Pengolahan Biologis pada Hijuan

advertisement
Pengolahan Biologis pada Hijauan
Muhammad Ridla
Jurusan Ilmu Nuturisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan IPB.
Pendahuluan
Pengolahan biologis pada hijauan atau sumber serat umumnya dilakukan dengan
cara memfermetasikan bahan tersebut dalam kondisi anaerob pada waktu tertertu. Tujuan
dari pengolahan biologis ini umumnya adalah untuk pengawetan disamping itu juga bisa
meningkatkan kualitas nutirisi atau daya cerna bahan.
Untuk meningkatkan kualitas produk hasil fermentasi sering ditambahkan bahan
pemicu atau penghambat fermentasi baik berupa bahan kimia seperti asam dan alkali
maupun zat aditive mikrobiologis. Bahan kimia yg sering digunakan adalah asam format
dan NaOH sedangkan bahan mikrobiologis umunya adalah berupa jamur (kapang) dan
bakteri atau emzim yang dihasilkan dari kedua komponen mikrobiologis tersebut.
Teknologi fermentasi pada pengolahan pakan yang sudah umum digunakan adalah pada
pembuatan silase baik untuk hijaun rumput-rumputan, leguminosa atau sumber serat lainya
seperti jerami, bagas dan daun sawit.
Teknik fermentasi sebagai salah satu metode biologis pada pengolahan bahan
berserat telah lama dipraktekan dan menjadi populer sebagai salah satu cara untuk
memperbaiki nilai nutrisi bahan pakan setelah ditemukanya aditif mikrobiologis baik dari
jenis enzim dan fungi penghancur serat maupun inokulan bateri asam laktat.
Untuk
menjamin terjadinya proses fermentasi anaerob yang baik bahan berserat haruslah
mengandung kecukupan populasi bakteri asam laktat (BAL) yang memadai dan adanya
substrat karbohidrat yang mudah difermentasikan. Sudah dapat diyakini bahwa terjadinya
dominasi BAL homofermentatif dalam suatu anaerob fermentasi dengan cara
menginokulasikannya akan kurang bermanfaat apabila tidak ditunjang dengan tersedianya
substrat yang mudah difermentasi. Untuk itu penggunaan zat aditif mikrobiologsis lainya
seperti enzim dan fungi akan saling melengkapi dalam teknik pengawetan pakan hijauan
atau sumber serat lainya melalui proses fermentasi anaerob.
Sehingga pengatahuan
mengenai bahan hijauan atau sumber serat lainya yang akan difermentaikan serta sifat-sifat
aditif mikrobiologis yang akan digunakan perlu diketahui terlebih dahulu dengan baik
untuk mendapatkan hasil pengolahan pakan yang efektif sesuai dengan yang diinginkan.
Sumber Hijauan
Bahan hijauan atau lainya yang memiliki sifat ideal untuk dapat diolah secara
biologis melalui proses fermentasi haruslah memiliki sejumlah karbohidrat mudah
difermentasi (WSC) yang cukup, relatif rendah sifat kapasitas bufernya serta memiliki
bahan kering lebih dari 20 %. Untuk hal ini tanaman jagung merupakan bahan hijauan
yang paling mendekati memenuhi kriteria ideal tersebut sehingga mudah untuk diawetkan
melalui proses ensilase. Sebaliknya alfalfa adalah hijaun yang mempunyai sifat sebaliknya
yaitu sangat sulit untuk diawetkan dalam bentuk silase apabila tidak diberi aditif untuk
meningkatkan kualitas fermentasinya.
Rumput-rumputan adalah jenis hijauan yang paling umum digunakan sebagai
bahan silase. Hal ini mungkin disebabkan rumput-rumputan mengandung komposisi kimia
yang memadai untuk dapat diawetkan melalui proses ferementasi dibanding dengan jenis
hijauan dari leguminosa. Umumya rumput-rumputan mengandung WSC lebih tinggi
dibanding dengan leguminosa akan tetapi sangat bervariasi kandunganya tergantung pada
spesies, cultivar, fase tumbuh, interval pemotongan, penggunaan pupuk dan iklim.
