BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian Keberadaan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian
Keberadaan
paradigma
sangatlah
diperlukan,
karena
paradigma
merupakan cara pandang yang akan digunakan oleh seorang peneliti dalam
melakukan penelitiannya. Menurut Harmon dalam (Moleong, 2006: 49),
paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan
melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas.
Sedangkan Baker dalam (Moleong, 2006: 49) mendefinisikan paradigma sebagai
seperangkat aturan yang membangun atau mendefinisikan
batas-batas dan
menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu agar
berhasil.
Dalam penelitian ini paradigma yang digunakan adalah paradigma
Interpretif. Interpretif atau Interpretivisme adalah salah satu bagian dari
paradigma yang menolak keberadaan paradigma positivistik. Interpretivisme ini
berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa
sosial atau budaya yang didasarkan pada pengalaman orang yang diteliti.
Interpretivisme ini menuntut pendekatan holistik dan menyeluruh, mengamati
objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam
variabel-variabel guna mendapatkan pemahaman lengkap apa adanya, akrena
objek bukan mekanik tetapi humanistis, penelitian ini tidak bebas nilai, karena
memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai atas subjektif.
(Vardiansyah, 2008: 61).
Interpretivisme berangkat dari upaya mencari penjelasan tentang
peristiwa-peristiwa sosial budaya yang didasarkan pada perspektif dan
pengalaman orang yang diteliti. Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang
unik dan memiliki konteks dan makan yang khusus sebagai esesni dalam
memahami makna sosial.
Interpretif dibentuk oleh tiga pandangan dasar yaitu, hermeneutika,
fenomenologi dan interaksionalisme simbolik. Tiga padangan ini mendasari
metode ilmu sosial yang khas, yaitu memberikan peran subjek dalam
8
Universitas Sumatera Utara
9
menentukan fakta sosial sekaligus memperlakukan manusia tidak sebagai
benda-benda, lebih dari apa yang telah dicapai oleh post-positivisme awal.
Interpretivisme menurunkan motodologi penelitian yang dinamakan
grounded theory. Metode ini menurunkan kriteria bahwa data harus
dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif bukan kuantitatif, kemudian teori
yang dikembangkna bersifat membumi, serta kegiatan ilmu harus bersifat natural
apa adanya da menghindarkan penelitian yang diatur sebelumnya, baik melalui
desain penelitian yang kaku maupun situasi laboratoris, dan karenanya penelitian
lebih bersifat partisipatif daripada mengontrol sumber-sumber informasi.
Ditinjau dari aspek ontologis, interpretivisme menuntut pendekatan
holistik, menyeluruh yaitu mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak
diparsialkan dan tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapatkan
pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak mekanistis melainkan
humanistis. Dari aspek epistemologis, interpretivisme menuntut menyatukan
subjek dengan objek penelitian serta subjek pendukungnya, karenanya pula
menuntut keterlibatan langsung peneliti di lapangan serta menghayati
berprosesnya subjek pendukung lainnya. Dan dari aspek aksiologis, penelitian
interpretivisme tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang
benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008 : 61)
2.2 Kajian Pustaka
Dalam setiap penelitian diperlukan kejelasan titik tolak atau landasan
dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya, untuk itu perlu disusun
kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari
sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001: 39-40). Teori
memiliki peran penting sebagai pendorong pemecahan masalah. Teori adalah
penyataan umum yang merangkum pemahaman kita tentang cara dunia belerja
(Severin & Tankard, 2008:12). Adapun teori-teori yang relevan untuk penelitian
ini adalah :
Universitas Sumatera Utara
10
2.2.1 Komunikasi
2.2.1.1 Definisi Komunikasi
Secara etimologis istilah komunikasi dalam bahasa inggris yaitu
Communication berasal dari kata latin Communis, artinya sama. Maksudnya bila
seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan sesuatu pihak, maka orang
tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan persamaan arti denagn pihak
lain yang menjadi lawan komunikasinya atau menyamakan dirinya dengan yang
diajaknya berkomunikasi. Dengan demikian diharapkan diharapkan akan
memperoleh suatu kesepakatan arti. (Lubis, 2011 :7)
Terdapat banyak defenisi mengenai komunikasi, yang mana defenisi
tersebut dinyatakan oleh para tokoh yang berasal dari latar belakang disipilin
ilmu yang berbeda-beda. Menurut Everett M. Rogers dalam ( Mulyana, 2010:6)
komunikasi adalah suatu proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada
suatu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
Defenisi lain menurut Hovland dalam ( Mulayana, 2010: 69) komunikasi adalah
proses
yang
memungkinkan
seseorang
(komunikator)
menyampaikan
rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang
lain (komunikate).
