BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pemasaran Pemasaran (marketing) merupakan sebuah konsep ilmu dalam strategi bisnis yang bertujuan untuk mencapai kepuasan berkelanjutan bagi stakeholder (pelanggan, karyawan, dan pemegang saham). Sebagai ilmu, marketing merupakan ilmu pengetahuan yang objektif yang diperoleh dengan penggunaan instrumen-instrumen tertentu untuk mengukur kinerja dari aktivitas bisnis dalam membentuk, mengembangkan, mengarahkan pertukaran yang saling menguntungkan dalam jangka panjang antara produsen dan konsumen atau pemakai. Sebagai strategi bisnis, marketing merupakan tindakan penyesuaian suatu organisasi yang berorientasi pasar dalam menghadapi kenyataan bisnis baik dalam lingkungan mikro maupun lingkungan makro yang terus berubah. (Hasan, 2014:1) Terence A. Shimp (2003:4) mengemukakan bahwa pemasaran adalah sekumpulan kegiatan dimana perusahaan dan organisasi lainnya mentransfer nilai-nilai (pertukaran) antara mereka dengan pelanggannya. Kotler & Keller (2009:6) melihat manajemen pemasaran sebagai seni dan ilmu memilih pasar sasaran dan mendapatkan, menjaga, dan menumbuhkan 10 11 pelanggan dengan menciptakan, menyerahkan dan mengomunikasikan nilai pelanggan yang unggul. Sedangkan, definisi sosialnya adalah: Pemasaran adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler & Keller, 2009:6-7). 2. Citra Merek Menurut Shimp (2003:12) Citra merek (brand image) dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul di benak konsumen ketika mengingat sebuah merek. Menurut Fandy Tjiptono (2005:49) Brand image atau brand description, yakni deskripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap merek tertentu. Brand image atau citra merek merupakan serangkaian sifat tangible dan intangible, seperti ide, keyakinan, nilai-nilai, kepentingan, dan fitur yang membuatnya menjadi unik. Secara visual dan kolektif, sebuah brand image harus mewakili semua karakteristik internal dan eksternal yang mampu mempengaruhi bagaimana sebuah merek itu dirasakan oleh target pasar atau pelanggan (Hasan, 2014:210). 12 Dari beberapa pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Citra Merek (Brand Image) merupakan sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan oleh konsumen terhadap merek tertentu. Citra terhadap merek berhubungan dengan sikap yang berupa keyakinan dan referensi terhadap suatu merek. Lebih memungkinkan untuk melakukan suatu pembelian, oleh karena itu kegunaan dari iklan diantaranya adalah untuk membangun citra positif terhadap merek. Manfaat positif lainnya adalah perusahaan bisa mengembangkan suatu lini produk dengan memanfaatkan citra positif yang telah terbentuk terhadap merek. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan citra merek yang sudah positif. Jika suatu saat perusahaan ingin mengubah produk yang sudah lama ada dan memiliki citra positif, maka perubahan itu harus terlebih dahulu menilai inverensi konsumen atas perubahan yang akan dilakukan. 2.1 Manfaat Citra Merek Tingkat kesadaran merek yang tinggi dan citra positif diyakini akan meningkatkan kemungkinan produk untuk dipilih dan mengurangi kerentanan terhadap kekuatan-kekuatan kompetitif (Ali Hasan, 2014). 2.1.1 Manfaat Bagi Pelanggan Ada tiga alasan sekaligus manfaat penting bagi pelanggan dari sebuah merek yang memiliki citra positif: 13 1. Sebuah merek yang kuat akan memuaskan konsumen untuk mengevaluasi, menimbang dan membuat keputusan membeli dari semua rincian nilai-nilai yang terkait dengan kinerja produk, harga, pengiriman, garansi dan lain-lain. Merek dengan image yang kuat adalah sintesis bagi pembeli dari segala sesuatu yang ditawarkan oleh pemasok, mengurangi risiko keputusan pembelian yang rumit terutama untuk produk berbasis teknologi. 2. Sebuah merek yang kuat membuat pelanggan merasa percaya diri dalam pilihan mereka, menyederhanakan pilihan sehari-hari (untuk kebutuhan dasar). Orang yang berbelana di mall atau toko-toko yang branded sering tidak membandingkan produk dengan tempat lain karena mereka percaya merek. Branding yang kuat mampu menciptakan hubungan kepercayaan jangka panjang, aksesibilitas, kepercayaan, rasa aman dan kenyamanan yang sama dalam sepanjang hidup mereka. 