DAFTAR LAMPIRAN 1. Treatment iklan 2. Contoh kuesioner xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilu 2014 diprediksi akan diwarnai rendahnya tingkat pemilih. Jika melihat dari sejarah pemilihan umum parlemen di Indonesia terdapat penurunan jumlah suara dari tahun 1971 sebesar 90% menjadi 70% di tahun 20091. Indikasi penurunan diantaranya terlihat pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat yang digelar 24 Februari 2013. Dimana angka golput mencapai 40 persen, sementara pasangan calon Gubernur yang menang hanya mengantongi 27 persen suara2. Selain itu terlihat di pemilihan Gubernur DKI Juli 2012, sebanyak 36,78 persen warga tidak menggunakan hak suaranya3. Jumlah suara untuk kandidat yang menang tidak lebih banyak dibanding dengan suara golput. Meski demikian, beberapa negara yang memiliki bentuk konstitusional republik seperti Equador dan Cuba berhasil mencapai 80% dan 90% partisipasi politik warga negara saat pemilu4. Seiring dengan kekhawatiran makin merebaknya demam pemilih golput, persaingan untuk mendapatkan suara semakin ketat sehingga partai dituntut untuk lebih banyak memperhatikan perilaku dan keinginan pemilih. Berbekal pemilihan 1 IDEA. 2011. Voter turnout data for Indonesia. Tersedia pada : http://www.idea.int/vt/countryview.cfm?id=101 diakses tanggal 27 Agustus 2013 pukul 01.12 2 Gril/Jpnn. 2012. Jumlah Golput Diprediksi Terus Meningkat. Tersedia pada: http://berita.plasa.msn.com/nasional/jpnn/jumlah-golput-diprediksi-terus-meningkat diakses tanggal 20 April 2013 pukul 23.17 3 Putri, Ananda. 2012. Jumlah Golput Pilkada DKI 32 Persen. Tersedia pada: http://www.tempo.co/read/news/2012/09/20/228430938/Jumlah-Golput-Pilkada-DKI-32-Persen diakses tanggal 20 April 2013 pukul 23.17 4 CEPPS. 2013. Voter turnout. Tersedia pada: http://www.electionguide.org/voter-turnout.php diakses tanggal 27 Agustus pukul 01.12 1 dan pengalaman sebelumnya pada kinerja pelaku politik, semakin banyak pula kriteria yang diinginkan pemilih dari kandidat politik pilihan. Kandidat perlu melaksanakan kegiatan promosi agar pemilih lebih aware dan merasa kandidat tersebut adalah pilihan yang paling mendekati harapan pemilih. Salah satu yang semakin marak digunakan untuk menjaring perharian pemilih adalah menggunakan celebrity untuk mengendorse partai politik. Gejala penggunaan celebrity untuk mendukung partai politik atau kontestan mulai terlihat. Seperti pada tahun 2009 Sujiwo Tedjo yang mengaku sebagai pengikut golput berubah menjadi optimistis. Menurutnya orang harus punya pilihan politik. Tapi pilihan itu harus jujur, bukan atas kehendak dan kepentingan orang lain. Pada pemilu Presiden 8 Juli 2009 dia memilih untuk mendukung duet JK-Win. Salah satu bentuk kecintaannya pada duet itu, Tedjo dan Ipank Wahid merancang iklan kampanye politik. Skenarionya dibikin Tedjo, sedangkan visualnya oleh Ipank5. Sedangkan menjelang pemilu 2014 Partai Nasional Demokrat sempat menggunakan Anies Baswedan dan Khofifah Indar Parawansa, waktu itu mereka masih dalam bentuk Ormas6 serta Hary Tanoe untuk Hanura (nasional.kompas.com)7. Tren penggunaan celebrity untuk menjadi bintang iklan tak hanya saat pemilihan partai politik, pemilihan Gubernur bahkan walikota makin banyak yang 5 Siswanto. 2009. Sujiwo Tejo Tinggalkan Golput Demi JK. Tersedia pada: http://politik.news.viva.co.id/news/read/72191-sujiwo_tedjo_tinggalkan_golput_demi_jk diakses tanggal 21 April 2013 pukul 8.15 6 Asril, Sabrina. 2013. Pengunduran Hary Tanoe Diikuti Kader Nasdem Lain. Tersedia pada: http://nasional.kompas.com/read/2013/01/21/17582882/Pengunduran.Diri.Hary.Tanoe.Diikuti.Kader .Nasdem.Lain diakses tanggal 20 April 2013 pukul 22.00 7 Heru. 2013. Hary Tanoe Dongkrak Elektabilitas Hanura. Tersedia pada: http://news.okezone.com/read/2013/03/24/339/780644/redirect diakses tanggal 11 April 2013 pukul 7.42 2 menggunakan seleb sebagai pendongkrak suara. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 lalu, Foke, calon incumbent ini kembali menggunakan celebrity untuk vote getter. Ada Rhoma Irama, Ridho Rhoma, Judika Idol, Mike Mohede, D'Massive, Mandra, dan Jaja Miharja. Sementara sang rival, Joko Widodo (Jokowi), juga mendapat dukungan celebrity dari Ahmad Dhani, Camelia Malik, dan Rieke Diah Pitaloka juga menghiasi kampanye Jokowi (merdeka.com). Sebelumnya celebrity endorsements lebih sering dikaitkan dengan Amerika Serikat, yakni berupa produk, merek, organisasi dan tokoh politik lewat pengakuan publik diberikan pada mereka (Erdogan et al, 2001;. Lin, 2001 dalam Veer, Becirovic, dan Martin, 2010: 438). Sejumlah besar penelitian menyimpulkan bahwa dukungan celebrity adalah berharga karena kemampuannya untuk menarik perhatian konsumen, menciptakan gambar produk dan menembus konsumen iklan (Erdogan dan Kitchen, 1998; Choi et al, 2005 dalam Veer, Becirovic, dan Martin, 2010: 440) Selain penggunaan celebrity, aktor expert juga digunakan sebagai endorser dalam iklan. Namun sekarang expert endorser pun sudah banyak yang menjadi celebrity, seperti contohnya Gamawan Fauzi, Ruhut Sitompul, Marzuki Alie, dan termasuk Anies Baswedan. Kandidat partai politik menghadapi pilihan dalam menentukan endorser mana yang paling bisa membantu membangkitkan minat pemilih. Penggunaan celebrity untuk peningkatan dukungan pada partai politik secara teoritis dapat memiliki dua konsekuensi. Pertama, dapat meningkatkan minat dari pemilih pada partai yang didukung oleh celebrity, memungkinkan 3 untuk mencapai pemilih yang lebih tinggi (Henneberg, 1995: 5). Kedua, perlu diperhatikan faktor kepentingan politik dari pemilih dapat mempengaruhi sejauh mana endorsements dari celebrity dapat bekerja. Pemilih yang memiliki kepentingan politik tinggi hanya akan melihat pada informasi dari partai spesifik dan tak akan begitu terpengaruh oleh isu tambahan seperti endorsements dari celebrity. Sebaliknya, pemilih yang tidak memiliki bonding kuat dengan dunia politik menjadi lebih rentan terpengaruh (Schuessler dalam Veer, Becirovic, dan Martin, 2010: 437). Tujuan utama penelitian ini adalah menguji peran yang bisa didapatkan lewat dukungan endorser pada keinginan pemilih berdasarkan level identity salience yang berbeda. Isu salience sebelumnya pernah diteliti oleh Repass (1971), dan juga Pogorelis (2005) dimana terdapat hubungan antara salience dengan keluaran hasil suara pemilu. Meski demikian, sedikit penelitian yang menyinggung mengenai efektifitas endorsement bersama identity salience. Penelitian ini bertujuan untuk menambah literatur atas celah tersebut dengan cara memberikan pemahaman teoritis bagaimana konsumer (pemilih) dengan identity salience berbeda bereaksi dengan tipe dukungan yang berbeda pula. Pemain politik perlu memahami bagaimana efek dukungan dari endorser berpengaruh pada pemilih, dengan begitu kampanye politik yang dilakukan bisa lebih efisien. Penelitian ini melihat bagaimana penggunaan celebrity sebagai endorser mampu menarik minat pemilih untuk menggunakan hak votingnya. Selain itu juga berupaya memberikan gambaran bagaimana penggunaan endorser celebrity, expert, dan celeb-expert dalam iklan partai politik mempengaruhi pemilih dengan 4 tingkat identity salience berbeda. Identity salience digunakan sebagai variabel antara yang memoderasi bagaimana penggunaan endorser dalam iklan mempengaruhi pemilih menentukan sikap dan perilaku memilih. Endorser diasumsikan dapat mempengaruhi citra objek (partai) yang diiklankan yang mampu mempersuasi pemilih. Fokus penelitian adalah pada iklan partai politik, namun tidak menutup kemungkinan bisa dilakukan pada objek penelitian berbeda (kandidat personal). Dengan catatan, citra dari objek yang diiklankan dihitung setelah dilakukan treatment ekperimental. Citra yang dimiliki oleh objek dikontrol agar tidak membiaskan efek dari endorser. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pengaruh penggunaan endorser pada iklan partai politik Indonesia terhadap sikap dan perilaku memilih? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian adalah mengetahui bagaimana celebrity endorser, expert endorser, dan celeb-expert endorser dalam iklan partai politik memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku memilih yang dimoderasi oleh tingkat Identity salience berbeda dari masing-masing pemilih. 