Spesies rumput-rumputan asal tropis memiliki karakteristik yang berbeda baik
secara fisik maupun kimia bila dibandingkan dengan spesies rumput-rumputan asal
temperat (daerah 4 musim). Sehingga hal ini dapat menyebabkan adanya perbedaan baik
pada nilai nutirisinya ketika diberikan ke ternak maupun pada karakteristik pola
pengolahanya ketika diawetkan seperti pada pembuatan silase. Pada spesies rumputrumputan asal temperat umumnya mengandung WSC cukup tinggi dalam bentuk fruktan.
WSC ini dengan sangat mudah dapat difermentasikan oleh BAL. Sebaliknya pada spesies
rumput-rumputan asal tropis disamping fruktan sebagian besar komponen utama dari
WSC-nya ada dalam bentuk pati yang secara alami BAL tidak mempunyai kemampuan
untuk memfermentasikan pati secara langsung. Heksosa adalah jenis karbohidrat yang
sangat mudah difermentasikan untuk mencapai proses ensilase yang baik, akan tetapi
umumnya karbohidrat yang terdapat dalam hijauan ada dalam bentuk polimer serat yang
terdapat pada dinding sel dan tidak bisa difermentasikan oleh BAL (Tabel 1).
Tabel 1. Komponen nonstruktural karbohidarat (g kg-1 BK) dari beberapa jenis
rumput asal tropis dan temperate*)
Daun (D)
Batang (B)
Gula
larut
Gula
lain
Fruktan
Pati
Total
B
D
18
23
49
64
41
141
-
108
228
B
D
14
23
54
36
6
49
-
76
108
B
D
12
21
42
40
13
54
-
67
115
B
D
7
24
30
20
3
14
-
40
58
Pangola grass
(Digitaria
decumbens)
B
D
20
23
21
96
-
45
1
86
123
Buffel grass
(Cenchrus
ciliaris)
Golden Timothy
grass
(Setaria
sphacelata)
B
D
14
18
17
30
-
26
6
57
54
B
D
32
63
17
22
-
38
11
87
96
Rumput
Temperate
Perennial
ryegrass
(Lolium perenne)
Timothy
(Phleum
pratence)
Meadow fescue
(Festuca
pratensis)
Cocksfoot
(Dactylis
glomerata)
Tropik
*)MCDonald et al. (1991)
Jumlah minimal kandungan WSC untuk mendukung terjadinya proses fermentasi
yang baik dalam pembuatan silase adalah sekitar 2 – 3 % BS atau sekitar 3 – 5 % BK.
Pada spesies rumput-rumputan asal tropis jumlah WSC ini jauh lebih sedikit sehingga
untuk mencapai ketersediaan level WSC yang memadai untuk mendukung terjadinya
fermentasi oleh BAL penggunaan fungi atau enzim penghancur serat seperti selulase,
hemiselulase atau pektinase menjadi sangat dianjurkan.
Silase dan Zat Aditif Biologis
Silase adalah produk dari hijaun berkadar air tinggi yang difermentasikan dengan
terkontrol. Ensilase adalah nama dari proses pembuatannya dan silo adalah nama dari
tempat terjadinya proses fermentasi. Hampir semua hijuan atau sumber serat lainya dapat
digunakan sebagai bahan untuk silase tetapi yang umum adalah rumput-rumputan, kacangkacangan dan semua biji-bijian terutama jagung.
