B12 mualaf

advertisement
mualaf
REPUBLIKA ● AHAD, 21 NOVEMBER 2010
IMAGESHACK
B12
FRITHJOF SCHUON
Terpikat
Filsafat Islam
PETUALANGAN
FRITHJOF SCHUON
KE SEJUMLAH
NEGARA MENGANTARKANNYA PADA
KEINGINAN
MENDALAMI
SPIRITUALITAS YANG
SEJATI.
Oleh Nidia Zuraya
alangan akademisi maupun
mahasiswa filsafat dan
orang-orang yang menggemari ilmu filsafat tentu
mengenal sosok Fritjhof
Schuon. Ya, dia adalah salah
seorang ahli filsafat yang sangat terkenal.
Tidak hanya di kalangan ilmuwan Barat,
tapi juga cendekiawan Muslim.
Semasa hidupnya, Frithjof Schuon
dikenal sebagai seorang filsuf sekaligus
metafisikawan serta penulis berbagai
buku bertema agama dan spiritualitas.
Namanya juga selalu dikaitkan dengan
gagasannya yang tertuang dalam buku
fenomenalnya berjudul The Transcendent
Unity of Religions. Sebuah buku yang
dijadikan rujukan oleh para penganut
paham pluralisme agama.
Frithjof Schuon dilahirkan di Basel,
Swiss, pada tanggal 18 Juni 1907.
Ayahnya berdarah Jerman dan ibunya
berasal dari Asaltia. Ayahnya adalah
seorang pemain biola, sedangkan ibunya
adalah ibu rumah tangga. Masa kecilnya ia
habiskan di Basel dan bersekolah di sana
K
AMAZON.COM
Oleh Nidia Zuraya
rithjof Schuon dikenal luas sebagai seorang tokoh
terkemuka dalam bidang religio perennis (agama
abadi). Ia menegaskan prinsip-prinsip metafisika
tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan
agama, serta mengkritik modernitas.
Schuon, sebagaimana dipaparkan Adnin Armas MA
dalam tulisannya yang bertajuk Pluralisme Agama dan
Gerakan Freemason, juga mengangkat perbedaan antara
dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris,
sekaligus menyingkap titik temu metafisika antarsemua
agama ortodoks. Ia mengungkap, satu-satunya Realitas
Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas, dan Maha
Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-
F
hingga kematian ayahnya. Sepeninggal
ayahnya, Schuon kecil bersama sang ibu
memutuskan untuk hijrah ke Mulhouse,
Prancis.
Ketika bermukim di Prancis inilah
Schuon mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap ilmu filsafat. Salah satu
tokoh filsuf yang amat dikaguminya
adalah Rene Guenon, seorang filsuf berkebangsaan Prancis. Guenon yang juga
merupakan seorang mualaf dikenal
sebagai pelopor filsafat abadi.
Sejak usia 16 tahun, Schuon telah
melahap berbagai karya Guenon, selain
mengkaji karya-karya Plato. Lantaran terobsesi oleh pemikiran Guenon, Schuon
memberanikan diri berkorespondensi
dengan tokoh panutannya tersebut selama
hampir 20 tahun lamanya. Kelak ia
menjadi salah seorang tokoh penerus
pemikiran Guenon.
Setelah menjalani wajib militer selama
1,5 tahun, Schuon memutuskan untuk
hijrah ke Kota Paris. Di kota mode ini, ia
mencoba bekerja sebagai desainer tekstil.
Pada sela-sela waktu luangnya, Schuon
mengikuti kelas bahasa Arab yang diselenggarakan di sebuah masjid di Paris.
Hidup di Paris telah memberikan
kesempatan kepada Schuon untuk mengenal berbagai bentuk kesenian tradisional
dari berbagai negara, khususnya Asia.
Kecintaannya terhadap kesenian tradisional inilah yang kemudian membawanya berkelana hingga ke Aljazair pada
1932. Di sana ia bertemu dengan seorang
sufi yang bernama Syekh Ahmad Al-Alawi.
Pada 1935, untuk kali kedua ia
melakukan perjalana ke Afrika Utara. Kali
ini tidak hanya Aljazair yang dikunjunginya, tetapi juga Maroko.
