatakan secara lain, dengan suatu harapan kemungkinan sintesis atau sistematisasi. Orang tidak dapat menganggap bahan-bahan terberi relevan bagi penelitian, jika orang terlebih dahulu tidak menggunakan suatu kriterium-relevansi tertentu. Sistematisasi bahan-bahan terberi empirikal mewujudkan tataran pertama dari ilmu yang sudah dikemukakan: tataran deskriptif. Sesudah itu harus dijelaskan mengapa bahan-bahan terberi yang dikumpulkan beserta dengan hubungan-hubungan mereka adalah sebagaimana mereka adanya: penjelasan, dalam Ilmu-ilmu Manusia dan Ilmu-ilmu Sosial, tataran eksplikatif. Stadium ini menurut hakikatnya adalah sungguh-sungguh yang terpenting. Ilmu membedakan diri dari bentukbentuk pengetahuan lain oleh penjelasan yang ia berikan. Ia memberikan, atau mencoba memberikan, suatu jawaban atas pertanyaan yang paling khas ilmiah “mengapa?” Pertanyaan “mengapa” adalah bermakna ganda: ia mengharapkan atau ia dapat sebagai jawaban mengharapkan, baik sebuah sebab atau sebuah motif dan yang paling dikehendaki dua-duanya. Diterapkan pada hukum, pertanyaannya berbunyi: “mengapa 7 8 hukum (atau bahan terberi hukum yang dipelajari orang) adalah sebagaimana ia adanya” atau lebih konkret “mengapa hakim sampai pada vonis ini”, “mengapa pembentuk undang-undang menempuh arah ini”, “apa yang menjadi sebab-sebab dan motif-motif dari evolusi ini dalam peradilan atau dalam perundang-undangan”, “mengapa orang berpendapat dapat diterima bahwa bangunan hierarkhikal birokrasi pemerintahan (bestuurgeledingen) menerapkan undang-undang berbeda ketimbang yang diperintahkan atau dilarang undang-undang”, “mengapa dalam hal dua atau lebih kaidah dapat diterapkan, pilihan dijatuhkan pada yang satu”, dst. Seringkali dalam tulisan-tulisan ilmiah pada dua tataran ini (akan) ditambahkan tataran yang ketiga: tataran preskriptif atau tataran normatif, dengan usulan-usulan untuk perbaikan dan pembaharuan, bertumpu pada bahan-bahan terberi, memberikan sintesis dan penjelasan ke dalam stadia terdahulu. Di sini orang memberikan jawaban atas pertanyaan “bagaimana seharusnya” atau “bagaimana ihwalnya akan lebih baik”. Betapapun dapat diterimanya usulan-usulan, alternatif-alternatif, pedoman-pedoman normatif, mereka tidak termasuk ke dalam esensi dari ilmu. 12. Dalam Ilmu Hukum kami membedakan dua cabang: apa yang dinamakan Dogmatika Hukum (atau Ajaran Hukum atau Kemahiran Hukum Terdidik-terlatih) dan Teori Hukum, yang di bawah ini akan kami bahas secara luas. Tingkat ketiga dari Ilmu Hukum, di atas Dogmatika Hukum dan Teori Hukum, ditempati oleh Filsafat Hukum, setidaknya sejauh orang menerima bahwa Filsafat itu adalah ilmu. Dalam Pendahuluan ini, Filsafat Hukum akan mendapat giliran pertama, mengingat ia, sebagaimana yang akan tampak, dalam derajat yang besar berpengaruh menentukan terhadap cara pengembanan Dogmatika Hukum dan Teori Hukum (di-praxis-kan). 1.3. Filsafat Hukum. 13. Apakah Filsafat itu, dan karena itu juga Filsafat Hukum, adalah sedemikian tidak pasti sehingga orang sering secara spontan dan tidak disadari menggunakan metaforametafora untuk membuat dapat dimengerti apa yang dimaksud orang: Filsafat membahas tentang manusia dan kenyataan pada “tataran yang lebih tinggi” dan karena itu mempunyai medan pandang (gezichtsveld) yang lebih luas. Belum lama ini dalam sebuah kolokium, seseorang telah berbicara tentang tataran-satelit dari Filsafat Hukum dan tataran-helikopter dari Teori Hukum. Namun Filsafat itu juga ingin menembus “lebih dalam” sampai pada kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai yang fundamental, yang tidak dapat ditelusuri balik (dikembalikan, diderivasi balik) pada kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai lain (yang lebih tinggi). Ia mengupayakan suatu penjelasan menyeluruh tentang manusia dan dunia. 14. Filsafat Hukum berada pada tataran “lebih tinggi” ketimbang Teori Hukum dan ia memiliki suatu cakrawala yang “lebih luas”, karena ia menurut pandangan kami harus memberikan jawaban-jawaban yang untuk sebuah tata-hukum (rechtsbestel) atau tatanan hukum (rechtsorde) dapat memuaskan dan tuntas: terhadap Filsafat Hukum tidak ditanya “apa hukum di Belgia anno 1982?”, melainkan “apa hukum itu, pada umumnya (überhaupt)?”, di sini dan sekarang serta dahulu pada masyarakat-masyarakat lain. Sementara Teori Hukum, sebagaimana secara sepintas sudah kami kemukakan, mempunyai satu tata hukum atau tatanan hukum atau bagian-bagian yang jelas dari 8 9 tatanan hukum tersebut sebagai pokok-telaah, Filsafat Hukum harus memberikan (menyediakan) aparat pengertian-pengertian dan nilai-nilai fundamental yang akan digunakan pada karya ilmiah empirikal, dalam Dogmatika Hukum dan Teori Hukum. Dengan pertanyaan tentang hakikat dari hukum (Ontologi), maka sesuai dengan sifatnya suatu keseluruhan rangkaian persoalan-persoalan fundamental ditampilkan sebagai hubungan-hubungan antar-manusia sendiri di dalam himpunan orang-orang (maatschap) dan dalam persekutuan (gemeenschap, komunitas, masyarakat) dan dengan demikian manusia itu sendiri dalam aspek yuridikalnya. Pada akhirnya Filsafatlah yang menguraikan (mendefinisikan) apa sebuah perikatan yuridikal itu, dibedakan dari banyak perikatan-perikatan atau ikatan-ikatan yang lain, bagaimana mereka dengan berbagai cara terbentuk, apa sebuah kaidah itu dan dalam hal apa sebuah kaidah hukum berbeda dari kaidah-kaidah lain, di bawah syarat-syarat apa ia legitim. Pada pertanyaan tentang legitimitas dari hukum terkait pertanyaan tentang nilai-nilai yang harus dipenuhi oleh hukum atau yang terhadapnya hukum harus menyesuaikan diri (Aksiologi) seperti keadilan (rechtsvaardigheid), kelayakan/kepatutan (billijkheid), mungkin persamaan (gelijkheid), namun pasti kehasilgunaan (doelmatigheid) dan kepastian (zekerheid). Dengan itu tampil sistem-sistem yang menentukan nilai (Ajaran Idea) seperti etika, agama, gambaran manusia dan masyarakat (de mens- en maatschappijbeelden), ideologiideologi. Selanjutnya kami akan menyebut mereka: “keyakinan-keyakinan idiil”: mereka adalah pandangan-pandangan menyeluruh tentang apa yang dalam hubungan-hubungan manusiawi seharusnya termasuk atau seharusnya tidak masuk, tentang cara yang dengannya suatu masyarakat (komunitas) harus ditata secara yuridikal agar secara layak dapat mencapai tujuannya, dst. Sebuah pertanyaan penting dalam hubungan ini adalah tujuan dari hukum (Teleologi) dan dengan demikian tentang lingkungan hidup (levenskring) yang di dalamnya hukum itu berfungsi. Di sini akan dibahas antara lain Filsafat Negara dengan pertanyaan-pertanyaan tentang peranan dari negara, tugasnya, tentang apa yang harus ia wujudkan dan menentukan lebih jauh tentang apa kepentingan umum itu, dengan anggapan bahwa kepentingan umum dipandang sebagai tujuan dari hukum. Dengan demikian Filsafat dapat memasukkan baik apa yang ada maupun apa yang seharusnya ada. 15. Pada sisi lain, dan dalam suatu tataran yang sepenuhnya berbeda, juga termasuk ke dalam Filsafat adalah penelitian yang menelaah pertanyaan sejauh mana orang dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan tentang hukum dan semua bahan-bahan terberi serta gagasan-gagasan yang terkait padanya, apa kriteria untuk keilmiahan dari pengetahuan tersebut, dan seterusnya (Ajaran Ilmu). Penggolongan ke dalam bagianbagian dari berbagai jenis pengetahuan tentang hukum (Pengetahuan Hukum, Dogmatika Hukum, Teori Hukum, Filsafat Hukum) adalah tugas bagi Filsafat Hukum. Metodologimetodologi yang disesuaikan pada berbagai bentuk dari pengetahuan (ilmiah) ini, juga termasuk ke dalam Ajaran Ilmu dan dengan demikian ke dalam Filsafat. Dalam tataran (orde) ini ihwalnya tidaklah berkenaan dengan hukum melainkan berkenaan dengan dasar-dasar dan metode-metode dari Ilmu Hukum. 9 10 Terhadap Filsafat Hukum dalam berbagai aspeknya seperti Ontologi, Aksiologi, Ajaran Idea, Teleologi di satu pihak dan Ajaran Ilmu, metodologi termasuk ke dalamnya, di lain pihak, lebih jauh dalam buku ini akan dibahas secara lebih luas terinci (uitvoeriger). Pada stadium ini hanya masih perlu dikemukakan bahwa penelitian ilmiah dari Dogmatika Hukum dan terutama yang bersifat Teori Hukum (penelitian hukum yang bersifat teoretikal) dalam derajat yang besar dapat ditentukan terlebih dahulu dan lazimnya akan ditentukan oleh gagasan-gagasan fundamental yang dianut orang tentang apa hukum itu dan apa yang seharusnya di satu pihak dan tentang cara yang dengannya ia dapat dipelajari di lain pihak. 16. Sudah dengan sendirinya bahwa pandangan-pandangan yang dianut orang tentang arti dan nilai dari individu, tugas dari masyarakat-masyarakat terorganisasi seperti negara, tentang nilai-nilai yang oleh hukum harus dijamin atau dimajukan, pandangan-pandangan etikal, bahkan keyakinan-keyakinan keagamaan, singkatnya, ya, keseluruhan latar belakang kefilsafatan, akan mempunyai pengaruh yang menentukan tidak hanya pada pilihan pokok-telaah penelitian melainkan juga dan terutama pada cara yang dengannya kegiatan itu dijalankan. 17. Dengan ini terkait bahaya-bahaya dan kesulitan-kesulitan. Pandangan-pandangan kefilsafatan yang sering tidak disadari karena tradisi historikal yang panjang menjadi bagian dari dunia pengertian yang dianut orang, dalam suatu kultur tertentu dapat memperoleh penerimaan sedemikian umum sehingga mereka tidak dieksplisitkan lagi dan bahkan dapat sedemikian rupa sehingga kebutuhan pada suatu pembenaran (yustifikasi) terhadapnya tidak dirasakan. Praanggapan-praanggapan yang tidak kritis dan pandangan-pandangan dasar (basis opvattingen) yang berada di luar diskusi -- yang terhadapnya untuk selebihnya orang tidak pernah sepenuhnya dapat meloloskan diri -- dapat memerosotkan sepenuhnya penelitian bidang Teori Hukum (penelitian teoretikal atas hukum) dan pendidikan hukum yang bertumpu di atasnya. Banyak buku teks (buku pelajaran) Filsafat Hukum mengandaikan hal dapat dipaksakan berlaku dan keberlakuan umum sebagai unsur-unsur hakiki dari hukum, sedangkan kedua unsur itu sering tidak ada dalam banyak gejala yang oleh tiap orang dihayati sebagai hukum. Penyebab dari kesalahan ini terletak dalam pilihan titik tolak yang jelas tidak dapat diragukan: model-negara barat abad sembilan belas. Sudah dengan sendirinya menyesatkan sebagai obyek penelitian untuk memilih hukum yang berlaku dalam masyarakat yang terstruktur paling luas dan kuat dan dalam pandangan kami paling berkembang dan mengandaikan unsur-unsur konstitutif yang ditemukan orang dalam hukum tertentu “tersebut” sebagai unsur-unsur hakiki dari hukum. Dengan cara demikian orang mengembangkan bukan “filsafat dari hukum” melainkan suatu filsafat dari hukum kenegaraan (het statelijke recht), dan lebih dari itu buatan barat. Dengan itu maka bukan hanya Hukum Internasional Publik yang “unorganised” yang dinegasi (disangkal), melainkan juga, pada titik ekstrim lainnya, hukum yang di dalam hubungan-hubungan kerjasama antar-individual dikembangkan oleh subyek-subyek yang tidak bertindak sebagai anggota dari sebuah masyarakat terorganisasi yang akan meletakkan (memerintahkan) relasi yuridikal kepada mereka demi mewujudkan kesejahteraan kelompok sebagai keseluruhan (pada kita hukum perdata, hukum kontrak internal, hukum kebiasaan dan syarat-syarat/janji-janji yang dalam lingkungan dan/atau bidang tertentu 10 11 biasa diperjanjikan atau gebruikelijke bedingen). Dengan itu juga sekaligus keseluruhan sektor dari pembentukan hukum pada komunitas-komunitas non-kenegaraan (lembaga pendidikan, perkumpulan dan korporasi profesi, organisasi-organisasi politik, kultur, filantropik, sosial, lembaga keagamaan, klub olahraga, dsb.) dengan sistem hukum internal mereka masing-masing diabaikan. Perbedaan-perbedaan di antara lingkunganlingkungan hukum (rechtskringen) ini dan terutama kesaling-terhubungan di antara mereka dalam satu keseluruhan tata hukum (rechtsbestel) tidak terbicarakan yang disebabkan oleh kesalahan itu, karena titik-tolak yang terlalu sempit dan berprasangka (vooringenomen, sudah diprasangkakan). Suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) yang demikian itu tidak dapat lain selain memalsukan penelitian hukum teoretikal dan pendidikan hukum yang bertumpu di atasnya. Jadi, orang harus berjaga-jaga (berhatihati) terhadap kesulitan yang dihadapi Filsafat Hukum untuk dapat mempertahankan tataran tinggi yang diembankan kepadanya atau dengan kata lain untuk dalam cakrawala yang luas tetap cukup dalam menembus ke dalam materinya. Tugas yang dihadapi Filsafat Hukum itu masih diperberat dengan tumbuhnya dalam dekade terakhir pemahaman bahwa hukum barat, betapapun kita terikat padanya, bukanlah satu-satunya yang ada dan yang bernilai penuh. Dilibatkannya negara-negara di Arabia, Afrika Hitam dan Asia yang sekarang berdaulat ke dalam pergaulan hukum internasional baik publik maupun perdata, mendesakkan pengertian-pengertian hukum yang baru dan diperluas. Hal-hal yang dihayati sebagai hal-yang-sudah-dengansendirinya kehilangan kesudah-dengan-sendiriannya. Negara-negara ini berkeinginan mengembangkan suatu sistem hukum yang beranjak dari nilai-nilai peradaban tradisional mereka sendiri-sendiri yang dalam banyak aspek berbeda secara fundamental dari yang barat, khususnya berkenaan dengan nilai dari individu, arti dari persekutuan hidup (leefgemeenschap), peranan dari hukum sebagai penyelesai konflik maupun penambah konflik, pengertian-pengertian dari representativitas, pertanggungjawaban (verantwoordelijkheid) dan pertanggunggugatan (aansprakelijkheid) dan sejenisnya. Tidak hanya penelitian hukum teoretikal dari hukum internasional publik melainkan juga dari hukum perdata internasional, akan, agar dapat tetap sesuai dengan tuntutan zaman, harus bertumpu di atas pandangan-pandangan dasar kefilsafatan yang lebih luas tentang hukum, manusia dan masyarakat. Akhirnya masih dapat ditunjukkan bahwa pengembanan Dogmatika Hukum dan terutama Teori Hukum dalam derajat besar dipersulit oleh ikhtiar yang harus dijalankan orang untuk menelusuri apa filsafat yang dianut oleh penulis yang dijadikan nara sumber (yang karyanya dijadikan sumber rujukan): orang akan harus menempatkan diri dalam pikirannya dan dalam metodologinya, terlebih dahulu mengkaji dan menilainya dengan beranjak dari titik berdirinya sendiri (maksudnya: titik berdiri dari orang yang dirujuk) dan baru kemudian mengadopsi dari dalamnya apa yang sesuai dengan filsafatnya sendiri. Ini juga adalah suatu tugas yang amat sulit. Jika orang menyadari tentang kebermacam-ragaman tak bertepi (tidak ada batasnya, oeverloos) dalam pandanganpandangan kefilsafatan, teori-teori, metodologi-metodologi, cara-cara pendekatan, praanggapan-praanggapan, ideologi-ideologi dan maksud-maksud tersembunyi, dan tentang kesulitan untuk setiap kali menelusuri isi yang tepat dan daya dukung mereka, maka ia akan mengalami kebingungan (delirium). Kebingungan ini bagi banyak orang merupakan hambatan yang tidak dapat diatasi untuk memulai suatu penelitian hukum teoretikal (penelitian dalam bidang Teori Hukum). 11 12 Kesulitan ini dalam derajat yang tidak sedikit akan dapat dibatasi, jika tiap orang sejak dari permulaan secara jelas dapat menetapkan apa yang menjadi titik-titik tolak kefilsafatannya. Karena itu, sekarang berikut ini, sejauh menyangkut saya, sejumlah titik tolak tentang hukum, yang saya hampir tidak berani dan hanya dengan sangat ragu-ragu akan berani menyebutnya “kefilsafatan” yang meskipun demikian mempunyai hubungan dengan suatu dunia pemikiran eksistensial dan suatu metode fenomenologikal, yang berlandaskannya Dogmatika Hukum dan Teori Hukum dalam Pendahuluan ini akan dibahas lebih jauh. 1.4. Titik-titik tolak. 1.41. Pandangan Statikal dan Dinamikal atas hukum. 18. Kami berpegangan pada batasan-uraian-pengertian dari hukum yang paling luas dan menurut pandangan kami netral. Hukum, di sini dalam arti tata-hukum atau tatanan-hukum positif, adalah suatu penataan terorganisasi atas perbuatan lahiriah manusia di dalam masyarakat. Ia mencakup keseluruhan aturan-aturan perilaku dan struktur-struktur kekuasaan (gezagsstrukturen). Sudah dengan sendirinya bahwa tiap bagian yang sedikit-banyak koheren dari suatu keseluruhan, layak untuk pengkajian dan penelitian. Untuk mudahnya kita akan berbicara tentang hukum, namun akan lebih realistik untuk berbicara tentang “pokok-pokok pengaturan dari hukum” (onderwerpen van recht). 19. Hukum tanpa keberatan dapat dipandang dan dipelajari sebagai sebuah keseluruhan statikal lembaga-lembaga dan kaidah-kaidah yang berlaku yang ada, yang berlaku pada suatu momen terberi dan dalam suatu lingkungan keberlakuan tertentu. Ada dasar-dasar dan alasan-alasannya. Bagaimanapun, dalam studi hukum ihwalnya berkenaan dengan menelusuri apa hukum yang berlaku itu, artinya siapa, terhadap apa, di bawah syaratsyarat apa mengemban kewajiban, secara respektif, siapa, atas apa, di bawah syaratsyarat apa mempunyai suatu hak subyektif. Lagi pula hukum itu di dalam kenyataan sehari-hari dihayati (dialami) sebagai suatu tatanan yang memaksa dan yang dibuat menjadi umum (veralgemenend) yang secara obyektif mendesakkan diri kepada manusia sebagai suatu keterberian yang mapan, suatu keterberian eksternal yang terhadapnya orang tidak dapat atau tidak boleh menarik diri dan yang tidak diubah begitu saja bahkan jika orang secara pribadi menginginkan hukum yang berbeda. Singkatnya, hukum itu dapat dialami dan dipelajari secara bermakna sebagai keseluruhan yang statikal, obyektif, eksternal, pada dirinya sendiri, sebagaimana ia ada di sini dan sekarang, terlepas dari sejarah pembentukannya dan dari perpektif-perspektif masa depan. Pengetahuan Hukum dan Dogmatika Hukum dapat memenuhi tugasnya dengan pandangan statikal atas hukum. 20. Suatu pandangan statikal yang demikian itu mengandung bahaya memberikan gambaran keliru tentang fungsi sosial dari hukum, dan karena itu tentang hukum itu sendiri. Dengan mengisolasinya mungkin saja orang akan tidak melihat bahwa hukum itu memiliki suatu keberlakuan yang terbatas dalam waktu dan ruang, bahwa ia dengan berjalannya waktu ber-evolusi, dan dengan demikian, dipandang secara kultur-historikal, menyandang sifat relatif: orang dapat terjerumus mengabsolutkan hukum. Jadi, 12 13 penekanannya terletak pada yang stabil, tidak pada yang evolutif, lebih tidak lagi pada yang labil. Bahwa resiko ini tidak hanya ada dalam pikiran saja, tampak dari kenyataan bahwa dalam tiap peradaban terdapat godaan untuk mengemas kepastian (vastheid), obyektivitas, keajegan (onveranderlijkheid) dari hukum dengan suatu legitimitas yang tidak dapat diragukan dan dapat ditekankan hampir sakral (“les principes sacre du droit” atau “asas-asas sakral dari hukum” atau “asas-asas hukum yang sakral”, seperti “tiada tanggungjawab tanpa kesalahan”, “suami adalah kepala rumah tangga”, hak milik perdata yang mutlak, dahulu mungkin sekali juga raja berdasarkan anugrah Tuhan, hak-hak feodal, perbudakan, dsb.). Bertolak dari suatu optik yang demikian maka upaya-upaya untuk menerobos (menerabas) hukum yang ada disamakan dengan kekacauan kemasyarakatan. Karena itu, hal memutlakkan hukum ini juga sering merupakan suatu rem terhadap kemajuan dan suatu tembok yang aman bagi konservatisme. “Dapat terjadi”, tulis Luijpen (Fenomenologie van het natuurrecht, Hilversum, 1966: 237), “bahwa perhatian eksklusif atas aspek statikal dari hukum menyebabkan asal-usul (sumber) dan tujuan dari tata-hukum hilang dari pandangan mata. Dapat terjadi bahwa aturan-aturan hukum dan pranata-pranata hukum menjalani sejenis keberadaan yang terpisah dan terisolasi dan bahwa para yuris berurusan dengannya seolah-olah mereka itu merupakan suatu jenis kemandirian-kemandirian (sesuatu yang berdiri sendiri, zelfstandigheden).” Orang mengurangi makna fungsi kemasyarakatan dari hukum dan hukum itu sendiri, jika orang tidak sekaligus memandang hukum sebagai hasil dari suatu proses pertumbuhan dinamikal. 1.42. Faktor-faktor pada pembentukan hukum. 21. Pilihan bagi suatu pandangan dinamikal atas hukum bertumpu di atas keyakinan bahwa hukum timbul sebagai suatu rancangan (ontwerp) dari suatu situasi tertentu untuk mencapai suatu tujuan. 22. Hukum pada dirinya sendiri tidak pernah merupakan suatu tujuan, melainkan suatu sarana untuk mencapai suatu tujuan non-yuridikal. Finalitas dari hukum itu tidak yuridikal dan hukum karena itu memperoleh dorongan pertumbuhannya (groei stimulus) dari luar hukum. Faktor-faktor ekstra-yuridikal memelihara proses pertumbuhan dinamikal berlangsung terus. Ini berlaku baik bagi subyek individual dalam suatu hubungan kemasyarakatan biasa, misalnya pada penutupan sebuah kontrak atau pada perbuatan memberikan sebuah hadiah, maupun bagi para pengemban kekuasaan dalam masyarakat pada tindakan menetapkan sebuah kaidah atau pada pengambilan putusan pemerintah. Tidak ada kontrak pembelian jika tidak ada pembeli yang bertujuan untuk memperoleh sesuatu dengan pembayaran harga sesuatu tersebut; tidak ada penjualan tanpa maksud untuk memperoleh uang dengan melepaskan sebuah barang. Tidak ada perkawinan menurut paham barat (westerse huwelijk) jika kedua pasangan tidak mempunyai maksud untuk mengembangkan hubungan-hubungan seksual dan material secara mantap (langgeng) dan eksklusif. Tidak ada kontrak perkumpulan jika ia tidak mempunyai tujuan untuk bersama-sama dalam suatu ikatan persekutuan (gemeenschapsverband) mewujudkan sesuatu dan bahwa sesuatu itu dapat merupakan kultural, filantropik, keagamaan, keilmuan, olahraga atau apa pun juga. Ini, sebagai contoh-contoh dalam 13 14 hubungan-hubungan masyarakat (maatschapsverhoudingen). Yang berkenaan dengan hubungan-hubungan persekutuan (gemeenschapsverhoudingen): tidak ada undangundang dasar yang melimpahkan kekuasaan negara (staatsgezag) tertinggi kepada sebuah parlemen hasil pemilihan (verkozen parlement), jika orang tidak mempunyai tujuan untuk mengorganisasi suatu demokrasi dengan perwakilan (representatieve demokratie). Sebuah undang-undang fiskal mempunyai tujuan untuk mengalirkan uang ke dalam kas negara (schatskist), mengendalikan ekonomi atau sedikit-banyak meratakan perbedaanperbedaan penghasilan. Sebuah undang-undang subsidi berfungsi untuk mendukung atau menstimulasi (mendorong) kepentingan-kepentingan khusus yang dipandang orang penting bagi keseluruhan masyarakat. Di samping sebuah lembaga yang menetapkan kebijakan (beleidsinstelling) tidak akan didirikan badan penasihat (adviesorgaan) jika orang tidak bertujuan untuk mengorganisasi masukan dari para pakar atau partisipasi dari kelompok-kelompok kepentingan. 23. Dalam semua kejadian, pada asal-mula pembentukan hukum terdapat suatu rancangan dari suatu situasi kehidupan faktual menuju ke suatu tujuan non-yuridikal, ini adalah suatu kepentingan atau suatu nilai yang ingin dipenuhi atau dijamin di masa depan dengan suatu perikatan atau suatu struktur organisasi, singkatnya dengan hukum. Antara situasi kehidupan faktual dan tujuan yang diproyeksikan, terdapat suatu momen kebebasan: hal melakukan penilaian yang bebas baik atas situasi maupun atas tujuan dan hubungan antara keduanya. Penilaian ini sungguh-sungguh bersifat idiil: sebuah gagasan (idea) atau sebuah gambaran dari suatu hubungan yang adekuat antara apa yang ada (das Sein) dan apa yang orang ingin capai, suatu gambaran masa depan (toekomstbeeld). Penilaian atau gambaran masa depan ini yang memotivasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara yang disebutkan terdahulu di muka (yang telah digariskan), dengan kata lain yang menggerakkan ke tujuan itu, alasan yang menggerakkan atau motif. Orang dapat menempatkan situasi faktual itu pada sisi-sebab (sisi-kausa) dari suatu pengambilan putusan yuridikal, gambaran masa depan yang idiil pada sisi-motif dari pengambilan putusan tersebut. 24. Ihwalnya sudah menyatakan sendiri bahwa situasi faktual adalah suatu keterberian, yang direkam (dipahami) di dalam kesadaran sebagai suatu totalitas pengalaman dari suatu baik lingkungan material maupun lingkungan manusiawi. Namun ihwalnya sama sudah dengan sendirinya bahwa keyakinan-keyakinan idiil yang dianut oleh individu atau masyarakat tidaklah begitu saja merupakan suatu kreasi sendiri dari ketiadaan melainkan sebaliknya untuk sebagian besar serta-merta, seolah-olah sudah diberikan terlebih dahulu, sudah hidup dalam kesadaran hukum individual dan kesadaran hukum kolektif. Keterberian-keterberian faktual memprofilkan (menampilkan sosok) suatu masyarakat tertentu, menentukan penampilannya sendiri. Hal itu mencakup situasi geografikal, kekayaan alam (sumber daya alam), ciri-ciri klimatologikal, tetapi juga keterberianketerberian demografikal, sifat dari ekonomi, tingkat perkembangan (kemajuan) penduduk, ketertutupan atau keterbukaan internasional, perimbangan kekuasaan sosialekonomi atau perimbangan kekuasaan lain, tradisi historikalnya sendiri. Tata-hukum yang ada, khususnya bentuk negara, bentuk kekuasaan, lembaga-lembaga dan aturanaturan hukum yang berlaku juga termasuk ke dalam keterberian. 14 15 Sudah dengan sendirinya bahwa isi (substansi) dari hukum akan berbeda-beda tergantung pada apakah orang berurusan dengan suatu masyarakat agraris pedesaan atau dengan suatu masyarakat industrial teknopolis, apakah tanahnya kering atau basah, mempunyai garis pantai yang panjang atau tertutup dalam benua, kaya atau miskin akan bahan-bahan mentah, menjalani kehidupan lewat jalan evolusi dalam sejarah selama berabad-abad atau sebaliknya setiap kali secara mendadak disertai kekerasan (bruusk) harus menyesuaikan diri pada suatu bentuk negara atau bentuk kekuasaan yang baru akibat suatu aneksasi atau suatu revolusi internal atau suatu dekolonisasi yang dipersiapkan secara jelek. Dengan keyakinan-keyakinan idiil kami memaksudkan pandangan-pandangan yang di dalam masyarakat sedang berlaku atau baru berkembang tentang manusia dan nilainya dalam relasi-relasi antar-individual dan dalam relasi dengan para penguasa (pemerintah), tentang bentuk-bentuk negara dan kekuasaan, gambaran-gambaran masa depan bagi suatu masyarakat yang lebih bermartabat manusiawi, gagasan-gagasan tentang cara-cara yang dengannya serta bentuk-bentuk yang di dalamnya putusan-putusan nilai dan gambarangambaran masa depan ini dapat diwujudkan dalam kenyataan: itu adalah keyakinankeyakinan kefilsafatan, etikal, ideologikal, politikal dengan kaitan pada masa depan, yang orang lihat tengah bekerja jika hukum perkawinan yang ada diuji berdasarkan pandangan-pandangan emansipatorik yang baru tentang nilai dari diri sendiri dan peranan perempuan, jika orang dalam suatu tata-hukum menginginkan persamaan, kelayakan (kepatutan) dan keamanan lebih berpengaruh eventual (dengan seperlunya) mengurangi sebagian dari kebebasan yang hingga saat itu merupakan motif-utama dari penataan hukum (rechtsordening), jika suatu larangan abortus yang sejak dahulu kala sudah diterima hampir secara umum dibengkokkan menjadi de-penalisasi untuk sebagian atau untuk keseluruhannya, mayoritas menolak hukuman mati sebagai hal tidak manusiawi, negara-negara saling mendekatkan diri, walaupun ada permusuhan sejak dahulu, untuk bersama-sama membangun suatu organisasi internasional. 25. Situasi faktual dan keyakinan-keyakinan idiil yang berkembang berkenaan dengan situasi faktual tersebut bersama-sama berlaku sebagai faktor-faktor untuk pembentukan hukum baru: faktor-faktor pembentukan hukum. Baik perangkat faktor-faktor yang satu maupun yang lainnya berbeda menurut waktu dan tempat serta secara permanen mengalami perubahan dan perkembangan. Hukum yang mereka bentuk dengan demikian tidak dapat lain kecuali bersifat historikal dan evolutif, namun lebih dari itu dengan itu juga jelas bahwa hukum itu memperoleh dinamikanya dari luar hukum. Hakim yang menginterpretasi suatu ketentuan undang-undang yang sudah kuno secara berbeda ketimbang dengan cara sebelumnya dengan berdasarkan pertimbangan perubahan situasi, akan bertumpu pada motif-motif non-yuridikal (walaupun ia sering tidak akan atau tidak boleh menyatakan hal itu secara eksplisit) walaupun ihwalnya adalah bahwa situasinya baru dan tidak dapat disubsumsikan ke bawah undang-undang atau bahwa ketentuan undang-undang yang bersangkutan tidak lagi sesuai dengan kesadaran hukum atau dengan putusan-putusan nilai dari penduduk (rakyat, bevolking) atau lagi bahwa penerapan undang-undang secara harafiah tidak lagi berhasil-guna (doelmatig) untuk menyelesaikan konflik terkait atau akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak adil (onbillijk gevolgen). Pada pengambilan putusan tersebut, pilihannya pada dasarnya ditentukan oleh pemahamannya dalam suatu keterberian yang sudah berubah 15 16 atau pemahamannya pada keyakinan-keyakinan yang hidup di kalangan subyek hukum (orang-orang yang tunduk pada hukum, rechtsonderhorigen) tentang apa yang seharusnya atau yang patut. Ia adalah jurubicara undang-undang, tentu, namun juga, jika ia adalah seorang hakim yang baik, ia menyuarakan putusan-putusan kepentingan dan putusan-putusan penilaian dari kultur masyarakat sezamannya. Apa yang benar bagi hakim pada tataran-mikro, sungguh-sungguh berlaku lebih kuat lagi bagi perundang-undangan dan traktat-traktat yang berkenaan dengannya para perumusnya, pada tataran-makro, justru mengemban tugas untuk menciptakan hukum sezaman (kontemporer) yang baru. Apakah ihwalnya kini berkenaan dengan statuta (kedudukan) baru dari perempuan yang menikah atau dari orang asing atau dari olahragawan atau berkenaan dengan perundang-undangan mengenai bahasa yang baru atau tentang suatu penataan ekonomi yang baru dengan lebih banyak atau lebih sedikit campur tangan negara atau berkenaan dengan pembangunan suatu partisipasi demokratik paralel di samping lembaga-lembaga yang dipilih (badan perwakilan hasil pemilihan) yang sudah teruji sejak dahulu atau berkenaan dengan reorganisasi federal dari sebuah negara kesatuan atau berkenaan dengan dekolonisasi dan perkembangan dari suatu tatanan ekonomi internasional yang baru, berkenaan dengan persamaan: pendorong pembaharuan tidak datang dari dalam hukum melainkan dari keadaan-keadaan kemasyarakatan yang baru dan dari keyakinan-keyakinan baru tentang masyarakat, manusia dan hubungan-hubungan di antara mereka. 26. Jadi, hukum itu adalah dan harus merupakan suatu pencerminan dari suatu peradaban (beschaving). Kultur, dalam arti luas dan sesungguhnya ini, dan hukum sungguh-sungguh saling terjalin. Atau demikianlah seharusnya. Hukum merosot ke dalam dekadensi jika ia karena kekurangan-kekurangan dari para pembentuk hukum, memperlihatkan ketertinggalan berkenaan dengan fakta-fakta dan pemikiran-pemikiran yang berlaku atau yang mulai berkembang. Para pembentuk hukum yang menyandang kelemahan itu dapat merupakan individu-individu yang relasi-relasi hukumnya tidak menyesuaikan pada keadaankeadaan ekonomi yang baru atau pembentuk undang-undang yang tidak peka terhadap masalah-masalah dari masa depan, atau para hakim yang menerapkan suatu kaidah kuno begitu saja menuruti teksnya dan secara legalistik, atau, dalam hubungan-hubungan internasional, negara-negara yang berpegang teguh pada nasionalisme mereka. Dengan tidak atau kurang mengerahkan perhatian pada pemahaman-pemahaman dan kekuatankekuatan yang bekerja dalam masyarakat yang bersangkutan, menyebabkan hukum tertinggal dan menimbulkan ketidak-pastian, frustrasi, kekacau-balauan dan kemerosotan (verval). Banyak penulis telah mengerahkan kekuatan terbaik mereka pada upaya-upaya “membuka topeng” (ontmaskering) dari hukum, sebagai suatu ungkapan dari suatu pola kultur tertentu, gambaran manusia dan masyarakat tertentu. Dinyatakan demikian mereka memasuki sebuah pintu terbuka. Hukum itu terikat pada waktu, tempat, dan kultur, dan lebih dari itu, ia memang harus begitu jika ia ingin memenuhi fungsinya. Apa yang tersembunyi di belakang “pembukaan topeng”, itu adalah keyakinan bahwa aturan-aturan hukum atau struktur-struktur hukum tertentu atau bahkan bahasa dari hukum tetap menyandang tanda-tanda dari, atau tetap mengambil inspirasi mereka dari pandanganpandangan manusia dan masyarakat yang dipandang penulis-penulis terkait mengungguli, 16 17 tidak adil atau demi alasan tertentu tercela. Dalam arti itu mereka ikut berpartisipasi pada pertumbuhan dari hukum dari sudut suatu lahan-sumber sezamannya. 27. Kenyataan bahwa hukum diciptakan dari luar hukum, dalam derajat yang cukup besar, merelatifkan peranan dari yuris sebagai demikian (yuris sebagai yuris, jurist as such) dalam pembentukan hukum. Pada tataran dari perundang-undangan dan dari kebijakan (policy), maka hukum itu dibentuk oleh bukan yuris atau yuris yang bertindak dalam status (kapasitas) lain (in andere hoedanigheid). Mereka pada perkembangan hukum secara permanen digerakkan oleh bahan-bahan non-yuridikal yang menjadi sasaran-sasaran tujuan dari hukum: mereka mempertahankan filsafat-filsafat negara dan ideologi-ideologi, ikut berpartisipasi pada penegakan atau pada perubahan kaidah-kaidah etikal, bertujuan pada perbaikan-perbaikan sosial, ekonomikal, kultural. Dengan bertindak secara demikian mereka tidak pertama-tama bertindak sebagai teknisi dari hukum, melainkan sesuai dengan masalahnya (naar het geval) sebagai pengambil putusan kebijakan (policy makers), etisi, pereka-yasa sosial, dsb. Hal itu dalam lingkungan sendiri cenderung dipertahankan. Pembentuk undang-undang misalnya adalah lembaga politikal yang digerakkan oleh motif-motif lain ketimbang motif-motif yuridikal. Bagi pemerintah berlaku hal yang sama. Bantuan atau partisipasi dari para yuris tentu sangat layak untuk dianjurkan, sebab pada satu bidang yuris harus memenuhi suatu fungsi yang tidak dapat digantikan (oleh orang lain) yang juga orang tidak selalu membiarkannya (menugasinya) menjalankan fungsi tersebut; kepada yuris dilimpahkan tugas untuk menjaga agar hukum yang dirancang (het ontworpen recht) cocok (sesuai dengan, mempunyai tempat) dalam, dan konsisten dengan sistem hukum yang ada, agar inkonsistensi-inkonsistensi, pertentangan-pertentangan internal, tumpang-tindih, dan dengan demikian zona-konflik dicegah atau dihindarkan, bahwa redaktur (perumus) menghormati pemakaian bahasa undang-undang, dan sebagainya. Di sinilah letak tugas dinas-dinas (biro-biro) hukum dan di Belgia berlaku sebagai contoh pada tataran tertinggi adalah bagian perundang-undangan dari Dewan Negara (afdeling wetgeving van de Raad van State). Tiap orang akan mengakui bahwa kontribusi “yuridik murni” ini tidak menentukan bagi pembaharuan hukum (rechtsvernieuwing) atau untuk kebijakan (policy). 1.43. Pensituasian titik-titik tolak ini dalam suatu semangat zaman yang lebih umum. 28. Hal menggaris-bawahi makna historikal dan sifat evolutif dari hukum ini, menurut pandangan kami terkait pada semangat zaman kita. Perhatian pada historisitas dan kesadaran evolusi termasuk ke dalam ciri-ciri mencolok dari pemikiran kita dewasa ini. Asas evolusionistik telah mengubah secara mendasar sikap manusia berkenaan dengan masa lalu dan masa depan. Baginya masa lalu itu bukan sesuatu yang hilang hingga ia harus menghidupkannya lagi sebagai sebuah ideal (“renaissance”). Baik kebenaran maupun yang bernilai penuh, bagi manusia dewasa ini tidak begitu saja terletak di dalam masa lalu, sebaliknya. Kebenaran adalah sebuah penemuan yang progresif, bukan gagasan-gagasan yang ditautkan lagi pada yang sudah ada terlebih dahulu, melainkan gagasan-gagasan yang oleh kemanusiaan untuk sementara hilang karena ketidak bernilaian. Kebenaran terutama terletak di depan kita, tidak hanya atau bahkan tidak terutama di belakang kita. 17 18 Pemahaman ini kita pindahkan dari ilmu-ilmu eksakta ke ilmu-ilmu manusia. Orang selalu bertolak dari pengetahuan dan pemahaman yang telah diperoleh untuk selanjutnya terus menerobos ke dalam hakikat dari manusia dan dari alam, dan ini selalu dengan kesadaran bahwa orang dengan menggali terus lebih dalam maju satu langkah ke depan, namun dengan itu hanya telah menghasilkan kontribusi sementara dan relatif yang kemudian sekali lagi akan dilewatkan (ditinggalkan, tertinggal). Sikap kejiwaan yang sama berlaku untuk nilai, untuk yang baik secara etikal. Bahwa ihwalnya di masa lalu adalah baik, adalah sebuah idea yang sama menjalankan daya tarik yang sedikit seperti “tidak ada yang baru di bawah matahari” yang memilukan (meewarige). “Surga duniawi berada di depan kita”. Merujuk pada tradisi untuk memotivasi sebuah perintah atau sebuah larangan, mempunyai sedikit peluang untuk dapat diterima manusia modern. Lebih dari itu, kritik masyarakat (maatschappijkritiek) memilih butir acuannya tidak lagi dalam masa lalu, dengan suatu kerinduan misterius (onverhuld heimwee) pada suatu yang dianggap “masa lalu yang baik” (vermeend “oude goede tijd”), melainkan dalam masa kini dan bahkan dalam pikiran prospektif. Jauh lebih disadari ketimbang dahulu, manusia dengan demikian terarah ke masa depan. Manusia dan kemanusiaan hidup dan memberikan reaksi dengan beranjak dari suatu situasi peradaban material dan kerokhanian, ke suatu masa depan yang dalam tiap zaman secara kurang-lebih sadar dikonsepsikan lagi. Sebuah titik akhir tidaklah ada. Idea bahwa umat manusia setelah percobaan berabad-abad pada akhirnya akan mencapai bentuk pergaulan hidup (masyarakat), bentuk negara, bentuk kewibawaan dan bentuk hukum yang ideal atau akan berhasil mewujudkannya, pada sejumlah pemikir dari abad lalu masih berpengaruh, tetapi sekarang tidak lagi. Yang ada hanyalah stadia-peralihan. Pandangan evolutif ini menyebabkan penilaian yang lebih layak tentang masa lalu menjadi mungkin, sebab orang akan menilai masa lalu dengan memperhitungkan situasi material, keyakinan-keyakinan idiil dan persyaratan kehasil-gunaan yang berlaku pada masa itu dan tidak memperhitungkan yang dari zaman kita. Ia juga menyebabkan kerendahan hati yang lebih besar berkenaan dengan keberhasilan (veroveringen) dan perolehan-perolehan (verworvenheden) kita dewasa ini yang semuanya atau sebagian dengan segera akan ketinggalan (dilewati) atau setidaknya akan harus mengalami perubahan. 1.44. Pensituasian berkenaan dengan positivisme dan ajaran hukum kodrat. 29. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari perjuangan (pertarungan) aliran filsafat hukum. Sudah jelas bahwa titik-titik tolak kami akan ditentang sebagai historikalistik, relativistik dan bahkan sebagai nihilistik oleh para filsuf aliran hukum kodrat dan oleh semua yang berpegangan pada kriteria universal untuk legitimitas dari hukum. Orang akan memberikan kritik terhadap pengertian hukum sebagaimana kami memandangnya tidak hanya karena ia melayang-layang dan cepat berubah (zwevend en vlottend), melainkan bahwa ia lebih dari itu rentan terhadap berbagai petualangan politik dan penyimpangan etikal karena tidak adanya suatu pegangan substansial pada atau suatu kriterium yang jelas tentang baik dan buruk. Pada akhirnya, demikian orang akan menyatakan, dalam pandangan ini hukum itu adalah apa yang merupakan hukum; beranjak dari titik-titik tolak yang diajukan, orang paling tinggi hanya dapat menilai legalitas dari hukum, tetapi tidak legitimitasnya; titik-titik tolak tersebut membawa pada positivisme. 18 19 Dalam dua aspek titik-titik tolak kami sesungguhnya sama sekali menyimpang dari positivisme hukum. Hukum itu, kami menyatakan, pertama-tama ditentukan oleh faktorfaktor non-yuridikal, oleh faktor-faktor pra-yuridikal, oleh nilai-nilai (waarden) dan putusan-putusan nilai (waardeoordelen). Ia tidak dapat dijelaskan dan dilegitimasi secara mendasar oleh dirinya (hukum) sendiri, sehingga, dan itu adalah aspek kedua, Ilmu Hukum harus melibatkan faktor-faktor historikal, filosofikal, etikal, politikal, sosial, ekonomikal dan faktor-faktor lain ke dalam medan penelitiannya. Apa yang dapat menimbulkan kesan positivisme adalah keyakinan bahwa tidak terdapat nilai-nilai abadi dan universal yang dapat digunakan sebagai kriteria untuk menetapkan apa hukum yang baik dan yang buruk itu dan pasti tidak untuk mengkualifikasi aturanaturan dan struktur-struktur sebagai hukum yang berlaku dan sebagai demikian dialami sebagai “bukan-hukum”. Hukum dari rezim-nazi, contoh klasik, betapapun banyak dari bagian-bagiannya menimbulkan rasa muak (weerzinwekkend), adalah hukum: ia berlaku, telah diterapkan dan dilaksanakan. Bagi saya tampaknya terlalu mudah untuk sesudahnya, setelah penghancuran total rezim tersebut, menyebut hukum yang telah berlaku itu sebagai bukan-hukum berdasarkan pelanggaran-pelanggaran sistematikal terhadap nilai-nilai yang oleh kita dianggap fundamental. Jika konsekuen maka sejumlah besar aturan-aturan hukum dan struktur-struktur hukum yang dewasa ini berlaku di banyak negara di Timur, di Barat dan di Selatan, harus dinilai sebagai bukan-hukum, namun justru hal itu tidak dilakukan. Mereka yang mengklaim bahwa hukum untuk menjadi hukum harus memenuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah etikal, seharusnya memutuskan untuk tidak mengakui negara-negara dengan sistem hukum yang “unrichtig” (tidak adil). Namun tentang sikap yang konsekuen ini saya tidak menemukan jejaknya di dalam praktek maupun dalam kepustakaan filsafat hukum. Faktanya adalah bahwa negara-negara kita menjalin hubungan-hubungan diplomatik dan menutup traktat-traktat dengan negara-negara yang menyelenggarakan sistem yang disebut “unrichtig” itu dan telah lazim mendukung masuknya negara-negara tersebut ke dalam organisasi-organisasi internasional. Penetapan fakta-fakta empirikal ini menunjukkan bahwa mereka diterima dalam pergaulan hukum internasional dan dengan demikian dipandang sebagai tatanantatanan hukum yang bernilai penuh, terlepas dari kualitas rezim hukum yang telah dibangun dan ditegakkan mereka. 30. Itu tidak berarti, sekali lagi, bahwa keyakinan-keyakinan idiil dan kaidah-kaidah etikal, tidak menentukan bagi hukum, sebagai faktor-faktor pembentukan hukum, juga tidak bahwa filsuf hukum tidak mampu menyatakan putusan-putusan nilai berdasarkan (dengan merujuk pada) kriteria pra-yuridikal. Namun hal itu berarti, dan kami memaksudkan demikian, bahwa tidak terdapat nilai-nilai abadi, universal, transenden yang memungkinkan (toelaten) untuk menilai hukum dalam semua waktu (zaman) dan dalam semua kultur. Tiap zaman dan tiap kultur menganut nilai-nilai mereka sendiri dan melindungi serta memajukan mereka dengan hukum. Semua aliran filsafat hukum yang mencoba menunjuk nilai-nilai transenden yang terhadapnya hukum itu bagaimana pun dan di mana pun harus menyesuaikan diri dan yang dengan mengglobalisasi secara keras kita masukkan pada ajaran hukum kodrat, tidak memadai begitu dikonfrontasi dengan keadaan-keadaan dari zaman lain dan kultur lain. Bagaimana orang dapat menjelaskan bahwa abortus beranjak dari hukum kodrat klasik secara mutlak dinyatakan salah, sekarang dalam tatanan-tatanan hukum pidana dewasa ini dan yang akan datang 19 20 ditetapkan hanya secara bersyarat dapat dihukum atau sama sekali ditiadakan dari hukum pidana? Bagaimana orang menjelaskan berdasarkan nilai-nilai transenden, abadi, universal, perbudakan dan penghapusannya, penerapan penyiksaan dan hukuman mati serta pencabutannya, timbulnya negara hukum dan penolakan terhadapnya di banyak negara? Atas dasar hak apa kita boleh mengklaim bahwa perkawinan monogami adalah satu-satunya yang sesuai dengan martabat manusia yang fundamental dan universal? Bahkan idea hak asasi manusia yang padanya saya demikian terkait karena ia adalah kriterium fundamental untuk membedakan negara-negara demokratik barat dari berbagai bentuk rezim-rezim negara totaliter dan otokratik, orang tidak dapat begitu saja mengkualifikasi sebagai inheren pada tiap bentuk masyarakat yang terorganisasi secara yuridikal, betapapun kita dengan beranjak dari titik berdiri (pendirian) kita berharap perwujudan dari idea tersebut di negara-negara lain dan terutama di kalangan penduduk mereka. Kontak-kontak elementer dengan para pemikir dan yuris Asia dan Afrika menunjukkan betapa berbeda masalah kita tentang hubungan antara individu, masyarakat dan kekuasaan diajukan, yang di negara-negara mereka bertumpu pada tradisi kultural mereka. Sudah terlalu sering nilai-nilai barat dari zaman sendiri dianggap sebagai transenden, universal dan abadi, namun hal itu tidak membuktikan keilmiahan, melainkan imperialisme kultural. Akhirnya bagaimana berdasarkan prinsip pengakuan atas nilai manusiawi yang dianggap sesuai dengan hukum kodrat, mengatasi waktu (abadi) dan universal, dapat dijelaskan bahwa tatanan-tatanan hukum yang merujuk padanya menjalankan perang? Kita berada lebih dekat pada kebenaran dengan menyatakan bahwa tiap kultur mengembangkan nilai-nilainya sendiri dan ia diolah ke dalam sistem hukum, selangkah demi selangkah dan evolutif, berbeda-beda dalam waktu dan ruang. Manusia dan kemanusiaan tidak merealisasikan gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang sudah ada terlebih dahulu, melainkan mereka mengkonsepsikan sendiri nilai-nilai ini, dari zamannya sendiri dengan beranjak dari perolehan-perolehan eksistensial mereka dan membuatnya menjadi proyek masa depan mereka. Hal ini tidak menutup suatu penilaian sendiri terhadap tatanan-tatanan hukum lain dan nilai-nilai yang di dalamnya dilindungi atau diperjuangkan, tetapi suatu penilaian yang buruk belum memberikan kepada kita kewenangan untuk menyangkal karakter hukum dari tatanan-tatanan hukum tersebut. Di bawah ini kami akan mengemukakan tugas yang diberikan kepada Teori Hukum a.l. secara ilmiah menelusuri dampak gambaran-gambaran masa depan ini pada pembentukan hukum dan tatahukum-tatahukum konkret yang terikat pada waktu dan tempat. Tetapi, untuk mensituasikan Teori Hukum itu secara jelas, maka terlebih dahulu harus dibahas, setelah kutub Filsafat Hukum, kutub yang lainnya, yakni Dogmatika Hukum. 