Untuk meningkatkan kualias silase sering ditambahkan bahan aditif yang pada
dasarnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu 1. Sebagai stimulan fermentasi dan 2. Sebagai
inhibitor fermentasi. Jenis-jenis additive baik yang termasuk stimulan maupun inhibitor
dapat dilihat pada Tabel 2. Zat aditif stimulan fermentasi bekerja membantu pertumbuhan
bakteri asam laktat untuk lebih cepat tumbuh dengan demikian dapat memproduksi asam
laktat lebih cepat sehingga kondidi asam segera tercapai. Sedangkan inhibitor fermentasi
digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk seperti clostridia
sehingga pakan bisa awet. Penambahan zat aditive mikrobiologis jamur yang umum
digunakan adalah jenis jamur penghancur ligno-selulase seperti tricoderma viridae,
Pleorotus sp. dll sedangkan bakteri yang umum digunakan adalah bakteri asam laktat
seperti Lactobacillus plantarum, Pediococcus pentosaceus dll sedangkan enzim yang
umum digunakan adalah dari jenis penghancur serat seperti hemiselulase dan selulase.
Penambahan zat aditive mikrobiologis baik berupa jamur, bakteri maupun enzim
dapat dikatagorikan sebagai bahan stimulan fermentasi.
Jamur dan enzim pengancur
(hemi)selulosa berperan dalam menyediakan bahan karbohidrat mudah larut hasil dari
penghancuran sumber serat sehingga menjadi mudah dimanfaatkan oleh bakteri asam
laktat sebagai substrat untuk hidupnya.
Sedangkan penambahan bakteri asam laktat
berfungsi untuk meningkatkan populasi bakteri dalam bahan pakan yang difermentasikan
dimana kemungkinan jumlah bakteri asam laktat epipit populasinya kurang mendukung
terjadinya proses fermentasi yang baik yaitu minimal harus terdapat sebanyak 105 cfu/g
bahan.
1. Bakteri Asam Laktat (BAL)
Istilah ini diberikan kepada satu grup bakteri dari beberapa genera yang dapat
menghasilkan asam laktat (Tabel 3). Bakteri asam laktat ini selalu ditemukan pada hijuan
bagian luar tetapi perananya belum dapat diketahui dengan jelas. Diduga keberadaan BAL
ini dalam tanaman untuk melindungi tanaman dari serangan pathogenik mikroorganisme
dengan memproduksi antagonistik komponen seperti beberapa asam, bakteriosin dan agen
anti-fungal. Hal ini mungkin ada benarnya setelah ditemukan BAL dalam jumlah yang
banyak pada bagian tanaman yang rusak.
Tabel 2. Beberapa bentuk aditiv untuk silase dan komponennya*)
Pendorong
Penghambat
Sumber
Nutrien
Inoculant
Enzim
bakteri
Sumber
substrat
Asam
Lainya
Bakteri
Asam
laktat
Amylases
Molasses
Formic
Ammonia
Cellulases
Glucose
Propionic
Urea
Urea
Hemicellulases Sucrose
Acetic
Sodium chloride
Limestone
Pectinases
Dextrose
Lactic
Carbon dioxide
Other
mineral
Proteases
Whey
Caproic
Sodium sulfate
Xylanases
Cereal
grain
Beet pulp
Sorbic
Sodium sulfite
Benzoic
Citrus
pulp
Acrylic
Sodium
hydroxide
Formaldehyde
Hydrochloric Paraformaldehyde
*) Muck and Bolsen (1991) and Bolsen (1996).
Habitat dari BAL ini sangat beragam dan toleran baik terhadap pH, suhu dan udara.
BAL bisa bertahan hidup pada kondisi pH yang beragam mulai dari pH 4.0 sampai 6.8.
Bahkan Pediococcus damnosus (cerevisae) dapat bertahan pada pH 3.5. Sedangkan BAL
dari spesies Streptococcus umunya bertahan pada pH sekitar 4.5 sampai 5.0. Sedangkan
untuk spesies Lactobacillus akan tumbuh subur pada media asam mulai dari pH 4.5 sampai
6.4.
