BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian Keberadaan paradigma sangatlah diperlukan, karena paradigma merupakan cara pandang yang akan digunakan oleh seorang peneliti dalam melakukan penelitiannya. Menurut Harmon dalam (Moleong, 2006: 49), paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. Sedangkan Baker dalam (Moleong, 2006: 49) mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan yang membangun atau mendefinisikan batas-batas dan menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu agar berhasil. Dalam penelitian ini paradigma yang digunakan adalah paradigma Interpretif. Interpretif atau Interpretivisme adalah salah satu bagian dari paradigma yang menolak keberadaan paradigma positivistik. Interpretivisme ini berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada pengalaman orang yang diteliti. Interpretivisme ini menuntut pendekatan holistik dan menyeluruh, mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapatkan pemahaman lengkap apa adanya, akrena objek bukan mekanik tetapi humanistis, penelitian ini tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai atas subjektif. (Vardiansyah, 2008: 61). Interpretivisme berangkat dari upaya mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makan yang khusus sebagai esesni dalam memahami makna sosial. Interpretif dibentuk oleh tiga pandangan dasar yaitu, hermeneutika, fenomenologi dan interaksionalisme simbolik. Tiga padangan ini mendasari metode ilmu sosial yang khas, yaitu memberikan peran subjek dalam 8 Universitas Sumatera Utara 9 menentukan fakta sosial sekaligus memperlakukan manusia tidak sebagai benda-benda, lebih dari apa yang telah dicapai oleh post-positivisme awal. Interpretivisme menurunkan motodologi penelitian yang dinamakan grounded theory. Metode ini menurunkan kriteria bahwa data harus dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif bukan kuantitatif, kemudian teori yang dikembangkna bersifat membumi, serta kegiatan ilmu harus bersifat natural apa adanya da menghindarkan penelitian yang diatur sebelumnya, baik melalui desain penelitian yang kaku maupun situasi laboratoris, dan karenanya penelitian lebih bersifat partisipatif daripada mengontrol sumber-sumber informasi. Ditinjau dari aspek ontologis, interpretivisme menuntut pendekatan holistik, menyeluruh yaitu mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan dan tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapatkan pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak mekanistis melainkan humanistis. Dari aspek epistemologis, interpretivisme menuntut menyatukan subjek dengan objek penelitian serta subjek pendukungnya, karenanya pula menuntut keterlibatan langsung peneliti di lapangan serta menghayati berprosesnya subjek pendukung lainnya. Dan dari aspek aksiologis, penelitian interpretivisme tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008 : 61) 2.2 Kajian Pustaka Dalam setiap penelitian diperlukan kejelasan titik tolak atau landasan dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya, untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001: 39-40). Teori memiliki peran penting sebagai pendorong pemecahan masalah. Teori adalah penyataan umum yang merangkum pemahaman kita tentang cara dunia belerja (Severin & Tankard, 2008:12). Adapun teori-teori yang relevan untuk penelitian ini adalah : Universitas Sumatera Utara 10 2.2.1 Komunikasi 2.2.1.1 Definisi Komunikasi Secara etimologis istilah komunikasi dalam bahasa inggris yaitu Communication berasal dari kata latin Communis, artinya sama. Maksudnya bila seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan sesuatu pihak, maka orang tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan persamaan arti denagn pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya atau menyamakan dirinya dengan yang diajaknya berkomunikasi. Dengan demikian diharapkan diharapkan akan memperoleh suatu kesepakatan arti. (Lubis, 2011 :7) Terdapat banyak defenisi mengenai komunikasi, yang mana defenisi tersebut dinyatakan oleh para tokoh yang berasal dari latar belakang disipilin ilmu yang berbeda-beda. Menurut Everett M. Rogers dalam ( Mulyana, 2010:6) komunikasi adalah suatu proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Defenisi lain menurut Hovland dalam ( Mulayana, 2010: 69) komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate). Berkomunikasi merupakan satu hal yang mutlak bagi kehidupan manusia, karena sifatnya sebagai makhluk sosial, dimana manusia yang satu membutuhkan manusia lainnya. Dengan sifat manusia yang saling membutuhkan satu sama lain maka terjadilah proses interaksi sosial, dimana mausia yang satu berinteraksi dengan manusai lainnya dalam lingkungan sosial. Untuk melakukan interaksi ini maka diperlukanlah berkomunikasi. Sedangkan menurut Harorl D. Lasswell dalam (Mulyana, 2010: 69) Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan beriku, Who Says What In Which channel to Whom With What Effect? Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana? Universitas Sumatera Utara 11 2.2.1.2 Unsur-Unsur Komunikasi Dalam Mulyana (2010: 69-71) dijelaskan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lainnya berdasarkan definisi Lasswell, kelima unsur tersebut yaitu, komunikator, pesan, saluran atau media, komunikan dan efek. Komunikator (Source/ Sender/ Encoder/ Communikator/ Spekaer) adalah pihak yang berinisiatif atua mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber bisa berupa individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan suatu negara. Untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya (perasaan) atauh bahkan dalam kepalanya (pikiran), sumber atau komunikator hatus mengubah perasaan atau pikiran tersebut ke dalam seperangkat simbol verbal dan atau nonverbal yang idealnya dipahami oleh penerima pesan. Pesan (Message) adalah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan nonverbal yang mewaliki perasaan, nilai, gagasan, atau hal yang dimaksud oleh sumber. Pesan mempunyai tiga komponen : makna, simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna, dan bentuk atau organisasi pesan. Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat mempresentasikan objek (benda), gagasan, dan perasaan, baik ucapan ( percakapan, diskusi, wawancara, ceramah) ataupun tulisan ( surat, esai, artikel, novel, puisi, famflet). Saluran atau media, adalah alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesan kepada penerima. Saluran bisa jadi merujuk pada bentuk pesan yang disampaikan kepada penerima, apakah saluran verbal atau saluran nonverbal. Saluran juga merujuk pada cara penyajian pesan, apakah langsung (tatap muka) atau kewat media cetak atau media elektronik. Surat pribadi, telepon, selebaran, Sound System Multimedia, Overhead Projector, semua dapat dikategorikan sebagai saluran komunikasi. Penerima atau Komunikan (Receiver/ communican/ destination/ decoder/ audience/ listener/ interpreter) adalah pihak yang menerima pesan dari sumber. Kelima, Efek yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut. Misalnya, penambahan pengetahun (dari yang tidak tahu menjadi tahu), terhibur, perubahan sikap (dari yang tidak setuju menjadi setuju), perubahan keyakinan dan perubahan sikap. Universitas Sumatera Utara 12 Sebenarnya masih ada unsur-unsur lain yang sering ditambahkan, seperti umpan balik (feedback), gangguan atau kendala komunikasi (noise/barriers), dan konteks atau situsi komunikasi. Dalam komunikasi terdapat banyak sekali unsur yang terlibat. Kesemu unsur tersebut saling bergantung dan atau saling tumooang tindih, namun diasumsikan terdapat unsur-unsur utama yang dapat diidentifikasikan san dimasukan kedalam suatu model. 2.2.2 Etnografi Komunikasi Etnografi Komunikasi adalah pengembangan dari antropologi lingustik yang dipahami dalam konteks komunikasi. Studi ini dikenalkan pertama kali oleh Dell Hymes pada tahun 1962, sebagai kritik terhadap ilmu lingustik yang terlalu memfokuskan diri pada fisik bahasa saja. Menurut Ibrahim dalam (Kuswarno 2008: 11) Definisi etnografi komunikasi itu sendiri adalah pengkajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu cara-cara bagaimana bahasa digunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaan. Etnografi komunikasi (ethnography of communication) juga dikenal sebagai salah satu cabang ilmu dari antropologi, khususnya turunan dari etnografi berbahasa ( Etnography of Speaking). Disebut etnografi komunikasi karena Hymes beranggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk memberikan tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada komunikasi bukan pada bahasa. ( Kuswarno, 2008: 11) Hymes kemudian mendefinisikan etnography of speaking sebagai gabungan antara etnologi dan lingustik, suatu kaijain yang menyangkut situasi, penggunaan, pola dan fungsi dari berbicara sebagai suatu aktivitas tersendiri. Pada perkembangannya, Hymes mengubah istilah pendekatannya itu dari ethnography of speaking menjadi etnography of communication. Kemudian pendekatan Hymes ini semakin dikenal luas dan siakui sebagai suatu kajain yang penting dalam memnadang perilaku komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan (Kuswarno, 2008 : 13) Etnografi komunikasi berakar pada istilah bahasa dan interaksi sosial dalam aturan penelitian kualitatif komunikasi. Penelitiannya mengikuti tradisi Universitas Sumatera Utara 13 psikologi, sosiologi, linguistik dan antropologi. Etnografi komunikasi difokuskan kepada kode-kode dan ritual-ritual. Ibrahim dalam (Kuswarno, 2008; 13 ) mengatakan bahwa etnografi komunikasi merupakan pendekatan terhadap sosiolinguistik bahasa, yaitu melihat penggunaan bahasa secara umum dihubungkan dengan