1.5. Dogmatika Hukum. 31. Orang dapat mempertanyakan apakah perkataan “Dogmatika Hukum” merupakan pilihan yang tepat. Bagi beberapa orang ia memiliki konotasi pejoratif, juga bagi saya. “Ajaran Hukum” (rechtsleer) atau “Kemahiran Hukum” (rechtskunde) mungkin lebih baik. Saya menggunakan “Dogmatika Hukum” berdasarkan konformisme, untuk menggambungkan saya ke dalam suatu semangat kolegialitas pada pemakaian kata yang sudah lazim dalam Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Dogmatika Hukum dapat diuraikan (didefinisikan) sebagai cabang dari Ilmu Hukum yang berkenaan dengan obyek-obyek (pokok-pokok pengaturan) dari hukum dan bahkan, 20 21 dalam proyek terluasnya, berkenaan dengan tata-hukum (rechtsbestel) dalam keseluruhannya, menghimpun bahan-bahan terberi yang relevan dan mengolahnya ke dalam suatu perkaitan yang koheren, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan tunggal tentang pokok-telaah yang diteliti, namun hal itu semata-mata berdasarkan pada sumber-sumber pengetahuan yang tersaji dalam hukum. 32. Dogmatika Hukum mengumpulkan bahan-bahan terberinya yang terdapat dalam perundang-undangan dan kegiatan untuk mempersiapkannya, dalam peradilan (yurisprudensi), dalam ajaran hukum, tergantung pada kasusnya dalam syarat-syarat yang biasa diperjanjikan dalam praktek dan persetujuan untuk turut serta pada suatu perjanjian (kontrak adhesif), dalam traktat-traktat, dsb. Ia menata dengan memisahkan (membagi, splitsen) dan menggabungkan, mencari kesamaan-kesamaan dan pertentanganpertentangan dengan obyek-obyek lain dari hukum, menunjukkan hubungan-hubungan saling mempengaruhi mereka, mensituasikan obyek yang dipelajari ke dalam keseluruhan tata-hukum dan memperlihatkan perkaitan pada bidang-bidang lain. Ia menelusuri bagaimana pokok-telaahnya memperoleh keberadaannya sendiri, bagaimana keadaannya dahulu dan dengan cara bagaimana pokok-telaah tersebut dalam evolusi dari perundangundangan, dalam peradilan, dan lain-lain memperoleh bentuknya yang sekarang. Ia dapat, dengan perbandingan hukum, merujuk pada tatanan-tatanan hukum luar negeri. Ia memperlihatkan kekosongan-kekosongan (leemten), kekurangan-kekurangan dan ketidak-konsistenan. Sering namun tidak selalu dan juga tidak mutlak perlu (lihat di depan), ia menyarankan atau memperjuangkan usulan-usulan “de lege ferenda” dengan suatu argumentasi yang dalam pandangannya bertumpu pada penelitian. Semua ini, dalam hukum. Kita ambil contoh tentang pertanggung-gugatan pemerintah karena perbuatan melanggar hukum, berdasarkan beberapa pasal yang jumlahnya sedikit dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belgia (pasal-pasal 1382 dan berikutnya) dan untuk selebihnya dibangun oleh yurisprudensi yang luas. Dogmatika Hukum memberikan kontribusi yang sepenuhnya ilmiah dengan mengumpulkan arrest-arrest dan vonis-vonis yang berjumlah besar dan menatanya secara logikal dan dengan melakukan hal itu memberikan suatu gambaran menyeluruh terikhtisar tentang syarat-syarat yang berdasarkannya pemerintah dapat dihukum untuk membayar ganti rugi, mensistematisasi berbagai kejadian kerugian (kerugian oleh fakta material, oleh suatu tindakan yuridikal, oleh kelalaian untuk membuat peraturan yang mengantisipasi masa depan, oleh informasi yang salah), menunjukkan cara yang dengannya pemulihan hak atau pembayaran ganti rugi diberikan dan perbedaan-perbedaannya dengan pengaturan pertanggung-gugatan yang berlaku bagi orang perorangan (swasta), menginformasikan bagaimana permasalahan tersebut ditangani di negara-negara tetangga, menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam sistem sendiri dan eventual memformulasikan usulan-usulan untuk perbaikan dari pengaturan. 33. Kegunaan pertama dari Dogmatika Hukum adalah upaya menemukan dan menghimpun bahan empirikal, sampai ke sudut-sudut terjauh dari hukum. Tugas utamanya adalah dalam penataan, dalam pengolahan sistematikal terhadap bahan-bahan tersebut. Ia menampilkan gambaran menyeluruh terikhtisar dan kejernihan dalam apa yang, tanpanya, hanya merupakan suatu kesemerawutan bahan-bahan terberi yang banyak yang tercerai berai. Ia mempresentasikan, secara global dan terpadu (sintetikal), 21 22 tingkat keadaan hukum. Dengan serta merta yuris akan merujuk kepadanya, begitu pembacaan biasa atas undang-undang tidak lagi cukup untuk penyelesaian masalahmasalah yang ia hadapi. 34. Tetapi, Dogmatika Hukum melakukan lebih banyak lagi: ia mengabstraksi dan ia menjelaskan (verklaren), setidak-tidaknya untuk sebagian dan dalam batas-batas dari disiplinnya. Tentang dua tugas ini kami akan membahas lebih jauh. Pengolahan sintetikal dan sistematikal membawa pada abstraksi dari banyaknya bahanbahan terberi yang tertata, sampai pada suatu tataran yang lebih dari pengertianpengertian (konsep-konsep) yang seolah-olah sebagai kemandirian-kemandirian dapat digunakan lebih jauh. Dengan bersaranakan pengertian-pengertian itu orang di masa depan dapat menghindari jalan berputar dari kasuistik yang lamban, sulit dan pada akhirnya tidak produktif. Oleh pengertian-pengertian yang lebih tinggi, hukum itu menjadi terikhtisar dan relatif saling berkaitan, setidaknya menjadi lebih komunikatif dan dengan demikian mudah dapat ditangani (hanteerbaar). Kita ambil contoh yang pernah digunakan: dengan suatu analisis atas undang-undang provinsi dan undang-undang kotamadya, dan juga yurisprudensi terkait, dan abstraksi dari sejumlah besar bahan-bahan terberi yang ditemukan dan ditata, maka Dogmatika Hukum sampai pada pengertian “desentralisasi”: suatu badan hukum yang didirikan oleh negara dengan undang-undang, yang berada di bawah pengawasan pemerintah negara (staatsbestuur) dan dilengkapi dengan kekuasaan mengambil putusan sendiri berkenaan dengan sejumlah urusan-urusan yang ditetapkan terlebih dahulu. Diuraikan secara demikian dan dilengkapi dengan penamaan, maka desentralisasi tanpa perbandinganperbandingan terinci yang panjang dapat digunakan untuk kejadian-kejadian lain yang jumlahnya tidak terbilang dan membawa pada lembaga-lembaga pemerintahan secara hukum ketatanegaraan yang didesentralisasikan secara teritorial tetapi juga fungsional yang baru, jika orang berpendapat bahwa kepentingan-kepentingan tertentu dilayani lebih baik oleh lembaga-lembaga dengan otonomi yang tidak diberikan dengan dekonsentrasi, – sebuah pengertian lain –, misalnya transportasi kereta api, transportasi tram, transportasi udara, penyiaran, pendidikan, pertanian, jaminan sosial, kredit umum. Dogmatika Hukum dapat melangkah maju di atas jalan yang sama dan dengan metode yang sama sebagai pegangan – mengabtraksi dari bahan-bahan terberi empirik yang sudah disintetisasikan – mengembangkan suatu dunia pengertian-pengertian yang luas: kuasi deliktual dan pertanggung-gugatan resiko, kewenangan hukum, kecakapan melakukan perbuatan hukum, badan hukum, subyek hukum, asas hukum, undang-undang (dibedakan dalam undang-undang formal dan materiil), peraturan, kaidah, akhirnya keseluruhan dari semua pengertian-pengertian fundamental yang tiap hari digunakan tiap yuris. Kumpulan ini, lebih baik penataan pengertian-pengertian ini, menjadi “Ajaran Hukum Umum”. Karena ada kemungkinan kekacauan bahasa berkenaan dengan apa yang kami sebut Teori Hukum, perlu diulangi bahwa Dogmatika Hukum sampai pada “Ajaran” ini dengan melakukan penelitian secara ilmiah-positif terhadap bahan-bahan terberi empirikal yang disajikan oleh tata-hukum sendiri tanpa dengan kata lain melangkah keluar dari hukum. Kami menyatakan bahwa lebih dari itu Dogmatika Hukum juga menjelaskan situasi dari suatu obyek hukum, setidaknya untuk sebagian. Dogmatika Hukum “menjelaskan” dan menjawab pertanyaan “mengapa hukum itu sebagaimana ia adanya” dengan menunjuk 22 23 pada kesaling-terhubungan dari peraturan-peraturan yang dalam perjalanan waktu yang satu dibangun di atas yang lain (dalam Dogmatika Hukum orang sering merujuk pada Hukum Romawi) telah membawa pada situasi dewasa ini, evolusi dalam putusan peradilan (yurisprudensi), cara yang berdasarkannya pembentuk undang-undang memberikan reaksi mendukung atau mengkoreksi peradilan, dsb. Demikianlah, sebuah keputusan raja bermuatan peraturan yang baru mengenai pengemasan produk-produk detail dapat dijelaskan dengan suatu pedoman EEG terkait, bersama-sama dengan pemberian kewenangan yang dalam undang-undang dilimpahkan kepada Raja yang berlaku sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan demikian, pedoman EEG dengan ketentuan dari traktat EEG mengenai penyesuaian perundang-undangan, undang-undang pemberian kewenangan Belgia dan traktat EEG dijelaskan dengan Undang Undang Dasar. Sebuah “penjelasan” yang tidak diragukan cukup elementer, tetapi secara yuridikal dapat sangat penting, dengan satu penunjukan sederhana pada matarantaimatarantai tak terputusan dari pembagian pemberian kewenangan normatif logikal yang satu di belakang yang lain yang berfungsi sebagai dasar hukum. Dengan cara begitu orang juga dapat menjelaskan bahwa Hof van Cassatie menghukum negara untuk membayar ganti rugi karena ia telah tetap lalai untuk membuat peraturan tertentu yang tentangnya seorang warga-hukum (rechtsonderhorige) berdasarkan undang-undang itu dapat mengharapkan keuntungan, dengan menunjuk pada yurisprudensi tetap tentang pertanggung-gugatan pemerintah karena suatu tindakan yang melawan hukum: yang satu secara logikal mengalir dari yang lain. Atau lagi: begitu hakim menetapkan pemerintah bertanggung-gugat karena ia tidak melengkapi dengan tanda-tanda peringatan yang jelas suatu rintangan di atas jalan umum yang tidak diharapkan, maka sesudahnya hakim juga secara logikal akan mengendalikan kekurangan atau kesalahan pada bentuk-bentuk informasi yang lain, misalnya jika administrasi memberikan penjelasan (informasi) penerangan yang salah yang menyebabkan seorang pemilik hak telah membiarkan berlalu tenggang waktu (termijn) yang dalam tenggang-waktu tersebut ia harus memasukkan permohonannya (misalnya untuk pensiun). Dogmatika Hukum terhadap hal itu dapat membatasi diri menjawab pertanyaan “mengapa” dengan cara ini, yakni dengan merujuk pada hukum yang ada dan konsekuensi-konsekuensi logikalnya yang tampak. Kecuali itu, vonis-vonis dan arrestarrest hampir tidak memuat sesuatu yang lebih: dalam motiveringnya mereka cukup dengan suatu penunjukan pada undang-undang atau dengan suatu argumentasi berdasarkan undang-undang tersebut atau dengan penunjukan pada putusan-putusan pengadilan terdahulu dan akibat logikalnya. Hakim harus tidak menyebutkan hal “mengapanya” dari putusan pengadilan terdahulu, “motif dari motifnya”. Demikian juga Dogmatika Hukum dapat membatasi diri terhadapnya, pada interpretasi sebuah undangundang, untuk merujuk pada kehendak dari pembentuk undang-undang sebagaimana yang terungkap dalam persiapan parlementer, tanpa harus menelusuri apa yang telah menggerakkan pembentuk undang-undang untuk melakukan pembaharuan yang hendak ia wujudkan dalam perundang-undangan terkait. Juga di sini tidak perlu mencari “motif dari motifnya”. 35. Orang dengan segera merasakan bahwa “penjelasan” yang ditemukan Dogmatika Hukum dalam hukum itu sendiri, untuk praktek sering sudah cukup namun pasti tidak mendalam. Karena itu kami menyatakan bahwa Dogmatika Hukum memang benar 23 24 menjelaskan, tetapi hanya “untuk sebagian”. Ihwalnya adalah bahwa karena alasan-alasan itu Dogmatika Hukum yang walaupun hampir secara keseluruhan mendukung pengembanan hukum, dalam keadaan-keadaan tertentu menampakkan keterbatasannya dan tidak memberikan penjelasan yang tuntas. Salah satu dari keadaan-keadaan itu adalah perubahan besar dari peradilan (yurisprudensi) tanpa perubahan undang-undang yang mendahuluinya. Arrest Flandria dari 1920 adalah contoh klasik dari hal itu. Untuk dapat menghukum pemerintah, berdasarkan perbuatan melanggar hukum, membayar ganti-rugi atas kerugian yang ditimbulkan kepada pribadi perseorangan (privepersoon), sudah mencukupi bahwa Hof van Cassatie tiba-tiba menyatakan berwenang untuk memutuskan tentang kerugian yang ditimbulkan oleh pemerintah, yang bertindak dalam pelaksanaan kekuasaan publiknya, tanpa menjelaskan mengapa ia, yang sementara itu bertumpu pada suatu perundangundangan yang belum berubah (pasal 1382 BW dan seterusnya), tentang hal ini telah memutuskan yang sama sekali berbeda ketimbang seminggu sebelumnya. Pertanyaan faktor-faktor apa yang telah mendorong para hakim menjalankan tindakan pengawasan (kontrole) yang dipertajam terhadap pemerintah yang oleh mereka dahulu dinyatakan sepenuhnya kebal (immuun), tidak termasuk ke dalam wilayah-telaah Dogmatika Hukum. Dogmatika Hukum juga tidak cukup diperlengkapi untuk mampu menghadapi situasi faktual yang baru. Biasa sebagaimana ia adanya, memotivasi hukum dengan beranjak dari hukum, ia dapat cenderung untuk memberikan reaksi konservatif dengan mengajukan sebagai satu-satunya argumen “bahwa ihwalnya adalah selalu demikian dan bahwa karena itu harus tetap demikian”. Sebuah contoh yang menggemparkan: terhadap pertanyaan dari parlemen tentang apakah para hakim seharusnya memperoleh kewenangan untuk tidak menerapkan sebuah undang-undang yang bertentangan dengan suatu kaidah internasional dan lebih mutakhir, tiga gurubesar telah menjawab negatif, dengan sebagai argumennya bahwa kewenangan yang demikian itu akan bertentangan dengan suatu pandangan yuridikal yang sudah mapan sejak dahulu kala. Jelas para gurubesar yang dikonsultasi berpandangan bahwa dengan beranjak dari suatu pola pikir dogmatik yuridikal (yang sudah lazim dalam Dogmatika Hukum), tidak dapat ditemukan bahan-bahan terberi yuridikal yang dapat memotivasi suatu pandangan hukum yang baru untuk mengemas kaidah-kaidah internasional (terutama kaidah-kaidah EG) yang selalu bertambah banyak, dengan kepastian hukum. Karena ia berpegangan, berdasarkan deontologi dari disiplinnya, pada apa yang dapat disajikan oleh hukum itu sendiri dalam berbagai sumbernya, maka Dogmatika Hukum menghadapi resiko tanpa kritik tunduk pada hukum. Contoh ini dapat mengilustrasikan hal ini. Menurut Undang Undang Dasar Belgia, pengadilan biasa berwenang untuk semua sengketa tentang hak-hak keperdataan (sipil) dan juga hak-hak “politikal”, kecuali, mengenai yang disebut terakhir, undang-undang menetapkan lain (pengecualian): sengketa tentang hak-hak politikal dengan demikian oleh pembentuk undang-undang dapat diberikan kepada badan peradilan (mahkamah) yang lain, apa yang dinamakan pengadilan administratif. Undang Undang Dasar tidak menetapkan apa hak-hak “keperdataan” dan apa hak-hak “politikal” itu, tetapi tidak pernah sungguh-sungguh diragukan bahwa hak pilih dan hak untuk dipilih (jus suffragii), hak untuk menduduki jabatan-jabatan publik (jus honorum), kewajiban membayar pajak (jus tributi) dan wajib dinas militer (jus militiae) adalah hak-hak atau kewajiban-kewajiban politikal dan karena itu dapat dikeluarkan dari kewenangan (yurisdiksi) hakim biasa. Dalam perjalanan waktu, 24 25 dalam kekacauan luar biasa telah dibentuk berbagai jenis pengadilan administratif (administratieve rechtskolleges) untuk sengketa yang sifatnya sangat berbeda-beda (kerugian perang, pensiun, jaminan sosial, pengangguran, kerugian pertambangan, dsb.). Terhadap pertanyaan apakah dengan itu Undang Undang Dasar telah dilanggar, beberapa penulis mengatasinya dengan argumen bahwa hakim tentang hal itu harus bertolak dari hal bahwa pembentuk undang-undang pada pembentukan mahkamah-mahkamah ini telah bertindak konstitusional: bukankah hukum Belgia (untuk sementara) masih melarang pengujian undang-undang pada Undang Undang Dasar oleh hakim, sehingga semua isi undang-undang oleh hakim harus diinterpretasi sebagai konstitusional; karena itu, jika pembentuk undang-undang membentuk pengadilan-pengadilan administratif baru maka sengketa-sengketa yang harus mereka adili berdasarkan ketentuan hukum adalah sengketa-sengketa tentang hak-hak politikal. Dengan demikian, ihwalnya (persoalannya) menjadi diletakkan di atas kepalanya. Dalam Undang Undang Dasar, sifat politikal dari suatu hak yang harus dilindungi adalah kriterium yang harus dipenuhi pembentuk undang-undang pada pembentukan badan-badan peradilan khusus (speciale rechtskolleges). Sekarang keberadaan dari sebuah badan peradilan khusus menentukan untuk sifat politikal dari hukum dan pada dasarnya pembentuk undang-undang tidak terikat lagi oleh suatu kriterium, sehingga Undang Undang Dasar untuk hal itu menjadi huruf-huruf mati. Bahwa hakim, dalam situasi permasalahan pengujian undang-undang dewasa ini, terpaksa harus tunduk (mengalah) terhadap pelanggaran Undang Undang Dasar, orang dengan tenang dapat menerima, namun bahwa Dogmatika Hukum begitu saja menyesuaikan diri pada putusan peradilan itu, menunjukkan resiko yang jelas dari dogmatisme. Dari contoh-contoh ini ternyata bahwa Dogmatika Hukum sering tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan kepada yuris yang mengajukan pertanyaan tentang dari mananya, mengapanya dan untuk apanya hukum itu atau, bahkan jika ia dapat memberikannya, ia tidak akan melakukannya, yang disebabkan oleh sempitnya batasbatas wilayah yang di dalamnya ia boleh berkiprah. 36. Inti dari masalahnya adalah bahwa Dogmatika Hukum hanya menggali sumbersumber hukum formal, tentu saja dalam arti luas (perundang-undangan, putusan peradilan, traktat-traktat, asas-asas hukum, kebiasaan) dan memandang hukum secara terisolasi seolah-olah tercabut dari sumber kehidupannya (lahan pengembangannya, lahan pembiakannya, voedingsbodem) yang sesungguhnya. Dogmatika Hukum tidak perlu menyebutkan bahwa tata-hukum adalah aktualisasi dari suatu pandangan negara demokratik-liberal yang secara relatif inkoheren, sebab pragmatikal, mengalami pengaruh dari suatu konsep masyarakat sosialistik. Ia berurusan dengan “pembentuk undangundang” yang dipandang berlaku sebagai pribadi monolitik mayestatikal yang tidak berpihak tanpa menyarankan (mensugestikan) bahwa di negara-negara kita undangundang itu sering terbentuk sebagai suatu kompromi antara kepentingan-kepentingan yang tidak dapat saling diperbandingkan setelah suatu pertarungan antar-partai politik di bawah tekanan kelompok-kelompok kepentingan yang pada kesempatan tertentu tidak ragu menggunakan kekerasan. Ia menetapkan bahwa peradilan ber-evolusi, mencari suatu logika internal dari evolusi ini namun mengabaikan sebab-sebab dari evolusi ini, yang dapat berupa suatu kepekaan etikal yang baru pada rakyat, suatu imperatif ekonomikal, 25 26 kekhawatiran pada pemberontakan serikat buruh, atau suatu perubahan perimbangan kekuasaan internasional. Bagi Dogmatika Hukum pada dasarnya hukum itu adalah hukum karena ia adalah hukum: sebuah kemandirian murni dengan suatu daya-hidup (levenskracht) sendiri, terlepas dari peristiwa-peristiwa kemasyarakatan. Instrumen kerjanya adalah sistematisasi berdasarkan kaidah-kaidah logikal. Lebih lagi, logika adalah “syahadat”nya (haar credo): ia menganggap, terdorong oleh disiplinnya, pembaharuan hukum itu adalah hanya kesimpulan-kesimpulan logikal. Ia tidak bertugas untuk mencari dari mana hukum itu datangnya, memenuhi tuntutan sosial apa, motif-motif kefilsafatan dan politikal apa yang menggerakannya dan ia juga menyandang kekurangan untuk menelaah secara kritikal legitimitas dari hukum. 37. Hal mengintegrasikan hukum ke dalam konteks kemasyarakatannya, sebagai suatu pencerminan dari masyarakat itu sendiri dan pandangan-pandangan tentang masyarakat yang berpengaruh di dalam masyarakat, dalam pandangan kami adalah tugas dari Teori Hukum. Untuk itu maka akan diteliti sumber pembiakan yang dari dalamnya hukum menimba kekuatan dan dinamikanya atau, jika orang menghendakinya, faktorfaktor yang menentukan pembentukan hukum, faktor-faktor yang disebut sumber-sumber hukum materiil. 1.6. Tugas Teori Hukum: percobaan mencapai integrasi interdisipliner. 38. Ilmu bertujuan untuk menemukan kebenaran. Dogmatika Hukum hanya dapat mencapai sebagian saja kebenaran sesungguhnya tentang hukum: bukankah ia dapat meletakkan karakter rancangan-terarah-pada-tujuan dari hukum dan karena itu fungsi tidak langsungnya tetap dibiarkan berada berada di luar medan-pengamatannya. Ini, sekali lagi, bukanlah penilaian negatif (merendahkan) tentang Dogmatika Hukum, melainkan pengakuan atas suatu ciri hakiki dari disiplinnya. Teori Hukum, sebagaimana kami memahaminya, harus berupaya mencapai ke belakang kebenaran yang lebih dalam dari hukum dengan suatu penelitian tentang latar-belakangnya dalam konteks yang lebih luas dari keseluruhan masyarakat. 39. Dogmatika Hukum mengumpulkan bahan-bahan terberi dari suatu tata-hukum yang ia sistematisasikan secara logikal, menata pada suatu tataran abstraksi, yang lebih tinggi menjadi pengertian-pengertian umum dan hingga derajat tertentu menjelaskan berdasarkan sarana-sarana yang tersedia dalam hukum. Di atasnya Teori Hukum membangun lebih jauh. Ia juga membatasi penelitiannya, berlawanan dengan Filsafat Hukum, pada suatu suasana hukum tertentu, suatu tatanan hukum nasional, tatanantatanan hukum yang sifatnya sama (misalnya sistem-sistem hukum dari negara-negara barat), suatu tatanan hukum internasional seperti tatanan hukum Masyarakat Eropa atau, lebih luas, hukum yang berlaku dalam pergaulan hukum internasional yang tidak terorganisasi. Namun, berbeda dari Dogmatika Hukum, Teori Hukum berupaya untuk menjelaskan hukum secara mendasar atau dengan kata lain, untuk memberikan jawaban atas pertanyaan ilmiah “mengapa hukum itu adalah sebagaimana ia adanya”, dengan suatu penelitian yang tidak membatasi diri, seperti Dogmatika Hukum, pada apa yang dapat ditemukan “sesuai dengan hukum” (“in rechte”), melainkan menerobos lebih dalam sampai pada landasan timbulnya dan lahan pembiakan dari hukum, mencari baik sebab26 27 sebab maupun motif-motifnya. Sebab-sebab dan motif-motif dari hukum telah kami kelompokkan, sebagai faktor-faktor pembentukan hukum, ke dalam dua kelompok pengertian yang mengglobal: “keterberian-keterberian faktual” dan “keyakinankeyakinan idiil”. 40. 40. Untuk mengilustrasikan hal ini, saya tampilkan suatu kenangan masa muda (jeugdherinnering). Pada permulaan pendidikan hukum kami, seorang gurubesar “perikatan” (verbintenis), prof. Robert Vandeputte, membahas masalah pertanggunggugatan. Ia adalah apa saja kecuali seorang teoretisi yang dangkal dan tidak jelas (sesudah melaksanakan fungsi kebijakan tinggi yang lain, untuk suatu jangka waktu lama ia menjabat gubernur Nationale Bank van Belgie dan sesudahnya, sebagai apa yang dinamakan “teknokrat”, artinya sebagai pakar yang independen bukan anggota partaipolitik, menjabat Menteri Keuangan), tetapi ia bagi saya tidak mendalam. Hukum pertanggung-gugatan klasik berdasarkan kesalahan berakar, demikian ia menguraikan, dalam suatu konsep negara sipil individualistik. Tiap individu adalah bebas dan sama (free and equal) dan boleh (berhak) mengharapkan buah dari kemampuan dan kekayaannya, namun dengan itu secara korelatif ia bertanggung-gugat jika ia menggunakan secara salah kemampuan dan kekayaannya. Jadi, kepadanya dapat ditimpakan kesalahan pribadi dan untuk kesalahan itu ia bertanggung-gugat secara subyektif dan wajib membayar ganti rugi kepada orang lain, yang dalam semua hal baginya adalah sesama subyek hukum, yang oleh tindakan yang salah itu telah dirugikan, sejauh tentu saja kesalahan dari pelaku oleh korban dibuktikan, sebab mengapa dalam suatu filsafat persamaan (gelijkheidsfilosofie) kesalahan pelaku cukup dipersangkakan saja? Berhadapan dengan itu terdapat apa yang dinamakan pertanggung-gugatan obyektif yang di Belgia (dan negara lain) mulai berkembang sekitar dan pada peralihan abad (19 ke 20) dengan perundang-undangan kecelakaan-kerja (arbeidsongevallenwetgeving) dari sudut wawasan atau filsafat yang total berbeda dan dalam suatu situasi faktual yang sudah berubah: pemusatan sejumlah besar pekerja sekitar mesin-mesin yang berbahaya dalam industri tidak hanya sangat memperbesar resiko kecelakaan melainkan juga telah menyebabkan pembuktian dan pensituasian (penlokasian) kesalahan hampir tidak mungkin dilakukan. Dari sudut suatu filsafat sosial yang menggeser aksen dari kebebasan dan persamaan yuridikal ke keadilan (billijkheid), ke keselamatan dan perlindungan atas pihak yang lemah dan lebih khusus atas proletariat-industri, maka hukum pertanggunggugatan klasik sudah tidak sesuai (memadai) lagi. Ihwalnya seharusnya tidak berkenaan dengan persoalan kesalahan secara etikal, melainkan tentang fakta dari kerugian; bagaimana pun juga korban harus, atas dasar-dasar etikal lain namun sama kuatnya, memperoleh ganti-rugi untuk kerugian material yang ia derita; pemberi kerja industri dipandang bertanggung-gugat karena ia telah menciptakan resiko sehingga korban dibebaskan dari kewajiban membuktikan kesalahan. Uraiannya sendiri adalah sederhana, tetapi ia memberikan pada hukum suatu kejelasan yang bersifat fundamental: orang tidak dapat memahami hukum dengan sungguh-sungguh, menjelaskan secara mendasar dan menguji nilainya jika orang hanya memusatkan perhatian pada teks-nya saja, kebiasaan dan asas-asas dan tidak pada situasi faktual yang ditata dari sudut eventual suatu wawasan kemasyarakatan (sociale visie) yang baru: tentang hukum orang tidak dapat berbicara secara bermakna jika sejak semula tidak mengetahui dari mana ia datang dan untuk apa ia telah dirancang, singkatnya “apa yang berada di belakangnya”. Adanya dua 27 28 pengaturan pertanggung-gugatan berdampingan dapat ditunjuk sebagai simtomatik untuk keseluruhan tatanan kita, yang semula dirancang berdasarkan terutama model kefilsafatan liberal yang formal dan nomokratikal, sementara sejak akhir abad sembilan belas berkenaan dengan apa yang menjadi isi dari kebijakan, menggali inspirasinya dari suatu filsafat negara teleokratik sosialistik: dua filsafat yang ternyata memang harus diakui tidak mungkin dipersatukan sepenuhnya, melainkan secara fundamental saling berbeda sehingga hal mempertahankan keseimbangan di antara keduanya tetap merupakan tugas yang sulit (delikaat). Guru saya tentang hal itu dapat membatasi diri untuk membahas berbagai sistem pertanggung-gugatan: dalam undang-undang dan yurisprudensi terdapat cukup banyak bahan untuk kuliah-kuliah panjang lebar. Dengan kata lain, ia dapat saja menangani kesempatan itu secara dogmatika hukum. “Penunjukan” yang ia berikan berdasarkan latar belakang informasi non-yuridikal adalah bersifat Teori Hukum. 41. Teori Hukum adalah sebuah upaya untuk pada kegiatan mempelajari hukum, mengintegrasikan lagi hukum ke dalam konteks total dari keterberian-keterberian faktual dan keyakinan-keyakinan idiil yang hidup yang terkait padanya, singkatnya: mengintegrasikannya ke dalam masyarakat (pergaulan hidup). 42. Tiap ilmu atau tiap cabang ilmu membedakan diri dari yang lain tidak terutama oleh pokok-telaahnya (obyeknya) tetapi oleh metodenya, yakni cara khas yang dengannya orang bekerja untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Metode dari Teori Hukum tidak dapat lain kecuali interdisipliner. Dengan cara demikian itu, Teori Hukum melaksanakan suatu fungsi menggabungkan (overkoepelen) dan, lebih lagi, mensintetisasi dalam keseluruhan dari Ilmu Hukum. Untuk tugas integrasinya itu, dengan demikian, dipenuhi oleh suatu metode interdisipliner sintetikal. Ihwalnya tipikal bagi roh barat untuk dengan analisis mencoba membuat gambaran menyeluruh terikhtisar tentang realitas sebagaimana orang secara eksistensial mengalami realitas tersebut dalam keseluruhannya. Realitas tersebut diuraikan (dijabarkan) ke dalam bahan-bahan terberi atau aspek-aspek yang pada pandangan pertama memperlihatkan kesejenisan dan yang kemudian ditata berdasarkan jenisnya dan sebagai demikian secara tersendiri, diangkat dari totalitasnya, dengan cara yang sesuai dengan pokok-telaahnya (obyeknya) – metode – dipelajari. Pengetahuan terspesialisasi dan disiplin-disiplin ilmiah yang berdiri sendiri-sendiri adalah akibat dari upaya tersebut. Penguasaan secara intelektual atas lingkungan hidup sendiri dilaksanakan dengan mengikuti semboyan “pecah dan kuasai” (divide and rule, divide et impera): pisahkan bahan-bahan terberi yang satu dari yang lainnya untuk dapat mengerti mereka dan dengan cara demikian untuk dapat memegang dan menguasai mereka. Menurut kami, pendekatan analitikal tampaknya alamiah (wajar) dan bahkan tidak dapat dielakkan (mutlak perlu) agar menguasai cara untuk dapat mengendalikan dan menggunakannya secara kreatif. Tingkat perkembangan dan kekuasaan dari barat, dengan bangga (sombong) dinyatakan sebagai hasil dari penelitian analitikal, ilmiah, terspesialisasi dan penerapan secara konsekuen hasil-hasilnya. Namun sama sudah-dengan-sendirinya sebagaimana ia tampak bagi kita mutlak perlu dan sangat berhasil, penggolongan (pembagian) karya ilmiah ini ke dalam disiplin-disiplin yang semakin banyak jumlahnya dan semakin terspesialisasi ini membawa serta pula bahaya pengosongan (ont-ledigen) realitas dengan penjabaran, 28 29 dengan kata lain melepaskan (menanggalkan) realitas dari densitas majemuknya yang bernilai penuh. Teori Hukum harus dapat secara ilmiah menampilkan secara layak densitas dari kenyataan ini sebagaimana ia dalam keseluruhannya dialami oleh tiap orang yang berurusan dengan hukum atau yang berpartisipasi pada pembentukan hukum. Kenyataan mewujudkan suatu keseluruhan, kebenaran yang tidak dapat dipecah (ondeelbaar): tidak ada realitas yuridikal dan tidak ada kebenaran yuridikal, namun yang ada adalah realitas dan kebenaran kemanusiaan dan kemasyarakatan, yang di dalamnya hukum mensituasikan diri. Pada akhirnya, hal mempelajari aspek hukum secara terpisah akan menjadi tidak ilmiah karena tidak setia pada kebenaran. Juga dipandang dari sisi ini, Teori Hukum sangat dekat dengan praktek (lihat butir 1.1.). Praktisi hukum mengetahui, bertindak dalam profesi apapun, bahwa orang memperoleh kebenaran lebih banyak dalam lorong-lorong dari gedung pengadilan ketimbang selama berlangsungnya persidangan, lebih banyak di belakang pintu-pintu tertutup ketimbang di sidang terbuka; bahwa orang untuk masalah yang sedang ditangani tidak dapat dihindari dari mengambil informasi dari pemberitahuan-pemberitahuan “off the record” selama berlangsungnya rapat-rapat kebijakan, pembicaraan-pembicaraan pendahuluan setengah resmi dan percakapan kolegial. Orang hanya mencapai “momen dari kebenaran”, jika telah mengenali dan mengerti keseluruhan urusan atau perkara, dalam semua aspekaspeknya dan tidak hanya dalam aspek yuridikalnya saja. Teori Hukum harus memulihkan kembali otentisitas kejadian-kejadian hukum (rechtsgebeuren) hingga tampak dalam keutuhannya. Dengan ambisi yang demikian itu, dan hanya pada pandangan pertama hal itu paradoksal, Teori Hukum berada lebih dekat pada praktek ketimbang Dogmatika Hukum. Apa yang orang ketahui tentang pembaharuan negara Belgia setelah membaca Undang Undang Dasar yang telah diubah dan undang-undang pelaksanaannya, apa yang orang ketahui tentang “the rise and fall” dari EURATOM pada pembacaan traktat yang membentuk Masyarakat Eropa yang ketiga itu, juga setelah mempelajari dengan sungguh-sungguh komentar-komentar dogmatikal hukum (di bidang Dogmatika Hukum) yang mengulas hal itu? Hal menjelaskan pokok-pokok pengaturan hukum dengan memenuhi sosok mereka yang sungguh-sungguh hidup, menuntut suatu studi yang lebih luas yang tidak dapat lain kecuali interdisipliner. 43. Ilmu Hukum adalah sebuah ilmu masyarakat (maatschappij-wetenschap) yang menyendirikan dan meneliti aspek hukum di dalam masyarakat, namun banyak ilmu tetangga (buurwetenschappen) yang mempelajari aspek-aspek lain dari masyarakat yang sama: Filsafat dan dengan sendirinya cabang-cabang Etika, Sejarah, Sosiologi, Politologi, Psikologi Sosial, Ekonomi, Etnologi atau Antropologi Budaya. Ilmu-ilmu itu begitu terserap ke dalam obyek studi mereka sendiri, dalam kegiatan mereka sendiri, dalam metode-metode sendiri, dalam pertarungan-metode dengan jargon sendiri sehingga mereka dihadapkan pada resiko terisolasi, paralel dan dengan demikian terpisah dari disiplin-disiplin lain di sampingnya yang setara (nevendisciplines), tanpa atau dengan sedikit komunikasi yang satu dengan yang lainnya. Tentang berbagai bidang pengetahuan ilmiah terisolasi ini, Aldous Huxley mengatakan bahwa mereka “adalah suatu kumpulan kelompok-kelompok selibat yang terorganisasi yang menjalani kehidupan terisolasi dalam sel-sel biara yang terpisah, yang dengan sendirinya (wajar saja jika) tidak produktif”. Kami menerima dan sependapat dengan sarannya untuk 29 30 “hendaknya pembagian akademik yang arbitrer dalam obyek-obyek tidak merengut keluar jaringan yang terjalin secara erat dari kenyataan dan membuatnya menjadi tidak bermakna”. 44. Teori Hukum harus berupaya untuk memulihkan kesatuan antara aspek hukum dan kenyataan kemasyarakatan, sekali lagi mempersatukan keberbagaian yang ditata oleh ilmu-ilmu dan keharusan-keharusan akademik ke dalam suatu gambaran menyeluruh yang setia pada kebenaran. Untuk itu maka Teori Hukum akan harus mengandalkan (memanfaatkan, merujuk pada) ilmu-ilmu yang baru saja disebutkan, karena faktor-faktor pembentukan hukum yang berdasarkannya Teori Hukum harus menjelaskan hukum, adalah pokok-pokok telaah (obyek-obyek) dari ilmu-ilmu ini. Filsafat. Yang menentukan bagi keseluruhan tata-hukum adalah pandangan-pandangan fundamental tentang peranan dan tugas dari sebuah masyarakat yang terorganisasi dan tempat manusia di dalamnya, khususnya filsafat-filsafat negara (anarkhisme, liberalisme, cita-negara hukum, sosialisme, totaliterisme), pandangan-pandangan tentang bentukbentuk kekuasaan (demokrasi, otokrasi, pemisahan kekuasaan, asas legalitas), pandangan-pandangan tentang bentuk negara (unitarisme, federalisme, konfederalisme), dan dalam kerangka itu filsafat-filsafat hukum spesifik tentang peranan, landasan, sumber legitimitas dari hukum. Pandangan-pandangan negara dan pandangan-pandangan hukum ini sendiri berkiprah dalam filsafat-filsafat, gambaran-gambaran dunia dan manusia yang lebih luas atau lebih umum yang dalam suatu lingkungan kultur menentukan semangat zaman. Etika. Pandangan-pandangan moral yang diterima dalam suatu masyarakat tertentu tentang baik dan buruk, tentang apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya, dan apa dari yang baik itu yang seyogianya harus dilindungi dan dimajukan oleh hukum, apa yang sebagai hal yang buruk yang seyogianya harus dikendalikan dan diperangi oleh hukum, mewujudkan “nada-nada bawah yang menyertainya” (landasan moral, ondertoon) dari hukum, yang karena itu bahkan disebut juga “hukum pra-yuridikal”. Sejarah. Tidak ada Teori Hukum yang dapat mengabaikan untuk mempelajari dalam situasi kemasyarakatan apa (politikal, kemiliteran, ekonomikal, kultural dan keagamaan) lembaga-lembaga dan aturan-aturan hukum telah terbentuk. Dalam suatu filsafat hukum yang memandang hukum sebagai produk (resultante) dari perancangan yang disituasikan secara historikal, Sejarah menempati posisi sangat penting yang sangat menonjol, lebih lagi bahwa ia menyebabkan penggabungan atau pencakupan semuanya, baik fakta-fakta maupun gagasan-gagasan. Sosiologi. Bahan-bahan terberi demografikal, akibat-akibat dari keterberian-keterberian tersebut, diferensiasi dalam pelapisan sosial, pembentukan kelompok, sebab-sebab dan motif-motif perilaku sosial, interaksi di antara individu-individu dan kelompok-kelompok dan antara lain perimbangan kekuasaan, adalah obyek-obyek telaah, di samping banyak yang lainnya, dari Sosiologi, yang untuk memahami dan menjelaskan hukum sebagai gejala sosial adalah sangat penting. Politologi menggabungkan diri padanya dengan studinya tentang semua hal yang berkaitan dengan perebutan (verovering), penggunaan dan dampak-dampak kekuasaan memutuskan kebijakan (beleidsmacht, policy power) dalam suatu masyarakat yang terorganisasi. Politik yang secara langsung terarah pada penataan ulang yuridikal (juridische hervorming) bagi Teori Hukum mempunyai arti penting secara langsung. 30 31 Psikologi Sosial. Dengan penelitiannya atas perilaku manusia dalam konteks kemasyarakatan, baik antar-manusia maupun berkenaan dengan lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok dan bentuk-bentuk pengungkapannya (penampilannya) di dalam masyarakat, ia sampai sekarang dalam Ilmu Hukum kurang memperoleh perhatian, namun hal itu sangat salah. Ekonomi. Hal memperoleh dan pembagian barang-barang, dalam suatu masyarakat yang memandang kepentingan materiil sebagai tema utama dari kegiatan politikalnya (juga dalam apa yang dinamakan sektor sosial), adalah sangat menentukan sebagai faktorfaktor pembentukan hukum. Hukum tidak dapat dijelaskan tanpa masukan (kontribusi) dari Ilmu Ekonomi. Antropologi Budaya yang mempelajari kultur-kultur dalam semua aspek mereka, struktur sosial, perkerabatan, organisasi-organisasi politik, teknik, ekonomi, religi, dan lain-lain, bagi teoretisi hukum adalah sangat penting, karena ia mensituasikan hukum sebagai suatu aspek dari kultur dalam perkaitan yang umum. Dalam arti aslinya dari Etnologi, ia memberikan informasi tentang peradaban dari bangsa-bangsa non-barat yang dengan mereka harus diciptakan komunikasi yuridikal yang erat: pembentukan hukum kita sendiri akan ikut ditentukan oleh hal itu. 45. Akan menarik perhatian bahwa tidak pertama-tama berkenaan dengan Filsafat Hukum, dan lebih kurang lagi tentang Sejarah Hukum, Sosiologi Hukum dll. Melainkan tentang Filsafat, Sejarah, Sosiologi saja. Itu bukanlah hal kebetulan. Liberalisme sebagai teori ekonomi, filsafat negara dan filsafat hukum (dalam urutan itu) adalah hanya suatu bagian dari Filsafat Pencerahan (Aufklaerung) yang lebih luas yang sejak permulaan abad delapan belas telah memberikan wajahnya pada kultur kita dan untuk sebagian masih melakukan. Marx adalah bukan filsuf hukum, namun sistem hukum kita dalam substansi teleokratikalnya dalam derajat yang besar berasal dari Marx. Gerakan perempuan yang telah menimbulkan perubahan-perubahan penting pada hukum publik dan hukum perdata kita, adalah, sampai pembaharuan-pembaharuan ini, bukan obyektelaah dari sejarah tentang hukum, demikian juga halnya dengan dekolonisasi yang walaupun demikian telah mendorong hukum internasional ke dalam jalur-jalur lain, misalnya berkaitan dengan hukum laut, suatu obyek-telaah Sejarah Hukum yang spesifik. 46. Karena itu hal tersebut membuktikan kebijakan ilmiah dan teoretikal bidang hukum (scientific and legal theoretical wisdom) untuk memasukkan ilmu-ilmu ini (atau bagian terbesar dari mereka) ke dalam rencana pendidikan (kurikulum) dari fakultasfakultas hukum kita. Matakuliah-matakuliah itu memang tidak selalu dikuliahkan dalam perspektif yang dimaksud. Mereka kebanyakan dikuliahkan masing-masing sebagaimana adanya mereka sebagai suatu disiplin mandiri dan tidak dalam fungsi dari hukum dan karakter sebagai faktor dalam pembentukan hukum. Karena itu mereka beresiko menjadi suatu timbunan dari hal-hal yang dianggap layak diketahui, yang satu di samping yang lain, yang memberikan kontribusi pada pengetahuan umum yang harus disandang tiap intelektual, namun tidak dikonsentrasikan menjadi poros dari proyek pendidikan, khususnya dari hukum. Jadi, sintesis yang diperlukan untuk suatu pemahaman hukum secara teoretikal sering tidak ditampilkan. Namun, bahkan jika hal itu terjadi, maka hal itu baru merupakan setengah dari jembatan itu. Lengkungan jembatan yang lainnya akan harus dibangun dari sisi matakuliah-matakuliah hukum, untuk tiap pokok-telaah yang 31 32 dibahas, sesuai dengan apa yang dalam fakta-fakta kemasyarakatan dan gagasan telah menentukan. Karena penunjukan pada latar belakang dari hukum ini juga sering tetap berada pada sisi itu, maka sintesis teoretikal hukum itu tidak terbentuk dan sebaliknya keadaan terpecah belah spesialistik tersebut tetap dipertahankan. Jadi, pendidikan kita pada pokoknya tetap analitikal dan setara. Kita menyerahkan urusan ini kepada para alumni kita untuk di kemudian hari bertumpu pada kekuatan sendiri, dengan mempertimbangkan suatu ideal humanistik yang tampak relatif kabur dari upaya mewujudkan kebenaran dan nilai, sekali lagi memulihkan kesatuan dari hukum dan masyarakat. 47. Metode interdisipliner dari Teori Hukum menimbulkan masalah-masalah. Sekali lagi sependapat dengan Aldous Huxley yang akan kami kutip untuk terakhir kalinya, upaya integrasi ini adalah “suatu rencana akbar yang mustahil, namun sebagai imbangan terhadap perpecahan akademik dan spesialisasi jelas layak dicoba, betapapun hasilnya akan tidak sempurna”. 48. Pertama-tama tampil masalah hal dapat dilaksanakannya atau operasionalitas: bagaimana orang harus bekerja pada suatu penelitian bidang Teori Hukum secara interdisipliner? Orang dapat bertolak dari kemampuan peneliti untuk lewat pembacaan yang luas menghimpun informasi ilmiah kesejarahan, sosiologikal, kefilsafatan dan bidang-bidang lain, tergantung kasusnya, artinya tergantung penilaian tentang relevansi dari disiplin atau disiplin-disiplin untuk tema penelitiannya. Ia sendiri dapat, membangun di atasnya, dalam disiplin-disiplin yang dipilihnya melangkah lebih jauh dan melaksanakan penelitian dengan metode khas dari disiplin-disiplin tersebut. Suatu penelitian yang lebih mendasar mungkin sekali akan menuntut kerja-sama dari para spesialis seolah-olah kepada mereka “diborongkan” sebagai “team-work” dalam perundingan (dialog) permanen (terus menerus) dengan pemimpin proyek yang seyogianya seorang teoretisi hukum, dengan tujuan (terarah) pada suatu sintesis bersama nantinya. Bahwa team-work ini memunculkan kesulitan-kesulitan tidak seorang pun akan menyangkal, namun ini adalah biaya yang harus dibayar untuk suatu sintesis yang sesetia mungkin menunjuk pada faktor-faktor pembentukan hukum. 49. Yang lebih penting, kedua, adalah masalah landasan (hak) keberadaan dari Teori Hukum itu sendiri. Jika sebuah ilmu membedakan diri dari yang lain, tidak oleh obyek penelitiannya, melainkan oleh pengajuan masalah spesifiknya dan dalam kaitan dengan itu metodologi yang dikembangkan, maka, demikian orang dapat menyatakan, Teori Hukum sebagai penelitian interdisipliner memencar ke dalam sekian banyak disiplin sesuai atau mengikuti banyaknya metode-metode yang digunakan. Terhadap ini orang dapat menjawab bahwa Teori Hukum memberikan pimpinan pada penelitian, karena ia selalu hadir agar obyek penelitian sebagai gejala yuridikal dapat tetap pada sasaran titik bidik (vizier) “dengan mengingat” hukum dan demi hukum sebagaimana kami sudah mengatakan, tidak demi Sejarah, atau demi Sosiologi, atau demi Filsafat dan bahwa pada akhirnya bertanggung-jawab atas pengolahan sintetikal terhadap hasil-hasil penelitian dari ilmu-ilmu yang lain. Namun kemudian timbul pertanyaan atas dasar apa Teori Hukum dapat bertumpu untuk dengan cara demikian ia menempatkan diri di atas disiplindisiplin keilmuan yang sudah mapan, sebagai ilmu mencakup atau ilmu-super pada 32 33 “tataran-meta” (meta-niveau) dan kriteria ilmiah apa yang ia gunakan untuk mengambil atau tidak mengambil kontribusi dari ilmu-ilmu yang lain itu. Van den Bergh menulis bahwa terdapat banyak ilmu yang menyibukkan diri dengan kenyataan mempelajari mata – Anatomi, Biologi, Biokimia, Fisika, Neurologi, dsb. – namun demikian tidak seorang pun tentang hal itu akan memikirkan untuk mendefinisikan ilmu-ilmu itu sebagai Ilmuilmu Mata (“Rechtsgeschiedenis”, Rechtsfilosofie & Rechtstheorie, 1974: 17). Sebaliknya kami berpendapat bahwa Ilmu Kedokteran Mata (oogheelkunde) atau Oftalmologi itu memang ada, yakni sebagai suatu spesialisme keilmuan yang bernilai penuh (dengan matakuliah akademik, kepustakaan, jurnal-jurnal, kongres-kongres, dll.), sebagai suatu cabang dari Ilmu Kedokteran, sama seperti Teori Hukum adalah suatu cabang dari Ilmu Hukum, yang merujuk pada sejumlah cabang-cabang ilmu yang otonom dan mengolah serta mensintetisasi semua bahan-bahan terberi yang dihasilkan dari penelitian ilmu-ilmu tersebut, menjadi sarana diagnosis dan terapi-terapi yang relevan untuk mata dan ini pada akhirnya atas dasar kewibawaan sendiri dari Oftalmologi. Hal yang sama juga berlaku untuk cabang-cabang ilmu yang baru seperti Ekologi dan Polemologi dan bahkan untuk disiplin-disiplin keilmuan lain, yang kini sudah menjadi klasik: atau apakah orang mengira bahwa Ekonomi sebagai ilmu yang menjelaskan (verklarende wetenschap) tidak mempunyai perhatian atas bahan-bahan terberi dari Ilmuilmu Sosial yang lain atau dari Psikologi Sosial, untuk hanya menyebutkan beberapa saja? 50. Untuk ilustrasi, sebuah contoh dari suatu penelitian bidang Teori Hukum. Dalam hukum dibuat pembedaan yang jelas antara hak-hak asasi sipil dan politik (menyatakan pendapat, pers, berkumpul, berserikat, pendidikan, hak milik, hak pilih dan hak dipilih) dan hak-hak asasi sosial, ekonomi dan kultural (hak atas pekerjaan, atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas informasi, hak atas ketenteraman dan waktu bebas, dsb.). Dua jenis hak-hak asasi ini ditangani secara terpisah, antara lain dalam Konvensi-konvensi PBB dari tahun 1966. Walaupun digunakan perkataan “hak-hak asasi” yang sama, namun isi (substansi) dan daya dukung dari hak-hak tersebut dipandang berbeda: hak-hak asasi dari jenis pertama merupakan hak-hak subyektif yang tentangnya tiap individu dapat menuntut pemenuhannya, sedangkan tentang jenis kedua merupakan tugas-tugas programatikal yang ditujukan kepada pemerintah untuk mewujudkan tujuan tertentu, tanpa orang-orang secara individual berdasarkannya dapat merujuk, seperti berdasarkan hak-hak. Orang dapat menangani kedua jenis hak-hak asasi itu secara Dogmatika Hukum, dalam penjabarannya pada hukum positif, dan menetapkan bahwa tiap bagian dari hak-hak asasi sosial-ekonomikal dapat dipersatukan dengan kebebasan-kebebasan klasik: orang dapat membagikan tugas kepada pemerintah untuk secara aktif bertindak untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan kemasyarakatan dan pada saat yang sama menuntut pemerintah yang sama itu untuk melindungi dalam kepribadiannya dan dalam hak menentukan tentang dirinya dan kekayaannya. Tetapi itu baru sebagian saja dari kebenaran. Kedua jenis hak-hak asasi itu bertumpu pada filsafat-filsafat negara yang secara fundamental berbeda-beda yang dikembangkan dalam situasi-situasi historikal tertentu. 51. Hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan klasik bertumpu pada suatu filsafat negara liberal yang memandang manusia, sebagai suatu keterberian alami yang tidak 33 34 dapat diderivasi balik pada sesuatu yang lain, sebagai pendukung asli dari semua hak. Negara diciptakan oleh orang-orang (individualisme, atomisme), yang dalam segala hal sama, melalui pembagian kewenangan-kewenangan secara eksplisit (kontrak sosial) yang bertujuan untuk melindungi kebebasan dan keamanan fisik tiap orang dan memberikan kepastian hukum. Dalam filsafat ini, kewenangan-kewenangan dari negara itu terbatas: ia hanya bertindak untuk menjamin keamanan internal dan eksternal, mengatur saranasarana lalu-lintas (alat tukar-menukar, verkeersmiddelen) dan untuk memberlakukan aturan-aturan perilaku individual yang berlaku secara sama bagi tiap orang dan oleh tiap orang dapat secara bebas digunakan untuk tujuan-tujuan masing-masing. Karena itu negara liberal itu pada dasarnya nomokratikal. Orang dapat memberikan kewenangankewenangan yang lebih luas kepada negara dan karena itu membolehkan negara membatasi kebebasan individual, namun bagaimanapun tetap dipertahankan bahwa seperangkat inti kebebasan dan hak pribadi dikeluarkan dari kewenangan negara: hak-hak dan kebebasan-kebebasan fundamental, yang berdasarkannya warga masyarakat (warganegara) merujuk dalam melawan kekuasaan negara. Dalam suatu nomokrasi, kekuasaan negara tertinggi adalah kekuasaan pembentukan undang-undang yang di dalamnya para wakil rakyat memperinci lebih lanjut kontrak sosialnya. Pemerintah ditundukkan padanya. 52. Gagasan hak asasi sosial-ekonomi dan kultural bertumpu pada suatu filsafat sosialistik yang tidak terlalu meletakkan tekanan pada warga-masyarakat sebagai individu tetapi lebih banyak pada warga-masyarakat sebagai anggota dari suatu kelas dan, lewat perluasan, dari kelompok-kelompok yang ditentukan oleh pekerjaan (profesi), umur, kelamin, keyakinan dan bahkan kesehatan. Perbedaan dari hal itu harus dikoreksi oleh negara dengan suatu kebijakan (policy) demi keuntungan kelompok-kelompok yang memperoleh bagian yang kurang atau dari kelompok-kelompok (juga industri) yang kegiatan-kegiatannya untuk kepentingan umum dianggap sebagai esensial. Negara menjadi teleokratik: ia berupaya mencapai tujuan-tujuan tertentu tidak hanya dengan tindakan normatif yang keluasannya semakin meningkat melainkan terutama dengan berbagai prestasi seperti subsidi-subsidi, pelayanan, produksi sendiri, partisipasi dalam perdagangan, industri dan moneter. Karena itu, intensitas kekuasaan digeser dari pembentukan undang-undang ke pemerintahan (bestuur) yang di dalamnya para wakil dari berbagai kelompok kepentingan tidak hanya memberikan nasihat tetapi juga ikut mengurus, memainkan peranan yang menentukan berkenaan dengan perumusan tujuantujuan dan menentukan sarana-sarana yang akan digunakan. Hak-hak asasi sosial, ekonomikal dan kultural mencakup tujuan-tujuan yang dianggap sangat penting demi keuntungan kelompok-kelompok yang perlu didukung (para pekerja, petani, kaum perempuan, orang-orang muda, orang yang sakit dan cacat, kelompok-kelompok minoritas secara ideologikal, filosofikal, dll.). 53. Dikemukakan dengan cara begitu, perbedaan antara dua jenis hak-hak asasi tersebut berkenaan dengan satu dari masalah-masalah inti terpenting dari hukum dan Ilmu Negara: pertanyaan tentang dapat dipersatukannya dua konsep negara dan pertanyaan tentang suatu keseimbangan antara keduanya yang mungkin dan koheren. Masalah-masalah ini adalah sangat padat (mendesak, pregnant), baik dalam suasana nasional maupun dalam suasana internasional. 34 35 Dalam tatanan hukum internasional hal itu tampak bahwa pendekatan atas hak-hak asasi yang berbeda, merupakan akar dari pembagian negara-negara Eropa ke dalam dua “blok ideologikal”. Pertentangan fundamental ini dalam aspek-aspek yuridikalnya, sangat kuat mengemuka pada Konferensi Keamanan dan Kerjasama Eropa (Konferentie voor Europese Veiligheid en Samenwerking, KEVS) yang telah mengarahkan perumusan Slotakte van Helsinki dan sesudahnya pada konferensi pengujian di Belgrado dan Madrid. Yang berkenaan dengan tatanan-tatanan hukum nasional, dalam berbagai Undang Undang Dasar negara-negara Barat, telah dimuat hak-hak asasi sosial, ekonomikal dan kultural. Di Belgia, Pernyataan-pernyataan terakhir yang mengharuskan untuk melakukan peninjauan-ulang Undang Undang Dasar menetapkan suatu ketentuan bermuatan harapan berkenaan dengan hak-hak itu, untuk melengkapi Titel II dari Undang Undang Dasar yang terkait pada hak-hak sipil dan politik: kepada pembentuk undang-undang biasa dilimpahi tugas untuk menetapkan hak-hak asasi ini. Konflik-konflik antara dua jenis hak-hak asasi itu kini sudah tampak: bayangkan saja pertentangan yang mungkin terjadi antara hak milik dan hak atas pekerjaan pada pendudukan perusahaan. Perdebatan tentang hal ini, baik dalam suasana nasional maupun dalam suasana internasional, tidak menyentuh inti dari persoalan itu selama ia tetap membatasi pada pendekatan kasuistik, pragmatik terhadap suatu hak asasi tertentu atau yang lainnya. Intinya terletak jauh lebih dalam, di dalam konsep negara itu sendiri, suatu keseluruhan rangkaian masalah-masalah seperti pembebasan dari hak mengambil putusan secara pribadi, kolektivisasi alat-alat produksi, batas-batas dari kewajiban solidaritas, tugas dari perwakilan rakyat, peranan yang tepat dari perwakilan kepentingan-kepentingan, kontrol atas pemerintah dan di atas semuanya ini kecemasan untuk kebebasan pribadi dan kekhawatiran terhadap suatu etatisme yang kuat yang pada akhirnya akan dapat merosot ke dalam totaliterisme begitu negara sendiri hanya mengizinkan apa yang ia menganggap baik dan berguna untuk pembangunan suatu gambaran masyarakat atau rezim atau “tatanan” (orde) yang ditentukan olehnya. Dengan demikian maka diskusi itu diletakkan pada jalur yang tepat jika disebabkan oleh salah satu hak asasi, filsafat yang memotivisasi usulan itu diungkapkan secara jernih. 54. Banyak inkoherensi, frustrasi pada rakyat dan kekacauan pada politisi berkaitan dengan akibat-yang-tidak-begitu-dimaksudkan, akan dapat dihindarkan dengan pensituasian yang tepat dari usulan-usulan yang tampaknya mineur dalam suatu filsafat yang melandasinya (pembiayaan dan pengaturan pendidikan, pembentukan pemerintahpemerintah yang didesentralisasi, perundang-undangan persewaan sementara, undangundang pemberian kuasa, premi kepada pegawai negeri yang tergabung pada suatu serikat sekerja, hak mogok pegawai negeri, bank-bank data dalam pemerintah dan pengadilan, denda uang administratif, kewenangan seponering dari penuntut umum, dsb.). Untuk ilustrasi mendetail tentang hal ini hanya diberikan satu contoh. Dalam sebuah rancangan undang-undang yang pada pandangan pertama cukup sederhana, diusulkan sebuah perubahan pada undang-undang pemilihan kotamadya yang isinya adalah daftar calon “harus ditolak (geweerd) sebagai penyimpangan (onregelmatig)” jika “lebih dari tiga perempat calon-calon termasuk ke dalam kelompok kelamin yang sama”, dengan sendirinya usulan rancangan undang-undang itu bertujuan “suatu partisipasi kaum perempuan yang lebih besar pada kebijakan kotamadya”; pada dirinya sendiri untuk usulan yang demikian itu terdapat banyak argumen yang baik yang dapat membanggakan 35 36 suatu pelegitimasian demokratikal; berbagai partai politik memuat pengaturan yang demikian dalam statuta dan pengaturan-pengaturan pemilihan mereka sendiri; tetapi usul itu bertolak dari suatu titik berdiri atau pendirian (yang tidak diucapkan) bahwa badanbadan perwakilan politikal (di sini dewan kotamadya, tetapi kemudian, secara logikal, juga rapat-rapat parlementer) hanya dapat memenuhi fungsi representatif mereka secara layak jika pelapisan dari rakyat (di sini laki-laki dan perempuan) sebagai demikian mempunyai kesempatan untuk memenangkan sejumlah kursi yang layak. Logika ini juga akan membawa akibat untuk melengkapi suatu pengaturan yang demikian berdasarkan kriteria lain untuk kelompok-kelompok yang bergaris pembeda yang cukup jelas (afgelijnde groepen): para pekerja, petani, golongan menengah, pengemban profesi bebas, kaum muda, orang cacat, dsb. Semuanya tergantung pada bagaimana orang memandang rakyat yang diwakili: atomistik, sebagai terdiri atas para warga-masyarakat yang tidak didiferensiasikan yang dalam segala hal sama, atau berupa kelompokkelompok sosial kolektivistik yang terbagi dalam kelas-kelas. Pertanyaan tersebut secara sah dan cukup beralasan dapat memperoleh jawaban yang satu atau yang lainnya, tergantung pada konsep negara yang fundamental yang dianut orang. 55. Tentang masalah ini, Teori Hukum dapat memberikan kontribusi untuk mencapai kejelasan. Itu menuntut, untuk hal yang berkaitan dengan dengan hak-hak asasi, suatu penelitian mendasar tentang timbulnya dan pertumbuhan mereka, sebagai suatu bagian dari sistem-sistem pemikiran (gedachtensystemen) yang cakupannya lebih luas yang dalam kedua ihwal itu telah mekar (mewedarkan diri) dari suatu reaksi terhadap pandangan yang ada dan sebagai suatu jawaban terhadap situasi-situasi faktual yang terikat pada waktu. Sebab-sebab historikal dan motif-motif filosofikal saja, dapat memberikan kejelasan tentang maksud tujuan, isi dan daya-dukung mereka. Dari penelitian yang tidak dapat lain kecuali interdisipliner (utamanya historikal dan filosofikal), harus tampak apakah dan bagaimana kedua sistem hak asasi itu berada dalam perpanjangan dari konsep-konsep masyarakat yang sudah ada sejak dahulu atau, sebaliknya, pada butir-butir tertentu tidak dapat diragukan adalah hal baru: apa yang dalam sistem-sistem ini bersifat insidental dan apa yang bersifat menetap, apa yang pada akhirnya dalam zaman kita dan untuk masa depan, dalam Gelombang Ketiganya Alvin Toffler, layak untuk dilindungi dan dimajukan atau sebagai akibat dari suatu ideologi yang sudah mengungguli harus diakhiri (moet afgebroken worden). Faktor-faktor pembentukan hukum yang harus diteliti untuk menjelaskan hukum dalam dasar-dasarnya yang lebih dalam, pada pengkajian secara kritikal terhadap hukum yang ada dengan tujuan untuk memperbaikinya, dapat berlaku sebagai patokan (kriteria). Jadi, antara Teori Hukum dan Politik Hukum terbentang jembatan yang lebar. 36 37 2. TIMBULNYA TEORI HUKUM SEBAGAI DISIPLIN MANDIRI 56. Bahwa ada suatu disiplin mandiri yang bernama “Teori Hukum”, dewasa ini sudah diakui secara umum. Hal ini sudah terbukti dari kumpulan tulisan dan jurnal dengan bendera “Teori Hukum”. Demikianlah, untuk wilayah berbahasa Belanda dapat ditunjuk jurnal “Rechtsfilosofie en Rechtstheorie” (R & R) yang terbit sejak 1972, dan jurnal bibliografik “Recente Rechtstheorie” yang mulai terbit pada tahun 1977. Terdapat ketidak jelasan dan kesatuan pendapat berkenaan dengan persoalan apa yang sesungguhnya termasuk ke dalam wilayah-telaah (ruang lingkup, ranah, domein) Teori Hukum dan bagaimana hubungan antara Teori Hukum dengan disiplin-disiplin hukum yang lebih klasik, seperti Filsafat Hukum, Dogmatika Hukum, Sosiologi Hukum, dan Sejarah Hukum, dst. … Sebagai langkah awal untuk sampai pada gambaran tingkat keadaan pada bidang ini (state of the arts) akan berguna untuk terlebih dahulu menelaah bila dan bagaimana istilah “Teori Hukum” mulai terbentuk dan dari “induk disiplin” apa bidang studi ini telah tumbuh yang dewasa ini biasa disebut “Teori Hukum”. Perkembangan ini sama sekali tidak memperlihatkan bahwa hal itu telah berlangsung secara sama di semua negara yang di dalamnya ditemukan kepustakaan bidang Teori Hukum. Apa yang akan diuraikan selanjutnya pada dasarnya juga hanya berlaku bagi Eropa Barat (kontinental). Di sini kami masih hanya ingin menyebutkan bahwa Teori Hukum sebagaimana dewasa ini dipahami kemungkinan untuk pertama kalinya tampil di Rusia sekitar peralihan abad (abad 19 ke abad 20). Namun kepustakaan ini tetap tidak dikenal di Eropa Barat dan oleh revolusi Rusia tidak memancarkan cahayanya lagi di Rusia sendiri. Hanya oleh kepustakaan Teori Hukum Polandia, publikasi Rusia tidak sepenuhnya menghilang ke dalam kabut sejarah. Bagi perkembangan Teori Hukum di Eropa Barat kepustakaan ini sesungguhnya tidak memiliki pengaruh yang penting. Teori Hukum Rusia ini mengembangkan diri di atas ‘Ajaran Hukum Umum’ Eropa Barat, yang dari dalam kepustakaan ini mengambil alih masalah-masalah pokoknya. Namun tampaknya mereka lebih pada arah ‘Teori Hukum’ yang kemudian. 2.1. Ajaran Hukum Umum. 57. Permulaan perkembangan historikal dari Teori Hukum dapat kita situasikan dalam abad kesembilan belas. Pada masa itu timbul suatu kebutuhan pada suatu disiplin hukum ilmiah positif yang berada di antara di satu pihak Filsafat Hukum yang sangat abstrak dan semata-mata bersifat spekulatif dan di lain pihak Dogmatika Hukum yang sangat teknikal. Ciri khas bagi semangat pada zaman itu adalah bahwa, diinspirasi (diilhami) oleh keberhasilan ilmu-ilmu positif dan metode-metode yang digunakan ilmu-ilmu itu, orang berharap akan mampu sampai pada penguraian secara ilmiah ciri-ciri (unsur-unsur) hakiki dari hukum positif dan dari tatanan-tatanan hukum positif, yang sama pada semua tatanan hukum. Diungkapkan dengan cara lain, orang dapat menyatakan bahwa setelah terpecah belahnya (kemerosotan, kemunduran) Filsafat Hukum, timbul kebutuhan pada suatu “hukum kodrat” ilmiah-positif, yang harus mengisi kekosongan yang disebabkan oleh hilangnya (memudarnya) kepercayaan pada suatu hukum kodrat metafisikal yang 37 38 berlaku universal, yang secara hakiki dapat menentukan aturan-aturan dasar dari tiap tatanan hukum (rechtsorde) positif. Pendekatan terhadap gejala-gejala hukum ini disebut “Ajaran Hukum Umum” (algemene rechtsleer, Allgemeine Rechtslehre, general jurisprudence, theorie generale du droit). Apa yang persisnya dipandang sebagai obyek dari disiplin ini secara tepat diungkapkan dengan pengertian “umum” yang sangat cocok. Orang bertujuan untuk mempelajari asas-asas (‘utang harus dibayar’, atau ‘pacta sunt servanda’), pengertian-pengertian atau konsep-konsep (‘hak milik’), dan pembedaanpembedaan atau penggolongan-penggolongan (pembedaan hukum perdata dan hukum publik) yang dipandang sama pada semua tatanan hukum dan niscaya merupakan bagian dari setiap sistem hukum. Jadi, ihwalnya berkenaan dengan suatu penelitian ilmiah-positif terhadap ciri-ciri umum dari aturan-aturan hukum dan sistem-sistem hukum. Para peletak dasar (pelopor) Ajaran Hukum Umum adalah filsuf Inggeris John Austin (1790-1859), yang juga menjadi peletak dasar mazhab analitik (analytical jurisprudence), orang-orang Jerman Adolf Merkel (1836-1896), Karl Bergbohm (1849-1927), Ernst Rudolf Bierling (1841-1919), dan Rudolf Stammler ((1856-1938); dan orang Ceko Felix Somlo (1973-1920). Jika orang mengesampingkan perbedaan-perbedaan dalam pandangan-pandangan dari para pemikir ini, maka orang dapat mengemukakan bahwa mereka semuanya menganut titik-titik tolak berikut: 1. mereka ingin mengemukakan suatu disiplin ilmiah-positif yang baru, lebih teoretikal ketimbang Dogmatika Hukum, namun lebih konkret dan lebih praktikal ketimbang Filsafat Hukum (Austin misalnya berbicara juga tentang suatu ‘filsafat hukum positif’, Merkel tentang ‘bagian umum dari ilmu hukum’, Stammler tentang suatu ‘ajaran hukum murni’). 2. sebagai obyek dari disiplin ini mereka menonjolkan: penyelidikan tentang struktur dasar, asas-asas dasar, dan pengertian-pengertian dasar yang dapat ditemukan kembali dalam setiap sistem hukum positif. Dengan ini tidak dimaksudkan suatu perenungan filosofikal yang spekulatif, melainkan suatu penelitian ilmiah tentang ciri-ciri khas dan hakiki dari hukum. 3. Mereka memandang Ajaran Hukum Umum sebagai suatu disiplin bebas-nilai yang tidak normatif. Ajaran Hukum Umum bertugas untuk menguraikan gejala-gejala hukum dengan cara yang secara metodikal dapat dipertanggung-jawabkan, dan dengan demikian dapat sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang secara faktual dapat diverifikasi dan didukung secara ilmiah. Baik dalam metode maupun dalam hasil-hasilnya, Ajaran Hukum Umum harus tetap bebas dari setiap putusan-nilai (penilaian) pribadi atau titik tolak normatif dari para peneliti. Dengan kata lain, metodenya harus ilmiah-positif dan bebas-nilai, dan hasil penelitian harus memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hakikat gejala hukum, dan harus (seyogianya) tidak merumuskan kaidah-kaidah yang akan dapat dipandang mengikat bagi praktek hukum. Ajaran Hukum Umum meneliti (berupaya menemukan) apa yang sama pada semua sistem hukum dan bukan apa yang seharusnya sama. 2.2. Teori Hukum: perkembangan pertama. 58. Dalam perjalanan abad dua puluh, Teori Hukum timbul dari Ajaran Hukum Umum ini. 38 39 Dalam dua aspek, Teori Hukum ini memperlihatkan kesinambungan berkenaan dengan Ajaran Hukum Umum: 1. Teori Hukum sebagai kelanjutan dari Ajaran Hukum Umum memiliki sebagai obyek disiplin mandiri suatu tempat di antara Dogmatika Hukum di satu sisi dan Filsafat Hukum di sisi lain. Di saat Ajaran Hukum Umum oleh beberapa penulis (a.l. Adolf Merkel) masih dipandang sebagai pengganti (penerus) ilmiah-positif dari filsafat hukum metafisikal yang tidak ilmiah, dewasa ini Teori Hukum diakui sebagai disiplin ketiga di samping, dan untuk melengkapi, Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum, yang masing-masing memiliki (mempertahankan) wilayah sendiri dan nilai sendiri. 2. Sama seperti Ajaran Hukum Umum dewasa itu Teori Hukum, setidaknya oleh kebanyakan, dipandang sebagai ilmu a-normatif yang bebas-nilai. Ini yang persisnya membedakan Teori Hukum dan Ajaran Hukum Umum dari Dogmatika Hukum. Apakah ini berarti bahwa Teori Hukum adalah tidak lain ketimbang Ajaran Hukum Umum dengan nama lain yang lebih modern? Pada pandangan pertama memang orang dapat berpandangan demikian. Sama seperti Ajaran Hukum Umum, memang Teori Hukum bertujuan untuk menguraikan hukum secara ilmiah-positif. Namun wilayah medan penelitiannya tidak sama lagi. Medannya sebagian lebih luas dan sebagian tergeser. Yang menjadi ciri khas bagi Ajaran Hukum Umum adalah problematika (permasalahan) yang relatif terbatas dan murni ontologikal: apa unsur-unsur hakiki yang dapat ditemukan orang dalam tiap sistem hukum, dan yang niscaya mewujudkan tiap sistem hukum? Dengan kata lain, orang bertujuan untuk berupaya menemukan ontologi dari hukum, ‘hakikat’ dari hukum, melalui jalan empirik, sehingga orang pada jawaban terhadap permasalahan ini, yang semula bersifat pertanyaan filosofikal murni, dapat memberikan suatu landasan ilmiah-positif. Dalam kerangka ini orang mencari asas-asas dan pengertian-pengertian yang dapat dipandang bersifat hakiki bagi hukum. Wakil yang paling vokal dari pendekatan Ajaran Hukum Umum ini adalah Adolf Reinach (18831917), yang berupaya membangun suatu ontologi dari hukum yang bersifat platonik. Menurut pandangan Reinach terdapat unsur-unsur yuridikal a priori yang ideal, yang memiliki keberadaan yang mandiri, terlepas dari fakta apakah unsur-unsur tersebut menemukan atau tidak menemukan endapannya (perumusannya) dalam suatu tatanan hukum positif. Pengertian-pengertian (konsep-konsep) yuridik tersebut dengan demikian menurut pandangannya “ditemukan” dan tidak diciptakan oleh para yuris. Dengan pendekatan ini maka Ajaran Hukum Umum sampai pada suatu kontradiksi internal. Apa yang dipandang sebagai “empirik” dalam kenyataannya menjadi metafisikal murni. Bukankah orang bertolak dari suatu (pendirian) a priori bahwa terdapat ciri-ciri yang universal. Satu-satunya perbedaan dengan ajaran hukum kodrat klasik adalah bahwa orang mencari ciri-ciri ini di dalam kenyataan ketimbang di dalam akal budi (in de rede). Pada penulis-penulis seperti Reinach orang bahkan tidak sampai pada penelitian empirik yang sesungguhnya. Perbandingan isi dari aturan-aturan hukum (rechtsregels) dan pengertian-pengertian hukum atau konsep-konsep yuridik (rechtsbegrippen) sebagai obyek penelitian tipikal dari Ajaran Hukum Umum, menjalani evolusi menjadi suatu penelitian tentang struktur dan fungsi dari kaidah hukum (rechtsnorm) dan dari sistem hukum (rechtssysteem) sebagai salah satu dari tema-tema penelitian terpenting dari Teori Hukum. 39 40 Hans Kelsen dapat dipandang sebagai salah seorang dari para peletak dasar dari Teori Hukum. Hal ini tampak pertama-tama dari tulisan-tulisannya, lebih dari itu orang juga menemukan kembali penamaan Teori Hukum dalam jurnal “Revue internationale de la theorie du droit – Internationale Zeitschrift fuer Theorie des Rechts” yang turut diterbitkannya pada tahun 1926. Yang mencolok adalah bahwa para penerbit jurnal ini, yakni Leon Duguit, Hans Kelsen dan Francois Weyr, telah memilih untuk menggunakan nama “teori hukum” dan tidak memilih nama “allgemeine Rechtslehre” serta “theorie generale du droit” yang pada waktu itu pasti jauh lebih lazim. Penjelasan lebih jauh pada pilihan ini kita temukan dalam kata pendahuluan pada nomor pertama dari tahun pertama jurnal tersebut. Mengapa jurnal itu menyandang nama “teori hukum” dan bukan “filsafat hukum” dipertanggung-jawabkan dengan menunjukkan bahwa orang akan menahan diri dari tiap diskusi spekulatif tentang “keadilan” (rechtvaardigheid), “kelayakan” (billijkheid), “hukum kodrat”, atau “hukum absolut”. Orang bermaksud membatasi diri pada suatu analisis ilmiah-positif terhadap hukum, dengan kata lain orang memandang Teori Hukum sebagai “teori tentang hukum positif”. Tentang mengapa orang lebih memilih pengertian “Teori Hukum” ketimbang “Ajaran Hukum Umum” tidak dijelaskan lebih jauh. Namun, perbedaan antara keduanya, yang jelas-jelas dimaksudkan oleh para penerbit, dapat disimpulkan dari uraiannya (pemaparannya). Begitulah, tidak dibicarakan suatu penelitian tentang ciri-ciri yang sama dari aturanaturan hukum dan pengertian-pengertian hukum dalam berbagai tatanan hukum, melainkan tentang pengkajian masalah-masalah yang sama pada berbagai sistem hukum. Masalah-masalah ini menyangkut: sifat dari hukum, hubungan antara hukum dan negara dan antara hukum dan masyarakat, pengertian-pengertian dasar dan metode-metode untuk memperoleh pengetahuan hukum, hubungan timbal balik antara berbagai tatanan hukum nasional dan tatanan hukum internasional dan masalah-masalah sejenis lainnya. Suatu pemahaman yang cukup tentang persoalan-persoalan Teori Hukum ini, sebagaimana yang tampak dalam kata pendahuluan, dipandang sebagai landasan yang mutlak diperlukan untuk tiap kajian ilmiah terhadap tatanan hukum positif konkret. 2.3. Suatu titik kedalaman. 59. Pernyataan program kerja dari Duguit, Kelsen dan Weyr terdengar sangat aktual dan sekarang pun juga masih akan tetap dapat berlaku sebagai kata pengantar untuk suatu jurnal Teori Hukum yang baru. Antara 1926 dan sekarang memang tidak terdapat kontinuitas (kesinambungan) dalam perkembangan dari Teori Hukum. Penyebab utama dari hal ini adalah bangkitnya nasional-sosialisme di Jerman dalam tahun-tahun tiga puluhan dan perang dunia kedua. Demikianlah pada tahun 1938 “Revue international de la theorie du droit” menghilang dan berlangsung sampai 1970 sebelum terbit kembali sebuah jurnal di bawah nama “Rechtstheorie”. Memang mencolok bahwa benang merah dari Teori Hukum tidak segera dilanjutkan segera setelah perang dunia kedua berakhir. Kurangnya minat ini selama suatu periode yang panjang setelah perang dunia kedua juga harus dipandang sebagai suatu akibat tidak langsung dari fasisme. Sebab, sesudah perang dunia kedua tampak jelas dihidupkannya kembali Filsafat Hukum dan secara khusus paham hukum kodrat. Ini adalah reaksi terhadap cara yang dengannya para yuris membiarkan diri mereka disalah gunakan atau bahkan telah menyalah gunakan hukum untuk mengabdi ideologi fasistik. Serangan-serangan terutama diarahkan terhadap positivisme hukum yang dipandang orang sebagai penyebab dari segala keburukan. 40 41 Di kemudian hari terbukti bahwa hal itu salah. Penyesalan terbesar yang dapat dialamatkan orang kepada para yuris Jerman tidak terutama bahwa mereka terlalu membudak telah menerapkan perundang-undangan yang tidak bermoral, ketimbang bahwa mereka telah dengan secara eksplisit merujuk pada ideologi nasional-sosialistik, secara sadar mengesampingkan perundang-undangan yang ada (yang berasal dari sebelum tahun 1933), atau bahwa mereka lewat interpretasi undang-undang dalam cahaya “pandangan-pandangan aktual dari pembentuk undang-undang nasional sosialistik” memberikan makna pada teks undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan makna semula (asli) dari undang-undang, dengan kata lain berlawanan dengan kemauan dari pembentuk undang-undang pada saat terbentuknya undang-undang itu. Bagaimana pun juga, konfrontasi dari para pakar Teori Hukum dan Filsafat Hukum Jerman dengan hancurnya negara Jerman dan kesadaran ikut bertanggung-jawab bagi perbuatanperbuatan immoral secara fundamental dari nasional-sosialisme, mendorong beberapa orang di antara mereka untuk melakukan kritik terhadap diri sendiri (selfkritik), yang dengan itu secara khusus menunjuk pada betapa pentingnya suatu Filsafat Hukum Kritis bagi para praktisi hukum untuk mencegah situasi-situasi demikian yang di dalamnya para yuris menjadi budak-budak pelaksana teknikal-yuridik dari suatu ideologi immoral yang berkuasa. Karena wilayah berbahasa Jerman secara tradisional adalah “pusat pemikiran” paling penting dalam bidang Filsafat Hukum dan Teori Hukum, maka pembelokan secara tajam ke arah Filsafat Hukum juga secara jelas memperlihatkan akibat-akibat (pengaruh) di luar batas wilayah Jerman. Untuk Teori Hukum, hal ini dalam jangka pendek mempunyai akibat-akibat negatif. Di satu pihak orang secara keliru mengasosiasikan Teori Hukum sebagai disiplin hukum yang bersifat ilmiah-positif dengan positivisme hukum, sedangkan di lain pihak orang pada periode sesudah perang dunia kedua jelas lebih merasakan kebutuhan pada suatu refleksi kritikal tentang isi dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yuridis dan tentang legitimasi filosofikal dan moral dari sistem-sistem hukum, ketimbang pada suatu analisis dari aspek-aspek tertentu dari gejala hukum (yakni hukum positif dan praktek hukum) secara jernih dan obyektif. Ini berakibat bahwa Teori Hukum yang diakui sebagai disiplin yang memiliki tempat sendiri antara Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum, untuk sementara lenyap dari panggung telaah hukum secara ilmiah. 60. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa yuris dalam periode ini tidak mempunyai perhatian lagi terhadap masalah-masalah yang mewujudkan obyek khas dari Teori Hukum, seperti interpretasi undang-undang, hubungan antara undang-undang dan kebiasaan, peranan hakim, dan sejenisnya. Kajian atas masalah-masalah ini juga disebut sebagai Filsafat Hukum atau sebagai “Ajaran Hukum” lagi. Banyak yuris dewasa ini memandang Filsafat Hukum dan Teori Hukum secara eksplisit sebagai sinonim, atau sekurang-kurangnya sebagai penamaan yang berbeda untuk disiplin yang sama: ‘Begitulah filsafat hukum tampak sebagai suatu kebutuhan ilmiah, logikal, pedagogik; namun di bawah bentuk apa? “Filsafat hukum” atau “filsafat hukum dan negara”? “Filsafat hukum dan negara” atau “teori umum tentang hukum dan negara”? 41 42 Bagi kita, dilema: “filsafat hukum dan negara” atau “teori umum tentang hukum dan negara” adalah masalah palsu, kedua ungkapan itu hanya memiliki nilai sebagai fungsi program-program universitas, yang bervariasi dari negara ke negara atau dari abad ke abad, tetapi sementara etiketnya berubah, kebiasaannya tidak berubah: di bawah pengabdian ganda, orang mempelajari masalah-masalah umum berkenaan dengan landasan dari hukum dan negara. Bagi kami, kami lebih menyukai ungkapan “filsafat hukum dan negara” ketimbang ungkapan “teori umum tentang hukum dan negara”, sebab ungkapan pertama memberikan petunjuk yang lebih baik berkenaan dengan kaitan yang menghubungkan “filsafat hukum dan negara” pada “filsafat umum”. “Filsafat hukum” atau “teori umum tentang hukum”? Dalam arti etimologikal yang kaku, “teori umum” memunculkan (dalam pikiran) deskripsi tentang realitas (kenyataan) secara sintetik dan sistematik. Namun, jika realitas yang dihadapi mengambil tempat suatu tatanan sebagai tatanan dari hukum, maka “teori umum tentang hukum” akan ternyata melampaui kerangka deskriptif untuk pergantian menjadi sebuah “doktrin umum dari hukum”, yang dalam hal itu akan mendekat menjadi “filsafat hukum”. Itu sebabnya di dalam pemakaian, “teori umum tentang hukum” dan “filsafat hukum” sering dipandang sebagai sinonim. Namun demikian, ungkapan “filsafat hukum” tampaknya lebih disukai, justru karena ia menugasi dirinya sendiri tidak hanya untuk memaparkan (mendeskripsi), melainkan juga untuk “berfilsafat” (melakukan refleksi kefilsafatan) tentang hukum.’ (J. Dabin, “Qu’est-ce que la philosophie du droit?”, Arch. Phil. Dr., 1962: 106) Dengan kata lain, Teori Hukum oleh banyak orang tidak lagi diakui sebagai sebuah disiplin ilmiah-positif yang mandiri, yang memisahkan (membedakan) diri dari Filsafat Hukum yang semata-mata spekulatif. Namun juga para pembela Teori Hukum sebagai ilmu tentang hukum tidak memiliki pandangan yang cukup tentang nilai dari kedua disiplin tersebut. Terutama di wilayah berbahasa Perancis, dalam periode ini berlangsung diskusi seolah-olah masalahnya itu berkenaan dengan satu pilihan di antara keduanya, yang menyebabkan pilihan ini juga sekali gus dikembalikan pada suatu pilihan antara mendukung atau menolak positivisme hukum. Juga dalam hal ini Teori Hukum sekali lagi secara salah diasosiasikan dengan positivisme hukum, baik oleh para pendukung maupun para penentang. Sudah jelas dengan sendirinya (evident) bahwa selama orang bertolak dari pengajuan permasalahan (probleemstelling) yang salah ini maka Teori Hukum sebagai disiplin mandiri niscaya ditakdirkan (divonis) untuk mati. Ihwalnya memang dengan sendirinya akan demikian jika orang, seperti Luis Legaz y Lacambra, bertolak dari pandangan bahwa Teori Hukum adalah sejenis Filsafat Hukum kelas dua yang dangkal, suatu filsafat yang diemban oleh para yuris. Jika orang memandang masalah-masalah Teori Hukum yang lebih fundamental dalam optik ini termasuk ke dalam wilayah Filsafat Hukum, maka pada umumnya persoalanpersoalan yang kurang fundamental ditempatkan dalam lingkungan “Ajaran Hukum Umum”. Namun “Ajaran Hukum Umum” pasca-perang dunia ini hanya memiliki sedikit kesamaan dengan tujuan-tujuan ilmiah positif yang pada abad sembilan belas menjadi landasan dari disiplin ini. “Ajaran Hukum Umum” dewasa itu berlaku sebagai sinonim 42 43 dari “Ensiklopedia Hukum”. Dengan kata lain, ia tidak dipandang sebagai sebuah ilmu, melainkan sebagai suatu ikhtisar dari informasi-informasi tentang hukum secara didaktik: Namun, “teori umum tentang hukum” juga dapat dipandang dalam makna yang sempit, hanya semata-mata yuridikal, tanpa merujuk pada suatu filsafat. Ini adalah obyek utama dari pengantar untuk studi (mempelajari) hukum, yang mempunyai tujuan untuk menampilkan suatu sintesis dari unsur-unsur konstitutif dari ilmu hukum yang dapat ditemukan kembali dalam semua hukum positif, apa pun isi atau semangat (spirit) mereka. Teori umum tentang hukum mencakup: - aturan-aturan hukum, pranata-pranata (institusi-institusi) hukum, cabangcabang hukum, tatanan-tatanan hukum (di bawah kendali negara, internasional, korporasi), sistem-sistem hukum yang sama pada sejumlah negara (Anglo-Saxon, Soviet, Moslem system); - prosedur-prosedur teknikal; - sumber-sumber hukum formal; - teori tentang hukum subyektif, tentang subyek-subyek hukum dan badan hukum; - teori umum tentang perbuatan hukum; - tentang pembuktian; - sanksi hukum; - akhirnya tentang hubungan antara hukum dan ilmu-ilmu lain (ekonomi, politik, sosiologi), sejarah hukum dan perbandingan hukum. (J. Brethe De La Gressaye, “Qu’est-ce que la philosophie du droit?”, Arch. Phil. Dr., 1962: 96) Di sini “Ajaran Hukum Umum” dipandang sebagai “pengantar umum ke dalam Ilmu Hukum” (Pengantar Ilmu Hukum Umum). Ketimbang berkembang menjadi suatu disiplin ilmiah mandiri, Teori Hukum di sini merosot menjadi suatu matakuliah pengantar pada tataran pendidikan tinggi. Dan jika kita memperhatikan situasi universitas-universitas di Eropa Barat, maka kita akan sampai pada kesimpulan yang patut disesalkan bahwa “Teori Hukum” pada kebanyakan universitas pada titik kedalaman ini telah mengkonsolidasi diri menjadi “Ensiklopedia Hukum”. Hal ini bahkan telah membawa pada hasil yang absurd bahwa beberapa upaya telah dilakukan untuk memberikan suatu tempat tersendiri sebagai disiplin ilmiah-positif di antara Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum dengan mempertahankan nama “Ensiklopedia Hukum” untuk disiplin ini. 61. Karena itu, bagaimana hal itu mungkin bahwa ditempatkan pada tataran yang lebih tinggi sehingga kini secara umum diakui bahwa terdapat suatu disiplin mandiri di bawah nama “Teori Hukum”? Kontradiksi semu ini harus dijelaskan dengan menunjukkan tertinggal jauhnya pengajaran bidang studi ini dalam hubungan dengan penelitian ilmiah. Tanpa berlebihan dapat dinyatakan ketertinggalan yang jauh ini pada kebanyakan universitas di Belgia sudah berlangsung puluhan tahun. Ketertinggalan yang jauh ini justru dimungkinkan dengan diambilnya (dilepasnya) status ilmu dari “Ajaran Hukum Umum” dan mengembalikannya menjadi sebuah matakuliah pengantar yang dikuliahkan pada permulaan studi hukum. Hal ini telah mengakibatkan, di satu pihak, matakuliah itu 43 44 dipercayakan kepada seorang spesialis dalam satu disiplin teknikal hukum tertentu, biasanya seorang pakar hukum perdata (civilist), yang jelas bukan tempatnya dalam Teori Hukum, sedangkan di lain pihak, pengemban matakuliah ini secara langsung tidak merasakan kebutuhan untuk menambah pengetahuannya di bidang Teori Hukum, mengingat “Ajaran Hukum Umum” atau “Ensiklopedia Hukum” justru tidak dipandang sebagai sebuah disiplin ilmiah mandiri. 2.4. Terobosan definitif. 62. Kini tinggal pertanyaan bagaimana Teori Hukum, yang sejak akhir tahun tigapuluhan mengalami kemerosotan, pada akhirnya kembali mengalami perkembangan seperti sekarang. Pasang naik (meningkatnya) yang terus menerus publikasi dalam bidang Teori Hukum sejak akhir tahun enampuluhan memang membuat perkembangan ini tidak dapat diragukan, juga meskipun hasil-hasil dari penelitian-penelitian di bidang itu hanya secara fragmentaris menampakkan pengaruhnya dalam pendidikan hukum. Penyebab hidupnya kembali Teori Hukum memperlihatkan hubungan erat dengan penyebab timbulnya Ajaran Hukum Umum pada abad sembilan belas. Jika perkembangan dari suatu “Ajaran Hukum Umum” sebagai disiplin mandiri yang baru pada abad sembilan belas diinspirasi (diilhami) oleh sukses ilmu-ilmu positif, maka perkembangan definitif dari Teori Hukum menjadi sebuah disiplin mandiri pada paruh waktu kedua dari abad duapuluh diinspirasi oleh timbulnya ilmu-ilmu baru, atau cabangcabang baru dari ilmu-ilmu yang sudah ada, seperti Informatika, Logika Deontik, Kibernika, Sosiologi Hukum, Etnologi (Hukum), dan sejenisnya. Namun berbeda dengan abad sembilan belas adalah bahwa sekarang ihwalnya berkaitan dengan ilmu-ilmu manusia dan tidak lagi berkaitan dengan ilmu-ilmu positif, seperti misalnya Fisika. Adalah perlambang yang mencolok bahwa jurnal “Rechtstheorie” yang diterbitkan di Jerman sejak 1970 menyandang subjudul “Zeitschrift fuer Logik, Methodenlehre, Kybernetik und Soziologie des Rechts” (Jurnal untuk Logika, Ajaran Metode, Kibernika dan Sosiologi Hukum). Sejak itu untuk selanjutnya Teori Hukum juga dipandang sebagai sebuah ilmu interdisipliner secara esensial. Kebutuhan pada kerjasama interdisipliner dirasakan pada dua tataran. Di satu pihak, sejumlah disiplin non-yuridik dari bidang studi ilmu-ilmu manusia menawarkan (menyajikan) metode-metode yang interesan atau hasil-hasil penelitian yang membangkitkan perhatian yang dapat diterapkan dengan membuahkan hasil yang banyak dalam pengkajian gejala-gejala hukum secara ilmiah. Sedangkan di lain pihak, beberapa dari disiplin-disiplin ini, seperti misalnya Sosiologi Hukum, sudah menempatkan hukum sebagai obyek penelitian spesifik mereka, namun dari satu sudut pendekatan tertentu. Dari pihak yuris, dengan demikian, timbul kebutuhan pada suatu pengolahan sintetikal terhadap hasil-hasil penelitian Logika Hukum, Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum dan hasil-hasil penelitian lainnya. Jika misalnya hakim dan kegiatan kehakiman (peradilan) dipelajari oleh para spesialis disiplin-disiplin non-hukum, maka pakar Sejarah Hukum hanya akan mengerahkan perhatiannya pada proses pembentukan historikal dari fungsi kehakiman, pakar Logika Hukum hanya memusatkan perhatian pada jalan pikiran dari hakim, sosiolog hukum membatasi diri pada mempelajari peranan hakim dalam masyarakat dan pengaruh faktor-faktor eksternal pada pembentukan putusan hakim, dan demikian seterusnya. Selain itu, suatu halangan pada penelitian-penelitian ini adalah juga sering kurangnya penguasaan teknik-yuridikal yang niscaya dimiliki oleh non-yuris. 44 45 Demikianlah timbul suatu kebutuhan baru pada kehadiran pakar Teori Hukum yang mampu mengolah semua hasil penelitian ini menjadi satu keseluruhan yang koheren (utuh), dan di satu pihak dapat menarik kesimpulan-kesimpulan yang cocok untuk teknik hukum dan di lain pihak dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tepat untuk Filsafat Hukum. Sebuah simtom dari perkembangan ini, yang menunjukkan titik berat (penekanan) diletakkan pada keharusan untuk mengerjakan Teori Hukum secara interdisipliner, adalah jurnal "Revue interdisciplinaire d’etudes juridiques” yang diterbitkan sejak 1979 oleh fakultas hukum dari Facultes Universitaires Saint-Louis di Brussel. Sebuah kecenderungan yang, sejalan dengan pengaruh dari ilmu-ilmu lain, tidak diragukan juga telah ikut memajukan timbulnya kembali Teori Hukum adalah aliran kritik masyarakat (de maatschappijkritische stroming) di Eropa Barat dan Amerika Utara, yang pada akhir tahun enampuluhan telah mencapai titik puncaknya. Sebagai keterberian sentral di dalam masyarakat, hukum tidak boleh bebas dari analisis kritikal. Demikianlah orang mulai mengemban Teori Hukum dalam perspektif dari suatu kritik ideologi. Ungkapan dari hal ini adalah jurnal “Kritische Justiz” dari Jerman yang diterbitkan sejak 1968, jurnal “Recht en Kritiek” dari Belanda yang terbit sejak 1975, dan jurnal “Tegenspraak” yang sejak 1982 tampak di pasar. Dari sudut pendekatan mana Teori Hukum di sini didekati, tampak dari komentar redaksional pada nomor pertama dari “Recht en Kritiek”: “Situasi keadaan (state of the arts) pada bidang Teori Hukum pada saat ini memperlihatkan gambaran yang kacau. Teori Hukum klasik dengan pertentangan abstrak antara ‘Sein’ dan ‘Sollen’ tampak sudah kehilangan posisi dominannya. Sebagai akibat dari hal itu maka dalam batas-batas spesialisasi, perjuangan metode (methodenstrijd) menjadi lebih tajam. Posisi-posisi ekstrim akan diambil jika orang membatasi diri dalam dogmatika hukum atau menyerahkan diri pada ilmu-ilmu sosial, bahkan garis teoretikalnya kabur, sering hanya melapangkan jalan bagi instrumentalisasi hukum. Bagi redaksi adalah esensial pertanyaan tentang fungsi kemasyarakatan, politikal dan ideologikal dari hukum. Hukum, sistem normatif, bagaimana pun adalah unsur dan ungkapan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Hukum itu tidak otonom dan tidak memiliki sejarah yang berdiri sendiri. Perubahan-perubahan dalam sistem hukum adalah pencerminan dari hubungan-hubungan kekuatan yang berganti-ganti dan kompromi-kompromi terus menerus antara kepentingankepentingan kemasyarakatan yang saling bertentangan; sejarah dari Teori Hukum – dalam kaitan dengan sejarah dari filsafat dan teori politik – hanya dapat dimengerti dalam kaitan dengan perkembangan dari hubungan-hubungan kemasyarakatan. Juga aktualitas hukum hanya dapat dianalisis berdasarkan landasan ini. Banyak yuris – dalam pendidikan mereka atau dalam lingkungan kerja mereka pada pemerintahan, dunia bisnis, bantuan hukum atau pendidikan – mempunyai kritik terhadap sistem dan berfungsinya hukum. Redaksi hendak – di atas berbagai spesialisasi dan wilayah kerja – menawarkan (menyajikan) sebuah platform bagi kritik ini dan untuk itu membantu mengembangkan kerangka teoretikalnya. 45 46 Terkait padanya maka pembatasan-pembatasan tradisional dari hukum dan Ilmu Hukum akan sering dilangkahi (diterobos). Semuanya itu menentukan dalam garis besar wilayah-wilayah, yang terhadapnya redaksi akan memusatkan perhatian: perkembangan dalam Teori Hukum dan Teori Politik, perubahan-perubahan historikal dan aktual dalam sistem hukum, fungsi politikal dari hukum berkenaan dengan pertentangan kemasyarakatan, perkembangan-perkembangan dewasa ini dalam praktek hukum dan bantuan hukum serta isi dari pendidikan hukum.” Dalam pendekatan Teori Hukum ini maka yang berada pada titik pusat: analisis fungsi kemasyarakatan, politikal dan ideologikal dari hukum. Jika analisis fungsi kemasyarakatan dan politikal dari hukum dalam instansi pertama mewujudkan obyek dari disiplin-disiplin lain ketimbang Teori Hukum, yakni Sosiologi dan Politologi, maka analisis terhadap isi ideologikal dari hukum dapat dipandang sebagai salah satu dari topik-topik sentral dari Teori Hukum dewasa ini. Dalam kritik ideologikal ini Teori Hukum membatasi diri pada upaya menampilkan gambaran manusia dan masyarakat dari hukum, menunjukkan di mana putusan-putusan nilai (waardeoordelen) berada dalam penalaran-penalaran yuridik, sedangkan diskusi tentang hal dikehendakinya dan hal dapat diterimanya (akseptabilitasnya) gambaran manusia dan masyarakat ini dan putusan-putusan nilai tersebut diserahkan kepada Filsafat Hukum. Pentingnya kritik ideologi yang demikian itu lebih mengemuka lagi dalam perspektif dari sejumlah aliran kefilsafatan, yang dalam perjalanan abad dua puluh sejumlah ihwal yang dipandang sudah dengan sendirinya, telah dibuka kedoknya sebagai ihwal yang sarat bermuatan ideologi. Pada tataran Filsafat Hukum, hal ini a.l telah menemukan endapannya dalam tulisan-tulisan guru besar Leuven Jan Broekman (1931-…..) berkaitan dengan Antropologi Hukum. Broekman melancarkan kritik fundamental terhadap fakta bahwa bahasa yang di dalamnya hukum dirumuskan dan di dalamnya orang berbicara tentang hukum, secara umun dipandang sebagai sebuah sarana yang netral, padahal bahasa ini justru produk dari suatu pemikiran kekuasaan rasionalistik yang menjadi (mewujudkan) suatu ciri fundamental dari kultur Barat. Dengan demikian bahasa hukum sendiri sudah meletakkan (mematok) suatu tipe pemikiran hukum tertentu kepada juris. Hal mempermasalahkan (memproblematikkan) bahasa hukum ini sebagaimana hal itu dilakukan oleh Broekman lebih termasuk ke dalam wilayah berkiprahnya Filsafat Hukum. Dari sudutnya, Teori Hukum harus bekerja melakukan penelitian-penelitian konkret tentang kaitan antara bahasa hukum di satu pihak dan suatu gambaran manusia dan masyarakat (pandangan hidup) tertentu di lain pihak. 63. Fakta bahwa Teori Hukum di bawah dorongan dari berbagai aliran yang berbedabeda kini telah mengalami pertumbuhan kembali telah a.l menyebabkan bahwa uraian tentang wilayah berkiprah (domain) dan metode-metode Teori Hukum dari penulis dapat sangat berbeda-beda, justru disebabkan oleh berbagai sudut pendekatan yang beranjak dari dalamnya kebutuhan pada Teori Hukum telah dirasakan. 46 47 3. PEMBATASAN WILAYAH TEORI HUKUM 64. Dalam bab ini akan diupayakan untuk menetapkan batas-batas wilayah berkiprahnya bidang studi (domein) Teori Hukum setepat mungkin. Pembatasan ini dapat dilakukan dengan dua cara: eksternal dan internal. Secara eksternal dengan menempatkan Teori Hukum dalam keseluruhan disiplin-disiplin yang obyeknya hukum, dan secara internal dengan melukiskan sasaran-sasaran, metode-metode, dan medan penelitian dari Teori Hukum. Pembatasan internal akan dipaparkan dalam bab berikut; dalam bab ini hanya akan dipaparkan pembatasan eksternal. Karena Teori Hukum sebagai disiplin mandiri telah tumbuh dari Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum, tampaknya layak untuk terlebih dahulu menempatkan Teori Hukum dalam suatu konteks yang lebih luas dengan secara jelas menarik garis batas antara Teori Hukum di satu pihak dan Dogmatika Hukum, secara respektif Filsafat Hukum, di lain pihak. Selanjutnya tampaknya juga berguna untuk secara eksternal membatasi Teori Hukum dalam hubungannya dengan Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum, Logika Hukum dan disiplin-disiplin non-yuridik lainnya yang obyek penelitiannya hukum. Sebuah ikhtisar sistematikal tentang ciri-ciri, metode-metode, tema-tema penelitian dan sejenisnya dari Teori Hukum akan dikemukakan dalam bab-bab berikutnya. 