BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai dilahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hak atas hidup dan hak merdeka sebagai hak dasar untuk anak-anak tidak dapat dihilangkan dan harus dilindungi. Karena hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan perlindungan hukum baik dari hukum nasional maupun hukum internasional. 1 Persinggungan anak dengan sistem peradilan pidana menjadi permulaan anak berhadapan dengan hukum. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) menurut Mardjono Reksodiputro, yakni sistem dalam suatu masyakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana, disamping itu ada hal lain yang tidak kalah penting yakni mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk 1 H. R. Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: PTIK, 2012), hal. 1. Universitas Sumatera Utara mengulangi kejahatannya. 2 Proses peradilan pidana adalah suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta pemasyarakatan sebagai sub sistem. Pelanggar hukum berasal dari masyarakat akan kembali pula ke masyarakat, baik sebagai warga yang taat pada hukum (non residivis) maupun mereka yang kemudian akan mengulangi kembali perbuatannya (residivis). 3 Terdapat penyelesaian khusus dengan cara non penal yang dapat diterapkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sebagai perlindungan terhadap anak seperti pelaksanaan diversi. Menurut C. Cunncen dan R. White, sejarah perkembangan hukum pidana kata diversi (diversion) pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Commission) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah diversi, praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 yang ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan. Prakteknya telah berjalan di negara bagian Queensland pada tahun 1963. Saat itu ketentuan diversi dimaksudkan untuk mengurangi jumlah anak yang masuk ke peradilan formal. 4 United Nations Standard Minimum Rules for the Administrator of Juvenile (The Beijing Rules) memberikan pedoman sebagai upaya menghindari efek negatif 2 Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana (Medan: USU Press, 2009), hal. 39. 3 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 98-99. 4 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana. Medan: USU Press, 2010. hal. 10 (selanjutnya disebut Marlina, Pengantar Konsep Diversi...) Universitas Sumatera Utara proses peradilan pidana anak, yaitu dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan kebijakan dalam mengambil atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal, antara lain menghentikan atau tidak meneruskan atau melepaskan dari proses pengadilan atau mengembalikan atau menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiaitan pelayanan sosial laiannya. Beberapa tindakan ini disebut diversi (diversion). Dengan adanya tindakan diversi ini, diharapkan akan mengurangi dampak negatif akibat keterlibatan anak dalam proses pengadilan tersebut. 5 Pengalihan (diversi) dibentuk untuk menghindarkan anak dari tindakan hukum selanjutnya serta mencegah pengaruh negatif dari tindakan hukum selanjutnya yang dapat menimbulkan sitgamtisasi (labelisasi). Pengalihan dapat dilakukan atas dasar kewenangan diskresi dari penyidik, penuntut umum atau hakim sesuai dengan pemeriksaan melalui suatu penetapan. 6 Diversi merupakan wewenang dari penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya, berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan apakah kasus tersebut diteruskan atau dihentikan. 7 Apabila perkara itu diteruskan, maka akan dihadapkan dengan sistem peradilan pidana dan terdapat sanksi pidana yang harus 5 R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Ngunut: Sinar Grafika, 2015), hal. 6 Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak (Bandung: Refika Aditama, 2013), hal. 45-46. 135. 7 Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, Sosiologi Peradilan Pidana (Jakarta: Yayasan Obor, 2015), hal. 99. Universitas Sumatera Utara dijalankan. Namun apabila perkara tersebut tidak diteruskan, maka dari awal tingkat penyidikan perkara akan dihentikan guna kepentingan bagi kedua belah pihak yang prinsipnya memulihkan hubungan yang terjadi karena tindak pidana untuk kepentingan masa depan bagi kedua belah pihak. 8 Prinsip-prinsip diversi menurut The Beijing Rules butir 11, antara lain sebagai berikut: 1. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi kewenangan untuk mengangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal. 2. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan lembaga lain yang menangani kasus terhadap anak disesuaikan dengan kriteria kebijakan masing-masing negara serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam The Beijing Rules. 