nilai-nilai sosial dan kultural. Sehingga tujuan deskripsi etnografi adalah untuk memberikan pemahaman global menganai pandangan dan nilai-nilai suatu masyarakat sebagai cara untuk menjelaskan sikap dan perilaku anggota-anggotanya. Pada etnografi komunikasi yang menajdi fokus perhatian adalah perilaku komunikasi dalam tema kebudayaan tertentu. Adapaun menurut Effendy dalam (Kuswarno 2008: 35) yang dimaksud dengan perilaku komunikasi menurut ilmu komunikasi adalah tindakan atau kegitan sesorang, kelompok atau khalayak, ketika terlibat dalam proses komunikasi. Etnografi komunikasi sendiri sebenarnya sebuah metode penelitian komunikasi yang beranjak dari paradigma kualitatif interpretif. Penelitian ini biasanya memfokuskan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam suatu masyarakat tutur. Dengan demikian, etnografi komunikasi membutuhkan alat atau metode penelitian yang bersifat kualitatif untuk dapat memahami objek kajiannya. Menurut Hymes dalam ( Kuswarno, 2008: 14) ruang lingkup kajian etnografi komunikasi adalah sebagai berikut : 1) Pola dan Fungsi Komunikasi (patterns and functions of communications). 2) Hakikat dan definisi masyarakat tutur (nature and definition of speech community). 3) Cara-cara berkomunikasi (means of communicating) 4) Komponen-kompenen kompetensi komunikatif (components of communicative competence) 5) Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan organisasi sosial ( relationship of language to world view and social organization). 6) Semesta dan ketidaksamaan linguistik dan sosial ( linguistic and social universals and inqualities). Menurut Seville-Troike dalam ( Kuswarno, 2008: 15), yang menjadi fokus kajian etnografi komunikasi adalah masyarakat tutur (speech community), yang di dalamnya mencakup : a. Cara-cara bagaimana komunikasi itu dipola dan diorganisasikan sebagai sebuah sistem dari peristiwa komunikasi. Universitas Sumatera Utara 14 b. Cara-cara bagaimana pola komunikasi itu hidup dalam interaksi dengan komponen sistem kebudayaan yang lain. Perilaku komunikasi yang lahir dari integrasi tiga keterampilan yang dimiliki setiap individu, ketiga keterampilan itu terdiri keterampilan linguistik, keterampilan interaksi dan keterampilan budaya, ketiganya disebut sebagai kompetensi komunikasi yang dalam model etnografi disebut juga peristiwa komunikasi yang menghasilakn pemolaan komunikasi. Menurut Ibrahim dalam ( Kuswarno, 2008: 36) Secara spesifik, etnografi komunikasi akan menghasilkan hipotesis mengenai berbagai cara, bagaimana fenomena sosiokultural dalam masyarakat itu berhubungan dengan pola-pola komunikasi atau cara-cara berbicara. Adapun fokus kajian dari etnografi komunikasi adalah perilaku-perilaku komunikatif suatu masyarakat, yang pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek sosiokultural, seperti kaidahkaidah interaksi dan kebudayaan. Etnografi komunikasi memulai penyelidikannya dengan mengenali perilaku-perilaku komunikasi yang khas, dan kemudia mengakhiri dengan penjelasan pola-pola komunikasi, tentu saja dalam konteks sosiokultural ( Kuswarno, 2008: 36) Hymes dalam (Effendy, 2002: 162) mengemukakan tahapan-tahapan untuk melakukan penelitian etnografi komunikasi dalam suatu masyarakat tutur, melalui penjelasan berikut : Sebagai langkah awal untuk mendeskripsikan dan menganalisis pola komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, adalah dengan mengidentifikasikan perstiwa-peritiwa komunikasi yang terjadi secara berulang. Langkah selanjutnya menginterventarisasi komponen yang membangun peristiwa komunikasi, kemudia menemukan hubungan antar komponen tersebut. Jadi, yang dimaksud tahapan penelitian dalam etnografi komunikasi adalah seperti berikut ini : 1. Identifikasi peristiwa-peristiwa komponen komunikasi yang terjadi secara berulang ( recurrent events) 2. Inventarisi komponen komunikasi yang membangun peristiwa komunikasi yang berulang tersebut. Universitas Sumatera Utara 15 3. Temukan hubungan antarkomponen yang membangun peristiwa komunikasi, yang akan dikenal kemudian sebagai pemolaan komunikasi ( communication pattering). 2.2.3 Interaksionis Simbolik Istilah Interaksionis Simbolik pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead yang tidak lain adalah guru dari Herbert Blumer, yang kemudian dimodifikasi oleh Blumer untuk tujuan tertentu. (Kuswarno, 2008: 21) Teori interaksionis simbolik adalah suatu teori yang menerangkan perilaku manusia dengan menggunakan analisis makna. Menurut Blumer dalam (Kuswarno, 2008:22) Dalam melakukan analisis tersebut pendekatan interaksi simbolik mengacu pada tiga premis utama yaitu: 1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain. 3) Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung. Menurut Herbert Blumer istilah interaksionisme simbolik menujuk pada sifat khas dari interaksi antar manusia. Interaksionis simbolik adalah interaksi yang menimbulkan makna khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata “symbol” yakni tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Teori interaksionis simbolik menggunakan paradigma individu aktif yang proaktif. Perspektif interaksionis simbolik sebenarnya berada dibawah payung perspektif fenomenologi dan interpretif (Mulyana 2003:29). Penganut interaksionisme simbolik berpandangan bahwa perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia sekelilingnya. Yang menjadi esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni pertukaran simbol yang diberi makna. Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Manusia menggunakan simbol-simbol dalam merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia. Komunikasi dalam perspektif interaksi simbolik digambarkan sebagai pembentukan Universitas Sumatera Utara 16 makna penafsiran komunikasi). atas pesan Interaksi simbolik atau perilaku orang lain oleh peserta memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif dalam proses pertukaran simbolnya. 2.2.4 Komunikasi Antarbudaya 2.2.4.1 Definisi Komunikasi Antarbudaya Edward T.Hall dalam (Lubis, 2012:1) mengatakan budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Oleh karena budaya tidak hanya menetukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang dimiliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Komunikasi dan budaya seperti dua sisi mata uang, yang mana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Menurut Liliweri (2003:9) definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambahkan kata budaya kedalam penyataan “ komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan”. Menurut Mulyana dan Rakhmat dalam (Lubis, 2012:1-2) Sebenarnya seluruh aktivitas perilaku manusia sangat bergantung kepada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, kebudayaan merupakan landasan komunikasi. Bila kebudayaan beranekaragam, maka beranekaragam pula praktek komunikasi. Definisi lain dari oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Lubis,2012:3). Komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran informasi yang terjalin antara individu-individu yang memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda. Edward T. Hall dalam ( liliweri 2003: 21) mengatakan “komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”. Sekurang-kurangnya ada dua jawaban untuk pertanyaan apakah komunikasi ada dalam kebudayaan atau kebudayaan ada dalam komunikasi? Dan jawabannya adalah, pertama, dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertikaran Universitas Sumatera Utara 17 simbol-simbol komunikasi, dan kedua, hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi. Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antarbudaya ( Interculture communication) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi. Komunikasi natarbudaya adalah proses pertukaran informasi yang terjalin antara individu-individu yang memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda ( Lubis, 2012: 3) 2.2.4.2 Dimensi-dimensi Komunikasi Antarbudaya Menurut Young Yun Kim dalam (Lubis, 2012: 16) terdapat 3 dimensi yang perlu kita perhatikan untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptual tentang kebudayaan komunikasi antarbudaya, ketiga dimensi tersebut adalah : 1. Tingkat Masyarakat kelompok Budaya dari Partisipan-partisipan Komunikasi. Istilah komunikasi telah digunakan untuk menunjuk pada macammacam tingkat lingkungan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Tingkat keorganisasian suatu kelompok budaya begitu luas, namun daoat diklasifikasikan berdasarkan kepentingannya, hal tersebut mencakupi : - Kawasan-kawasan di dunia, seperti budaya Timur-Barat - Sub kawasan-kawasan di dunia, seperti budaya Amerika Utara-Asia Tenggara. - Kelompok-kelompok etnik-ras dalam suatu negara, seperti di Indonesia : budaya orang Melayu, Batak, tionghoa dal alinlain. - Macam-macam sub kelompok sosiologis berdasarkan kategorisasi jenis kelamin, kelas sosial. Seperti budaya orang di penjara, buaya waria, budayaorang gelandangan, budaya di pesantren dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 18 - Sub kelompok keluarga, ini merupakan sub kelompok budaya yag terkecil dimana seorang anak/ individu mengenali dan mendapatkan pengalaman tentang suatu budayanya dari orang tuanya. 2. Konteks Sosial Tempat Berlangsungnya Komunikasi Dalam berkomunikasi antarbudaya, kita harus peka dalam melihat situasi dan kondisi tempat berlangsungnya komunikasi tersebut. Antara satu budaya dengan budaya yang lain tidak sama dalam emamndang konteks sosial, sebab ada nilai-nilia yang mengatur dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Para pakar komunikasi antarbudaya mengatakan konteks sosial seperti situasi formal-tidak forml, waktu, suasana hati dan atribut lainnya menunjukan komunikasi simbolik yaitu verbal dan nonverbal yang harus cepat direspon oleh para pelaku komunikasi. 