DAFTAR LAMPIRAN 1. Treatment iklan 2. Contoh kuesioner

advertisement
DAFTAR LAMPIRAN
1. Treatment iklan
2. Contoh kuesioner
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilu 2014 diprediksi akan diwarnai rendahnya tingkat pemilih. Jika
melihat dari sejarah pemilihan umum parlemen di Indonesia terdapat penurunan
jumlah suara dari tahun 1971 sebesar 90% menjadi 70% di tahun 20091. Indikasi
penurunan diantaranya terlihat pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat yang digelar
24 Februari 2013. Dimana angka golput mencapai 40 persen, sementara pasangan
calon Gubernur yang menang hanya mengantongi 27 persen suara2. Selain itu
terlihat di pemilihan Gubernur DKI Juli 2012, sebanyak 36,78 persen warga tidak
menggunakan hak suaranya3. Jumlah suara untuk kandidat yang menang tidak
lebih banyak dibanding dengan suara golput. Meski demikian, beberapa negara
yang memiliki bentuk konstitusional republik seperti Equador dan Cuba berhasil
mencapai 80% dan 90% partisipasi politik warga negara saat pemilu4.
Seiring dengan kekhawatiran makin merebaknya demam pemilih golput,
persaingan untuk mendapatkan suara semakin ketat sehingga partai dituntut untuk
lebih banyak memperhatikan perilaku dan keinginan pemilih. Berbekal pemilihan
1
IDEA. 2011. Voter turnout data for Indonesia. Tersedia pada :
http://www.idea.int/vt/countryview.cfm?id=101 diakses tanggal 27 Agustus 2013 pukul 01.12
2
Gril/Jpnn. 2012. Jumlah Golput Diprediksi Terus Meningkat. Tersedia pada:
http://berita.plasa.msn.com/nasional/jpnn/jumlah-golput-diprediksi-terus-meningkat diakses tanggal
20 April 2013 pukul 23.17
3
Putri, Ananda. 2012. Jumlah Golput Pilkada DKI 32 Persen. Tersedia pada:
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/20/228430938/Jumlah-Golput-Pilkada-DKI-32-Persen
diakses tanggal 20 April 2013 pukul 23.17
4
CEPPS. 2013. Voter turnout. Tersedia pada: http://www.electionguide.org/voter-turnout.php
diakses tanggal 27 Agustus pukul 01.12
1
dan pengalaman sebelumnya pada kinerja pelaku politik, semakin banyak pula
kriteria yang diinginkan pemilih dari kandidat politik pilihan. Kandidat perlu
melaksanakan kegiatan promosi agar pemilih lebih aware dan merasa kandidat
tersebut adalah pilihan yang paling mendekati harapan pemilih. Salah satu yang
semakin
marak
digunakan
untuk
menjaring
perharian
pemilih
adalah
menggunakan celebrity untuk mengendorse partai politik. Gejala penggunaan
celebrity untuk mendukung partai politik atau kontestan mulai terlihat. Seperti
pada tahun 2009 Sujiwo Tedjo yang mengaku sebagai pengikut golput berubah
menjadi optimistis. Menurutnya orang harus punya pilihan politik. Tapi pilihan itu
harus jujur, bukan atas kehendak dan kepentingan orang lain. Pada pemilu
Presiden 8 Juli 2009 dia memilih untuk mendukung duet JK-Win. Salah satu
bentuk kecintaannya pada duet itu, Tedjo dan Ipank Wahid merancang iklan
kampanye politik. Skenarionya dibikin Tedjo, sedangkan visualnya oleh Ipank5.
Sedangkan
menjelang pemilu 2014 Partai Nasional Demokrat
sempat
menggunakan Anies Baswedan dan Khofifah Indar Parawansa, waktu itu mereka
masih
dalam
bentuk
Ormas6
serta
Hary
Tanoe
untuk
Hanura
(nasional.kompas.com)7.
Tren penggunaan celebrity untuk menjadi bintang iklan tak hanya saat
pemilihan partai politik, pemilihan Gubernur bahkan walikota makin banyak yang
5
Siswanto. 2009. Sujiwo Tejo Tinggalkan Golput Demi JK. Tersedia pada:
http://politik.news.viva.co.id/news/read/72191-sujiwo_tedjo_tinggalkan_golput_demi_jk
diakses tanggal 21 April 2013 pukul 8.15
6
Asril, Sabrina. 2013. Pengunduran Hary Tanoe Diikuti Kader Nasdem Lain. Tersedia pada:
http://nasional.kompas.com/read/2013/01/21/17582882/Pengunduran.Diri.Hary.Tanoe.Diikuti.Kader
.Nasdem.Lain diakses tanggal 20 April 2013 pukul 22.00
7
Heru. 2013. Hary Tanoe Dongkrak Elektabilitas Hanura. Tersedia pada:
http://news.okezone.com/read/2013/03/24/339/780644/redirect diakses tanggal 11 April 2013 pukul
7.42
2
menggunakan seleb sebagai pendongkrak suara. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta
2012 lalu, Foke, calon incumbent ini kembali menggunakan celebrity untuk vote
getter. Ada Rhoma Irama, Ridho Rhoma, Judika Idol, Mike Mohede, D'Massive,
Mandra, dan Jaja Miharja. Sementara sang rival, Joko Widodo (Jokowi), juga
mendapat dukungan celebrity dari Ahmad Dhani, Camelia Malik, dan Rieke Diah
Pitaloka juga menghiasi kampanye Jokowi (merdeka.com).
Sebelumnya celebrity endorsements lebih sering dikaitkan dengan
Amerika Serikat, yakni berupa produk, merek, organisasi dan tokoh politik lewat
pengakuan publik diberikan pada mereka (Erdogan et al, 2001;. Lin, 2001 dalam
Veer,
Becirovic,
dan
Martin,
2010:
438).
Sejumlah
besar
penelitian
menyimpulkan bahwa dukungan celebrity adalah berharga karena kemampuannya
untuk menarik perhatian konsumen, menciptakan gambar produk dan menembus
konsumen iklan (Erdogan dan Kitchen, 1998; Choi et al, 2005 dalam Veer,
Becirovic, dan Martin, 2010: 440)
Selain penggunaan celebrity, aktor expert juga digunakan sebagai
endorser dalam iklan. Namun sekarang expert endorser pun sudah banyak yang
menjadi celebrity, seperti contohnya Gamawan Fauzi, Ruhut Sitompul, Marzuki
Alie, dan termasuk Anies Baswedan. Kandidat partai politik menghadapi pilihan
dalam menentukan endorser mana yang paling bisa membantu membangkitkan
minat pemilih.
Penggunaan celebrity untuk peningkatan dukungan pada partai politik
secara teoritis dapat memiliki dua konsekuensi. Pertama, dapat meningkatkan
minat dari pemilih pada partai yang didukung oleh celebrity, memungkinkan
3
untuk mencapai pemilih yang lebih tinggi (Henneberg, 1995: 5). Kedua, perlu
diperhatikan faktor kepentingan politik dari pemilih dapat mempengaruhi sejauh
mana endorsements dari celebrity dapat bekerja. Pemilih yang memiliki
kepentingan politik tinggi hanya akan melihat pada informasi dari partai spesifik
dan tak akan begitu terpengaruh oleh isu tambahan seperti endorsements dari
celebrity. Sebaliknya, pemilih yang tidak memiliki bonding kuat dengan dunia
politik menjadi lebih rentan terpengaruh (Schuessler dalam Veer, Becirovic, dan
Martin, 2010: 437).
Tujuan utama penelitian ini adalah menguji peran yang bisa didapatkan
lewat dukungan endorser pada keinginan pemilih berdasarkan level identity
salience yang berbeda. Isu salience sebelumnya pernah diteliti oleh Repass
(1971), dan juga Pogorelis (2005) dimana terdapat hubungan antara salience
dengan keluaran hasil suara pemilu. Meski demikian, sedikit penelitian yang
menyinggung mengenai efektifitas endorsement bersama identity salience.
Penelitian ini bertujuan untuk menambah literatur atas celah tersebut dengan cara
memberikan pemahaman teoritis bagaimana konsumer (pemilih) dengan identity
salience berbeda bereaksi dengan tipe dukungan yang berbeda pula. Pemain
politik perlu memahami bagaimana efek dukungan dari endorser berpengaruh
pada pemilih, dengan begitu kampanye politik yang dilakukan bisa lebih efisien.
Penelitian ini melihat bagaimana penggunaan celebrity sebagai endorser
mampu menarik minat pemilih untuk menggunakan hak votingnya. Selain itu juga
berupaya memberikan gambaran bagaimana penggunaan endorser celebrity,
expert, dan celeb-expert dalam iklan partai politik mempengaruhi pemilih dengan
4
tingkat identity salience berbeda. Identity salience digunakan sebagai variabel
antara yang memoderasi bagaimana penggunaan endorser dalam iklan
mempengaruhi pemilih menentukan sikap dan perilaku memilih. Endorser
diasumsikan dapat mempengaruhi citra objek (partai) yang diiklankan yang
mampu mempersuasi pemilih.
Fokus penelitian adalah pada iklan partai politik, namun tidak menutup
kemungkinan bisa dilakukan pada objek penelitian berbeda (kandidat personal).