Berkomunikasi merupakan satu hal yang mutlak bagi kehidupan
manusia, karena sifatnya sebagai makhluk sosial, dimana manusia yang satu
membutuhkan manusia lainnya. Dengan sifat manusia yang saling membutuhkan
satu sama lain maka terjadilah proses interaksi sosial, dimana mausia yang satu
berinteraksi dengan manusai lainnya dalam lingkungan sosial. Untuk melakukan
interaksi ini maka diperlukanlah berkomunikasi.
Sedangkan menurut Harorl D. Lasswell dalam (Mulyana, 2010: 69) Cara
yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan beriku, Who Says What In Which channel to Whom With
What Effect? Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa
Dengan Pengaruh Bagaimana?
Universitas Sumatera Utara
11
2.2.1.2 Unsur-Unsur Komunikasi
Dalam Mulyana (2010: 69-71) dijelaskan lima unsur komunikasi yang
saling bergantung satu sama lainnya berdasarkan definisi Lasswell, kelima unsur
tersebut yaitu, komunikator, pesan, saluran atau media, komunikan dan efek.
Komunikator (Source/ Sender/ Encoder/ Communikator/ Spekaer) adalah
pihak yang berinisiatif atua mempunyai kebutuhan
untuk berkomunikasi.
Sumber bisa berupa individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan
suatu negara. Untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya (perasaan)
atauh bahkan dalam kepalanya (pikiran), sumber atau komunikator hatus
mengubah perasaan atau pikiran tersebut ke dalam seperangkat simbol verbal
dan atau nonverbal yang idealnya dipahami oleh penerima pesan.
Pesan (Message) adalah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada
penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan nonverbal yang
mewaliki perasaan, nilai, gagasan, atau hal yang dimaksud oleh sumber. Pesan
mempunyai tiga komponen : makna, simbol yang digunakan untuk
menyampaikan makna, dan bentuk atau organisasi pesan. Simbol terpenting
adalah kata-kata (bahasa), yang dapat mempresentasikan objek (benda), gagasan,
dan perasaan, baik ucapan ( percakapan, diskusi, wawancara, ceramah) ataupun
tulisan ( surat, esai, artikel, novel, puisi, famflet).
Saluran atau media, adalah alat atau wahana yang digunakan sumber
untuk menyampaikan pesan kepada penerima. Saluran bisa jadi merujuk pada
bentuk pesan yang disampaikan kepada penerima, apakah saluran verbal atau
saluran nonverbal. Saluran juga merujuk pada cara penyajian pesan, apakah
langsung (tatap muka) atau kewat media cetak atau media elektronik. Surat
pribadi, telepon, selebaran, Sound System Multimedia, Overhead Projector,
semua dapat dikategorikan sebagai saluran komunikasi.
Penerima atau Komunikan (Receiver/ communican/ destination/ decoder/
audience/ listener/ interpreter) adalah pihak yang menerima pesan dari sumber.
Kelima, Efek yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan
tersebut. Misalnya, penambahan pengetahun (dari yang tidak tahu menjadi tahu),
terhibur, perubahan sikap (dari yang tidak setuju menjadi setuju), perubahan
keyakinan dan perubahan sikap.
Universitas Sumatera Utara
12
Sebenarnya masih ada unsur-unsur lain yang sering ditambahkan, seperti
umpan balik (feedback), gangguan atau kendala komunikasi (noise/barriers),
dan konteks atau situsi komunikasi. Dalam komunikasi terdapat banyak sekali
unsur yang terlibat. Kesemu unsur tersebut saling bergantung dan atau saling
tumooang tindih, namun diasumsikan terdapat unsur-unsur utama yang dapat
diidentifikasikan san dimasukan kedalam suatu model.
2.2.2 Etnografi Komunikasi
Etnografi Komunikasi adalah pengembangan dari antropologi lingustik
yang dipahami dalam konteks komunikasi. Studi ini dikenalkan pertama kali
oleh Dell Hymes pada tahun 1962, sebagai kritik terhadap ilmu lingustik yang
terlalu memfokuskan diri pada fisik bahasa saja. Menurut Ibrahim dalam
(Kuswarno 2008: 11) Definisi etnografi komunikasi itu sendiri adalah
pengkajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu
cara-cara bagaimana bahasa digunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda
kebudayaan.
