1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai macam proses yang terjadi pada level selular, termasuk di dalamnya
yaitu perkembangan suatu organisme, agar terjadi pada waktu yang tepat,
memerlukan ketepatan pengaturan secara spatial dan temporal ekspresi gen-gen yang
terlibat. Pola ekspesi gen yang terkoordinasi ini, termasuk ekspresi gen yang terlibat
dalam proses spesifikasi dan diferensiasi neural stem cell (NSC) yang diatur oleh
sebuah mekanisme penting di dalam sel (intrinsik) yaitu mekanisme pengaturan
epigenetik yang didefinisikan sebagai perubahan ekspresi gen tanpa mengubah urutan
basa nitrogen pada DNA (Namihira et al., 2008; Gehring et al., 2004).
Terdapat tiga jenis mekanisme epigenetik yaitu metilasi DNA, modifikasi
protein histon misalnya asetilasi histon, dan pengaturan via non-coding RNA.
Keseimbangan antara asetilasi dan deasetilasi protein histon menentukan apakah
suatu gen aktif atau nonaktif. Ketika histon dalam keadaan deasetilasi (dikatalis
histon deasetilase (HD) yang melepas gugus asetil dari histon), kromatin berada
dalam keadaan menutup dan hal ini menghambat faktor transkripsi berinteraksi
dengan DNA dan menonaktifkan gen. Inhibitor histon deasetilase (IHD) menghambat
aktivitas HD dan menjaga histon tetap dalam keadaan terasetilasi sehingga
mengaktifkan gen karena kromatin membuka dan memungkinkan faktor transkripsi
berinteraksi dengan DNA (Juliandi et al., 2010a; Hsieh & Gage, 2004).
2
Selama perkembangan individu, pembentukan sistem saraf pusat (SSP) yang
terdiri dari otak dan tulang belakang diawali oleh proses diferensiasi embryonic stem
cells
(ESCs) menjadi
NSC,
selanjutnya
NSC
akan
memperbaharui
atau
memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi tiga jenis sel yaitu sel saraf (neuron)
dan sel glia (astrosit dan oligodendrosit), di mana pada perkembangan SSP di
mamalia, proses produksi neuron yang dikenal dengan neurogenesis terjadi
mendahului proses pembentukan sel-sel glia yaitu yang disebut astrogliogenesis.
Neuron-neuron selanjutnya bermigrasi dan menempati layer-layer pada kortek di
mana neuron yang terbentuk terlebih dahulu akan menempati deep layer (DL) kortek,
sedangkan neuron yang terbentuk berikutnya akan berpopulasi pada upper layer (UL)
kortek. DL neurogenesis terjadi selama pertengahan masa kehamilan. Sementara itu,
puncak terjadinya UL neurogenesis adalah pada kehamilan usia tua, lalu disusul oleh
astrogliogenesis yang terjadi hingga bayi lahir. Proses kortikogenesis ini selesai pada
saat usia bayi memasuki hari ke-7 (hari ke-7 sesudah bayi lahir) (Noctor et al., 2004;
Qian et al., 2000; Hevner et al., 2003).
Saat ini, obat kanker baru suberoylanilide hydroxamic acid (SAHA) diketahui
bekerja melalui penghambatan enzim HD. Food and Drug Administration (FDA)
menyatakan SAHA dapat digunakan untuk pengobatan kanker CTCL (Cutaneous TCell Lymphoma) dan telah terbukti dapat digunakan sebagai obat kanker CTCL
(Marks et al., 2007). Mekanisme kerja yang dilakukan oleh SAHA sebagai IHD
dalam menghambat kanker adalah dengan menghambat enzim HD yang
menyebabkan gugus asetil tidak terlepas dari histon (histon tetap dalam keadaan
3
terasetilasi) sehingga mengaktifkan beberapa gen supresor tumor seperti BCL7a,
PTPRG, dan thrombospondin. Gen BCL7a, PTPRG, dan thrombospondin adalah gen
yang menginduksi apoptosis, fase istirahat siklus sel, dan penghambatan angiogenesis
dan metastasis sel kanker (Ma, 2009).
Uji praklinik selama penemuan dan perkembangan SAHA sebagai anti-kanker
melaporkan bahwa SAHA yang dipejankan ke induk mencit bunting dapat menembus
plasenta sebanyak 50% lalu masuk ke dalam janin. Oleh karena itu, FDA
menggolongkan SAHA dalam obat pregnancy kategori D yang berarti pemberian
SAHA pada masa kehamilan dapat menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi
janin pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat irreversible
(tidak dapat membaik kembali). Apabila SAHA dapat masuk ke dalam janin maka
pengaturan ekspresi gen pada janin dapat terganggu oleh aktivitas SAHA sebagai
IHD yang menyebabkan organogenesis terganggu (Yuniarti et al., 2013).