Dengan catatan, citra dari objek yang diiklankan dihitung setelah dilakukan
treatment ekperimental. Citra yang dimiliki oleh objek dikontrol agar tidak
membiaskan efek dari endorser.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana pengaruh penggunaan endorser pada iklan partai politik
Indonesia terhadap sikap dan perilaku memilih?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah mengetahui bagaimana celebrity endorser,
expert endorser, dan celeb-expert endorser dalam iklan partai politik memiliki
pengaruh terhadap sikap dan perilaku memilih yang dimoderasi oleh tingkat
Identity salience berbeda dari masing-masing pemilih.
5
D. Manfaat Penelitian
1.
Penelitian ini diharapkan mampu menambah literatur mengenai
pemahaman teoritis bagaimana pemilih dengan tingkat Identity
salience tertentu bereaksi terhadap dukungan dari tipe endorser
berbeda.
2.
Selain itu untuk dimensi praktis, penelitian ini berguna bagi pemain
politik untuk membantu memahami efek penggunaan endorser
berbeda terhadap pemilih. Bukan hanya kepentingan finansial,
dampak aktual dan hasil pemilu, tapi juga untuk memungkinkan
kampanye pemasaran politik yang efisien dengan lebih memahami
preferensi pemilih.
E. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian mengenai efek dari endorser atau bintang
iklan pada brand. Tanpa pemahaman teoritis yang luas, akan susah menyimpulkan
atau melalukan penilaian terhadap keefektifan dari endorser. Berikut ini adalah
beberapa penelitian sebelumnya yang mengukur efektifitas penggunaan endorser
(Tsui-Yii Shih, Friedman; Salman; McKelvey dan Ordeshook; Veer, Becirovic,
dan Martin), masing masing dari mereka meneliti:
1.
Tsui-Yii Shih (2010) menjelaskan bahwa kegiatan pemasaran yang
berhubungan dengan harga, slogan, simbol, kemasan, citra
perusahaan, termasuk endorsement strategy, dan store image
memiliki pengaruh terhadap ekuitas merek dan niat pembelian
6
konsumen. Dari sini, peneliti menganalogikan pemilih sebagai
konsumen dan nama partai sebagai brand.
2.
Friedman (1977) menemukan korelasi antara penggunaan tipe
endorser berbeda dengan tipe produk yang spesifik; Salman (2008)
mendukung penelitian Friedman dengan menemukan bahwa ada
perbedaan respon atas resep obat jika disajikan dengan endorser
yang berbeda;
3.
McKelvey dan Ordeshook (1985) bisa disebut sebagai pioneer yang
meneliti kelompok endorsement sebagai sebagai sumber potensial
dari sumber informasi untuk pemilih yang tidak memiliki informasi
lengkap. Dengan demikian, pada situasi dimana sedikitnya informasi
mengenai partai maka berbagai bentuk dukungan menjadi dapat
diandalkan;
4.
Duncan (2005) menemukan bahwa salience berguna sebagai selfschema dalam memproses informasi politik. Penelitian tersebut
menemukan korelasi positif antara personal political salience dan
pemrosesan ideologi atau posisi politik guna mengambil keputusan
memilih.
5.
Veer, Becirovic, dan Martin (2010) dengan menggunakan desain
eksperimental 2 x 2, mengungkapkan bahwa penggunaan celebrity
endorsements memiliki peran signifikan pada sikap pemilih di
Inggris menilai sebuah iklan politik, endorser yang berbeda, dan
keinginan memilih dengan memasukan variable political salience.
7
Penggunaan celebrity sebagai endorser lebih berpengaruh pada
mereka yang memiliki tingkat political salience rendah.
Variabel kehadiran endorser dan variable identity salience sama-sama
dapat mempengaruhi pemilih dalam mengambil keputusan. Gabungan kedua
elemen ini didapati pada penelitian dari Veer et al yang menggunakan variabel
penggunaan endorser berbeda dan dimoderasi oleh identity salience pemilih yang
menunjukan hasil korelasi positif dalam penentuan sikap pemilih.
Penelitian ini melihat penggunaan beberapa tokoh sebagai endorser
mampu menarik minat pemilih untuk menggunakan hak votingnya. Mengadopsi
dan mengidentifikasi model penelitian dari Veer, Becirovic, dan Martin untuk
membedah fenomena. Modifikasi yang dilakukan berdasarkan penelitian dari
Veer, Becirovic, dan Martin luput yang menjelaskan perbedaan endorser secara
rinci, sehingga definisi endorser yang digunakan dikhawatirkan melebur. Veer et
al menggunakan dua jenis endorser saja, yakni celebrity endorser dan noncelebrity endorser. Untuk memaksimalkan model penelitian sebelumnya,
penelitian ini menyediakan 3 tipe endorser berbeda yakni celebrity (mereka yang
terkenal karena media tapi tidak memiliki kompetensi politik memadai), expert
(mereka yang merupakan ahli di bidang politik, terbukti dengan jabatan
fungsional dan achievement selama berkarir), celeb-expert (tipe hybrid gabungan
dari kedua tipe endorser sebelumnya, yakni mereka yang ahli dan terkenal). Dari
penelitian Veer et al, penggunaan endorser berbeda pada iklan dan dimoderasi
oleh identity salience pemilih telah terbukti memiliki pengaruh pada sikap dan
8
perilaku memilih. Sama dengan penelitian Veer yang menggunakan metode
eksperimental, penelitian ini juga menggunakan desain eksperimental. Bedanya
ada pada desain faktorial yang dipakai, yakni dengan notasi 4 x 2 untuk
membantu membedah fenomena.
F. Kerangka Pemikiran
Belum terdapat teori besar yang mampu dipakai untuk menjelaskan
hubungan antara kehadiran endorser, sikap dan perilaku memilih yang dimoderasi
identity salience. Tujuan utama penelitian ini adalah menguji peran yang bisa
didapatkan lewat dukungan endorser pada keinginan pemilih berdasarkan level
identity salience yang berbeda. Iklan politik berendorser digunakan untuk
mempersuasi pemilih agar memberikan suaranya. Proses ini dijelaskan dengan
pemahaman endorser dapat memberi efek tertentu dinilai dari identity salience
pemilih.
Pengambilan sikap dan perubahan perilaku dipengaruhi oleh banyak hal.
Perubahan tersebut seringkali diawali dan dipengaruhi oleh banyaknya
rangsangan (stimulus) dari luar dirinya, baik berupa rangsangan pemasaran
maupun rangsangan dari lingkungan yang lain. Rangsangan tersebut kemudian
diproses (diolah) dalam diri, sesuai dengan karakteristik pribadinya, sebelum
akhirnya
mengambil
keputusan.
Karakteristik
pribadi
konsumen
yang
dipergunakan untuk memproses rangsangan tersebut sangat unik, salah satunya
adalah identity salience.
9
Isu salience sebelumnya pernah diteliti oleh Repass (1971), dan juga
Pogorelis (2005) dimana terdapat hubungan antara salience dengan keluaran hasil
suara pemilu. Meski demikian, sedikit penelitian yang menyinggung mengenai
efektifitas endorsement bersama identity salience. Penelitian ini bertujuan untuk
menambah literatur atas celah tersebut dengan cara memberikan pemahaman
teoritis bagaimana konsumer (pemilih) dengan identity salience berbeda bereaksi
dengan tipe dukungan dari endorser yang berbeda pula. Pemain politik perlu
memahami bagaimana efek dukungan dari endorser berpengaruh pada pemilih,
dengan begitu kampanye politik yang dilakukan bisa lebih efisien.
Penelitian ini menekankan pada Theoritical Generalization. Dimana
temuan data empiris mengenai teori dan penelitian sebelumnya digeneralisasikan
pada teori abstrak (Neuman, 2011: 302). Dari sini peneliti ditantang untuk secara
akurat menginterpretasikan konsep dan relasi serta teori abstrak yang digunakan
untuk mengukur dan mengatur aktivitas dari eksperimen. Peneliti menggabungkan
hasil temuan sebelumnya dari peneliti lain dan middle class theory sebagai alat
untuk menjelaskan korelasi atas pengaruh penggunaan endorser berbeda pada
iklan partai politik yang dimoderasi identity salience pemilih.
Politik dan pemakaian endorser sebagai bentuk dukungan banyak dipakai
di negara dunia. Seperti penggunaan endorser celebrity Amerika Serikat berupa
aktor, musisi, dan tokoh berpengaruh lainnya yang membuat kalimat pernyataan
dukungan dengan tujuan mempengaruhi opini dan perilaku publik. Begitu juga
yang terjadi di New Zealand, para celebrity berdiri di gardu depan sebagai vote
getter. Di Indonesia fenomena ini mulai terlihat saat 2009, dimana Sujiwo Tejo
10
memberikan statement dukungan JK-Win. Menjelang pemilu 2014, banyak partai
menggandeng celebrity untuk menjadi daya tarik dengan menjadikan celebrity
calon legislatif dari partainya. Tapi bukan itu yang dimaksud dalam penelitian ini.
Celebrity yang dimaksud sebagai endorser adalah, mereka yang secara luas
mendukung suatu partai tanpa menjadi bagian dari sistem pemerintahan lewat
partai. Singkatnya, celebrity bisa juga melakukan kegiatan endorsements dan
berperan votr getter saat kampanye berlangsung. Tapi baru sedikit diketahui
mengenai efektifitas dari bentuk dukungan celebrity seperti ini ataupun mengenai
tipe warga negara yang bisa berpindah pilihan partai karena dukungan dari seleb
yang populer.