5 D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah literatur mengenai pemahaman teoritis bagaimana pemilih dengan tingkat Identity salience tertentu bereaksi terhadap dukungan dari tipe endorser berbeda. 2. Selain itu untuk dimensi praktis, penelitian ini berguna bagi pemain politik untuk membantu memahami efek penggunaan endorser berbeda terhadap pemilih. Bukan hanya kepentingan finansial, dampak aktual dan hasil pemilu, tapi juga untuk memungkinkan kampanye pemasaran politik yang efisien dengan lebih memahami preferensi pemilih. E. Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian mengenai efek dari endorser atau bintang iklan pada brand. Tanpa pemahaman teoritis yang luas, akan susah menyimpulkan atau melalukan penilaian terhadap keefektifan dari endorser. Berikut ini adalah beberapa penelitian sebelumnya yang mengukur efektifitas penggunaan endorser (Tsui-Yii Shih, Friedman; Salman; McKelvey dan Ordeshook; Veer, Becirovic, dan Martin), masing masing dari mereka meneliti: 1. Tsui-Yii Shih (2010) menjelaskan bahwa kegiatan pemasaran yang berhubungan dengan harga, slogan, simbol, kemasan, citra perusahaan, termasuk endorsement strategy, dan store image memiliki pengaruh terhadap ekuitas merek dan niat pembelian 6 konsumen. Dari sini, peneliti menganalogikan pemilih sebagai konsumen dan nama partai sebagai brand. 2. Friedman (1977) menemukan korelasi antara penggunaan tipe endorser berbeda dengan tipe produk yang spesifik; Salman (2008) mendukung penelitian Friedman dengan menemukan bahwa ada perbedaan respon atas resep obat jika disajikan dengan endorser yang berbeda; 3. McKelvey dan Ordeshook (1985) bisa disebut sebagai pioneer yang meneliti kelompok endorsement sebagai sebagai sumber potensial dari sumber informasi untuk pemilih yang tidak memiliki informasi lengkap. Dengan demikian, pada situasi dimana sedikitnya informasi mengenai partai maka berbagai bentuk dukungan menjadi dapat diandalkan; 4. Duncan (2005) menemukan bahwa salience berguna sebagai selfschema dalam memproses informasi politik. Penelitian tersebut menemukan korelasi positif antara personal political salience dan pemrosesan ideologi atau posisi politik guna mengambil keputusan memilih. 5. Veer, Becirovic, dan Martin (2010) dengan menggunakan desain eksperimental 2 x 2, mengungkapkan bahwa penggunaan celebrity endorsements memiliki peran signifikan pada sikap pemilih di Inggris menilai sebuah iklan politik, endorser yang berbeda, dan keinginan memilih dengan memasukan variable political salience. 7 Penggunaan celebrity sebagai endorser lebih berpengaruh pada mereka yang memiliki tingkat political salience rendah. Variabel kehadiran endorser dan variable identity salience sama-sama dapat mempengaruhi pemilih dalam mengambil keputusan. Gabungan kedua elemen ini didapati pada penelitian dari Veer et al yang menggunakan variabel penggunaan endorser berbeda dan dimoderasi oleh identity salience pemilih yang menunjukan hasil korelasi positif dalam penentuan sikap pemilih. Penelitian ini melihat penggunaan beberapa tokoh sebagai endorser mampu menarik minat pemilih untuk menggunakan hak votingnya. Mengadopsi dan mengidentifikasi model penelitian dari Veer, Becirovic, dan Martin untuk membedah fenomena. Modifikasi yang dilakukan berdasarkan penelitian dari Veer, Becirovic, dan Martin luput yang menjelaskan perbedaan endorser secara rinci, sehingga definisi endorser yang digunakan dikhawatirkan melebur. Veer et al menggunakan dua jenis endorser saja, yakni celebrity endorser dan noncelebrity endorser. Untuk memaksimalkan model penelitian sebelumnya, penelitian ini menyediakan 3 tipe endorser berbeda yakni celebrity (mereka yang terkenal karena media tapi tidak memiliki kompetensi politik memadai), expert (mereka yang merupakan ahli di bidang politik, terbukti dengan jabatan fungsional dan achievement selama berkarir), celeb-expert (tipe hybrid gabungan dari kedua tipe endorser sebelumnya, yakni mereka yang ahli dan terkenal). Dari penelitian Veer et al, penggunaan endorser berbeda pada iklan dan dimoderasi oleh identity salience pemilih telah terbukti memiliki pengaruh pada sikap dan 8 perilaku memilih. Sama dengan penelitian Veer yang menggunakan metode eksperimental, penelitian ini juga menggunakan desain eksperimental. Bedanya ada pada desain faktorial yang dipakai, yakni dengan notasi 4 x 2 untuk membantu membedah fenomena. F. Kerangka Pemikiran Belum terdapat teori besar yang mampu dipakai untuk menjelaskan hubungan antara kehadiran endorser, sikap dan perilaku memilih yang dimoderasi identity salience. Tujuan utama penelitian ini adalah menguji peran yang bisa didapatkan lewat dukungan endorser pada keinginan pemilih berdasarkan level identity salience yang berbeda. Iklan politik berendorser digunakan untuk mempersuasi pemilih agar memberikan suaranya. Proses ini dijelaskan dengan pemahaman endorser dapat memberi efek tertentu dinilai dari identity salience pemilih. Pengambilan sikap dan perubahan perilaku dipengaruhi oleh banyak hal. Perubahan tersebut seringkali diawali dan dipengaruhi oleh banyaknya rangsangan (stimulus) dari luar dirinya, baik berupa rangsangan pemasaran maupun rangsangan dari lingkungan yang lain. Rangsangan tersebut kemudian diproses (diolah) dalam diri, sesuai dengan karakteristik pribadinya, sebelum akhirnya mengambil keputusan. Karakteristik pribadi konsumen yang dipergunakan untuk memproses rangsangan tersebut sangat unik, salah satunya adalah identity salience. 9 Isu salience sebelumnya pernah diteliti oleh Repass (1971), dan juga Pogorelis (2005) dimana terdapat hubungan antara salience dengan keluaran hasil suara pemilu. Meski demikian, sedikit penelitian yang menyinggung mengenai efektifitas endorsement bersama identity salience. Penelitian ini bertujuan untuk menambah literatur atas celah tersebut dengan cara memberikan pemahaman teoritis bagaimana konsumer (pemilih) dengan identity salience berbeda bereaksi dengan tipe dukungan dari endorser yang berbeda pula. Pemain politik perlu memahami bagaimana efek dukungan dari endorser berpengaruh pada pemilih, dengan begitu kampanye politik yang dilakukan bisa lebih efisien. Penelitian ini menekankan pada Theoritical Generalization. Dimana temuan data empiris mengenai teori dan penelitian sebelumnya digeneralisasikan pada teori abstrak (Neuman, 2011: 302). Dari sini peneliti ditantang untuk secara akurat menginterpretasikan konsep dan relasi serta teori abstrak yang digunakan untuk mengukur dan mengatur aktivitas dari eksperimen. Peneliti menggabungkan hasil temuan sebelumnya dari peneliti lain dan middle class theory sebagai alat untuk menjelaskan korelasi atas pengaruh penggunaan endorser berbeda pada iklan partai politik yang dimoderasi identity salience pemilih. Politik dan pemakaian endorser sebagai bentuk dukungan banyak dipakai di negara dunia. Seperti penggunaan endorser celebrity Amerika Serikat berupa aktor, musisi, dan tokoh berpengaruh lainnya yang membuat kalimat pernyataan dukungan dengan tujuan mempengaruhi opini dan perilaku publik. Begitu juga yang terjadi di New Zealand, para celebrity berdiri di gardu depan sebagai vote getter. Di Indonesia fenomena ini mulai terlihat saat 2009, dimana Sujiwo Tejo 10 memberikan statement dukungan JK-Win. Menjelang pemilu 2014, banyak partai menggandeng celebrity untuk menjadi daya tarik dengan menjadikan celebrity calon legislatif dari partainya. Tapi bukan itu yang dimaksud dalam penelitian ini. Celebrity yang dimaksud sebagai endorser adalah, mereka yang secara luas mendukung suatu partai tanpa menjadi bagian dari sistem pemerintahan lewat partai. Singkatnya, celebrity bisa juga melakukan kegiatan endorsements dan berperan votr getter saat kampanye berlangsung. Tapi baru sedikit diketahui mengenai efektifitas dari bentuk dukungan celebrity seperti ini ataupun mengenai tipe warga negara yang bisa berpindah pilihan partai karena dukungan dari seleb yang populer. Terdapat penelitian yang menjelaskan bahwa orang muda lebih rentan pada bentuk dukungan politik dari celebrity (Kwak et al, 2004: Jackson dan Darrow, 2005). Sebaliknya, jika kita menilik teori Ohanian (1991) mengenai atribut endorser, bahwa source of credibility merupakan faktor terpenting, dasar kompetensi mereka bukanlah politik, maka dari sini seharusnya kaum celebrity menjadi tidak terlalu mumpuni untuk meraih suara pemilih yang memiliki identity salience tinggi. Celebrity