Etnografi komunikasi (ethnography of communication) juga dikenal
sebagai salah satu cabang ilmu dari antropologi, khususnya turunan dari
etnografi berbahasa ( Etnography of Speaking). Disebut etnografi komunikasi
karena Hymes beranggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk
memberikan tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada
komunikasi bukan pada bahasa. ( Kuswarno, 2008: 11)
Hymes kemudian mendefinisikan etnography of speaking sebagai
gabungan antara etnologi dan lingustik, suatu kaijain yang menyangkut situasi,
penggunaan, pola dan fungsi dari berbicara sebagai suatu aktivitas tersendiri.
Pada perkembangannya, Hymes mengubah istilah pendekatannya itu dari
ethnography of speaking menjadi etnography of communication. Kemudian
pendekatan Hymes ini semakin dikenal luas dan siakui sebagai suatu kajain yang
penting dalam memnadang perilaku komunikasi manusia yang berhubungan erat
dengan kebudayaan (Kuswarno, 2008 : 13)
Etnografi komunikasi berakar pada istilah bahasa dan interaksi sosial
dalam aturan penelitian kualitatif komunikasi. Penelitiannya mengikuti tradisi
Universitas Sumatera Utara
13
psikologi,
sosiologi,
linguistik
dan
antropologi.
Etnografi
komunikasi
difokuskan kepada kode-kode dan ritual-ritual.
Ibrahim dalam (Kuswarno, 2008; 13 ) mengatakan bahwa etnografi
komunikasi merupakan pendekatan terhadap sosiolinguistik bahasa, yaitu
melihat penggunaan bahasa secara umum dihubungkan dengan nilai-nilai sosial
dan kultural. Sehingga tujuan deskripsi etnografi adalah untuk memberikan
pemahaman global menganai pandangan dan nilai-nilai suatu masyarakat
sebagai cara untuk menjelaskan sikap dan perilaku anggota-anggotanya.
Pada etnografi komunikasi yang menajdi fokus perhatian adalah perilaku
komunikasi dalam tema kebudayaan tertentu. Adapaun menurut Effendy dalam
(Kuswarno 2008: 35) yang dimaksud dengan perilaku komunikasi menurut ilmu
komunikasi adalah tindakan atau kegitan sesorang, kelompok atau khalayak,
ketika terlibat dalam proses komunikasi.
Etnografi komunikasi sendiri sebenarnya sebuah metode penelitian
komunikasi yang beranjak dari paradigma kualitatif interpretif. Penelitian ini
biasanya memfokuskan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang
digunakan oleh manusia dalam suatu masyarakat tutur. Dengan demikian,
etnografi komunikasi membutuhkan alat atau metode penelitian yang bersifat
kualitatif untuk dapat memahami objek kajiannya.
Menurut Hymes dalam ( Kuswarno, 2008: 14) ruang lingkup kajian
etnografi komunikasi adalah sebagai berikut :
1) Pola dan Fungsi Komunikasi (patterns and functions of
communications).
2) Hakikat dan definisi masyarakat tutur (nature and definition of speech
community).
3) Cara-cara berkomunikasi (means of communicating)
4) Komponen-kompenen kompetensi komunikatif (components of
communicative competence)
5) Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan organisasi sosial (
relationship of language to world view and social organization).
6) Semesta dan ketidaksamaan linguistik dan sosial ( linguistic and social
universals and inqualities).
Menurut Seville-Troike dalam ( Kuswarno, 2008: 15), yang menjadi fokus
kajian etnografi komunikasi adalah masyarakat tutur (speech community), yang di
dalamnya mencakup :
a. Cara-cara bagaimana komunikasi itu dipola dan diorganisasikan
sebagai sebuah sistem dari peristiwa komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
14
b. Cara-cara bagaimana pola komunikasi itu hidup dalam interaksi
dengan komponen sistem kebudayaan yang lain.
Perilaku komunikasi yang lahir dari integrasi tiga keterampilan yang
dimiliki setiap individu, ketiga keterampilan itu terdiri keterampilan linguistik,
keterampilan interaksi dan keterampilan budaya, ketiganya disebut sebagai
kompetensi komunikasi yang dalam model etnografi disebut juga peristiwa
komunikasi yang menghasilakn pemolaan komunikasi.