Terdapat penelitian yang menjelaskan bahwa orang muda lebih rentan
pada bentuk dukungan politik dari celebrity (Kwak et al, 2004: Jackson dan
Darrow, 2005). Sebaliknya, jika kita menilik teori Ohanian (1991) mengenai
atribut endorser, bahwa source of credibility merupakan faktor terpenting, dasar
kompetensi mereka bukanlah politik, maka dari sini seharusnya kaum celebrity
menjadi tidak terlalu mumpuni untuk meraih suara pemilih yang memiliki identity
salience tinggi. Celebrity memang lebih terkenal dibanding para expert, tapi
karena sedikitnya kompetensi di bidang politik menjadikan penggunaan celebrity
sebagai endorser tidak menunjukan kenaikan sikap dan perilaku pemilih secara
signifikan. Selain itu, dukungan dari celebrity endorser dapat menjadi tidak
berpengaruh besar pada mereka yang memiliki perhatian besar pada politik.
Selain penggunaan endorser, terdapat
satu variabel lagi yang
mempengaruhi pemilih menentukan sikap, yakni salience dari diri seseorang
11
terhadap politik. Salience8 berangkat dari ilmu psikologi sosial. Konsepnya
adalah, salience berasosiasi dengan kemampuan orang untuk mengambil
keputusan ditengah lingkungannya (Guido, 1998). Muncul argumentasi bahwa
salience mengaktivasi dari identitas dalam situasi tertentu. Pendapat ini
dikemukakan oleh Oakes (1987) yang menjelaskan bahwa konstruksi salience
dalam psikologi seseorang mempengaruhi perilaku orang tersebut.
Penelitian mengenai salience terbatas di penelitian bidang politik.
Wlezien
(2005)
pernah
mencoba
menjelaskan
bahwa
standar
untuk
mendefinisikan salience dalam politik masih fungsional, dia fokus pada isu politik
mana yang pemilih anggap penting bagi negara. Sedangkan Repass (1971) pernah
menyatakan bahwa isu bukanlah elemen penting dalam penetetapan sikap pemilih.
Dilengkapi oleh penelitian Duncan (2005) yang menemukan bahwa salience
berguna sebagai self-schema dalam memproses informasi politik. Penelitian
tersebut menemukan korelasi positif antara personal political salience dan
pemrosesan ideologi atau posisi politik.
Dalam penelitian ini salience seseorang dibidang politik (selanjutnya
disebut identity salience) bukanlah mengenai isu yang muncul, melainkan
internalisasi keterkaitan diri dengan politik lewat identitas diri yang “dipanggil”
pada saat proses melakukan pilihan sikap dan perilaku memilih. Penelitian dari
Veer, Becirovic, dan Martin (2010) sudah menguji kaitan identity salience dengan
sikap dan perilaku memilih. Identity salience tiap orang berbeda-beda, dalam
8
Hogg et al (1995: 266) menyebutkan bahwa salience dijelaskan menggunakan Identity Theory
dan Social Identity Theory. Identity Theory mengemukakan bahwa seseorang memiliki beberapa
identitas dalam satu waktu. Sedangkan Social Identity Theory menjelaskan bahwa kategori sosial
(kewarganegaraan, afiliasi politik) seseorang membantu menjelaskan diri, digunakan untuk
menjelaskan group processes dan inter-group relations.
12
skala tingkatan tinggi dan rendah, dia menemukan bahwa voter dengan identity
salience rendah lebih memilih partai politik jika celebrity endorser digunakan,
begitu juga sebaliknya. Pemilih dengan identity salience tinggi tidak terpengaruh
saat celebrity endorser digunakan dalam iklan.
Maka, dalam penelitian ini kehadiran endorser dijelaskan melalui tipe
yang muncul serta atribut endorser diukur dengan Source Model Theory ( source
of attractiveness dan source of credibility), identity salience dari individu
dijelaskan menggunakan Identity Theory yang dioperasionalkan lewat model
penelitian private self-consciousness dan role-identity salience, lalu sikap dan
perilaku memilih dijelaskan melalui Stimulus-Responses Theory dan Attitude
Theory dan diukur menggunakan brand attitude dengan pertimbangan pada
pengaplikasian partai politik sebagai brand. Berikut ini penjelasan konsep-konsep
yang dipakai:
1.
Komunikasi Pemasaran Politik
Nickles (dalam Dharmesta, 1990 : 56), menyebutkan komunikasi
pemasaran merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pembeli dan
penjual yang sangat membantu dalam pengambilan keputusan di bidang
pemasaran, serta mengarahkan pertukaran agar lebih memuaskan dengan cara
menyadarkan semua pihak untuk berbuat lebih baik. Definisi ini menyatakan
bahwa komunikasi pemasaran merupakan pertukaran informasi dua arah antara
pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang terlibat dalam pemasaran. Pihak-pihak
13
yang terlibat akan mendengarkan, beraksi dan berbicara sehingga tercipta
hubungan pertukaran yang memuaskan.
Bauran komunikasi pemasaran ini selalu dikaitkan dengan penyampaian
sejumlah pesan dan penggunaan visual yang tepat sebagai syarat utama
keberhasilan dari sebuah program promosi. Tahapan-tahapan komunikasi dan
strategi pesan disusun berdasarkan pencapaian kesadaran atas keberadaan sebuah
produk atau jasa (awareness), menumbuhkan sebuah keinginan untuk memiliki
atau mendapatkan produk (interest), samapai dengan mempertahankan loyalitas
pelanggan. Dalam kajian komunikasi tahapan tersebut dikenal dengan rumusan
AIDDA (Attention, Interest, Desire, Decision, and Action ). Tujuan komunikasi
secara umum adalah untuk mencapai sejumlah perubahan seperti, perubahan
pengetahuan (knowledge change ), perubahan sikap ( attitude change ), perubahan
perilaku (behaviour change ) dan perubahan masyarakat (social change)
(Soemanagara, 2006 : 3). Pemasaran komunikasi politik memiliki tujuan yang
sama dengan pemasaran secara umum, dimana kegiatan pemasaran politik ingin
mendapatkan suara dari pemilih sebagai bentuk perubahan perilaku.
2.
Iklan dalam Media Cetak
Penelitian ini menggunakan iklan cetak sebagai medium eksperimen.
Sarana atau elemen yang terdapat di media cetak memang tidak selengkap dengan
elemen yang terdapat di media televisi. Di media cetak kita tidak bisa
mendapatkan audio ataupun gambar yang bergerak. Namun di media ini kita
mempunyai elemen yang tidak dimiliki oleh media lain, yaitu space yang dapat
14
dipergunakan relatif lebih lama dibandingkan dengan media lainnya. Selain space
yang lama, elemen yang terdapat di media cetak adalah visual dan copy. Memang
elemen yang terdapat di media cetak tidak selengkap seperti di media telivisi
commercial . Namun dengan space yang relatif lebih lama, maka media cetak juga
dapat berkomunikasi jauh lebih lama dengan pembaca. Hampir sama dengan
telivisi commercial, media cetak juga memiliki sub-elemen yang terdiri dari:
a) Headline atau judul yang menjadi senjata awal dalam menarik
perhatian.
b) Bodycopy atau teks yang memberikan informasi lebih rinci tentang
produk atau jasa yang akan dijual.
c) Ilustrasi yang berupa gambar atau foto orang model atau apa pun yang
berkaitan dengan konsep kreatif dan atau foto produk itu sendiri.
d) Product shoot atau foto produk atau dapat menampilkan brand produk.
Dalam product shoot ini bisa saja merupakan ilustrasi utama.
e) Baseline yang bisanya terletak paling bawah di layout iklan. Di bagian
bawah ini bisa dimasukkan, slogan, cath phrase, atau nama dan alamat
perusahaan pengiklan. (Hakim, 2003:55)
Keunggulan dari media cetak adalah pengiklan dapat memilih target
audience yang sesuai dengan produk yang ditawarkan. Selain itu dengan media
cetak, karena mempunyai masa hidup atau masa komunikasi yang lebih lama.
Iklan cetak yang ideal harus memiliki interrupt power atau stoping power.
Interrupt power adalah kemampuan iklan untuk merampas perhatian pembaca
agar tertarik untuk melihat iklan tersebut lebih lama. Hal tersebut dapat dilakukan
15
dengan menggunakan headline ataupun visual yang mencolok. Namun kemudian
terjadi perdebatan tentang manakah yang lebih penting dalam iklan cetak, copy
atau visual. Menurut Budiman Hakim dalam bukunya Lanturan Tapi Relevant, dia
menjawab bahwa yang paling penting adalah gabungan atau kerjasama dari
keduannya. Copy dan visual hanyalah kendaraan untuk menciptakan sebuah iklan
yang bagus dan menarik. Visual adalah gambar yang bercerita, jadi berfungsi
seperti copy. Sedangkan copy, ketika dituliskan dalam print dapat pula berfungsi
sebagai visual. Jadi tidak ada bedanya antara copy dan visual. Iklan dengan copy
impact atau visual impact sama saja yang terpenting adalah ide dari iklan itu
sendiri.
3.
Endorser
Endorser brand sering dimunculkan dalam iklan. Endorser adalah ikon
atau sosok tertentu yang sering juga disebut sebagai direct source (sumber
langsung) untuk mengantarkan sebuah pesan dan atau memperagakan sebuah
produk atau jasa dalam kegiatan promosi yang bertujuan untuk mendukung
efektifitas penyampaian pesan produk (Belch dan Belch, 2004:168). Tapi tidak
semua orang atau ikon yang menjadi bintang iklan bisa disebut seabagai endorser.