3.1. Dogmatika Hukum – Teori Hukum – Filsafat Hukum 65. Terdapat sejumlah disiplin yang mengambil hukum sebagai obyek penelitian: Dogmatika Hukum, Filsafat Hukum, Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum, Informatika Hukum, Psikologi Hukum, Etnologi Hukum, Logika Hukum, dsb. ….. Semua disiplin ini saling berbeda satu dari yang lainnya hanya oleh sudut pendekatan yang berdasarkannya hukum dihampiri dan dipelajari. Secara umum (dalam banyak kejadian) kita menghadapi suatu pemisahan dari suatu disiplin non-yuridik, yang dalam hal tersebut hukum karena sifat spesifiknya telah menyebabkannya menjadi sebuah cabang tersendiri dari disiplin non-yuridik ini yang kurang lebih mandiri. Demikianlah Sosiologi Hukum, Psikologi Hukum, Filsafat Hukum, Etnologi Hukum, Logika Hukum, Sejarah Hukum dan Informatika Hukum adalah tidak lain ketimbang Sosiologi, Psikologi, Filsafat, Etnologi, Logika, Sejarah dan Informatika yang difokuskan pada hukum. Hanya dua disiplin yang termasuk ke dalam Ilmu Hukum “yang murni”: Teori Hukum dan Dogmatika Hukum. Dua disiplin ini tidak dapat dikembalikan (diderivasi, ditelusuri balik) pada suatu disiplin ilmiah yang umum. Mereka juga tidak memiliki “sisterdisciplines” seperti misalnya berhadapan dengan Sejarah Hukum terdapat Sejarah Kultur atau Sejarah Sosial, berhadapan dengan Filsafat Hukum ada Filsafat Bahasa atau Filsafat Moral, dan berhadapan dengan Sosiologi Hukum ada Sosiologi Pekerjaan. Karena untuk pembatasan wilayah Teori Hukum dan Dogmatika Hukum antara kedua disiplin tersebut dan berkaitan dengan disiplin-disiplin lain, orang tidak dapat menunjuk pada pembedaan di antara ilmu-ilmu yang lebih umum, maka uraian tentang wilayah-telaah (domein) secara respektif dari Dogmatika Hukum dan dari Teori Hukum tidak begitu mudah ketimbang pembedaan wilayah misalnya Sosiologi Hukum terhadap Sejarah Hukum. Orang dapat mengemukakan bahwa perbedaan antara dua disiplin terakhir sejalan dengan perbedaan antara Sosiologi dan Sejarah. Dan untuk pembatasan wilayah disiplin-disiplin 47 48 ini orang dapat menundukkan diri pada suatu tradisi sejenis itu bahwa tiap orang tentang garis-garis besar pada dasarnya sependapat, sehingga jika terjadi diskusi-diskusi dan masalah-masalah yang timbul akan membatasi diri pada wilayah-wilayah perbatasan dari disiplin-disiplin ini. Bagi Teori Hukum lebih jauh dipersulit oleh kenyataan bahwa kita berhadapan dengan sebuah cabang ilmu yang masih baru, yang hingga derajat tertentu masih harus membuktikan diri dan masih harus memperjuangkan tempatnya sebagai disiplin ilmiah mandiri yang utuh. Sehubungan dengan itu sebaiknya terlebih dahulu diupayakan untuk memberikan uraian tentang Dogmatika Hukum sesederhana mungkin, untuk sesudah itu membandingkan disiplin ini dengan Teori Hukum. 3.11 Dogmatika Hukum 66. Ajaran Hukum (rechtsleer) atau Dogmatika Hukum (rechtsdogmatiek), juga sering disebut Ilmu Hukum (Rechtswetenschap) dalam arti sempit, bertujuan untuk memaparkan dan mensistematisasi dan dalam arti tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku (vigerende positiefrecht). Walaupun demikian, Dogmatika Hukum itu bukanlah ilmu netral yang bebas-nilai. Tidak karena hukum itu adalah suatu kesalingterkaitan nilai-nilai dan kaidah-kaidah – bukankah dalam asasnya sangat mungkin untuk memaparkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah sebagai ketentuan-ketentuan faktual secara sepenuhnya netral dan obyektif – melainkan karena di satu pihak dalam pemaparan dan dalam pensistematisasian tidak dapat dihindarkan terdapatnya (terjadinya) masukan subyektif (subjectieve inbreng) dari dogmatikus hukum, sementara di lain pihak orang dalam Ajaran Hukum juga tidak dapat membatasi pada suatu pemaparan dan sistematisasi, melainkan secara sadar mengambil sikap berkenaan dengan butir-butir yang diperdebatkan. Orang tidak hanya mengatakan bagaimana hukum dapat diinterpretasi, melainkan juga bagaimana hukum harus diinterpretasi. Jadi, Ajaran Hukum dalam halhal yang penting tidak hanya deskriptif melainkan juga preskriptif (bersifat normatif). Dua butir ini yang berdasarkannya sifat preskriptif dari Ajaran Hukum itu tampak memerlukan penjelasan lebih jauh. Ihwal tidak terhindarkannya dari masukan subyektif dari ilmuwan hukum pada pemaparan dan sistematisasi hukum disebabkan oleh hakikat hukum dan oleh pembentukan hukum di dalam masyarakat. 67. Terlebih dahulu harus dikemukakan bahwa juga di luar Dogmatika Hukum tidak ada satupun pemaparan dan sistematisasi yang merupakan kegiatan yang sepenuhnya netral. Sebab tiap pemaparan mengandaikan suatu teori tertentu. Ihwal mengkualifikasi suatu hewan sebagai hewan menyusui misalnya mengimplikasikan adanya suatu teori yang di dalamnya orang menganggap ciri-ciri tertentu dari berbagai jenis hewan demikian penting sehingga orang mengelompokkan semua jenis hewan yang memiliki ciri-ciri ini di bawah nama “hewan menyusui”. Demikianlah, jika orang misalnya memaparkan seekor kera sebagai hewan menyusui, yang dapat berjalan tegak, maka yang dilakukan orang itu lebih dari sekedar “membaca” ciri-ciri khas yang dilihat orang dalam kenyataan: orang untuk sebagian sudah menerapkan suatu teori tertentu. Dengan demikian dapat dibayangkan (masuk akal, dapat dipikirkan) bahwa pada suatu waktu dalam perkembangan Biologi orang akan berpendapat bahwa pembedaan “hewan menyusui – hewan tidak menyusui” adalah tidak relevan sebagai kriterium ilmiah untuk 48 49 membedakan jenis-jenis hewan yang satu dari yang lainnya. Hewan-hewan yang sama pada suatu waktu juga dapat dipaparkan dengan ciri-ciri yang lain sekali. Dengan kata lain, pemaparannya berubah walaupun kenyataannya tetap tidak berubah. Hal ini tidak mungkin masuk akal (tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan) andaikata pemaparan dapat terjadi lepas dari suatu teori yang mendahuluinya. Ihwalnya juga sudah jelas dengan sendirinya (evident) bahwa pembentukan teori ini terjadi dalam hubungan timbalbalik (interaksi) dengan fakta-fakta. Verifikasi dan falsifikasi teori-teori yang berlangsung terus menerus dengan menguji teori-teori tersebut pada fakta-fakta justru melahirkan teori-teori baru dan membawa kemajuan pada ilmu. Semua ini berlaku juga bagi Dogmatika Hukum. Namun ini bukanlah unsur subyektif dalam Dogmatika Hukum yang kita bicarakan di atas. Sesungguhnya apa yang digambarkan secara skematik (yang diikhtisarkan) di sini justru tidak subyektif. Ihwalnya berkaitan dengan suatu pilihan ilmiah yang secara teoretikal dapat dipertanggungjawabkan, misalnya karena konsep “hewan menyusui” di dalam Biologi memiliki daya menjelaskan yang lebih besar ketimbang konsep “hewan berkaki empat”. Namun sesungguhnya penetapan daya menjelaskan yang lebih besar atau lebih kecil itu dari satu teori terhadap teori yang lain ini pada akhirnya terjadi atas dasar konsensus intersubyektif. Jika kita di sini berbicara tentang masukan subyektif dari sarjana hukum (ilmuwan hukum, rechtsgeleerde) pada pemaparan dan sistematisasi hukum, kita memang menunjuk (memaksudkan) pada sesuatu yang lain. 68. Pada pemaparan hukum positif, ilmuwan hukum memberikan suatu ikhtisar aturanaturan hukum yang berlaku pada suatu waktu tertentu dalam suatu masyarakat tertentu. Masalah pertama yang dalam hal ini muncul adalah bahwa aturan-aturan hukum itu bukanlah gejala-gejala yang secara fisikal dapat diamati, yang berkenaan dengan hal itu orang dapat menetapkan keberadaannya dengan kepastian begitu saja. Orang dapat saja mengatakan bahwa ilmuwan hukum dapat menetapkan ada atau tidak adanya aturanaturan hukum dengan kepastian yang kurang-lebih sama mengingat pemberlakuan, pengubahan dan penghapusan perundang-undangan secara tegas-tegas disetujui, diundangkan dan diumumkan dalam penerbitan-penerbitan resmi (officiele publikaties) seperti misalnya Lembaran Negara (Staatsblad) Belgia. Untuk suatu bagian besar dari aturan-aturan hukum yang berlaku, hal ini memang tepat, namun pasti tidak untuk semuanya: pada Hukum Internasional, pada Hukum Kebiasaan atau perjanjian-perjanjian lisan di antara para pedagang ihwalnya tidak selalu demikian sederhana untuk memastikan yang mana persisnya aturan hukum yang berlaku. Tetapi juga pada pembentukan perundang-undangan yang klasik, ihwalnya tidak semuanya berlangsung tanpa cacat. Banyak undang-undang yang memperlihatkan kekosongan (leemte), ketidak-jelasan, pertentangan (inkonsistensi) dengan teks undangundang lain atau kadang-kadang secara implisit atau diam-diam dihapuskan (dicabut). Lebih dari itu, pada penerapan perundang-undangan terhadap fakta-fakta dan situasisituasi konkret, timbul banyak masalah interpretasi yang harus dipecahkan oleh ilmuwan hukum dan dalam hal itu ia harus memilih pendirian. Bahwa proses interpretasi ini dalam esensinya diwarnai subyektivitas, juga pada teks undang-undang yang tampaknya jelas, sudah diperlihatkan secara luas (M. van Hoecke, De interpretatievrijheid van de rechter, Antwerpen, 1979). Pada pengisian kekosongan dalam perundang-undangan, penyelesaian ketidak-jelasan dan pertentangan, penetapan apakah suatu ketentuan undang-undang 49 50 sudah atau belum dicabut secara diam-diam, interpretasi suatu teks undang-undang, maka sarjana (ilmuwan) hukum bagaimana pun juga niscaya harus melakukan suatu pilihan, yang dalam hal itu titik-titik tolak Teori Hukum dan Filsafat Hukum yang dianutnya, antara lain berkenaan dengan hierarkhi sumber-sumber hukum dan metodologi interpretasi undang-undang, akan memainkan peranan yang menentukan. Dengan demikian, maka pemaparan hukum positif dalam Ajaran Hukum (Ilmu Hukum) sama sekali tidak mengimplikasikan sikap pasif dari sarjana (ilmuwan) hukum. Untuk sebagian, masukan subyektif ini dari sarjana (ilmuwan) hukum itu terjadi dengan suatu cara yang sangat terbuka. Hampir tiap penulis tentang satu atau lebih hal membela suatu visi tertentu, suatu interpretasi tertentu, yang dalam hal itu ia tidak secara implicit melainkan secara tegas-tegas (eksplisit) mengambil posisi, mengargumentasi posisi ini dan membantah (menolak) visi-visi yang berlawanan. Dengan demikian, hampir tiap tulisan dalam bidang Dogmatika Hukum dalam arti ini memiliki muatan normatif. 69. Namun yang lebih besar lagi adalah masukan kreatif dari ilmuwan hukum pada sistematisasi hukum. Hal penggambaran struktur-struktur besar (makro) dari hukum, dari struktur dasar dari pranata-pranata hukum (seperti perwakilan, badan hukum, adopsi, dan sejenisnya), dan dari pengertian-pengertian dasar dalam hukum adalah karya dari roh (pikiran) kreatif dengan daya imajinatif. Tentu saja karya ini tidak selalu harus terjadi, melainkan orang dapat terus menerus mengembangkan lebih jauh di atas apa yang telah dihasilkan oleh bergenerasi-generasi yuris dalam perjalanan waktu dari tahun ke tahun. Walaupun demikian, para ilmuwan hukum secara permanen dikonfrontasi pada bidangbidang hukum baru dan masalah-masalah baru yang harus mereka masukkan ke dalam struktur yuridik yang ada. Pengertian-pengertian baru, pembagian-pembagian baru, penjabaran-penjabaran baru, menghadirkan diri ke dalam Dogmatika Hukum. Juga sistematisasi itu bukanlah persoalan formal murni belaka. Tiap konsep yuridik dan tiap pranata hukum menunjuk pada sejumlah aturan-aturan dasar yang di dalam tatanan hukum yang ada terjalin erat dengan konsep ini atau pranata ini. Jika orang misalnya mengklasifikasi sebuah benda tertentu ke bawah benda bergerak, atau ke bawah benda tidak bergerak, maka orang itu melakukan lebih banyak lagi ketimbang jika orang mengklasifikasi kartu (steekkaart) bibliografikal ke bawah suatu huruf tertentu dari abjad. Sebab, begitu orang memandang sebuah benda tertentu sebagai benda tidak bergerak, maka semua aturan yang berkaitan dengan hipotek, kewajiban perantaraan notariil pada penjualan benda itu, dan masih banyak lagi, dapat diterapkan. Hal memilih untuk suatu sistematisasi tertentu, untuk meletakkan suatu fakta atau keadaan tertentu pada suatu tempat spesifik di dalam struktur dari hukum positif sekaligus mengimplikasikan dapat diterapkannya sejumlah perangkat aturan-aturan hukum dan pengecualian kaidah-kaidah lainnya. Dengan demikian, melalui sistematisasi dogmatika hukumnya, ilmuwan hukum mengarahkan penyelesaian masalah-masalah hukum dan daya jangkauan dari aturanaturan hukum yang ada ke suatu arah tertentu. Dalam dan melalui sistematisasi ini, ilmuwan hukum menetapkan kaidah-kaidah yang dapat diterapkan, dengan kata lain, dengan mensistematisasi ia menciptakan hukum. Juga di sini sekali lagi yuris itu tidak hanya sekedar mengemukakan bagaimana hukum baru dan masalah-masalah baru secara optimal dapat ditempatkan ke dalam sistem hukum yang berlaku, melainkan juga, dan bahkan terutama, bagaimana mereka harus ditempatkan ke dalam sistem hukum ini. 50 51 70. Dengan demikian, orang dapat menguraikan (mendefinisikan) Ajaran Hukum atau Dogmatika Hukum sebagai cabang dari Ilmu Hukum yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif. Sudut pandang normatif ini dapat berupa baik yuridik internal maupun ekstra yuridik. Orang dapat membela suatu titik berdiri (standpunt) tertentu atas dasar argumen-argumen yuridik-teknikal. Begitulah orang dapat mengandaikan dalil bahwa sebuah pasal undang-undang tertentu harus dipandang sudah dihapuskan secara diam-diam karena ia bertentangan dengan ketentuan dalam sebuah undang-undang yang lebih baru, dan ini atas dasar asas hukum yang umum bahwa undang-undang baru harus selalu didahulukan ketimbang undang-undang yang lama (lex posterior derogat lege priori). Namun sering terjadi titik-titik berdiri yang dibela bertumpu pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah non-yuridik. Konstruksi penyalahgunaan hak misalnya bertumpu pada pandangan bahwa pada tindakan-tindakan immoral yang jelas sekali, yang secara formal menurut undang-undang sepenuhnya beres (tidak bermasalah), tidak boleh diberikan (ditautkan) akibat-akibat hukum atau, jika tindakantindakan ini menimbulkan kerugian pada pihak ketiga, bahwa perbuatan-perbuatan ini seyogianya diberi sanksi yuridik. Karena kita sudah menguraikan Dogmatika Hukum, maka dapatlah kita dalam paragraf berikut menelaah hubungan antara Dogmatika Hukum dan Teori Hukum. 3.12. Hubungan Dogmatika Hukum dan Teori Hukum. 71. Dengan mengacu pada suatu uraian tentang wilayah telaah dari Teori Hukum, kini kita harus menarik garis tajam antara Dogmatika Hukum dan Teori Hukum. Diungkapkan dengan cara lain: bila kita menetapkan bahwa baik Dogmatika Hukum maupun Teori Hukum mempelajari gejala hukum tanpa di sini secara eksplisit bertolak dari satu disiplin non-yuridik tertentu, maka kita harus bertanya dalam aspek apa Teori Hukum mempelajari gejala hukum secara berbeda ketimbang Dogmatika Hukum melakukan hal ini. 72. Dipandang secara umum orang dapat memandang Teori Hukum, dalam hubungannya dengan Dogmatika Hukum, sebagai suatu meta-teori dari (terhadap) Dogmatika Hukum. Sebuah meta-teori adalah sebuah disiplin yang obyek studinya adalah sebuah ilmu yang lain. Jika Dogmatika Hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu sendiri dari suatu sudut pandang (pendekatan) teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka Teori Hukum pertama-tama adalah sebuah refleksi terhadap teknik hukum ini. Dogmatika Hukum berbicara tentang hukum, Teori Hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum. Ini adalah apa yang disebut orang pembedaan antara bahasa-obyek dan meta-bahasa. Ilmuwan hukum (rechtsgeleerde) berbicara tentang hukum berdasarkan (aan de hand van) hukum, Teori Hukum berbicara tentang hukum bertolak dari suatu perspektif bukan yuridik(-teknikal) dalam suatu bahasa bukan yuridik(-teknikal). Jika Dogmatika Hukum misalnya mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak dapat diterapkan pada suatu situasi masalah konkret, maka Teori Hukum mengajukan pertanyaan tentang 51 52 dapat digunakannya (kegunaan) teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal (het logisch dwingend karakter) dari penalaran interpretasi, dan sejenisnya lagi. Ahli hukum (ilmuwan hukum) berbicara tentang masalah hukum konkret, pakar (penstudi) Teori Hukum berbicara tentang penalaran dari ahli (ilmuwan) hukum. Ilmuwan hukum mempertanyakan penyelesaian yuridik-teknikal apa dalam sistem hukum terberi yang harus diberikan pada masalah itu. Pakar Teori Hukum akan tidak mempersoalkan penyelesaian apa yang paling diinginkan, ia bahkan sepenuhnya akan mengesampingkan pertanyaan pada penyelesaian ini sendiri. Apa yang dilakukan oleh pakar Teori Hukum adalah melakukan studi kritikal terhadap penalaran dari ilmuwan hukum dan instrumentarium konsep-konsep yuridik, teknik-teknik interpretasi dan kriteria untuk keberlakuan aturan-aturan hukum (hierarkhi sumber-sumber hukum, dan sejenisnya) yang digunakannya. Jadi, Dogmatika Hukum dan Teori Hukum jelas mensituasikan diri pada tataran yang berbeda. Dengan demikian, orang dapat menarik garis yang lebih tajam antara Dogmatika Hukum dan Teori Hukum ketimbang misalnya antara Teori Hukum dan Logika Hukum. Ini mengandung arti bahwa Dogmatika Hukum dan Teori Hukum tidak saling tumpang-tindih, melainkan yang satu terhadap yang lainnya masing-masing memiliki wilayah-telaah yang mandiri. Dogmatika Hukum bertujuan untuk memberikan suatu pemaparan dan sistematisasi hukum positif yang berlaku. Teori Hukum bertujuan untuk memberikan refleksi atas pemaparan dan sistematisasi ini. Dogmatika Hukum membangun di satu pihak suatu instrumentarium teknikal-yuridik dan suatu sistem hukum positif dan di lain pihak berupaya menemukan penyelesaian yang paling adekuat bagi masalah-masalah hukum konkret. Instrumentarium teknikal-yuridik dan sistem hukum tersebut dibangun atas dasar masalah-masalah yang terhadapnya praktek hukum dikonfrontasi, sementara masalahmasalah ini pada gilirannya disituasikan ke dalam konteks hukum positif yang berlaku. Dengan demikian, orang dapat berbicara tentang suatu dialektika antara sistem hukum dan masalah-masalah hukum: yang satu dikembangkan, secara respektif diselesaikan, dalam fungsi dari yang lainnya. Tiap kegiatan Dogmatika Hukum dengan demikian juga bergerak di antara dua kutub ini. Ilmuwan hukum bertolak misalnya dari sebuah konsep teknikal-yuridik tertentu yang ada yang ternyata tidak adekuat dalam perspektif satu atau lebih masalah hukum konkret, untuk kemudian sampai pada kesimpulan bahwa konsep ini harus ditolak atau dapat tetap dipertahankan dengan syarat dilakukan penyesuaianpenyesuaian dan penghalusan-penghalusan terhadapnya. Sebaliknya ilmuwan hukum menguji masalah-masalah hukum konkret pada hukum positif yang berlaku dengan tujuan akhir untuk menemukan suatu penyelesaian yang secara yuridik-teknikal tepat bagi masalah-masalah ini. Dengan tepat secara yuridik-teknikal tidak dimaksudkan bahwa tiap kali hanya akan terdapat satu kemungkinan penyelesaian, melainkan bahwa penyelesaian ini secara yuridik-teknikal dapat dipertahankan (verdedigbaar). Jadi, Dogmatika Hukum bertujuan untuk memberikan sebuah penyelesaian konkret secara yuridik-teknikal, bagi sebuah masalah konkret, atau membangun suatu kerangka yuridikteknikal yang di dalamnya dan berdasarkannya sejumlah masalah yang ada dan yang mungkin timbul di kemudian hari, akan harus dapat memperoleh penyelesaian yuridik. Dengan kata lain, yang menjadi titik sentral dalam Dogmatika Hukum adalah: ihwal menemukan penyelesaian konkret terhadap masalah-masalah yuridik. Jika Dogmatika Hukum memusatkan perhatian pada perangkat pengertian-pengertian (konsep-konsep) yang lebih formal dan pada struktur dari sistem hukum, sepintas tampaknya lepas dari 52 53 kesibukan untuk memberikan penyelesaian yuridik terhadap masalah-masalah kemasyarakatan konkret, maka kita berhadapan dengan kegiatan sekunder yang pada akhirnya hanya dijalankan dalam perspektif dari pengaturan masalah-masalah hukum konkret ini. Kegiatan pengembanan Teori Hukum dari pihaknya tidak pernah mempunyai tujuan secara langsung atau tidak langsung untuk memberikan penyelesaian yuridik atas kejadian-kejadian bermasalah konkret. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa Teori Hukum itu akan tidak relevan untuk praktek hukum. Hal ini juga tidak berarti bahwa hasil-hasil penelitian bidang Teori Hukum tidak dapat menjalankan pengaruh langsung pada penerimaan atau penolakan terhadap pengertian-pengertian hukum, figur-figur (pranata-pranata) hukum atau interpretasi-interpretasi yuridik tertentu. Pengemban atau pakar Teori Hukum misalnya dapat menunjukkan pada ketidak-konsistenan logikal atau pada tidak dapat diakomodasikannya teori-teori tertentu dengan hasil-hasil dari ilmu-ilmu lain. Pengemban Teori Hukum juga dapat memperlihatkan (membuka kedok, ontmaskeren) suatu penalaran yuridik yang tampak netral dan obyektif sebagai suatu penalaran bermuatan nilai yang mengandaikan (mempraanggapi) penerimaan implisit titik-titik tolak ideologikal tertentu. Dalam semua kejadian ini maka kesimpulan dari penelitian bidang Teori Hukum akan dapat membawa pada penolakan konstruksi yuridikal terkait. Pengaruh ini memang tunduk pada (mudah dipengaruhi) dua pembatasan: kritik Teori Hukum tidak selalu akan niscaya mengakibatkan penolakan konstruksi yuridikal pada tataran Dogmatika Hukum dan lebih dari itu pengaruh dari penelitian Teori Hukum akan lebih banyak berada pada tataran asas-asas hukum ketimbang pada tataran pengolahan praktikalnya, yang tetap menjadi tugas dari Dogmatika Hukum. Ihwalnya bukanlah misalnya karena sebuah penalaran tertentu ternyata tidak memiliki daya memaksa (berlaku niscaya, dwingend) karena ia tergantung pada satu atau lebih putusan nilai (waardeoordeel) yang secara implisit termuat dalam penalaran tersebut sehingga ia karena itu oleh ilmuwan hukum akan ditolak (diharamkan). Sebab, ihwalnya dapat ternyata (terbukti) bahwa penalaran-penalaran konkurensinya (yang bersaing dengannya) berkenaan dengan masalah hukum yang sama juga tidak memaksa secara logikal, sedangkan putusan-putusan nilai yang berdasarkannya penalaran-penalaran yang disebut terakhir bertolak oleh ilmuwan hukum dipandang sebagai kurang dapat dipertahankan ketimbang praanggapan-praanggapan (asumsi-asumsi) yang di atasnya penalaran yang pertama bertumpu. Jadi, kritik atas sebuah konstruksi teknik-yuridikal baru akan membawa pada (mengakibatkan) penolakan konstruksi ini jika ilmuwan hukum dapat mengajukan konstruksi lain sebagai penggantinya, yang menurut pendapatnya lebih baik. Di samping itu ihwalnya juga jelas bahwa pengemban Teori Hukum, secara negatif, akan dapat melancarkan kritik yang dapat mengakibatkan penolakan sebuah konstruksi teknik-yuridikal, tetapi tidak, secara positif, akan mengembangkan konstruksi-konstruksi teknik-yuridikal alternatif. Teori Hukum tidak akan melakukan pilihan di antara konstruksi-konstruksi teknik-yuridikal: pengolahan teknikal sesungguhnya termasuk wilayah Dogmatika Hukum. Pengemban Teori Hukum misalnya akan memperlihatkan hal tidak dapat dipertahankannya interpretasi undangundang tertentu berdasarkan alasan-alasan teoretikal dan eventual ia sendiri mengajukan (mengutip) satu atau lebih interpretasi alternatif yang dari sudut Teori Hukum tidak atau kurang menemukan keberatan. Ia akan menyerahkan kepada ilmuwan hukum untuk, 53 54 dengan memperhitungkan keberatan-keberatan dari sudut Teori Hukum yang mungkin ada, menetapkan pilihan interpretasi mana dalam sistem hukum terberi dan untuk masalah-masalah kemasyarakatan konkret yang tampil sebagai penyelesaian yang paling tepat (disarankan). Dogmatika Hukum pada akhirnya hanya berurusan dengan upaya untuk menemukan penyelesaian yuridik-teknikal dari masalah-masalah hukum konkret, yang dalam hal itu kadang-kadang masalah-masalah ini dipandang secara terisolasi dan kadang-kadang dikelompokkan per kategori, namun ambisi Dogmatika Hukum tidak pernah menjangkau lebih jauh ketimbang tataran teknik hukum. Teori Hukum dari pihaknya pada akhirnya tidak terarah pada penyelesaian masalah-masalah hukum konkret itu sendiri atau kategori-kategori dari masalah-masalah hukum, melainkan hanya pada upaya mempelajari teknik-teknik dan metode-metode yang digunakan dalam Dogmatika Hukum dan praktek hukum untuk penyelesaian masalah-masalah hukum. Jadi, masalah-masalah hukum konkret memang dapat mempengaruhi persoalan-persoalan Teori Hukum. Dalam arti ini, Teori Hukum adalah refleksi atas tindakan-tindakan dari yuris, “Reflexion auf das eigene Tun” (Refleksi atas perbuatan sendiri) (K. Larenz, Methodenlehre des Rechts, 1980: 226). Dalam Dogmatika Hukum dan praktek hukum terdapat kebutuhan riil pada refleksi demikian atas cara orang bekerja sebagai yuris. Karena itu juga bukan hal kebetulan bahwa Teori Hukum, atau “Ajaran Hukum Umum” yang dahulu, untuk sebagian besar disamakan (disetarakan) dengan metodologi dari hukum. Metodologi dari hukum ini memang mewujudkan suatu bagian penting dari wilayah-telaah Teori Hukum (tentang hal ini lihat lebih jauh di bawah 4.12.). Teori Hukum dewasa ini tidak membatasi diri pada studi atas teknik-teknik dan metodemetode yang digunakan oleh Dogmatika Hukum, juga aspek-aspek lain dari Dogmatika Hukum menjadi obyek telaah kritikal, seperti model ilmu dari Dogmatika Hukum atau gambaran manusia dan masyarakat yang secara implisit ada dalam konstruksi yuridikal tertentu. 73. Dewasa ini keliru untuk berpendapat bahwa obyek studi Teori Hukum hanya Dogmatika Hukum dan bukan hukum itu sendiri atau kenyataan yuridikal. Teori Hukum itu memang lebih dari sekedar suatu meta-teori dari Dogmatika Hukum. Teori Hukum juga mempelajari antara lain sejumlah persoalan-persoalan fundamental dalam kaitan dengan hukum positif seperti misalnya sifat dari kaidah hukum, definisi dari hukum, hubungan antara hukum dan moral, dan sejenisnya lagi. Namun dengan segera kita sampai ke dalam suasana dari sejumlah wilayah permasalahan yang secara tradisional termasuk wilayah Filsafat Hukum. Dalam dua paragraf berikut berturut-turut juga akan dipaparkan wilayah telaah Filsafat Hukum dan hubungan antara Filsafat Hukum dan Teori Hukum akan diuraikan secara skematik. 74. Sebagai penutup dari paragraf tentang hubungan antara Dogmatika Hukum dan Teori Hukum ini masih perlu diberikan catatan terakhir. Sebagai ciri khas pembeda antara dua disiplin ini sering ditunjuk pada fakta bahwa Dogmatika Hukum mempelajari hukum positif sebagaimana ia pada suatu waktu tertentu dan di suatu tempat tertentu memiliki kekuatan berlaku, sedangkan Teori Hukum, secara respektif “Ajaran Hukum Umum” mempelajari hukum dalam “keumumannya” lepas dari 54 55 aturan-aturan hukum konkret dan sistem-sistem hukum konkret. G.W. Paton mengatakan “Jurisprudence is a particular method of study, not of the law of one country but of the general notion of law itself.” (A Textbook of Jurisprudence, Oxford, 1992: 2). Terhadap kriterium demikian untuk membedakan Dogmatika Hukum dari Teori Hukum dapat diajukan beberapa keberatan. Pertama-tama kriterium itu pasti tidak memberikan uraian yang cermat dan lengkap tentang hubungan yang tepat antara Teori Hukum dan Dogmatika Hukum. Kriterium ini lebih banyak menunjuk pada renungan ilmiah dan/atau filosofikal tentang definisi dari hukum dan tentang konsep-konsep yuridik serta figur-figur (pranata-pranata) hukum dipandang dalam abstraksi mereka, dan pada Teori Hukum sebagai ajaran metode dan/atau kritik ideologi atas Dogmatika Hukum. Lebih dari itu, dengan kriterium pembeda yang demikian itu ditimbulkan kesan bahwa orang meraih kembali pada pandangan abad sembilan belas atas Ajaran Hukum Umum, yang dengannya orang berupaya menemukan “hakikat” dari hukum dengan menelusuri unsur-unsur yang sama pada konsep-konsep yuridik, pranata-pranata hukum dan sistemsistem hukum dalam semua atau sekurang-kurangnya dalam bagian penting dari tatanantatanan hukum positif yang berlaku. Dengan ini orang kehilangan pandangan bahwa hukum positif adalah suatu teknik yang dengannya perbuatan manusia di dalam masyarakat ditata. Karena itu juga tidaklah bermakna untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan tentang “esensi” dari sebuah pranata hukum seperti perkawinan, perjanjian, erfpacht, kepailitan, lepas dari suatu masyarakat manusia konkret. Justru karena orang dalam perjalanan waktu menyadari hal ini, maka dalam Teori Hukum telah berkembang kecenderungan untuk justru berupaya secara eksplisit mensituasikan hukum dalam konteks historikal, sosial, politikal, ekonomikal, psikologikalnya. Fakta bahwa berbagai disiplin non-hukum meneliti hukum dengan beranjak dari sudut pendekatan ilmiahnya masing-masing, maka Teori Hukum lewat suatu penanganan interdisipliner dapat menempatkan diri pada tataran suatu disiplin dengan pendekatan yang bernilai ilmiah penuh. 75. Mengenai karakter keilmuan terdapat lagi satu perbedaan mencolok antara Teori Hukum dan Dogmatika Hukum. Di atas sudah diajukan bahwa Dogmatika Hukum membatasi diri pada pemaparan dan sistematisasi dari hukum positif yang berlaku, dalam arti bahwa kegiatan ini tidak dapat dipandang sebagai netral dan obyektif melainkan berlangsung dengan beranjak dari suatu sudut pendekatan subyektif atau inter-subyektif. Berkenaan dengan tipe-tipe ilmu klasik seperti misalnya Fisika dan Sejarah, Dogmatika Hukum tidak bertujuan mencari penjelasan yang melandasi atau meramalkan (memprediksi) gejala-gejala hukum. Sebaliknya, Teori Hukum justru tidak membatasi diri pada pemaparan dan sistematisasi, melainkan bertujuan dan dalam hakikatnya untuk memainkan peranan menjelaskan dan menjernihkan. Dan sejak beberapa waktu ini orang berupaya dengan bantuan Informatika untuk juga sampai pada peramalan-peramalan, khususnya berkenaan dengan putusanputusan kehakiman (rechterlijke beslissingen). Mengingat hasil-hasilnya yang terbatas yang hingga kini telah tercapai, maka hal membuat peramalan berkenaan dengan bahanbahan terberi yuridikal terutama belum dapat dipandang sebagai tugas esensial dari Teori Hukum, juga meskipun kita untuk masa depan tidak secara a priori menutup pintu. 55 56 Bahwa Teori Hukum harus didefinisikan sebagai sebuah ilmu yang menjelaskan (verklarende wetenschap) berada di luar pokok bahasan. Demikianlah misalnya lewat penelitian bidang Teori Hukum akan dapat ditunjukkan oleh komponen-komponen struktural dasar apa aturan-aturan dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikuasai (misalnya penetapan bahwa aturan-aturan tentang kecakapan melakukan perbuatan hukum, tentang hukum waris, tentang hukum kekayaan perkawinan, dan sejenisnya, diarahkan untuk mempertahankan “het familie patrimonium” dari bangsawan dan kewargaan sipil yang baik dari abad 19); akan dilakukan penelaahan peranan apa yang dimainkan dan/atau dapat dimainkan oleh pengertian-pengertian seperti “hukum subyektif” dalam sistem hukum kita; orang akan meneliti sejauh mana putusan hakim itu merupakan hasil dari kegiatan berpikir rasional. Satu tujuan yang sama dalam semua penelitian-penelitian bidang Teori Hukum ini adalah upaya mencapai suatu pemahaman yang lebih baik tentang gejala-gejala hukum tertentu. Orang mencoba, sama seperti dalam Ilmu-ilmu Manusia lain seperti Sosiologi, Sejarah atau Psikologi, untuk mencapai model-model teoretikal yang berdasarkannya gejala-gejala (hukum) ini dapat dijelaskan lebih baik. Tiap penelitian bidang Teori Hukum dengan kata lain mempunyai tujuan untuk, dengan pengujian hipotesis-hipotesis titik tolak tertentu, sampai pada pembentukan teori. Tentang hal ini dan tentang aturan-aturan metodologikal yang dalam hal itu harus diikuti, akan dibahas lebih luas dalam bab berikut. Sekarang dapat dicukupkan dengan menunjuk pada adanya pembentukan teori ini yang terjadi dengan tujuan pada penjelasan gejala-gejala hukum, untuk menunjukkan bagaimana Teori Hukum sebagai disiplin ilmiah membedakan diri dari Dogmatika Hukum. Dalam paragraf berikut akan dikemukakan sebuah ikhtisar tentang wilayah-telaah dan cara kerja dari Filsafat Hukum untuk sesudahnya pada gilirannya menetapkan batas-batas wilayah Filsafat Hukum dalam hubungannya dengan Teori Hukum. 3.13 Filsafat Hukum. 76. Filsafat Hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam Filsafat pertanyaan-pertanyaan paling dalam dibahas dalam hubungan dengan makna, landasan, struktur, dan sejenisnya dari kenyataan. Dalam Filsafat Hukum, pertanyaan-pertanyaan ini difokuskan pada keterberian-keterberian yuridikal. Dalam kepustakaan, Filsafat Hukum didefinisikan: ï‚· sebagai sebuah disiplin spekulatif, yang berkenaan dengannya penalaranpenalarannya tidak selalu dapat diuji secara rasional, dan yang menyibukkan diri dengan latar belakang dari pemikiran (I. Tammelo); ï‚· sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hukum yang “benar”, hukum yang adil (J. Schmidt, H. Kelsen); ï‚· sebagai sebuah refleksi atas dasar-dasar dari kenyataan (yuridikal), suatu bentuk dari berpikir sistematikal yang hanya akan merasa puas dengan hasil-hasil yang timbul dari dalam pemikiran (kegiatan berpikir) itu sendiri dan yang mencari suatu hubungan teoretikal terrefleksi, yang di dalamnya gejala-gejala (hukum) dapat dimengerti dan dipikirkan (D. Meuwissen); ï‚· sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hakikat (sifat) dari keadilan, pengetahuan tentang bentuk keberadaan transenden dan immanen dari hukum, pengetahuan tentang nilai-nilai yang di dalamnya hukum berperan dan tentang hubungan antara hukum dan keadilan, pengetahuan tentang struktur dari 56 57 pengetahuan tentang moral dan dari Ilmu Hukum, dan pengetahuan tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbellay); Definisi-definisi ini memang cukup heterogen, namun dipandang secara umum orang dapat juga mengatakan bahwa Filsafat Hukum mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam dan berupaya untuk menjawab dalam hubungannya dengan hukum dan kenyataan-kenyataan hukum. Uraian yang demikian tentang pokok-telaah dari Filsafat Hukum sesungguhnya terlalu kabur dan terlalu luas. Terlalu kabur, karena dengan itu sama sekali belum jelas apa yang harus diartikan dengan “pertanyaan yang lebih mendalam” itu. Terlalu luas, karena juga Teori Hukum, yang memang juga tumbuh dari dalam Filsafat Hukum, mempunyai pokok-telaah pertanyaan-pertanyaan yang lebih luas ini, tentang keterberian-keterberian yuridikal. Untuk dapat membatasi Teori Hukum dan Filsafat Hukum yang satu terhadap yang lainnya, maka juga mutlak diperlukan untuk terlebih dahulu memberikan suatu ikhtisar yang lebih cermat tentang wilayah-telaah dari Filsafat Hukum. Wilayah-telaah dari Filsafat Hukum dapat dibagi ke dalam sejumlah wilayah-bagian berikut ini: a. Ontologi Hukum (ajaran hal ada, zijnsleer): penelitian tentang “hakikat” dari hukum, tentang “hakikat” misalnya dari demokrasi, tentang hubungan antara hukum dan moral. b. Aksiologi Hukum (ajaran nilai, waardenleer): penentuan isi dan nilai-nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, penyalahgunaan hak. c. Ideologi Hukum (harafiah: ajaran idea, ideeenleer): pengolahan wawasan menyeluruh atas manusia dan masyarakat yang dapat berfungsi sebagai landasan dan/atau sebagai legitimasi bagi pranata-pranata hukum yang ada atau yang akan datang, sistem-sistem hukum seutuhnya atau bagian-bagian dari sistem tersebut (misalnya tatanan-tatanan hukum kodrat, Filsafat Hukum Marxistik) d. Epistemologi Hukum (ajaran pengetahuan, kennisleer): penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” dari hukum atau masalahmasalah Filsafat Hukum fundamental lainnya adalah sesuatu yang mungkin. Jadi, ini adalah suatu bentuk dari meta-filsafat. e. Teleologi Hukum (ajaran finalitas, finaliteitsleer): hal menentukan makna dan tujuan dari hukum. f. Ajaran Ilmu (wetenschapsleer) dari hukum: ini adalah meta-teori dari Ilmu Hukum, yang di dalamnya diajukan dan dijawab pertanyaan-pertanyaan antara lain dalam hubungan dengan kriteria bagi keilmiahan (sejauh mana pengetahuan ilmiah tentang hukum itu dimungkinkan?) dan dalam hubungan dengan klasifikasi Ilmu Hukum (bukan klasifikasi hukumnya itu sendiri). Juga metodologi dari Filsafat Hukum sendiri (dengan mengecualikan metodologi dari cabang-cabang Ilmu Hukum lain) dapat dimasukkan ke dalamnya. g. Logika Hukum (rechtslogika): penelitian tentang aturan-aturan berpikir hukum dan argumentasi yuridik, bangunan logikal serta struktur sistem hukum. Logika Hukum telah berkembang menjadi sebuah cabang Filsafat Hukum mandiri dan bahkan menjadi sebuah disiplin sendiri dalam Ilmu Hukum, yang di dalamnya ia mengambil tempat sendiri di samping Filsafat Hukum. Logika Hukum lebih jauh akan dibicararakan tersendiri dan untuk selebihnya di sini tidak akan dibahas. 57 58 77. Yang mencolok pada Filsafat Hukum adalah bahwa hasil dari penalarannya tidak dapat diuji, secara empirik untuk keseluruhannya, dan secara rasional untuk sebagian. Penalaran-penalaran filosofikal sendiri memang harus selalu memenuhi syarat-syarat minimum tertentu dari rasionalitas, yakni harus tepat secara logikal dan terbuka bagi diskusi rasional. Syarat pertama, yakni yang berkaitan dengan keberlakuan logikal dari penalaran filsafat hukum, tidak memerlukan komentar lebih jauh mengingat aturan-aturan logika berlaku untuk semua penalaran dan dengan demikian pasti untuk penalaran-penalaran yang mengklaim keilmiahan, atau yang sekurang-kurangnya harus berfungsi sebagai landasan bagi penalaran-penalaran ilmiah. Demikianlah, filsafat lazimnya tidak dikualifikasi sebagai sebuah “ilmu”, melainkan lebih sebagai sebuah “meta-disiplin”, yang antara lain menjadikan ilmu-ilmu ini sendiri sebagai obyeknya, namun secara umum disyaratkan bahwa filsafat harus mematuhi suatu metode ilmiah. Memang dapat ditetapkan sejumlah syarat-syarat minimal pada tataran argumentasi, dengan kata lain, pada tataran Logika. Jika dalam filsafat tidak pernah dapat dijamin konsensus atas dasar landasan rasional semata-mata berkenaan dengan hasil-hasil dari penalaran-penalaran, maka suatu konsensus rasional yang demikian pada asasnya dimungkinkan jika ihwalnya berkenaan dengan metode-metode dan argumen-argumen yang digunakan. Syarat kedua, yang berkenaan dengan keberadaan dari kemungkinan untuk menjalankan suatu diskusi rasional berkaitan dengan penalaran kefilsafatan tentang hukum, dapat dipandang sebagai pasangan dari tuntutan dapat diuji (secara empirikal) hasil-hasil dalam ilmu-ilmu yang menjelaskan (ilmu eksplanatif). Ketidak mungkinan untuk memverifikasi atau memfalsifikasi dalil-dalil dan teori-teori Filsafat Hukum tidak boleh menyebabkan bahwa dalil-dalil dan teori-teori ini menjadi imun (kebal) terhadap kritik rasional. Sama seperti tiap ilmu yang berkembang dalam dan oleh suatu diskusi permanen di antara para ilmuwan berkenaan dengan teori-teori yang ada, maka suatu perkembangan maju dari Filsafat Hukum dan suatu perluasan dari pemahamanpemahaman kefilsafatan tentang hukum hanya mungkin terjadi jika teori-teori kefilsafatan tentang hukum membuka ruang bagi suatu diskusi rasional tentang titik-titik tolak, isi, pengolahan/penjabaran dari teori-teori ini, yang berlandaskannya dapat dikembangkan lagi gagasan-gagasan kefilsafatan tentang hukum yang baru. Suatu diskusi rasional dan terbuka yang demikian itu adalah syarat yang mutlak perlu untuk mencapai suatu konsensus intersubyektif. Dari titik pandang demokrasi, hal mengembangkan konsensus intersubyektif yang demikian adalah alternatif yang mutlak perlu untuk suatu pengujian ilmiah, dalam hal-hal yang di dalamnya pengujian ilmiah yang demikian itu tertutup. Ini terutama berlaku jika ihwalnya berkenaan dengan pengandaian nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ideologi-ideologi. Untuk memungkinkan diskusi rasional mengenai teori-teori kefilsafatan tentang hukum, juga mutlak diperlukan bahwa teori ini (misalnya yang berkaitan dengan “hakikat” dari hukum) sesuai dengan pengetahuan ilmiah yang berlaku pada saat itu. Jika ihwalnya tidak demikian, maka diskusi rasional memang akan tidak mungkin dijalankan. 78. Di luar dua syarat rasionalitas ini, maka teori-teori dalam Filsafat Hukum tidak dapat dikontrol. Hal ini kurang-lebih tampak jelas berkenaan dengan Aksiologi Hukum, Ideologi Hukum dan Teleologi Hukum. Sebab pada bidang-bidang bagian dari Filsafat 58 59 Hukum ini tidak dibuat putusan-putusan tentang kenyataan, melainkan diolah nilai-nilai dan/atau kaidah-kaidah tertentu, yang diterima terlebih dahulu sebagai landasan untuk aturan-aturan hukum positif dan sistem-sistem hukum. Ihwalnya jelas bahwa nilai-nilai dan kaidah-kaidah pada dirinya sendiri tidak terbuka bagi pengujian empirikal dan rasional. Hanya rasionalitas, ini adalah konsistensi internal, dari sebuah ideologi atau koherensi di antara berbagai nilai dan kaidah yang bersama-sama dipandang sebagai berlaku yang dapat dikritik berdasarkan kriteria obyektif. Dalam optik yang sama orang juga dapat menguji rasionalitas dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah pada tataran hubungan “sarana – tujuan” : nilai-nilai dan kaidah-kaidah selalu terhubung pada penetapan tujuan (orang memandang misalnya suatu persamaan maksimal antar-manusia, di antaranya pada bidang pendapatan, sebagai nilai dan/atau kaidah karena orang berpendapat bahwa dengan itu maka kehidupan orang rata-rata (doorsnee-mens) akan menjadi lebih nyaman dan lebih bahagia); demikianlah nilai-nilai dan kaidah-kaidah sebagai demikian tidak dapat “diuji”, namun orang dapat menelaah sejauh mana (dalam derajat apa) nilai-nilai dan kaidah-kaidah ini relevan, dapat digunakan, berguna atau mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu (diandaikan). Antara lain demi relasi dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah dengan penetapan tujuan tertentu ini, yang sering diterima secara umum, maka pilihan pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah tertentu atau pada ideologi tertentu untuk sebagian dapat diargumentasi secara rasional. Argumentasi rasional ini juga untuk keseluruhannya atau untuk sebagian akan sudah bertumpu pada putusan-putusan nilai atau butir-butir keyakinan yang lain. Jika orang misalnya mengopsi (memilih) suatu ideologi hukum sosialistik maka orang lain bertumpu pada putusan nilai bahwa adalah hal yang dikehendaki bahwa semua orang sebanyak mungkin sama, sementara manusia juga, terutama dalam suatu optik marxistik, bertolak dari keyakinan bahwa di dalam sejarah terdapat (berlangsung) suatu perkembangan positif menuju pada suatu masyarakat yang demikian. 