Menurut Ibrahim dalam ( Kuswarno, 2008: 36) Secara spesifik, etnografi
komunikasi akan menghasilkan hipotesis mengenai berbagai cara, bagaimana
fenomena sosiokultural dalam masyarakat itu berhubungan dengan pola-pola
komunikasi atau cara-cara berbicara. Adapun fokus kajian dari etnografi
komunikasi adalah perilaku-perilaku komunikatif suatu masyarakat, yang pada
kenyataannya banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek sosiokultural, seperti kaidahkaidah interaksi dan kebudayaan.
Etnografi komunikasi memulai penyelidikannya dengan mengenali
perilaku-perilaku komunikasi yang khas, dan kemudia mengakhiri dengan
penjelasan pola-pola komunikasi, tentu saja dalam konteks sosiokultural (
Kuswarno, 2008: 36)
Hymes dalam (Effendy, 2002: 162) mengemukakan tahapan-tahapan
untuk melakukan penelitian etnografi komunikasi dalam suatu masyarakat tutur,
melalui penjelasan berikut :
Sebagai langkah awal untuk mendeskripsikan dan menganalisis pola
komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, adalah dengan
mengidentifikasikan perstiwa-peritiwa komunikasi yang terjadi secara
berulang. Langkah selanjutnya menginterventarisasi komponen yang
membangun peristiwa komunikasi, kemudia menemukan hubungan antar
komponen tersebut.
Jadi, yang dimaksud tahapan penelitian dalam etnografi komunikasi adalah
seperti berikut ini :
1. Identifikasi peristiwa-peristiwa komponen komunikasi yang terjadi
secara berulang ( recurrent events)
2. Inventarisi komponen komunikasi yang membangun peristiwa
komunikasi yang berulang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
15
3. Temukan hubungan antarkomponen yang membangun peristiwa
komunikasi, yang akan dikenal kemudian sebagai pemolaan
komunikasi ( communication pattering).
2.2.3 Interaksionis Simbolik
Istilah Interaksionis Simbolik pertama kali diperkenalkan oleh Herbert
Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh
George Herbert Mead yang tidak lain adalah guru dari Herbert Blumer, yang
kemudian dimodifikasi oleh Blumer untuk tujuan tertentu. (Kuswarno, 2008: 21)
Teori interaksionis simbolik adalah suatu teori yang menerangkan
perilaku manusia dengan menggunakan analisis makna. Menurut Blumer dalam
(Kuswarno, 2008:22) Dalam melakukan analisis tersebut pendekatan interaksi
simbolik mengacu pada tiga premis utama yaitu:
1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang
ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh
orang lain.
3) Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial
sedang berlangsung.
Menurut Herbert Blumer istilah interaksionisme simbolik menujuk pada
sifat khas dari interaksi antar manusia. Interaksionis simbolik adalah interaksi
yang menimbulkan makna khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran.
Simbolik berasal dari kata “symbol” yakni tanda yang muncul dari hasil
kesepakatan bersama. Teori interaksionis simbolik menggunakan paradigma
individu aktif yang proaktif. Perspektif interaksionis simbolik sebenarnya berada
dibawah payung perspektif fenomenologi dan interpretif (Mulyana 2003:29).
Penganut interaksionisme simbolik berpandangan bahwa perilaku manusia
pada
dasarnya
adalah
produk
dari
interpretasi
mereka
atas dunia
sekelilingnya. Yang menjadi esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas
yang merupakan ciri khas manusia,
yakni pertukaran
simbol yang diberi
makna.
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya
adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Manusia
menggunakan simbol-simbol dalam merepresentasikan apa yang mereka
maksudkan
untuk berkomunikasi dengan sesama manusia. Komunikasi
dalam perspektif interaksi simbolik digambarkan
sebagai pembentukan
Universitas Sumatera Utara
16
makna penafsiran
komunikasi).
atas pesan
Interaksi
simbolik
atau
perilaku orang lain oleh peserta
memberikan
banyak
penekanan pada
individu yang aktif dan kreatif dalam proses pertukaran simbolnya.
2.2.4 Komunikasi Antarbudaya
2.2.4.1 Definisi Komunikasi Antarbudaya
Edward T.Hall dalam (Lubis, 2012:1)
mengatakan budaya dan
komunikasi tidak dapat dipisahkan. Oleh karena budaya tidak hanya menetukan
siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan,
makna yang dimiliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,
memperhatikan dan menafsirkan pesan. Komunikasi dan budaya seperti dua sisi
mata uang, yang mana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan
pada gilirannya komunikasipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan
atau mewariskan budaya.
Menurut Liliweri (2003:9) definisi yang paling sederhana dari
komunikasi antarbudaya adalah menambahkan kata budaya kedalam penyataan “
komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan”.