Pemberian SAHA selama prenatal yaitu pada masa pertengahan kebuntingan
(mid gestation) menyebabkan banyak NSC yang berubah menjadi neuron karena gen
neuron Neurog1 aktif, sehingga stock NSC untuk menjadi sel glia yaitu astrosit dan
oligodendrosit yang akan terjadi pada late gestation menurun jumlahnya. Selain itu
dilaporkan pula efek peningkatan asetilasi histon akibat pemberian SAHA sebagai
IHD pada spesifikasi NSC selama proses kortikogenesis secara in vivo (Yuniarti et
al., 2013). Pemberian SAHA menyebabkan peningkatan jumlah neuron di UL kortek
dan penurunan jumlah neuron di DL kortek. Gen-gen penentu pembentukan neuron di
UL dan DL kortek yaitu Satb2 dan Fezf2 juga masing-masing menunjukkan
4
peningkatan dan penurunan. Otak anak mencit pada kelompok SAHA juga
menunjukkan berkurangnya ekspresi protein penanda astrosit yang mengindikasikan
bahwa SAHA dimungkinkan mengurangi embryonic NSC pool atau menurunkan
potensi embryonic NSC untuk menjadi astrosit. Pada level dewasa, otak anak mencit
dewasa yang memperoleh SAHA selama prenatal menunjukkan peningkatan jumlah
interneuron yaitu GABAergic inhibitory neuron. Efek ini dimungkinkan dapat
mengganggu rasio normal excitatory:inhibitory neuron (5:1) di kortek (Yuniarti,
2013).
Pemberian SAHA selama masa pertengahan kebuntingan menimbulkan
perubahan ekspresi gen Satb2 dan Fezf2, yaitu SAHA menurunkan ekspresi gen
Fezf2 dan meningkatkan ekspresi Satb2. Kedua gen ini diketahui menentukan
identitas neuron pada DL dan UL kortek yaitu peningkatan jumlah neuron di UL
kortek dan penurunan jumlah neuron di DL kortek. Gen Fezf2 dan Satb2 juga
diketahui ditemukan pada pasien yang mengalami keterlambatan perkembangan dan
berbicara, gangguan perkembangan intelektual, skhizofrenia dan autism spectrum
disorder (ASD) (Cooper et al., 2011; Potkin et al., 2009; Rosenfeld et al., 2010).
Abnormalitas perilaku yang berhubungan dengan kondisi (gangguan) di atas adalah
kesulitan dalam komunikasi dan interaksi sosial, resisten terhadap perubahan kegiatan
yang sudah rutin dikerjakan, perubahan vokalisasi ultrasonik, dan pembatasan
terhadap keinginan (kemauan) dan aktifitas (Losh et al., 2008; McFarlane et al.,
2008; Kataoka et al., 2013). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui apakah perubahan struktur otak janin dan bayi akibat pemberian SAHA
5
selama prenatal mampu mempengaruhi fungsi otak yang digambarkan oleh
perubahan perilaku yang berhubungan dengan abnormalitas kortikogenesis (pada area
kortek otak) setelah anak mencit menginjak usia dewasa melalui pemeriksaan uji
perilaku seperti social interaction test, open field test, radial 8-arm maze test, dan
passive avoidance test.
Secara keseluruhan, hasil-hasil penelitian di atas memberikan sebuah
pandangan baru bahwa perubahan status epigenetik khususnya asetilasi histon pada
sel-sel nonkanker (dalam hal ini adalah NSC) oleh penghambatan HD secara
farmakologis setelah perlakuan SAHA selama pertengahan kebuntingan mencit dapat
mengubah struktur otak janin dan bayi serta perubahan ini berlanjut sampai mencit
berusia dewasa. Sejauh ini belum diketahui pengaruh perubahan struktur otak ini
terhadap perilaku yang berhubungan dengan abnormalitas kortikogenesis (pada area
kortek otak) setelah anak mencit menginjak usia dewasa.