memang lebih terkenal dibanding para expert, tapi karena sedikitnya kompetensi di bidang politik menjadikan penggunaan celebrity sebagai endorser tidak menunjukan kenaikan sikap dan perilaku pemilih secara signifikan. Selain itu, dukungan dari celebrity endorser dapat menjadi tidak berpengaruh besar pada mereka yang memiliki perhatian besar pada politik. Selain penggunaan endorser, terdapat satu variabel lagi yang mempengaruhi pemilih menentukan sikap, yakni salience dari diri seseorang 11 terhadap politik. Salience8 berangkat dari ilmu psikologi sosial. Konsepnya adalah, salience berasosiasi dengan kemampuan orang untuk mengambil keputusan ditengah lingkungannya (Guido, 1998). Muncul argumentasi bahwa salience mengaktivasi dari identitas dalam situasi tertentu. Pendapat ini dikemukakan oleh Oakes (1987) yang menjelaskan bahwa konstruksi salience dalam psikologi seseorang mempengaruhi perilaku orang tersebut. Penelitian mengenai salience terbatas di penelitian bidang politik. Wlezien (2005) pernah mencoba menjelaskan bahwa standar untuk mendefinisikan salience dalam politik masih fungsional, dia fokus pada isu politik mana yang pemilih anggap penting bagi negara. Sedangkan Repass (1971) pernah menyatakan bahwa isu bukanlah elemen penting dalam penetetapan sikap pemilih. Dilengkapi oleh penelitian Duncan (2005) yang menemukan bahwa salience berguna sebagai self-schema dalam memproses informasi politik. Penelitian tersebut menemukan korelasi positif antara personal political salience dan pemrosesan ideologi atau posisi politik. Dalam penelitian ini salience seseorang dibidang politik (selanjutnya disebut identity salience) bukanlah mengenai isu yang muncul, melainkan internalisasi keterkaitan diri dengan politik lewat identitas diri yang “dipanggil” pada saat proses melakukan pilihan sikap dan perilaku memilih. Penelitian dari Veer, Becirovic, dan Martin (2010) sudah menguji kaitan identity salience dengan sikap dan perilaku memilih. Identity salience tiap orang berbeda-beda, dalam 8 Hogg et al (1995: 266) menyebutkan bahwa salience dijelaskan menggunakan Identity Theory dan Social Identity Theory. Identity Theory mengemukakan bahwa seseorang memiliki beberapa identitas dalam satu waktu. Sedangkan Social Identity Theory menjelaskan bahwa kategori sosial (kewarganegaraan, afiliasi politik) seseorang membantu menjelaskan diri, digunakan untuk menjelaskan group processes dan inter-group relations. 12 skala tingkatan tinggi dan rendah, dia menemukan bahwa voter dengan identity salience rendah lebih memilih partai politik jika celebrity endorser digunakan, begitu juga sebaliknya. Pemilih dengan identity salience tinggi tidak terpengaruh saat celebrity endorser digunakan dalam iklan. Maka, dalam penelitian ini kehadiran endorser dijelaskan melalui tipe yang muncul serta atribut endorser diukur dengan Source Model Theory ( source of attractiveness dan source of credibility), identity salience dari individu dijelaskan menggunakan Identity Theory yang dioperasionalkan lewat model penelitian private self-consciousness dan role-identity salience, lalu sikap dan perilaku memilih dijelaskan melalui Stimulus-Responses Theory dan Attitude Theory dan diukur menggunakan brand attitude dengan pertimbangan pada pengaplikasian partai politik sebagai brand. Berikut ini penjelasan konsep-konsep yang dipakai: 1. Komunikasi Pemasaran Politik Nickles (dalam Dharmesta, 1990 : 56), menyebutkan komunikasi pemasaran merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pembeli dan penjual yang sangat membantu dalam pengambilan keputusan di bidang pemasaran, serta mengarahkan pertukaran agar lebih memuaskan dengan cara menyadarkan semua pihak untuk berbuat lebih baik. Definisi ini menyatakan bahwa komunikasi pemasaran merupakan pertukaran informasi dua arah antara pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang terlibat dalam pemasaran. Pihak-pihak 13 yang terlibat akan mendengarkan, beraksi dan berbicara sehingga tercipta hubungan pertukaran yang memuaskan. Bauran komunikasi pemasaran ini selalu dikaitkan dengan penyampaian sejumlah pesan dan penggunaan visual yang tepat sebagai syarat utama keberhasilan dari sebuah program promosi. Tahapan-tahapan komunikasi dan strategi pesan disusun berdasarkan pencapaian kesadaran atas keberadaan sebuah produk atau jasa (awareness), menumbuhkan sebuah keinginan untuk memiliki atau mendapatkan produk (interest), samapai dengan mempertahankan loyalitas pelanggan. Dalam kajian komunikasi tahapan tersebut dikenal dengan rumusan AIDDA (Attention, Interest, Desire, Decision, and Action ). Tujuan komunikasi secara umum adalah untuk mencapai sejumlah perubahan seperti, perubahan pengetahuan (knowledge change ), perubahan sikap ( attitude change ), perubahan perilaku (behaviour change ) dan perubahan masyarakat (social change) (Soemanagara, 2006 : 3). Pemasaran komunikasi politik memiliki tujuan yang sama dengan pemasaran secara umum, dimana kegiatan pemasaran politik ingin mendapatkan suara dari pemilih sebagai bentuk perubahan perilaku. 2. Iklan dalam Media Cetak Penelitian ini menggunakan iklan cetak sebagai medium eksperimen. Sarana atau elemen yang terdapat di media cetak memang tidak selengkap dengan elemen yang terdapat di media televisi. Di media cetak kita tidak bisa mendapatkan audio ataupun gambar yang bergerak. Namun di media ini kita mempunyai elemen yang tidak dimiliki oleh media lain, yaitu space yang dapat 14 dipergunakan relatif lebih lama dibandingkan dengan media lainnya. Selain space yang lama, elemen yang terdapat di media cetak adalah visual dan copy. Memang elemen yang terdapat di media cetak tidak selengkap seperti di media telivisi commercial . Namun dengan space yang relatif lebih lama, maka media cetak juga dapat berkomunikasi jauh lebih lama dengan pembaca. Hampir sama dengan telivisi commercial, media cetak juga memiliki sub-elemen yang terdiri dari: a) Headline atau judul yang menjadi senjata awal dalam menarik perhatian. b) Bodycopy atau teks yang memberikan informasi lebih rinci tentang produk atau jasa yang akan dijual. c) Ilustrasi yang berupa gambar atau foto orang model atau apa pun yang berkaitan dengan konsep kreatif dan atau foto produk itu sendiri. d) Product shoot atau foto produk atau dapat menampilkan brand produk. Dalam product shoot ini bisa saja merupakan ilustrasi utama. e) Baseline yang bisanya terletak paling bawah di layout iklan. Di bagian bawah ini bisa dimasukkan, slogan, cath phrase, atau nama dan alamat perusahaan pengiklan. (Hakim, 2003:55) Keunggulan dari media cetak adalah pengiklan dapat memilih target audience yang sesuai dengan produk yang ditawarkan. Selain itu dengan media cetak, karena mempunyai masa hidup atau masa komunikasi yang lebih lama. Iklan cetak yang ideal harus memiliki interrupt power atau stoping power. Interrupt power adalah kemampuan iklan untuk merampas perhatian pembaca agar tertarik untuk melihat iklan tersebut lebih lama. Hal tersebut dapat dilakukan 15 dengan menggunakan headline ataupun visual yang mencolok. Namun kemudian terjadi perdebatan tentang manakah yang lebih penting dalam iklan cetak, copy atau visual. Menurut Budiman Hakim dalam bukunya Lanturan Tapi Relevant, dia menjawab bahwa yang paling penting adalah gabungan atau kerjasama dari keduannya. Copy dan visual hanyalah kendaraan untuk menciptakan sebuah iklan yang bagus dan menarik. Visual adalah gambar yang bercerita, jadi berfungsi seperti copy. Sedangkan copy, ketika dituliskan dalam print dapat pula berfungsi sebagai visual. Jadi tidak ada bedanya antara copy dan visual. Iklan dengan copy impact atau visual impact sama saja yang terpenting adalah ide dari iklan itu sendiri. 