3. Sebuah merek yang kuat membuat pelanggan merasa lebih puas dengan pembelian mereka, memberikan manfaat dan ikatan emosional (untuk produk perawatan pribadi). Kualitas persepsi sering mereka terjemahkan menjadi rasa yang membuat pelanggan lebih bahagia dibanding jika produk itu berasal dari pemasok yang tidak mereka ketahui, 14 karenanya brand yang kuat mampu menawarkan ikatan komunitas tertentu, terutama produk-produk yang terkait dengan image. Pada akhirnya pemasaran yang berhasil adalah kemampuannya meyakinkan pelanggan bahwa mereka tidak khawatir menggunakan produk yang bermerek kuat. 2.1.2 Manfaat Bagi Perusahaan 1. Harga premium. Sebuah merek dengan citra positif akan menciptakan margin yang lebih besar dan walaupun ada tekanan untuk menjual dengan harga rendah atau menawarkan diskon, akan tetapi relatif tidak atau kurang rentan terhadap kekuatan kompetitif. 2. Klaim produk. Sebuah merek dengan citra yang kuat akan menciptakan orang-orang melakukan permintaan secara khusus, orang akan mencari merek yang mereka inginkan. 3. Kompetitif parrier. Sebuah merek yang kuat mampu bertindak sebagai penghalang untuk beralih ke produk pesaing. Brand adalah pertahanan yang langsung secara permanen. 4. Komunikasi pemasaran lebih mudah diterima. Perasaan positif tentang sesuatu merek akan mengakibatkan orang mampu menerima klaim baru terhadap kinerja produk dan 15 mereka akan welcome, sehingga lebih mudah “dibujuk” untuk membeli lebih banyak. 5. Pengembangan merek. Sebuah merek yang terkenal menjadi platform untuk pengembangan / menambah produk baru karena beberapa aspek dari citra positif yang berpengaruh dan membantu dalam peluncuran produk baru. 6. Kepuasan pelanggan. Sebuah citra positif akan memberikan tingkat kepuasan pelanggan, ketika mereka menggunakan produk. Mereka akan merasa lebih yakin membelinya. Pelanggan tidak menemukan alasan untuk membeli merek lain atau dari pemasok lain. 7. Jaringan distribusi. Sebuah merek yang kuat lebih mudah dijual ke pedagang grosir dan distributor yang sangat responsif terhadap apa yang diinginkan oleh pelanggan mereka. 8. Perizinan dan peluang. Sebuah merek yang kuat dapat mendukung transaksi usaha patungan atau mengizinkan produk dilisensikan untuk digunakan dalam aplikasi baru atau di negara lain (terbuka bagi semua orang atau negara manapun). 9. Nilai harga jual lebih tinggi. Sebuah perusahaan dengan nama merek yang baik akan mendapatkan premi yang lebih tinggi jika akan dijual. 16 2.2 Strategi Citra Merek Strategi citra-merek (brand image strategy) lebih melibatkan diferensiasi psikologis dari sekadar diferensiasi fisik. Periklanan berupaya untuk mengembangkan citra atau identitas bagi suatu merek dengan mengasosiasikan produk tersebut dengan simbol-simbol tertentu. Dengan mengilhami merek dengan suatu citra, para pengiklan menggambarkan arti dari dunia secara kultural (yakni, dunia artifak dan simbol-simbol) lalu mentransfer makna tersebut ke merek-merek mereka. Sebagai efeknya, properti dunia yang dinyatakan secara kultural dan dikenal baik oleh konsumen, hadir menetap dalam properti yang tak dikenal dari merekmerek yang diiklankan. Pengembangan suatu citra melalui iklan terkait dengan pemberian identitas khusus atau personalitas bagi suatu merek. Iklan citra merek bisa juga digambarkan sebagai transformasional. Periklanan transformasional (transformational advertising) berhubungan dengan pengalaman atas penggunaan suatu merek yang diiklankan dengan serangkaian karakteristik psikologis yang unik, yang tidak akan diasosiasikan secara khas dengan pengalaman merek untuk derajat yang sama tanpa terpaan iklan (Shimp, 2003:442). 