Mengingat penggunaan SAHA dalam klinik sebagai anti-kanker semakin
intensif, semakin luasnya target IHD pada berbagai kondisi patologis, dan semakin
luasnya penggunaan IHD untuk mengobati gangguan (penyakit) pada SSP, serta teori
bahwa semua neuron dan sel glia yang membentuk SSP individu dewasa berasal dari
NSC yang berada di embryonic neural tube dan ketersediaan NSC di area ini dan
diferensiasinya menjadi neuron (neurogenesis) dari saat embrio hingga dewasa
menjadi titik kritis dalam normalitas fungsi-fungsi otak secara menyeluruh, maka
penting untuk meneliti pengaruh pemberian IHD SAHA selama pertengahan
kebuntingan (prenatal) mencit terhadap perilaku yang berhubungan dengan
6
abnormalitas kortikogenesis (pada area kortek otak) setelah mencit menginjak usia
dewasa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah pemberian IHD SAHA selama prenatal yaitu pada pertengahan kebuntingan
mencit mempengaruhi perilaku anak mencit jantan setelah memasuki usia dewasa?
2. Apa sajakah perubahan aspek perilaku yang dipengaruhi oleh pemberian IHD SAHA
selama prenatal (defisit pada learning dan spatial memory, anxiety, autism spectrum
disorder, serta memori dan fungsi kognitif otak)?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian IHD SAHA selama prenatal yaitu pada
pertengahan kebuntingan mencit terhadap perilaku anak mencit jantan setelah
memasuki usia dewasa.
2. Untuk mengetahui perubahan aspek perilaku apa saja (meliputi defisit learning dan
spatial memory, anxiety, autism spectrum disorder, memori dan fungsi kognitif otak)
yang dipengaruhi oleh pemberian IHD SAHA selama prenatal.
7
D. Tinjauan Pustaka
1. Mekanisme epigenetik
Terminologi epigenetik digunakan untuk menyatakan adanya pengaruh pada
aktivitas gen yang diwariskan dimana pengaruh tersebut tidak melibatkan
perubahan pada urutan DNA (Gehring et al., 2004). Terjadinya proses epigenetik
(epigenesis)
merupakan
konsekuensi
adanya
interaksi
antara
gen
dan
lingkungannya dan dapat terjadi akibat tidak terekspresinya informasi genomik
(silenced genes). Peristiwa-peristiwa molekuler seperti metilasi DNA, modifikasi
histon, dan lain-lain dapat menyebabkan tidak tercetaknya informasi pada genom
(genomic imprinting) (Holliday, 2005).
Terdapat tiga jenis mekanisme epigenetik yaitu metilasi DNA, modifikasi
histon yang berupa asetilasi, metilasi, fosforilasi, sumoilasi, ubikuitunasi, dan
pengaturan via non-coding RNA. Salah satu mekanisme epigenetik yang
menentukan apakah suatu gen aktif atau nonaktif adalah keseimbangan antara
asetilasi dan deasetilasi protein histon. Ketika histon dalam keadaan deasetilasi
(dikatalis histon deasetilase (HD) yang melepas gugus asetil dari histon), kromatin
berada dalam keadaan menutup dan hal ini menghambat faktor transkripsi
berinteraksi dengan DNA dan menonaktifkan gen. Histon deasetilase inhibitor
(IHD) menghambat aktivitas HD dan menjaga histon tetap dalam keadaan
terasetilasi sehingga mengaktifkan gen karena kromatin membuka dan
8
memungkinkan faktor transkripsi berinteraksi dengan DNA (dapat dilihat pada
gambar 1) (Juliandi et al., 2010a; Hsieh & Gage, 2004).
Ac
Ac
Ac
Ac
Ac
Ac
Ac
Ac
Ac
Ac
Gambar 1. Proses asetilasi dan deasetilasi protein histon (Anonim, 2009)
Perkembangan organisme agar terjadi pada waktu yang tepat serta
menghasilkan organ yang tepat dan fungsional, memerlukan ketepatan pengaturan
ekspresi-ekspresi gen yang terlibat. Pola pengaturan ekspresi gen yang
terkoordinasi ini, termasuk ekspresi gen yang terlibat dalam proses spesifikasi dan
diferensiasi NSC dapat terjadi karena suatu mekanisme penting di dalam sel
(intrinsik) yaitu mekanisme pengaturan epigenetik (Namihira et al., 2008).