3. Endorser Endorser brand sering dimunculkan dalam iklan. Endorser adalah ikon atau sosok tertentu yang sering juga disebut sebagai direct source (sumber langsung) untuk mengantarkan sebuah pesan dan atau memperagakan sebuah produk atau jasa dalam kegiatan promosi yang bertujuan untuk mendukung efektifitas penyampaian pesan produk (Belch dan Belch, 2004:168). Tapi tidak semua orang atau ikon yang menjadi bintang iklan bisa disebut seabagai endorser. Endorser berguna untuk mengkomunikasikan pesan dari institusi yang menggunakannya. Nilai positif dari endorser memperkuat posisi brand di mata pemilih. Saat konsumen melihat endorser, mereka menjadikan endorser sumber informasi karena perannya sebagai yang menyampaikan pesan mengenai brand yang diiklankan. Perusahaan (institusi partai) harus memilih endorser yang memiliki kredibilitas dan sesuai dengan produk yang diiklankan sehingga iklan itu 16 bisa sampai konsumen yang dapat membentuk opini dan mereka akan meneruskan opini tersebut sesuai dengan persepsi masing-masing, dengan demikian diharapkan akan bertambahnya kesadaran kesadaran audiens akan adanya produk. Idealnya penggunaan endorser memberikan asosiasi positif antara produk dengan endorser. Hasilnya adalah konsumen (pemilih) dapat jelas mengingat dan mengenali sebuah brand. Identifikasi brand yang jelas dapat mengarah pada pembelian (memilih partai). Endorser dalam penelitian ini adalah mereka yang muncul di dalam iklan politik. Terdapat penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa penggunaan endorser dari celebrity dapat digunakan untuk mendorong suara untuk partai politik Inggris untuk orang-orang yang tidak tertarik pada politik. Namun, dengan menggunakan celebrity sebagai endorser tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam perilaku pemilih (Veer, Becirovic, dan Martin, 2010: 445). Untuk kepentingan penelitian ini, peneliti menggunakan 3 endorser yakni celebrity, expert, dan celeb-expert. Dua endorser diawal merupakan model endorser yang sering dipakai, sedangkan bentuk celeb-expert merupakan perluasan dari fenomena dalam inti penelitian. Celeb-Expert secara teori mereka nantinya memiliki banyak nilai plus bentuk menghingat endorser ini adalah bentukan hybrid dari celebrity endorser dan expert endorser. 4. Celebrity Endorser McCracken (1989: 310) mendefinisikan seorang celebrity endorser sebagai setiap individu yang dikenal publik dan menggunakan faktor ini sebagai bagian dari produk untuk mempertunjukkanya pada iklan. Celebrity endorser 17 adalah individu yang dikenal masyarakat (bintang film, model, atlit) atas prestasinya dibidang tersebut, yang pada umumnya menarik dan disukai. Landasan dasar definisi celebrity adalah recognition (Shostak dalam Pozorski, 2012: 86). Status celebrity datang dalam tiga bentuk: ascribed (berasal), achieved (dicapai), attributed (disebabkan) (Rojek, 2001:17). Ascribed celebrty dikaitkan dengan blood-line. Seperti Prince William, Putri Sultan, dan Alya Rajasa. Kebalikannya, achieved celebrity didapatkan dari usaha keras di kompetisi terbuka. Sebut saja Brad Pitt, Susi Susanti dan Dewa Budjana. Masyarakat umum melihat mereka sebagai orang-orang yang memiliki bakat dan kemampuan khusus. Attributed celebrity didapatkan dari kolaborasi achieved celebrity dan dihasilkan lewat representasi terkonsentrasi dari seorang individu yang dicatat atau luar biasa oleh perantara budaya. Kenapa celebrity bisa dicipta dari atribusi? Jawabannya adalah karena media yang sensasional (Rojek, 2001:18) Celebrity adalah seseorang yang memiliki karakter dan nilai yang kuat dan telah dikenal masyarakat, jadi jika celebrity digunakan untuk mengendorse brand hal ini merupakan strategi awal untuk memperkenalkan brand bagi institusi partai. Celebrity yang digunakan sebagai endorser adalah artis, entertainer, dan publik figur yang banyak diketahui masyarakat dan memiliki kesuksesan dibidangnya (Shimp, 2002: 455). Berdasarkan KBBI, Se-le-bri-ti: (n) orang yang masyhur (biasanya tt artis) Ar-tis: (n) ahli seni; seniman, seniwati (spt penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama). Jadi celebrity tidak sama dengan artis. Sonwalker, Kapse dan Pathak (2001: 32) menyebutkan bahwa endorsement adalah sebuah bentuk komunikasi dimana seorang celebrity 18 bertindak ksebagai juru bicara dari sebuah produk atau merk tertentu. Celebrity bertindak sebagai endorser. Nilai tambahan dari penggunaan endorsement adalah celebrity dapat dengan jelas memposisikan brand yang diwakilinya sesuai dengan kepribadian dan popularitas yang mereka miliki. Penelitian ini mendefinisikan celebrity sebagai well-known person yang bukan expert di bidang politik. 5. Expert Endorser Seorang ahli (expert) didefinisikan sebagai sumber dengan pernyataan tegas dan valid. Expert endorser memiliki pengetahuan mendalam terhadap produk yang diiklankannya. Expert endorser efektif karena sifat komunikasi yang dihasilkan olehnya lebih disetujui daripada sifat komunikasi yang sama dengan non-expert (Tedeschi, 1972 seperti dikutip Biswas et al 2006: 23). Penelitian ini mendefiniskan endorser yang tergolong expert adalah mereka yang terkenal karena pengetahuan, pengalaman atau kompetensi mereka atas suatu subjek9. Untuk mendukung status mereka, ahli harus memiliki kredensial. Misalnya diakui prestasinya, memiliki kualifikasi formal. Pengiklan dapat menggunakan dukungan dari seorang ahli atau celebrity asalkan memiliki alasan yang baik untuk percaya bahwa endorser terus menarik pandangan konsumen. Saat iklan disajikan, pesan dari iklan dan kualifikasi dari expert endorser harus seimbang sehingga pemahaman terhadap iklan bisa sepenuhnya berhubungan. Saat menjadi bintang iklan, expert haruslah relevan dengan produk yang didukung. 9 Federal Trade Commision. 2009. Guides Concerning the Use of Endorsements and Testimonials in Advertising tersedia pada http://ftc.gov/os/2009/10/091005revisedendorsementguides.pdf diakses tanggal 2 Mei 2013 pukul 04.38 19 6. Celeb-Expert Endorser Selama ini celebrity selalu dikaitkan dengan artis. Orang yang masyhur karena media tidak harus artis. Seorang guru yang berdedikasi kepada muridmuridnya bisa disebut celebrity, seorang dokter yang menemukan vaksin untuk strain virus baru bisa disebut celebrity. Mulai bermunculan tokoh politik yang menjadi seorang expert yang terus menerus disiarkan oleh media yang akhirnya naik pamor menjadi celebrity di bidang politik seperti Joko Widodo, Anies Baswedan, Dahlan Iskan. Berdasarkan fenomena ini kategori celeb-expert endorser peneliti gunakan untuk dijadikan sebagai treatment. Celeb-expert endorser didefinisikan sebagai endorser dari kalangan ahli yang juga terkenal karena media. Dikarenakan memiliki dua elemen utama dari jenis endorser sebelumnya, yakni ahli sekaligus terkenal, celeb-expert endorser bisa memiliki keunggulan lebih dari model sebelumnya. 7. Atribut Endorser Praktisi pemasaran dan periklanan berbagi keyakinan bahwa karakter komunikator memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat persuasi pesan. Sejumlah penelitian empiris menguji efektivitas penggunaan juru bicara yang kredibel untuk meningkatkan persuasif pesan. Studi mengukur proses dimana daya tarik endorser, kepercayaan, dan keahlian memediasi langsung dan atau tidak langsung terkait perubahan sikap dan persuasi (Anderson dan Clevenger 1963; Bakerand Churchill, Jr.1977, Hovland dan Weiss 1951; Johnson, Torcivia, 20 dan Poprick 1968; Kelman dan Hovland 1953, Patzer 1983; Simon, Berkowitz, dan Moyer 1970; Whittaker dan Meade 1968 dalam Ohanian, 1990: 40). Jika digolongkan dalam dua dimensi utama, endorser memiliki dua karakteristik. Atribut endorser yang sudah dikenalkan oleh Ohanian dan dikembangkan Shimp yang diterjemahkan oleh Sahrial dan Anikasari (2003:468) yaitu : a) Attractiveness (Kemenarikan) Kemenarikan tidak hanya berkaitan dengan daya tarik fisik tetapi juga termasuk karakter yang luhur yang dipersepsikan oleh konsumen dalam diri endorser, seperti: kemampuan intelektual, kepribadian, karakteristik, gaya hidup dan keahlian dalam bidang atletik. Konsep umum kemenarikan terdiri dari 3 (tiga) gagasan yang berhubungan dengan kesamaan (similarity), keakraban (familiarity), dan perasan suka (liking), dengan catatan apabila konsumen terdapat kemenarikan. Pada saat konsumen menemukan sesuatu yang mereka anggap menarik dalam diri endorser, hal tersebut terjadi melalui proses identifikasi, yaitu: ketika konsumen mempersepsikan endorser menarik, konsumen akan memihak kepada (identify with) endorser. Tetapi bagaimanapun endorser yang menarik akan lebih efektif hanya apabila image dari sang endorser cocok dengan sifat dari produk yang diiklankan. Faktor-faktor yang termasuk dalam dimensi Attractiveness menurut Ohanian (1990: 90) Adalah: menarik perhatian (attractive), cantik/tampan (beautiful), elegan (elegant), dan seksi (sexy) 21 berkelas (classy), b) Credibility (Kredibilitas) Pada pengertian yang paling mendasar, kredibilitas mengarah kepada kecenderungan untuk meyakini, mempercayai seseorang. Pada saat sumber informasi, seperti seseorang endorser dipersepsikan kredibel, sumber tersebut dapat mengubah sikap melalui proses psikologis yang dinamakan internalisasi. Dua peran penting dari kredibilitas endorser adalah: 1) Keahlian (expertise) Keahlian mengarah kepada pengetahuan, pengalaman atau keahlian yang dimiliki oleh seorang endorser yang dihubungkan dengan topik yang dikomunikasikan. Faktor-faktor yang termasuk dalam dimensi expertise menurut Ohanian adalah: ahli (expert), berpengalaman (experienced), berpengetahuan (knowledgeable), berkualifikasi (qualified), dan memiliki kemampuan (skilled) 2) Layak dipercaya (Trustworthiness) Hal ini berhubungan dengan kejujuran, integritas, dan kepercayaan atas diri endorser. Kelayakan dapat dipercaya pada endorser tergantung kepada persepsi konsumen atas motivasi sang endorser. Faktor-faktor yang termasuk dalam dimensi ini menurut Ohanian adalah: bertanggung jawab (dependable), jujur (honest), dapat diandalkan (reliable), tulus (sincere), dan dapat dipercaya (trustworthy). 