Menurut Mulyana dan Rakhmat dalam (Lubis, 2012:1-2) Sebenarnya seluruh
aktivitas perilaku manusia sangat bergantung kepada budaya tempat kita
dibesarkan. Konsekuensinya, kebudayaan merupakan landasan komunikasi. Bila
kebudayaan beranekaragam, maka beranekaragam pula praktek komunikasi.
Definisi lain dari oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antarbudaya
merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antar pribadi yang dilakukan
oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda
(Lubis,2012:3). Komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran informasi
yang terjalin antara individu-individu yang memiliki latar belakang dan budaya
yang berbeda.
Edward T. Hall dalam ( liliweri 2003: 21) mengatakan “komunikasi
adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”. Sekurang-kurangnya
ada dua jawaban untuk pertanyaan apakah komunikasi ada dalam kebudayaan
atau kebudayaan ada dalam komunikasi? Dan jawabannya adalah, pertama,
dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertikaran
Universitas Sumatera Utara
17
simbol-simbol komunikasi, dan kedua, hanya dengan komunikasi maka
pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis
jika ada komunikasi.
Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antarbudaya (
Interculture communication) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi
apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang
melaksanakan proses komunikasi. Komunikasi natarbudaya adalah proses
pertukaran informasi yang terjalin antara individu-individu yang memiliki latar
belakang dan budaya yang berbeda ( Lubis, 2012: 3)
2.2.4.2 Dimensi-dimensi Komunikasi Antarbudaya
Menurut Young Yun Kim dalam (Lubis, 2012: 16) terdapat 3 dimensi
yang perlu kita perhatikan untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan
berbagai konseptual tentang kebudayaan komunikasi antarbudaya, ketiga
dimensi tersebut adalah :
1. Tingkat Masyarakat kelompok Budaya dari Partisipan-partisipan
Komunikasi.
Istilah komunikasi telah digunakan untuk menunjuk pada macammacam tingkat lingkungan dan kompleksitas dari organisasi sosial.
Tingkat keorganisasian suatu kelompok budaya begitu luas, namun
daoat diklasifikasikan berdasarkan kepentingannya, hal tersebut
mencakupi :
-
Kawasan-kawasan di dunia, seperti budaya Timur-Barat
-
Sub kawasan-kawasan di dunia, seperti budaya Amerika
Utara-Asia Tenggara.
-
Kelompok-kelompok etnik-ras dalam suatu negara, seperti di
Indonesia : budaya orang Melayu, Batak, tionghoa dal alinlain.
-
Macam-macam
sub
kelompok
sosiologis
berdasarkan
kategorisasi jenis kelamin, kelas sosial. Seperti budaya orang
di penjara, buaya waria, budayaorang gelandangan, budaya di
pesantren dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
18
-
Sub kelompok keluarga, ini merupakan sub kelompok budaya
yag terkecil dimana seorang anak/ individu mengenali dan
mendapatkan pengalaman tentang suatu budayanya dari orang
tuanya.
2. Konteks Sosial Tempat Berlangsungnya Komunikasi
Dalam berkomunikasi antarbudaya, kita harus peka dalam melihat
situasi dan kondisi tempat berlangsungnya komunikasi tersebut. Antara
satu budaya dengan budaya yang lain tidak sama dalam emamndang
konteks sosial, sebab ada nilai-nilia yang mengatur dan berkembang
dalam masyarakat tersebut. Para pakar komunikasi antarbudaya
mengatakan konteks sosial seperti situasi formal-tidak forml, waktu,
suasana hati dan atribut lainnya menunjukan komunikasi simbolik yaitu
verbal dan nonverbal yang harus cepat direspon oleh para pelaku
komunikasi.
3. Saluran Komunikasi yang Dilalui oleh Pesan-Pesan Komunikasi
Antarbudaya.
Saluran komunikasi yang dimaksud dalam hal ini adalah saluran
komunikasi antarpribadi dan saluran komunikasi massa. Kalau
komunikasi antarbudaya tersebut berlangsung melibatkan individu dua
orang atau kelompok kecil maka saluran yang dilalui oesan adalah
saluran
antarpribadi.
Apabila
komunikai
antarbudaya
tersebut
berlangsung dalma kelompok besar dan massa yang luas maka saluran
yang diperlukan adalah saluran media massa seperti televisi, radio, surat
kabar, majalah dal lainnya.
2.2.4.3 Hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya
Chaney & Martin dalam (Lubis, 2012: 5-6) mengatakan bahwa hambatan
komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah segala
sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif.