Pengembaraannya ke wilayah Afrika Utara
dilanjutkan dengan mengunjungi Mesir
antara tahun 1938 dan 1939. Di sini, ia
bertemu Guenon untuk pertama kalinya.
Pada saat itulah, terjadi transfer ilmu dari
guru kepada muridnya secara langsung.
UCTSINGER.NET
Nya. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, yakni Allah SWT.
Dalam pandangan Schuon, dogma, hukum, moral, dan
ritual agama adalah berbeda. Ia berpendapat agamaagama mengandung dimensi eksoteris dan esoteris.
Kedua dimensi ini yang inheren dalam agama berasal dari
dan diketahui melalui intelektual.
Menurut Schuon, secara psikologis, ego manusia terkait
dengan badan, otak, dan hati. Jika badan diasosiasikan
dengan eksistensi fisik, otak dengan pikiran, hati dengan
intelektual. Jika dikaitkan dengan realitas, intelektual
dapat diasosiasikan dengan esensi Tuhan (Yang Satu) dan
langit (alam yang menjadi model dasar), sedangkan
pikiran dan badan meliputi dunia fisik, terestrial.
Intelektual dalam hal ini sangat penting karena otak dan
badan di bawah kendali dan berasal dari intelektual.
Intelektual adalah pusat manusia (the centre of human
being), yang bersemayam di dalam hati. Kualifikasi
Dari Mesir, ia meneruskan perjalanannya hingga ke negeri India. Di negerinegeri yang telah dikunjunginya tersebut,
Schuon banyak berjumpa dengan tokoh
sufi Islam, Hindu, dan Buddha.
Pada 1939, sesaat setelah kedatangannya di India, Perang Dunia II meletus.
Keadaan tersebut memaksanya untuk
kembali ke Prancis dan mengabdikan diri
dalam angkatan bersenjata Prancis.
Keikutsertaannya dalam pasukan Prancis
membuat dirinya menjadi tahanan perang
Jerman. Ia pun mencari suaka ke Swiss.
Oleh pemerintah Swiss ia diberikan
status kewarganegaraan Swiss dengan
syarat ia harus menetap di sana selama 40
tahun. Pada 1949, ia menikahi seorang
perempuan Swiss keturunan Jerman. Sang
istri, selain memiliki ketertarikan yang
sama dalam bidang agama dan metafisika,
ARKTOS.COM
juga dikenal sebagai seorang pelukis yang
berbakat.
Filsafat Islam
Bersama sang istri, Schuon melakukan
perjalanan spiritual ke berbagai belahan
dunia sampai ke Amerika Serikat (AS). Dari
beberapa kunjungannya ke Amerika,
mereka meneliti kehidupan suku India
Crow. Pasangan suami istri ini pun sempat
menjalani ajaran tentang ritual ibadah dan
falsafah hidup suku India Crow.
Akan tetapi, dari sekian banyak ajaran
filsafat yang dipelajarinya, ia tertarik
dengan filsafat Islam. Hal ini pula yang
pada akhirnya mendorong dirinya untuk
berpindah keyakinan dan memeluk Islam.
Namun, tidak banyak data mengenai
kebenaran tersebut dan yang menyebutkan kapan persisnya ia masuk Islam.
Tetapi, disebutkan bahwa setelah menjadi
seorang Muslim, ia mengganti namanya
dengan Isa Nuruddin Ahmad al-Syadzili alDarquwi al-Alawi al-Maryami.
Dalam pandangan Schuon, Islam lebih
baik dari Hindu karena agama ini memuat
bentuk terakhir dari Sanatana Dharma.
Ajaran Islam, menurutnya, tidak hanya
memuat aspek esoterisme (mencakup
aspek metafisis dan dimensi internal
agama), tetapi juga aspek eksoterisme
(mencakup aspek eksternal, dogmatis,
ritual, etika, dan moral suatu agama).
Sementara ajaran Hindu hanya mengedepankan salah satu aspek tersebut.
Tahun 1980, Schuon dan istrinya beremigrasi ke Indiana, Amerika Serikat. Ia
bermukim di negeri Paman Sam ini hingga
akhir hayatnya pada 1998. Sepanjang
hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari
20 karya tulisan. Meski berbagai gagasan
yang ia tuangkan melalui karya-karyanya ini
banyak menuai kritikan dan perdebatan,
namun hingga kini pemikirannya tersebut
masih dipuji dan diikuti oleh sejumlah
intelektual bertaraf internasional dan lintas
agama. ■ ed: syahruddin el-fikri
GAGASAN AGAMA ABADI
intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral.