3. Pelaksanakan diversi harus dengan persetujuan anak atau orang tua (wali). Namun demikian, keputusan untuk pelaksanaan diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan diversi tersebut. 4. Dalam pelaksanaan diversi diperlukan kerja sama dan peran masyarakat sehubungan dengan adanya beberapa program dalam diversi seperti: pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan dan ganti rugi kepada korban. 9 Tokyo Rules mengatur tentang diversi pada tahap pre-trial, pada Pasal 6 bagian 1 diatur bahwa penahanan merupakan alternatif terakhir dalam proses peradilan pidana dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan korban. Sedangkan pasal 6 bagian 2 dinyatakan bahwa non penahanan sedapat mungkin diterapkan di setiap tahap. Dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa untuk menghindari penjatuhan pidana penjara sebagai upaya untuk memudahkan pelaku kembali ke 8 Ibid. Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015), Hal. 67. 9 Universitas Sumatera Utara tengah masyarakat, maka diperlukan alternatif sanksi seperti: kerja sosial atau pendidikan dan permohonan maaf pada korban yang pelaksanaannya dapat dilakukan pada setiap tahap dalam sistem peradilan. 10 Menurut Lode Walgrave, konsep diversi dimulai dengan pendirian peradilan anak pada abad ke-19 yang bertujuan unntuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa. Tujuannya menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan dan menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas penuh. 11 Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang mentaati hukum. 12 10 Nurini Aprilianda, “Implikasi Yuridis Dari Kentuan Diversi Dalam Instrumen Internasional Anak Dalam Hukum Anak Di Indonesia” Arena Hukum Volume 6, Nomor 1 Halaman 1-74, (April 2012)http://download.portalgaruda.org/article.php?article=311381&val=7385&title=IMPLIKASI%20 YURIDIS%20DARI%20KENTENTUAN%20DIVERSI%20DALAM%20INSTRUMEN%20INTER NASIONAL%20ANAK%20DALAM%20HUKUM%20ANAK%20DI%20INDONESIA.Diakses pada 2 Mei 2016. 11 Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, Op. Cit, hal. 99-100. 12 Ibid, hal. 100. Universitas Sumatera Utara Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum. 13 Pelaksanaan diversi dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) yang merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk menapai kesepakatan dan penyelesaian. 14 Menurut pandangan restorative justice, penanganan kejahatan yang terjadi tidak hanya menjadi tanggung jawab negara akan tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat. 15 Konsep restorative justice mempunyai suatu kerangka berpikir dalam upaya mencari alternatif penyelesaian terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak tanpa hukuman pidana. Alternatif penyelesaian yang dilakukan sebagai upaya menciptakan keadilan yang berperikemanusiaan. 16 Penyelesaian dilakukan dengan 13 Ibid. Allison Morris dan C. Brielle Maxwell, Restorative Justice for Juveniles: Conferencing Mediation and Circles (Oregon: Oxford-Portland, 2001), hal. 3. Dikutip dari Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. (Medan: Refika Aditama, 2009), hal. 23. (Selanjutnya akan disebut Marlina, Peradilan Pidana Anak...) 15 Ibid. 16 Howard Zehr, Chancing Lenses: A New Focus for Crime and Justice (Pensylvania: Herald Press, 1990), hal. 181. Dikutip dari Ibid, hal 23-24. 14 Universitas Sumatera Utara tetap memberikan hak masing-masing pelaku dan korban dalam mediasi sebagai sentral dalam pelaksanaan restorative justice. 17 Tujuan diversi menurut Heather Strang, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Untuk menghindari penahanan. Untuk menghindari stigma atau label sebagai penjahat. Untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku. Agar pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana. Untuk memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan pelaku tanpa harus melalui proses formal. 7. Program diversi juga akan menghindari anak mengikuti proses peradilan. 8. Program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan tersebut. 18 Di Indonesia ide diversi telah menjadi salah satu rekomendasi dalam Seminar Nasional Peradilan Anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran bandung tanggal 5 Oktober 1996. Dalam perumusan hasil seminar tersebut terdapat hal-hal yang disepakati dalam rekomendasi, yakni ide diversi untuk memberikan kewenangan bagi hakim, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan di muka sidang. 19 Tujuan diversi dalam pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 (yang selanjutnya disebut UU No. 11 Tahun 2012) adalah sebagai berikut: 1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak. 2. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan. 3. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. 17 Ibid. Ibid, hal. 101. 19 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Purwokerto: Genta Publishing, 2011), hal. 5. 18 Universitas Sumatera Utara 4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi. 5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Selain berpedoman pada UU No. 11 Tahun 2012 terdapat beberapa peraturan maupun instruksi internal yang menjadi pedoman untuk melaksanakan diversi bagi anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia, antara lain sebagai berikut: 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. 2. Surat Telegram Rahasia Kabareskrim POLRI TR/1124/XI/2006 16 November 2006 dan TR/395/ DIT,VI/2008 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi. 3. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-005/A/J.A/O4/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan. 4. Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi dilaksanakan oleh petugas dengan melakukan wewenang yang disebut diskresi yang merupakan wewenang petugas kepolisian untuk mengambil tindakan meneruskan atau menghentikan perkara sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya. Telegram Rahasia Kabareskrim Polri No. Pol. TR/1124/XI/2006 dan No. Pol. TR/359/DIT,I/VI/2008 yang memberi petunjuk dan aturan tentang teknik diversi Universitas Sumatera Utara yang dapat dilakukan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum merupakan diskresi bagi pihak kepolisian dalam pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan. Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh Kepolisian adalah proses awal dalam suatu proses peradilan anak. Hal ini disebabkan, dapat tidaknya anak yang berkonflik dengan hukum diproses dalam peradilan anak adalah sangat bergantung dari hasil penyidikan yang dilakukan Kepolisian dengan terlebih dahulu meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan. Dalam hal terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, pihak Kepolisian dalam pelaksanaan diskresi dapat melakukan pengalihan perkaranya sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan secara formal. 20 Telegram Rahasia Kabareskrim Polri No. Pol. TR/1124/XI/2006 dan No. Pol. TR/359/DIT,I/VI/2008 menjadi pedoman dalam penyidikan terhadap anak oleh kepolisian, termasuk didalamnya pihak penyidik anak untuk mengimplementasikan diversi dalam penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. 21 Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai sinkronisasi Telegram Rahasia Kabareskrim mengenai divesi tersebut dengan UU No. 11 tahun 2012 dan PP No. 65 Tahun 2015 serta implementasinya di Kepolisian Resort Kota (Polresta) Medan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini berjudul “Diversi Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Tingkat Penyidikan (Studi di Polresta Medan)”. 20 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015), hal. 121. 21 Setya Wahyudi, Op. Cit. hal. 201. Universitas Sumatera Utara B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini, adalah: 1. Apa pengaruh diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum? 2. Bagaimana sinkronisasi peraturan tentang diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia pada tingkat penyidikan? 3. Bagaimana pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polresta Medan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan maka yang menjadi tujuan penelitian ini, adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis sinkronisasi peraturan tentang diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia pada tingkat penyidikan. 3. Untuk mengetahui pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polresta Medan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara a. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada akademisi dan bagi masyarakat umum, khususnya mengenai diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di tingkat penyidikan. b. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di tingkat penyidikan, khususnya akademisi serta pihak-pihak yang menjadi komponen sistem peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan serta Advokat). E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan beberapa judul dari tesis yang ada di kepustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, penelitian tentang “Diversi Terhadap Anak yang Berkonflik Dengan Hukum di Tingkat Penyidikan (Studi di Polresta Medan)”. Namun, terdapat beberapa tesis dengan judul yang mendekati penelitian ini, antara lain sebagai berikut: a. Tesis atas nama Bob Sadiwijaya (NIM: 097005043) dengan judul “Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi di Kota Medan)”. b. Tesis atas nama Renhard