17 3. Perilaku Konsumen Menurut Engel et al (2006) dalam Sangadji dan Sopiah (2013), perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam pemerolehan, pengonsumsian, dan penghabisan produk/jasa, termasuk proses yang mendahului dan menyusul tindakan ini. Menurut Griffin (2005) dalam Sangadji dan Sopiah (2013), “perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologi yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi. ”Sementara menurut Ariely dan Zauberman (2006) dalam Sangadji Sopiah (2013), “perilaku konsumen merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan untuk mendapatkan, menggunakan barang-barang, atau jasa ekonomis yang dapat dipengaruhi lingkungan.” Dari pengertian perilaku konsumen di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah (1) disiplin ilmu yang mempelajari perilaku individu, kelompok, atau organisasi dan proses-proses yang digunakan konsumen untuk menyeleksi, menggunakan produk, pelayanan, pengalaman (ide) untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen, dan dampak dari proses-proses tersebut pada konsumen dan masyarakat; (2) tindakan yang dilakukan oleh konsumen guna mencapai dan memenuhi kebutuhannya baik dalam penggunaan, pengonsumsian, maupun penghabisan barang dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan yang menyusul; (3) tindakan 18 atau perilaku yang dilakukan konsumen yang dimulai merasakan adanya kebutuhan dan keinginan, kemudian berusaha mendapatkan produk yang diinginkan, mengonsumsi produk tersebut, dan berakhir dengan tindakantindakan pascapembelian, yaitu perasaan puas atau tidak puas. 3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pembelian Konsumen Menurut Kotler & Keller (2009:214-225) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian konsumen adalah : a. Faktor Kebudayaan Budaya, sub-budaya, dan kelas sosial sangat penting bagi perilaku pembelian. Budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku paling dasar. Masing-masing budaya terdiri dari sejumlah sub-budaya yang lebih menampakkan identifikasi dan sosialisasi khusus bagi para anggotanya. Sub-budaya mencakup kebangsaan, agama, kelompok ras, dan wilayah geografis. Pada dasarnya, semua masyarakat manusia memiliki stratifikasi sosial. Stratifikasi tersebut kadang-kadang berbentuk sistem kasta di mana para anggota kasta yang berbeda diasuh dengan mendapatkan peran tertentu dan tidak dapat mengubah keanggotaan kastanya. Stratifikasi lebih sering ditemukan dalam bentuk kelas sosial, pembagian masyarakat yang relatif homogen dan permanen, yang tersusun secara hirarkis dan yang para anggotanya menganut nilai, minat, dan perilaku serupa. 19 b. Faktor Sosial Selain faktor budaya, perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial, seperti kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status. Kelompok acuan seseorang terdiri dari semua kelompok yang memiliki pengaruh langsung (tatap muka) atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku orang tersebut. Keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan para anggota keluarga menjadi kelompok acuan primer yang paling berpengaruh. Peran meliputi kegiatan yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang. Masing-masing peran menghasilkan status. c. Faktor Pribadi Keputusan pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yang meliputi usia dan tahap dalam siklus hidup; pekerjaan, keadaan ekonomi; kepribadian dan konsep diri; serta nilai dan gaya hidup pembeli. Karena banyak karakteristik ini memiliki dampak sangat langsung pada perilaku konsumen, penting bagi pemasar untuk mengikuti mereka secara dekat. a) Usia dan Tahap Siklus Hidup Orang membeli barang dan jasa yang berbeda-bedasepanjang hidupnya. Selera orang terhadap pakaian, perabot, dan rekreasi juga berhubungan dengan usia. Konsumsi juga dibentuk oleh siklus hidup keluarga dan jumlah, usia, dan gender orang dalam rumah tangga pada satu saat. 20 b) Pekerjaan dan Lingkungan Ekonomi Pekerjaan seseorang juga memengaruhi pola konsumsinya. Para pemasar berusaha mengidentifikasi kelompok pekerjaan yang memiliki minat diatas rata-rata terhadap produk dan jasa mereka. Pilihan produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi seseorang: penghasilan yang dapat dibelanjakan (level, kestabilan, pola