Kisaran suhu hidup BAL sangat luas dan beragam mulai dari 5 sampai 50oC. Suhu
optimum untuk kebanyakan strain adalah 30oC. Umumnya spesies Lactobacillus tumbuh
pada suhu 15oC dan tidak dapat hidup pada suhu 45oC. Kecuali Lactobacillus fermentum
bisa hidup lebih baik pada suhu 45oC dan tidak bisa tahan pada suhu 15oC. BAL dari
spesies Enterococcus mempunyai tenggang suhu yang sangat tinggi yaitu maulai dari 10oC
sampai 45oC
BAL hidupnya bersifat facultative yaitu bisa bertahan baik pada kondisi aerob
maupun anaerob. Pada kondisi anaerob BAL bisa memfermentasikan beragam substrat
sedangkan pada konsisi aerob dapat disaingi hidupnya oleh bakteri lain.
Sumber BAL dapat ditemukan dialam atau pada tumbuhan (ephipitic) tetapi
jumlahnya hanya sedikit.
Belakangan ditemukan BAL dalam tumbuhan jumlahnya
meningkat terutama didaerah yang sering diproduksi silase. Sebagai contoh ditemukan
jumlah BAL dalam tanaman jagung dan rumput didaerah yang sering diproduksi silase
bisa mencapai 104-105 cfu/g dibanding dengan didaerah yang belum pernah dibuat silase
hanya mencapai jumlah 102-103 cfu/g .
Tabel 3. Bakteri asam laktat dalam silase*)
Homofermentative
Heterofermentative
Rod
Lactobacillus plantarum
Lactobacillus casei
Lactobacillus curvatus
Lactobacillus brevis
Lactobacillis buchneri
Lactobacillus fermentum
Coccus
Pediococcus cerevisiae
Streptococcus faecalis
Streptococcus lactis
Streptococcus faecium
Leuconostoc mesenteroides
Leuconostoc dextranicum
Leuconostoc cremoris
*) McDonald et al. (1982).
2. Enzim dan Fungi Penghancur Serat
Penggunaan emzim dan fungi yang mempunyai kapasitas penghacur selulosa atau
hemiselulosa dalam pengolahan pakan berserat khususnya silase ditujukan 1. Untuk
meningkatkan daya cerna bahan berserat, 2. Untuk meningkatkan jumlah karbohidrat
mudah larut dalam air (WSC) sebagai akibat dari dihancurkannya beberapa komponen
serat oleh enzim atau fungi sehingga menurun dan atau dirubah menjadi komponen gula
yang mudah difermentasikan.
Aspergillus niger dan Trichoderma viride adalah 2 spesies fungi yang sudah dan
sering digunakan dalam pengolahan pakan berserat. Akan tetapi karena kesulitan dalam
teknologi penerapannya, belakangan ini lebih sering digunakan dalam bentuk enzim yang
dihasilkan dari kedua spesies fungi tersebut. Enzim selulase yang dihasilkan dari T. viride
diketahui aktifitasnya lebih tinggi dibanding dengan enzim selulase hasil dari A. niger. Hal
ini dibuktikan dari jumlah selulosa yang berhasil didegradasi oleh enzim turunan dari T.
viride lebih tinggi. T. viride ini juga dikenal dapat memproduksi sistem enzim yang
komplit sehingga dapat menghidrolisis selulosa menjadi glukosa.
Enzim ini umumnya bekerja optimum pada kondisi asam (pH +4) sehingga sebagai
salah satu aditiv silase akan menjadi sangat berguna apabila ditambahkan secara
bersamaan dengan aditif lain serprti BAL atau asam format. Penggunaan aditif enzim
secara bersamaan dengan BAL akan berpeluang untuk meningkatkan efisiensi fermentasi
dimana glukosa yang sudah dibebaskan oleh enzim akan segera dapat dikonversikan
menjadi asam laktat oleh BAL.
Penambahan enzim akan terlihat pengaruhnya pada peningkatkan kualitas
fermentasi ketika hijaun yang digunakan mengandung WSC yang rendah dan tinggi
komponen seratnya. Sebaliknya apabila digunakan pada hijuan yang mengandung WSC
tinggi dapat menghasilkan jumlah yeast dan etanol yang tinggi, dan ini mengindikasikan
bahwa telah terjadi fermentasi yang kurang efisien sebagai akibat dari pendegradasian
kompeonen monosakarida oleh enzim.