2. Diferensiasi NSC
Perkembangan suatu organisme terjadi secara terus menerus dimulai dari
bertemunya sel telur dengan sperma yang mengalami suatu proses pembuahan
menghasilkan zygot yang akan terus berkembang menjadi organisme yang
sempurna. Zygot bersifat totipoten yang bermakna mempunyai potensi
9
membentuk semua organ, akan mengalami perkembangan terus menerus menjadi
bentuk blastosis yang di dalamnya terdapat sel bernama embryonic stem cells
(ESCs) yang akan berdiferensiasi menjadi somatic stem cell salah satunya berupa
neural stem cell (NSC) (Namihira et al., 2008). Perkembangan organisme tersebut
agar terjadi pada waktu yang tepat dan menghasilkan organ yang tepat dan
fungsional, memerlukan ketepatan pengaturan ekspresi-ekspresi gen yang terlibat.
Pola pengaturan ekspresi gen yang terkoordinasi ini, termasuk ekspresi gen yang
terlibat dalam proses spesifikasi dan diferensiasi NSC dapat terjadi karena suatu
mekanisme penting di dalam sel (intrinsik) yaitu mekanisme pengaturan
epigenetik yang di definisikan sebagai perubahan ekspresi gen tanpa mengubah
urutan basa nitrogen pada DNA (Namihira et al., 2008; Gehring et al., 2004).
Sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan tulang belakang.
Perkembangan sistem saraf pusat diawali oleh proses diferensiasi ESCs menjadi
NSC. NSC akan memperbaharui atau memperbanyak diri dan berdiferensiasi
menjadi tiga jenis sel yaitu sel saraf (neuron) dan sel glia (astrosit dan
oligodendrosit). Perkembangan SSP pada mamalia, proses produksi neuron (yang
dikenal dengan neurogenesis) terjadi mendahului proses pembentukan sel-sel glia
yaitu astrosit dan oligodendrosit (yang disebut astrogliogenesis). Neuron-neuron
selanjutnya bermigrasi lalu menempati layer-layer pada kortek di mana neuron
yang lahir terlebih dahulu akan menempati deep layer (DL) kortek, sedangkan
neuron yang lahir berikutnya akan berpopulasi pada upper layer (UL) kortek
(dapat dilihat pada Gambar 2). DL neurogenesis terjadi selama pertengahan masa
10
kehamilan. Puncak terjadinya UL neurogenesis adalah pada kehamilan usia tua,
selanjutnya disusul oleh astro-gliogenesis yang terjadi hingga bayi lahir. Proses
kortikogenesis ini selesai pada saat usia bayi memasuki hari ke-7 (hari ke-7
sesudah bayi lahir) (Noctor et al., 2004; Qian et al., 2000; Hevner et al., 2003).
Gambar 2. Migrasi neuron-neuron saat kortikogenesis pada UL dan DL kortek otak
(Yuniarti, 2013)
Penentu nasib NSC akan menjadi neuron pada DL atau UL kortek adalah
faktor transkripsi Sox5, Fezf2, dan Satb2 yang telah diketahui berfungsi mengatur
migrasi dan posisi neuron (Kwan et al., 2008; Lai et al., 2008; Leone et al., 2008).
NSC yang lahir pada mid gestation yang mengekspresikan Sox5 dan Fezf2 akan
berkembang menjadi neuron pada DL kortek dan NSC yang lahir pada late
gestation yang mengekspresikan Satb2 akan berdiferensiasi menjadi neuron yang
menempati UL kortek otak. Variasi genetik dari tiga faktor transkripsi tersebut
telah ditemukan pada pasien dengan gangguan (keterlambatan) perkembangan dan
bicara, kelemahan dalam hal intelektual, skizofrenia, dan autism spectrum
11
disorders (ASD) (Cooper et al., 2011; Lamb et al., 2012; Potkin et al., 2009;
Rosenfeld et al., 2010). Abnormalitas perilaku yang berhubungan dengan kondisi
(gangguan) di atas adalah kesulitan dalam komunikasi dan interaksi sosial, resisten
terhadap perubahan kegiatan yang sudah rutin dikerjakan, perubahan vokalisasi
ultrasonik, dan pembatasan terhadap keinginan (kemauan) dan aktifitas (Losh et
al., 2008; McFarlane et al., 2008; Kataoka et al., 2013). Perubahan pada 3 faktor
transkripsi ini nampaknya tidak hanya mempengaruhi identitas neuron pada
kortek, tapi juga berkontribusi pada munculnya gangguan kognitif dan gangguan
perkembangan saraf motorik (Muhchyi et al., 2013).