waktunya), tabungan dan aktiva (termasuk persentase aktiva yang lancar/liquid), utang, kemampuan untuk meminjam, dan sikap terhadap kegiatan berbelanja atau menabung. Para pemasar barang yang peka terhadap harga terus-menerus memerhatikan kecenderungan penghasilan pribadi, tabungan, dan tingkat suku bunga. c) Kepribadian dan Konsep Diri Kepribadian adalah ciri bawaan psikologis manusia (human psychological traits) yang khas yang menghasilkan tanggapan yang relatif konsisten dan bertahan lama terhadap rangsangan lingkungannya. Para konsumen sering memilih dan menggunakan merek yang memiliki kepribadian merek yang konsisten dengan konsep-diri aktual mereka sendiri (bagaimana seseorang memandang dirinya), walaupun dalam kasus yang sama pencocokan mungkin didasarkan pada konsep-diri ideal (memandang dirinya ingin seperti apa) atau bahkan konsep-diri orang lain (menganggap orang lain memandang dirinya seperti apa) dan bukan citra-diri aktual. 21 d) Gaya Hidup dan Nilai Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang terungkap pada aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya. Keputusan konsumen juga dipengaruhi oleh nilai inti, yaitu sistem kepercayaan yang melandasi sikap dan perilaku konsumen. Nilai inti itu jauh lebih dalam daripada perilaku atau sikap, dan pada dasarnya menentukan pilihan dan keinginan orang dalam jangka panjang. Pemasar yang menargetkan konsumen berdasarkan pada keyakinan nilai mereka dengan menarik bagi inner-selves orang sendiri, adalah mungkin untuk memengaruhi outer-selves—perilaku pembelian mereka. 4. Persepsi Persepsi adalah proses individu untuk mendapatkan, mengorganisasi, mengolah, dan menginterpretasikan informasi. Informasi yang sama bisa dipersepsikan berbeda oleh individu yang berbeda. Persepsi individu tentang informasi tergantung pada pengetahuan, pengalaman, pendidikan, minat, perhatian, dan sebagainya (Sangadji dan Sopiah, 2013). 4.1 Persepsi Konsumen Menurut Stanton (2001) dalam Sangadji dan Sopiah (2013), “persepsi dapat didefinisikan sebagai makna yang kita pertalikan berdasarkan pengalaman masa lalu, stimuli (rangsangan-rangsangan) yang kita terima melalui lima indera.” Menurut Hawkins dan Coney (2005) dalam Sangadji 22 dan Sopiah (2013), “persepsi adalah proses bagaimana stimuli itu diseleksi, diorganisasi, dan diinterpretasikan.” 4.2 Persepsi Pelanggan Terhadap Kualitas Menurut Ali Hasan (2014), kemampuan menciptakan nilai bagi pelanggan akan sangat tergantung dari komitmen perusahaan terhadap kualitas. Produk yang dipersepsikan memiliki kualitas adalah produk yang memiliki kesesuaian dengan yang dibutuhkan-diinginkan oleh konsumen, dan secara konstan dapat memenuhi kepuasan konsumen tanpa “cacat” sedikitpun. Dengan dasar itulah maka perusahaan dalam menciptakan kualitas harus: 1. Dirancang berdasarkan apa yang dipersepsikan oleh konsumen. 2. Direfleksikan dalam setiap aktivitas perusahaan. 3. Didukung oleh komitmen secara total oleh semua anggota organisasi serta memerlukan partner yang berkualitas. 4. Selalu dapat ditingkatkan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan konsumen. 5. Disadari bahwa kualitas tidak dapat menyelamatkan produk yang “cacat”. 4.3 Persepsi Kualitas Persepsi kualitas menurut Ali Hasan (2014) (Persepsi kualitas adalah persepsi pelanggan terhadap mutu atau keunggulan suatu produk dilihat dari fungsi relatif produk dibanding produk lain) dapat dibentuk melalui: 23 1. Produk rasional: berhubungan dengan menghilangkan masalah atau menghindarkan masalah; lem, deterjen, baterai, dan pasta gigi. 2. Produk yang dapat dirasakan: sensori, penghargaan emosional: kue, kartu ulang tahun, dan kacamata hitam. 3. Diferensiasi dan kepemimpinan biaya tidak harus meniadakan satu sama lain. 4. Kualitas itu dinamis, kesempurnaan, perbedaan, sesuai dengan spesifikasi dan memenuhi harapan pelanggan yang berlebih. 