Selain mengandung selulase umumnya enzim yang dijual dipasaran juga masih
mengandung hemiselulase.
Sehingga aktifitas sistem enzim campuran ini
terhadap
komponen polisakarida dari hiajuan akan menghasilkan komponen gula campuran dari
heksosa dan pentosa. Komponen hemiselulosa dari rumput-rumputan umumnya adalah
arabinoxylan dan sedikit β–glukan. Dimana komponen arabinosa lebih mudah dihidrolisis
dibandingkan dengan komponen dari xylan.
Proses fermentasi bisa juga berpengaruh terhadap karbohidrat di dinding sel
khusunya hemiselulosa.
Proses fermentasi ini bisa menurunkan kadar hemiselulosa
rumput sebesar 10 – 20 % dan sedikit menurunkan kadar selulosa (5 %).
Hal ini
tergantung juga pada jenis rumput dan bahan aditif yang digunakan. Mekanisme hidrolisis
ini biasa secara alami terjadi pada waktu proses ensilase sehingga dengan adanya
penambahan aditif enzim akan lebih menpercepat lagi terjadinya hidrolisis komponen
dinding sel tersebut.
Penggunaan enzim selulase tidak diragukan lagi secara efektif dapat meningkatkan
komponen karhohidrat mudah larut dalam silase hijauan.
Akan tetapi pengaruhnya
terhadap peningkatan daya cerna bahan masih belum menunjukan hasil yang efectif. Hal
ini mungkin disebabkan oleh kemampuan enzim menghidrolisis komponen serat hanya
terbatas pada komponen yang juga biasa dicerna oleh mikroba rumen. Dengan kata lain
bahan yang biasa dicerna oleh mikroba rumen telah terlebih dahulu dihidrolisis oleh enzim
sehingga bahan sisa yang masuk ke rumen adalah bahan yang tidak bisa lagi dicerna
mikroba rumen sehingga tidak terjadi peningkatan daya cerna.
Silase Laktat
Pada silase jenis ini baik yang diproduksi dari rumput-rumputan maupun jagung,
bakteri asam laktat mendominasi proses fermentasi.
Tabel 4 memperlihatkan proses
fermentasi oleh BAL homofermentatif maupun heterofermentatif dari sumber karbohidrat
mudah larut dalam air (WSC) seperti glukosa, fruktosa, sukrosa dan fruktan yang ada
dalam hijauan menjadi asam laktat dan beberapa jenis asam organik lainya. Beberapa
pentosa juga dapat dilepaskan dari hidrolisis ikatan hemisellulosa dan bahan ini juga dapat
difermentasikan menjadi asam laktat.
Silase laktat dapat diidentifikasi dari karakteristik fermentasinya yaitu ditunjukan
dengan pH rendah (mendekati 3.7 - 4.2), mengandung asam laktat dalam konsentrasi
cukup tinggi (sekitar 8 - 12 %) dan hanya sedikit mengandung asam format, asetat,
propionat dan butirat. Biasanya juga mengandung mannitol dan ethanol yang diproduksi
oleh bakteri asam laktat heterofermentatif dan yeast dalam jumlah sedikit (Tabel 5)
Table 4. Produk utama hasil fermentasi gula oleh bakteri asam laktat*)
Gula
Homofermentatif Bakteri Asam laktat
Glukosa
2 Asam laktat
Fruktosa
2 Asam laktat
Xylosa
Asam laktat d + Asam asetat
Arabinosa
Asam laktat + Asam asetat
Heterofermentatif Bakteri Asam Laktat
Glukosa
Asam laktat + etanol + CO2
3 Fruktosa
Asam laktat + asam asetat + C02 + 2 mannitol
2 Fruktosa + Glukosa
Asam laktat + asam asetat + C02 + 2 mannitol
*)
McDonald et al. (1991).
Selain komponen WSC bahan lain seperti asam-asam organik yang terdapat dalam
tumbuhan, sitrat dan malat dapat digunakan sebagai substrat untuk difermentasikan
menjadi asam laktat dan produk lain seperti asetoin dan 2,3 butanodiol.