Endorser berguna untuk mengkomunikasikan pesan dari institusi yang
menggunakannya. Nilai positif dari endorser memperkuat posisi brand di mata
pemilih. Saat konsumen melihat endorser, mereka menjadikan endorser sumber
informasi karena perannya sebagai yang menyampaikan pesan mengenai brand
yang diiklankan. Perusahaan (institusi partai) harus memilih endorser yang
memiliki kredibilitas dan sesuai dengan produk yang diiklankan sehingga iklan itu
16
bisa sampai konsumen yang dapat membentuk opini dan mereka akan meneruskan
opini tersebut sesuai dengan persepsi masing-masing, dengan demikian
diharapkan akan bertambahnya kesadaran kesadaran audiens akan adanya produk.
Idealnya penggunaan endorser memberikan asosiasi positif antara produk
dengan endorser. Hasilnya adalah konsumen (pemilih) dapat jelas mengingat dan
mengenali sebuah brand. Identifikasi brand yang jelas dapat mengarah pada
pembelian (memilih partai). Endorser dalam penelitian ini adalah mereka yang
muncul di dalam iklan politik.
Terdapat penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa penggunaan
endorser dari celebrity dapat digunakan untuk mendorong suara untuk partai
politik Inggris untuk orang-orang yang tidak tertarik pada politik. Namun, dengan
menggunakan celebrity sebagai endorser tidak menunjukkan peningkatan yang
signifikan dalam perilaku pemilih (Veer, Becirovic, dan Martin, 2010: 445).
Untuk kepentingan penelitian ini, peneliti menggunakan 3 endorser yakni
celebrity, expert, dan celeb-expert. Dua endorser diawal merupakan model
endorser yang sering dipakai, sedangkan bentuk celeb-expert merupakan
perluasan dari fenomena dalam inti penelitian. Celeb-Expert secara teori mereka
nantinya memiliki banyak nilai plus bentuk menghingat endorser ini adalah
bentukan hybrid dari celebrity endorser dan expert endorser.
4.
Celebrity Endorser
McCracken (1989: 310) mendefinisikan seorang celebrity endorser
sebagai setiap individu yang dikenal publik dan menggunakan faktor ini sebagai
bagian dari produk untuk mempertunjukkanya pada iklan. Celebrity endorser
17
adalah individu yang dikenal masyarakat (bintang film, model, atlit) atas
prestasinya dibidang tersebut, yang pada umumnya menarik dan disukai.
Landasan dasar definisi celebrity adalah recognition (Shostak dalam
Pozorski, 2012: 86). Status celebrity datang dalam tiga bentuk: ascribed (berasal),
achieved (dicapai), attributed (disebabkan) (Rojek, 2001:17). Ascribed celebrty
dikaitkan dengan blood-line. Seperti Prince William, Putri Sultan, dan Alya
Rajasa. Kebalikannya, achieved celebrity didapatkan dari usaha keras di kompetisi
terbuka. Sebut saja Brad Pitt, Susi Susanti dan Dewa Budjana. Masyarakat umum
melihat mereka sebagai orang-orang yang memiliki bakat dan kemampuan
khusus. Attributed celebrity didapatkan dari kolaborasi achieved celebrity dan
dihasilkan lewat representasi terkonsentrasi dari seorang individu yang dicatat
atau luar biasa oleh perantara budaya. Kenapa celebrity bisa dicipta dari atribusi?
Jawabannya adalah karena media yang sensasional (Rojek, 2001:18)
Celebrity adalah seseorang yang memiliki karakter dan nilai yang kuat
dan telah dikenal masyarakat, jadi jika celebrity digunakan untuk mengendorse
brand hal ini merupakan strategi awal untuk memperkenalkan brand bagi institusi
partai. Celebrity yang digunakan sebagai endorser adalah artis, entertainer, dan
publik figur yang banyak diketahui masyarakat dan memiliki kesuksesan
dibidangnya (Shimp, 2002: 455). Berdasarkan KBBI, Se-le-bri-ti: (n) orang yang
masyhur (biasanya tt artis) Ar-tis: (n) ahli seni; seniman, seniwati (spt penyanyi,
pemain film, pelukis, pemain drama). Jadi celebrity tidak sama dengan artis.
Sonwalker, Kapse dan Pathak (2001: 32) menyebutkan bahwa
endorsement adalah sebuah bentuk komunikasi dimana seorang celebrity
18
bertindak ksebagai juru bicara dari sebuah produk atau merk tertentu. Celebrity
bertindak sebagai endorser. Nilai tambahan dari penggunaan endorsement adalah
celebrity dapat dengan jelas memposisikan brand yang diwakilinya sesuai dengan
kepribadian dan popularitas yang mereka miliki. Penelitian ini mendefinisikan
celebrity sebagai well-known person yang bukan expert di bidang politik.
5.
Expert Endorser
Seorang ahli (expert) didefinisikan sebagai sumber dengan pernyataan
tegas dan valid. Expert endorser memiliki pengetahuan mendalam terhadap
produk yang diiklankannya. Expert endorser efektif karena sifat komunikasi yang
dihasilkan olehnya lebih disetujui daripada sifat komunikasi yang sama dengan
non-expert (Tedeschi, 1972 seperti dikutip Biswas et al 2006: 23).
Penelitian ini mendefiniskan endorser yang tergolong expert adalah
mereka yang terkenal karena pengetahuan, pengalaman atau kompetensi mereka
atas suatu subjek9.
Untuk mendukung status mereka, ahli harus memiliki
kredensial. Misalnya diakui prestasinya, memiliki kualifikasi formal.
Pengiklan dapat menggunakan dukungan dari seorang ahli atau celebrity
asalkan memiliki alasan yang baik untuk percaya bahwa endorser terus menarik
pandangan konsumen. Saat iklan disajikan, pesan dari iklan dan kualifikasi dari
expert endorser harus seimbang sehingga pemahaman terhadap iklan bisa
sepenuhnya berhubungan. Saat menjadi bintang iklan, expert haruslah relevan
dengan produk yang didukung.
9
Federal Trade Commision. 2009. Guides Concerning the Use of Endorsements and Testimonials
in Advertising tersedia pada http://ftc.gov/os/2009/10/091005revisedendorsementguides.pdf
diakses tanggal 2 Mei 2013 pukul 04.38
19
6.
Celeb-Expert Endorser
Selama ini celebrity selalu dikaitkan dengan artis. Orang yang masyhur
karena media tidak harus artis. Seorang guru yang berdedikasi kepada muridmuridnya bisa disebut celebrity, seorang dokter yang menemukan vaksin untuk
strain virus baru bisa disebut celebrity.
Mulai bermunculan tokoh politik yang menjadi seorang expert yang terus
menerus disiarkan oleh media yang akhirnya naik pamor menjadi celebrity di
bidang politik seperti Joko Widodo, Anies Baswedan, Dahlan Iskan. Berdasarkan
fenomena ini kategori celeb-expert endorser peneliti gunakan untuk dijadikan
sebagai treatment. Celeb-expert endorser didefinisikan sebagai endorser dari
kalangan ahli yang juga terkenal karena media. Dikarenakan memiliki dua elemen
utama dari jenis endorser sebelumnya, yakni ahli sekaligus terkenal, celeb-expert
endorser bisa memiliki keunggulan lebih dari model sebelumnya.
7.
Atribut Endorser
Praktisi pemasaran dan periklanan berbagi keyakinan bahwa karakter
komunikator memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat persuasi pesan.
Sejumlah penelitian empiris menguji efektivitas penggunaan juru bicara yang
kredibel untuk meningkatkan persuasif pesan. Studi mengukur proses dimana
daya tarik endorser, kepercayaan, dan keahlian memediasi langsung dan atau
tidak langsung terkait perubahan sikap dan persuasi (Anderson dan Clevenger
1963; Bakerand Churchill, Jr.1977, Hovland dan Weiss 1951; Johnson, Torcivia,
20
dan Poprick 1968; Kelman dan Hovland 1953, Patzer 1983; Simon, Berkowitz,
dan Moyer 1970; Whittaker dan Meade 1968 dalam Ohanian, 1990: 40).
Jika digolongkan dalam dua dimensi utama, endorser memiliki dua
karakteristik. Atribut endorser yang sudah dikenalkan oleh Ohanian dan
dikembangkan Shimp yang diterjemahkan oleh Sahrial dan Anikasari (2003:468)
yaitu :
a) Attractiveness (Kemenarikan)
Kemenarikan tidak hanya berkaitan dengan daya tarik fisik tetapi juga
termasuk karakter yang luhur yang dipersepsikan oleh konsumen dalam
diri
endorser,
seperti:
kemampuan
intelektual,
kepribadian,
karakteristik, gaya hidup dan keahlian dalam bidang atletik. Konsep
umum kemenarikan terdiri dari 3 (tiga) gagasan yang berhubungan
dengan kesamaan (similarity), keakraban (familiarity), dan perasan suka
(liking), dengan catatan apabila konsumen terdapat kemenarikan. Pada
saat konsumen menemukan sesuatu yang mereka anggap menarik
dalam diri endorser, hal tersebut terjadi melalui proses identifikasi,
yaitu: ketika konsumen mempersepsikan endorser menarik, konsumen
akan memihak kepada (identify with) endorser. Tetapi bagaimanapun
endorser yang menarik akan lebih efektif hanya apabila image dari sang
endorser cocok dengan sifat dari produk yang diiklankan.