3. Saluran Komunikasi yang Dilalui oleh Pesan-Pesan Komunikasi Antarbudaya. Saluran komunikasi yang dimaksud dalam hal ini adalah saluran komunikasi antarpribadi dan saluran komunikasi massa. Kalau komunikasi antarbudaya tersebut berlangsung melibatkan individu dua orang atau kelompok kecil maka saluran yang dilalui oesan adalah saluran antarpribadi. Apabila komunikai antarbudaya tersebut berlangsung dalma kelompok besar dan massa yang luas maka saluran yang diperlukan adalah saluran media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dal lainnya. 2.2.4.3 Hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya Chaney & Martin dalam (Lubis, 2012: 5-6) mengatakan bahwa hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif. Hambatan komunikasi dalam komunikasi antarbudaya (interculture communication) mempunyai bentu seperti sebuah gunung es yang terbenam di Universitas Sumatera Utara 19 dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di tas air (above waterline) dan di bawah air. Faktor-faktor hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di bawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hamabtan semacam ini adalah persepsi (pesceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosogi bisnis ( business philosophy), aturan (rules), jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang ( subcultures group). Sementara hambatan komunikasi di atas air (above waterline) adlah hambatan komunikasi yang lebih mudah untuk dilihat karena banyak yang berbentuk fisik. Menurut Chaney & Martin (dalam Lubis 2012, 6-9) hambatan komunikasi antarbudaya yang berada diatas air (above waterline) ada sembilan, yaitu : - Fisik (Physical) Hambatan komunikasi semacam ini berasal dai hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri dan juga media fisik. - Budaya (Cultural) Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama dan juga perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya. - Persepsi (Perceptual) Jenis hambatan ini muncul karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai suatu hal setekah berinteraksi dan berkomunikasi. Dengan demikian untuk mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda. - Motivasi (Motivasional) Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar, maksudnya adalah apakah pendengar yangmenerima poesan ingin menerima pesan tersebut atau sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi. - Pengalaman (Experiantial) Universitas Sumatera Utara 20 Experiantal adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu. - Emosi (Emotional) Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui. - Bahasa (Lingustic) Hambatan ini terjadi apabila pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau menggunakan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan. - Nonverbal Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. - Kompetisi (Competition) Hambatan ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan lalin sambil mendengarkan. 2.2.5 Pola Komunikasi Pola Komunikasi adalah proses yang dirancang untuk mewakili kenyataan keterpautan unsur-unsur yang dicakup beserta keberlangsungan, guna memudahkan pemikiran secara sistematis dan logis. Pola komunikasi dibagi menjadi tiga yaitu, komunikasi satu arah, komunikasi dua arah dan komunikasi multi arah. Menurut Effendy (2002 :32) Pola Komunikasi terdiri atas 3 macam yaitu : 1. Pola Komunikasi satu arah adalah proses penyampaian pesan dari Komunikator kepada Komunikan baik menggunakan media maupun tanpa media, tampa ada umpan balik dari Komunikan dalamhal ini Komunikan bertindak sebagai pendengar saja. Universitas Sumatera Utara 21 2. Pola Komunikasi dua arah atau timbal balik (Two way traffic communication) yaitu Komunikator dan Komunikan menjadi saling tukar fungsi dalam menjalani fungsi mereka, Komunikator pada tahap pertama menjadi komunikan dan pada tahap berikutnya saling bergantian fungsi. Namun pada hakekatnya yang memulai percakapan adalah komunikator utama, komunikator utama mempunyai tujuan tertentu melalui proses Komunikasi tersebut, Prosesnya dialogis, serta umpan balik terjadi secara langsung. 3. Pola Komunikasi multi arah yaitu Proses k omunikasi terjadi dalam satu kelompok yang lebih banyak di mana Komunikator dan Komunikan akan saling bertukar pikiran secara dialogis. 2.3 Model Teoritik Gambar 2.3. Model Teoritik Masyarakat Suku Bali Desa Cipta Dharma (Kampung Bali) - Etnografi Komunikasi - Interaksionis Simbolik Pola Komunikasi Komunikasi Masyarakat Hindu Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma. Hambatan Komunikasi yang dialami Masyarakat Hindu Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma. Sumber : Peneliti, 2016 Universitas Sumatera Utara