22 Pornpitakpan meneliti pengukuran skala kredibilitas menggunakan sample Asia, ditemukan bahwa “sincere” tidak sesuai dengan wilayah Asia. Melalui pertimbangan ini, maka indikator “sincere” tidak dipergunakan dalam penelitian ini (Pornpitakpan, 2003: 185). Selain itu pada dimensi Credibility jika ukurannya adalah bisa dipercaya atau tidak, serta menimbang karena jenis endorser yang dipakai dalam penelitian ini bersandar pada atribut personal, maka Expertise (keahlian) tidak diukur dalam dimensi Credibility. Atribut-atribut di atas ini merupakan pecahan dari Source Model Theory (SMT). SMT merupakan kombinasi dari teori Source of Credibility dan teori Source of Attractiveness. Sesuai dengan SMT, dukungan menjadi lebih efektif karena kombinasi antara kredibilitas dan kemenarikan diri endorser (Sternthal & Craig, 1973 seperti dikutip Biswas et al, 2006: 17). 8. Identity Salience Identity salience dalam penelitian ini didefinisikan sebagai internalisasi keterkaitan diri dengan politik, konsep diri seseorang memahami arti penting dari politik. Berawal dari psikologi sosial, konsep salience paling sering dikaitkan dengan kemampuan untuk berdiri keluar dari lingkungannya. Salience merefleksikan kuantitas dan kualitas jaringan dari struktur memori yang orang miliki mengenai banyak hal disekitarnya (Romaniuk & Sharp, 2004: 327). Veer, Becirovic, dan Martin (2010: 444) menjelaskan Teori identitas dari Turner, 1978; Stryker, 1968 dan Teori Identitas Sosial (Turner, 1987) adalah dua perspektif berdasarkan konsep diri dan sifat perilaku normatif, yang meletakkan 23 dasar bagi spekulasi mengenai salience (Hogg et al, 1995: 255.). Teori Identitas adalah teori mikro-sosiologis yang menetapkan untuk menjelaskan peran yang berhubungan dengan perilaku individu, sedangkan teori identitas sosial mencoba untuk menjelaskan proses kelompok dan hubungan antar kelompok. Kedua teori memiliki penekanan teoritis utama pada "diri" multifaset dan dinamis yang bertujuan untuk menjelaskan proses kelompok dan hubungan antar kelompok, mengklaim bahwa "diri" mengambil berbagai role-identity (Hogg et al, 1995: 255). Teori identitas menjelaskan bahwa orang memiliki beberapa identitas, misalnya, seseorang dapat merefleksikan diri sendiri sebagai seorang pesepakbola, fans rockband, seorang siswa (Michalski, 2007). Ini menunjukkan bahwa identitas yang berbeda disusun secara hierarkis, berkaitan dengan kemungkinan bahwa mereka akan menjadi dasar untuk bertindak. Karena sifatnya hirarkis mereka, mereka peran identitas ditempatkan di bagian atas dari hirarki, yaitu identitas yang menonjol lebih mungkin untuk “dipanggil/digunakan” dalam situasi tertentu (Hogg, 1995: 257). Ide dasar dari Teori Identitas Sosial adalah bahwa kategori sosial (misalnya kebangsaan, afiliasi politik) seseorang berasal untuk memberikan definisi siapa dia / dia (Stets dan Burke, 2000). Beberapa penelitian menggunakan istilah salience untuk menunjukkan aktivasi identitas dalam bermacam situasi. Oakes (1987: 118) mendefinisikan identitas sosial sebagai salah satu "yang berfungsi secara psikologis untuk meningkatkan pengaruh keanggotaan seseorang 24 dalam kelompok itu pada persepsi dan perilaku". Oleh karena itu, konstruksi menonjol dalam jiwa seseorang mempengaruhi perilaku seseorang. Penelitian di salience menjadi lebih jelas dalam pemasaran. Studinya telah menekankan identitas sosial dan konsep diri dan bagaimana konsep-konsep ini “adoptable” untuk lingkup riset konsumen. Reed (2002) berpendapat sosialisasi menyebabkan seseorang untuk menyadari sejumlah kategori sosial di lingkungan sekitarnya, dan bahwa beberapa kategori berfungsi sebagai basis potensial untuk definisi diri, membelah mereka menjadi dua kelompok utama, permanen (misalnya ibu, anak perempuan) dan fana (guru, aktivis, mahasiswa). Turner dan Oakes (1986) juga berpendapat bahwa teori identitas sosial berpotensi menjadi pengambilan keputusan konsumsi dimulai dengan persepsi konsumen dalam hal ini tingkat abstraksi. Hal ini telah didukung oleh Markus dan Kunda (1986) dan McGuire et al. (1978), mengusulkan bahwa konsumen pada suatu titik waktu tertentu akan memiliki subset yang tersedia dari kategori sosial sehingga pada gilirannya dapat menjadi bagian dari kerja mereka atau konsep diri yang keluar secara spontan. Terdapat beberapa pendekatan mengenai identity salience. Pendekatan standar untuk mendefinisikan identity salience adalah fungsional, Dengan penelitian yang berfokus pada isu politik yang menurut pemilih paling penting dihadapi bangsa (Wlezien, 2005: 555). Sedangkan dalam penelitian ini “isu” bukanlah elemen yang dipertimbangkan mempengaruhi sikap dan perilaku memilih. Duncan (2005) memberi pemahaman konsep dan pengoperasian salience dalam kaitannya dengan sikap dan tindakan politik. Duncan meneliti 25 hubungan antara Personal Political Salience (PPS) sebagai skema diri dan konsekuensi untuk kebutuhan proses informasi politik. Didefinisikan sebagai kecenderungan untuk internalisasi, sebagai pusat diri seseorang, keterlibatan dengan peristiwa politik, isu-isu atau ideologi (Duncan, 2005: 76). Tipe salience ini lebih dari sekedar mengikuti politik atau memegang pendapat politik. Maksudnya adalah investasi emosional yang lebih dalam isu dan peristiwa yang terjadi dalam lingkup lebih besar. Maka, PPS menjelaskan disposisi kepribadian yang lebih umum untuk atribut makna atas keterlibatan emosional dan pentingnya politik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hubungan positif antara PPS dan pemrosesan secara cepat atas data posisi politik dan ideologi. Responden yang memiliki skor PPS tinggi, mempertimbangkan relevansi data politik dengan dirinya sehingga mengolah informasi politik lebih efektif. Responden dengan skor PPS tinggi memiliki pemahaman lebih baik saat melihat korelasi kejadian politik dan kehidupan sehari-hari, mereka memproses informasi tersebut ke tingkat yang lebih tinggi. Tingkat pemrosesan informasi serupa dapat mempengaruhi sikap dan perilaku memilih responden saat melihat iklan partai politik. Personal Political Salience (PPS) diusulkan sebagai karakteristik kepribadian yang menilai hubungan individu dari peristiwa politik dengan identitas pribadi mereka. PPS ditunjukkan untuk memprediksi tindakan politik dan juga untuk menyediakan link antara kepribadian group memberships, identitas kolektif politik, dan partisipasi politik. (Duncan dan Stewart, 2007: 143). 26 Salience dijelaskan dengan konsep diri dan perilaku normatif (Hogg et al, 1995). Dimana konsep diri diwakili oleh Teori Identitas dan perilaku normatif. Dengan demikian, untuk menghitung tingkat identity salience pemilih dalam penelitian ini menggunakan Teori Identitas yang dioperasikan dengan: Pertama, identity salience murni yang sudah diadaptasi untuk fokus ke isu politik. Identity salience dioperasionalkan menggunakan model private self-conciousness dari Fenigstein, et al (1975) yang sudah direvisi oleh Sheier dan Carver (1985). Revisi dilakukan dengan tujuan agar dapat diaplikasikan pada populasi yang lebih luas, selain itu karena sebelumnya bahasa yang digunakan susah dipahami (membingungkan) (1985: 688). Kedua, dioperasikan oleh Role-Identity Salience menggunakan studi Callero (1985) dalam (Veer, Becirovic, dan Martin, 2010: 442). Pemilihan Callero sebagai salah satu rujukan karena mempertimbangkan hasil yang didapat menunjukkan relasi signifikan dari salience dan self definitions. Berdasarkan penjelasan di atas, identity salience dalam penelitian ini dapat didefinisikan sebagai internalisasi keterkaitan diri dengan politik, konsep diri seseorang memahami arti penting dari politik. 