Faktor-faktor yang termasuk dalam dimensi Attractiveness menurut Ohanian
(1990:
90)
Adalah:
menarik
perhatian
(attractive),
cantik/tampan (beautiful), elegan (elegant), dan seksi (sexy)
21
berkelas
(classy),
b) Credibility (Kredibilitas)
Pada pengertian yang paling mendasar, kredibilitas mengarah kepada
kecenderungan untuk meyakini, mempercayai seseorang. Pada saat
sumber informasi, seperti seseorang endorser dipersepsikan kredibel,
sumber tersebut dapat mengubah sikap melalui proses psikologis yang
dinamakan internalisasi.
Dua peran penting dari kredibilitas endorser adalah:
1)
Keahlian (expertise)
Keahlian mengarah kepada pengetahuan, pengalaman atau keahlian
yang dimiliki oleh seorang endorser yang dihubungkan dengan
topik yang dikomunikasikan. Faktor-faktor yang termasuk dalam
dimensi expertise menurut
Ohanian adalah:
ahli (expert),
berpengalaman (experienced), berpengetahuan (knowledgeable),
berkualifikasi (qualified), dan memiliki kemampuan (skilled)
2)
Layak dipercaya (Trustworthiness)
Hal ini berhubungan dengan kejujuran, integritas, dan kepercayaan
atas diri endorser. Kelayakan dapat dipercaya pada endorser
tergantung kepada persepsi konsumen atas motivasi sang endorser.
Faktor-faktor yang termasuk dalam dimensi ini menurut Ohanian
adalah: bertanggung jawab (dependable), jujur (honest), dapat
diandalkan (reliable), tulus (sincere), dan dapat dipercaya
(trustworthy).
22
Pornpitakpan meneliti pengukuran skala kredibilitas menggunakan
sample Asia, ditemukan bahwa “sincere” tidak sesuai dengan wilayah Asia.
Melalui pertimbangan ini, maka indikator “sincere” tidak dipergunakan dalam
penelitian ini (Pornpitakpan, 2003: 185). Selain itu pada dimensi Credibility jika
ukurannya adalah bisa dipercaya atau tidak, serta menimbang karena jenis
endorser yang dipakai dalam penelitian ini bersandar pada atribut personal, maka
Expertise (keahlian) tidak diukur dalam dimensi Credibility.
Atribut-atribut di atas ini merupakan pecahan dari Source Model Theory
(SMT). SMT merupakan kombinasi dari teori Source of Credibility dan teori
Source of Attractiveness. Sesuai dengan SMT, dukungan menjadi lebih efektif
karena kombinasi antara kredibilitas dan kemenarikan diri endorser (Sternthal &
Craig, 1973 seperti dikutip Biswas et al, 2006: 17).
8.
Identity Salience
Identity salience dalam penelitian ini didefinisikan sebagai internalisasi
keterkaitan diri dengan politik, konsep diri seseorang memahami arti penting dari
politik. Berawal dari psikologi sosial, konsep salience paling sering dikaitkan
dengan kemampuan untuk berdiri keluar dari lingkungannya. Salience
merefleksikan kuantitas dan kualitas jaringan dari struktur memori yang orang
miliki mengenai banyak hal disekitarnya (Romaniuk & Sharp, 2004: 327).
Veer, Becirovic, dan Martin (2010: 444) menjelaskan Teori identitas dari
Turner, 1978; Stryker, 1968 dan Teori Identitas Sosial (Turner, 1987) adalah dua
perspektif berdasarkan konsep diri dan sifat perilaku normatif, yang meletakkan
23
dasar bagi spekulasi mengenai salience (Hogg et al, 1995: 255.). Teori Identitas
adalah teori mikro-sosiologis yang menetapkan untuk menjelaskan peran yang
berhubungan dengan perilaku individu, sedangkan teori identitas sosial mencoba
untuk menjelaskan proses kelompok dan hubungan antar kelompok. Kedua teori
memiliki penekanan teoritis utama pada "diri" multifaset dan dinamis yang
bertujuan untuk menjelaskan proses kelompok dan hubungan antar kelompok,
mengklaim bahwa "diri" mengambil berbagai role-identity (Hogg et al, 1995:
255).
Teori identitas menjelaskan bahwa orang memiliki beberapa identitas,
misalnya, seseorang dapat merefleksikan diri sendiri sebagai seorang pesepakbola,
fans rockband, seorang siswa (Michalski, 2007). Ini menunjukkan bahwa identitas
yang berbeda disusun secara hierarkis, berkaitan dengan kemungkinan bahwa
mereka akan menjadi dasar untuk bertindak. Karena sifatnya hirarkis mereka,
mereka peran identitas ditempatkan di bagian atas dari hirarki, yaitu identitas yang
menonjol lebih mungkin untuk “dipanggil/digunakan” dalam situasi tertentu
(Hogg, 1995: 257).
Ide dasar dari Teori Identitas Sosial adalah bahwa kategori sosial
(misalnya kebangsaan, afiliasi politik) seseorang berasal untuk memberikan
definisi siapa dia / dia (Stets dan Burke, 2000). Beberapa penelitian menggunakan
istilah salience untuk menunjukkan aktivasi identitas dalam bermacam situasi.
Oakes (1987: 118) mendefinisikan identitas sosial sebagai salah satu "yang
berfungsi secara psikologis untuk meningkatkan pengaruh keanggotaan seseorang
24
dalam kelompok itu pada persepsi dan perilaku". Oleh karena itu, konstruksi
menonjol dalam jiwa seseorang mempengaruhi perilaku seseorang.
Penelitian di salience menjadi lebih jelas dalam pemasaran. Studinya
telah menekankan identitas sosial dan konsep diri dan bagaimana konsep-konsep
ini “adoptable” untuk lingkup riset konsumen. Reed (2002) berpendapat
sosialisasi menyebabkan seseorang untuk menyadari sejumlah kategori sosial di
lingkungan sekitarnya, dan bahwa beberapa kategori berfungsi sebagai basis
potensial untuk definisi diri, membelah mereka menjadi dua kelompok utama,
permanen (misalnya ibu, anak perempuan) dan fana (guru, aktivis, mahasiswa).
Turner dan Oakes (1986) juga berpendapat bahwa teori identitas sosial berpotensi
menjadi pengambilan keputusan konsumsi dimulai dengan persepsi konsumen
dalam hal ini tingkat abstraksi. Hal ini telah didukung oleh Markus dan Kunda
(1986) dan McGuire et al. (1978), mengusulkan bahwa konsumen pada suatu titik
waktu tertentu akan memiliki subset yang tersedia dari kategori sosial sehingga
pada gilirannya dapat menjadi bagian dari kerja mereka atau konsep diri yang
keluar secara spontan.
Terdapat beberapa pendekatan mengenai identity salience. Pendekatan
standar untuk mendefinisikan identity salience adalah fungsional, Dengan
penelitian yang berfokus pada isu politik yang menurut pemilih paling penting
dihadapi bangsa (Wlezien, 2005: 555). Sedangkan dalam penelitian ini “isu”
bukanlah elemen yang dipertimbangkan mempengaruhi sikap dan perilaku
memilih. Duncan (2005) memberi pemahaman konsep dan pengoperasian
salience dalam kaitannya dengan sikap dan tindakan politik. Duncan meneliti
25
hubungan antara Personal Political Salience (PPS) sebagai skema diri dan
konsekuensi untuk kebutuhan proses informasi politik. Didefinisikan sebagai
kecenderungan untuk internalisasi, sebagai pusat diri seseorang, keterlibatan
dengan peristiwa politik, isu-isu atau ideologi (Duncan, 2005: 76). Tipe salience
ini lebih dari sekedar mengikuti politik atau memegang pendapat politik.
Maksudnya adalah investasi emosional yang lebih dalam isu dan peristiwa yang
terjadi dalam lingkup lebih besar. Maka, PPS menjelaskan disposisi kepribadian
yang lebih umum untuk atribut makna atas keterlibatan emosional dan pentingnya
politik.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan hubungan positif antara PPS dan
pemrosesan secara cepat atas data posisi politik dan ideologi. Responden yang
memiliki skor PPS tinggi, mempertimbangkan relevansi data politik dengan
dirinya sehingga mengolah informasi politik lebih efektif. Responden dengan skor
PPS tinggi memiliki pemahaman lebih baik saat melihat korelasi kejadian politik
dan kehidupan sehari-hari, mereka memproses informasi tersebut ke tingkat yang
lebih tinggi. Tingkat pemrosesan informasi serupa dapat mempengaruhi sikap dan
perilaku memilih responden saat melihat iklan partai politik.
Personal Political Salience (PPS) diusulkan sebagai karakteristik
kepribadian yang menilai hubungan individu dari peristiwa politik dengan
identitas pribadi mereka. PPS ditunjukkan untuk memprediksi tindakan politik
dan juga untuk menyediakan link antara kepribadian group memberships, identitas
kolektif politik, dan partisipasi politik. (Duncan dan Stewart, 2007: 143).
26
Salience dijelaskan dengan konsep diri dan perilaku normatif (Hogg et al,
1995). Dimana konsep diri diwakili oleh Teori Identitas dan perilaku normatif.