Harve (NIM: 147005068) dengan judul “Analisis Yuridis Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Ditinjau Menurut UU Nomor 11 Tahun 2012 (Studi Kasus Putusan Penetapan Diversi Universitas Sumatera Utara Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan di Sibuhuan No. 01/Pid.Sus.Anak/2015/PN. PSP)”. c. Tesis atas nama Noprianto Sihombing (NIM: 127005118) dengan judul “Penerapan Diversi dalam Kasus Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan oleh Anak Dikaitkan dengan UU No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”. Dengan demikian, penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan bukan merupakan hasil plagiat sehingga dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah. F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep a. Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat dan teori mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan pertimbangan dan pegangan teoritis. 22 Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan titik tolak atau landasan untuk memecahkan atau membahas masalahnya, maka perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati. 23 Menurut Soerjono Soekanto kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, 22 23 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: UGM Press, 2003), hal. 39- 40. Universitas Sumatera Utara aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. 24 Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Teori Non Penal Jalur “non penal” merupakan jalur penanggulangan dengan cara meningkatkan niai keagamaan, penyuluhan melalui pemuka masyarakat dan kegiatan lainnya. Persoalan kejahatan tidak hanya diarahkan pada penyelesaian melalui proses peradilan, tetapi bisa melalui non peradilan. 25 Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal merupakan bentuk upaya penanggulangan berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media masa. Konsep diversi merupakan bentuk alternatif penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. 26 Menurut G. P. Hoefnagels jalur pidana (penal) bukan merupakan satu-satunya upaya penanggulangan kejahatan. Non penal dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan kejahatan. konsep diversi merupakan konsep penyelesaian tindak pidana yang memberikan perlindungan bagi anak. Kedua konsep tersebut dalam penyelesaiannya melibatkan persetujuan korban, pelaku dan masyarakat. 27 24 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6. Marlina, Peradilan Pidana Anak .....,Op.Cit, hal. 16. 26 Ibid. Hal. 17 27 Ibid. 25 Universitas Sumatera Utara Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pendekatan menggunakan keadilan restoratif (restorative justice) dalam proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan 28 Diversi merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan sosial lainnya. Diversi dapat diterapkan disemua tingkat pemeriksaan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut. 29 Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan. Petugas melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan 28 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hal. 6. 29 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Op. Cit, hal. 68. Universitas Sumatera Utara tindakan kekerasan dan pemaksaan tindakan kekerasan saat penangkapan membawa sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan hukum. 30 Dengan menggunakan sarana non penal, maka musyawarah diversi yang menggunakan pendekatan restorative justice yang melibatkan orang tua, tokoh masyarakat bahkan pihak lain yang berada di lingkungan kehidupan anak akan mempunyai peran dalam penyelesaian kejahatan oleh anak di luar jalur formal sistem peradilan pidana. Dalam hal ini, akan dilihat proses tersebut dalam pelaksanaan diversi di Kepolisian Resort Kota (Polresta) Medan. b. Teori Diskresi Diskresi (discretionary power) menurut Loraine Gelsthorpe dan Nicola Padfield yakni wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya. 31 Tindakan diskresi merupakan tindakan keseharian yang dilakukan oleh petugas polisi, jaksa, penasihat hukum, hakim, psikiater, lembaga pemasyarakatan, petugas imigrasi dan komponen lainnya untuk mendorong seseorang kedalam atau ke luar sistem peradilan pidana dan mengarahkannya kepada lembaga pengawasan lain yang paling tepat. 32 Diskresi dalam Black’s law Dictionary yakni: “a public official’s power or right to act in certain circumtances according to personal judgement and conscience.” 30 Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, Op. Cit. hal. 99-100. Marlina, Pengantar Konsep Diversi..., Op. Cit. hal. 2. 32 Marlina, Peradilan Pidana Anak... Hal. 19. 