9. Sikap dan Perilaku Memilih Saat sampel penelitian diberi perlakuan dengan diminta melihat iklan partai politik, respon mereka diteliti melalui sikap yang dihasilkan. Definisi sikap menurut Edwards dalam Azwar (2011:5) merupakan derajat affect positive atau negative terhadap suatu objek psikologi. Sedangkan menurut Secord dan Becman dalam Azwar (2011:5), sikap didefinisikan sebagai keturunan tertentu dalam hal 27 perasaan, pemikiran, dan memberi kecenderungan tindakan seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitar. Sikap sebagai suatu evaluasi menyeluruh yang memungkinkan orang berespons dengan cara menguntungkan atau tidak menguntungkan secara konsisten berkenaan dengan objek atau alternatif yang diberikan. Sikap atau attitude merupakan konsep penting yang bisa dijelaskan oleh Stimulus-Responses Theory dimana sikap dijelaskan sebagai kesediaan seseorang bertingkah laku tertentu jika mendapat rangsangan tertentu. Dilengkapi dengan Attitude Theory dengan klasifikasi Functional Theory yang menjelaskan proses identifikasi dan internalisasi mengakibatkan perubahan attitude. Pilihan sikap secara keseluruhan dapat disandingkan dengan konsep attitude dalam marketing. Attitude dalam marketing didefinisikan sebagai evalusi penuh dari suatu produk (Solomon, 2008). Perilaku konsumen terdiri dari kepercayaan, perasaan, dan niat perilaku terhadap objek yang diiklankan. Konsep tersebut dijelaskan oleh Perner (2010) yang diiringi penjelasan bahwa konsumen bisa memiliki penilaian negatif atau positif terhadap produk. Maka, bentuk operasional sikap dan perilaku memilih dihitung menggunakan model brand attitude. Kegiatan pemasaran didalamnya ada brand attitude yang berkaitan dengan evaluasi yang menyeluruh terhadap suatu merek dan membentuk dasar yang digunakan konsumen dalam keputusan dan perilakunya. Objek yang dievaluasi oleh konsumen adalah pada persepsi konsumen akan kemampuan merek untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Evaluasi yang menyeluruh akan 28 menghasilkan pemikiran dan perasaan yang berbeda antara konsumen yang satu dengan konsumen yang lainnya. Evaluasi terhadap merek diaktivasi oleh kesesuaian antara merek dengan konsep. Brand image yang positif dapat diukur melalui tanggapan konsumen tentang asosiasi merek. Tujuan utama iklan adalah attitude change. Attitude sendiri terdiri dari komponen, yakni cognitive atau knowledge, kemudian affective atau liking, kemudian yang terakhir adalah intention dan action (Mars-e, 2007 : 1). Kaitannya dengan voting behavior maka dapat diwakili oleh pengetahuan, sikap, dan perilaku. Sikap memiliki peran dalam membentuk perilaku. Sikap juga berguna bagi evaluasi pemasaran karena dapat digunakan untuk menilai keefektifan kegiatan pemasaran. Sebuah iklan yang dirancang untuk menaikkan voting dengan meningkatkan sikap konsumen. Sikap yang dibentuk terhadap iklan harus pula dipertimbangkan karena dapat menentukan daya bujuk iklan yang bersangkutan (Engel, Blackwell dan Miniard, 1994 : 52). Evaluasi yang digunakan mencakup sikap dan perilaku memilih terhadap partai, endorser, iklan, dan keinginan memilih. Bandura dan Walters dalam Sarwono 2006: 27-28 menyatakan bahwa tingkah laku tiruan merupakan suatu bentuk asosiasi suatu rangsang dengan rangsang lainnya. Ditambahi oleh Ajzen dan Fishbein dalama Azwar (2011:11) sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan yang dampaknya terbatas di tiga kategori. Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi dari sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga norma 29 subjektif yakni keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Terakhir, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma subjektif membentuk suatu niat berperilaku tertentu. Begitulah proses yang dilakukan oleh pemilih saat memutuskan sikap menggunakan hak pilih untuk mendukung partai tertentu. Sikap dapat terjadi terhadap situasi, orang, kelompok, partai, nilai, dan semua yang terdapat di sekitar manusia (Sarwono, 2006: 19-41). G. Kerangka Konseptual Berdasarkan pada kerangka pemikiran di sub sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini dalah sikap dan perilaku memilih. Sikap dan perilaku memilih mengadopsi konsep “sikap” dan perilaku memilih dari ranah psikologi. Jika diberi definisi masing-masing, sikap merupakan derajat affect positive atau negative yang terhadap suatu objek.(Edwards dalam Azwar (2011:5). Sedangkan menurut Secord dan Becman dalam Azwar (2011:5), sikap didefinisikan sebagai keturunan tertentu dalam hal perasaan, pemikiran, dan memberi kecenderungan tindakan seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitar. Sedangkan untuk perilaku memilih yang merupakan attitudinal stage “behavioural” dapat dijelaskan dengan model hirearki efek purchase intentions. Yakni adalah merupakan asosiasi psikologis responden terhadap brand (partai) yang diiklankan. Maka, gabungan dari dua konsep ini mengasilkan evaluasi yang dilakukan secara menyeluruh terhadap suatu brand dan membentuk dasar yang digunakan konsumen dalam keputusan dan perilaku yang dihasilkan. Sikap dan perilaku memilih dilihat dari pernyataan dan evaluasi responden terhadap iklan dengan tipe endorser berbeda. 30 Sedangkan komponen yang diasumsikan mempengaruhi terbentuknya sikap dan perilaku memilih dikelompokkan dalam: 1. Kehadiran Endorser (Variabel Bebas), yang meliputi tipe endorser dan atribut endorser. a) Tipe Endorser: jenis endorser yang dipakai dalam iklan. Yakni berupa celebrity sebagai setiap individu yang dikenal publik dan menggunakan faktor ini sebagai bagian dari produk untuk mempertunjukkanya pada iklan), expert (expert endorser memiliki pengetahuan mendalam terhadap brand yang diiklankannya), celeb-expert, atau iklan tanpa endorser yang digunakan sebagai treatment kontrol. b) Atribut Endorser 1) Source of Attractiveness Konsep umum kemenarikan terdiri dari 3 (tiga) gagasan yang berhubungan dengan kesamaan (similarity), keakraban (familiarity), dan perasan suka (liking). Dimensi kemenarikan dari endorser berupa daya tarik fisik dan karakter. 2) Source of Credibility Dimensi ini mengarah pada kecenderungan untuk meyakini dan mempercayai endorser. Pada saat sumber informasi, seperti seseorang endorser dipersepsikan kredibel, sumber tersebut dapat mengubah sikap melalui proses psikologis yang dinamakan internalisasi. 31 2. Tingkat Identity Salience (Variabel Moderator), yang meliputi Identity dan Role-Identity. Identity salience dalam penelitian ini didefinisikan sebagai internalisasi nilai keterkaitan diri dengan politik yang didapat saat merecall identitasnya sebagai pemilih. Identity salience dijelaskan dengan konsep diri dan perilaku normatif (Hogg et, 1995: 255). Sebelumnya telah ada penelitian mengenai identity salience dengan sikap politik, yakni penelitian terbaru dari Duncan dan Stewart (2007; 143) yang membuktikan adanya hubungan Personal Political Salience (PPS) dengan kecenderungan individu untuk mengambil tindakan politik dan ideologi. Duncan10 juga pernah melakukan penelitian serupa sebelumnya, yang menunjukkan hubungan positif antara PPS dan pemrosesan data posisi politik dan ideologi secara cepat. Responden yang memiliki skor PPS tinggi, mempertimbangkan relevansi data politik dengan dirinya sehingga mengolah informasi politik lebih efektif. Responden dengan skor PPS tinggi memiliki pemahaman lebih baik saat melihat korelasi kejadian politik dan kehidupan sehari-hari, mereka memproses informasi tersebut ke tingkat yang lebih tinggi. Konsep tingkat identity salience pemilih dalam penelitian ini menggunakan Teori Identitas dan identity salience murni yang sudah diadaptasi untuk fokus ke isu politik. Tingkatan identity salience pemilih menghasilkan respon yang berbeda dan nantinya dapat mempengaruhi sikap dan perilaku memilih responden saat melihat iklan politik. 