Dengan demikian, untuk menghitung tingkat identity salience pemilih dalam
penelitian ini menggunakan Teori Identitas yang dioperasikan dengan: Pertama,
identity salience murni yang sudah diadaptasi untuk fokus ke isu politik. Identity
salience dioperasionalkan menggunakan model private self-conciousness dari
Fenigstein, et al (1975) yang sudah direvisi oleh Sheier dan Carver (1985). Revisi
dilakukan dengan tujuan agar dapat diaplikasikan pada populasi yang lebih luas,
selain itu karena sebelumnya bahasa yang digunakan susah dipahami
(membingungkan) (1985: 688). Kedua, dioperasikan oleh Role-Identity Salience
menggunakan studi Callero (1985) dalam (Veer, Becirovic, dan Martin, 2010:
442). Pemilihan Callero sebagai salah satu rujukan karena mempertimbangkan
hasil yang didapat menunjukkan relasi signifikan dari salience dan self definitions.
Berdasarkan penjelasan di atas, identity salience dalam penelitian ini
dapat didefinisikan sebagai internalisasi keterkaitan diri dengan politik, konsep
diri seseorang memahami arti penting dari politik.
9.
Sikap dan Perilaku Memilih
Saat sampel penelitian diberi perlakuan dengan diminta melihat iklan
partai politik, respon mereka diteliti melalui sikap yang dihasilkan. Definisi sikap
menurut Edwards dalam Azwar (2011:5) merupakan derajat affect positive atau
negative terhadap suatu objek psikologi. Sedangkan menurut Secord dan Becman
dalam Azwar (2011:5), sikap didefinisikan sebagai keturunan tertentu dalam hal
27
perasaan, pemikiran, dan memberi kecenderungan tindakan seseorang terhadap
suatu aspek di lingkungan sekitar.
Sikap sebagai suatu evaluasi menyeluruh yang memungkinkan orang
berespons dengan cara menguntungkan atau tidak menguntungkan secara
konsisten berkenaan dengan objek atau alternatif yang diberikan. Sikap atau
attitude merupakan konsep penting yang bisa dijelaskan oleh Stimulus-Responses
Theory dimana sikap dijelaskan sebagai kesediaan seseorang bertingkah laku
tertentu jika mendapat rangsangan tertentu. Dilengkapi dengan Attitude Theory
dengan klasifikasi Functional Theory yang menjelaskan proses identifikasi dan
internalisasi mengakibatkan perubahan attitude.
Pilihan sikap secara keseluruhan dapat disandingkan dengan konsep
attitude dalam marketing. Attitude dalam marketing didefinisikan sebagai evalusi
penuh dari suatu produk (Solomon, 2008). Perilaku konsumen terdiri dari
kepercayaan, perasaan, dan niat perilaku terhadap objek yang diiklankan. Konsep
tersebut dijelaskan oleh Perner (2010) yang diiringi penjelasan bahwa konsumen
bisa memiliki penilaian negatif atau positif terhadap produk. Maka, bentuk
operasional sikap dan perilaku memilih dihitung menggunakan model brand
attitude.
Kegiatan pemasaran didalamnya ada brand attitude yang berkaitan
dengan evaluasi yang menyeluruh terhadap suatu merek dan membentuk dasar
yang digunakan konsumen dalam keputusan dan perilakunya. Objek yang
dievaluasi oleh konsumen adalah pada persepsi konsumen akan kemampuan
merek untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Evaluasi yang menyeluruh akan
28
menghasilkan pemikiran dan perasaan yang berbeda antara konsumen yang satu
dengan konsumen yang lainnya. Evaluasi terhadap merek diaktivasi oleh
kesesuaian antara merek dengan konsep. Brand image yang positif dapat diukur
melalui tanggapan konsumen tentang asosiasi merek.
Tujuan utama iklan adalah attitude change. Attitude sendiri terdiri dari
komponen, yakni cognitive atau knowledge, kemudian affective atau liking,
kemudian yang terakhir adalah intention dan action (Mars-e, 2007 : 1). Kaitannya
dengan voting behavior maka dapat diwakili oleh pengetahuan, sikap, dan
perilaku. Sikap memiliki peran dalam membentuk perilaku. Sikap juga berguna
bagi evaluasi pemasaran karena dapat digunakan untuk menilai keefektifan
kegiatan pemasaran. Sebuah iklan yang dirancang untuk menaikkan voting
dengan meningkatkan sikap konsumen. Sikap yang dibentuk terhadap iklan harus
pula dipertimbangkan karena dapat menentukan daya bujuk iklan yang
bersangkutan (Engel, Blackwell dan Miniard, 1994 : 52). Evaluasi yang
digunakan mencakup sikap dan perilaku memilih terhadap partai, endorser, iklan,
dan keinginan memilih.
Bandura dan Walters dalam Sarwono 2006: 27-28 menyatakan bahwa
tingkah laku tiruan merupakan suatu bentuk asosiasi suatu rangsang dengan
rangsang lainnya. Ditambahi oleh Ajzen dan Fishbein dalama Azwar (2011:11)
sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang
teliti dan beralasan yang dampaknya terbatas di tiga kategori. Pertama, perilaku
tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi dari sikap yang spesifik terhadap
sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga norma
29
subjektif yakni keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita
perbuat. Terakhir, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma subjektif
membentuk suatu niat berperilaku tertentu. Begitulah proses yang dilakukan oleh
pemilih saat memutuskan sikap menggunakan hak pilih untuk mendukung partai
tertentu. Sikap dapat terjadi terhadap situasi, orang, kelompok, partai, nilai, dan
semua yang terdapat di sekitar manusia (Sarwono, 2006: 19-41).
G. Kerangka Konseptual
Berdasarkan pada kerangka pemikiran di sub sebelumnya, maka dapat
dikatakan bahwa yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini dalah sikap
dan perilaku memilih. Sikap dan perilaku memilih mengadopsi konsep “sikap”
dan perilaku memilih dari ranah psikologi. Jika diberi definisi masing-masing,
sikap merupakan derajat affect positive atau negative yang terhadap suatu
objek.(Edwards dalam Azwar (2011:5). Sedangkan menurut Secord dan Becman
dalam Azwar (2011:5), sikap didefinisikan sebagai keturunan tertentu dalam hal
perasaan, pemikiran, dan memberi kecenderungan tindakan seseorang terhadap
suatu aspek di lingkungan sekitar. Sedangkan untuk perilaku memilih yang
merupakan attitudinal stage “behavioural” dapat dijelaskan dengan model
hirearki efek purchase intentions. Yakni adalah merupakan asosiasi psikologis
responden terhadap brand (partai) yang diiklankan. Maka, gabungan dari dua
konsep ini mengasilkan evaluasi yang dilakukan secara menyeluruh terhadap
suatu brand dan membentuk dasar yang digunakan konsumen dalam keputusan
dan perilaku yang dihasilkan. Sikap dan perilaku memilih dilihat dari pernyataan
dan evaluasi responden terhadap iklan dengan tipe endorser berbeda.
30
Sedangkan komponen yang diasumsikan mempengaruhi terbentuknya
sikap dan perilaku memilih dikelompokkan dalam:
1. Kehadiran Endorser (Variabel Bebas), yang meliputi tipe endorser dan
atribut endorser.
a) Tipe Endorser: jenis endorser yang dipakai dalam iklan. Yakni berupa
celebrity sebagai setiap individu yang dikenal publik dan menggunakan
faktor ini sebagai bagian dari produk untuk mempertunjukkanya pada
iklan), expert (expert endorser memiliki pengetahuan mendalam
terhadap brand yang diiklankannya), celeb-expert, atau iklan tanpa
endorser yang digunakan sebagai treatment kontrol.
b) Atribut Endorser
1) Source of Attractiveness
Konsep umum kemenarikan terdiri dari 3 (tiga) gagasan yang
berhubungan dengan kesamaan (similarity), keakraban (familiarity),
dan perasan suka (liking). Dimensi kemenarikan dari endorser berupa
daya tarik fisik dan karakter.
2) Source of Credibility
Dimensi ini mengarah pada kecenderungan untuk meyakini dan
mempercayai endorser. Pada saat sumber informasi, seperti seseorang
endorser dipersepsikan kredibel, sumber tersebut dapat mengubah sikap
melalui proses psikologis yang dinamakan internalisasi.
31
2. Tingkat Identity Salience (Variabel Moderator), yang meliputi Identity dan
Role-Identity. Identity salience dalam penelitian ini didefinisikan sebagai
internalisasi nilai keterkaitan diri dengan politik yang didapat saat merecall
identitasnya sebagai pemilih. Identity salience dijelaskan dengan konsep diri
dan perilaku normatif (Hogg et, 1995: 255). Sebelumnya telah ada penelitian
mengenai identity salience dengan sikap politik, yakni penelitian terbaru dari
Duncan dan Stewart (2007; 143) yang membuktikan adanya hubungan
Personal Political Salience (PPS) dengan kecenderungan individu untuk
mengambil tindakan politik dan ideologi. Duncan10 juga pernah melakukan
penelitian serupa sebelumnya, yang menunjukkan hubungan positif antara PPS
dan pemrosesan data posisi politik dan ideologi secara cepat. Responden yang
memiliki skor PPS tinggi, mempertimbangkan relevansi data politik dengan
dirinya sehingga mengolah informasi politik lebih efektif. Responden dengan
skor PPS tinggi memiliki pemahaman lebih baik saat melihat korelasi kejadian
politik dan kehidupan sehari-hari, mereka memproses informasi tersebut ke
tingkat yang lebih tinggi. Konsep tingkat identity salience pemilih dalam
penelitian ini menggunakan Teori Identitas dan identity salience murni yang
sudah diadaptasi untuk fokus ke isu politik. Tingkatan identity salience pemilih
menghasilkan respon yang berbeda dan nantinya dapat mempengaruhi sikap
dan perilaku memilih responden saat melihat iklan politik.