Kapasitas buffer (jumlah milieqivalen alkali yang dibutuhkan untuk merubah pH
ekstrak silase dari 4 menjadi 6) dalam silase laktat juga tinggi. Nilai kapasitas buffer
dalam rumput segar biasanya berkisar antara 250 – 400, sedangkan dalam legum seperti
clover dan alfalfa lebih tinggi yaitu antara 500 – 600.
Pada silase laktat biasanya
ditemukan nilai kapasitas buffer 3 – 4 kali lebih tinggi dari yang terdapat pada hijuan,
sebagai akibat dari tingginya konsentrasi asam dan garam-garam mineral yang ada.
Kandungan dinding sel (serat kasar) hijauan yang dibuat silase bisa terjadi
peningkatan sebagai akibat dari adanya kehilangan komponen nutrisi yang berubah
menjadi gas atau cairan silase (effluent). Jumlah effluent silase bervariasi tergantung dari
kadar bakan kering hijauan waktu difermentasikan, dimana semakan tinggi bahan kering
bahan jumlah effluent yang diproduksi semakin mengecil.
Table 5. Ciri khas komposisi kimia silase laktat*)
Komposisi
Total N
Protein N (% Total N)
NH3-N (% Total N)
WSC
Glukosa
Fruktosa
Fruktan
Asam format
Asam asetat
Asam propionat
Asam butirat
Asam laktat
Etanol
Mannitol
*)
McDonald et al. (1982).
% BK
2.3
23.5
7.8
1.0
0.2
0.3
0.1
3.6
0.2
0.1
10.2
1.2
4.1
Komponen nitrogen dari laktat silase umunya ada dalam bentuk non protein yang
mudah larut. Hal ini berbeda dengan komponen nitrogen yang terdapat pada hiajuan
dimana 75 - 80 % komponen nitogennya adalah protein. Proteolosis terjadi dengan cepat
dan ekstensif segera setalah hijauan dipotong dan hal ini terus berlangsung dalam silo
sampai dicapainya pH rendah.
Dalam laktat silase sekitar 50 % dari protein hijaun akan dirubah menjadi
komponen yang lebih sederhana (N-Ammonia, N-Amida, N-Nitrat dll.) selama
penyimpanan minggu pertama. Untuk menunjukan baik tidaknya suatu silase sering juga
digunakan ukuran seberapa jumlah N-Ammonia yang terdapat pada silase tersebut. Silase
laktat biasanya mengandung N-Ammonia < 11 % dari Total Nitrogen. Tinggi rendahnya
kandungan N-Ammonia bisa juga menunjukan berapa besar terjadinya penghancuran
asam-amino (deamination) akibat proses proteolisis. Hal ini juga bisa mengambarkan sifat
fermentasi yang terjadi selama penyimpanan, dimana silase yang didominasi aslam laktat
akan segera dapat menurunkan pH dan mengahalangi tumbuhnya bakteri proteolitik seperti
clostridia.
Kandungan N-larut yang terlalu tinggi dalam silase biasanya tidak menuntungkan
bagi ternak dimana retensi N yang larut dalam silase jumlah retensinya sering lebih rendah
dibanding dengan N pada hijauan segar atau hay. Terlalu tingginya jumlah N mudah larut
dalam silase apabila tidak diimbangi dengan jumlah karbohidarat mudah larut akan
mengakibatkan tingginya konsentrasi N-Ammonia dalam cairan rumen.
Sebagai akibat dari terjadinya perubahan-perubahan selama fermentasi, khususnya
pengaruh dari komponen WSC yang mengacu pada terjadinya formasi kandungan energi
yang tinggi seperti adanya etanol, kandungan gross energi (GE) laktat silase bisa
meningkat secara nyata dibanding dengan nilai GE dari rumput segar atau yang sudah
dilayukan.