5. Keputusan Pembelian Menurut Peter dan Olson (2000) dalam Sangadji dan Sopiah (2013) menyebutkan bahwa “inti dari pengambilan keputusan konsumen (consumer decision making) adalah proses pengintegrasian yang mengombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua perilaku alternatif atau lebih dan memilih salah satu diantaranya.” Sementara Setiadi (2003) dalam Sangadji Sopiah (2013) mendefinisikan bahwa inti dari pengambilan keputusan konsumen adalah proses pengintegrasian yang mengombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua perilaku alternatif atau lebih, dan memilih salah satu diantaranya. Hasil dari proses pengintegrasian ini adalah suatu pilihan yang disajikan secara kognitif sebagai keinginan berperilaku. 24 Para konsumen melewati lima tahap: pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku pasca pembelian (Kotler & Keller, 2009:234-244). 1. Pengenalan Masalah Proses pembelian dimulai ketika pembeli menyadari suatu masalah atau kebutuhan yang dipicu oleh rangsangan internal atau eksternal. Pemasar harus mengidentifikasi keadaan yang memicu kebutuhan tertentu dengan mengumpulkan informasi dari sejumlah konsumen. 2. Pencarian Informasi Ternyata, konsumen akan sering mencari sejumlah informasi yang terbatas. Keadaan pencarian informasi yang lebih rendah disebut dengan perhatian tajam. Pada tingkat ini, seseorang hanya menjadi lebih reseptif terhadap informasi tentang sebuah produk. Pada tingkat berikutnya seseorang dapat memasuki pencarian informasi aktif: mencari bahan bacaan, menelpon teman, melakukan kegiatan online dan mengunjungi toko untuk mempelajari produk tersebut. Sumber informasi utama dibagi kedalam empat kelompok, yaitu : a. Pribadi : Keluarga, teman, tetangga dan rekan. b. Komersial : Iklan, situs web, wiraniaga, penyalur, kemasan dan tampilan. c. Publik : Media massa, organisasi pemeringkat konsumen. d. Eksperimental : Penanganan, pemeriksaan dan pengunaan produk. 25 Secara umum, konsumen menerima informasi terpenting tentang sebuah produk dari komersial, yaitu sumber yang didominasi pemasar. Meskipun demikian, informasi yang paling efektif sering berasal dari sumber pribadi atau sumber publik yang merupakan otoritas independen. 3. Evaluasi Alternatif Tidak ada proses evaluasi tunggal yang digunakan oleh semua konsumen, atau oleh seorang konsumen dalam situasi pembelian. Ada beberapa proses dan sebagian besar model terbaru melihat konsumen membentuk sebagian besar penilaian secara sadar dan rasional. Beberapa konsep dasar yang akan membantu kita memahami proses evaluasi : Pertama, konsumen berusaha memuaskan sebuah kebutuhan. Kedua, konsumen mencari manfaat tertentu dari solusi produk. Ketiga, konsumen melihat masing-masing produk sebagai sekelompok menghantarkan atribut dengan manfaat yang berbagai diperlukan kemampuan untuk untuk memuaskan kebutuhan ini. 4. Keputusan Pembelian Dalam tahap evaluasi, konsumen membentuk preferensi antar merek dalam kumpulan pilihan. Konsumen mungkin juga membentuk maksud untuk membeli merek yang paling disukai. Dalam melaksanakan maksud pembelian, konsumen dapat membentuk lima sub keputusan : merek (merek A), penyalur (penyalur 2), kuantitas 26 (satu komputer), waktu (akhir minggu) dan metode pembayaran (kartu kredit). Dalam pembelian produk sehari-hari, keputusannya lebih kecil dan kebebasannya juga lebih kecil. Sebagai contoh, saat membeli gula, seorang konsumen tidak banyak berfikir tentang pemasok atau metode pembayaran. 5. Perilaku Pasca pembelian Setelah pembelian, konsumen mungkin mengalami konflik dikarenakan melihat fitur tertentu yang mengkhawatirkan atau mendengar hal-hal menyenangkan tentang merek lain dan waspada terhadap informasi yang mendukung keputusannya. Komunikasi pemasaran seharusnya memasok keyakinan dan evaluasi yang memperkuat pilihan konsumen dan membantunya merasa nyaman tentang merek tersebut. Karena itu, tugas pemasar tidak berakhir dengan pembelian. Pemasar juga harus mengamati kepuasan pascapembelian, tindakan pascapembelian dan penggunaan produk pascapembelian. Pada tindakan pascapembelian, jika konsumen puas, mereka mungkin ingin membeli produk itu kembali dan cenderung akan mengatakan hal-hal yang baik tentang