10 Tahun 2005, Duncan sudah meneliti mengenai Personal Political Salience (PPS) yang juga dipakai peneliti sebagai bahan acuan dalam penelitian ini. Duncan menemukan PPS sebagai kerangka diri yang disebabkan oleh pengolahan informasi politik. 32 H. Model Analisa Dari Pemaparan baik dari kerangka pemikiran dan kerangka konseptual, menunjukkan adanya korelasi variabel bebas dan variabel terikat dan dimoderasi dengan munculnya variabel moderator. Sehingga model analisa dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagan 1.1 Alur Logika Penelitian Variabel Bebas Kehadiran Endorser Tipe Endorser: celebrity, expert, celeb-expert Atribut Endorser: Source of Attractiveness & Credibility → Variabel Terikat Sikap dan perilaku memilih Sikap pada Iklan Sikap pada Endorser Sikap pada Brand Keinginan Memilih ↑ Variabel Moderator Tingkat Identity Salience Identity & Role-Identity Salience I. Definisi Operasional 1. Kehadiran Endorser Dalam iklan partai politik yang digunakan, terdapat endorser. Endorser tersebut dibedakan menurut tipenya dan dinilai kapasitasnya lewat atribut. a) Tipe Endorser Celebrity endorser (Raisa), expert endorser (Natalia Soebagjo), celeb-expert endorser (Anies Baswedan), non-endorser b) Atribut Endorser 1) Attractiveness (Kemenarikan) 33 Faktor-faktor yang termasuk dalam dimensi attractiveness menurut Ohanian adalah: menarik perhatian (attractive), berkelas (classy), cantik/tampan (beautiful), elegan (elegant), dan seksi (sexy) 2) Credibility (Kepercayaan) Bertanggung jawab (dependable), jujur (honest), dapat diandalkan (reliable), dan dapat dipercaya (trustworthy). 2. Tingkat Identity Salience Berdasarkan dari pengembangan Teori Identitas, tingkat identity salience diukur lewat identity dan role-identity salience. Identity menggunakan penelitian model private self-consciousness dari Fenigstein dan role identity salience dari Callero yang sudah diadaptasikan ke bahasan politik. Pemilihan dua dimensi ini berdasarkan fungsinya dalam menjabarkan self definitions. Indikator yang dipakai berupa kalimat pernyataan, yakni: 1. Private Self-Consciousness “Saya berusaha memahami preferensi politik diri sendiri” “Saya melihat ke belakang untuk introspeksi mengenai pilihan politik” “Saya memiliki pemahaman untuk menyelesaikan masalah politik” 2. “Saya waspada terhadap perubahan di kancah politik” Role-Identity Salience “Saya merasa kehilangan jika saya dipaksa untuk tidak memilih” “Bagi saya menjadi pemilih lebih dari sekedar masuk ke bilik suara” 34 3. Sikap dan Perilaku Pemilih Menggunakan konsep dari stimulus-response theory dan attitude theory, indikator yang digunakan pada awalnya dirancang untuk mengukur brand attitude untuk mengevaluasi brand secara lengkap dan dianggap cocok untuk diaplikasikan pada partai politik sebagai brand. Mengadopsi sistem perhitungan dari Veer, Becirovic, dan Martin (2010), brand attitude diukur dengan skala likert, dimana di dalam komponen tersebut ada attitude terhadap iklan, pada endorser, terhadap brand (partai), dan purchase intention (keinginan memilih). Selain itu, penggunaan skala disesuaikan dengan tujuan penelitian yang sebagai rujukan polaritas evaluasi. Sikap dan perilaku memilih yang dihitung adalah dalam operasionalisasi brand attitude, yakni: 1. Penggunaan indikator untuk mengetahui sikap terhadap iklan dapat dinilai dengan menggunakan empat kategori: a. "buruk/baik" b. "tidak suka/suka" c. “tidak kreatif/kreatif” d. "tidak menarik/menarik" (Teng,Laroche,dan Zhu,2007: 33) 2. Sikap terhadap endorser dinilai menggunakan lima: a. “tidak dapat dipercaya/bisa dipercaya” b. “tidak menarik/menarik” c. “tidak kompeten/kompeten” d. “tidak meyakinkan/meyakinkan” 35 e. “tidak menyenangkan/menyenangkan” (Williams dan Qualls, 1989 3. Sikap terhadap partai (brand) dinilai menggunakan tiga: (Yi, 1990: 44) a. "buruk/baik" b. "tidak berkualitas/berkualitas" c. "tidak suka/suka". 4. Akhirnya, keinginan memilih (mengadopsi purchase intention) diukur dengan menggunakan berupa satu pertanyaan dari Mei-Fang Chen(2008: 561) a. ”Jika partai yang dimaksud dapat saya temui bilik suara, saya berencana untuk? Sangat menghindarinya/Sangat Mencarinya Dikombinasikan dengan satu pertanyaan dari Dodds et al(1991: 310): b. “Keinginan saya untuk memilih produk ini? Sangat rendah/Sangat tinggi J. Hipotesis H1.0 Tidak Terdapat perbedaan sikap dan perilaku memilih pada iklan yang menggunakan endorser berbeda H1.1 Terdapat perbedaan sikap dan perilaku memilih pada iklan yang menggunakan endorser berbeda H2.0 Tidak terdapat perbedaan sikap dan perilaku memilih pada iklan yang menggunakan endorser berbeda yang dimoderasi dengan identity salience pemilih 36 H2.1 Terdapat perbedaan sikap dan perilaku memilih pada iklan yang menggunakan endorser berbeda yang dimoderasi dengan identity salience pemilih H3.0 Pemilih yang memiliki tingkat identity salience rendah tidak menunjukkan evaluasi paling positif terhadap sikap dan perilaku memilih saat celebrity endorser digunakan H3.1 Pemilih yang memiliki tingkat identity salience rendah menunjukkan evaluasi paling positif terhadap sikap dan perilaku memilih saat celebrity endorser digunakan H4.0 Pemilih yang memiliki tingkat identity salience tinggi tidak menunjukkan evaluasi positif terhadap sikap dan perilaku memilih saat expert endorser dan celeb-expert digunakan H4.1 Pemilih yang memiliki tingkat identity salience tinggi menunjukkan evaluasi positif terhadap sikap dan perilaku memilih saat expert endorser dan celeb-expert digunakan K. Metodologi Penelitian Untuk menjelaskan jawaban dari rumusan masalah dengan melihat korelasi antar variabel peneliti menggunakan tipe explanatory research, yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan kausalitas antara variabel yang melalui pengujian hipotesis dengan menggunakan metode korelasional. Peneliti membuat hipotesis sebagai asumsi awal untuk menjelaskan hubungan antarvariabel untuk diteliti dan analisa data menggunakan uji statistik reverensial (Kriyantono, 2006: 59). 37 Penelitian ini menggunakan desain statistical experimental. Alur metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah: 1. Metode penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Terdapat beberapa definisi mengenai penelitian eksperimental. Kerlinger (1986: 315) menyebutkan eksperimental sebagai suatu penelitian ilmiah dimana peneliti memanipulasi dan mengontrol satu atau lebih variabel bebas dan melakukan pengamatan terhadap variabel-variabel terikat untuk menemukan variasi yang muncul bersamaan dengan manipulasi terhadap variabel bebas tersebut. Rakhmat (1985: 44) menyebutkan metode eksperimental bertujuan untuk meneliti hubungan sebab akibat dengan memanipulasikan satu atau lebih variabel pada satu atau lebih kelompok eksperimen dan membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol yang tidak mengalami manipulasi. Plutchik (1988: 213) mengemukakan definisi eksperimen secara lebih singkat, yakni merupakan cara mengatur kondisi suatu eksperimental untuk mengidentifikasi variabel-variabel dan menentukan sebab akibat suatu kejadian. Penelitian ini dirancang untuk memperoleh data mengenai sikap dan perilaku memilih terhadap iklan dengan menggunakan endorser dari celebrity, expert, dan celeb-expert dengan menggunakan sistem factorial design yang merupakan bagian dari quasi-experimental designs. Quasi-experimental designs membantu pengujian hubungan sebab-akibat yang tidak bisa dijamah oleh classicalexperimental design. Disebut quasi karena perencanaanya yang lebih kuat dibanding pre-experimental, variasi dari desain klasik digunakan untuk keadaan 38 tertentu atau ketika peneliti memiliki akses kontrol terbatas terhadap independent variable. (Neuman, 2011: 287). Metode eksperimental mampu meneliti hubungan sebab akibat lebih teliti lewat isolasi, dibanding dengan penelitian non eksperimen. Karena dalam eksperimental pengaruh-pengaruh variabel sekunder dikontrol secara ketat, sehingga jika terjadi perbedaan pada variable terikat diantara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol itu dapat diketahui apakah karena pengaruh variable eksperimen ataukah karena faktor-faktor lain. Selain itu, peneliti dapat memanipulasi variabel dengan lebih rinci. Manipulasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik manipulasi berdasarkan jenis, maupun manipulasi berdasarkan besaran (kualitas/kuantitas). Dalam penelitian ini terdapat dua jenis kuesioner, pertama adalah untuk menentukan level identity salience masing masing responden dalam group. Kedua, kuesioner untuk mengukur persepsi responden pada endorser dan sikap perilaku memilih. Penelitian ini menempatkan masing-masing group11 mendapatkan satu jenis treatment iklan guna menghindari bias. Sedangkan untuk tingkat identity salience tinggi/rendah pada pemilih didapatkan dari kuesioner yang dibagikan secara merata pada tiap koresponden. Pengelompokan hasil tes pada responden dari variabel identity salience dilakukan secara tertutup oleh peneliti bersamaan dengan pengukuran variabel kehadiran endorser dalam iklan politik. 