Perubahan mekanisme epigenetik yang mempengaruhi ekspresi gen
memiliki peran penting pada diferensiasi NSC. Mekanisme epigenetik yang salah
satunya adalah asetilasi histon penting dan diperlukan untuk proses learning dan
memori pada otak dewasa (Fischer et al., 2010). Semua sel saraf (neuron), astrosit,
dan oligodendrosit yang menyusun SSP dewasa berasal dari NSC pool di
embryonic neural tube. Pada otak dewasa, NSC yang terletak di subventrikular
zone dan dentate gyrus (pada hipokampus) berasal dari NSC pool tersebut.
Ketersediaan NSC di dua area pada otak dewasa ini dan hasil diferensiasinya
memiliki peran penting dalam keberlanjutan membangun atau menjaga fungsi otak
dan kognitif selama penuaan dan saat terjadi gangguan pada otak (akibat penyakit,
infeksi, benturan, trauma, dan lain-lain). Selama masa perkembangan dan
pertumbuhan
embrio,
sekelompok
populasi
NSC
berkembang
menjadi
intermediate progenitor cells yang nantinya sekitar 80% dari sel ini akan
12
mengalami diferensiasi menjadi neuron pada UL kortek (Guillemot, 2006).
3. SAHA (Vorinostat®)
SAHA (dengan struktur kimia Gambar 3) mempunyai sinonim MK-0683,
Suberoylanilide Hydroxamix Acid, Vorinostat®, dan Zolinza™. SAHA memiliki
rumus kimia yaitu C14H20N2O3, berat molekul sebesar 264,32, dan kadar
kemurnian ≥ 98 %. Stabilitas dari SAHA selama ≥ 2 tahun pada suhu -20°C.
SAHA tersedia dalam bentuk padatan kristal (a crystalline solid) (Anonim, 2013).
Gambar 3. Struktur kimia SAHA (Marks et al., 2007)
SAHA (suberoylanilide hydroxamic acid) yang mempunyai nama dagang
Vorinostat adalah obat anti-kanker yang bekerja secara epigenetik melalui
penghambatan
enzim
histon
deasetilase
(histone
deacetylase
inhibitor).
Mekanisme kerja yang dilakukan oleh SAHA sebagai IHD untuk menghambat
kanker adalah dengan menghambat enzim HD yang menyebabkan gugus asetil
tidak terlepas dari histon (histon tetap dalam keadaan terasetilasi) sehingga
mengaktifkan beberapa gen supresor tumor seperti BCL7a, PTPRG, dan
thrombospondin. Gen BCL7a, PTPRG, dan thrombospondin adalah gen yang
menginduksi apoptosis, fase istirahat siklus sel, dan penghambatan angiogenesis
dan metastasis sel kanker (Ma, 2009).
Dengan demikian, memblokir histon
13
deasetilasi akan memungkinkan tubuh untuk menghambat pertumbuhan tumor dan
mencegah perkembangannya. Food and Drug Administration (FDA) menyatakan
SAHA dapat digunakan untuk pengobatan kanker CTCL (Cutaneous T-Cell
Lymphoma) dan telah terbukti dapat digunakan sebagai obat kanker CTCL (Marks
et al., 2007).
4. Etanol sebagai Agen Stres Oksidatif Perusak Otak
Etanol merupakan salah satu senyawa yang telah banyak dikenal dapat
menimbulkan efek neurotoksik yang dapat meginduksi apoptosis neuron otak
akibat peningkatan stres oksidatif (Heaton et al., 2000). Radikal bebas yang
terbentuk dari etanol merupakan molekul yang tidak stabil mempunyai 1 atau lebih
elektron tidak berpasangan, elektron tidak berpasangan ini menyebabkan
terbentuknya efek magnet yang menyebabkan terjadinya radikal bebas yang akan
menyebabkan stress oksidatif dalam tubuh (Winarsi, 2007).
Etanol yang masuk ke dalam tubuh akan dioksidasi menjadi asam asetat.