79. Karakter Filsafat Hukum yang sebagian besar bersifat spekulatif merenung ini juga sama kurang evidentnya pada bidang Ontologi Hukum, dan pada bidang Ajaran Pengetahuan (Epistemologi) serta Ajaran Ilmu dari hukum. Karena itu, maka juga tiap aspek-bagian dari Filsafat Hukum ini akan dibahas secara sama singkatnya. Ajaran tentang hal ada (zijnsleer) atau ontologi dari hukum mengajukan pertanyaanpertanyaan tentang “hakikat” dari hukum, tentang isi pokok (basisinhoud) dari pengertian hukum, tentang “cita-hukum”. Isi pokok ini misalnya dicari dalam nilai-nilai fundamental seperti kebebasan, keadilan dan kepastian hukum. Jadi, di sini ihwalnya tidak terutama berkenaan dengan upaya mencari pengetahuan tentang hukum ketimbang berkenaan dengan hal menetapkan suatu nilai dasar atau sebuah kaidah dasar (basisnorm), yang dengan demikian berfungsi sebagai titik tolak untuk menentukan nilai-nilai dan kaidahkaidah yang lainnya dan untuk membangun (pengembangan) sebuah ideologi, yang pada gilirannya mewujudkan bangunan dasar (onderbouw) bagi legitimasi dari aturan-aturan hukum, pranata-pranata hukum dan sistem-sistem hukum yang ada atau yang dipropagandakan. Ketika orang tampaknya mencari apa yang menjadi (merupakan, yang adalah) inti dari apa yang yuridikal, dalam kenyataan sesungguhnya orang menunjukkan apa yang seharusnya dipandang sebagai nilai yang paling esensial dari hukum. Orang mengklaim hanya melakukan sekedar suatu refleksi merenung, tentang hakikat dari hukum, namun dalam kenyataannya orang dengan ini menyatakan putusan-putusan 59 60 normatif yang terselubung. Orang berkata: “hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan” padahal yang sesungguhnya dinyatakan: “hukum (se-)harus(-nya) memperjuangkan keadilan”. Dengan begitu maka Ontologi Hukum memperlihatkan ciriciri yang sama seperti aksiologi, ideologi dan ajaran finalitas dari hukum, sehingga pengujian obyektif terhadap hasil-hasilnya menjadi tertutup dan paling jauh hanya dapat dicoba untuk mencapai konsensus intersubyektif. Dalam Epistemologi Hukum atau Ajaran Pengetahuan dari hukum ditelaah sejauh mana dimungkinkan pengetahuan tentang “hakikat” dari hukum atau tentang masalah-masalah kefilsafatan tentang hukum lainnya. Di sini dengan demikian kita berhadapan dengan meta-filsafat dari Filsafat Hukum. Jika misalnya Ontologi Hukum mengajukan pertanyaan tentang “hakikat” dari hukum maka Epistemologi Hukum meneliti kemungkinan-kemungkinan untuk dapat menjawab pertanyaan yang demikian itu. Jadi, di sini jelas ihwalnya tidak berkenaan dengan pengandaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah tertentu, melainkan dengan upaya menemukan batas-batas dari pengetahuan (yang mungkin) tentang kenyataan (yuridikal). Jadi, pada pandangan pertama seolah-olah di sini suatu pengujian empirikal akan harus dimungkinkan. Ini untuk sebagian juga memang benar: jika seseorang mengajukan bahwa hal memperoleh pengetahuan tentang “hakikat” dari hukum, adalah sepenuhnya tertutup, maka pernyataan ini adalah sebuah dalil yang secara prinsipiil terbuka bagi falsifikasi. Dalam kenyataan hal ini juga akan tidak mungkin, karena aturan dasar pengetahuan dari setiap “pengetahuan” tentang “hakikat” dari hukum yang diajukan akan selalu dapat diragukan. Misalkan orang menerima bahwa, seperti dikemukakan di atas, Ontologi Hukum tidak bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tetapi mengejar suatu pilihan nilai-nilai dan/atau kaidah-kaidah yuridik fundamental, maka selalu akan dapat disangkal (geloochend) bahwa hasil-hasil penelitian dari Ontologi Hukum mempunyai hubungan dengan pengetahuan tentang hukum. Karena itu, jawaban atas pertanyaan tentang batas-batas dari pengetahuan kita (yang mungkin) tentang kenyataan (yuridikal) juga secara esensial akan selalu menyandang sifat spekulatif. Sebagai wilayah-bagian dari Filsafat Hukum yang terakhir kini masih akan dibahas Ajaran Ilmu. Ketika di atas pada pengurutan wilayah-wilayah bagian dari Filsafat Hukum sebagai wilayah keenam disebut “Ajaran Ilmu dari hukum”, maka sesungguhnya perlu disinggung bahwa uraian ini sedikit banyak dapat menyesatkan. Dipandang secara historikal ihwalnya memang demikian bahwa ajaran ilmu dari hukum secara integral dipandang sebagai obyek studi khas dari Filsafat Hukum. Namun kini ajaran ilmu ini untuk sebagian dapat dimasukkan ke dalam wilayah dari Teori Hukum, khususnya ajaran ilmu dari Dogmatika Hukum. Pertanyaan krusialnya, yang dalam perjalanan dua abad terakhir selalu tampil kembali untuk didiskusikan, yakni tentang sifat keilmuan dari Dogmatika Hukum, dewasa ini secara umum dipandang sebagai sebuah tema penelitian dari Teori Hukum dan tidak (lagi) dari Filsafat Hukum. Bukankah Teori Hukum itu adalah meta-teori terhadap Dogmatika Hukum. Karena itu, yang termasuk ke dalam wilayah dari Filsafat Hukum itu bukanlah ajaran ilmu dari hukum, dipandang dalam arti luas, melainkan hanya ajaran ilmu dari Teori Hukum. Mengingat Filsafat Hukum itu sendiri tidak mempunyai meta-disiplin di atasnya, maka ia juga harus melakukan penelitian sendiri terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan karakter keilmuan dan metodologi dari Filsafat Hukum. Jadi, di sini Filsafat Hukum harus melakukan perenungan diri (zelfreflektie). Pada medan berkiprah 60 61 dari Filsafat Hukum ini, pemikiran spekulatif tidak dapat dipandang sebagai ciri utama dari pendekatan kefilsafatan tentang hukum. Pemikiran tentang keilmuan dan tentang metodologi tidak dapat (sulit untuk diterima) bersifat spekulatif murni. Namun unsur spekulatif di sini juga akan memainkan peranan penting, khususnya karena pertanyaanpertanyaan yang terhadapnya oleh ilmu sendiri secara a priori tidak dapat diberikan jawaban, digeser ke Filsafat Hukum. Sebuah masalah inti dalam Ajaran Ilmu adalah misalnya pertanyaan sejauh mana berbagai ilmu dapat bebas-nilai. Ini antara lain telah menimbulkan “perjuangan metode” (methodenstrijd) dalam Sosiologi yang terkenal itu. Perjuangan metode ini berputar di satu pihak sekitar pertanyaan sejauh mana (dalam derajat apa) ihwalnya mungkin dan dikehendaki untuk mengemban Sosiologi sebagai sebuah ilmu empirik yang murni (strict empirische wetenschap), dan di lain pihak sekitar pertanyaan sejauh mana Sosiologi (sebagai ilmu empirik) memenuhi dan harus memenuhi fungsi kritikal berkenaan dengan masyarakat yang ada. Pertanyaan-pertanyaan ini juga dipaparkan sebagai hubungan, secara respektif antara teori dan empiri serta antara teori dan praksis. Aliran “analitik-empirikal” dalam Sosiologi (Konig, Albert, Topitsch, Popper) membela suatu pendekatan empirikal yang “netral”, sedangkan pembela-pembela dari suatu teori “kritikal”, “dialektikal” tentang masyarakat (Adorno, Habermas, ini adalah apa yang dinamakan “Frankfurter Schule”) berpendapat bahwa suatu pengembanan Sosiologi netral yang bebasnilai dalam kenyataan adalah tidak mungkin, sehingga pengembanan Sosiologi “teknokratik” yang semata-mata empirikal ditolak. Untuk kepustakaan lihat: B.C. van Houten, Tussen aanpassing en kritiek. De derde methodenstrijd in de Duitse sociologie, Deventer, 1973; Th. Adorno, e.a., Der Positivismusstreit in der Deiutsche Soziologie, Neiwied/Berlijn, 1969. Juga dalam Teori Hukum mulai berkembang perjuangan metode yang demikian itu. Tentang hal ini akan dibahas dalam bab berikut, yang di dalamnya antara lain akan ditampilkan pertentangan antara apa yang dinamakan Teori Hukum “Empirikal” dan Teori Hukum “Normatif”. Pilihan berkenaan dengan masalah ini, yang oleh tiap ilmuwan bagaimana pun niscaya harus dilakukan, akan terpaksa terjadi atas dasar suatu pilihan antara nilai-nilai, kaidah-kaidah, ideologi-ideologi dan bukan putusan-putusan tentang kenyataan yang sudah terbukti (dan untuk sementara tidak dapat dibuktikan). Dengan demikian, juga pada tataran Ajaran Ilmu, pemikiran spekulatif dalam Filsafat Hukum akan memainkan peranan penting lagi. 80. Sebagai penutup dari paragraf ini yang di dalamnya telah diberikan ikhtisar dari wilayah Filsafat Hukum, dapat ditetapkan bahwa Filsafat Hukum dalam hakikatnya diciri-khaskan (ditengarai) dengan karakter spekulatif dari pemikiran kefilsafatan tentang hukum, dan ini pada semua wilayah-bagian dari Filsafat Hukum. Dalam paragraf berikut Filsafat Hukum akan dibatasi dalam hubungannya dengan Teori Hukum. 61 62 3.14. Hubungan Filsafat Hukum – Teori Hukum 81. Sebagaimana sudah diuraikan dalam sketsa sejarah timbulnya Teori Hukum dalam bab dua, Teori Hukum adalah ilmu yang tumbuh dari Filsafat Hukum dan yang secara bertahap telah mengembangkan diri menjadi sebuah disiplin mandiri antara Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum. Jika Teori Hukum mewujudkan sebuah meta-teori berkenaan dengan Dogmatika Hukum, maka Filsafat Hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum. Dipandang secara struktural, Teori Hukum terhubung pada Filsafat Hukum dengan cara yang sama seperti Dogmatika Hukum terhadap Teori Hukum. Ini sama sekali tidak hendak mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan langsung antara Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum. Namun hubungan ini berada di luar pembahasan karena di sini ihwalnya hanya berkenaan dengan mensituasikan Teori Hukum dalam keseluruhan ilmu-ilmu yang mengambil hukum sebagai obyek penelitiannya. Filsafat Hukum adalah sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum dan ini pada lebih banyak titik, yang berkaitan dengan berbagai wilayah-bagian dari Filsafat Hukum yang disketsakan di atas. Dengan (syarat) suatu penyederhanaan skematik orang dapat mengembalikan berbagai faset dari Filsafat Hukum ini pada dua: Filsafat Hukum sebagai ajaran nilai dari Teori Hukum dan Filsafat Hukum sebagai ajaran ilmu dari Teori Hukum. Dalam penyederhanaan skematikal ini maka dengan “ajaran nilai” dimaksudkan: Ontologi Hukum, Aksiologi Hukum, Ideologi Hukum dan Teleologi Hukum. Dengan “Ajaran Ilmu” di sini ditunjuk baik Ajaran Pengetahuan maupun Ajaran Ilmu yang sesungguhnya. 82. Fungsi dari Filsafat Hukum sebagai Ajaran Nilai dari Teori Hukum harus dilihat dalam hubungan dengan suatu kriterium pembeda yang esensial antara Filsafat Hukum dan Teori Hukum. Dalam bab dua sudah ternyata bahwa salah satu dari sebab-sebab timbulnya Teori Hukum adalah upaya untuk mendekati persoalan-persoalan umum dalam hubungan dengan hukum dan dengan gejala-gejala hukum lewat suatu penanganan ilmiah-positif dengan tujuan untuk mencapai hasil-hasil yang lebih kokoh ketimbang (hasil-hasil) yang dapat ditawarkan pemikiran kefilsafatan tentang hukum yang spekulatif. Penelitian-penelitian demikian, yang menyandang ciri khas berupa penanganan ilmiah-positif, dalam perjalanan waktu dari tahun ke tahun di bawah nama “Teori Hukum” telah tumbuh menjadi suatu wilayah-telaah ilmu tersendiri. Faktor historikal penyebab timbulnya Teori Hukum sebagai anak disiplin dari Filsafat Hukum ini memberikan kepada kita kriterium pembeda yang paling esensial untuk menarik garis batas antara dua disiplin ini. Filsafat Hukum mempunyai sebagai obyeknya di satu pihak pilihan antara, dan pengolahan bangunan lebih lanjut dari, nilai-nilai, kaidah-kaidah, ideologi-ideologi dan di lain pihak penelitian tentang persoalan-persoalan yang paling fundamental dari hal mengetahui. Obyek-obyek penelitian ini, apakah tentang sifat mereka, apakah tentang situasi keadaan (state of the arts) dari ilmu itu dan tekniknya pada suatu saat tertentu dalam sejarah, adalah tidak terbuka bagi pendekatan ilmiahpositif melainkan hanya dapat didekati lewat suatu pemikiran spekulatif. Sebaliknya, Teori Hukum justru mensyaratkan (menuntut) suatu pendekatan ilmiah-positif, yang untuk sebagian besar pendekatan empirikal. Orang juga dapat mengungkapkan perbedaan ini dengan menyatakan bahwa pemikiran spekulatif dari Filsafat Hukum itu tidak terkait pada sistem-sistem hukum konkret yang ada, sedangkan pendekatan empirikal ilmiah62 63 positif dari Teori Hukum niscaya selalu mempertahankan hubungan dengan hukum dalam satu atau lebih masyarakat-masyarakat konkret. Orang juga harus lebih melihat pembedaan ini sebagai suatu perbedaan dalam aksen utama ketimbang sebagai suatu pemisahan murni, yang berkenaan dengannya pada ranah (wilayah-telaah) Filsafat Hukum tiap unsur ilmiah-positif secara a priori akan tertutup, sedang Teori Hukum sepenuhnya akan bersih dari setiap pemikiran spekulatif. Bukankah yang terakhir ini akan mengandaikan bahwa Teori Hukum sebagai ilmu mandiri akan sepenuhnya bebas-nilai. Namun sesungguhnya bebas-nilai sepenuhnya bagi tiap ilmu, dan dengan demikian juga bagi Teori Hukum, adalah suatu ideal yang tidak dapat tercapai. Kriterium pembedaan kita antara Filsafat Hukum dan Teori Hukum menyebabkan batas antara dua disiplin itu menjadi membaur (vloeiend). Apa yang hari ini tampak hanya terbuka bagi suatu pemikiran spekulatif, besok akan mungkin untuk keseluruhan atau untuk sebagian dapat diuji secara ilmiah-positif. Sebaliknya Teori Hukum bahkan tidak akan mencoba melakukan pilihan antara nilai-nilai, kaidah-kaidah atau ideologi-ideologi melainkan akan meneruskannya (menyalurkannya) ke Filsafat Hukum. Dalam arti inilah Filsafat Hukum, sebagai ajaran-nilai, harus dilihat sebagai meta-disiplin dari Teori Hukum. 83. Bahwa Filsafat Hukum sebagai Ajaran Ilmu dari Teori Hukum dan sebagai Ajaran Pengetahuan mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasan lebih jauh, mengingat Filsafat Hukum di sini mengambil sebagian dari kegiatan-kegiatan dari Teori Hukum itu sendiri sebagai obyek studi. 84. Sebagai kesimpulan maka hubungan Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-disiplin (Filsafat Hukum) terhadap disiplinobyek (Teori Hukum), dan terkait padanya Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum. Dengan pemikiran spekulatif ini maka Filsafat Hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri, yang keberadaannya sendiri didiskusikan atau dapat didiskusikan. Sebaliknya Teori Hukum itu rasional (atau setidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar kriteria umum, yang diterima oleh tiap orang. 3.2. Teori Hukum dan ilmu-ilmu lain yang obyek penelitiannya hukum. 85. Dalam bab berikut akan dibahas lebih luas karakter Teori Hukum yang secara esensial interdisipliner. Aspek interdisipliner ini mengandung arti bahwa Teori Hukum dalam derajat yang besar akan menggunakan hasil-hasil penelitian dari berbagai disiplin yang mempelajari hukum: Sejarah Hukum, Logika Hukum, Antropologi Hukum, Sosiologi Hukum, Psikologi Hukum, dan sejenisnya. Tipikal bagi Teori Hukum adalah bahwa dalam hal ini ia memainkan peranan mengintegrasikan, baik yang berkenaan dengan hubungan di antara disiplin-disiplin ini satu terhadap yang lainnya maupun yang berkenaan dengan integrasi hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin ini dengan unsurunsur dari Dogmatika Hukum dan dari Filsafat Hukum. Satu dan yang lainnya juga dapat memunculkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pembatasan wilayah dari Teori Hukum terhadap berbagai disiplin ini secara sendirisendiri, terutama jika Teori Hukum, yang tidak dapat dielakkan, tidak membatasi diri 63 64 hanya pada pengolahan hasil-hasil penelitian yang ada, melainkan ia sendiri juga (membiarkan) melakukan penelitian-penelitian historikal, psikologikal, sosiologikal atau penelitian-penelitian lainnya. Demikianlah, orang dapat memikirkan bahwa orang pada suatu telaah (studi) bidang Teori Hukum tentang pembentukan putusan kehakiman (vonis) merasakan kebutuhan pada bahan-bahan terberi empirikal pada bidang psikologi dari hakim dan pada tataran dari pembagian peran dari hakim dan hubunganhubungannya dengan para pihak, penuntut umum, para advokat, para hakim tingkat banding, dan lain-lain. Jika tentang hal ini belum dilakukan penelitian, maka dengan sendirinya menjadi jelas, bahwa pakar Teori Hukum sendiri harus mengambil prakarsa untuk melaksanakan hal itu. Pelaksanaan penelitian-penelitian ini tentu saja menuntut (mensyaratkan) keahlian terdidik pada bidang Psikologi (Hukum), secara respektif Sosiologi (Hukum), sehingga untuk memungkinkannya akan diperlukan bantuan penelitipeneliti yang menyandang kualifikasi-kualifikasi yang tepat (sesuai). Namun orang dapat menetapkan bahwa penelitian global, yang dipandang dalam keseluruhannya, seyogianya dikualifikasi sebagai sebuah penelitian bidang Teori Hukum karena sudut pendekatan yang khas, yang bertolak dari hal itu, studi terhadap bagian-bagiannya dilaksanakan. Tujuannya adalah memperoleh pemahaman yang, dari sudut Teori Hukum, lebih baik tentang proses pembentukan putusan hakim. Baik aspek-aspek psikologikal maupun aspek-aspek sosiologikal hanya mewujudkan satu faset dari proses ini. Juga walaupun penelitian-penelitian bagian mungkin saja dapat memiliki relevansi dalam wilayah khas dari Psikologi Hukum dan dari Sosiologi Hukum untuk sampai pada pemahaman psikologikal, secara respektif sosiologikal, yang lebih baik tentang kinerja karya dari hakim, penelitian-penelitian itu tidak pernah dilaksanakan semata-mata hanya dalam perspektif dari pengujian terhadap atau pembentukan dari, teori-teori psikologikal atau sosiologikal. Karena sekarang kita telah menetapkan bahwa suatu penelitian bidang Teori Hukum membedakan diri dari suatu penelitian bidang Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum, Logika Hukum dan lain-lain, dengan sudut pendekatan sendiri yang khas, maka kita kini harus menelusuri apa perbedaan di antara berbagai sudut pendekatan dari tiap disiplin ini yang mempunyai gejala hukum sebagai obyek studi untuk dengan cara demikian berbagai disiplin ini dapat dibatasi dalam kaitannya dengan Teori Hukum. 86. Secara umum dapat dinyatakan bahwa sudut pendekatan bidang Teori Hukum adalah kepentingan untuk lewat jalan ilmiah-metodikal memperoleh suatu pemahaman teoretikal yang lebih baik secara global dalam, dan memberikan suatu penjelasan global tentang gejala-gejala hukum. Apa yang sekarang membedakan Teori Hukum dari disiplin-disiplin lain, yang juga lewat jalan ilmiah-metodologikal bertujuan pada suatu pemahaman teoretikal yang lebih baik dan suatu penjelasan yang lebih baik tentang gejala-gejala hukum, adalah justru sudut pendekatan yuridikal, yang berlawanan dengan misalnya sudut pendekatan historikal, logikal, antropologikal atau sosiologikal. Jadi, sesuai dengan sifatnya ini sama sekali bukan sudut pendekatan yuridik-teknikal, melainkan suatu pendekatan yang lebih teoretikal, yang di dalamnya bukan pemaparan dan sistematisasi hukum yang mewujudkan titik tolak melainkan analisis dan penjelasan terhadap gejala hukum dalam semua aspek-aspeknya. Sejauh wilayah Teori Hukum berimpitan dengan wilayah disiplin-disiplin lain yang mempelajari gejala-gejala hukum, maka titik berat pada Teori Hukum terletak pada upaya mensintesiskan, 64 65 mengintegrasikan, mengglobalkan yang berdasarkannya hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin yang lain itu dimanfaatkan secara maksimal, saling diperbandingkan, ditimbang-timbang yang satu terhadap yang lainnya agar gejala-gejala hukum sebagai demikian dan dalam keutuhan kompleksitas mereka secara optimal dapat dipaparkan, dianalisis, dimengerti dan dijelaskan. Ini tidak berarti bahwa yuris menjadi seperti sejenis hakim tertinggi (opperrechter) menilai (mengambil putusan) tentang nilai dan kegunaan hasil-hasil dari disiplin-disiplin yang lain. Ihwalnya di sini lebih berkenaan dengan suatu sikap dalam penelitian ketimbang dengan suatu kualifikasi: pada saat misalnya sosiolog hukum juga memasukkan unsur-unsur historikal, psikologikal, dan unsur-unsur lain ke dalam penelitiannya, maka ia menjalankan Teori Hukum. Dalam arti itu, Teori Hukum tentu saja bukan ranah-pribadi (privedomein) dari yuris. Memang untuk kebanyakan penelitian-penelitian bidang Teori Hukum mutlak akan diperlukan pengetahuan teknikyuridikal yang adekuat. Namun sebaliknya juga akan sama diperlukan, dan jika mungkin lebih banyak lagi, suatu pengetahuan metodologikal-ilmiah yang umum dan untuk hal itu pada umumnya yuris tidak terdidik. Untuk selebihnya di sini demi kelengkapan harus dikemukakan bahwa Teori Hukum juga masih mencakup wilayah-wilayah penelitian yang tidak dipelajari oleh disiplin lain yang manapun, seperti misalnya Ajaran Ilmu dan Ajaran Pengetahuan dari Dogmatika Hukum. Jadi, Teori Hukum itu pasti lebih dari sekedar suatu sintesis semata-mata dari hasil-hasil penelitian yang hanya dihasilkan oleh disiplin-disiplin lain. Tentang sifat khas dari Teori Hukum sebagai disiplin ilmiah akan dibahas lebih mendasar dalam bab berikut, sehingga untuk sementara dapat dicukupkan dengan menunjuk pada sudut pendekatan yuridikal sebagai ciri spesifik yang membedakan Teori Hukum dari disiplin-disiplin seperti misalnya Sejarah Hukum atau Psikologi Hukum. Dalam keadaan tingkat perkembangan dari berbagai ilmu dewasa ini, terdapat dua disiplin yang wilayah-telaahnya dengan wilayah dari Teori Hukum sangat berimpitan karena mereka justru memasukkan masalah-masalah bidang Teori Hukum yang klasik ke dalam tema-tema penelitian terpenting mereka. Ihwalnya menyangkut Logika Hukum dan Sosiologi Hukum. Karena itu, dalam dua paragraf berikut akan diberikan pembahasan atas dua disiplin tersebut dan pembatasan mereka terhadap Teori Hukum. 3.21. Logika Hukum. 87. Secara tradisional Teori Hukum secara optimal mencurahkan upaya pada masalahmasalah yang berkaitan dengan metodologi dari hukum, dan lebih khusus lagi pada problematika penemuan hukum oleh hakim. Suatu bagian yang besar dari kepustakaan bidang Teori Hukum, dan dengan demikian, memusatkan diri pada suatu penelitian tentang penalaran yang dijalani hakim pada penilaian (ihwal memutusi) terhadap suatu sengketa, pada upaya menemukan penyelesaian yuridikal bagi sengketa tersebut. Di sini Teori Hukum, dengan demikian, menemukan dirinya sepenuhnya pada wilayah (medan) dari logika (yuridikal). Karena itu, suatu pembatasan wilayah antara Teori Hukum dan Logika Hukum mendesakkan diri ke permukaan. Terlebih dahulu memang harus dimulai dengan menggariskan kekhasan dari Logika Hukum itu. Sebab, ihwalnya bukan hanya karena orang pada upaya mempelajari logika dari suatu penalaran kebetulan berurusan dengan penalaran dari seorang yuris sehingga karena itu orang dapat berbicara tentang suatu logika yuridikal sebagai disiplin ilmiah yang mandiri. Ihwalnya juga tidak cukup bahwa apa yang bagi seorang awam sangat 65 66 majemuk hal penerapan rumus-rumus dan lambang-lambang dari suatu Logika Formal terhadap penalaran-penalaran yuridikal sehingga orang dapat berbicara tentang suatu Logika Hukum sebagai disiplin yang mandiri. Keberatan-keberatan yang mengantar pembahasan ini hendaknya juga tidak menimbulkan kesan bahwa kita hendak menyangkal status sebagai ilmu mandiri dari logika yuridikal. Sebaliknya, kekhasan dari logika yuridikal tidak dapat disangkal, produktivitas dalam bidang ilmu ini sangat besar. Orang bahkan dapat menyatakan bahwa dewasa ini Logika Hukum memiliki suatu sosok (profil) yang lebih jelas ketimbang Teori Hukum. 88. Jadi, sebelum mengajukan pertanyaan tentang perbedaan antara Logika Hukum dan Teori Hukum, kita harus menjawab pertanyaan apa perbedaan yang tepat antara logika umum dan logika yuridikal. Unsur yang menentukan yang telah menyebabkan timbulnya suatu logika yuridikal adalah karakter normatif dari hukum. Logika Tradisional secara spesifik disesuaikan (diproyeksikan) pada penalaran-penalaran yang memuat putusan-putusan tentang kenyataan, dengan kata lain putusan-putusan yang benar atau salah (palsu). Tampaknya dimungkinkan penalaran kehakiman, dan lebih secara umum penalaran yuridikal, dipaksakan masuk dalam koridor (lorong, keurslijf) dari Logika Putusan atau Logika Proposisi, namun hal ini tidak terlalu memuaskan dan secara bertahap tumbuhlah suatu Logika Normatif, yang lebih mampu (cocok, geschikt) untuk memahami (mencakup) penalaran yuridikal ini. Logika Normatif juga tidak sepenuhnya sama (berimpitan) dengan logika yuridikal. Juga moral misalnya adalah suatu disiplin dengan suatu cara berpikir normatif. Dalam praktek maka logika yuridikal juga dapat berlaku sebagai prototipe dari suatu Logika Normatif. Namun sesungguhnya unsur normatif bukanlah satu-satunya yang membedakan Logika Hukum dari Logika Umum. Sama seperti Logika Umum juga Logika Hukum dalam hakikatnya bersifat deduktif. Kini ternyata bahwa orang dengan hanya suatu pemikiran deduktif saja dalam hukum hanya mencapai sedikit hasil-hasil yang berguna. Sebab, seorang yuris menalar tidak hanya bertolak dari aturan-aturan hukum yang sudah ada terlebih dahulu, melainkan sering juga untuk sebagian bertolak dari fakta-fakta dan keadaan-keadaan konkret yang untuknya (terhadapnya) suatu pengaturan yuridikal harus ditemukan. Di samping suatu Logika Deduktif yang menalar dari yang umum ke yang konkret, Logika Hukum dengan demikian harus juga menyediakan (meluangkan) tempat untuk suatu Logika Induktif, yang menalar (berangkat) dari yang konkret ke yang umum. (Suatu pendekatan seperti yang dikembangkan Perelman, dapat berlaku sebagai contoh dari suatu “logika induktif” yang demikian: penalaran yuridikal menurut Perelman dibangun dari dan berdasarkan fakta-fakta konkret dari suatu masalah yuridikal dan tidak dari suatu sistem hukum abstrak dengan aturan-aturan umumnya. Lihat Chaim Perelman, Juridische Logica als leer van de argumentatie, Antwerpen, 1979). Selanjutnya dalam pemikiran hukum (rechtsdenken) tampil sejumlah masalah yang berkaitan dengan makna dari pengertian-pengertian, kalimat-kalimat, teks-teks, sehingga juga semantik (ajaran makna) dan pragmatik (ajaran tentang hubungan antara makna dari suatu pengertian dan penerapan makna tersebut di dalam kenyataan) menuntut perhatian khusus dari logika yuridikal. 66 67 Tentu saja orang dapat menyatakan bahwa logika yuridikal adalah tidak lain ketimbang suatu logika (umum) bagi para yuris. Ini adalah tepat dalam arti bahwa logika yuridikal itu adalah tidak lain ketimbang suatu penerapan secara spesifik logika umum pada (terhadap) penalaran-penalaran yuridikal. Demi spesifisitas dan pentingnya obyek penelitian, orang dalam hubungan dengan Logika Hukum dapat juga secara cukup beralasan dan bertanggung-jawab berbicara tentang suatu disiplin mandiri sama seperti Sejarah Hukum yang membedakan diri dari Sejarah Umum, Sosiologi Hukum dari Sosiologi Umum, dan seterusnya. 89. Jawaban atas pertanyaan tentang pembatasan wilayah berkiprahnya yang tepat dari logika yuridikal juga sedikit diperkeruh oleh pertentangan antara jangkauan formalistik dan anti-formalistik dalam Logika Hukum. Dalam upaya mewujudkan sifat keilmuan yang lebih keras, pada satu sisi terdapat suatu kecenderungan untuk memandang logika, juga logika yuridikal, hanya dalam bentuk Logika Formal saja sebagai suatu disiplin ilmu yang penuh. Bertolak dari penetapan bahwa Logika Formal hingga kini dalam kerangka Logika Hukum telah memberikan sedikit hasil-hasil yang dapat dirasakan (tastbare resultaten), justru semata-mata disebabkan sifat khas dari pemikiran hukum (cara berpikir hukum), maka pada sisi lain telah diberikan reaksi penolakan terhadap pendekatan yang formalistik ini. Disebabkan oleh penekanan (berlebihan) pada aspekaspek yang khas normatif, menilai, mengevaluasi, induktif dari pemikiran hukum, ditautkan pada sejumlah besar masalah-masalah semantik yang menampilkan diri pada interpretasi, penerapan dari hukum, maka secara a priori tiap peran Logika Formal pada wilayah pemikiran hukum ditolak. Demi kepentingan perkembangan dari ilmu itu (Logika Hukum), sudah evident bahwa kedua pendekatan itu harus memperoleh tempat dalam Logika Hukum dan tidak satu pun dari keduanya yang secara a priori dapat ditutup (dikesampingkan). Memang orang dapat mengatakan bahwa hanya Logika Formal yang dapat dipandang sebagai Logika, dalam arti sempit. Pendekatan-pendekatan yang lainnya mungkin saja bukan “logika” tetapi mutlak diperlukan sebagai pelengkap pada Logika Formal yang dalam hakikatnya terbatas. 90. Sebagai penutup, maka Logika Hukum diuraikan sebagai disiplin yang mempelajari bangunan dari berpikir yuridikal (struktur berpikir secara hukum) dan meneliti kemungkinan-kemungkanan untuk merumuskan aturan-aturan yang harus dipatuhi (dalam menjalankan) penalaran yuridikal agar dapat dikualifikasi valid. Dari pemaparan ini tampak bahwa logika yuridikal bermuatan suatu refleksi sistematikal atas cara berpikir dari yuris. Dirumuskan secara demikian, maka Logika Hukum jelas mewujudkan suatu bidang-bagian dari Teori Hukum. Jika Teori Hukum dimaksudkan sebagai suatu refleksi atas hukum dan kegiatan dari para yuris secara umum, maka Logika Hukum membatasi diri sepenuhnya pada penalaran yuridikal. Berdasarkan dua alasan orang dapat juga memandang Logika Hukum sebagai suatu disiplin ilmiah mandiri, yang secara relatif terlepas dari Teori Hukum. Pertama-tama, Logika Yuridik selalu tetap setidak-tidaknya untuk sebagian merupakan suatu penerapan dari Logika Umum, betapa kuat pun orang memberikan penekanan pada kekhasan dari hukum. Lebih dari itu, teknikalitas dari Logika menuntut suatu pembelajaran spesifik, terutama yang berkenaan dengan Logika Formal; dalam derajat bahwa hanya karena itu orang dapat 67 68 menyatakan bahwa Logika (Yuridik) dalam perjalanan sejarah telah mengembangkan diri menjadi suatu disiplin mandiri. 91. Menarik kesimpulan secara umum, dapatlah dinyatakan bahwa Teori Hukum dan Logika Hukum saling bertumpang-tindih, dan bahwa mereka saling membedakan diri yang satu terhadap yang lainnya di satu pihak oleh jauh lebih terbatasnya wilayah penelitian dari Logika Yuridik jika dibandingkan dengan wilayah penelitian dari Teori Hukum, dan di lain pihak, walaupun dalam derajat yang lebih sedikit ketimbang disiplin lain yang obyek penelitiannya hukum, oleh perbedaan dalam sudut pendekatan, yakni dalam hal bahwa Logika Hukum meletakkan tekanan pada kegiatan-berpikir dan Teori Hukum meletakkan tekanan pada penerapan-hukum, pada kegiatan-yuridikal. 3.22. Sosiologi Hukum. 92. Para sosiolog hukum sendiri menguraikan (mendefinisikan) Sosiologi Hukum sebagai “ilmu positif yang mempelajari hukum sebagai unsur dari sistem sosio-kultural” (J. van Houtte) atau, dalam suatu definisi yang lebih terejawantah, sebagai “spesialisme ilmu yang, baik dengan analisis teoretikal maupun dengan penelitian empirikal, menetapkan dan menjelaskan apa dan bagaimana pengaruh suatu proses kemasyarakatan terhadap suatu aturan hukum (pembentukannya, pelaksanaannya, yuriprudensinya, dampak kemasyarakatannya), dan sebaliknya bagaimana suatu aturan hukum menggerakkan suatu proses kemasyarakatan, berpengaruh terhadapnya, dst. …” (P. Vinke). 93. Sosiologi Hukum juga tidak membatasi diri pada suatu penelitian berkenaan dengan aturan-aturan hukum dalam konteks kemasyarakatan mereka. Pembedaan yang dilakukan dalam Sosiologi Umum antara Sosiologi-makro, Sosiologi-meso dan Sosiologi-mikro juga berlaku dalam Sosiologi Hukum. Schuit mengikhtisarkan berbagai tataran dalam penelitian bidang Sosiologi Hukum ini sebagai berikut. Sosiologi-makro mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan. Untuk Sosiologi Hukum hal ini berarti bahwa yang dipelajari adalah kesaling terhubungan hukum dengan institusi-institusi lain di dalam masyarakat dan hubungan saling mempengaruhi (interaksi) antara hukum sebagai gejala kemasyarakatan di satu pihak dan masyarakat ini di lain pihak. Pada tataran-meso atau tataran-tengah, penelitian-penelitian bidang Sosiologi Hukum mensituasikan diri sebagai yang mempelajari institusi-institusi bagian dan organisasiorganisasi bagian, seperti perundang-undangan, peradilan, pengadilan, advokatur, pendidikan hukum, dan sejenisnya. Demikianlah, Sosiologi Hukum menelusuri dengan cara apa semua organisasi-organisasi ini, secara respektif institusi-institusi, mewujudkan sasaran-sasaran dari hukum, dan bagaimana mereka pada kegiatan ini dipengaruhi, dibantu atau dihambat oleh faktor-faktor kemasyarakatan, oleh unsur-unsur struktural atau kultural. Pada tataran-meso ini, penelitian bidang Sosiologi Hukum untuk suatu bagian terbesar terjadi dari sudut perspektif telaah organisasi secara sosiologikal. Pada tataran-mikro, akhirnya, Sosiologi Hukum meneliti bagaimana individu sebagai pribadi mewujudkan hak-haknya, bagaimana individu ini bersikap terhadap aturan-aturan hukum dan organisasi-organisasi yuridikal, bagaimana hubungan antara subyek-subyek hukum dan para perwakilan dari hukum (advokat, hakim, pejabat). 68 69 Tiga perspektif yang berbeda ini saling mengisi dan saling merembesi. Schuit mengemukakan bahwa ihwal hubungan bertimbal-balik dari perspektif ini justru menghasilkan perspektif sosiologikal terhadap hukum. Perkaitan antar-berbagai tataran dari bidang penelitian hukum secara sosiologikal ini, menurut Schuit, untuk sebagian besar diletakkan oleh fungsi simbolika-sosial dari sejumlah asas-asas hukum dan pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) fundamental. Dengan demikian, Schuit pada akhirnya sampai pada empat tataran bidang penelitian hukum secara sosiologikal: 1. Sosiologi tentang sistem-sistem hukum 2. Sosiologi tentang lembaga-lembaga hukum dan organisasi-organisasi hukum 3. Sosiologi tentang para yustisiabel 4. Sosiologi tentang asas-asas hukum dan pengertian-pengertian hukum fundamental 94. Pembagian ini bagi kita adalah interesan (menarik perhatian) dalam perspektif dari suatu perbandingan antara Sosiologi Hukum dan Teori Hukum, khususnya karena justru dalam penelitian bidang Teori Hukum orang dapat membuat pembagian sejenis. Juga Teori Hukum mempelajari gejala-gejala hukum pada berbagai tataran ini, walaupun tentu saja dari suatu sudut pendekatan yang berbeda. Pada suatu tataran, seperti misalnya tentang asas-asas hukum dan konsep-konsep yuridik, penelitian bidang Teori Hukum akan lebih jelas diprofilkan dan menyandang sifat kekhususan (cachet) tersendiri, pada tataran lain, seperti secara istimewa tentang para yustisiabel, sumbangan dari Teori Hukum akan lebih terbatas pada pengolahan hasil-hasil penelitian dari Sosiologi Hukum, eventual bersama-sama dengan bahan-bahan terberi dari disiplin-disiplin lain seperti misalnya Psikologi. 95. Jadi, Teori Hukum membedakan diri dari Sosiologi Hukum dengan pada satu sisi suatu perhatian yang lebih sempit dan pada sisi lain suatu perhatian yang lebih luas. Pada perhatian/kepentingan yang lebih sempit, Teori Hukum bertujuan untuk menganalisis, mengerti dan menjelaskan gejala hukum, asas-asas hukum, sistem hukum demi suatu pemahaman/pengertian dan suatu penjelasan yang lebih baik terhadap gejalagejala hukum dan bukan demi suatu pemahaman yang lebih baik terhadap masyarakat sebagai keseluruhan. Pakar Teori Hukum dengan demikian misalnya tidak akan mempelajari aparat peradilan dengan tujuan untuk melakukan pengujian dan/atau penghalusan (verfijning) atas teori-teori sosiologikal tentang organisasi. Pakar Teori Hukum paling jauh akan memanfaatkan teori-teori sosiologikal tentang organisasi ini untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kinerja faktual dari suatu organisasi seperti aparat peradilan. Dengan ini pakar Teori Hukum sudah puas dengan tingkat keadaan perkembangan ilmu dewasa ini (state of the arts) dari teori-teori sosiologikal yang berpengaruh, tanpa, sebagai pakar Teori Hukum, mempersoalkan ketepatan dari teori-teori ini. Ihwalnya justru tidak demikian pada sosiolog hukum. Tidak hanya jika sosiolog hukum melakukan penelitian justru dengan tujuan pada pengujian teori-teori sosiologikal, sudut pendekatannya berbeda dari sudut pendekatan pakar Teori Hukum. Tiap studi (hukum secara) sosiologikal, juga penelitian empirikal yang paling terbatas, harus mensituasikan diri dalam suatu kerangka teoretikal yang lebih luas, dengan suatu cara sedemikian sehingga hasil-hasil dari setiap penelitian bermuatan suatu penguatan, suatu pembantahan (penolakan) atau penuansaan terhadap hipotesis-hipotesis 69 70 yang diandaikan (yang sudah diajukan terlebih dahulu) dan dengan demikian secara langsung atau tidak langsung terhadap teori-teori sosiologikal tertentu yang secara implisit atau eksplisit menjadi titik tolak pada setiap penelitian. Betapapun kekhasan Sosiologi Hukum dalam hubungannya dengan Sosiologi Umum oleh para pengembannya – secara tepat – juga menekankan kekhasan tersebut, Sosiologi Hukum adalah dan tetap selalu pertama-tama adalah Sosiologi. Teori Hukum dari pihaknya secara esensial adalah suatu refleksi ilmiah terhadap hukum dalam berbagai dimensi-dimensi dan aspek-aspeknya. Dalam perbandingan dengan Sosiologi Hukum, maka Teori Hukum mempunyai suatu kepentingan yang lebih luas, sebab dalam hal ini Teori Hukum tidak semata-mata memandang hukum dalam aspek kemasyarakatan saja, melainkan misalnya juga dalam aspek logikalnya, psikologikalnya, historikalnya. Teori Hukum harus antara lain mengupayakan agar gambaran tentang gejala hukum yang terpecah belah yang tidak dapat dihindarkan telah diberikan oleh tiap disiplin yang obyek telaahnya gejala hukum, diutuhkan dan dinuansakan dalam suatu pendekatan sintetikal menjadi suatu wawasan yang seimbang dan utuh. Sebuah putusan badan kehakiman misalnya adalah lebih dari sekedar suatu proses interaksi kemasyarakatan. Sebuah pemahaman yang utuh tentang kejadian yuridikal ini mengandaikan bahwa orang juga melihat putusan badan kehakiman itu sebagai produk dari suatu penalaran logikal (karena itu bukan semata-mata penalaran logikal murni), yang pada gilirannya dideterminasi oleh unsur-unsur hukum positif, dan sebagian juga oleh faktor-faktor psikologikal. Selanjutnya untuk sejumlah aspek dari cara yang dengannya para hakim menjatuhkan vonis seperti misalnya penjelasan-penjelasan historikal, akan harus dicari. Untuk mengolah semua unsur-unsur ini menjadi sebuah sintesis yang seimbang, maka Sosiologi Hukum niscaya tidak memiliki kemampuan untuk itu, justru disebabkan oleh sudut pendekatan sosiologikalnya yang spesifik. Dengan demikian, sintesis interdisipliner ini juga mewujudkan tugas pokok yang khas dari Teori Hukum. Gambaran skematikal tentang hubungan antara Teori Hukum dan disiplin-disiplin lain: Filsafat Hukum Logika (Hukum) Sosiologi (Hukum) Antropologi (Hukum) Sejarah (Hukum) Psikologi (Hukum) .………………. ……………….. Teori Hukum Dogmatika Hukum Hukum dan Praktek hukum ……………. 70 71 4. BATASAN PENGERTIAN TEORI HUKUM: SASARAN DAN METODE 96. Dalam dua bab terdahulu, sejumlah ciri pengenal Teori Hukum telah ditampilkan, secara khusus pada penetapan batas wilayah eksternal dari wilayah-telaah Teori Hukum. Unsur-unsur ini mewujudkan bahan-bahan terberi pertama yang berdasarkannya kami akan berupaya dalam bab ini untuk memberikan selengkap mungkin uraian tentang tugas, sasaran-sasaran dan metode-metode dari Teori Hukum untuk kemudian dalam bab berikutnya memaparkan wilayah penelitian dari Teori Hukum. 4.1. Definisi dari Teori Hukum. 97. Atas dasar uraian terdahulu kita dapat menguraikan Teori Hukum dalam sebuah definisi kasar pertama sebagai “sebuah ilmu yang menjelaskan tentang hukum”. Jika definisi ini memang dapat berguna untuk mensituasikan Teori Hukum berkenaan dengan Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum, namun meskipun demikian ia tidak memberikan informasi sedikitpun tentang wilayah-telaah (ranah) sesungguhnya dari Teori Hukum. Kompleksitas relatif dari wilayah-telaah ini membuatnya juga sulit untuk merumuskan sebuah definisi yang pada saat yang sama sederhana, jelas dan lengkap. Karena itu juga perlu ditampilkan untuk dalam wilayah-telaah dari Teori Hukum membedakan berbagai wilayah-bagian (deelgebieden) dan untuk berupaya menguraikan lebih terinci wilayahwilayah bagian ini masing-masing secara terpisah. 4.11. Analisis hukum. 98. Dalam pemaparan historikal pada bab kedua, kita sudah melihat bahwa wilayah penelitian dari Teori Hukum semula tetap terbatas pada suatu analisis tentang sistemsistem hukum. Obyek pertama dari Teori Hukum, yang pada waktu itu tampil di bawah nama “Ajaran Hukum Umum”, adalah suatu penelitian atas struktur dasar, asas-asas dasar dan pengertian-pengertian dasar yang diperkirakan dapat ditemukan dalam tiap sistem hukum positif. Ketika orang menyadari bahwa upaya-upaya untuk menemukan sejenis “hukum kodrat ilmiah-positif” ini menawarkan harapan yang sedikit saja, maka titik tolak para pengemban Teori Hukum ber-evolusi ke arah suatu analisis ilmiah murni tentang kaidah hukum, pengertian-pengertian hukum dan sistem hukum. Untuk pendekatan Teori Hukum ini maka Kelsen berperan sebagai wakil yang paling menonjol. Pada uraian-uraian tentang tugas dari Teori Hukum yang ditemukan orang dalam kepustakaan, orang menemukan bahwa analisis tentang hukum dan Ilmu Hukum juga yang paling sering ditonjolkan sebagai tugas, atau setidaknya satu dari tugas-tugas, dari Teori Hukum. Maka sebagai unsur-unsur yang dalam hal ini dijabarkan oleh Teori Hukum, orang melihat: sistem hukum, kaidah hukum, asas-asas hukum, pengertianpengertian hukum, hubungan hukum, tatanan hukum, pengertian dari hukum, bahasa hukum. Cara yang dengannya berbagai penulis memandang analisis hukum ini berbeda-beda dan antara lain tergantung pada wawasan mereka tentang hubungan Dogmatika Hukum – Teori Hukum – Filsafat Hukum. Namun pada umumnya hal itu jatuh pada ihwal bahwa orang berupaya untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang struktur dari sistem hukum, tentang 71 72 sifat dan struktur dari kaidah hukum, tentang fungsi dari asas-asas hukum, tentang arti dan daya jangkau dari konsep-konsep (pengertian-pengertian) inti dalam hukum (basic legal concepts), seperti kewajiban hukum, hubungan hukum, hukum subyektif, badan hukum, pertanggung-gugatan dan sejenisnya, dan ini secara relatif terlepas dari suatu sistem hukum positif yang konkret. Pada analisis ini selalu digunakan (memanfaatkan) ilmu-ilmu seperti secara khusus Logika dan Ilmu Bahasa. 99. Wilayah-bagian dari Teori Hukum ini bersender paling dekat pada Dogmatika Hukum dan masalahnya di sini berkaitan dengan hal bahwa menarik garis batas antara Teori Hukum dan Dogmatika Hukum tidaklah selalu mudah. Apakah misalnya suatu analisis atas pengertian (konsep) “penyalahgunaan hak” lebih termasuk ke dalam Teori Hukum atau lebih termasuk ke dalam Dogmatika Hukum? Ihwal dapat membatasi secara cermat medan-medan penelitian terkait dari masing-masing tampaknya juga tidak terlalu penting. Untuk sebagian besar hal itu merupakan persoalan konvensi (kesepakatan), dan konvensi dalam penggunaan bahasa ini akan bertumbuh mengikuti ingkat perkembangan penelitian terhadap wilayah-wilayah perbatasan (grensgebieden) antara Teori Hukum dan Dogmatika Hukum ini. Dan hal menjalankan penelitian ini jelas lebih penting ketimbang hal mendiskusikan pertanyaan ke dalam lingkungan disiplin apa penelitian ini sesungguhnya termasuk: sejenis “Dogmatika Hukum Teoretikal” atau lebih merupalan sejenis “Teori Hukum Praktikal”? Ihwalnya sama saja seperti orang mendiskusikan tentang jenis kelamin dari para malaikat. Bukankah ihwalnya selalu mungkin untuk menunjuk pada peristiwa-peristiwa perbatasan (grensgevallen, peristiwa peralihan) yang untuknya orang, a la limite (dalam batas-batas tertentu), akan dapat menyendirikan (untuk mempelajarinya secara eksklusif) dan menyebutnya sebuah “disiplin antara” yang baru. Ihwalnya jelas bahwa hal ini tidak diinginkan dan bahwa lebih baik orang mengakui saja bahwa penelitian-penelitian tertentu tidak menuntut terlalu banyak (te paard zitten op) pada Teori Hukum dan pada Dogmatika Hukum. Contoh-contoh dari “peristiwaperistiwa perbatasan” yang demikian itu, di samping pengertian penyalahgunaan hak: persoalan tentang “pemisahan kekuasaan”, atau pertanyaan tentang pengaruh dari hukum jaminan atas hukum pertanggung-gugatan. Sudah menjadi fakta bahwa tiap persoalan yang kurang-lebih teoretikal di mata yurispraktisi akan segera saja dikualifikasi sebagai “Teori Hukum”. Hal ini hendaknya tidak menyebabkan kita tergoda untuk secara dibuat-buat memperluas wilayah-telaah dari Teori Hukum yang merugikan Dogmatika Hukum, yang dengan cara demikian akan dapat direduksi menjadi suatu disiplin deskriptif murni yang dalam kegiatannya hampir tidak menampilkan kegiatan berpikir. Pengolahan suatu pengertian seperti “penyalahgunaan hak” dalam kerangka dari suatu sistem hukum konkret dan hal meresapkan (inpassen) kriteria penyalah-gunaan hak dalam keseluruhan aturan-aturan hukum yang berlaku jelas termasuk dalam Dogmatika Hukum. Dari sisi pihaknya, Teori Hukum misalnya akan meneliti sejauh mana suatu pengertian seperti penyalahgunaan hak secara logikal dapat dipertanggung-jawabkan: apakah tidak seharusnya lebih berbicara tentang tidak adanya hak (“ketidak hadiran” dari hak) ketimbang tentang penyalahgunaan hak? Teori Hukum juga akan menelaah apakah kualifikasi atas suatu perbuatan sebagai “penyalahgunaan hak” mewujudkan suatu penilaian moral, suatu penilaian yuridikal, atau dua-duanya, dan, jika ia menyangkut suatu penilaian moral, sejauh mana unsur moral ini oleh hakim dapat dimasukkan ke dalam sistem-hukum. 72 73 Jadi, suatu analisis, terutama, tentang pengertian-pengertian dapat ditemukan baik dalam Dogmatika Hukum maupun dalam Teori Hukum. Tipikal untuk perspektif yang di dalamnya Teori Hukum menjalankan analisis ini adalah di satu pihak penekanan yang diletakkan pada pendekatan interdisipliner dan di lain pihak irrelevansi relatif isi konkret dari suatu sistem hukum tertentu yang di dalamnya pengertian yang dianalisis digunakan. Ihwalnya baginya di dalam Teori Hukum, tepat bertentangan dengan Dogmatika Hukum, tidak pernah berkenaan dengan penyelesaian konkret atas masalah-masalah hukum sebagai demikian, melainkan berkenaan dengan hal memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang unsur-unsur dasar yang dengannya Dogmatika Hukum bekerja, untuk dengan demikian, antara lain, terhadapnya memberikan kontribusi untuk menyelesaikan masalah-masalah dari Dogmatika Hukum, bukan dari masalah-masalah hukumnya itu sendiri. Di lain pihak, irrelevansi isi konkret dari hukum ini juga hanya bersifat relatif saja. Dalam kenyataan, hukum konkret ini adalah, sebagai titik berangkat dan sebagai material penelitian justru penting untuk Teori Hukum, berlawanan dengan terutama Filsafat Hukum. Teori Hukum sama sekali tidak berurusan untuk memberikan penyelesaian yuridik-teknikal terhadap masalah-masalah yuridikal yang muncul dalam suatu sistem hukum tertentu. Teori Hukum bertujuan untuk menganalisis, menjelaskan konstruksikonstruksi yuridik-teknikal ini, dalam bentuk-bentuk penampilan konkret mereka dan tidak, seperti Filsafat Hukum dapat melakukan hal itu, sebagai pikiran idiil semata-mata. Sebuah analisis tentang pengertian hak milik misalnya pada tataran Filsafat Hukum dapat dilakukan terlepas dari tiap sistem hukum konkret. Dalam Teori Hukum hal ini tertutup (tidak dapat dilakukan). Teori Hukum sebaliknya akan mencoba untuk menerobos ke dalam (mendalami) sejauh mana pengertian hak milik yuridikal dalam masyarakatmasyarakat aktual dan/atau dahulu ditentukan oleh keyakinan kefilsafatan tertentu, sistem-sistem ekonomikal, keterberian-keterberian psikologikal atau sosiologikal dan sejenisnya lagi, dengan sebagai tujuannya untuk memperoleh suatu pemahaman yang lebih baik tentang asal-usul, isi, ruang lingkup dan kegunaan dari pengertian hak milik sebagaimana ia berfungsi dalam sistem-sistem hukum aktual. 4.12. Ajaran Metode dari hukum. 100. Tidak hanya analisis pengertian-pengertian yuridikal, dari kaidah hukum dan dari sistem hukum, yang termasuk ke dalam wilayah-telaah tradisional dari Teori Hukum. Sebuah bidang penelitian yang sama pentingnya, dan dalam perjalanan waktu bertahuntahun telah lebih berhasil, adalah bidang Ajaran Metode dari hukum. Metodologi ini, yang dalam asasnya menunjuk baik pada metode-metode dari Dogmatika Hukum, maupun pada metode-metode dari pembentukan hukum dan metode-metode dari penerapan hukum, dalam praktek telah mengembangkan diri hampir semata-mata pada tataran penerapan hukum, dan juga kebanyakan terbatas pada penemuan hukum oleh hakim. Kegunaan langsung dari hal ini untuk praktek hukum, kebutuhan laten jika bukan kebutuhan manifes dari praktisi hukum akan suatu minimum pada metodologi dalam interpretasi undang-undang, dan peranan penting hakim dalam masyarakat kita, menjelaskan daya-tarik yang besar yang telah dijalankan oleh permasalahan ini terhadap para yuris baik dahulu maupun sekarang. Karena itu juga Ajaran Metode ini oleh banyak penulis disebut sebagai salah satu dari tugas-tugas pokok dari Teori Hukum. 