11 Penelitian ini menggunakan 4 kelompok treatment utama. Tiga kelompok diberi treatment iklan berendorser (CE-celebrity endorser, EE-expert endorser, CEE-celebexpert endorser), kelompok keempat adalah kontrol yang diberi iklan tidak berendorser (NE-non endorser). Selain itu, determinasi identity salience masing-masing individu didapatkan dari tiap kuesioner yang diberikan pada responden sebelum pengukuran perlakuan iklan. 39 Tabel 1.1 Treatment pada Responden Kelompok Responden EG1 EG1t EG1r EG2 EG2t EG2r EG3 EG3t EG3r CG4 CG4t CG4r CE Treatment Iklan EE CEE NE Keterangan = perlakuan treatment CE= Celebrity Endorser EE= Expert Endorser CEE= Celebrity-Expert Endorser NE= Non-Endorser EG1= Experimental Group 1 EG1t= Experimental Group 1 beridentity salience tinggi EG1r= Experimental Group 1 beridentity salience rendah EG2= Experimental Group 2 EG2t= Experimental Group 2 beridentity salience tinggi EG2r= Experimental Group 2 beridentity salience rendah EG3= Experimental Group 3 EG3t= Experimental Group 3 beridentity salience tinggi EG3r= Experimental Group 3 beridentity salience rendah CG4= Control Group 4 CG4t= Control Group 4 beridentity salience tinggi CG4r= Control Group 4 beridentity salience rendah Penjelasan tabel di atas adalah, bagi responden yang masuk pada EG1 mereka diberi treatment iklan dengan menggunakan endorser dari kalangan celebrity. Pada EG2 mereka diberi treatment iklan dengan menggunakan endorser dari kalangan expert. pada EG3 mereka diberi treatment iklan dengan menggunakan 40 endorser dari kalangan celebrity-expert, dan pada CG4 mereka diberi treatment iklan dengan tidak menggunakan endorser. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunaan kuisioner sebagai alat pengukur sikap dan perilaku memilih. Penelitian ini menggunakan menggunakan dua jenis kuesioner. Kuesioner pertama digunakan untuk mengelompokkan identity salience dan kuesioner kedua untuk melihat persepsi responden atas penggunaan endorser berbeda, yaitu iklan dengan celebrity endorser, expert endorser, celeb-expert endorser dan tanpa menggunakan endorser untuk mengukur sikap dan perilaku memilih. Desain eksperimen 4 x 2 between subject factorial design dilakukan dengan faktor pertama tingkat identity salience tinggi dan rendah. Faktor kedua yakni iklan dengan celebrity endorser, iklan dengan expert endorser, dan iklan dengan celeb-expert endorser ketiganya diperlakukan sebagai treatment, sedangkan untuk kelompok kontrol adalah iklan yang tidak diberi endorser. 2. Manipulation check Manipulation check dilakukan untuk mengetahui apakah treatment yang dilakukan tepat atau tidak. Manipulation check menggunakan tiga kelas S2 MAP UGM semester 2. Kelas yang sudah peneliti gunakan untuk manipulation check tidak digunakan untuk pelaksanaan eksperimen. 41 3. Prosedur Penetapan Subjek Eksperimen Pada penelitian ini diambil partisipan sebanyak 160 responden Pascasarjana FISIPOL UGM yang dijadikan 4 kelompok utama. Kelompok pertama diberi perlakukan iklan celebrity endorser, kelompok kedua diberi perlakuan iklan expert endorser, kelompok ketiga diberi perlakuan celeb-expert endorser, kelompok terakhir diberi perlakuan iklan tanpa endorser. Setelah didapatkan empat kelompok, maka yang kelompok sebelumnya masing-masing dibagi ke dalam 2 kelompok (jadi total ada 8 kelompok) yaitu partisipan dengan tingkat identity salience tinggi dan partisipan dengan tingkat identity salience rendah. Sebagai contoh kelompok yang diberi treatment iklan celebrity endorser berjumlah 40 orang, maka setelah dipisahkan menurut tingkat identity salience masing-masing individu. Dari sini didapatkan 20 orang masuk kelompok identity salience tinggi lalu 20 orang masuk kelompok identity salience rendah. Menurut Roscoe dalam Sugiyono (2006:101) saran ukuran sampel penelitian eksperimen yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, jumlah anggota sampel masing-masing kelompok adalah antara 10-20. Penelitian ini menggunakan jumlah paling maksimal yakni 20 orang perkelompok. Jadi total yang diteliti adalah 20x8= 160 responden. 4. Prosedur Eksperimen Pengumpulan data dilakukan pada 6 jurusan Pascasarjana FISIPOL UGM. Yakni untuk keperluan manipulation check dan prosedur penelitian riil. Terdapat 160 responden sebagai 4 kelompok utama penelitian riil. Treatment berupa iklan 42 cetak disertai dengan kuesioner. Masing-masing iklan memuat celebrity, expert, celeb-expert dan tanpa endorser lengkap dengan informasi brand partai. Awalnya partisipan diminta mengisi kuesioner yang mendeteksi level identity salience mereka, berikutnya partisipan diberi waktu untuk membaca iklan, setelah itu diminta untuk mengisi kuesioner yang mengukur persepsi terhadap endorser serta sikap dan perilaku memilih. Jika terdapat hal yang membingungkan partisipan diperbolehkan bertanya. 5. Homogenitas Uji homogenitas pada responden penelitian riil untuk memastikan variansi dari tiap variabel. Uji homogenitas penting dilakukan, karena merupakan syarat dilakukannya uji Anova adalah variansi dari hasil penelitian adalah sama. 6. Instrumen Penelitian Penelitian membutuhkan instrumen penelitian yang valid dan reliabel. Instrumen penelitian dapat dikembangkan sendiri atau mengadopsi penelitian sebelumnya. Penelitian ini mengadopsi penelitian yang telah dikembangkan sebelumnya. 7. Uji Validitas dan Uji Reabilitas Uji validitas digunakan untuk mengukur ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam mengukur kontrak yang seharusnya diukur. Uji validitas dilakukan dengan bivariate pearson dengan R tabel senilai 0.3120, digunakan untuk menguji 43 validitas indikator yang menyangkut tingkat akurasi yang dicapi sebuah indikator dalam mengukur suatu konstruk atau variabel. Uji reabilitas digunakan untuk mengetahui seberapa jauh hasil pengukuran tetap konsisten apabila dilakukan pengukuran berulang kali terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama. Reliable berarti dengan alat ukur yang sama dan gejala yang sama, tetapi pada kondisi dan situasi yang berbeda, pengukuran menunjukkan hasil yang konsisten. Reabilitas diukur menggunakan corrected item to total correlation dan Cronbach’s alpha yang mencerminkan konsistensi internal alat ukur ( Hair et al, 2006: 34). Rules of thumb yang dipakai dalah Cronbach’s Alpha masing-masing butir harus lebih besar dari 0.7 meskipun penulis lain mengatakan bahwa angka 0,60 masih dapat diterima dan corrected item to total correlation di atas 0,5. Pada uji reabilitas ini tidak menutup kemungkinan terjadi eliminasi item. 8. Metode analisis data Untuk melihat korelasi tiap variabel dalam beberapa kelompok eksperimental, metode analisis yang digunakan adalah analysis of variance (ANOVA). Anova digunakan untuk menganalisis perbedaan varian antara dua atau lebih jumlah grup dengan satu variabel terikat. Selain itu dilakukan uji covariate untuk variabel identitas responden yakni jenis kelamin dan usia. Pengujian ini untuk mengidentifikasi apakah ada kemungkinan bahwa variabel tersebut berperan sebagai variabel baru yang memperkuat atau memperlemah hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. 44 L. Limitasi Penelitian Riset ini terpusat pada isolasi variabel untuk meneliti hubungan penggunaan endorser mempengaruhi sikap dan perilaku memilih yang dimoderatori oleh identity salience dari masing-masing individu. Meskipun pertimbangan untuk melakukan penelitian telah ditunjukkan, namun secara mendasar hasil penelitian bisa saja menjadi lain jika dilakukan dengan subjek berbeda. Seperti penggunaan faktor media yang digunakan. Placement iklan di media massa, afiliasi politik, dan exposure media menjadi batasan yang tidak ikut dihitung dalam penelitian tesis ini. 45