Proses oksidasi etanol utamanya terjadi di hepar. Selain itu, oksidasi etanol juga
terjadi di otak (Zakhari et al., 2006). Oksidasi etanol akan menghasilkan
asetaldehid. Produksi asetaldehid oleh enzim katalase (dalam komponen internal
sel dikenal dengan peroksisom) dibantu oleh hidrogen peroksida (H2O2). Alkohol
dehidrogenase (ADH) merupakan enzim yang terdapat di sitosol yang akan
membantu produksi asetaldehid. Enzim aldehid dehidrogenase (ALDH) terdapat
14
dalam mitokondria dan sitosol yang akan mengubah asetaldehid menjadi asam
asetat (Deitrich et al., 2006). Enzim sitokrom P450 2E1 yang terdapat dalam sel
otak khususnya pada retikulum endoplasma halus (mikrosom) akan membantu
produksi asetaldehid yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang berupa
oksigen bebas yang reaktif dan bersifat toksik sehingga mengakibatkan berbagai
macam akibat patologis dan kerusakan jaringan pada system saraf serta reaksi
inflamasi di otak (Zakhari, 2006). Etanol juga terbukti merusak sistem saraf pusat
yang ditandai dengan berkurangnya neuron-neuron di hippocampus yang terlibat
dalam pembentukan memori kerja bersama dengan komponen kortek prefrontalis.
Bagian hippocampus yang menyokong terjadinya long-term potentiation (LTP)
(substrat adalah CA1), sedangkan jalur-jalur saraf yang mendukung terjadinya
LTP diantaranya adalah kolateral Schaffer yang berasal dari CA3 menuju CA1
(Lynch, 2004). Neuron-neuron yang berkurang terjadi pada hippocampus bagian
CA1 (Adiningsih, 2013; Narwanto et al., 2007).
Kerusakan akibat etanol pada otak dewasa menyebabkan defisit kognitif
seperti gangguan belajar dan memori (Butterfield et al., 1999). Hal ini disebabkan
adanya stres oksidatif yang menginduksi terbentuknya radikal bebas yang
menyebabkan kerusakan dan kematian sel (Heaton et al., 2000). Pemberian etanol
yang secara kronis akan mengakibatkan kerusakan ssp, seperti frontal lobe kortek,
sistem limbik, thalamus, hipothalamus, formasio hippocampus, neocortex, dan
sistem neurotransmitter. Pemberian etanol secara kronis yaitu selama 30 hari dapat
menyebabkan kerusakan hippocampus CA1 pada tikus, pemberian selama 3-5
15
minggu menyebabkan kerusakan pada kortek prefrontal yaitu jumlah neuron yang
mati lebih besar dibandingkan dengan hippocampus pada mencit (Fowler et al.,
2014), sedangkan pemberian akut selama 7 hari menyebabkan kerusakan
hippocampus CA1 pada mencit (Adiningsih, 2013).
5. Social interaction test
Social interaction test digunakan untuk mengetahui neurophsycyatric
disorder yang dikarakteristikan pada gangguan perilaku sosial dan proses
pengenalan sosial, termasuk di dalamnya adalah depression, autism spectrum
disorders, bipolar disorders, obsessive-compulsive disorders, and schizophrene
(Kaidanovich-Beilin et al., 2011). Alat (dengan bentuk Gambar 4) yang digunakan
terdiri dari tiga ruang dengan sekat penutup yang bisa dibuka dan ditutup yaitu
ruang sisi kiri berisi kurungan, ruang tengah, ruang sisi kanan yang berisi
kurungan. Uji dilakukan di bawah penyinaran lampu merah dengan kekuatan 40 W
(Seo et al., 2013).
Gambar 4. Alat social interaction test
16
Dua sesi yang akan dilakukan pada uji ini yaitu uji social affiliation dan social
novelty. Pada sesi pertama salah satu ruang baik sisi kiri maupun kanan diletakkan
mencit stranger pertama yang berada dalam kurungan (cage atau wire). Kedua
sekat penutup dibuka, mencit uji dibiarkan untuk mengeksplorasi ruang serta
berinteraksi dengan kandang yang berisi mencit stranger pertama maupun
kurungan kosong.
Pada sesi kedua cara untuk melakukan uji perubahan perilaku sama dengan
sesi pertama. Kurungan yang berisi stranger pertama di sisi kiri maupun sisi kanan
ruang pada sesi pertama diganti dengan stranger kedua yang telah dimasukan
kurungan, sedangkan kurungan kosong diganti dengan stranger pertama
(Kaidanovich-Beilin et al., 2011).
Parameter-parameter yang diamati pada sesi pertama meliputi durasi dan
frekuensi berinteraksi dengan kurungan berisi stranger pertama serta durasi dan
frekuensi berinteraksi dengan kurungan kosong. Pada sesi kedua parameterparameter yang diamati adalah durasi dan frekuensi berinteraksi dengan kurungan
berisi stranger kedua serta durasi dan frekuensi berinteraksi dengan stranger
pertama (Kaidanovich-Beilin et al., 2011).