73 74 Sebuah “metode” dapat diuraikan sebagai sebuah jalan rasional yang tepat untuk memperoleh pengetahuan atau, lebih umum, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jika seseorang untuk penyelesaian sebuah masalah hukum konkret misalnya ingin mencari putusan pengadilan (rechtspraak) atau ajaran hukum, ia dapat melakukan hal ini dengan suatu cara yang rasional dengan jalan mengkonsultasi repertoria dan jurnal-jurnal bibliografikal, atau dengan cara yang kurang rasional dengan jalan membolak-balik halaman-halaman dari sembarang jurnal hukum. Untuk bekerja secara efisien, orang untuk tiap bidang membutuhkan suatu metode. Untuk penemuan hukum, hal ini misalnya akan berupa suatu jalan (cara) rasional yang tepat untuk mengetahui (menemukan) arti dari sebuah undang-undang, dan untuk teknik perundangundangan, jalan (cara) untuk membuat aturan perundang-undangan yang seadekuat mungkin. 101. Juga berkaitan dengan Ajaran Metode dari hukum dapat timbul beberapa masalah pembatasan ranah dalam hubungannya dengan Dogmatika Hukum, khususnya jika orang, secara keliru, beranggapan bahwa semua yang berurusan dengan suatu metode yang berkaitan dengan hukum, termasuk ke dalam metodologi ini. Sebuah buku penuntun (handleiding) untuk pencarian sumber-sumber hukum dalam perpustakaan-perpustakaan hukum misalnya adalah bukan Teori Hukum (namun memang merupakan teori dalam hubungan dengan sistem-sistem informasi hukum). Kesulitan-kesulitan pembatasan itu di sini hanya akan bersifat marginal saja karena pada tataran ini dapat lebih mudah dibuat pembedaan antara metode-metode yang dapat disituasikan dalam suatu kerangka teoretikal tertentu yang batas-batasnya ditentukan secara cermat dan metode-metode yang dengan cara apapun tidak ada kaitannya dengan pembentukan teori. Orang juga dapat menyatakannya dengan cara lain: ke dalam Teori Hukum termasuk studi atas metodemetode (di luar metode-metode dari Teori Hukum itu sendiri), yang secara langsung mempunyai kaitan dengan hal bekerja dengan hukum sebagai teknik sosial normatif (dan misalnya bukan studi atas metode yang hanya mempunyai hubungan dengan pencarian formal semata-mata atas teks-teks yang dipublikasi, yang relevan bagi yuris). 102. Tentang ihwal pentingnya metodologi hukum sebagai wilayah-bagian dari Teori Hukum tidak dapat cukup ditekankan. Sebab sementara wilayah-wilayah telaah yang lain dari Teori Hukum, dalam pokoknya memperlihatkan kepentingan praktikal bagi Sarjana Hukum (yang dapat dipaparkan sebagai teoretisi dari teknik hukum), maka metodologi dari hukum, setidaknya dari penerapan hukum, secara langsung dan sehari-hari penting bagi setiap yuris-praktek. Pentingnya dan dampaknya dari problematika ini sering tidak dikenali karena praktisi dalam banyak kejadian mengikuti aturan-aturan pakai (vuistregels) intuitif ketimbang aturan-aturan yang secara metodikal bernalar atau terargumentasi (methodisch beredeneerde regelen). Justru kini termasuk ke dalam tugas dari Teori Hukum untuk memberikan kepada praktek unsur-unsur yang harus mampu mendorong praktisi untuk merefleksi kesibukan-kesibukan yuridikalnya, dan, antara lain pada tataran metode, eventual mengarahkan kegiatan merefleksi ini. 103. Di samping analisis atas hukum dan Ajaran Metode dari hukum, yang dapat dipandang orang sebagai wilayah-wilayah telaah tradisional dari Teori Hukum, dapat 74 75 dikatakan cukup mutakhir dalam Teori Hukum telah berkembang dua wilayah-bagian yang baru, yakni Ajaran Ilmu dari hukum dan Kritik Ideologi atas hukum. 4.13. Ajaran Ilmu dari hukum. 104. Ajaran Ilmu dari hukum, sebagai wilayah-bagian dari Teori Hukum, baru akhirakhir ini berkembang. Karena itu juga jumlah penulis yang memandang Ajaran Ilmu ini sebagai satu dari wilayah-wilayah telaah dari Teori Hukum masih terbatas. Ajaran Ilmu dari hukum, sebagai wilayah-bagian dari Teori Hukum, dalam kenyataan tetap terbatas pada ajaran ilmu dari Dogmatika Hukum. Hukum itu sendiri adalah bukan ilmu, melainkan hanya obyek dari ilmu-ilmu. Praktek hukum, seperti misalnya pembuatan akta-akta oleh seorang notaris, kegiatan mempersiapkan rancangan undangundang oleh para pejabat, kegiatan merumuskan (redigeren) putusan-putusan oleh seorang advokat, atau kegiatan menyusun sebuah nasihat oleh seorang yuris-perusahaan, juga tidak memiliki pretensi-pretensi ilmiah dan sebagai akibat sampingan tidak memiliki kebutuhan pada suatu “Ajaran Ilmu”. Di lain pihak, Ajaran Ilmu dari Teori Hukum itu sendiri termasuk ke dalam wilayah-telaah dari Filsafat Hukum. Teori Hukum sebagai ajaran ilmu dari Dogmatika Hukum menyibukkan diri pertamatama dengan pertanyaan tentang sifat keilmuan dari Dogmatika Hukum. Bukankah sejak kira-kira satu setengah abad para yuris tentang ihwal ini hidup dengan suatu krisis identitas, yang terutama dapat dijelaskan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi yuris jika ia mencoba menerapkan kriteria klasik untuk keilmuan pada kegiatan yang dijalankannya sendiri. Pertanyaan yang mempersoalkan karakter keilmuan dari Dogmatika Hukum juga tidak hanya mencakup pertanyaan: apakah aktivitas yuridikal itu sebuah ilmu? Melainkan juga akan membawa kita pada pertanyaan tentang pengertian ilmu yang mana yang berdasarkannya kita harus beranjak. Bukankah ihwalnya sudah jelas bahwa sebuah perbandingan sederhana Dogmatika Hukum dan ilmu-ilmu eksakta tidak dapat dihindari akan sampai pada kesimpulan bahwa “ilmu hukum” karena kelemahan daya menjelaskannya dan prediktabilitasnya dan disebabkan oleh bobot normatifnya sulit untuk dapat dipandang sebagai sebuah ilmu. Keraguan pada “keilmuan” dari disiplin sendiri ini tidak hanya ditemui para yuris. Juga logisi, matematisi atau historisi harus berjuang dengan masalah-masalah yang sama jika mereka membandingkan disiplin mereka dengan ilmu-ilmu eksakta yang klasik. Kepastian ini membawa kita pada kesimpulan bahwa orang tidak dapat bertolak dari satu pengertian ilmu yang uniform yang akan berlaku dengan cara yang sama untuk semua ilmu. Dengan demikian serta-merta telah dirumuskan satu dari pertanyaan-pertanyaan inti dari Ajaran Ilmu tentang hukum sebagai wilayah-bagian dari Teori Hukum: apakah untuk Ilmu Hukum harus dikembangkan suatu pengertian ilmu tertentu secara penuh? Dan apa isi yang harus dimiliki oleh suatu pengertian ilmu yang demikian itu? Pada titik ini batas antara Filsafat Ilmu (Hukum), sebagai wilayah-bagian dari Filsafat Hukum, dan Teori Hukum akan menjadi agak kabur dan membaur. Dengan ini dapat dinyatakan bahwa pilihan atas suatu pengertian ilmu tertentu sebagai demikian lebih termasuk ke dalam wilayah-telaah dari Filsafat (Hukum), sedangkan penerapan konkret dan penjabaran terhadapnya pada wilayah dari Ilmu Hukum lebih termasuk ke dalam wilayah-telaah dari Teori Hukum. 75 76 105. Pertanyaan-pertanyaan yang pada tataran ini diajukan oleh Teori Hukum adalah antara lain: apakah Dogmatika Hukum itu suatu Ilmu Empirikal, suatu Ilmu Normatif dan/atau suatu Ilmu Hermeneutikal? Sejauh mana Dogmatika Hukum secara respektif melakukan klasifikasi, penjelasan, prediksi? Sejauh mana Dogmatika Hukum memenuhi tuntutan rasionalitas? dalam derajat apa pengembanan hukum dapat bersifat rasional? Tentang jenis (-jenis) rasionalitas apa dalam kaitan ini kita dapat berbicara? Apa (bagaimana) hubungan Dogmatika Hukum dengan ilmu-ilmu lain? 4.14. Kritik Ideologi. 106. Dalam bab 2 telah dikemukakan tentang peranan yang telah dimainkan aliranaliran kritik-masyarakat dalam tahun-tahun enampuluhan dari abad ini pada tumbuhnya kembali Teori Hukum sejak akhir dari tahun-tahun enam puluhan. Di bawah dorongan (impuls) dari gerakan-gerakan dan teori-teori kritik-masyarakat ini terdapat juga para yuris yang menjalankan penelitian pada bidang kebermuatan ideologikal dari hukum dan dari teori-teori yuridikal. Dengan ini maka antara lain benang dari Teori Hukum Marxistik ditimbulkan (diakomodasi) kembali, yang sejak munculnya Stalinisme di Rusia jelas mengalami stagnasi. Teori Hukum Marxistik pada waktu itu dan bahkan pada dirinya sendiri adalah suatu teori tentang hukum yang bermuatan ideologi, sedangkan Teori Hukum sebagai demikian menginginkan untuk menjadi suatu teori yang netral tentang hukum. Karena itu juga, Teori Hukum ini membatasi diri pada suatu analisis atas hukum dan atas konstruksi-konstruksi dan pandangan-pandangan dalam Dogmatika Hukum, Teori Hukum maupun Filsafat Hukum untuk menunjukkan unsur-unsur yang di dalamnya bermuatan nilai dan/atau bermuatan normatif dan dengan demikian memperlihatkan suatu keterikatan ideologikal. Dengan itu Teori Hukum juga harus berupaya untuk menjalankan kritik-ideologikal dengan cara yang amat sangat obyektif dan tidak membiarkan dirinya tergoda ke dalam suatu diskusi kefilsafatan-politikal tentang nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ideologiideologi itu sendiri. Namun Teori Hukum dapat saja misalnya menunjuk pada pertentangan-pertentangan internal dari ideologi-ideologi, pada premis-premis empirikal yang salah yang di atasnya nilai-nilai, kaidah-kaidah atau ideologi-ideologi bertumpu, pada konsekuensi-konsekuensi faktual tertentu dari penerapan kaidah-kaidah atau ideologi-ideologi dalam sistem hukum dari suatu masyarakat tertentu, yang sulit dipersatukan dengan teori ini, dan sejenisnya lagi. 107. Teori Hukum sebagai kritik-ideologi dapat misalnya melakukan analisis atas gambaran manusia dan gambaran masyarakat yang tersembunyi di belakang Code Civil dari tahun 1804 dan membandingkan hal ini dengan gambaran manusia dan gambaran masyarakat, yang sangat berbeda, yang di atasnya Hukum Sosial bertumpu yang terutama telah berkembang dalam abad dua puluh. Teori Hukum dapat memperlihatkan konsepsi-konsepsi masyarakat apa yang berfungsi sebagai latar belakang pada konstruksi-konstruksi dogmatikal hukum dari pranata-pranata hukum (rechtsfiguren) seperti hak milik, kebebasan berkontrak, hak mogok dan hak-hak asasi. Teori Hukum juga dapat meneliti gambaran manusia dan gambaran masyarakat apa yang tampil pada penerapan pengertian-pengertian yang menilai atau yang normatif oleh 76 77 hakim seperti “salah”, “kepentingan dari anak di bawah umur”, “kepentingan dari keluarga”, “itikad baik” dan “penggunaan kekuasaan”. Juga pengertian-pengertian dalam Teori Hukum seperti misalnya pengertian kedaulatan dapat menjadi pokok-telaah dari suatu penelitian kritik ideologikal. Hal yang sama berlaku untuk pengertian dalam Filsafat Hukum seperti “keadilan” dan “persamaan”. Di sini yang penting adalah bahwa Teori Hukum menganalisis semua unsur-unsur ini berkenaan dengan kebermuatan ideologi mereka dan hanya mengkritik mereka berdasarkan keterberian-keterberian yang obyektif dan tidak berdasarkan nilai dan kaidah-kaidah lain yang secara implisit dan eksplisit diandaikan melawan (bertentangan dengan) nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ideologi-ideologi yang dikritik. Demikianlah, suatu “obyektivitas” yang absolut memang benar untuk sejumlah besar persoalan tidak dapat diwujudkan, namun orang dapat mengupayakan untuk hanya bertumpu pada keterberian-keterberian yang dalam suatu masyarakat tertentu dipandang sebagai obyektif. 4.15. Rangkuman. 108. Teori Hukum ternyata meliputi berbagai wilayah-telaah, yang lebih dari itu didekati dari bermacam-ragam sudut pendekatan. Jika kita meskipun demikian berkeinginan mencoba untuk menyatukannya (menempatkan semuanya di bawah satu penamaan) maka sebuah definisi global dari Teori Hukum dapat dirumuskan sebagai berikut: Teori Hukum adalah cabang dari Ilmu Hukum yang dalam suatu perspektif interdisipliner secara kritikal menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum masingmasing secara tersendiri dan dalam kaitan keseluruhan mereka, baik dalam konsepsi teoretikal mereka maupun dalam penjabaran praktikal mereka, dengan mengarah pada suatu pemahaman yang lebih baik dalam, dan suatu penjelasan yang jernih atas bahanbahan yuridikal terberi ini. 109. Sasaran-sasaran (objektieven) dari Teori Hukum yang dalam definisi ini tampil ke muka: hal memperoleh suatu pemahaman yang lebih baik tentang fenomena-fenomena hukum dan hal mencari suatu penjelasan yang lebih baik tentang gejala-gejala ini. Mengenai metode, definisi ini menunjuk pada penanganan interdisipliner yang menjadi ciri khas bagi Teori Hukum. Untuk membulatkan definisi kita tentang Teori Hukum, dalam dua bab berikut ini berturut-turut akan dibahas tiap aspek dari dua aspek dari Teori Hukum dan metodemetode dari Teori Hukum. 4.2. Sasaran-sasaran dari Teori Hukum. 110. Judul dari bab ini juga dapat berbunyi: “Teori Hukum Deskriptif atau Preskriptif, Empirikal atau Nohrmatif, Analitikal atau Kritikal?” Dalam kepustakaan bidang Teori Hukum kita memang menjumpai aliran-aliran yang saling bertentangan yang, pada satu sisi, membela suatu penanganan deskriptif, empirikal, analitikal, dan pada sisi lain, mendukung suatu pendekatan preskriptif, normatif, kritikal. Di bawah penamaan yang berubah-ubah ini dalam hakikatnya tersembunyi pertentangan fundamental yang sama antara pendukung dan penentang dari suatu pengembanan Teori Hukum yang bebas-nilai. Paralel ini tidak sepenuhnya berlaku: untuk mengungkapkan problematika ini secara tepat 77 78 dipandang baik untuk menangani secara terpisah pertentangan deskriptif/preskriptif dan empirikal/normatif di satu pihak dan pertentangan analitikal/kritikal di lain pihak. Pengertian-pengertian “deskriptif” dan “empirikal”, secara respektif “preskriptif” dan “normatif”, dari sisi mereka, dalam konteks ini dapat tanpa keberatan dipandang sebagai sinonim-sinonim. 4.21. Teori Hukum Analitikal atau Kritikal? 111. “Pertarungan-metode” dalam Ilmu-ilmu Sosial yang sudah menjadi klasik, yakni diskusi antara aliran “analitikal” dan aliran “kritikal” juga mempunyai wakil-wakilnya dalam Teori Hukum. Dalam pengantar kumpulan karangan “Rechtstheorie. Beitrage zur Grundlagendiskussion” yang terbit dalam tahun 1971, pertentangan ini telah dipaparkan sebagai berikut: Teori Kritikal mengemukakan bahwa Teori Hukum hanya dapat diemban secara bermakna penuh (zinvol) dalam bentuk dari suatu teori global tentang hukum, yang di dalamnya juga Dogmatika Hukum, Sosiologi Hukum dan Filsafat Hukum dilibatkan. Teori Analitikal menolak pendekatan global ini. Ia membatasi medan penelitiannya pada medan yang dengan teori-teori analitik-empirikal dapat diteliti dan dijelaskan. Dengan demikian, Teori Hukum sebagian besar terbatas pada suatu analisis struktur logikal atas hukum. Menjadi ciri khas untuk Aliran Analitikal adalah bahwa orang sangat mengembangkan analisis keilmu-bahasaan dan logikal atas pengertian-pengertian dan teks-teks yuridikal. Orang berupaya untuk lewat penanganan logikal dan empirikal secara kaku terhadap masalah-masalah yang relatif terbatas yang diuraikan secara cermat mencapai hasil-hasil “yang pasti” yang dapat diuji secara obyektif dan dapat dibuat menjadi umum (veralgemeend). Jika orang mempelajari fenomena hukum dalam keseluruhan kemasyarakatannya, maka menurut analitisi tidak mungkin dilakukan pembentukan teori ilmiah yang sungguh-sungguh. Suatu teori yang “mengglobalisasi” demikian itu selalu bertumpu setidaknya untuk sebagian pada interpretasi-interpretasi sendiri, pada putusanputusan nilai sendiri dan pandangan-pandangan normatif dari peneliti; ia dengan kata lain tidak pernah dapat bebas-nilai. Jika orang ingin mempertahankan Teori Hukum sebagai ilmu yang tetap bebas-nilai, maka orang menurut Aliran Analitikal harus melepaskan pendekatan kemasyarakatan global ini. Dari pihaknya, Teori Kritikal menunjukkan bahwa pemahaman sungguh-sungguh tentang, dan suatu penjelasan atas, sistem hukum dan atas gejala-gejala yuridikal secara umum hanya mungkin lewat suatu penanganan global. Suatu Teori Hukum yang membatasi diri pada suatu penelitian atas wilayah-wilayah bagian kehilangan kesaling terhubungan di antara berbagai unsur dari pandangan mata dan mengandung bahaya dikembalikan menjadi sebuah ilmu-bantu teknikal murni, yang misalnya membantu memperbaiki sarana pengertian-pengertian dari Dogmatika Hukum, namun tidak memberikan pemahaman fundamental atas misalnya daya-kerja, isi atau peranan kemasyarakatan dari sistem-sistem hukum. Menurut Teori Kritikal, Teori Hukum dapat dan harus memenuhi suatu fungsi kritikal berkenaan dengan hukum positif. Kritik ini dapat dilandaskan pada teori-teori yang sebagian bertumpu pada pengalaman-pengalaman dan pemahaman-pemahaman yang secara empirikal tidak diverifikasi atau bahkan tidak dapat diverifikasi secara empirikal. Dengan demikian, nilai-nilai yang termuat dalam hukum positif juga dapat dikritik berdasarkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah lain, sejauh 78 79 yang disebut terakhir ini dapat disituasikan dalam suatu teori yang mencakup lebih luas. Jadi, pembentukan teori dalam Teori Hukum bagi Aliran Kritikal tidak perlu harus bebasnilai, ia sebaliknya lazimnya justru dicirikan oleh suatu kerja-sama unsur-unsur deskriptif (memaparkan) dan unsur-unsur normatif. 112. Pertentangan antara Teori (Hukum) Analitikal dan Kritikal terkait terutama pada suatu perbedaan dalam pandangan tentang ilmu. Jika orang secara a priori bertolak dari bebas-nilai sebagai kriterium untuk keilmuan dari Teori Hukum, maka Teori Kritikal memang tidak dapat dihindari harus ditolak. Tetapi di atas sudah ditunjukkan bahwa suatu ilmu yang secara mutlak bebas-nilai sulit dapat masuk akal. Jika orang terlalu kaku berpegang teguh pada bebas-nilai ini sebagai kriterium untuk keilmuan, maka orang dihadapkan pada resiko akan kalah pada dua front: di satu pihak orang terlalu kuat membatasi medan penelitiannya, dan di lain pihak orang juga menghadapi bahaya untuk tidak diakui sebagai ilmu karena pada landasan dari tiap ilmu selalu dapat ditunjuk titiktitik tolak yang tidak dapat diverifikasi secara empirikal atau secara logikal. Untuk menciptakan kejernihan dalam problematika ini, kita harus mengadakan suatu pembedaan (distingsi) antara bebas-nilai sebagai kriterium bagi keilmuan dari Teori Hukum dan bebas-nilai sebagai sasaran (als objektief) pada pengembanan ilmiah Teori Hukum. Demikianlah kita sampai pada dikhotomi Teori Hukum “deskriptif” atau “empirikal” berhadapan dengan Teori Hukum “preskriptif” atau “normatif” yang padanya menonjol sebagai pertanyaan fundamental: apakah Teori Hukum itu harus hanya deskriptif (beschrijven, memaparkan) atau sekaligus juga preskriptif (voorschrijven, mengharuskan, memerintah)? Di sini ihwalnya memang tidak lagi berkenaan dengan bebas-nilai sebagai syarat dari keilmuan, melainkan bebas-nilai atau kebermuatan nilai sebagai penetapan tujuan kegiatan (doelstelling) pada pengembanan Teori Hukum. 4.22. Teori Hukum Empirikal atau Normatif? 113. Pertentangan antara pendekatan empirikal dan normatif dalam Teori Hukum adalah lebih kabur dibatasi ketimbang pertentangan antara Teori Hukum Analitikal dan Kritikal. Sesungguhnya dua aliran yang terakhir adalah tidak lain ketimbang suatu penerapan dalam Teori Hukum dari dua aliran dengan nama yang sama dalam Ilmu-ilmu Sosial secara umum. Dan aliran-aliran ini pada gilirannya adalah pelopor-pelopor dari secara respektif Filsafat Analitik Inggeris (Russell, Moore) dan Filsafat Kritik Masyarakat Jerman dari terutama Frankfurter Schule (Adorno, Habermas). Jadi, Teori Hukum Analitikal dan Teori Hukum Kritikal menguasai suatu kerangka teoretikal yang terolah dengan baik yang tujuannya masing-masing dari mereka memiliki suatu sosok (profil) yang jelas. Ini tidak dapat dikatakan tentang “Teori Hukum Empirikal”, juga tidak tentang “Teori Hukum Normatif”. Pada bidang penamaannya saja sudah tidak ada uniformitas. Aliran empirikal dinamakan juga “memaparkan”, “deskriptif”, atau “eksplikatif”. Aliran normatif ditunjuk juga dengan penamaan “preskriptif” atau bahkan dengan istilah “kritikal”. Terutama pemakaian pengertian yang terakhir menjadi sebab dari kekacaubalauan. Sesungguhnya, juga suatu Teori Hukum Empirikal, yang memaparkan, dapat dalam banyak segi bersifat “kritikal”. Pada penguraian lebih lanjut tentang ruang-lingkup (draagwijdte) dari pertentangan antara aliran empirikal dan aliran normatif dalam Teori 79 80 Hukum tampaknya juga tepat jika di sini terlebih dahulu membahas pendekatan yang paling umum yang menamakan diri “kritikal”. 114. Grosso modo (dalam garis besar) orang dapat menggunakan pengertian “kritikal” dalam konteks yang dibicarakan di sini dalam lima arti: “metodik-kritikal”, “praktekkritikal”, “ideologi-kritikal”, “filosofik-kritikal” dan “normatif-kritikal”. Teori Hukum harus selalu “metodik-kritikal” jika ia ingin dapat menuntut status ilmu. Sesungguhnya, tiap ilmu dalam hakikatnya mempunyai suatu sikap kejiwaan (ingesteldheid) kritikal terhadap obyek-studinya dan terhadap metode-metode yang dengannya pengetahuan tentang obyek-obyek ini dapat diperoleh. Arti “kritikal” ini misalnya kita temukan kembali dalam penamaan “kritik historikal”, yang di dalam disiplin tersebut esensinya berkenaan dengan hal menseleksi sumber-sumber informasi yang dapat dipercaya dan yang kurang dapat dipercaya. Dengan “praktek-kritikal” kita di sini harus mengartikan fungsi kritikal yang dipenuhi Teori Hukum terhadap praktek hukum dan Dogmatika Hukum. Penelitian dalam bidang Teori Hukum dapat membawa pada suatu kritik terhadap misalnya konstruksi-konstruksi dalam Dogmatika Hukum tertentu atau terhadap argumentasi-argumentasi dalam putusan pengadilan (peradilan). Di sini Teori Hukum itu kritikal dalam derajat bahwa ia mengkonfrontasi yuris-praktek atau ilmuwan hukum dengan hal tidak dapat dipertahankannya secara ilmiah teori-teori yang diterapkannya atau perilaku-perilaku yang diikutinya, atau dalam derajat bahwa ia memberikan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar hasil-hasil praktikal tertentu dapat dicapai seperti misalnya perundangundangan yang lebih efisien. Juga dalam arti ini, Teori Hukum per definisi selalu kritikal mengingat analisis kritikal atas praktek hukum dan Dogmatika Hukum justru termasuk salah satu hakikat dari tugasnya. Teori Hukum adalah “ideologi-kritikal” bila ia “membuka topeng” putusan-putusan (proposisi-proposisi) yuridikal, aturan-aturan hukum, pengertian-pengertian hukum atau teori-teori yuridikal yang tampak netral sebagai bermuatan nilai-nilai dan/atau bermuatan normatif. Di sini Teori Hukum membatasi diri pada menunjuk adanya pilihan-pilihan nilai dan kaitan-kaitan ideologi. Dalam semua hal di sini ihwalnya tidak berkenaan dengan suatu pilihan di antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ideologi-ideologi, terlebih lagi tidak berkenaan dengan suatu kritik berdasarkan nilai-nilai, kaidah-kaidah atau ideologi-ideologi yang ditetapkan terlebih dahulu. Sifat ideologi-kritikal dari Teori Hukum dapat dipandang sebagai suatu faset dari karakter praktek-kritikal dari Teori Hukum. Jadi, Teori Hukum, namun tidak niscaya tiap penelitian dalam bidang Teori Hukum, per definisi harus dipandang sebagai ideologi-kritikal. Dalam suatu arti keempat, dengan kritikal dimaksudkan suatu refleksi kefilsafatan kritikal fundamental. Dalam arti inilah misalnya Rene Foque memandang Teori Hukum sebagai suatu “kritik-hukum”. Foque mengemukakan bahwa fungsi kritikal yang hakiki dari Teori Hukum tidak terletak pada tataran dari salah satu dari bentuk-bentuk sikap kejiwaan kritikal yang dibicarakan di atas, melainkan pada tataran dari suatu refleksi yang lebih fundamental antara lain tentang Teori Hukum itu sendiri. Jika Foque mengkhawatirkan bahwa pendekatan dari Teori Hukum yang terlalu sempit membawa pada suatu “rekuperasi”, suatu “aneksasi”, dari Teori Hukum oleh Dogmatika Hukum, dengan akibat kehilangan sikap kejiwaan kritikal terhadap Dogmatika Hukum ini, tampaknya ia di sini terjatuh ke dalam ekstrim lainnya dan kehilangan dari pandangan 80 81 mata perbatasan antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Sebab sesungguhnya refleksi kritikal secara fundamental yang dimaksud Foque adalah tugas in optima forma dari Filsafat Hukum dan dengan demikian per definisi tidak termasuk ke dalam sasaransasaran dari Teori Hukum sebagai tugas spesifik dari Ilmu Hukum. Akhirnya orang juga dapat memandang karakter kritikal dari Teori Hukum sebagai suatu sikap kejiwaan normatif-kritikal yang padanya orang, sama seperti dalam Dogmatika Hukum, tidak membatasi diri pada suatu pemaparan, suatu analisis atau pensistematisasian, melainkan sekaligus berdasarkan suatu wawasan pribadi atas manusia dan masyarakat mengajukan pedoman-pedoman, kaidah-kaidah yang oleh praktek dan/atau Dogmatika Hukum harus dipatuhi. Suatu pendekatan yang demikian sesungguhnya bersifat normatif begitu saja dan dalam kenyataan tidak lagi kritikal, setidak-tidaknya tidak lagi ilmiah-kritikal. Jika orang berbicara tentang Teori Hukum Preskriptif, Teori Hukum Normatif, Teori Hukum “Kritikal” sebagai lawan dari suatu Teori Hukum Empirikal, Teori Hukum Deskriptif, maka biasanya pikirannya terarah pada sejenis Teori Hukum Normatifkritikal. 115. Jadi, pertentangan antara Teori Hukum Empirikal dan Teori Hukum Normatif berputar sekitar pertanyaan: apakah Teori Hukum itu harus membatasi diri pada suatu pemaparan ilmiah-positif, analisis, pembentukan hipotesis dan pembentukan teori secara obyektif semata-mata, atau bolehkah, bahkan haruskah ia mengambil suatu sikap normatif-kritikal dan bertolak dari suatu wawasan atas manusia dan masyarakat melancarkan kritik terhadap praktek hukum dan terhadap Dogmatika Hukum? Pandangan yang terakhir ini jelas misalnya adalah pandangan yang dianut Teori Hukum Marxistik atau dari pendekatan-pendekatan lain yang diilhami kritik-masyarakat dalam Teori Hukum. Sekarang, pendekatan Teori Hukum yang mana yang harus dipilih? Di atas pada pembatasan wilayah Teori Hukum dalam hubungannya dengan Filsafat Hukum telah diletakkan penekanan yang kuat pada karakter bebas-nilai dari Teori Hukum yang berlawanan dengan sifat spekulatif dari Filsafat Hukum. Dengan demikian tampaknya sudah diberikan jawaban atas pertanyaan yang di sini menyibukkan kita. Namun suatu penuansaan mendesakkan diri ke permukaan. Sesungguhnya berkali-kali juga ditekankan bahwa suatu ilmu yang sepenuhnya bebasnilai adalah suatu ideal yang nyaris dapat direalisasikan. Begitulah bebas-nilai adalah suatu tujuan-upaya (streefdoel) dari Teori Hukum, namun di lain pihak orang juga tidak dapat menyangkal bahwa suatu sudut pendekatan ideologikal dalam beberapa kasus tertentu dapat sangat produktif (vruchtbaar) untuk perkembangan dari ilmu itu: pendekatan marxistik adalah contoh dari hal itu yang paling mencolok. Karena itu juga pendekatan yang demikian itu harus tidak begitu saja diasingkan dari Teori Hukum, dengan syarat sekurang-kurangnya bahwa hipotesis-hipotesis dan teoriteori yang ditetapkan di muka dirumuskan sedemikian rupa sehingga mereka terbuka bagi suatu pengujian secara ilmiah-positif dan/atau pembantahan (weerlegging) secara ilmiahpositif, juga jika pengujian atau bantahan ini dalam situasi keadaan (state of the arts) dari ilmu itu tidak segera dapat direalisasikan. Pada saat bahwa seorang “teoretisi hukum kritikal” juga mengkritik hukum positif, praktek hukum atau Dogmatika Hukum berdasarkan suatu teori yang berwarna ideologikal yang belum teruji, maka ia meninggalkan wilayah-telaah dari Teori Hukum 81 82 dan ia menempatkan diri (berkiprah) pada wilayah dari Filsafat Hukum dan Politik (Hukum). 116. Meskipun ada unsur-unsur normatif ini, namun untuk tetap dapat berbicara tentang bebas-nilai dari Teori Hukum maka perlu untuk membuat pembedaan yang jelas antara berbagai cara yang dengannya nilai-nilai dan kaidah-kaidah dapat memainkan peranan dalam penelitian ilmiah. Hal bebas-nilai tidak menyangkut titik-titik tolak dari penelitian bidang Teori Hukum. Pada landasan tiap penelitian ilmiah, pada landasan tiap putusan ilmiah dalam instansi terakhir tidak dapat dihindari terletak nilai-nilai tertentu, pandangan-pandangan tentang manusia dan masyarakat tertentu. Putusan-putusan nilai ini dan pandangan-pandangan ini sering berpengaruh untuk menentukan pilihan medan penelitian dan tema penelitian dan untuk memberikan arah pada konstruksi teori-teori ilmiah. Mengapa misalnya seseorang meneliti status yuridik dari orang-orang asing di Belgia, atau status ibu yang tidak menikah, atau problematika hak-hak asasi manusia? Akhirnya pada pilihan dari tema penelitian ini terletak suatu kepedulian etikal sebagai landasannya. Ihwalnya adalah bahwa baru berdasarkan suatu sudut pendekatan ideologikal semacam itu maka suatu situasi tertentu dialami sebagai “problematikal” dan bahwa orang merasakan suatu kebutuhan pada lebih banyak informasi tentang situasi ini. Hal bebas-nilai ini juga tidak menyangkut obyek penelitian dari Teori Hukum. Sebab nilai-nilai dan kaidah-kaidah justru mewujudkan bagian inti dari medan penelitian dari Teori Hukum. Dan ihwalnya adalah jelas bahwa orang dapat mempelajari nilai-nilai dan kaidah-kaidah dengan suatu cara yang obyektif sebagai fakta-fakta belaka, tanpa pada kegiatan ini harus mengambil suatu pendirian yang menilai atau normatif. Hal bebas-nilai pada akhirnya memang menyangkut cara yang dengannya penelitian di bidang Teori Hukum dijalankan. Bebas-nilai berarti bebas-nilai sebagai aturan metodologikal. Ini berarti bahwa orang harus menahan diri untuk tidak memberikan isi atau jangkauan bermuatan nilai atau normatif pada putusan-putusan (proposisi-proposisi) ilmiah. 117. Demikianlah, sebagai rangkuman dapat dinyatakan bahwa berdasarkan sifatnya sendiri dari Teori Hukum sebagai ilmu, secara prinsipiil opsi (pilihan) harus diberikan kepada Teori Hukum “Empirikal”, yang dengannya dimaksudkan suatu Teori Hukum yang tidak normatif-kritikal. Ini tidak berarti bahwa pengemban Teori Hukum (teoretisi hukum) tidak mempunyai hak untuk juga menautkan pemikiran-pemikiran politikal, ideologikal, filosofikal pada pertimbangan-pertimbangan ilmiahnya. Ini hanya berarti bahwa pemikiran-pemikiran/keberatan-keberatan ini juga secara eksplisit harus ditampilkan sebagai putusan-putusan politikal, ideologikal, filosofikal dan tidak sebagai putusan-putusan ilmiah dalam bidang Teori Hukum. Ini juga tidak mutlak harus terjadi pada tiap halaman dari uraian itu. Sebuah pernyataan pada permulaan atau pada akhir dari uraian lazimnya sudah cukup, atau bahkan cukup hanya suatu relativisasi atas kesimpulan-kesimpulannya dengan misalnya menunjukkan bahwa hal ini tidak secara logikal timbul dari penelitian. 4.3. Metodologi dari Teori Hukum. 4.31. Teori Hukum sebagai ilmu interdisipliner. 82 83 118. Dalam bab-bab terdahulu telah berkali-kali dan dengan penekanan ditunjuk pada karakter interdisipliner dari Teori Hukum. Dalam pemaparan historikal telah antara lain tampil ke muka bahwa perkembangan ilmu dalam berbagai disiplin non-yuridikal yang mengambil hukum sebagai obyek-studinya, seperti Sejarah Hukum, Sosiologi Hukum, Psikologi Hukum atau Logika Hukum, telah menimbulkan suatu kebutuhan pada suatu sintesis dari hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin ilmiah ini sejauh mereka berkaitan dengan hukum. Jika misalnya Sosiologi Hukum menelaah gejala-gejala hukum semata-mata, atau setidaknya pada pokoknya, dengan kacamata Sosiologi, atau logisi dengan kacamata Logika, maka yuris yang peduli teoretikal (pengemban Teori Hukum) membutuhkan suatu wawasan menyeluruh (totaalvisie) atas hukum dan atas gejala-gejala hukum, yang padanya semua faset tampil, dan tidak hanya sisi historikal, psikologikal, sosiologikal, logikal …… dari problematika itu. Teori Hukum dari segala segi berada pada tempat yang tepat untuk mewujudkan sintesis yang demikian itu. Sebagai Ilmu Hukum yang menjelaskan, Teori Hukum mensituasikan diri pada tataran dari antara lain Sejarah Hukum dan Sosiologi Hukum dan tidak pada tataran dari obyekobyek penelitiannya sendiri, seperti misalnya Dogmatika Hukum untuk sebagian melakukannya, atau pada tataran refleksi filosofikal secara umum, seperti Filsafat Hukum. Dan sebagai Ilmu Hukum yang menjelaskan, Teori Hukum mendekati kenyataan yuridikal untuk dapat menganalisis dan untuk dapat menjelaskan kenyataan tersebut sebagai demikian, tidak dari sudut perspektif dari satu disiplin bukan-hukum tertentu, melainkan dari sudut semua perspektif relevan yang mungkin. Sebuah disiplin seperti misalnya Sejarah memiliki sejumlah anak-disiplin, seperti Sejarah Kultur, Sejarah Hukum, Sejarah Militer, Sejarah Ekonomi dan lain-lain. Masing-masing dari disiplin-disiplin ini mempunyai nilai sendiri dan alasan sendiri bagi keberadaannya, namun demikian ada suatu kebutuhan pada “Sejarah” sebagai disiplin yang mencakup, mengintegrasikan, mensintesiskan. Dengan cara yang sama, Sosiologi Hukum, Logika Hukum, Sejarah Hukum, dan sejenisnya membiarkan adanya (membuka pintu bagi timbulnya) kebutuhan pada, atau bahkan telah menciptakan kebutuhan pada suatu Teori Hukum, yang dapat mengintegrasikan hasil-hasil penelitian dari masing-masing dari disiplin-disiplin ini menjadi satu keseluruhan yang koheren (utuh). Bedanya hanyalah bahwa anak-anak disiplin dari Teori Hukum adalah anak-anak “di luar perkawinan yang sah”, Teori Hukum memang hanya mempunyai suatu wilayah “khas” sepenuhnya yang terbatas yang di atasnya tidak ada disiplin lain yang berkiprah. Ke dalam medan penelitian khas ini termasuk misalnya Ajaran Metode dan Ajaran Ilmu dari Dogmatika Hukum. Juga masih harus ditunjukkan bahwa bagi Teori Hukum sebagai disiplin yang mengintegrasikan secara interdisipliner tidak hanya Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum atau Psikologi Hukum yang relevan. Juga penelitian sosiologikal, historikal, psikologikal dan penelitian lain, yang tidak secara langsung mempelajari gejala-gejala hukum, dapat berguna dan penting untuk penjelasan atas gejala-gejala hukum dan dengan demikian untuk Teori Hukum. Jadi, Teori Hukum bukan disiplin yang di dalamnya yuris yang minatnya yuridik-teknikal menggunakan hasil-hasil dari disiplin-disiplin lain ke dalam rangka praktek-hukumnya atau ke dalam pemaparan-pemaparan bidang Dogmatika Hukum. Teori Hukum memang 83 84 bertujuan untuk memberikan suatu penjelasan selengkap mungkin atas fenomenafenomena yuridikal. Suatu pengetahuan yang layak (adekuat) tentang teknik hukum dalam hal ini pada dasarnya mutlak diperlukan, namun belum cukup. Yuris juga tidak begitu saja memiliki monopoli atas pengembanan Teori Hukum. Persis sama seperti kultur-historisi atau historisi hukum, menjadi “historisi” tanpa embel-embel pada saat ia melibatkan hasil-hasil dari disiplin-disiplin saudaranya (sistersdisciplines) ke dalam penelitiannya, maka historisi hukum atau sosiolog hukum juga dapat menjadi “teoretisi hukum” (pengemban Teori Hukum) pada saat ia memperluas sudut pendekatan asli dari disiplin-induknya, di sini secara respektif Sejarah dan Sosiologi, dengan masukan dari disiplin lain dan dengan demikian sampai pada satu wawasan sintetikal tentang hukum dan gejala-gejala hukum. Jadi, interdisiplinaritas dari Teori Hukum adalah hal mengintegrasikan bahan-bahan terberi yang disajikan oleh disiplin yuridikal maupun disiplin non-yuridikal dari sudut suatu meta-pendirian dan bukan pengolahan hasil-hasil dari disiplin-disiplin lain dalam kerangka Dogmatika Hukum. Ost membuat suatu pembedaan antara “pluri-disiplinaritas”, “inter-disiplinaritas” dan “trans-disiplinaritas” (Ost, F., “Questions methodologiques a propos de la recherche interdisciplinaire en droit”, Revue interdisciplinaire d’etudes juridique, 1981 (6), 6-9). Ia mendefinisikan “pluri-disiplinaritas” sebagai ihwal secara sederhana meletakkan hasil-hasil dari berbagai disiplin yang satu di samping yang lainnya, “inter-disiplinaritas” sebagai pengolahan hasil-hasil ini dari sudut medanpandang teoretikal dari satu dari disiplin-disiplin ini, dan “trans-disiplinaritas” sebagai hal mengintegrasikan hasil-hasil ini dari sudut suatu meta-titikberdiri (meta-standpunt), yang padanya tidak satupun dari disiplin-disiplin terkait sebagai demikian masih berfungsi sebagai titik-tolak teoretikal. Dalam peristilahan dari Ost maka pendekatan kita merupakan “trans-disiplin”. Ost mengajukan dua keberatan terhadap pendekatan ini: hal itu menurut pendapatnya terlalu awal dan bermuatan bahaya-bahaya ideologikal. Bagi kami keberatan pertama tidak berdasar. Sebaliknya kebutuhan pada sintesis interdisipliner justru terus menerus meningkat. Keberatan kedua sebagai kekhawatiran untuk sebagian berdasar, tetapi dapat diakomodasi, antara lain dengan mengeksplisitkan titik-titik tolak, merelatifkan hasil-hasil penelitian dan sejenisnya. (lihat di atas pada nomor 115 sampai 117). 119. Karakter interdisipliner dari Teori Hukum tidak membatasi diri pada suatu kegiatan meregistrasi dan mensistematisasi secara pasif atas hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin lain. Hal penggunaan disiplin-disiplin non-yuridikal juga secara sadar digunakan sebagai metode pada pelaksanaan penelitian bidang Teori Hukum (penelitian hukum teoretikal). Hal ini juga dalam bab berikut akan ditampilkan ke muka yang di dalamnya akan diberikan suatu gambaran menyeluruh terikhtisar secara skematikal tentang wilayahpenelitian dari Teori Hukum, terutama berdasarkan sejumlah penelitian-penelitian yang sudah dilakukan. Jika orang ingin meletakkan Teori Hukum di atas suatu landasan-ilmiah yang sungguhsungguh maka orang di masa depan sungguh-sungguh akan tidak dapat lagi membatasi diri pada suatu sudut pendekatan yang sempit dalam arti “Ajaran Hukum Umum” yang tradisional, melainkan orang akan senantiasa harus memperhitungkan dan menggunakan pemahaman-pemahaman dan kemungkinan-kemungkinan dari ilmu-ilmu yang lain. 84 85 Sebagai metode dari penelitian terapan bidang Teori Hukum, interdisiplinaritas itu terletak lazimnya tidak terutama dalam suatu sintesis dari banyak disiplin non-yuridikal, melainkan lebih banyak dalam penggunaan metode dari satu disiplin non-yuridikal yang ditentukan secara cermat yang dipandang relevan untuk dapat memperoleh suatu pemahaman yang lebih baik dalam gejala-gejala hukum yang diteliti. Begitulah pada suatu penelitian tentang misalnya problematika keadilan-kelas (klassejustitie), pendekatan sosiologikal akan lebih diutamakan. Apa yang membuat penelitian yang demikian itu menjadi penelitian bidang Teori Hukum dan bukan suatu penelitian bidang Sosiologi Hukum adalah sudut pendekatan spesifik yang berdasarkannya penelitian itu dilaksanakan. Suatu penelitian bidang Sosiologi Hukum yang dilaksanakan dalam kerangka studi bidang Teori Hukum tentang keadilan-kelas mewujudkan hanya satu bagian dari suatu penelitian global, yang dalam esensinya dilaksanakan dari sudut titikberdiri seorang yuris, yang memiliki kepedulian teoretikal, dan tidak dari sudut titikberdiri sosiolog. Aspek sosiologikal hukum akan disituasikan dalam suatu perspektif historikal hukum, psikologikal hukum, filosofikal hukum, dogmatikal hukum, …. yang lebih luas, yang padanya kesimpulan-kesimpulannya diarahkan pada suatu pemahaman yang lebih baik dalam, in casu, fenomena keadilan-kelas, dipandang dalam keseluruhannya, dan tidak pada suatu pengujian atas misalnya teori-teori sosiologikal tertentu. 120. Pedoman umum untuk penggunaan disiplin-disiplin non-yuridikal pada pelaksanaan suatu penelitian bidang Teori Hukum ternyata sulit diberikan, sebab relevansi dari, dan pilihan di antara, disiplin-disiplin ini sangat tergantung pada temapenelitian yang dipilih. Bahkan untuk wilayah-wilayah bagian yang besar dari Teori Hukum tidak disusun aturan-aturan yang ajeg, walaupun orang memang dapat menerima bahwa untuk wilayah-wilayah tertentu terdapat disiplin-disiplin tertentu yang mendesakkan diri ketimbang yang lainnya. Demikianlah Psikologi Hukum misalnya mungkin akan lebih tampil ke muka pada suatu analisis atas pengertian seperti misalnya kesadaran hukum ketimbang pada kegiatan mempelajari Ajaran Ilmu dan Ajaran Metode dari Dogmatika Hukum. 121. Dalam kerangka suatu penelitian bidang Teori Hukum dengan demikian, interdisiplinaritas dapat menampilkan diri dalam dua bentuk: teoretisi hukum membatasi diri pada penggunaan hasil-hasil penelitian yang ada yang telah dilaksanakan dalam kerangka disiplin-disiplin non-yuridikal; atau teoretisi hukum dalam kerangka penelitiannya (menyuruh) melaksanakan suatu penelitian historikal hukum, sosiologikal hukum, ... dengan metode dan cara kerja dari disiplin non-yuridikal yang digunakannya. Dalam hipotesis terakhir sudah jelas dengan sendirinya bahwa teoretisi hukum sebagai yuris tidak cukup terdidik untuk secara mandiri melakukan penelitian pada wilayah disiplin-disiplin non-yuridikal. Karena itu pada umumnya akan harus diajukan suatu himbauan (harus merujuk, meminta bantuan) kepada seorang spesialis terkait untuk mengarahkan penelitian itu pada jalur yang tepat. Jadi, interdisiplinaritas dari Teori Hukum di sini mengandung arti bahwa Teori Hukum dalam banyak kejadian diemban dalam bentuk dari suatu kerja-sama interdisipliner antara para yuris dan para spesialis dari satu atau lebih ilmu-ilmu non-yuridikal. 85 86 Dalam suatu zaman yang di dalamnya oleh suatu spesialisasi yang sudah terlalu jauh juga di luar (bidang studi) hukum timbul suatu kebutuhan pada suatu terobosan dan suatu upaya mengatasi spesialisme yang sempit dan suatu fragmentarisasi penelitian ilmiah yang sudah terlalu besar, maka dengan demikian untuk Teori Hukum seharusnya sudah tergelar suatu masa depan yang cerah. 122. Akhirnya tampil pertanyaan apa yang dilakukan teoretisi hukum jika hasil-hasil dari berbagai disiplin non-yuridikal saling bertentangan atau sekurang-kurangnya saling merelatifkan. Dan yang terakhir ini niscaya tampil ke muka jika bahan-bahan terberi dari konteks-konteks yang sangat berbeda yang satu terhadap yang lainnya disaling konfrontasikan. Apakah teoretisi hukum harus dipandang sejenis “super-ilmuwan”, seorang “hakim tertinggi” terhadap semua disiplin-disiplin ini, yang mempunyai hak untuk menilai semua hasil-hasil penelitian dan teori-teori mereka? Ihwalnya jelas bahwa Teori Hukum tidak memiliki pretensi itu. Ia juga tidak perlu memiliki pretensi ini, karena Teori Hukum dalam esensinya mengolah hasil-hasil faktual, bahan-bahan terberi empirikal dari disiplin-disiplin non-yuridikal ini, dan tidak menguji teori-teori yang dikonstruksi disiplin-disiplin ini berlandaskan bahan-bahan terberi tersebut. Dengan demikian tiggallah pertanyaan atas dasar apa bahan-bahan terberi faktual ini diseleksi dan dinilai. Seleksi dan penilaian ini terjadi dalam kerangka dari konstruksi dan pengujian atas hipotesis-hipotesis dan teori-teori bidang Teori Hukum (tentang hal ini lihat lebih jauh no. 127 dst.). Dan pilihan di antara teori-teori pada akhirnya akan ditentukan oleh kekuatan menjelaskan yang lebih luas atau lebih terbatas dari teori-teori ini (lihat no. 125 dan 129) bagi teoretisi hukum, sebagai yuris yang merefleksi secara teoretikal. 4.32. Metode-metode Penelitian. 123. Yang menjadi pertanyaan sentral pada pembicaraan tentang problematika metode-metode penelitian adalah apa sasaran yang menjadi tujuan dalam penelitian itu. Sebab sebenarnya tergantung pada sasaran dari penelitian akan ditentukan tipe penelitian yang paling sesuai. Jawaban atas pertanyaan tentang sasaran dari penelitian-penelitian bidang Teori Hukum sekaligus juga memberikan kepada kita suatu jawaban atas pertanyaan, di dalam Teori Hukum kita (dapat) berhadapan dengan bentuk (-bentuk) penelitian apa. Grosso modo orang dapat membuat suatu pembedaan antara penelitian “memaparkan” (“beschrijvend” onderzoek) dan penelitian “menjelaskan” (“verklarend” onderzoek). 