10
Tahun 2005, Duncan sudah meneliti mengenai Personal Political Salience (PPS) yang juga
dipakai peneliti sebagai bahan acuan dalam penelitian ini. Duncan menemukan PPS sebagai
kerangka diri yang disebabkan oleh pengolahan informasi politik.
32
H. Model Analisa
Dari Pemaparan baik dari kerangka pemikiran dan kerangka konseptual,
menunjukkan adanya korelasi variabel bebas dan variabel terikat dan dimoderasi
dengan munculnya variabel moderator. Sehingga model analisa dalam penelitian
ini sebagai berikut:
Bagan 1.1
Alur Logika Penelitian
Variabel Bebas
Kehadiran Endorser
Tipe Endorser: celebrity,
expert, celeb-expert
Atribut Endorser: Source
of Attractiveness &
Credibility
→
Variabel Terikat
Sikap dan perilaku
memilih
Sikap pada Iklan
Sikap pada Endorser
Sikap pada Brand
Keinginan Memilih
↑
Variabel Moderator
Tingkat Identity Salience
Identity & Role-Identity
Salience
I. Definisi Operasional
1. Kehadiran Endorser
Dalam iklan partai politik yang digunakan, terdapat endorser. Endorser tersebut
dibedakan menurut tipenya dan dinilai kapasitasnya lewat atribut.
a) Tipe Endorser
Celebrity endorser (Raisa), expert endorser (Natalia Soebagjo), celeb-expert
endorser (Anies Baswedan), non-endorser
b) Atribut Endorser
1) Attractiveness (Kemenarikan)
33
Faktor-faktor yang termasuk dalam dimensi attractiveness menurut Ohanian
adalah:
menarik
perhatian
(attractive),
berkelas
(classy),
cantik/tampan
(beautiful), elegan (elegant), dan seksi (sexy)
2) Credibility (Kepercayaan)
Bertanggung jawab (dependable), jujur (honest), dapat diandalkan (reliable), dan
dapat dipercaya (trustworthy).
2. Tingkat Identity Salience
Berdasarkan dari pengembangan Teori Identitas, tingkat identity salience diukur
lewat identity dan role-identity salience. Identity menggunakan penelitian model
private self-consciousness dari Fenigstein dan role identity salience dari Callero
yang sudah diadaptasikan ke bahasan politik. Pemilihan dua dimensi ini
berdasarkan fungsinya dalam menjabarkan self definitions. Indikator yang dipakai
berupa kalimat pernyataan, yakni:
1.
Private Self-Consciousness
 “Saya berusaha memahami preferensi politik diri sendiri”
 “Saya melihat ke belakang untuk introspeksi mengenai pilihan politik”
 “Saya memiliki pemahaman untuk menyelesaikan masalah politik”

2.
“Saya waspada terhadap perubahan di kancah politik”
Role-Identity Salience
 “Saya merasa kehilangan jika saya dipaksa untuk tidak memilih”
 “Bagi saya menjadi pemilih lebih dari sekedar masuk ke bilik suara”
34
3. Sikap dan Perilaku Pemilih
Menggunakan konsep dari stimulus-response theory dan attitude theory, indikator
yang digunakan pada awalnya dirancang untuk mengukur brand attitude untuk
mengevaluasi brand secara lengkap dan dianggap cocok untuk diaplikasikan pada
partai politik sebagai brand. Mengadopsi sistem perhitungan dari Veer, Becirovic,
dan Martin (2010), brand attitude diukur dengan skala likert, dimana di dalam
komponen tersebut ada attitude terhadap iklan, pada endorser, terhadap brand
(partai), dan purchase intention (keinginan memilih). Selain itu, penggunaan skala
disesuaikan dengan tujuan penelitian yang sebagai rujukan polaritas evaluasi.
Sikap dan perilaku memilih yang dihitung adalah dalam operasionalisasi brand
attitude, yakni:
1. Penggunaan indikator untuk mengetahui sikap terhadap iklan dapat dinilai
dengan menggunakan empat kategori:
a. "buruk/baik"
b. "tidak suka/suka"
c. “tidak kreatif/kreatif”
d. "tidak menarik/menarik" (Teng,Laroche,dan Zhu,2007: 33)
2. Sikap terhadap endorser dinilai menggunakan lima:
a. “tidak dapat dipercaya/bisa dipercaya”
b. “tidak menarik/menarik”
c. “tidak kompeten/kompeten”
d. “tidak meyakinkan/meyakinkan”
35
e. “tidak menyenangkan/menyenangkan” (Williams dan Qualls,
1989
3. Sikap terhadap partai (brand) dinilai menggunakan tiga: (Yi, 1990: 44)
a. "buruk/baik"
b. "tidak berkualitas/berkualitas"
c. "tidak suka/suka".
4. Akhirnya, keinginan memilih (mengadopsi purchase intention) diukur
dengan menggunakan berupa satu pertanyaan dari Mei-Fang Chen(2008:
561)
a. ”Jika partai yang dimaksud dapat saya temui bilik suara, saya
berencana untuk? Sangat menghindarinya/Sangat Mencarinya
Dikombinasikan dengan satu pertanyaan dari Dodds et al(1991: 310):
b. “Keinginan
saya
untuk
memilih
produk
ini?
Sangat
rendah/Sangat tinggi
J. Hipotesis
H1.0 Tidak Terdapat perbedaan sikap dan perilaku memilih pada iklan yang
menggunakan endorser berbeda
H1.1 Terdapat perbedaan sikap dan perilaku memilih pada iklan yang
menggunakan endorser berbeda
H2.0 Tidak terdapat perbedaan sikap dan perilaku memilih pada iklan yang
menggunakan endorser berbeda yang dimoderasi dengan identity salience
pemilih
36
H2.1 Terdapat perbedaan sikap dan perilaku memilih pada iklan yang
menggunakan endorser berbeda yang dimoderasi dengan identity salience
pemilih
H3.0 Pemilih yang memiliki tingkat identity salience rendah tidak
menunjukkan evaluasi paling positif terhadap sikap dan perilaku memilih
saat celebrity endorser digunakan
H3.1 Pemilih yang memiliki tingkat identity salience rendah menunjukkan
evaluasi paling positif terhadap sikap dan perilaku memilih saat celebrity
endorser digunakan
H4.0 Pemilih yang memiliki tingkat identity salience tinggi tidak menunjukkan
evaluasi positif terhadap sikap dan perilaku memilih saat expert endorser
dan celeb-expert digunakan
H4.1 Pemilih yang memiliki tingkat identity salience tinggi menunjukkan
evaluasi positif terhadap sikap dan perilaku memilih saat expert endorser
dan celeb-expert digunakan
K. Metodologi Penelitian
Untuk menjelaskan jawaban dari rumusan masalah dengan melihat korelasi
antar variabel peneliti menggunakan tipe explanatory research, yaitu penelitian
yang menjelaskan hubungan kausalitas antara variabel yang melalui pengujian
hipotesis dengan menggunakan metode korelasional. Peneliti membuat hipotesis
sebagai asumsi awal untuk menjelaskan hubungan antarvariabel untuk diteliti dan
analisa data menggunakan uji statistik reverensial (Kriyantono, 2006: 59).
37
Penelitian ini menggunakan desain statistical experimental. Alur metodologi yang
dipakai dalam penelitian ini adalah:
1. Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Terdapat beberapa definisi
mengenai penelitian eksperimental. Kerlinger (1986: 315) menyebutkan
eksperimental sebagai suatu penelitian ilmiah dimana peneliti memanipulasi dan
mengontrol satu atau lebih variabel bebas dan melakukan pengamatan terhadap
variabel-variabel terikat untuk menemukan variasi yang muncul bersamaan
dengan manipulasi terhadap variabel bebas tersebut. Rakhmat (1985: 44)
menyebutkan metode eksperimental bertujuan untuk meneliti hubungan sebab
akibat dengan memanipulasikan satu atau lebih variabel pada satu atau lebih
kelompok eksperimen dan membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol
yang tidak mengalami manipulasi. Plutchik (1988: 213) mengemukakan definisi
eksperimen secara lebih singkat, yakni merupakan cara mengatur kondisi suatu
eksperimental untuk mengidentifikasi variabel-variabel dan menentukan sebab
akibat suatu kejadian.
Penelitian ini dirancang untuk memperoleh data mengenai sikap dan perilaku
memilih terhadap iklan dengan menggunakan endorser dari celebrity, expert, dan
celeb-expert dengan menggunakan sistem factorial design yang merupakan
bagian dari quasi-experimental designs. Quasi-experimental designs membantu
pengujian hubungan sebab-akibat yang tidak bisa dijamah oleh classicalexperimental design. Disebut quasi karena perencanaanya yang lebih kuat
dibanding pre-experimental, variasi dari desain klasik digunakan untuk keadaan
38
tertentu atau ketika peneliti memiliki akses kontrol terbatas terhadap independent
variable. (Neuman, 2011: 287).
Metode eksperimental mampu meneliti hubungan sebab akibat lebih teliti lewat
isolasi, dibanding dengan penelitian non eksperimen. Karena dalam eksperimental
pengaruh-pengaruh variabel sekunder dikontrol secara ketat, sehingga jika terjadi
perbedaan pada variable terikat diantara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol itu dapat diketahui apakah karena pengaruh variable eksperimen ataukah
karena faktor-faktor lain. Selain itu, peneliti dapat memanipulasi variabel dengan
lebih rinci. Manipulasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik manipulasi
berdasarkan jenis, maupun manipulasi berdasarkan besaran (kualitas/kuantitas).