Hambatan komunikasi dalam komunikasi antarbudaya (interculture
communication) mempunyai bentu seperti sebuah gunung es yang terbenam di
Universitas Sumatera Utara
19
dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di
tas air (above waterline) dan di bawah air. Faktor-faktor hambatan komunikasi
antarbudaya yang berada di bawah air (below waterline) adalah faktor-faktor
yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup
sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hamabtan semacam ini adalah
persepsi (pesceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosogi bisnis (
business philosophy), aturan (rules), jaringan (networks), nilai (values), dan grup
cabang ( subcultures group).
Sementara hambatan komunikasi di atas air (above waterline) adlah
hambatan komunikasi yang lebih mudah untuk dilihat karena banyak yang
berbentuk fisik. Menurut Chaney & Martin (dalam Lubis 2012, 6-9) hambatan
komunikasi antarbudaya yang berada diatas air (above waterline) ada sembilan,
yaitu :
-
Fisik (Physical)
Hambatan komunikasi semacam ini berasal dai hambatan waktu,
lingkungan, kebutuhan diri dan juga media fisik.
-
Budaya (Cultural)
Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama dan juga
perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang
lainnya.
-
Persepsi (Perceptual)
Jenis hambatan ini muncul karena setiap orang memiliki persepsi yang
berbeda-beda
mengenai
suatu
hal
setekah
berinteraksi
dan
berkomunikasi. Dengan demikian untuk mengartikan sesuatu setiap
budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
-
Motivasi (Motivasional)
Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari
pendengar, maksudnya adalah apakah pendengar yangmenerima
poesan ingin menerima pesan tersebut atau sedang malas dan tidak
punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
-
Pengalaman (Experiantial)
Universitas Sumatera Utara
20
Experiantal adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu
tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu
mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam
melihat sesuatu.
-
Emosi (Emotional)
Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar.
Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi
yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
-
Bahasa (Lingustic)
Hambatan ini terjadi apabila pengirim pesan (sender) dan penerima
pesan
(receiver)
menggunakan
bahasa
yang
berbeda
atau
menggunakan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.
-
Nonverbal
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak
berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi.
-
Kompetisi (Competition)
Hambatan ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan
kegiatan lalin sambil mendengarkan.
2.2.5 Pola Komunikasi
Pola Komunikasi adalah proses yang dirancang untuk mewakili
kenyataan keterpautan unsur-unsur yang dicakup beserta keberlangsungan, guna
memudahkan pemikiran secara sistematis dan logis. Pola komunikasi dibagi
menjadi tiga yaitu, komunikasi satu arah, komunikasi dua arah dan komunikasi
multi arah.
Menurut Effendy (2002 :32) Pola Komunikasi terdiri atas 3 macam
yaitu :
1. Pola Komunikasi satu arah adalah proses penyampaian pesan dari
Komunikator kepada Komunikan baik menggunakan media maupun
tanpa media, tampa ada umpan balik dari Komunikan dalamhal ini
Komunikan bertindak sebagai pendengar saja.
Universitas Sumatera Utara
21
2. Pola Komunikasi dua arah atau timbal balik (Two way traffic
communication) yaitu Komunikator dan Komunikan menjadi saling
tukar fungsi dalam menjalani fungsi mereka, Komunikator pada tahap
pertama menjadi
komunikan dan pada tahap berikutnya saling
bergantian fungsi. Namun pada hakekatnya yang memulai percakapan
adalah komunikator utama, komunikator utama mempunyai tujuan
tertentu melalui proses Komunikasi tersebut, Prosesnya dialogis, serta
umpan balik terjadi secara langsung.
3. Pola Komunikasi multi arah yaitu Proses k omunikasi terjadi dalam
satu kelompok
yang
lebih
banyak
di
mana
Komunikator
dan
Komunikan akan saling bertukar pikiran secara dialogis.
2.3 Model Teoritik
Gambar 2.3. Model Teoritik
Masyarakat Suku Bali Desa
Cipta Dharma (Kampung
Bali)
-
Etnografi Komunikasi
-
Interaksionis Simbolik

Pola Komunikasi Komunikasi Masyarakat
Hindu Bali dalam Berinteraksi dengan
Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta
Dharma.

Hambatan
Komunikasi
yang
dialami
Masyarakat Hindu Bali dalam Berinteraksi
dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa
Cipta Dharma.

Sumber : Peneliti, 2016
Universitas Sumatera Utara
Download