Perubahan-perubahan bisa juga terjadi pada nilai metabolis energi (ME). Secara
umum nilai daya cerna tidak dipengaruhi, dimana nilai kandungan energi dalam feses
ternak yang diberi silase laktat dan rumput segar adalah sama. Namun beberpa peneliti
menemukan energi yang hilang melalui gas metan sedikit berbeda dari ternak yang
mendapat rumput segar dan bervariasi antara 0.06 – 0.09 (E-CH4/GE). Demikian juga
dengan energi yang hilang melalui urin pada ternak yang diberi silase laktat nilainya lebih
tinggi dibanding dengan ternak yang mendapat rumput segar.
Jumlah bahan kering yang dikonsumi (DM intake) dari silase laktat umumnya lebih
rendah dari pada rumput segar atau hay. Hal ini terjadi akibat akumulasi asam-asam
organik yang terdapat pada silase laktat sehingga mempengaruhi terhadap konsumsi bahan
kering pakan.
Beberapa laporan menunjukan adanya korelasi negatif antara konsumsi
bakan kering dengan nilai total asam lemak terbang (VFA), konsentrasi asam asetat dan
nilai titrasi keasaman dari silase laktat.
Silase Asetat
Dibawah kondisi yang jelek, bakteri asam asetat mungkin bisa mendominasi
fermentasi silase. Peluang terjadinya silase asetat ini sangat tinggi pada silase yang dibuat
dari rumput asal tropis. Silase asetat ini jarang dijumpai pada silase yang dibuat dari
rumput asal temperate. Selain rendah kandungan asam laktatnya silase asetat termasuk
yang stabil. Contoh komposisi silase jenis ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Silase Butirat
Apabila kondisi pH yang stabil tidak tercapai didalam silase, maka spora dari
clostridia sakarolitik yang terdapat pada rumput bahan silase, akan hidup dan berkembang,
memfermentasikan asam laktat atau sisa-sisa WSC menjadi asam butirat sehingga
menyebabkan pH silase menjadi naik. Clostridia proteolitic yang sedikit tahan terhdap
asam kemudian akan berkembang membuat pH naik tinggi lagi akibat diproduksinya
ammonia. Jenis-jenis costriadia yang umum terdapat pada silase butirat dapat diliaht pada
Tabel 7.
Table 6. Ciri khas komposisi kimia silase asetat *)
Komposisi
Total N
Protein N (% Total N)
NH3-N (% Total N)
WSC
Mannitol
Asam format
Asam asetat
Asam propionat
Asam butirat
Asam laktat
Etanol
% BK
4.7
44.0
12.8
0.3
0.2
9.7
0.7
0.2
3.4
0.8
*)
McDonald et al. (1982).
Clostridia memerlukan air untuk bertahan hidup, sehingga pada silase yang
mengandung bahan kering mendekati 15 %, walaupun pH nya sudah mencapai 4 masih
dimungkinkan clostridia bertahan hidup. Clostridia ini baru akan terpengaruh daya tahan
hidupnya pada silase yang mengandung bakan kering >20%. Aktifitasnya sangat minimal
ditemukan pada silase berbahan kering 25%. Pada bahan kering 40% clostridia sudah tidak
menunjukan aktifitasnya lagi. Hijauan yang mengandung WSC rendah seperti rumput
orchard (Dactylis glomerata L.) atau jemis legum yang mempunyai kapasaitas buffernya
tinggi seperti, alfalfa dan clover apabila dalam pembuatanya tidak diberi aditif. Beberapa
produk fermentasi clostridia dapat dilihat pada Tabel 8. Sedangkan komposisi silase jenis
butirat dapat dilihat pada Tabel 9.
Silase butirat umumnya mempunyai pH yang tinggi yaitu sekitar 5 – 6 dengan
konsentrasi asam laktat dan WSC rendah. Asam butirat adalah produk fermentasi yang
dominan dalam silase walaupun mungkin ditemukan asam asetat yang cukup tinggi pula.