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis kuesioner, pertama adalah untuk
menentukan level identity salience masing masing responden dalam group.
Kedua, kuesioner untuk mengukur persepsi responden pada endorser dan sikap
perilaku
memilih.
Penelitian
ini
menempatkan
masing-masing
group11
mendapatkan satu jenis treatment iklan guna menghindari bias. Sedangkan untuk
tingkat identity salience tinggi/rendah pada pemilih didapatkan dari kuesioner
yang dibagikan secara merata pada tiap koresponden. Pengelompokan hasil tes
pada responden dari variabel identity salience dilakukan secara tertutup oleh
peneliti bersamaan dengan pengukuran variabel kehadiran endorser dalam iklan
politik.
11
Penelitian ini menggunakan 4 kelompok treatment utama. Tiga kelompok diberi treatment iklan
berendorser (CE-celebrity endorser, EE-expert endorser, CEE-celebexpert endorser), kelompok
keempat adalah kontrol yang diberi iklan tidak berendorser (NE-non endorser). Selain itu,
determinasi identity salience masing-masing individu didapatkan dari tiap kuesioner yang diberikan
pada responden sebelum pengukuran perlakuan iklan.
39
Tabel 1.1
Treatment pada Responden
Kelompok
Responden
EG1
EG1t
EG1r
EG2
EG2t
EG2r
EG3
EG3t
EG3r
CG4
CG4t
CG4r
CE
Treatment Iklan
EE
CEE
NE




Keterangan
= perlakuan treatment
CE= Celebrity Endorser
EE= Expert Endorser
CEE= Celebrity-Expert Endorser
NE= Non-Endorser
EG1= Experimental Group 1
EG1t= Experimental Group 1 beridentity salience tinggi
EG1r= Experimental Group 1 beridentity salience rendah
EG2= Experimental Group 2
EG2t= Experimental Group 2 beridentity salience tinggi
EG2r= Experimental Group 2 beridentity salience rendah
EG3= Experimental Group 3
EG3t= Experimental Group 3 beridentity salience tinggi
EG3r= Experimental Group 3 beridentity salience rendah
CG4= Control Group 4
CG4t= Control Group 4 beridentity salience tinggi
CG4r= Control Group 4 beridentity salience rendah
Penjelasan tabel di atas adalah, bagi responden yang masuk pada EG1 mereka
diberi treatment iklan dengan menggunakan endorser dari kalangan celebrity.
Pada EG2 mereka diberi treatment iklan dengan menggunakan endorser dari
kalangan expert. pada EG3 mereka diberi treatment iklan dengan menggunakan
40
endorser dari kalangan celebrity-expert, dan pada CG4 mereka diberi treatment
iklan dengan tidak menggunakan endorser.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunaan kuisioner sebagai alat
pengukur sikap dan perilaku memilih. Penelitian ini menggunakan menggunakan
dua jenis kuesioner. Kuesioner pertama digunakan untuk mengelompokkan
identity salience dan kuesioner kedua untuk melihat persepsi responden atas
penggunaan endorser berbeda, yaitu iklan dengan celebrity endorser, expert
endorser, celeb-expert endorser dan tanpa menggunakan endorser untuk
mengukur sikap dan perilaku memilih.
Desain eksperimen 4 x 2 between subject factorial design dilakukan dengan
faktor pertama tingkat identity salience tinggi dan rendah. Faktor kedua yakni
iklan dengan celebrity endorser, iklan dengan expert endorser, dan iklan dengan
celeb-expert endorser ketiganya diperlakukan sebagai treatment, sedangkan untuk
kelompok kontrol adalah iklan yang tidak diberi endorser.
2. Manipulation check
Manipulation check dilakukan untuk mengetahui apakah treatment yang
dilakukan tepat atau tidak. Manipulation check menggunakan tiga kelas S2 MAP
UGM semester 2. Kelas yang sudah peneliti gunakan untuk manipulation check
tidak digunakan untuk pelaksanaan eksperimen.
41
3. Prosedur Penetapan Subjek Eksperimen
Pada penelitian ini diambil partisipan sebanyak 160 responden Pascasarjana
FISIPOL UGM yang dijadikan 4 kelompok utama. Kelompok pertama diberi
perlakukan iklan celebrity endorser, kelompok kedua diberi perlakuan iklan
expert endorser, kelompok ketiga diberi perlakuan celeb-expert endorser,
kelompok terakhir diberi perlakuan iklan tanpa endorser. Setelah didapatkan
empat kelompok, maka yang kelompok sebelumnya masing-masing dibagi ke
dalam 2 kelompok (jadi total ada 8 kelompok) yaitu partisipan dengan tingkat
identity salience tinggi dan partisipan dengan tingkat identity salience rendah.
Sebagai contoh kelompok yang diberi treatment iklan celebrity endorser
berjumlah 40 orang, maka setelah dipisahkan menurut tingkat identity salience
masing-masing individu. Dari sini didapatkan 20 orang masuk kelompok identity
salience tinggi lalu 20 orang masuk kelompok identity salience rendah.
Menurut Roscoe dalam Sugiyono (2006:101) saran ukuran sampel penelitian
eksperimen yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol,
jumlah anggota sampel masing-masing kelompok adalah antara 10-20. Penelitian
ini menggunakan jumlah paling maksimal yakni 20 orang perkelompok. Jadi total
yang diteliti adalah 20x8= 160 responden.
4. Prosedur Eksperimen
Pengumpulan data dilakukan pada 6 jurusan Pascasarjana FISIPOL UGM.
Yakni untuk keperluan manipulation check dan prosedur penelitian riil. Terdapat
160 responden sebagai 4 kelompok utama penelitian riil. Treatment berupa iklan
42
cetak disertai dengan kuesioner. Masing-masing iklan memuat celebrity, expert,
celeb-expert dan tanpa endorser lengkap dengan informasi brand partai. Awalnya
partisipan diminta mengisi kuesioner yang mendeteksi level identity salience
mereka, berikutnya partisipan diberi waktu untuk membaca iklan, setelah itu
diminta untuk mengisi kuesioner yang mengukur persepsi terhadap endorser serta
sikap dan perilaku memilih. Jika terdapat hal yang membingungkan partisipan
diperbolehkan bertanya.
5. Homogenitas
Uji homogenitas pada responden penelitian riil untuk memastikan variansi dari
tiap variabel. Uji homogenitas penting dilakukan, karena merupakan syarat
dilakukannya uji Anova adalah variansi dari hasil penelitian adalah sama.
6. Instrumen Penelitian
Penelitian membutuhkan instrumen penelitian yang valid dan reliabel.
Instrumen penelitian dapat dikembangkan sendiri atau mengadopsi penelitian
sebelumnya. Penelitian ini mengadopsi penelitian yang telah dikembangkan
sebelumnya.
7. Uji Validitas dan Uji Reabilitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dalam mengukur kontrak yang seharusnya diukur. Uji validitas dilakukan
dengan bivariate pearson dengan R tabel senilai 0.3120, digunakan untuk menguji
43
validitas indikator yang menyangkut tingkat akurasi yang dicapi sebuah indikator
dalam mengukur suatu konstruk atau variabel. Uji reabilitas digunakan untuk
mengetahui seberapa jauh hasil pengukuran tetap konsisten apabila dilakukan
pengukuran berulang kali terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat
ukur yang sama. Reliable berarti dengan alat ukur yang sama dan gejala yang
sama, tetapi pada kondisi dan situasi yang berbeda, pengukuran menunjukkan
hasil yang konsisten.
Reabilitas diukur menggunakan corrected item to total correlation dan
Cronbach’s alpha yang mencerminkan konsistensi internal alat ukur ( Hair et al,
2006: 34). Rules of thumb yang dipakai dalah Cronbach’s Alpha masing-masing
butir harus lebih besar dari 0.7 meskipun penulis lain mengatakan bahwa angka
0,60 masih dapat diterima dan corrected item to total correlation di atas 0,5. Pada
uji reabilitas ini tidak menutup kemungkinan terjadi eliminasi item.
8. Metode analisis data
Untuk melihat korelasi tiap variabel dalam beberapa kelompok eksperimental,
metode analisis yang digunakan adalah analysis of variance (ANOVA). Anova
digunakan untuk menganalisis perbedaan varian antara dua atau lebih jumlah grup
dengan satu variabel terikat. Selain itu dilakukan uji covariate untuk variabel
identitas responden yakni jenis kelamin dan usia. Pengujian ini untuk
mengidentifikasi apakah ada kemungkinan bahwa variabel tersebut berperan
sebagai variabel baru yang memperkuat atau memperlemah hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen.
44
L. Limitasi Penelitian
Riset ini terpusat pada isolasi variabel untuk meneliti hubungan penggunaan
endorser mempengaruhi sikap dan perilaku memilih yang dimoderatori oleh
identity salience dari masing-masing individu. Meskipun pertimbangan untuk
melakukan penelitian telah ditunjukkan, namun secara mendasar hasil penelitian
bisa saja menjadi lain jika dilakukan dengan subjek berbeda. Seperti penggunaan
faktor media yang digunakan. Placement iklan di media massa, afiliasi politik,
dan exposure media menjadi batasan yang tidak ikut dihitung dalam penelitian
tesis ini.
45
Download