merek kepada orang lain. Sebaliknya jika konsumen merasa kecewa mungkin mereka mengembalikan produk tersebut. akan mengabaikan atau 27 6. Keterkaitan Antara Citra Merek dengan Keputusan Pembelian Konsumen Rangkuti (2004) dalam Sangadji dan Sopiah (2013) mendefinisikan citra merek sebagi sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk di benak konsumen. Dengan kata lain, citra merek adalah seperangkat ingatan yang ada di benak konsumen mengenai sebuah merek, baik itu positif maupun negatif. Ingatan terhadap sebuah merek dapat berupa atribut produk dan manfaat yang dirasakan oleh konsumen. Menurut Kotler (2005) dalam Sangadji dan Sopiah (2013), atribut produk tidak berkaitan dengan fungsi produk, melainkan dengan citra sebuah produk di mata konsumen. Citra yang positif atau negatif lebih mudah dikenal oleh konsumen sehingga produsen selalu berusaha mempertahankan, memperbaiki, dan meningkatkan citra merek produknya di mata konsumen. Citra merek yang positif memberikan manfaat bagi produsen untuk lebih dikenal konsumen. Dengan kata lain, konsumen akan menentukan pilihannya untuk membeli produk yang mempunyai citra yang baik.begitu pula sebaliknya, jika citra merek negatif, konsumen cenderung mempertimbangkan lebih jauh lagi ketika akan membeli produk (Sangadji dan Sopiah, 2013). 28 Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Dwi Milah Sari, 2013 Dea Apriliani Safitri, 2013 Ahmad Fauzi, 2013 Judul Penelitian Pengaruh Motivasi dan Persepsi Kualitas Mahasiswa Terhadap Keputusan Pembelian Smartphone BlackBerry di Kampus Universitas Mercu Buana Jakarta Barat Pengaruh Brand Awareness dan Brand Image Terhadap Keputusan Pembelian Motor Honda Matic Pengaruh Periklanan dan Citra Merek Terhadap Keputusan Pembelian Sepeda Motor Vario Techno 110CC Vitha Lady Pengaruh Persepsi Yosephine, Kualitas dan Gaya 2013 Hidup Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Produk Samsung Galaxy Note II Variabel Penelitian Variabel independen: Motivasi, Persepsi Kualitas Variabel dependen: Keputusan Pembelian Kesimpulan Variabel motivasi dan persepsi kualitas memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian Variabel Variabel brand Independen: Brand awareness dan brand Awareness, Brand image berpengaruh Image besar terhadap Variabel keputusan pembelian Dependen: Keputusan Pembelian Variabel Variabel periklanan Independen: berpengaruh secara Periklanan, Citra signifikan terhadap Merek keputusan pembelian. Variabel Sedangkan, citra merek Dependen: tidak berpengaruh Keputusan secara signifikan Pembelian terhadap keputusan pembelian Variabel Variabel persepsi Independen: kualitas dan gaya hidup Persepsi Kualitas, berpengaruh secara Gaya Hidup signifikan terhadap Variabel keputusan pembelian Dependen: Keputusan Pembelian 29 B. Rerangka Pemikiran Berdasarkan judul yang diangkat oleh penulis “Peranan Citra Merek dan Persepsi Kualitas Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Pada Smartphone Android Samsung (Studi Kasus pada Mahasiswa Universitas Mercu Buana Jakarta), maka dari judul tersebut terdapat variabel yang terbagi atas variabel endogen dan variabel eksogen. Berdasarkan uraian diatas, maka skema rerangka teoritis dari penelitian ini dapat dilihat dibawah ini : Citra Merek X1 H1 Persepsi Kualitas Keputusan Pembelian H2 Y X2 H3 GAMBAR 2.1 SKEMA RERANGKA PEMIKIRAN 30 C. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban atau dugaan sementara terhadap permasalahan yang diteliti dan kebenarannya perlu di uji secara empiris. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan terlebih dahulu, maka dapat ditarik hipotesis (jawaban sementara) atas beberapa variabel yang ingin penulis teliti. Dan berdasarkan rerangka pemikiran di atas, diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Diduga Citra Merek berpengaruh terhadap Keputusan Pembelian Konsumen. 2. Diduga Persepsi Kualitas berpengaruh terhadap Keputusan Pembelian Konsumen. 3. Diduga Citra Merek dan Persepsi Kualitas berpengaruh secara simultan terhadap Keputusan Pembelian Konsumen.