124. Pada suatu penelitian-memaparkan (penelitian deskriptif) kita membatasi rencana studi kita pada suatu pemaparan, suatu analisis atau suatu klasifikasi, tanpa pada kegiatan ini kita secara langsung terarah pada konstruksi atau pengujian atas hipotesis-hipotesis atau atas teori-teori. Ini pada umumnya misalnya yang akan terjadi pada analisis pengertian-pengertian hukum. Tetapi juga pada bidang-bidang lain dari Teori Hukum kita akan dalam suatu tahap pertama, untuk mempersiapkan perumusan hipotesis-hipotesis dan teori-teori, sering harus mengakhlikan diri pada suatu penelitian memaparkan. Pada tataran analisis dan klasifikasi saja untuk Teori Hukum sudah tergelar suatu tugas yang luas. 86 87 125. Pada suatu penelitian-menjelaskan (penelitian eksplanatif), lewat konstruksi hipotesis-hipotesis dan teori-teori, dilakukan upaya untuk mengerti bagian-bagian tertentu dari kenyataan secara lebih baik, misalnya dengan memperlihatkan suatu hubungan tertentu di antara unsur-unsur dari kenyataan, yang dengan cara itu unsur-unsur ini tampil dalam suatu cahaya baru dan tampak berbeda dan dapat dimengerti dengan lebih baik. “Menjelaskan” dalam Ilmu-ilmu Manusia, dan dengan demikian juga dalam Teori Hukum, tidak boleh dipahami dalam arti memperlihatkan suatu hubungan kausal yang ajeg (wetmatig kausale samenhang) antara dua unsur, dengan kata lain “menjelaskan” dalam Teori Hukum adalah sesuatu yang berbeda ketimbang dalam Ilmuilmu Alam. Ini berarti bahwa suatu teori yang menjelaskan pada wilayah-telaah Teori Hukum tidak niscaya sekaligus harus memiliki suatu kemampuan memprediksi (voorspellingskracht, daya meramalkan) seperti misalnya hukum gaya-berat (zwaartekracht). “Menjelaskan” dalam Teori Hukum harus dipahami sebagai hal memperoleh suatu pemahaman yang lebih baik tentang gejala-gejala hukum tertentu. Demikianlah misalnya suatu pemahaman tentang pembentukan putusan kehakiman (rechterlijke besluitvorming, pembentukan vonis hakim) yang lebih baik dapat diperoleh jika suatu hubungan kausal antara keyakinan politikal dari para hakim dan putusanputusan kehakiman dapat diperlihatkan. Atau lewat pendekatan strukturalistik orang dapat memperoleh suatu pemahaman yang lebih baik tentang kesaling terhubungan di antara aturan-aturan hukum. Teori Hukum “menjelaskan” gejala-gejala yang sama juga dengan suatu cara yang berbeda ketimbang Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum melakukan hal ini. Kita ambil sebagai contoh hak atas kebebasan menyatakan pendapat. Dogmatika Hukum “menjelaskan” keberadaan dari hal ini dengan menunjuk pada, misalnya, pasal 14 Undang Undang Dasar Belgia. Filsafat Hukum “menjelaskan” keberadaan dari hak ini dengan menunjuk pada “penetapan” (vaststelling) bahwa manusia manurut hakikatnya (secara alami) adalah bebas, dan pada asas etikal bahwa manusia dalam kebebasan ini harus dihormati. Teori Hukum sekarang, akan “menjelaskan” hak atas kebebasan menyatakan pendapat dengan menunjukkan bahwa hak ini adalah akibat (produk, mengalir dari) perkembangan-perkembangan historikal, dari teori-negara Barat yang berpengaruh, dari sistem ekonomi liberal, bahwa pengakuan terhadap hak atas kebebasan menyatakan pendapat niscaya mengalir dari pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang lain, dan demikian seterusnya. Dinyatakan dengan cara lain: Dogmatika Hukum “menjelaskan” hukum semata-mata yuridik-internal, Filsafat Hukum sematamata yuridik-eksternal, sedangkan Teori Hukum memanfaatkan baik faktor-faktor yuridik-internal maupun yuridik-eksternal. Berbagai sudut pendekatan ini juga membawa pada suatu tipe dari penjelasan yang fundamental berbeda. “Penjelasan” dalam Dogmatika Hukum adalah hanya memberikan alasan(-alasan) mengapa sebuah aturan harus diakui sebagai aturan hukum yang berlaku dalam suatu sistem hukum tertentu pada suatu saat tertentu. “Penjelasan” dalam Filsafat Hukum bertalian dengan memberikan dasar-dasar terdalam, yang tidak dapat diperlihatkan dalam kenyataan, dari konsepkonsep dan gejala-gejala yuridikal (Ontologi Hukum) atau dengan hal menunjukkan “makna” dari hukum (Teleologi Hukum) atau juga dengan hal pengambilan suatu titikberdiri normatif: orang menjelaskan hukum itu harus demikian adanya (Aksiologi Hukum, Ideologi Hukum). “Penjelasan” dalam Teori Hukum akhirnya memberikan jawaban atas pertanyaan keterberian-keterberian faktual apa, yang sifatnya bagaimana 87 88 pun, yang menyebabkan hukum adalah sebagaimana ia ada dalam satu atau lebih sistem hukum efektif. Dalam suatu percobaan untuk memberikan suatu penamaan sendiri pada masing-masing dari tipe-tipe “penjelasan” ini, maka kita akan dapat memaparkan mereka sebagai “penjelasan yuridik-teknikal” (technisch-juridische verklaring) dalam Dogmatika Hukum, sebagai “penjelasan merefleksi” (reflekterende verklaring) dalam Filsafat Hukum dan sebagai “penjelasan menganalisis” atau “penjelasan analitikal” (analyserende verklaring) dalam Teori Hukum. Demi kelengkapan (untuk menuntaskan) harus dikemukakan bahwa “penjelasan menganalisis” ini adalah tujuan (oogmerk) dari Teori Hukum sebagai keseluruhan dan tidak mutlak harus dari tiap penelitian bagian sendiri-sendiri secara terpisah. Sebab tidak tiap penelitian adalah suatu penelitian (yang) menjelaskan. 126. Penelitian memaparkan dan penelitian menjelaskan saling berkaitan secara erat dan saling membaur yang satu ke dalam yang lainnya. Sebab juga suatu penelitian memaparkan sesungguhnya terarah pada ihwal memperoleh suatu pemahaman yang lebih baik tentang kenyataan. Karena itu, kita juga hanya akan berbicara tentang penelitian “menjelaskan” jika secara eksplisit dikerjakan dengan hipotesis-hipotesis dan/atau dengan teori-teori. 127. Hipotesis-hipotesis adalah dugaan-dugaan yang belum diuji berkenaan dengan hubungan-hubungan di dalam kenyataan. Agar secara metodologikal dapat diterima (akseptabel) maka hipotesis-hipotesis itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga mereka terbuka bagi pengujian. Pengujian ini dapat baik secara positif maupun secara negatif. Dalam hal pertama orang berbicara tentang “verifikasi”, dalam hal kedua tentang “falsifikasi”. Demianlah orang dapat saja misalnya merumuskan sebuah hipotesis tentang suatu hubungan antara umur dan jenis kelamin dari para hakim, di satu pihak, dan putusan-putusan (penilaian-penilaian) mereka dalam misalnya perkara-perkara pidana atau perkara-perkara keluarga di lain pihak. Suatu hipotesis demikian dapat diuji dengan membandingkan lewat suatu sample yang representatif dari vonis-vonis dari hakimhakim tunggal dari jenis kelamin yang sama dan dari suatu kelompok umur yang sama di satu pihak dengan vonis-vonis dari hakim-hakim tunggal dari kelompok umur yang sama dan jenis kelamin yang berbeda dan di lain pihak dengan vonis-vonis dari hakim-hakim tunggal dari jenis kelamin yang sama tetapi dari suatu kelompok umur yang berbeda. Hipotesis-hipotesis dapat diturunkan (diderivasi) dari sebuah teori, namun ini tidak mutlak perlu. Verifikasi atau falsifikasi terhadap suatu hipotesis pada gilirannya juga dapat menghasilkan pembentukan teori, dalam arti suatu herformulasi (perumusan ulang) teori semula (asli). 128. Sebuah teori dapat orang definisikan dengan berbagai cara tergantung pada sudut pendekatan yang berdasarkannya orang mendekati teori. Dipandang secara umum dan abstrak, sebuah teori adalah “sebuah sistem relasi-relasi definitorikal dan logikal di antara pengertian-pengertian. Lebih konkret, sebuah teori adalah “sebuah sistem pernyataan-pernyataan (klaim-klaim), pandangan-pandangan dan pengertian-pengertian yang saling berkaitan secara logikal 88 89 berkenaan dengan suatu bidang kenyataan, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga menjadi mungkin untuk menjabarkan (menurunkan) hipotesis-hipotesis yang dapat diuji.” Akhirnya orang juga masih dapat memandang suatu teori ilmiah sebagai sebuah sasaran (doel), yakni sebagai upaya mencapai “sebuah sistem hubungan-hubungan fungsional seumum mungkin, sebuah sistem yang mencakup keseluruhan bidang-bidang dari kenyataan dan meliputi (menutupi) gejala-gejala dalam bidang-bidang ini sebaik mungkin. Sebuah teori dalam Teori Hukum dapat, dengan mengikuti definisi yang kedua, diuraikan sebagai sebuah keseluruhan yang saling berkaitan dari putusan-putusan, pandanganpandangan dan pengertian-pengertian berkaitan dengan gejala-gejala yuridikal, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga ia memungkinkan untuk menjabarkan hipotesishipotesis yang dapat diuji. Beberapa contoh dari teori demikian (yang mungkin): “semua lembaga-lembaga hukum ditentukan (secara determinatif) oleh hubungan-hubungan ekonomikal di dalam masyarakat”; “kecepatan dan efisiensi dari pembentukan hukum oleh pemerintah dapat ditingkatkan dengan memberikan kewenangan pembentukan undang-undang secara penuh kepada kekuasaan eksekutif dan dengan masih memberikan kepada parlemen hanya suatu kewenangan pengawasan dan kewenangan pembentukan Undang Undang Dasar”; “susunan magistratur berdasarkan keseimbangan partai politik menjamin peradilan yang representatif bagi pandangan-pandangan mayoritas dalam masyarakat”; “teori-teori baru dalam Dogmatika Hukum menemukan jalan memasuki praktek hukum lebih banyak lewat pendidikan tinggi hukum ketimbang lewat kepustakaan hukum”. Dari dalam teori pertama orang misalnya dapat menderivasi hipotesis bahwa hukum hak milik dan hukum perjanjian memiliki isi yang sangat berbeda dalam negara-negara dengan ekonomi yang dikendalikan secara terpusat di satu sisi dan dengan ekonomi pasar bebas di sisi lain. Sebagaimana orang dapat mengamati pada contoh-contoh yang diberikan di atas, teoriteori dapat memperlihatkan derajat abstraksi yang lebih tinggi atau lebih rendah. Makin luas teori, makin besar kemampuan penjelasannya, namun ia juga makin mudah dibantah (kwetsbaar): dari sebuah teori umum dapat diderivasi sangat banyak hipotesis; jika salah satu dari mereka terfalsifikasi maka teori tersebut tidak sesuai (akseptabel) lagi. Sebuah teori yang lebih terbatas lebih sulit dibantah, namun ia juga menjelaskan lebih sedikit. Dengan demikian teori-teori itu merupakan “struktur-struktur terbuka”, yang dalam batas-batas tertentu dapat menyesuaikan diri pada kenyataan. Tiap teori juga memiliki suatu inti-keras (hard-kern), yang mewujudkan hakikat dari teori tersebut dan bantahan terhadapnya serta-merta berarti terbantahnya teori itu. Lebih dari itu, sebuah teori yang baik, menurut Lakatos, harus menawarkan (menyajikan) sebuah programa-penelitian, yang dapat membimbing penelitian di masa depan dengan suatu cara yang positif maupun dengan suatu cara yang negatif. Secara positif, dengan petunjuk-petunjuk (kasar) untuk penelitian lebih lanjut. Secara negatif, dengan syarat bahwa inti-keras dari teori itu tidak boleh terbantah atau diubah. Teori-teori dan hipotesis-hipotesis dapat dipilih secara bebas dengan syarat bahwa mereka terbuka untuk verifikasi atau falsifikasi. 89 90 129. Pada syarat-syarat apa sebuah teori harus memenuhi? Tanpa berpretensi pada kelengkapan orang dapat menyatakan bahwa sebuah teori harus memenuhi lima syarat berikut ini untuk dapat dipandang sebagai sebuah teori ilmiah yang baik: - Sebuah teori harus cermat. Ini mengandung arti bahwa akibat-akibat yang dapat diderivasi dari dalam teori itu harus sesuai dengan hasil-hasil dari eksperimen dan pengamatan-pengamatan yang dilakukan. Sebuah teori tentang sifat (hakikat) dari kaidah hukum misalnya harus dapat diterapkan pada semua aturan normatif dari hukum positif yang berlaku. - Sebuah teori harus sederhana. Maksud sesungguhnya dari sebuah teori adalah untuk menciptakan ketertiban dalam suatu keseluruhan unsur-unsur yang cukup kacaubalau, yang terlepas dari teori itu tidak memperlihatkan pertalian yang sangat jelas. Unsur kesederhanaan ini menjelaskan misalnya daya-tarik yang besar dari pandangan Kelsen tentang struktur dari sistem-sistem hukum, dan daya tarik yang sangat rendah terbatas dari berbagai teori dari Logika Hukum formal. - Sebuah teori harus konsisten. Ini berarti bahwa teori tidak boleh memuat atau mengandung pertentangan internal atau tidak boleh membawa pada kesimpulankesimpulan yang saling bertentangan. Ia juga tidak bertentangan dengan teori-teori yang diterima umum dalam ilmu terkait, kecuali jika teori baru itu justru merupakan perlawanan terhadap teori-teori yang sudah mapan (seperti Copernicus berkenaan dengan Ptolemaeus). Sebuah contoh sekolahan dari inkonsistensi adalah teori-teori interpretasi yang lazim diikuti dalam praktek peradilan: putusan-putusan yang saling bertentangan di sini sangat banyak. Dengan ini asas-asas yang saling bertentangan diterapkan sedemikian rupa sehingga dari dalam peradilan tidak dapat dikonstruksi teori interpretasi yang koheren. Di sini hal lebih memberatkan pertimbanganpertimbangan pragmatikal jelas lebih sering ketimbang pertimbangan-pertimbangan teoretikal. - Sebuah teori harus memiliki lingkup-jangkauan yang besar (luas). Sebuah teori jelas harus menjelaskan lebih banyak ketimbang yang mungkin dihasilkan sebelumnya dengan pengamatan sederhana atau dengan teori-teori yang lebih terbatas. Demikianlah misalnya Bouckaert dalam studinya tentang Aliran Exegetik telah memberikan suatu penjelasan yang lebih baik tentang ajaran dari para ahli tafsir karena hubungan yang ia telah letakkan dengan latar belakang kefilsafatanideologikal dari aliran ini. - Akhirnya sebuah teori harus produktif (vruchtbaar) dalam hubungannya dengan temuan-temuan penelitian yang baru. Sebuah teori harus mengungkapkan gejalagejala atau relasi-relasi baru di antara gejala-gejala yang sudah dikenal yang sebelumnya tidak teramati. Dengan kata lain, sebuah teori harus menyumbang pada kemajuan dari ilmu. Atau dinyatakan secara lain, di atas sebuah teori harus dapat dibangun lebih jauh, ia pada gilirannya harus dapat mewujudkan titik-tolak bagi konstruksi teori-teori baru. Yang terjadi dalam Teori Hukum tentang hal ini hingga sekarang masih terlalu sedikit, justru karena banyak teori-teori ternyata tidak produktif untuk penelitian lebih lanjut. Perhatikan saja teori-teori yang selalu muncul kembali yang menderivasi balik problematika penemuan hukum secara keseluruhan, sekurangnya untuk sebagian besar, ke suatu masalah dari pribadi dari hakimnya dan kualitas serta kekurangan-kekurangan individualnya. 90 91 Kekuatan menjelaskan (daya penjelasan) mungkin akan merupakan unsur yang paling berpengaruh (menentukan) untuk membuat sebuah teori ilmiah dapat diterima dalam lingkungan yang lebih luas. Sebuah verifikasi atau falsifikasi yang sungguh-sungguh menentukan atas sebuah teori dalam Teori Hukum akan jarang atau tidak pernah mungkin terjadi. “Pembantahan” atas sebuah teori di dalam praktek akan terjadi tidak terutama oleh “bukti” bahwa teori ini salah dan tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi, melainkan lebih karena ada sebuah teori lain “yang lebih baik” yang ditempatkan di hadapannya yang menjelaskan gejala-gejala yang sama. Penerimaan sebuah teori atas dasar kekuatan penjelasannya ini, setidaknya berkenaan dengan Ilmu-ilmu Manusia pada umumnya dan Teori Hukum pada khususnya, pada akhirnya adalah suatu urusan intersubyektivitas: teori yang paling kuat adalah teori yang pada hari ini dalam lingkungan-lingkungan ilmiah mempunyai paling banyak pengikut. Juga jika di kemudian hari mungkin terbukti bahwa suatu teori yang pendukungnya minoritas yang dalam kenyataan lebih tepat, maka ilmuwan tidak dapat lain kecuali menerima sikap ini. Tiap ilmuwan niscaya adalah seorang ilmuwan dari zamannya, yang terhadapnya ia tidak dapat melepaskan diri dan juga tidak boleh melepaskan diri, jika kemajuan ilmu ingin dimungkinkan. 130. Di atas kita melihat bahwa dapat dibuat pembedaan antara penelitian ”memaparkan” dan penelitian “menjelaskan”. Sesudah berpanjang lebar tentang pengertian “menjelaskan” dan pengertian-pengertian “hipotesis” dan “teori” yang berkaitan dengannya, maka kini kita harus mendalami lebih jauh atas berbagai tipe penelitian yang masih dapat dibedakan orang dalam penelitian “menjelaskan”. Orang berbicara tentang suatu penelitian pengujian jika sejumlah hipotesis yang terbatas diuji pada material empirikal. Orang berbicara tentang suatu penelitian nomologik-instrumental jika peneliti menetapkan secara spesifik sebagai sasaran untuk mengembangkan atau menstandarisasi instrumentarium penelitian. Di sini misalnya orang menelaah hal dapat dipergunakannya suatu pengertian. Tentang baik penelitian pengujian maupun penelitian nomologikinstrumental, orang lebih banyak menjumpainya di dalam Ilmu-ilmu Sosial yang lain ketimbang dalam Teori Hukum. Penelitian pengujian biasanya akan hanya mewujudkan suatu bagian dari suatu penelitian bidang Teori Hukum yang dirancang lebih luas, yang di dalam kerangka itu misalnya hipotesis-hipotesis sosiologikal (hukum) atau psikologikal (hukum) harus diuji pada material empirikal. Sejauh Teori Hukum untuk sebagian terbesar merujuk pada instrumentarium penelitian dari ilmu-ilmu lain, maka penelitian nomologik-instrumental dari sisinya dalam Teori Hukum jarang atau tidak pernah muncul. Yang lebih penting untuk Teori Hukum adalah penelitian-pengenalan, yang dengannya peneliti bertolak dari harapan-harapan tertentu, dari suatu kerangka teoretikal yang masih cukup kabur. Suatu penelitian yang demikian itu diarahkan untuk menemukan hubunganhubungan tertentu dalam materialnya, tanpa hubungan-hubungan ini sebelumnya dirumuskan terlebih dahulu dalam bentuk hipotesis-hipotesis yang dapat diuji yang diajukan secara tajam. Di sini kita berhadapan juga dengan sebuah penelitian yang bagian terbesar bersifat memaparkan, namun yang padanya secara eksplisit bertujuan untuk membentuk atau mengolah sebuah teori atau hipotesis-hipotesis tersendiri. 91 92 Bentuk penelitian yang secara tradisional paling sering dijumpai pada wilayah-telaah Teori Hukum dan yang pasti di masa depan akan tetap termasuk bentuk-bentuk penelitian yang paling sering terjadi, adalah penelitian-teoretikal-interpretatif. Di sini ihwalnya berkenaan dengan interpretasi dan evaluasi teoretikal atas suatu bahan terberi, keseluruhan temuan-temuan tertutup. Dalam bentuknya yang murni tipe penelitian ini tidak bersifat empirikal: tidak terjadi pengumpulan material baru. Bentuk penelitian ini juga hanya dapat (layak) dijalankan jika suatu penyelesaian langsung atas masalah itu dengan suatu penelitian-pengujian tidak mungkin dilakukan. “Teoretikal-interpretatif” adalah juga keseluruhan studi pada bidang Teori Hukum yang bekerja dengan teori-teori yang dalam kenyataan tidak terbuka bagi verifikasi atau falsifikasi. Ini terjadi (berlaku) misalnya jika orang mencoba untuk menjelaskan gejalagejala hukum dengan mengacu pada teori-teori psikho-analitikal. Karena teori-teori ini hanya lebih kurang dapat plausibel saja dan tidak dapat diuji secara empirikal, maka juga suatu penerapan dari teori-teori ini pada hukum akan hanya dapat mencapai hasil-hasil yang lebih kurang plausibel dan tidak pernah sampai pada hasil-hasil “yang pasti”. Teori-teori yang demikian itu terarah lebih pada “mengerti” atas fenomena-fenomena ketimbang “menjelaskan” fenomena-fenomena tersebut, yang dengannya pemahaman yang dihasilkan oleh teori-teori ini secara sadar lebih disituasikan pada suatu dataran subyektif ketimbang pada suatu tataran obyektif. Jadi, teori itu hanya “membuktikan” sesuatu bagi orang yang oleh teori itu merasa tersapa dan karena itu dalam “kepercayaan”, namun tidak berhasil untuk atas dasar-dasar yang murni rasional meyakinkan para ilmuwan yang bersikap-kejiwaan lebih skeptikal. Dalam suatu pandangan ilmu pluralistik, orang juga harus mengakui nilai dari teori-teori ini, dengan syarat bahwa orang menyadari sisi-sisi lemah dari teori-teori tersebut. Sejauh sebuah teori demikian itu memiliki suatu daya penjelasan yang lebih besar ketimbang teori-teori yang bersaing dengannya, yang keterbukaan untuk diujinya lebih baik atau tidak, maka ia memiliki suatu argumen yang serius untuk dapat berlaku sebagai teori ilmiah. 131. Sampai di sini telah lebih banyak berpanjang lebar tentang bentuk-bentuk dari penelitian ketimbang tentang metode-metode penelitian yang sesungguhnya. Jika sekali sudah dapat ditetapkan kita sedang berhadapan dengan tipe penelitian yang mana, maka masalah metode dalam penelitian bidang Teori Hukum sudah relatif sederhana. Dalam arti itu yang tiap kali akan harus digunakan metodologi yang sesuai, seperti yang dalam perjalanan waktu bertahun-tahun telah diolah ke dalam berbagai Ilmu-ilmu Manusia. Sebuah penunjukan sederhana pada kepustakaan terkait di sini karena itu juga sudah mencukupi. 132. Tampaknya berguna untuk di sini menunjuk pada berbagai fase yang secara tradisional dibedakan pada pelaksanaan suatu penelitian (empirikal) ilmiah. Dalam tiap proses psikhikal dari upaya memperoleh pengetahuan dapat dibedakan lima stadia: mengamati – menduga - mengharapkan – menguji – menilai. Berbagai stadia ini dapat diperhalus secara ilmiah menjadi apa yang dinamakan “siklus-empirikal” . Siklus-empirikal ini dibagi ke dalam lima fase yang sama: observasi – induksi – deduksi – pengujian – evaluasi. Observasi adalah kegiatan pengumpulan dan pengelompokan material fakta-fakta empirikal, dengan tujuan pada pembentukan hipotesis-hipotesis. 92 93 Induksi adalah perumusan dugaan dalam bentuk satu atau lebih hipotesis. Deduksi adalah menderivasi ramalan-ramalan berdasarkan hipotesis-hipotesis yang sudah dirumuskan. Pengujian adalah mencermati (mengontrol) atas hipotesis-hipotesis mengenai ketepatannya, biasanya melalui suatu pengontrolan atas ketepatan dari ramalan-ramalan yang diderivasi dari hipotesis-hipotesis. Evaluasi pada akhirnya adalah penilaian atas hasil-hasil dari pengujian dengan menempatkan hasil-hasil ini dalam suatu kerangka yang lebih luas, yakni: teori yang dari dalamnya hipotesis-hipotesis diderivasi, teori-teori alternatif, putusan-putusan penerapan, dan sejenisnya. Evaluasi sering bersifat interpretatif dan orang boleh mengandaikan bahwa ini di dalam Teori Hukum lebih sering terjadi ketimbang jarang. Meskipun penelitian empirikal hanya mewujudkan satu bagian dari penelitian bidang Teori Hukum secara global, namun “siklus empirikal” ini relevan untuk tiap penelitian bidang Teori Hukum, persis karena siklus empirikal ini adalah tidak lain ketimbang suatu penghalusan ilmiah dari proses psikhikal yang selalu berlangsung pada upaya memperoleh pengetahuan. Dengan syarat suatu interpretasi yang disesuaikan, siklus empirikal ini juga dapat berfungsi sebagai penuntun untuk suatu pelaksanaan penelitian bidang Teori Hukum yang manapun yang secara metodologikal dapat dipertanggungjawabkan. 133. Dengan pembahasan metodologikal ini, bab tentang definisi, sasaran-sasaran, dan metode-metode dari Teori Hukum dapat ditutup. Dalam bab berikut kami akan mencoba untuk memberikan gambaran menyeluruh terikhtisar tentang wilayah penelitian dari Teori Hukum, berdasarkan, terutama yang mutakhir, penelitian yang sudah dilaksanakan dalam berbagai bidang-bagian dari Teori Hukum. Sebagai pemikiran terakhir masih dapat ditunjuk pada ihwal pentingnya suatu metodologi yang demikian itu untuk pengembangan sebuah ilmu. Apakah Teori Hukum sebagai disiplin ilmiah akan mengambil tempat yang terhormat di antara disiplin-disiplin lain, maka di masa depan terhadap hal ini pasti harus ditautkan kepentingan besar. Ini juga sesungguhnya berlaku untuk semua Ilmu-ilmu Manusia pada umumnya. Keraguan besar yang menguasai lingkungan yang luas tentang status keilmuan dari misalnya Sosiologi harus membawa pada suatu perenungan fundamental tentang, antara lain metodologi dari disiplin-disiplin ini. Perenungan (refleksi) ini serta-merta mengimplikasikan sesuatu yang lain ketimbang hanya pengolahan teknikal penelitian yang disofistikasi secara matematikal. Perenungan ini terutama adalah perenungan kefilsafatan. 93 94 5. RANAH PENELITIAN TEORI HUKUM. 134. Memberanikan diri melakukan suatu percobaan untuk memberikan suatu gambaran menyeluruh terikhtisar (overzicht) secara global tentang wilayah penelitian dari Teori Hukum adalah suatu kegiatan yang ambisius dan beresiko. Keluasan dari kepustakaan dan dari masalah-masalah yang timbul pada waktu membagi (mengelompokkan) kepustakaan ini secara sistematikal, menyebabkan bahwa tujuan yang demikian itu sulit untuk direalisasikan dengan cara yang adekuat dan utuh. Dengan memperhitungkan keterbatasan-keterbatasan ini, tampaknya masih tetap merupakan percobaan yang masuk akal untuk melakukan upaya memberikan gambaran menyeluruh terikhtisar selengkap mungkin tentang apa yang sesungguhnya termasuk ke dalam wilayah penelitian dari Teori Hukum. Di satu pihak, suatu gambaran menyeluruh terikhtisar yang demikian itu harus dalam derajat yang besar dapat ikut menyumbang pada suatu pemahaman yang lebih baik tentang tujuan, tugas dan batas-batas dari Teori Hukum. Di lain pihak, suatu skema yang demikian dapat memberikan arah pada penelitian lebih jauh, dan hingga derajat tertentu juga untuk pengajaran Teori Hukum. 135. Menurut pandangan kami, dalam Teori Hukum orang dapat membedakan empat bidang-bagian besar yang masing-masing cukup berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain: suatu analisis bahan-bahan terberi yuridikal, ajaran metode dari hukum, ajaran ilmu dan ajaran metode dari Dogmatika Hukum, dan kritik-ideologi terhadap hukum. Empat wilayah-bagian itu sejalan dengan empat pendekatan yang berbeda dalam Teori Hukum, yang di atas (no. 97 dst.) dibedakan pada uraian pengertian Teori Hukum. Empat wilayah-bagian ini dengan demikian juga mewujudkan pembagian empat dari bab lima ini. 136. Bab ini pada saat yang sama dimaksudkan sebagai sebuah gambaran terikhtisar bibliografikal dari, terutama terbitan mutakhir, publikasi pada bidang Teori Hukum. Gambaran umum terikhtisar ini jelas tidak berpretensi pada kelengkapan. Hal ini tampaknya juga sulit untuk dilaksanakan. Lebih dari itu, kenyataan bahwa sebuah judul dikutip dalam catatan kaki sama sekali tidak menjamin bahwa ia (tulisan tersebut) berkenaan dengan suatu publikasi bidang Teori Hukum (yang murni). Orang juga akan menemukan buku-buku dan artikel-artikel yang untuk sebagian atau bahkan dalam derajat besar mensituasikan diri pada bidang wilayah dari disiplin-disiplin lain, seperti secara khusus Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum. Tampaknya yang terutama penting adalah bahwa pembaca yang berminat dapat memperoleh gambaran (gagasan) tentang pokok-pokok telaah yang di dalam kepustakaan sudah ditampilkan, dan bahwa ia di dalam catatan-catatan kaki dapat menemukan langkah pertama untuk penelitian bidang Teori Hukum lebih lanjut. Dalam kaitan ini orang harus menyadari bahwa apakah suatu penelitian bersifat penelitian dalam bidang Teori Hukum akan lebih banyak ditentukan oleh cara pendekatan ketimbang oleh pokok-telaah dari penelitian itu sendiri (lihat di atas dalam bab tiga, yang di dalamnya Teori Hukum diperbandingkan dengan, dan dibatasi terhadap disiplin-disiplin lain yang mempunyai hukum sebagai obyek penelitiannya). 94 95 5.1. Analisis atas bahan-bahan terberi yuridikal. 5.11. Pengertian hukum (konsep hukum). 137. Pengertian hukum dapat dianalisis dari dua perspektif: suatu perspektif formal dan suatu perspektif substansial. Dalam perspektif formal, ihwalnya tidak berkenaan dengan teori-teori tentang hukum melainkan semata-mata mengenai uraian arti dari gagasan “hukum”, pembatasan dari hukum terhadap bahan-bahan terberi kemasyarakatan lain seperti kultur, politik, kekuasaan, otoritas, negara, tata, ideologi. Dengan ini orang masih dapat mempunyai sudut pendekatan yang berbeda tergantung pada apakah orang memandang “hukum” sebagai keseluruhan dari aturan-aturan hukum dan lembaga-lembaga hukum (rechtsinstellingen), atau mengartikan “hukum” sebagai tuntutan subyektif (hak). Sekitar pengertian yang terakhir ini, tentang pengertian “hukum subyektif” telah cukup banyak dilakukan penelitian. Analisis dari Hohfeld dan para pendahulunya adalah sangat produktif. Penanganan analitik bahasa yang dilakukannya, terutama di dunia Anglo-saksis, telah mempunyai cukup banyak pengikut. Pertanyaan tentang definisi dari “hukum” sebagai bahan terberi kemasyarakatan obyektif juga menempati posisi sentral. Dengan ini orang mencari suatu jawaban atas pertanyaanpertanyaan seperti: apa saja ciri-ciri khas dari hukum itu, yang dapat ditemukan orang dalam semua sistem hukum? Apa karakter hukum dari misalnya hukum internasional, hukum gereja, aturan-aturan dari organisasi-organisasi olah-raga? Apakah sanksi, hal dapat dipaksakan merupakan suatu ciri esensial dari hukum? Apakah hukum secara esensial merupakan keterberian ekonomikal, keterberian politikal, keterberian kultural, keterberian sosiologikal, atau keterberian institusional? Bagaimana hubungan antara hukum dan moral, hukum dan agama, hukum dan adat (zeden)? Dengan definisi dari “hukum”, juga terkait uraian dari pengertian-pengertian seperti “hukum positif” dan “hukum kodrat”. 138. Jika orang berupaya untuk memberikan suatu uraian batasan pengertian tentang hukum dengan beranjak dari suatu perspektif substansial maka ihwalnya akan lebih banyak berkenaan dengan suatu pemaparan dari pandangan-pandangan tentang hukum dalam berbagai masyarakat, seperti misalnya konsepsi “hukum” liberal-barat berhadapan dengan suatu pandangan hukum marxistik Eropa-timur, atau gagasan barat tentang “hukum” berhadapan dengan visi atas hukum Asiatik, Islamik atau Afrikanik. 5.12. Kaidah hukum. 139. Sebuah analisis atas kaidah hukum (rechtsnorm) mencakup suatu analisis tentang sifat dan struktur dari aturan hukum (rechtsregel) dan dari komponen normatifnya. Terutama beranjak dari sudut Ilmu Bahasa dan dari sudut Logika telah diperlihatkan suatu perhatian khusus untuk problematika dari kaidah hukum. Di samping suatu analisis murni atas struktur dan formulasi dari kaidah hukum, orang juga di sini dapat mencurahkan perhatian pada penjabaran kemasyarakatan, efektivitas dari kaidah hukum, fungsi-fungsi dari hukum di dalam masyarakat, pada hubungan antara pengirim-kaidah dan penerima-kaidah, pada berbagai tipe dari aturan hukum: misalnya: aturan-aturan perilaku, aturan-aturan prosedural dan aturan-aturan dari organisasi peradilan atau administratif, atau: aturan-aturan hukum yang mengklasifikasi, membandingkan dan metrikal (sesuai analogi dengan penggolongan pengertian-pengertian sejenis dari Teori 95 96 Ilmu), pada asal-usul asas-asas hukum atau kaidah-kaidah hukum (yakni hal timbulnya kaidah-kaidah pada umumnya dan bukan sumber-sumber dari aturan-aturan hukum konkret – lihat infra $ 5.17), di sini suatu pendekatan psikologikal atau sosiologikal dapat sangat produktif. Lebih jauh, penelitian dapat diarahkan pada pembedaan antara aturanaturan hukum dan putusan-putusan kebijakan, atau antara aturan-aturan regulatif dan aturan-aturan konstitutif, pada pertanyaan apa artinya “menerapkan” sebuah aturan hukum, atau pada hubungan antara kaidah hukum dan hubungan hukum (rechtsverhouding). 5.13. Sistem hukum. 140. Pendekatan-pendekatan tentang kaidah hukum dan penelitian-penelitian berkenaan dengan sistem hukum sering berlangsung saling bertumpuan. Sebab, sistem hukum hanya dapat dilihat sebagai suatu kumpulan yang tertata dari aturan-aturan hukum, dari kaidah-kaidah hukum. Jadi, orang sulit untuk dapat mengisolasi kaidah hukum dari sistem hukum yang di dalamnya ia mempunyai keberlakuan, sedangkan ihwalnya sama sekali tertutup untuk berbicara tentang sistem hukum tanpa melibatkan kaidah-kaidah hukum pada pembicaraan itu. Sudah tampak jelas bahwa analisis atas sistem hukum sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berlaku yang secara relatif tertutup adalah satu dari bidang-bidang penelitian yang khas dari Teori Hukum. Terutama struktur dari sistem hukum, kesaling terhubungan di antara kaidah-kaidah hukum, hingga kini telah menyibukkan para teoretisi hukum. Selain itu, ini juga menjadi tema penelitian utama dari Logika Hukum (terutama formal). Struktur dari sistem hukum memang tidak niscaya harus didekati dari suatu perspektif logikal, sudut-sudut pendekatan lain dapat dipikirkan (denkbaar), seperti misalnya suatu analisis ekonomikal atas sistem hukum, suatu analisis sosiologikal, suatu penelaahan atas sistem hukum dalam suatu perspektif historikal atau dalam suatu perspektif psikologikal, suatu penelitian tentang fungsi dari hukum atau suatu studi atas struktur dari sistem hukum dalam masyarakat-masyarakat primitif. Dan daftar ini secara bebas dapat diperluas dengan semua pendekatan yang dapat dipikirkan yang dapat produktif untuk suatu pemahaman yang lebih baik tentang sistem hukum. Suatu bidang yang belum atau nyaris mulai digarap dalam konteks ini adalah misalnya Psikologi Sosial. Juga Teori Sistem baru akhir-akhir ini saja dilibatkan pada analisis atas sistem hukum. 141. Pada umumnya berbagai masalah yang paling sering dapat timbul dalam kerangka suatu analisis terhadap sistem hukum: terutama hubungan yang majemuk antara hukum dan masyarakat, pertanyaan sejauh mana hukum itu dapat mengarahkan masyarakat ke suatu arah tertentu, dan sebaliknya sejauh mana hukum itu dideterminasi oleh masyarakat dan dengan demikian hanya merupakan suatu reproduksi saja dari keadaan-keadaan dan hubungan-hubungan kemasyarakatan yang ada, dan lebih jauh pertanyaan apa yang dapat dilakukan terhadap politik hukum. Hal mempelajari hukum dalam suatu perspektif kemasyarakatan mewajibkan teoretisi hukum untuk juga memperhitungkan aspek dinamika dari hukum dan masyarakat: sebab perkembangan sosial senantiasa membawa pada pemisahan (breuken) antara di satu pihak sistem hukum dan di lain pihak sistem kemasyarakatan, karena satu dari keduanya tidak dapat secara tepat waktu menyesuaikan diri pada suatu perubahan yang terjadi dalam sistem yang lainnya. Penetapan dari suatu “pemisahan” yang demikian itu dalam konteks ini tidak bermuatan putusan-nilai 96 97 (waarde-oordeel). Pemisahan ini di sini dapat dipelajari sebagai sebuah bahan terberi obyektif yang merugikan (schaadt) efisiensi dari sistem hukum dan bahwa karena itu juga dalam arti ini secara obyektif dapat dievaluasi sebagai “negatif”. Pada analisis terhadap sistem hukum orang juga dapat mengajukan pertanyaan dalam derajat apa bangunan dari sistem hukum itu dideterminasi oleh suatu struktur formal dan dalam derajat apa oleh asas-asas hukum substansial, apa yang dalam hal ini mewujudkan unsur-unsur yang berdasarkannya struktur dari tatanan hukum itu dibangun, bagaimana hubungan antara hukum yang dikonstruksi (perundang-undangan dan sejenisnya) dan hukum yang tumbuh (kebiasaan, hukum kontrak, dan sejenisnya), atau pertanyaan dalam derajat apa common law dapat dipandang sebagai sebuah sistem hukum yang distrukturkan. Kepustakaan pada bidang Teori Negara juga dalam derajat yang besar menangani struktur dan sistem hukum kenegaraan (statelijk rechtssysteem). 5.14. Pengertian-pengertian, lembaga-lembaga, pranata-pranata teknikal hukum. 142. Suatu bidang yang sangat kurang digarap ketimbang tiga obyek-studi dari Teori Hukum di muka adalah analisis atas bahan-bahan terberi teknikal yuridik seperti konsepkonsep yuridik atau lembaga-lembaga hukum. Ini memang senantiasa mewujudkan pokok-telaah dari analisis dalam bidang Dogmatika Hukum namun jarang atau tidak pernah dalam bidang Teori Hukum. Pada suatu analisis dalam bidang Dogmatika Hukum, maka pengertian hukum, lembaga hukum (rechtsinstelling) atau pranata hukum (rechtsfiguur) diuraikan dalam kerangka hukum positif yang berlaku, ini dalam pokoknya adalah perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pada kegiatan ini paling jauh dilibatkan sejumlah informasi sejarah hukum. Dalam kerangka ini, urusan dari sarjana hukum (ahli hukum terdidik) adalah menentukan secermat mungkin isi, batas-batas dan daya-jangkau (draagwijdte) dari misalnya pengertian “bezit” atau dari pranata hukum “adopsi”, atau dari asas pemisahan kekuasaan. Teoretisi hukum dari pihaknya harus menempatkan semua ini dalam suatu perspektif yang lebih luas dan mencoba untuk memperoleh suatu pemahaman yang lebih baik tentang batu-batu bangunan teknikal yuridik dari suatu sistem hukum yang ada, misalnya dengan menganalisis suatu pranata hukum seperti “hak milik”, tidak hanya dalam suatu kerangka Dogmatika Hukum, melainkan menghadapkannya pada suatu latar belakang ekonomikal, sosial, historikal, yang di dalamnya asal-usul, fungsi faktual dan aspekaspek lain dari hak milik itu dapat dimengerti dengan lebih baik. Sebuah pengertian seperti Hak Asasi Manusia misalnya baru dapat sepenuhnya dimengerti dan diuraikan jika orang terlebih dahulu lewat suatu analisis bidang Teori Hukum meneliti latar belakang filosofikal-historikal dari di satu pihak hak-hak kebebasan politikal (politieke vrijheidsrechten) dan di lain pihak hak-hak dasar sosial-ekonomikal (sociaalekonomische grondrechten). Daya-kerja efisien dan kegunaan prosedur-prosedur atau sarana-sarana prosedur tertentu pada pokoknya akan harus diteliti berdasarkan (dengan merujuk pada) bahan-bahan terberi bidang Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum. 143. Dalam studi bidang Teori Hukum yang sudah dijalankan terhadap wilayah-bagian ini telah tampil ke muka antara lain: pengertian “peristiwa hukum”, pengertian 97 98 “kausalitas yuridik”, pranata “hak milik”, pengertian “patrimonium”, pengertian “kebebasan berkontrak”, pengertian “perbuatan hukum”, asas pemisahan kekuasaan, pengertian “kedaulatan”, pengertian-“kesalahan” dalam hukum pidana, pengertian “badan hukum”, pengertian “privacy”, pengertian “perikatan”, pranata “perjanjian”, pengertian “perbuatan pidana”, pengertian “kemauan bebas” (otonomi kemauan), pranata “perkawinan”. Di samping itu juga masih dapat dikemukakan kepustakaan yang luas pada tataran Teori Negara. Di sini ihwalnya juga berkenaan dengan lebih banyak hal ketimbang hanya berkenaan dengan suatu analisis “pengertian negara”: seluruh problematika dari sistem hukum sebagai keseluruhan yang relatif mandiri dan problematika legitimasi dari hukum di dalamnya diwacanakan. Akhirnya juga wilayah-wilayah bagian dari hukum masih dapat menjadi pokok-telaah dari penelitian bidang Teori Hukum, seperti misalnya hukum perdata, hukum perburuhan, hukum bangsa-bangsa atau hukum acara, atau perangkatperangkat pengertian-pengertian teknikal yuridik. Analisis Teori Hukum atas bahan-bahan terberi teknikal yuridik ini sudah pasti merupakan medan-medan yang paling produktif untuk penelitian di masa depan. Di sini tidak hanya dapat dilaksanakan pekerjaan yang sangat berharga penuh, melainkan lebih dari itu penelitian bidang Teori Hukum jenis ini merupakan hal yang secara langsung paling berguna untuk praktek hukum dan menjalankan pengaruh yang sangat baik terhadapnya. 5.15. Pengertian-pengertian dalam Teori Hukum dan Filsafat Hukum. 144. Di samping analisis atas pengertian-pengertian teknikal yuridik (konsep yuridik), juga analisis atas pengertian-pengertian dan konsep-konsep dalam Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat sangat produktif dan menjernihkan. Di sini suatu konfrontasi dengan teknik hukum, ini adalah dengan Dogmatika Hukum, dengan hukum positif dan dengan praktek hukum, terutama akan merupakan metode yang paling disarankan bagi teoretisi hukum untuk menampilkan pengertian-pengertian secara lebih tajam dan menguji kegunaan mereka. Beberapa pengertian, seperti “keadilan” (rechtvaardigheid atau gerechtigheid) telah menjadi sebab yang menghadirkan suatu kepustakaan yang melimpah. Analisis-analisis atas pengertian persamaan (gelijkheidsbegrip) juga di sini terkait erat padanya. Pengertian-pengertian lain seperti “kebebasan”, “kepastian hukum”, “kelayakan” (billijkheid), “negara hukum” (rule of law) memang benar memperoleh perhatian yang kurang namun juga masih cukup banyak memperoleh perhatian. Namun, dalam kepustakaan yang dicurahkan pada pengertian-pengertian ini tidak cukup diberikan perhatian pada suatu analisis yang cermat dan uraian pengertian (begripsomschrijving) atas pengertian-pengertian yang dipersoalkan. Di sini juga terdapat lagi suatu medan yang terbuka untuk penelitian bidang Teori Hukum. Dan ini mungkin lebih berlaku lagi untuk analisis atas pengertian-pengertian seperti “hakikat dari urusan atau ihwalnya” (de aard van de zaak), “itikad baik”, “penyalahgunaan hak”, “rechtsverwerking” (pelepasan hak), “kesadaran hukum”, “perasaan hukum”, “kemauan negara” (staatswil). 145. Kepustakaan yang terbanyak sekitar pengertian-pengertian ini mensituasikan diri lebih pada wilayah dari Filsafat Hukum ketimbang pada wilayah dari Teori Hukum. 98 99 Untuk apa yang berkenaan dengan wilayah-bagian dari Teori Hukum tampaknya ditunjuk penelitian-penelitian yang dianggap termasuk ke dalam Teori Hukum hanya yang bersifat interdisipliner atau yang membatasi diri pada mengkonfrontasi pengertian yang sudah terolah secara Filsafat Hukum dengan aturan-aturan hukum positif dan/atau tatanan hukum positif yang berlaku. Bentuk analisis pengertian yang selebihnya harus dipandang termasuk ke dalam Filsafat Hukum. Ini antara lain adalah ihwalnya dengan analisis pengertian “yang murni” yang dilaksanakan terlepas dari tiap disiplin bukan filsafat (hukum), seperti misalnya pembedaan antara legitimasi dari aturan hukum dan legitimasi dari sistem hukum. 5.16. Fungsi-fungsi yuridik. 146. Hakim, pembentuk undang-undang, advokat, ahli hukum terdidik (rechtgeleerde, sarjana hukum), notaris, dapat sebagai demikian menjadi pokok-telaah dari penelitian bidang Teori Hukum. Dalam hal ini ihwalnya tidak, atau bagaimana pun paling tidak untuk sebagian, berkenaan dengan pribadi dari hakim, sarjana hukum dan yang lainnya, melainkan berkenaan dengan fungsi dalam sistem hukum secara global sebagaimana ia berlaku di dalam masyarakat. Karena itu, wilayah-bagian ini juga bersender erat, di satu sisi pada analisis atas sistem hukum, dan di sisi lain pada Sosiologi dari profesi-profesi yuridik dan pada Sosiologi dari organisasi-organisasi yuridik. Kedudukan hakim di dalam masyarakat, hubungan dari hakim terhadap pembentuk undang-undang misalnya adalah tema yang secara tradisional memperoleh perhatian banyak dalam kepustakaan di bidang Teori Hukum. Namun, tentang peranan dan fungsi dari advokatur, dari notariat, dari administrasi, dari ajaran hukum (rechtsleer) atau dari pendidikan hukum nyaris hampir tidak dilakukan penelitian bidang Teori Hukum. Jika kita menetapkan peranan apa yang dimainkan misalnya surat-surat edaran (omzendbrieven) administratif dan interpretasi faktual dari para birokrat pada penerapan praktikal dari hukum dalam sektor-sektor yang penting seperti sektor-sektor dari hukum pajak atau hukum jaminan sosial, maka ihwalnya mengherankan bahwa fungsi-fungsi yuridikal ini dalam derajat sedemikian tetap berada di luar perhatian jika dibandingkan dengan fungsi kehakiman yang dalam derajat yang tinggi telah menjadi pokok-telaah baik dari penelitian ilmiah maupun dari telaahan-telaahan kritikal dari sudut non-ilmiah. Juga pertanyaan misalnya dalam derajat apa advokatur, notariat, ajaran hukum (doktrin hukum) dan pendidikan hukum ikut menentukan pembentukan hukum adalah mendesak memerlukan suatu penelitian bidang Teori Hukum. Di sampingnya masih ada sejumlah tema-tema penelitian menarik lain yang dapat dipikirkan (denkbaar) seperti misalnya pengaruh dari aliran-aliran dalam Teori Hukum dan Filsafat Hukum terhadap pendidikan hukum, terhadap ajaran hukum dan terhadap praktek hukum, atau pengaruh dari pendidikan hukum dan dari praktek hukum terhadap struktur berpikir yuridik, atau lebih luas lagi hubungan antara suatu konsepsi yang dalam suatu kultur berlaku secara umum tentang peranan hukum dalam masyarakat di satu pihak dan organisasi dari fungsi-fungsi yuridikal di pihak lain. Tetapi juga dalam suasana yang lebih klasik dari hakim dan pembentuk undang-undang pasti masih belum diucapkan kata akhir tentang pokok-pokok telaah seperti misalnya kebebasan dari hakim, problematika dari opini-opini dissenting dan concurring dalam 99 100 motivering dari putusan-putusan kehakiman, fungsi dari peradilan-jury, hubungan antara hakim dan penuntut umum, dan sejenisnya lagi. 5.17. Sumber-sumber hukum. 147. Wilayah dari masalah-masalah bidang Teori Hukum yang di dalam praktek penting dalam kaitan dengan sumber-sumber hukum, terkait erat pada problematika dari fungsi-fungsi yuridikal (5.16) dan pada problematika dari sistem hukum (5.13). Masalah yang sangat krusial dari penemuan hukum oleh hakim di sini juga sangat berkaitan. Sebelum orang secara bermakna penuh dapat mengajukan pertanyaan bagaimana hukum itu harus diinterpretasi dan harus diterapkan, sesungguhnya orang harus terlebih dahulu mengetahui hukum yang mana yang harus diinterpretasi dan diterapkan, atau, dirumuskan secara lebih tepat, aturan-aturan apa yang sebagai aturanaturan hukum yang berlaku harus ditelaah. Pertanyaan-pertanyaan yang paling fundamental dalam kaitan ini, seperti misalnya pertanyaan apakah harus lebih diberikan pengutamaan pada hukum yang tumbuh (kebiasaan, hukum-hakim) ketimbang pada hukum yang dikonstruksi (perundangundangan), lebih termasuk ke dalam Filsafat Hukum ketimbang ke dalam Teori Hukum. Teori Hukum meneliti misalnya dalam derajat apa suatu hubungan tertentu antara hukum yang tumbuh dan hukum yang dikonstruksi dalam suatu masyarakat tertentu adalah lebih atau kurang efisien, lebih atau kurang demokratik, lebih atau kurang sesuai dengan teoriteori politik atau teori-teori negara yang berpengaruh. Teori Hukum menelusuri faktorfaktor kemasyarakatan, ideologikal, filosofikal, historikal apa yang mempengaruhi pilihan di antara sumber-sumber hukum yang mungkin. Teori Hukum dapat meneliti dalam derajat apa poses pembentukan hukum (sepenuhnya) dapat diatur oleh perundang-undangan, dalam derajat apa lewat perundang-undangan kecenderungan-kecenderungan dan interpretasi-interpretasi tertentu dalam peradilan dapat dilawan, dalam derajat apa sumber-sumber dari hukum itu sendiri ditentukan oleh hubungan-hubungan sosial-ekonomikal dan keadaan-keadaan di dalam masyarakat, dalam derajat apa hukum-hakim (rechtersrecht) dan hukum kebiasaan sebagai sumber hukum dapat dilegitimasi dalam misalnya suatu konsepsi negara demokratik barat, dalam batas-batas mana peradilan sebagai sumber hukum mandiri (otonom) dapat berfungsi dalam masyarakat-masyarakat barat kita, sejauh mana dalam suatu masyarakat tertentu pembentukan hukum oleh hakim (lewat peradilan) contra legem dimungkinkan dan dapat dilegitimasi, apa peranan dari ajaran-hukum dalam pembentukan hukum lewat peradilan, sejauh mana suatu politik perundang-undangan yang efisien itu dimungkinkan, dan masalah-masalah apa yang tampil dalam hubungan ini, peranan apa yang dimainkan dan dapat dimainkan oleh asas-asas hukum umum, atau oleh hukum kebiasaan dalam suatu sistem hukum barat dewasa ini. Sebagai masalah-masalah dalam bidang Teori Hukum dalam kaitan dengan sumbersumber hukum lebih jauh masih dapat disebutkan: masalah keberlakuan undang-undang dalam waktu, problematika hukum peralihan (antar-waktu), problematika adagium “cessante ratione legis cessat lex ipsa”, ini adalah kaitan antara landasan keberadaan dari sebuah undang-undang dan keberlakuan dari undang-undang itu, problematika kekosongan dalam hukum. Sesudah di dalam perjalanan dari dekade terakhir nyaris semua perhatian telah ditujukan pada peradilan sebagai sumber hukum, dalam tahun tujuh-puluhan telah dimulai suatu 100 101 kecenderungan (trend) untuk dalam derajat yang sama luasnya menyelenggarakan penelitian sekitar perundang-undangan, yang bagaimana pun juga di dalam masyarakatmasyarakat kita tetap merupakan sumber hukum terpenting. Bagaimana pun tentang hal ini masih banyak karya di bidang Teori Hukum yang harus dilakukan sebelum orang akan sampai pada suatu “Teori Perundang-undangan” yang terolah. 