31 Universitas Sumatera Utara “diskresi merupakan keputusan pejabat publik untuk bertindak berdasarkan kewenangan yang dimilikinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hati nurani.” 33 Diskresi memberikan kesempatan bagi penegak hukum sebuah kebebasan dalam membuat keputusan sesuai dengan rasa keadilan oleh pribadi seseorang yang mempunyai wewenang kekuasaan. Diskresi menunjukkan kebebasan kekuasaan untuk membuat keputusan dengan petimbangan pribadi yang memperhatikan kebaikan dan keadilan bagi semua pihak, guna mencari alternatif lain yang bukan pidana (non penal). 34 Pelaksanaan diskresi menurut Lode Walgrave oleh penegak hukum yakni memberikan kesempatan bagi penegak hukum dalam membuat keputusan sesuai dengan rasa keadilan atas pertimbangan subyektif petugas penegak hukum itu sendiri. Dengan kata lain, diskresi dianggap sebaagai kebebasan kekuasaan untuk membuat suatu keputusan atas dasar kewenangan yang dimilikinya dengan pertimbangan pribadi dengan memperhatikan kebaikan semua pihak, guna mencari alternatif lain yang bukan pidana (non penal). Diskresi tersebut dilakukan sesuai kebijakan yang dimiliknya. 35 Menurut Heather Strang, ada 3 landasan pelaksanaan diskresi yang benar, yaitu: 1. Pembuat diskresi harus mempunyai wewenang menurut hukum. Tanpa wewenang, suatu diskresi adalah tindakan sewenang-wenang. 33 Syamsul Fatoni, Pembaharuan Sistem Pemidanaan: Perspektif Teoritis dan Pragmatis untuk Keadilan (Mojokerto: Setara Press, 2015), hal 127. 34 Ibid. 35 Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, Op. Cit. hal. 101-102. Universitas Sumatera Utara 2. Tujuan diskresi tidak boleh bertentangan dengan hukum. 3. Kebebasan dalam diskresi adalah kebebasan memilih (freedom of choice) berdasarkan masalah yang dihadapi yang berada dalam lingkungan landasan pertama dan kedua. 36 Diskresi yang berhubungan dengan kepolisian dalam lingkup pelaksanaan tugas kepolisian, selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan yang dilakukan oleh seorang terhadap persoalan yang dihadapi. 37 Perkataan diskresi merupakan perkataan umum yang dapat diwujudkan dalam bentuk yang berbeda pada tempat yang berbeda, pada sebuah sistem tingkatan tertentu hal ini dinyatakan sebagai diversi. 38 Pelaksanaan diversi dilatar belakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum ini disebut dengan diskresi. 39 Menurut Sadjijono, penilaian yang diyakini oleh anggota Kepolisian untuk bertindak (diskresi) sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang konkrit mengharuskan bertindak dimana setiap individu berbeda tergantung dari pengalaman, pengetahuan, kecerdasan dan moralitas. 40 Wayne La Farve melihat diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang sangat tidak terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan. 41 36 Ibid. Hal. 103. Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 182. 38 Marlina, Pengantar Konsep Diversi... hal. 6. 39 Ibid, hal. 2. 40 Syamsul Fatoni, Op. Cit, hal. 130. 41 Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Suatu Pengantar (Malang: Setara Press, 2015), hal. 89-90. 37 Universitas Sumatera Utara Telegram Rahasia (TR) Kabareskrim Polri yang berpedoman pada Pasal 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas masalah Diskresi Kepolisian. Hal ini memberi pedoman dan wewenang bagi penyidik Polri untuk mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini tercantum dalam Telegram Rahasia Kabareskrim Polri No. Pol. TR/1124/XI/2006 pada butir DDD Nomor 1 yang menyatakan kewenangan diskresi kepolisian sesuai dengan pasal 18 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002. b. Kerangka Konsep Suatu kerangka konsep, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep merupakan gejala yang akan diteliti dan merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubunganhubungan dalam fakta tersebut. 42 Kerangka konsep yang menjadi definisi operasional dalam penelitian ini, adalah: 1. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. 43 2. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 44 42 43 Soerjono Soekanto, Op. Cit, 132. Pasal 1 angka 7 UU No. 11 Tahun 2012. Universitas Sumatera Utara 3. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 45 4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 46 G. Metode Penelitian Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. 47 Mengadakan suatu metode ilmiah harus menggunakan metode, karena ciri khas ilmu adalah dengan menggunakan metode. Metode berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana terrtentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai suatu tujuan, artinya peneliti tidak bekerja acak-acakan. Langkahlangkah yang diambil harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendalikan. Oleh karena itu, 44 Pasal 1 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012. Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 2012. 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 47 Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/metode diakses pada 11 Maret 2016. 45 Universitas Sumatera Utara metode ilimah timbul dengan membatasi secara tegas bahasa yang dipakai oleh ilmu tertentu. 48 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif dan empiris. Penelitian normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. 49 Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta dengan analitis dan sistematis. Deskriptif analisis adalah suatu cara yang digunakan yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberikan jawaban terhadap suatu objek penelitian yang akan diteliti melalui data yang telah terkumpul dan membuat suatu kesimpulan terhadap suatu objek penelitian. 50 Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan PerundangUndangan (statute approach) yang dilakukan dengan mengkaji beberapa Peraturan yang berkaitan dengan diversi. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari sikronisasi antara UU 48 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayumedia, 2010), hal. 294. 49 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 35. 50 Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hal, 30. Universitas Sumatera Utara No. 11 Tahun 2012 dengan Telegram Rahasia Kabareskrim POLRI TR/1124/XI/2006 16 Nov 2006, TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, PP No 65 Tahun 2015. Pendekatan Perundang-undangan ini dilakukan dengan pendekatan lapangan (field research) untuk mengetahui pelaksanaannya di lapangan. 2. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari: a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang mengikat seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, PP No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, Telegram Rahasia Kabareskrim POLRI TR/1124/XI/2006 dan TR/395/ DIT,VI/2008 tentang pelaksaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasanulasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari: beberapa buku hukum, makalah hukum, jurnal ilmiah hukum atau pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan objek penelitian ini. Universitas Sumatera Utara c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yanng memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti hasil wawancara dengan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polresta medan, hasil wawancara dengan pihak dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus bahasa Inggris-Indonesia, majalah, surat kabar, internet dan lain sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, akan dilakukan beberapa teknik pengumpulan bahan hukum, yakni: a. Studi dokumen atau studi pustaka (library reseacrh) yaitu studi terhadap diversi dan sistem Peradilan Pidana, serta segala aturan hukum yang menyangkut tentang diversi, beberapa buku, jurnal dan segala sumber bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dengan maksud untuk mendapatkan teori-teori, asas-asas, konsep dan pemikiran para ahli dan peneliti terdahulu yang berkaitan dengan diversi. b. Penelitian lapangan (field reseacrh) yaitu pengumpulan data secara langsung ke lapangan dengan teknik pengumpuan data. Tujuannya untuk menjawab rumusan permasalahan didalam penelitian ini, teknik pengumpuan data penelitian ini dengan wawancara dengan pihak Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Medan yang terkait dengan proses diversi untuk mengetahui pelaksanaannya di lapangan serta wawancara dengan pihak Pusat Kajian Universitas Sumatera Utara Perlindungan Anak (PKPA) Medan sebagai pihak pendamping dalam proses diversi di Polresta Medan. 4. Analisis Data Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap bahan hukum yang terkumpul yaitu bahan hukum primer (undang-undang) dan sekunder (buku-buku dan tulisan), diperoleh untuk dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan secara deduktif dan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Proses analisis bahan hukum dimulai dengan menelaah seluruh bahan hukum yang tersedia dari berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstrak. 51 Dalam penelitian ini, data wawancara digunakan sebagai data pendukung penelitian tesis. Analisis data dihubungkan dengan kerangka teori yang digunakan dengan cara menghubungkan kerangka teori tersebut dengan permasalahan yang diteliti melalui analisis yang tajam dan mendalam. Bahan hukum yang dianalisis diungkapkan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus) dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan hukum sehingga permasalahan dapat dijawab. 51 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, 143. Universitas Sumatera Utara