6. Open field test
Open field test digunakan untuk mengetahui phenotype brain disorder yang
berupa anxiety (yang merupakan gejala panic disorder, specific and social
phobias, obsessive-compulsive disorder, depression and post-traumatic stress
17
disorder) (Bailey & Crawley, 2009; Tarantino & Bucan, 2000). Alat uji (dengan
bentuk Gambar 5) berbentuk kotak yang terdapat gambar kotak-kotak pada
alasnya dengan ukuran tertentu dan diberi penyinaran kuat 60 W lampu merah
(Seo et al., 2013).
Gambar 5. Alat open field test
Mencit yang akan diuji ditempatkan pada kotak tengah sebelum uji dimulai.
Mencit dibiarkan mengeksplorasi ruangan selama 5 menit (Seo et al., 2013).
Parameter-parameter yang diamati meliputi:
a. line crossing
Line crossing adalah banyaknya garis yang dilewati oleh keempat kaki
mencit.
b. centre square entries
Center square entries adalah frekuensi mencit memasuki kotak tengah.
c. center square duration
Center square duration adalah durasi mencit di kotak tengah.
18
d. rearing
Rearing adalah posisi mencit berdiri dengan kedua kaki belakangnya.
Pada parameter ini dihitung frekuensi mencit melakukan rearing.
e. stretch attend posture
Stretch attend posture adalah posisi mencit memanjangkan badannya
lalu kembali ke bentuk semula. Pada parameter ini dihitung frekuensi
mencit melakukan stretch attend posture.
f. grooming
Grooming adalah perilaku mencit menggaruk atau mengusap-usap
wajahnya menggunakan kedua kaki depannya dan menjilat-jilat
badannya. Pada parameter ini diukur durasi mencit melakukan grooming.
g. freezing
Freezing adalah perilaku mencit dalam kondisi diam tidak melakukan
gerakan apapun. Pada parameter ini diamati durasi mencit dalam posisi
freezing
Line crossing dan rearing digunakan untuk mengukur aktivitas lokomotor,
eksplorasi ruang, serta kecemasan. Semakin tinggi frekuensi parameter tersebut
menandakan semakin meningkatnya aktivitas lokomotor dan eksplorasi, serta
menurunnya rasa kecemasan. Centre square entries dan centre square duration
digunakan untuk mengukur perilaku eksplorasi dan rasa kecemasan. Semakin
tinggi frekuensi dari parameter tersebut menandakan semakin meningkatnya
perilaku mengeksplorasi ruang dan menurunnya rasa kecemasan. Stretch attend
19
posture mengindikasikan bahwa mencit ragu-ragu untuk bergerak dari lokasi
sekarang ke lokasi yang baru. Semakin tinggi frekuensi parameter tersebut
menandakan semakin meningkatnya rasa kecemasan. Freezing dan grooming
digunakan untuk mengukur perilaku kecemasan. Semakin tinggi frekuensi
parameter tersebut mengindikasikan semakin meningkatnya rasa kecemasan
(Brown et al., 1999).
7. Radial 8-arm maze test
Radial 8-arm maze test digunakan untuk mengetahui adanya brain disorder
yang berupa defisit pada learning dan memory (Tarantino & Bucan, 2000). Pada
uji ini akan dinilai memori belajar dan mengingat ruang dengan melihat waktu
yang dihabiskan dalam mencari air atau makanan di ujung akhir dari ke delapan
tangan. Bentuk alat dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Alat radial 8-arm maze test
Mencit yang akan diuji ditempatkan pada tengah alat lalu selama 6 menit
mencit dibiarkan untuk mengeksplorasi ruang untuk mencari makanan atau
20
minuman yang terdapat pada ujung ke delapan tangan menurut pola yang
ditetapkan (Seo et al., 2013). Terdapat 4 pola yaitu:
a. N-R-N-R-N-R-N-R
N (No reward) adalah tangan yang tidak berisi makanan, sedangkan R
(Reward) adalah tangan yang terdapat makanan. Pola ini berupa peletakan
makanan (sebagai reward) yang berseling satu pada tiap tangan. Tangan yang
tidak berisi makanan ditutup pada pintunya.
b. RR-NN-RR-NN
Pola ini berupa peletakan makanan (sebagai reward) yang berseling dua pada
tiap tangan di mana tangan yang tidak berisi makanan ditutup pada pintunya.
c. NN-RRRR-NN
Pola peletakan makanan (sebagai reward) yang mana 4 tangan berisi makanan
diapit oleh 2 tangan tanpa makanan dengan pintu yang ditutup.
d. RR-NNNN-RR
Pola peletakan makanan (sebagai reward) yang mana 4 tangan tanpa makanan
dengan pintu yang ditutup diapit oleh 2 tangan yang masing-masing berisi
makanan. (Wathen & Roberts, 1994).