Biasanya juga ditemukan bakteri pencerna asam-amino dalam silase butirat ini walau tidak
selalu harus ada, sehingga kandungan N-Ammonia tinggi. Bentuk fermentasi seperti ini
biasanya sangat tidak diharapkan karena akan menyebabkan beberapa kerugian.
Kandungan nutrisi banyak hilang karena banyak yang dirubah dalam suatu reaksi sehingga
dihasilkan gas yang mudah terbuang seperti CO2, H2 dan NH3. Konsumsi bahan kering
silase butirat juga sangat rendah karena kurang disukai ternak. Terdapat korelasi yang
sangat negatif antara konsumsi bahan kering dengan jumlah N-Ammonia yang diproduksi.
Table 7. Beberapa bakteri clostridia yang sering ditemukan pada silase butirat*)
Memfermentasikan
Asam laktat
Clostridium butyricum
C. tyrobutyricum
Memfermentasikan
Asam amino
Lainnya
Clostridium sporogenes
Clostridium aphenoides
C. bifermentans
C. skatol
C. paraputrificum
*)
Source : McDonald et al. (1982).
C. perfrigens
Table 8. Beberapa contoh produk fermentasi clostridia*)
Asam organik
2 Asam laktat
Asam butirat + 2 CO2 + 2 H2
Asam amino
Alanin + 2 glysine
3 Asam asetat + 3 NH3 + CO2
Deaminasi
2 Asam propionan + asam asetat + 3NH3 + CO2
Asam isobutirat + NH3 + CO2
Asam isovalerik + NH3 + CO2
3 Alanine
Valine
Leusine
Dekarbokisali
Histidine
Lysine
Arginine
Tryptophane
Tyrosine
Glutamic acid
Aspartic acid
Phenylalanine
Histamine
Cadaverine
Ornithine
Tryptamine
Tyramine
γ-amino butyric acid
β-alanine
β-phenylethylamine
Putrescine
*)
McDonald et al. (1991).
Table 9. Ciri khas komposisi kimia silase butirat *)
Komposisi
Total N
Protein N (% Total N)
NH3-N (% Total N)
WSC
Asam format
Asam asetat
Asam propionat
Asam butirat
Asam laktat
*)
McDonald et al. (1982).
% DM
3.6
35.3
24.6
.05
2.4
3.5
0.1
Daftar Pustaka
Bolsen, K.K., G. Ashbell and Z.G. Weinberg. 1996. Silage fermentation and silage
additives. Review. AJAS. 9 : 483 – 493.
McDonald, P. 1982. Effect of processing on nutrient content of feeds : Ensiling. In
Handbook of nutritive value of processed food. Volume II Animal Feedstuffs. Pp.
41-64. M. Rechcigl, Jr., Editor. CRC series in nutriton and food. CRC Press, Inc.
Boca Raton, Florida.
McDonald, P. N . Henderson and S. Heron. 1991. The biochemistry of silage. 2nd
Edition. Chalcombe Publication.
Muck, R.E. and K.K. Bolsen. 1991. Silage preservation and silase additive. In K.K.
Bolsen, J,E, Baylor and M.E. McCullough (eds). Hay and silage management in
noth America. Nat. Feed. Ingred. Assoc, West Des Moines, Iowa. Pp. 105-126.
Ridla, M. and S. Uchida. 1999. Comparative Study on The Effect of Combined
Treatments of Lactic Acid Bacteria and Cellulases on The Cell Wall Compositions
and The Digestibility of Rhodesgrass (chloris gayana kunth.) and Italian Ryegrass
(lolium multiflorum lam.) Silages. Asian-Australasian Journal of Animal Science
(AJAS). 12(3) : 243-249.
Ridla, M. and S. Uchida. 1999. Comparative Study on The Effect of Combine Tretments
of Lactic Acid Bacteria and Cellulases on The Fermentation Characteristic and
Chemical Composition of Rhodesgrass (chloris gayana kunth) and Italian Ryegrass
(lolium multiflorum lam) Silages. Asian-Australasian Journal of Animal Science
(AJAS). 12(5) : 145-149
Download