Jika tidak, secara spiritual, intelektual tidak akan
berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan
‘spiritualitas’ adalah bagaikan hubungan antara pusat dan
pinggiran. Intelektualitas menjadi spiritualitas ketika
manusia sepenuhnya hidup di dalam kebenaran.
Intelektual lebih tinggi dari rasio. Karena, jika rasio itu
menyimpulkan sesuatu berdasarkan kepada data, mental
berfungsi karena eksistensi intelektual. Rasio hanyalah
media untuk menunjukkan jalan kepada orang buta,
bukan untuk melihat.
Sedangkan intelektual, dengan bantuan rasio, bisa
mengungkapkan sesuatu dengan sendirinya secara pasti.
Selain itu, intelektual dapat menggunakan rasio untuk
mendukung aktualisasinya.
Di dunia fisik, intelektual terbagi menjadi pikiran dan
badan. Di alam langit yang menjadi model dasar atau di
dalam ide Plato, pikiran dan badan merupakan makna
yang tidak dibedakan. Manusia memahami kebenaran
melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, intelektual adalah
dasar bagi intuisi. Intuisi membedakan antara yang riil
dan ilusi, antara wujud yang wajib dan wujud yang
mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden di luar
dunia bentuk.
Dengan intelektual, manusia mengetahui bahwa
realitas dapat dibagi menjadi dua: absolut dan relatif, riil
dan ilusi, yang harus dan mungkin, yang esoteris dan
eksoteris. Menurut Schuon, agama-agama bertemu pada
level yang esoteris, bukan eksoteris.
Eksoterisme dan Esoterisme
Schuon menjelaskan, eksoteris adalah aspek eksternal,
formal, hukum, dogmatis, ritual, etika, dan moral sebuah
agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam maya,
kosmos yang tercipta.
Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan
sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum, bukan Tuhan
sebagai esensi karena eksoterisme berada di dalam maya,
yang relatif dalam hubungannya dengan Atma.
Pandangan eksoteris bermakna pandangan yang
eksklusif, absolut, dan total, sekalipun dari sudut pandang
intelektual adalah relatif.
Pandangan eksoteris, menurutnya, bukan saja benar
dan sah, bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan
individu. Bagaimanapun, kebenaran eksoteris adalah
relatif. Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada
“huruf”—sebuah dogma esklusifistik (formalistik)—dan
kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral. Selain itu,
eksoterisme tidak pernah akan melampaui individu.
Eksoterisme bukan muncul dari esoterisme, namun
muncul dari Tuhan.
Schuon menyadari jika masing-masing “form” agama
meyakini bahwa sesuatu “form” itu lebih hebat dibanding
dengan “form” yang lain. Pemikiran seperti itu, lanjut
Schuon, sangat wajar. Perpindahan agama terjadi justru
karena adanya superioritas sebuah “form” terhadap yang
lain. Bagaimanapun, superioritas tersebut sebenarnya
relatif.
Sementara itu, esoteris adalah aspek metafisis dan
dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan
teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan
dogmatis-formalistik. Esoterisme dan eksoterisme saling
melengkapi. Esoteris bagaikan ‘hati’ dan eksoteris
bagaikan ‘badan’ agama.
Schuon menambahkan, titik temu agama bukan berada
pada level eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam
dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari
Esensi yang Tak Berbentuk (The Formless Essence).
Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas
dimensi eksoteris. Titik temu antaragama hanya ada pada
level esoteris.
Melalui esoterisme, manusia akan menemukan dirinya
yang benar. Pandangan esoteris akan menolak ego
manusia dan menggantinya dengan ego yang diwarnai
dengan nilai-nilai ketuhanan. Esoterisme menembus
simbol-simbol eksoterisme. Sekalipun terkait secara
inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen dari
aspek eksternal, bentuk, formal agama. Independensi
tersebut karena esensi dari esoterisme adalah kebenaran
total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak teredusir
kepada eksoterisme yang memiliki keterbatasan.
■ ed: syahruddin el-fikri
Download