Parameter-parameter yang diamati adalah menghitung banyaknya ruangan
atau tempat yang dimasuki kembali setelah pernah dikunjungi sebagai kesalahan
dan menghitung banyaknya ruangan atau tempat yang tidak terdapat makanan atau
minuman sebagai kesalahan (Seo et al., 2013).
21
8. Passive avoidance test
Passive avoidance test digunakan untuk mengetahui memori dan fungsi
kognitif otak (Adiningsih, 2013). Passive avoidance test adalah uji one-trial
learning test secara cepat. Alat uji terdiri dari dua kompartemen terang dan gelap.
Lantai tiap kompartemen terbuat dari stainlessteel dan mempunyai sebuah pintu
geser yang memisahkan dua kompartemen. Kedua kompartemen terbuat dari kaca
gelap. Pada kompartemen terang dilengkapi dengan lampu, sedangkan
kompartemen gelap memungkinkan untuk pengaliran arus listrik (Rodriguiz et al.,
2006). Bentuk alat dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Alat passive avoidance test
Pada jenis uji ini, hewan uji dilatih untuk menghindar dari hukuman (shock
listrik) dengan melawan kebiasaan alamiah (Vohora et al., 2000). Pada dasarnya
proses mengingat kembali didasarkan pada kemampuan masing-masing mencit untuk
menghindari kondisi uji yang berbahaya bagi mencit. Pengujian ini dapat dilakukan
dalam rentang waktu yang bervariasi, mulai singkat (5 menit) hingga beberapa bulan.
Parameter yang diamati adalah waktu latensi 1 yang menandakan long term
memory dan waktu latensi 2 yang menandakan short term memory. Semakin lama
22
waktu latensi 1 menandakan memori jangka panjang baik dan semakin lama waktu
latensi 2 menandakan memori jangka pendek baik (Adiningsih, 2013).
E. Landasan Teori
Pemberian
SAHA
selama
pertengahan
masa
kebuntingan
mencit
menimbulkan perubahan struktur otak janin dan bayi yang berupa gangguan
ketidakseimbangan jumlah sel saraf pada layer kortek otak anak mencit yang
dilahirkan dan mengubah ekspresi gen yaitu Fezf2 dan Satb2 (SAHA menurunkan
ekspresi Fezf2 dan meningkatkan ekspresi Satb2). Kedua gen ini diketahui
menentukan identitas neuron pada DL dan UL kortek. Selain itu, perlakuan SAHA
selama prenatal juga mengurangi embryonic neural stem cellpool dan dimungkinkan
dapat mengganggu rasio normal excitatory:inhibitory neuron (5:1) di kortek otak
mencit dewasa karena peningkatan jumlah interneuron.
Gen Fezf2 dan Satb2 diketahui ditemukan pada pasien yang mengalami
keterlambatan perkembangan dan berbicara, gangguan perkembangan intelektual,
skizofrenia dan autism spectrum disorder (ASD). Abnormalitas perilaku yang
berhubungan dengan kondisi (gangguan) di atas adalah kesulitan dalam komunikasi
dan interaksi sosial, resisten terhadap perubahan kegiatan yang sudah rutin
dikerjakan, perubahan vokalisasi ultrasonik, dan pembatasan terhadap keinginan
(kemauan) dan aktifitas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui apakah perubahan struktur otak janin dan bayi akibat pemberian SAHA
23
selama prenatal mampu mempengaruhi fungsi otak yang digambarkan oleh
perubahan yang berhubungan dengan abnormalitas kortikogenesis (pada area kortek
otak) setelah mencit menginjak usia dewasa melalui pemeriksaan autism-like
behavior seperti social interaction test, open field test, radial 8-arm maze test, dan
passive avoidance test.
F. Hipotesis
1. Pemberian IHD SAHA selama prenatal mempengaruhi perubahan-perubahan
perilaku anak mencit jantan setelah memasuki usia dewasa.
2. Perubahan perilaku yang meliputi defisit learning dan spatial memory, anxiety,
autism spectrum disorder, serta memori dan fungsi kognitif otak seluruhmya ataupun
sebagian dipengaruhi oleh pemberian IHD SAHA selama prenatal.
Download