BAB V PENUTUP Kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintah Jepang sering dilakukan untuk memfasilitasi pihak swastanya mengembangkan jaringannya di luar negeri. Hal serupa juga terjadi dalam proposal mengenai kerjasama Joint Crediting Mechanism yang diajukan pihak Jepang kepada Indonesia. Dalam JCM, muncul sebuah pendekatan baru yang dilakukan pihak Jepang dalam mendorong pihak swastanya. Pendekatan tersebut dilakukan dengan membawa isu perubahan iklim dengan mendorong kegiatan transfer teknologi rendah karbon. Sebagai misi utama, JCM memiliki tujuan utama sebagai media untuk mencari kredit karbon melalui skema internasional yang dilakukan oleh pihak swasta Jepang. Skema tersebut dijalankan oleh Jepang dengan penggunaan teknologi yang dimiliki oleh Jepang pada proyek yang telah disetujui. Berkaca pada hal tersebut, maka skema JCM juga dapat dilihat sebagai upaya Jepang untuk memperluas pasar di sektor teknologi rendah karbon di luar negeri dengan menargetkan negara-negara berkembang sebagai destinasi dari teknologi tersebut. Dengan membawa isu perubahan iklim, pemerintah Jepang mendelegasikan agen-agennya, yaitu melalui METI dan MOE sebagai focal point untuk menawarkan proposal JCM ke negara berkembang, salah satunya Indonesia. Kerjasama ini kemudian disepakati oleh kedua pemerintah masing-masing negara (G to G) ditandai penandatanganan perjanjian yang menjadi dasar hukum pelaksanaan kerjasama serta pembentukan komite bersama. Dalam proses negosiasi, kemajuan teknologi rendah karbon yang dimiliki Jepang tidak serta merta menjadi suatu keunggulan yang akan mempermudah proses negosiasi. Tantangan muncul terkait pengembangan metodologi, teknologi, dan keterlibatan partner lokal dalam skema kerjasama. Pihak Indonesia mengkhawatirkan legitimasi dari metodologi baru yang dikembangkan dalam kerjasama JCM yang dianggap terlalu sederhana. Namun menurut pihak Jepang, kesederhanaan dalam metodologi itulah yang menjadi poin utama yang akan membedakan JCM dengan mekanisme sebelumnya. 64 Tantangan lainnya juga muncul dari industri sejenis negara lain yang juga berupaya masuk ke dalam pasar tersebut. Jaminan atas kualitas dan pengelolaan teknologi secara berkelanjutan melalui pihak swasta serta pemberian subsidi melalui lembaga dalam negeri seperti MOE, METI, ADB, atau JICA yang pada prosesnya mampu menekan biaya yang diperlukan dalam pengaplikasian teknologi yang dimiliki menjadi hal yang ditawarkan Jepang melalui mekanisme JCM. Hal itulah yang menjadi daya tarik bagi perusahaan atau industri dalam negeri Indonesia sehingga tertarik untuk terlibat dalam proyek JCM. Menggunakan tawaran-tawaran tersebut, pihak Jepang melalui lembagalembaganya melakukan pendekatan secara sektoral atau keproyekan terhadap pihak Indonesia guna meyakinkan pemerintah untuk menyetujui kerjasama tersebut. Melalui pendekatan tersebut, kemudian menghasilkan input dari studi proyek yang telah dilakukan pihak swasta/bisnis yang didanai pemerintah, untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Indonesia mengenai potensi dari kerjasama JCM. Pada prosesnya, Indonesia mendapatkan kesempatan untuk mengimplementasikan proyek pertama di dunia dibawah skema JCM. Pelaksanaan proyek tersebut melibatkan 3 partisipan proyek. Dalam pelaksanaannya, muncul indikasi bahwa proyek JCM yang disetujui cenderung memprioritaskan perusahaan yang memiliki afiliasi dengan pihak Jepang. Pihak sekretariat tidak sepenuhnya membenarkan pernyataan tersebut. Lolosnya proyek tersebut cenderung dikarenakan faktor teknis dari proyek, dimana metodologi yang diajukan telah sesuai. Hubungan yang dimiliki perusahaan dengan pihak Jepang hanya menjadi nilai plus tersendiri, untuk mempermudah proses komunikasi diantara perusahaan terkait proyek. Terkait dengan manfaat bagi perusahaan untuk terlibat dalam proyek JCM berbeda-beda bagi masing-masing partisipan proyek. Bagi Nippon Koei dan Ebara yang merupakan perusahaan dari Jepang memperoleh manfaat dari sisi menambah konsumen dari produk dan jasa yang mereka tawarkan. Sementara bagi Primatexco, selain mendapatkan transfer teknologi rendah karbon, tidak ada pengaruh secara langsung terhadap proses produksi. Manfaat yang diambil dari Primatexco lebih pada aspek efisiensi konsumsi energi pada pabrik dalam penggunaan chiller yang diperoleh melalui skema JCM. Meningkatnya efisiensi energi akan mampu 65 menghemat biaya pada sektor tersebut. Sehingga sumber daya yang pada awalnya dialokasikan pada konsumsi energi dapat dialihkan ke sektor-sektor lain yang lebih produktif. Berkaca pada salah satu proyek yang telah dipaparkan, kita dapat mengambil kesimpulan juga bahwa selain akan memperoleh kredit karbon yang akan dimasukan pada target penurunan emisi nasional, pihak Jepang melalui kerjasama JCM juga telah berhasil mendorong partisipasi pihak swastanya baik yang di dalam maupun di luar negeri untuk terlibat dalam kerjasama JCM. Mulai dari pabrikan teknologi yang memasarkan teknologinya, konsultan teknis, dan anak perusahaan yang telah beroperasi di negara mitra untuk terlibat dalam proyek-proyek JCM. 66