5.2. Ajaran Metode Hukum. 148. Dengan Ajaran Metode dari hukum (Ajaran Metode Hukum) di sini hanya diartikan metodologi dari praktek-hukum. Metodologi dari Teori Hukum sendiri dan metodologi dari Filsafat Hukum dua-duanya termasuk ke dalam wilayah-telaah dari Filsafat Hukum. Namun Ajaran Metode dari Dogmatika Hukum dari pihaknya memang termasuk ke dalam Teori Hukum. Wilayah-bagian dari Teori Hukum ini juga akan dibahas lebih jauh secara tersendiri bersama-sama dengan Ajaran Ilmu dari Dogmatika Hukum (par. 5.3.). Di dalam Ajaran Metode dari praktek-hukum dapat dibedakan dua wilayah-bagian: Ajaran Metode Pembentukan Hukum dan Ajaran Metode Penerapan Hukum. 149. Pada penjabaran Ajaran Metode Hukum terkait erat pertanyaan dalam derajat apa orang di dalam hukum dapat bekerja secara metodologikal. Lebih konkret, pertanyaan ini dalam kepustakaan lazimnya diajukan sebagai berikut: dalam derajat apa interpretasi dan penerapan hukum oleh hakim harus dipandang sebagai suatu kegiatan berpikir yang rasional ketimbang sebagai suatu penalaran induktif yang intuitif? Jika orang misalnya secara a priori tidak hanya menyangkal bahwa penerapan hukum oleh hakim itu dewasa ini adalah rasional, melainkan lebih dari itu hal ini ueberhaupt dapat merupakan suatu proses rasional, maka hal ini jelas mempunyai implikasi-implikasi atas cara kerja yang berdasarkannya suatu metodologi yuridikal akan dibangun dan atas cara kerja yang berdasarkannya penelitian ilmiah bidang Teori Hukum sekitar masalah ini akan dijalankan. Diskusi ini sendiri juga termasuk lebih banyak ke dalam wilayah-telaah Filsafat Hukum ketimbang Teori Hukum. 5.21. Metodologi Pembentukan Hukum. 150. Berlawanan dengan penerapan hukum, dan terutama dengan penerapan hukum oleh hakim, pembentukan hukum sampai saat ini secara relatif memperoleh sedikit perhatian dalam kepustakaan bidang Teori Hukum, antara lain juga pada tataran Ajaran Metode. Dalam metodologi pembentukan hukum sekarang ini, teknik perundang-undangan menempati posisi sentral. Sebab suatu teknik perundang-undangan yang baik seharusnya mampu mencegah banyak masalah-masalah interpretasi. Dan, justru kesulitan-kesulitan interpretasi yang berjumlah banyak di dalam praktek penerapan hukum, yang telah menjadi pendorong upaya mengembangkan metode-metode untuk memperbaiki kualitas perundang-undangan. Teknik perundang-undangan dalam arti sempit harus lebih dipandang termasuk ke dalam wilayah-telaah Dogmatika Hukum ketimbang termasuk ke dalam wilayah-telaah Teori Hukum. Namun dalam derajat bahwa orang mempelajari teknik perundang-undangan sebagai sebuah unsur dari suatu Teori Perundang-undangan yang lebih luas cakupannya, dengan kata lain dalam derajat bahwa orang tidak 101 102 mempelajari teknik perundang-undangan pada dirinya sendiri melainkan sebagai satu dari sarana-sarana untuk lewat kaidah-kaidah yang ditetapkan secara terpusat menguasai dan mengendalikan masyarakat ke suatu arah tertentu, maka studi atas masalah-masalah dari Teknik Perundang-undangan termasuk ke dalam wilayah-telaah dari Teori Hukum. 151. Dalam kerangka Teknik Perundang-undangan ini maka sejumlah masalah bidang Teori Hukum yang relevan dapat dipelajari: kegunaan dan pentingnya kodifikasi hukum, sifat khas dari bahasa hukum, ihwal penggunaan kaidah-kaidah yang sangat umum dan pengertian-pengertian yang kabur, ihwal menetapkan definisi pengertian-pengertian dalam undang-undang sendiri, ihwal penggunaan fiksi-fiksi dalam perundang-undangan, bangunan logikal dari perundang-undangan, rasionalitas perundang-undangan, jalinan kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah teknikal, masalah berlimpahnya aturanaturan perundang-undangan, kemungkinan dan kegunaan pengujian atas perundangundangan sebelum pengundangannya, syarat-syarat yang berdasarkannya kepatuhan terhadap perundang-undangan dapat lebih baik dijamin, dan lebih umum kemungkinankemungkinan Sosiologi sebagai bantuan pada pembentukan hukum, atau makna ekonomi bagi pembentukan hukum, seperti antara lain struktur-struktur pengambilan putusan yang optimal secara ekonomikal yang di dalamnya perundang-undangan dapat terbentuk, atau lebih luas lagi, suatu penelitian tentang kemungkinan-kemungkinan untuk menawarkan bantuan kepada pembentuk undang-undang pada pembentukan hukum, kemungkinankemungkinan dan kegunaan dari suatu kerja-sama antara kekuasaan pembentukan undang-undang (legislatif) dan kekuasaan pelaksanaan (eksekutif), pembentukan hukum di luar perundang-undangan, dalam administrasi, peradilan, dan sejenisnya (dipandang pada tataran metodologi). 5.22. Metodologi Penerapan Hukum. 152. Metodologi Penerapan Hukum adalah, seperti di atas sudah disinggung, salah satu dari wilayah-penelitian Teori Hukum yang paling dipelajari, jika tidak yang paling dipelajari. Dalam hal ini perhatian sepenuhnya diarahkan pada penerapan hukum oleh hakim. Apa yang berkenaan dengan metodologi ini tampaknya cukup masuk akal, mengingat tiap sengketa tentang suatu penerapan hukum konkret tidak dapat dihindari akan diputus (diadili) oleh seorang hakim dan baru di dalam motivering dari putusan hakim bahwa metode yang diikuti tampil ke permukaan secara jelas dan menjadi terbuka bagi pengawasan (kontrol) dan kritik. Dalam penerapan hukum orang masih dapat membedakan berbagai wilayah-masalah yang masing-masing menetapkan syarat-syarat (tuntutan-tuntutan) sendiri pada tataran metodologi. Di samping interpretasi undang-undang yang sesungguhnya, orang juga menghadapi masalah-masalah kekosongan dalam hukum, antinomi-antinomi, dan penerapan “pengertian-pengertian yang kabur”. Juga interpretasi atas fakta-fakta menuntut suatu penanganan yang secara metodologikal dipertanggung-jawabkan. Dan secara umum argumentasi yuridikal, motivering dari penerapan hukum oleh hakim, dalam hubungan ini mewujudkan suatu tema-penelitian yang sangat penting. 153. Hal-hal yang berkenaan dengan penerapan hukum pada umumnya, dapat disebutkan topik-topik penelitian berikut ini: pertanyaan tentang kemungkinan untuk pada tataran metode yuridikal sampai pada hasil yang pasti dan pada hasil-hasil yang 102 103 obyektif, Logika dari putusan-putusan yuridikal, Psikologi dari putusan-putusan yuridikal, Sosiologi dari putusan-putusan badan kehakiman, hubungan antara interpretasi atas fakta-fakta dan interpretasi atas teks-teks undang-undang, pembedaan antara peradilan “secundum legem”, “praeter legem” dan “contra legem”, struktur dari putusanputusan yuridikal, hal dapat dipergunakannya teori-teori pengambilan putusan pada tataran putusan-putusan badan kehakiman, pengaruh akibat-akibat dari suatu penerapan hukum pada pengorientasian dari penerapan hukum ini, atau, untuk negara yang mempunyai suatu mahkamah konstitusi, masalah-masalah khusus yang muncul pada pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Juga kepustakaan yang berhubungan dengan penalaran yuridikal pada umumnya berlaku hubungan yang dominan dengan Metodologi Penerapan Hukum. 5.22.1. Interpretasi Undang-undang. 154. Dalam problematika dari penemuan hukum (oleh hakim) maka interpretasi undang-undang pada gilirannya mewujudkan medan penelitian utama. Tema-tema penelitian (yang mungkin) di sini adalah: suatu penelitian tentang jenis-jenis metode-metode interpretasi yang mungkin dan dapat digunakan, hal menyusun suatu hierarkhi metode-metode interpretasi atas dasar bahan-bahan terberi ilmiah yang obyektif, kebutuhan pada suatu metodologi interpretasi yang sesuai dengan cabang dari hukum terkait, koherensi dari perilaku interpretasi faktual dari para hakim, sifat spesifik dari interpretasi undang-undang dalam perbandingan dengan interpretasi atas teks-teks lain, sifat dari bahasa yang digunakan oleh pembentuk undang-undang dan hakim, pertanyaan dalam derajat apa pendekatan-pendekatan interpretasi dideterminasi oleh titiktitik tolak dalam bidang Teori Hukum dan Filsafat Hukum dari para interpretator, peranan dari Logika pada interpretasi undang-undang. Terbawa oleh sifatnya, berbagai metode interpretasi secara tersendiri, atau suatu faset tertentu dari metode-metode interpretasi itu, dapat juga mewujudkan pokok-telaah dari penelitian bidang Teori Hukum: interpretasi gramatikal, interpretasi sistematikal atau logikal, penggunaan (pemanfaatan) karya-karya persiapan (pembentukan undangundang), interpretasi historikal, interpretasi teleologikal, interpretasi antisipatif, interpretasi analogikal, pengertian “kehendak dari pembentuk undang-undang”, dan demikian sejenisnya lagi. 5.22.2. Kekosongan dalam hukum. 155. Di sini ihwalnya berkenaan dengan problematika kekosongan di dalam hukum, sebagaimana hal ini menampilkan diri dalam kerangka problematika penemuan hukum. Orang juga dapat mempelajari kekosongan-kekosongan dalam hukum itu dari sudut titik pandang yang lain, seperti misalnya dari sudut pertanyaan tentang sumber-sumber hukum (lihat di atas pada nomor 147), atau pertanyaan tentang struktur dari sistem-sistem hukum. Kekosongan-kekosongan dalam hukum hingga kini nyaris hanya diteliti dalam kerangka penemuan hukum oleh hakim. Alasan-alasan untuk itu sudah jelas: ihwalnya adalah bahwa baru ketika hakim untuk suatu sengketa yuridik konkret tidak menemukan penyelesaian dalam hukum positif yang berlaku maka suatu kekosongan dalam hukum baru dialami sebagai “kekosongan”, dan selanjutnya dirasakan sebagai problematikal. 103 104 156. Sebuah pertanyaan pertama yang sangat krusial pada peoblematika kekosongan dalam hukum adalah uraian pengertian dan pembatasan pengertian “kekosongan”: apakah orang misalnya juga harus memandang sebagai kekosongan dalam perundang-undangan terhadap situasi yang di dalamnya setelah interpretasi dinilai bahwa sebuah undangundang yang tampaknya dapat diterapkan harus diinterpretasi secara sempit dan dengan demikian tidak dapat diterapkan terhadap situasi bermasalah konkret tersebut? atau sebaliknya: apakah orang baru harus berbicara tentang “kekosongan” dalam perundangundangan jika juga sesudah misalnya dilakukan suatu intepretasi analogi tidak dapat ditunjuk satu pun undang-undang yang dapat diterapkan? Di samping pertanyaan dalam derajat apa hakim dapat mengambil unsur dari dalam perundang-undangan atau dari sistem hukum yang berlaku dalam keseluruhannya untuk dalam suatu kejadian konkret mengisi kekosongan-kekosongan, juga tampil ke muka misalnya pertanyaan sejauh mana kekosongan-kekosongan dalam cabang-cabang hukum tertentu, seperti misalnya hukum pidana, dapat dan boleh diisi. 5.22.3. Antinomi-antinomi dalam hukum. 157. Sama seperti pada kekosongan dalam hukum, juga uraian batasan pengertian dari pengertian (konsep) “antinomi” dalam derajat besar ditentukan oleh pandanganpandangan tentang interpretasi dari peneliti. Sebab, ihwalnya dapat saja bahwa suatu pertentangan tertentu antara dua teks undang-undang dalam kerangka dari salah satu teori interpretasi dapat ditiadakan dengan interpretasi, sehingga apa yang tampak seolah-olah ber-antinomi (antinomi semu) itu hilang, sedangkan suatu teori interpretasi lain memandang suatu pendekatan interpretasi yang demikian luas itu adalah tidak mungkin dan karena itu juga harus menyelesaikan masalah itu sebagai sebuah persoalan antinomi. Orang juga baru dapat berbicara tentang antinomi jika orang memandang keseluruhan aturan-aturan hukum, yang di dalamnya antinomi itu mensituasikan diri, sebagai sebuah sistem logikal. Jika berlawanan dengan itu orang bertolak dari suatu otonomi relatif dari berbagai bagian dari hukum, maka suatu pertentangan antara misalnya sebuah aturan dari hukum pidana dan sebuah aturan dari hukum pajak, atau antara sebuah aturan dari hukum sosial dan sebuah aturan dari hukum perdata, akan tidak dapat dipandang sebagai sebuah antinomi. Jadi, masalah-masalah bidang Teori Hukum menampilkan diri sekurang-kurangnya sama pada tataran pembatasan masalah-masalah antinomi seperti pada tataran penyelesaian atas masalah-masalah ini. 5.22.4. Penerapan “pengertian-pengertian kabur” atau “kaidah-kaidah kabur”. 158. Jika orang berbicara tentang “pengertian-kabur” dalam hukum maka yang dimaksudnya adalah pengertian yuridik yang tidak didefinisikan lebih jauh yang secara implisit menunjuk pada nilai-nilai atau kaidah-kaidah non-yuridikal (misalnya “kepentingan dari anak”, “kehati-hatian”, “salah”, “itikad baik”) atau pengertian yang, tanpa menunjuk pada nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang demikian itu, juga memberikan kepada hakim suatu kemungkinan mengapresiasi yang luas (misalnya: “besar”, “penting”, “frekuen”, “tingkat perkembangan yang dicapai ilmu”). Kaidah-kaidah yang di dalamnya “pengertian-pengertian kabur” ini muncul biasanya disebut “kaidah kabur” atau “kaidah-kaidah terbuka” (open normen). 104 105 Di samping analisis atas gagasan “pengertian kabur” di sini pertama-tama menampilkan diri pertanyaan dalam derajat apa hakim itu bebas pada konkretisasi dari “pengertian kabur”: dapatkah dari sistem hukum yang ada diambil aturan-aturan yang memberikan arah? apakah oleh hakim dengan suatu cara yang obyektif dapat diderivasi aturan-aturan normatif dari sistem nilai-nilai dan sistem kaidah-kaidah non-yuridikal? dengan cara apa koherensi dalam penerapan aturan-aturan yang demikian itu dapat dicapai (diandaikan bahwa orang menganggap suatu koherensi yang demikian itu berguna atau diperlukan)? 5.22.5. Interpretasi atas fakta. 159. Pada penerapan hukum terhadap suatu situasi konkret, hakim harus menginterpretasi di samping hukum juga fakta-fakta. Terhadap problematika ini telah diberikan perhatian yang relatif sedikit dalam kepustakaan, juga meskipun, diduga tepat, sering dinyatakan bahwa dalam 90%, 95% atau bahkan 99% dari sengketa-sengketa diskusinya membatasi diri pada suatu diskusi tentang fakta-fakta, yang dalam kaitan itu tidak terdapat keraguan tentang aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan, maupun tentang interpretasi terhadap aturan-aturan tersebut. Hal ini juga tidak mengherankan jika orang menyadari bahwa interpretasi fakta-fakta ini jauh lebih sulit untuk dimasuki bagi penelitian ilmiah ketimbang interpretasi undangundang. Putusan pengadilan yang tidak dipublikasi dan pasti dosir perkara (procesdossiers) adalah sulit sampai amat sangat sulit atau bahkan sama sekali tidak dapat dimasuki bagi orang-orang yang asing terhadap prosedur. Dan tanpa pemeriksaan atas sekurang-kurangnya dosir perkara tidak mungkin dilaksanakan pengawasan (kontrol) atau studi atas interpretasi fakta oleh hakim. 160. Namun, meskipun ada rintangan ini, penelitian yang produktif berkenaan dengan interpretasi atas fakta-fakta oleh hakim tetap harus dimungkinkan. Demikianlah dapat terjadi suatu analisis atas proposisi-proposisi faktual yang secara sosiologikal dapat diuji (misalnya perilaku rata-rata dari seorang pribadi biasa pada umumnya dalam keadaan tertentu, yang antara lain penting untuk dapat membedakan perilaku yang salah dari yang tidak salah) atau yang dapat diuji secara psikologikal (misalnya kemampuan menilai ratarata dari seorang anak berusia sepuluh tahun). Orang dapat menelusuri dalam derajat apa interpretasi fakta-fakta terjadi secara obyektif atau bermuatan nilai, secara respektif dapat terjadi. Lewat misalnya suatu analisis kuantitatif dapat diperoleh suatu pemahaman yang lebih baik atas peranan fakta-fakta dalam putusan-putusan yuridikal. Secara umum dapatlah dilaksanakan penelitian yang cukup luas tentang kemungkinan dapat digunakannya berbagai Ilmu Sosial pada interpretasi fakta-fakta oleh hakim. Juga keseluruhan problematika penempatan para pakar dan cara yang berdasarkannya mereka menilai fakta-fakta dalam konteks ini dapat diteliti. Interpretasi atas fakta-fakta ini pada akhirnya dengan cara yang menentukan dipengaruhi oleh aturan-aturan pembuktian yang berlaku. Karena itu, keseluruhan problematika pembuktian ini pada penelitian bidang Teori Hukum tentang interpretasi atas fakta-fakta juga akan harus dilibatkan dan untuk sebagian bahkan secara langsung mewujudkan pokok-telaah dari penelitian tersebut. 105 106 5.22.6. Interpretasi atas perbuatan hukum bidang hukum keperdataan. 161. Betapapun melimpahnya kepustakaan dalam hubungan dengan interpretasi atas perundang-undangan di masa lalu, interpretasi atas perjanjian-perjanjian, testamentestamen dan sejenisnya pada pihak Teori Hukum secara umum telah tidak memperoleh perhatian. Walaupun demikian tiap hari terbentuk sejumlah besar aturan-aturan hukum lewat perbuatan-perbuatan hukum bidang hukum keperdataan. Penerapan kaidah-kaidah hukum ini juga, dan dalam beberapa aspek lebih banyak, menimbulkan masalah-masalah interpretasi. Di lain pihak teori-teori dalam hubungan dengan interpretasi undang-undang pasti tidak dapat begitu saja diterapkan pada, atau dapat digunakan untuk, interpretasi atas perbuatan-perbuatan hukum bidang hukum keperdataan, sehingga penelitian-penelitian tersendiri dan spesifik mendesakkan diri. 5.22.7. Argumentasi yuridikal. 162. Jika argumentasi yuridik dipelajari, ihwalnya dalam kenyataan secara umum selalu berkenaan dengan suatu penelitian tentang argumentasi kehakiman. Hal ini dapat dijelaskan di satu pihak oleh dapat dimasukinya informasi tentang hal ini (khususnya oleh berlimpahnya publikasi putusan-putusan badan kehakiman) dan di lain pihak oleh kewajiban motivering yang mengakibatkan bahwa tiap vonis, setidaknya dalam asasnya, bermuatan suatu jalan pikiran terstruktur yang jelas. Demikianlah problematika motivering dari putusan-putusan badan kehakiman berkaitan erat dengan problematika argumentasi yuridik. Dalam kerangka problematika ini, topik-topik penelitian berikut ini dapat ditunjuk: the dissenting opinions, kaitan antara argumentasi yuridik dan metodologi penemuan hukum, kaitan antara argumentasi kehakiman dan teori pengambilan putusan, rasionalitas, “ketepatan” atau “obyektivitas” dari argumentasi-argumentasi yuridik, jenis-jenis “argumen yang (dapat) digunakan dalam sebuah argumentasi yuridik, dan argumentasi pada penerapan “kaidah-kaidah kabur”. 5.3. Ajaran Ilmu dan Ajaran Metode dari Dogmatika Hukum. 5.3.1. Ajaran Ilmu dari Dogmatika Hukum. 163. Pertanyaan tentang karakter keilmuan dari Dogmatika Hukum adalah sebuah pertanyaan klasik dalam kepustakaan yuridik. Orang juga semakin menerima bahwa ihwalnya hanya bermakna sedikit untuk berdiskusi tentang pertanyaan apakah Dogmatika Hukum itu adalah sebuah ilmu atau bukan. Sebab semuanya itu tergantung pada bagaimana orang mendefinisikan pengertian “ilmu” terlebih dahulu. Demikianlah sebuah definisi yang sempit (misalnya dalam arti dari Ilmuilmu Alam) tak dapat dielakkan akan sampai pada jawaban menyangkal, sebuah definisi yang luas akan sampai pada jawaban mengiyakan (afirmatif). Ajaran Ilmu dari Dogmatika Hukum dengan demikian menajam terutama lebih pada pertanyaan jenis ilmu apa atau, lebih tepat, jenis disiplin apa Dogmatika Hukum itu? Jenis pengetahuan apa yang menjadi sasaran Dogmatika Hukum? Apa yang menjadi obyek studinya? Bagaimana ia mendekati bahan studinya? Sejauh mana ia melakukan klasifikasi, penjelasan dan peramalan (prediksi)? Tentu saja terlebih dahulu harus ditetapkan batas-batas dari pengertian Dogmatika Hukum secara relatif persis. Suatu analisis historikal di sini akan merupakan satu dari 106 107 jalan-jalan yang harus ditempuh, seperti juga pembatasan Dogmatika Hukum berkenaan (berhadapan) dengan disiplin-disiplin lain. 164. Sesudah pertanyaan di mana dan bila pengertian “Dogmatika Hukum” itu timbul dan apa isi yang persisnya tercakup dalam pemakaian bahasa para yuris dahulu dan sekarang, tampil pertanyaan yang lebih fundamental tentang sifat dari kegiatan yang dijalankan para ilmuwan hukum dengan atau tanpa judul (nama) “Dogmatika Hukum”. Terkait padanya dapat dipikirkan berbagai sudut pendekatan. Orang dapat memandang hukum sebagai sebuah disiplin normatif, sebagai sebuah disiplin eksperimental, sebagai sebuah disiplin hermeneutik, sebagai sebuah disiplin logikal atau sebagai sebuah disiplin eksplanatif (yang menjelaskan); dan dengan semuanya itu pasti belum semua pendekatan yang (dapat) dipikirkan orang telah diberikan. Jika orang menengarai Dogmatika Hukum sebagai sebuah disiplin normatif, maka orang harus mempresisi apakah yang dimaksudnya itu ihwal tentang (a) sebuah disiplin yang bermuatan kaidah-kaidah, (b) sebuah disiplin yang mempelajari kaidah-kaidah, atau (c) sebuah disiplin yang melandasi kaidah-kaidah. Pada akhirnya keseluruhan diskusi itu berputar sekitar pertanyaan dalam derajat apa Dogmatika Hukum itu dapat membatasi diri pada suatu kegiatan mempelajari kaidah-kaidah secara “netral”, dengan kata lain pada suatu disiplin yang mempelajari kaidah-kaidah namun ia sendiri tidak mengkaidahi. Masalah netralitas atau bebas-nilai dari Dogmatika Hukum ini untuk sebagian merupakan suatu masalah dari bahasa ilmu (wetenschapstaal). Apakah orang memformulasikan uraian-uraian bidang Dogmatika Hukum itu dalam suatu bahasa yang memaparkan (deskriptif) atau dalam suatu bahasa yang memerintah (preskriptif)? Suatu pemakaian bahasa deskriptif terbuka untuk formulasi hipotesis-hipotesis, teori-teori, keajegankeajegan dan sejenisnya. Dengan pemakaian bahasa preskriptif maka hal itu tidak mungkin dilakukan. Hal mendekati Dogmatika Hukum sebagai sebuah disiplin obyektif yang tidak terlibat secara normatif, adalah persis tujuan dari pengembanan Teori Hukum. Dalam upaya untuk memberikan landasan ilmiah yang lebih kokoh pada Dogmatika Hukum ini, telah dicari suatu pendekatan yang di dalamnya Dogmatika Hukum dapat dianalisis dan dipaparkan sebagai sebuah disiplin bebas-nilai. Pendekatan yang paling klasik memandang Dogmatika Hukum sebagai sebuah disiplin logikal. Pendekatan ini antara lain, dan dalam bentuk yang sangat ekstrim, diterapkan oleh Begriffsjurisprudenz. Juga sama klasiknya adalah wawasan atas Dogmatika Hukum sebagai sebuah “ilmu kreatif tentang asas-asas hukum”, yang pada pengembanannya tidak terutama terarah untuk menelaah aturan-aturan hukumnya sendiri melainkan asas-asas yang terletak di belakangnya yang menjadi pusat perhatian. Dalam sebuah pendekatan lain orang berupaya untuk memandang Dogmatika Hukum sebagai sebuah disiplin yang menjelaskan (eksplanatif). Sebuah disiplin yang menjelaskan mengapa sebuah aturan sebagai aturan hukum berlaku dalam sebuah masyarakat tertentu. Dengan ini orang dapat menggunakan faktor-faktor eksternal, seperti perkembangan historikal (penjelasan diakronik) atau kebutuhan-kebutuhan masyarakat aktual (penjelasan sinkronik), atau juga faktor-faktor internal yang mewujudkan bagian dari sistem hukum itu sendiri. Faktor-faktor terakhir itulah yang dengannya Dogmatika Hukum dalam aspek tertentu “menjelaskan” hukum. 107 108 Keberadaan sebuah aturan misalnya akan “dijelaskan” oleh keberadaan dari sebuah kaidah yang lebih tinggi, yang di atasnya keberlakuan yuridikal aturan ini bertumpu. Orang juga dapat memandang Dogmatika Hukum sebagai sebuah disiplin eksperimental, yang tidak membatasi diri pada suatu pemaparan hukum yang berlaku, melainkan yang, dengan bantuan Ilmu-ilmu Sosial, secara eksperimental mencari penyelesaianpenyelesaian optimal bagi masalah-masalah hukum konkret. Selanjutnya ada pendapat yang melihat Dogmatika Hukum sebagai sebuah ilmu empirikal, yang di dalamnya asas-asas argumentasi dan aturan-aturan metodikal yang sama seperti dalam Ilmu-ilmu Alam dapat digunakan. Akhirnya orang juga dapat memandang Dogmatika Hukum sebagai sebuah disiplin hermeneutikal, sebagai sebuah ilmu tentang makna dari aturan-aturan hukum. Jika Dogmatika Hukum meneliti daya jangkau atau hal dapat diterapkannya sebuah aturan hukum, maka pertama-tama ia memang menelaah arti apa yang dalam kenyataan harus diberikan pada aturan yang terkait. Dengan demikian, dalam Dogmatika Hukum ihwalnya selalu berkenaan dengan klaim-klaim tentang makna dari teks undang-undang, ini adalah baik pertanyaan tentang makna ini sendiri maupun pertanyaan tentang pelandasan atas interpretasi undang-undang yang sudah diajukan terdahulu yang dipertanggung-jawabkan secara metodikal. Untuk menjabarkan lebih lanjut karakter dari Dogmatika Hukum, suatu perbandingan dengan disiplin-disiplin sejenis juga merupakan suatu metode yang berguna. Demikianlah orang dapat membandingkan Dogmatika Hukum yang sesungguhnya dengan Perbandingan Hukum, dengan analisis atas peradilan, dengan Filsafat Hukum atau dengan Sosiologi Hukum. Orang dapat membandingkan Perbandingan Hukum sebagai bentuk khusus dari Dogmatika Hukum dengan Sejarah Hukum atau dengan Sosiologi Hukum. Orang lebih jauh dapat menelusuri pembedaan antara Dogmatika Hukum di satu pihak dan “case law”, secara respektif “statute law” di lain pihak. 165. Pertanyaan-pertanyaan lain yang dalam kerangka suatu Ajaran Ilmu dari Dogmatika Hukum dapat diajukan adalah: Dalam derajat apa Dogmatika Hukum itu merupakan pencerminan dari suatu kenyataan yuridikal? Apa yang merupakan (mewujudkan) landasan empirikal dari Dogmatika Hukum? Dalam derajat apa suatu pengertian kebenaran dapat digunakan dalam kerangka Dogmatika Hukum? Apa (bagaimana) karakter dari suatu pertanyaan hukum? Dalam derajat apa orang dapat berbicara tentang rasionalitas dalam kerangka Dogmatika Hukum? Terkait padanya, jenis-jenis rasionalitas apa yang dapat dibedakan orang? Bagaimana kemajuan ilmiah dalam Dogmatika Hukum dimungkinkan? Bagaimana paradigma dari Dogmatika Hukum harus didefinisikan? Bagaimana pengertian “teori” dalam kerangka Dogmatika Hukum harus dipahami? Bagaimana suatu krisis ilmiah dalam Dogmatika Hukum dapat diselesaikan? Sejauh mana dapat dikatakan terjadi revolusi-revolusi ilmiah dalam Dogmatika Hukum? Suatu diskusi sekitar Ajaran Ilmu dari Dogmatika Hukum baru pada tahun-tahun terakhir mulai berlangsung. Karena itu dari wilayah-bagian Teori Hukum ini dapat banyak diharapkan di kemudian hari. Hasil-hasil dari kegiatan ini dalam jangka panjang juga 108 109 akan dapat membawa pembaharuan dalam Dogmatika Hukum, yang kadang-kadang cukup membeku (verstard). 5.32. Ajaran Metode dari Dogmatika Hukum. 166. Pertanyaan tentang metode dari Dogmatika Hukum terbawa oleh hakikatnya berkaitan erat dengan pertanyaan tentang sifat Dogmatika Hukum sebagai ilmu. Jika orang memandang Dogmatika Hukum itu sebagai sebuah disiplin logikal maka jelas orang mempunyai kebutuhan pada suatu metode yang sama sekali berbeda ketimbang jika orang lebih banyak mendekatinya sebagai suatu disiplin eksperimental atau sebagai sebuah disiplin hermeneutikal. Jawaban-jawaban yang akan diberikan atas pertanyaan-pertanyaan metodologikal dengan demikian akan sangat tergantung pada jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pada bidang Teori Ilmu. Pertanyaan-pertanyaan metodologikal itu sendiri sebagian besar dapat juga diformulasikan terlepas dari pilihan Teori Ilmu yang ditetapkan terlebih dahulu. 167. Orang dapat antara lain mengajukan pertanyaan apakah berbagai cabang dalam Dogmatika Hukum masing-masing membutuhkan suatu metodologi sendiri atau teknikteknik sendiri, misalnya suatu metodologi yang teknikal untuk hukum lalu-lintas jalan dan suatu metodologi yang lebih prinsipiil untuk hukum hak milik. Pertanyaan sejauh mana pembentukan teori dalam Dogmatika Hukum adalah mungkin adalah satu dari pertanyaan-pertanyaan inti dalam wilayah-bagian Teori Hukum ini. Pembentukan teori mengimplikasikan pembentukan hipotesis: sejauh mana dan dengan cara apa dalam Dogmatika Hukum dapat diformulasikan hipotesis-hipotesis yuridikal, yang terbuka bagi verifikasi dan/atau falsifikasi. Sejauh Dogmatika Hukum dipandang sebagai sebuah disiplin eksperimental, tampil ke muka antara lain pertanyaan dalam derajat apa syarat-syaratnya dapat dikontrol yang di antaranya dilakukan dengan eksperimen-eksperimen terhadapnya, seperti misalnya sebuah eksperimen dengan sebuah model dari sebuah prosedur yang efisien, cepat dan adil. Kontrol atas pengujian dari eksperimen-eksperimen yang demikian itu adalah penting untuk penelitian tentang kekuatan meramalkan dari eksperimen-eksperimen tersebut. Sejauh Dogmatika Hukum dipandang sebagai sebuah disiplin yang menjelaskan, ihwalnya misalnya akan berguna untuk melakukan suatu perbandingan antara suatu “penjelasan” berdasarkan keilmu-alaman dan suatu “penjelasan” yuridikal atau antara suatu “penjelasan” dan suatu “pembenaran” (rechtsvaardiging), atau antara “penjelasan” dan “penguraian” (uitleg). Sejauh mana Dogmatika Hukum melakukan “peramalan” (prediksi, voorspellingen) dan dalam hal ini berkenaan dengan jenis peramalan apa? Dengan cara apa dan dengan metode-metode apa klasifikasi dan pembentukan pengertian dalam Dogmatika Hukum harus dijalankan? 168. Sama seperti Ajaran Ilmu dari Dogmatika Hukum, juga Ajaran Metode dari disiplin ini adalah sebuah medan kosong yang belum tergarap bagi penelitian bidang Teori Hukum. Sesudah sejumlah percobaan yang gagal untuk mengimplantasikan modelmodel dari ilmu-ilmu lain begitu saja pada Dogmatika Hukum, kini orang telah mengambil arah yang padanya orang di satu pihak menghormati kekhasan dari 109 110 Dogmatika Hukum dan di lain pihak tetap berupaya merealisasikan keilmiahan yang maksimal dalam metodoligi dari Dogmatika Hukum, antara lain dengan mengilhami diri pada apa yang diwujudkan dalam ilmu-ilmu lain itu. Publikasi pada wilayah-telaah dari Teori Hukum ini dengan demikian kini menawarkan juga perspektif-perspektif yang penuh harapan. 5.4. Kritik Ideologikal atas hukum. 169. Sama seperti Ajaran Ilmu dan Ajaran Metode dari Dogmatika Hukum, juga Kritik Ideologi berkenaan dengan hukum baru akhir-akhir ini mengalami perkembangan. Dengan “ideologi” dimaksudkan: keseluruhan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang membentuk wawasan (visie) orang atas manusia dan masyarakat. Jadi, di sini pengertian “ideologi” digunakan dalam suatu arti yang sepenuhnya netral dan tidak dalam arti pejoratif yang di dalamnya pengertian ini, di bawah pengaruh kepustakaan marxistik, sering digunakan. Dengan demikian, “ideologi” di sini sama sekali tidak niscaya berarti suatu penyelubungan atau pemalsuan kenyataan. 170. Hukum, perundang-undangan, peradilan, kepustakaan bidang hukum, secara tradisional dikritik dari sudut suatu pendirian ideologikal. Baru sejak satu atau dua dekade bahwa orang, dalam kerangka Teori Hukum, mengemban tugas untuk menampilkan ke permukaan ideologi yang tersembunyi dalam perundang-undangan, dalam peradilan dan dalam kepustakaan bidang hukum, tidak dengan maksud untuk mengkritik ideologi sebagai demikian, melainkan dengan maksud untuk membuka selubung yang menyembunyikan ideologi ini sehingga ia menjadi terbuka bagi kritik dan bagi suatu diskusi terbuka. Sebab, kritik substansial terhadap ideologi dalam asasnya termasuk ke dalam Filsafat Hukum, sebaliknya ihwal menunjukkan pendirian-pendirian ideologikal yang tidak dieksplisitkan dalam kerangka suatu uraian yuridikal yang tampaknya netral termasuk ke dalam tugas dari Teori Hukum. 171. Kritik ideologi dapat diarahkan baik pada pelukisan suatu gambaran manusia dan masyarakat yang utuh yang misalnya terkandung dalam sebuah perundang-undangan tertentu, maupun pada pengungkapan suatu putusan-nilai yang tidak dieksplisitkan dalam misalnya sebuah vonis. Jadi, kritik ideologi dapat mensituasikan diri baik pada suatu “tataran-mikro” maupun pada suatu “tataran-makro” dan pasti tidak selalu harus menyentuh (menunjuk pada) suatu sistem nilai-nilai dan kaidah-kaidah. Kritik ideologi itu lebih jauh dapat berlangsung baik dalam suatu perspektif “kualitatif” maupun dalam suatu perspektif “kuantitatif”. Kritik ideologi itu adalah “kualitatif” jika ditelusuri nilai-nilai dan kaidah-kaidah apa yang terkandung dalam hukum atau dalam suatu penalaran yuridikal. “Kuatitatif” jika, misalnya dalam peradilan, diteliti seberapa sering nilai-nilai dan kaidahkaidah yang sama, in casu oleh para hakim, diterapkan. Dengan cara demikian orang dapat mencoba melukiskan suatu gambaran manusia dan masyarakat yang representatif bagi peradilan atau ajaran hukum dan tidak hanya menggambarkan pandangan pribadi dari seorang hakim atau dari seorang penulis bidang hukum. Terutama untuk peradilan dan ajaran hukum, di samping pendekatan kualitatif, pendekatan kuantitatif ini akan menjadi penting, jika orang tidak ingin menempuh resiko terjatuh ke dalam anekdot atau ke dalam pendirian pribadi perseorangan. 110 111 Karena ihwal, secara eksplisit atau tidak, mengandaikan nilai-nilai dan kaidah-kaidah itu memiliki daya-jangkau yang berbeda tergantung pada apakah hal ini terjadi di dalam perundang-undangan, dalam peradilan, atau dalam ajaran hukum, maka sesudah ini akan dibuat pembedaan antara tiga obyek yang dimungkinkan dari suatu kritik ideologi bidang Teori Hukum ini. Tentu saja hal ini tidak meniadakan bahwa suatu kritik ideologi bidang Teoi Hukum baik perundang-undangan maupun peradilan dan ajaran hukum itu dapat bersama-sama dilibatkan dalam penelitian, misalnya jika kritik ideologi itu diarahkan pada “berpikir yuridik” atau pada cara berpikir “yuris” pada umumnya. 5.41. Perundang-undangan. 172. Perundang-undangan, isi dari aturan hukum itu sendii, berdasarkan alasan-alasan yang dapat dimengerti, adalah yang pertama-tama telah menjadi pokok-telaah dari suatu penelitian kritik ideologikal. Tidak dapat disangkal bahwa Teori Hukum Marxistik di sini telah menjalankan karya perintisan, juga meskipun kritik ideologikal itu sendiri dalam konteks ini untuk sebagian (namun pasti tidak sepenuhnya) bermuatan ideologi. Teori Hukum Marxistik terutama bertujuan untuk membuka topeng hukum sebagai eksponen dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah borjuistik. Jika orang ingin sampai pada suatu diskusi ilmiah yang murni, maka orang harus membuat pembedaan antara pertanyaan ideologi apa yang tersembunyi dalam suatu konstruksi hukum tertentu dan pertanyaan dalam derajat apa ideologi ini “baik”, “tepat” atau “sesuai dengan kenyataan”. Dalam suatu tahap pertama, suatu kritik ideologikal bidang Teori Hukum akan membatasi diri pada pengungkapan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang, keseluruhan atau sebagian, secara implisit tersembunyi dalam aturan-aturan hukum. Dalam suatu tahap kedua, berdasarkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah ini akan dapat dilukiskan suatu ideologi dari perundang-undangan. Dalam suatu tahap ketiga, asal-usul (historikal, kemasyarakatan) dari ideologi ini akan dapat diteliti. Dalam suatu tahap keempat, dapat ditelusuri dalam derajat apa ideologi ini tidak bertumpu pada praanggapan-praanggapan empirikal yang salah (misalnya suatu superioritas alamiah dari suatu ras manusia di atas yang lain yang dipostulasikan). Dalam hubungan ini ideologi-ideologi memang dapat diuji secara obyektif terhadap kenyataan. Bersamaan dengan itu juga dapat diteliti dalam derajat apa nilai-nilai dan penetapan tujuan-tujuan yang sudah diterima sebagai kebenaran terlebih dahulu secara adekuat direalisasi oleh perundang-undangan yang diberlakukan, atau dalam derajat apa fungsi ideologikal dari hukum tumbuh secara evolutif (ber-evolusi) di bawah pengaruh keterberian-keterberian faktual, tanpa perundang-undangan itu sendiri berubah. Juga dapat ditelusuri dalam derajat apa perundang-undangan itu sendiri mempengaruhi pemikiran hukum dan kesadaran hukum pada para yuris dan non-yuris. 173. Jika perundang-undangan konkret diteliti latar belakang ideologikalnya, maka pengertian-pengertian tertentu, seperti misalnya “kesusilaan yang baik” atau “hak-hak asasi manusia” yang secara eksplisit menunjuk pada nilai-nilai yang ada di belakangnya, akan mewujudkan obyek studi yang sudah tersaji. 111 112 Sebuah obyek telaah lain yang memuaskan dari penelitian kritik ideologikal adalah Code Civil Perancis tahun 1804, yang merupakan endapan yang sangat koheren dan sistematikal dari ideologi borjuis pada masa itu. Untuk merekonstruksi berbagai nilai dan kaidah menjadi satu ideologi yang utuh menyeluruh tampaknya di sini suatu penanganan strukturalistik atau teori sistem dapat sangat produktif. Yang terakhir ini mungkin lebih lagi jika orang secara kritik ideologikal menguraikan perundang-undangan global atau suatu sistem hukum yang utuh. Suatu perbandingan di antara berbagai cabang dari hukum dalam perspektif kritik ideologikal ini harus sekaligus dapat membawa pada hasil-hasil yang menarik. Di sini muncul pertanyaan dalam derajat apa pada masing-masing dari berbagai cabang hukum itu (hukum sipil, hukum sosial, hukum dagang, hukum acara, dsb.) terdapat ideologi sendiri yang berbeda yang melandasinya. Berkaitan dengan hukum internasional orang dapat misalnya menelusuri dalam derajat apa nilai-nilai dan kaidah-kaidah tertentu, landasan internasional tertentu diterima secara umum, atau justru menjadi obyek dari pertentangan-pertentangan ideologikal. 174. Metode yang harus diikuti pada suatu penelitian kritik ideologikal pada umumnya akan merupakan suatu analisis tekstual yang mendasar yang padanya kebanyakan teks tersebut akan harus disituasikan dalam suatu konteks yang lebih luas. Dengan ini orang juga akan harus berjaga-jaga terhadap interpretasi-interpretasi yang dangkal, dan terhadap kesimpulan-kesimpulan yang terlalu cepat. Dalam hubungan ini, Perrin menunjukkan bahwa suatu analisis tekstual pada dirinya sendiri sering tidak cukup dan bahwa Teori Hukum pada wilayah ini akan harus menggunakan teknik-teknik dari Semiologi (Ajaran Makna) untuk dapat memperbaharui teknik-teknik interpretasinya sendiri. Salah satu dari pembaharuan-pembaharuan ini misalnya ditimbulkan (dihasilkan) dengan penanganan strukturalistik dari Andre-Jean Arnaud. 5.42. Peradilan. 175. Kritik ideologikal berkenaan dengan peradilan hingga kini mengenal penerapannya terutama dalam diskusi sekitar keadilan kelas (klassejustitie, class justice). Di sini penelitian kritik ideologikal tidak terutama diarahkan pada suatu pemaparan semata-mata dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah non-yuridikal yang mempengaruhi penerapan hukum dalam peradilan, ketimbang memperlihatan fakta bahwa pengaruh dari gambaran manusia dan masyarakat dari para hakim terhadap penerapan hukum ternyata merugikan bagi kelompok-kelompok (kelas-kelas) tertentu dalam masyarakat. Karena yang terakhir ini sekaligus ditampilkan ke permukaan sebagai suatu penetapan faktual yang obyektif, maka penelitian kritik ideologikal yang demikian itu dapat dipandang sebagai penelitian bidang Teori Hukum yang khas. Kritik atas gambaran manusia dan masyarakat dari para hakim begitu saja, dipandang dari sudut suatu ideologi yang berbeda tidak termasuk tugas dari Teori Hukum. Tetapi dalam kerangka suatu penelitian bidang Teori Hukum dapat misalnya ditelusuri dalam derajat apa gambaran manusia dan masyarakat dari para hakim representatif untuk gambaran manusia dan masyarakat dari orang rata-rata pada umumnya dalam masyarakat, atau dalam derajat apa nilai-nilai yang dianut para hakim berada dalam jalur dari pilihan-pilihan (opties) pembentuk undangundang, sebagaimana pilihan-pilihan nilai-nilai itu diletakkan dalam perundangundangan, atau justru lebih bertentangan terhadapnya. 112 113 Sama seperti pada kritik ideologikal berkenaan dengan dengan pembentuk undangundang, juga di sini kritik ideologikal itu dalam tahap pertama yang mutlak diperlukan harus diarahkan pada suatu pemaparan gambaran manusia dan masyarakat dari hakim, pada penunjukan di mana dan nilai-nilai serta kaidah-kaidah non-yuridikal apa yang mempengaruhi putusan dari para hakim. 176. Pandangan pribadi tentang gambaran manusia dan masyarakat dari hakim terbawa oleh hakikatnya akan menjalankan pengaruh terhadap putusan dalam kejadian-kejadian yang berkenaan dengannya pembentuk undang-undang secara eksplisit menyerahkan (mendelegasikan) putusan kepada hakim, misalnya pada penentuan suatu patokan hukuman (strafmaat), atau jika hakim harus memutus “berdasarkan kepatutan dan keadilan” (naar billijkheid). Gambaran manusia dan masyarakat dari hakim juga jelas akan memainkan peranan jika undang-undang memuat pengertian-pengertian yang menilai, seperti misalnya “baik”, yang jelas-jelas menunjuk pada nilai-nilai non-yuridikal, moral atau bukan, atau jika undang-undang memuat pengertian-pengertian normatif, seperti misalnya “salah”, yang jelas-jelas menunjuk pada kaidah-kaidah kemasyarakatan umum dari moral, kehatihatian, dan sejenisnya. Pada pengertian-pengertian yang mengevaluasi, seperti misalnya “besar” atau “penting” yang tidak menunjuk pada nilai-nilai, namun tetap mengimplikasikan suatu apresiasi pribadi dari hakim, pengaruh ideologi dari hakim adalah kurang penting namun tetap riil. Akhirnya gambaran manusia dan masyarakat dari hakim juga akan memainkan suatu peranan pada tindakan memformulasikan berbagai “penetapan” faktual, seperti misalnya “perempuan lebih cocok ketimbang pria untuk pendidikan anak-anak”. Secara teratur penalaran kehakiman bertumpu pada pernyataan-pernyataan yang tidak diverifikasi secara empirikal yang demikian itu, yang walaupun begitu dalam prinsipnya selalu terbuka bagi pengujian ilmiah. 177. Di samping peradilan, juga bentuk-bentuk lain dari penerapan hukum oleh pemerintah dapat menjadi pokok-telaah dari suatu penelitian kritik ideologikal: prosesverbal dari polisi dan penjaga keamanan negara, surat menyurat antara administrasi dan warga tentang penerapan salah satu aturan, dan sejenisnya lagi. Terbawa oleh hakikatnya, peradilan tidak mempunyai monopoli penerapan hukum dalam masyarakat. Pentingnya peradilan sebagai instansi pengambil putusan terakhir dan aksesibilitas informasinya (setidaknya apa yang berkenaan dengan putusan pengadilan yang dipublikasi) memang menyebabkan peradilan menjadi wilayah-penelitian pada bidang ini yang paling terbuka, pasti dalam suatu stadium pertama dari penelitian kritik ideologikal. 178. Dari suatu dimensi yang lain, namun setidaknya sama penting, adalah ideologi dari hakim berkenaan dengan fungsinya sendiri, gambaran yang ia bentuk sendiri tentang tugasnya sebagai hakim. Juga di sini terbukti berguna untuk melaksanakan penelitian kritik ideologikal. Sudah menjadi klasik misalnya tiga tipe penemuan hukum, yang masing-masing merupakan penampilan dari suatu pandangan yang berbeda tentang tugas dari hakim pada penemuan hukum: suatu interpretasi undang-undang yang kaku sempit, suatu penemuan 113 114 hukum yang sepenuhnya bebas, dan pandangan yang berupaya menempuh jalan tengah di antara dua ekstrim ini. Menelusuri pandangan yang mana yang dianut para hakim dan meneliti dalam derajat apa hal ini mempengaruhi proses penemuan hukum, termasuk ke dalam tugas dari Teori Hukum. Demikianlah misalnya dapat terbukti bahwa postulat-postulat tertentu yang tidak dieksplisitkan menjalankan pengaruh yang menentukan pada proses interpretasi. 5.43. Dogmatika Hukum. 179. Pengkritik ideologi yang khas tentang Dogmatika Hukum adalah Hans Kelsen. Persis menjadi tugas hidupnya (diens levenstaak) adalah untuk membersihkan Ajaran Hukum dari unsur-unsur ideologikal non-ilmiah untuk dengan cara demikian sampai pada suatu “Reine Rechtslehre”. Tidak hanya percampuran terus menerus putusan-putusan nilai dan pendirian-pendirian normatif di satu pihak dengan penetapan-penetapan dan putusan-putusan ilmiah di lain pihak yang membuat Dogmatika Hukum menjadi medan yang menarik untuk suatu penelitian kritik ideologikal, juga konstruksi-konstruksi bidang Dogmatika Hukum sendiri, pembentukan konsep yuridikal, adalah tidak bebas dari isi ideologikal. Demikianlah Kelsen sudah melancarkan kritik terhadap apa yang menurut pendapatnya fungsi ideologikal yang hakiki dari pengertian “badan hukum” dan pembedaan antara “pribadi alamiah” dan “badan hukum”. Selanjutnya ia juga mengkritik pembedaan antara hukum “subyektif” dan hukum “obyektif” serta antara hak “perorangan” dan hak “kebendaan”. Juga apa yang berkenaan dengan kritik atas pembedaan antara hukum publik dan hukum perdata yang kini sudah diterima umum, Kelsen adalah seorang pelopor. 180. Di samping konsep-konsep dan konstruksi-konstruksi yuridikal juga penalaran yuridikal sebagai demikian terbawa oleh hakikatnya akan terbuka bagi penelitian kritik ideologikal. Pengaruh dari pendirian-pendirian ideologikal baik yang disadari maupun yang tidak disadari terhadap penalaran yuridikal dengan ini akan ditelusuri. Berdasakan hasil-hasil dari penelitian-penelitian ini maka suatu gambaran manusia dan masyarakat akan dapat dilukiskan yang mewujudkan ideologi dari yuris rata-rata atau dari pengemban Dogmatika Hukum rata-rata pada umumnya. Juga di sini menarik untuk menelusuri gambaran yang dimiliki para yuris tentang dirinya sendiri, bagaimana mereka mendefinisikan tugas mereka sendiri dan bagaimana mereka menilai karya mereka sendiri. Di samping kepustakaan bidang Dogmatika Hukum juga sumber-sumber lain, yang mungkin memuat lebih banyak bahan penelitian dan lebih menarik, oleh pengemban Teori Hukum akan harus dirujuk (dikonsultasi): mercuriales van hoge parketmagistraten, ceramah-ceramah (pidato-pidato), pidato-pidato pada perayaan, in memoriam dan sejenisnya. Juga hal mewawancarai para yuris dapat mewujudkan sebuah metode yang berguna. 114