BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korosi merupakan suatu proses degradasi suatu material yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang korosif, dapat berupa gas, larutan yang bersifat asam atau basa, air laut, udara lembab dan lingkungan yang mengandung mikroba. Sedangkan peristiwa korosi terjadi secara sangat kompleks, melibatkan beberapa faktor yang bekerja sama secara simultan, yaitu meliputi faktor mikrobiologis, faktor kimia dan elektrokimia, faktor metalurgis dan faktor mekanis (Fontana, 1986). Korosi merupakan masalah besar bagi peralatan yang menggunakan material dasar logam seperti mobil, jembatan, mesin kapal dan lain sebagainya (Riegher, 1992). Bahan logam ini mudah mengalami kerusakan dan kehilangan fungsi karena terjadi korosi, dimana terjadinya korosi pada peralatan ini tidak dapat dicegah tetapi lajunya dapat dikurangi (Callister, 1991). Faktor mikrobiologis merupakan salah satu faktor penting penyebab korosi. Berbagai laporan penelitian menunjukkan bahwa organisme kelompok mikrofungi, bakteri dan alga telah banyak menyebabkan pengotoran dan kerusakan pada berbagai peralatan logam sehingga tidak dapat dipergunakan secara maksimal dan telah mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan kerusakan pada peralatan berbagai industri. Diperkirakan hampir satu pertiga dari peristiwa korosi disebabkan oleh mikroorganisme (Bosich, 1970). Umumnya mikroorganisme terlibat pada proses korosi dalam dua cara, yaitu: (1) adanya pertumbuhan dan hasil metabolisme dalam bentuk asam, alkalis dan ionion lain yang menyebabkan lingkungan jadi korosif, (2) mikroba masuk langsung ke dalam salah satu reaksi elektrokimia pada permukaan substrat sehingga mempercepat terjadinya reaksi potensial pada elektroda. Mikroorganisme biasanya menyebabkan korosi dengan membentuk beberapa macam asam organik yang merupakan zat korosif untuk logam. Disamping itu juga oleh pertumbuhannya pada permukaan logam Universitas Sumatera Utara menghasilkan lendir yang dapat menumpuk jadi padat dan sangat membahayakan (Iverson, 1972). Mikroba mempengaruhi proses korosi yang dikenal dengan istilah MIC, Microbiological Influenced Corrosion. MIC pada carbon steel akan mempercepat laju korosi melalui wall pitting dan membentuk tubercle (tonjolan). Bila lapisan mikrobial film/biofilm, yaitu sebuah lapisan licin yang menyelubungi permukaan terbentuk pada permukaan logam, akan sangat sulit menghilangkannya karena resiliensi/kekenyalan dari masing-masing mikroba tersebut (United Nation, 1994). Mikroorganisme hadir pada kondisi aerob maupun anaerob. Kondisi anaerob selalu hadir pada suatu lingkungan mikro, di bawah dari kondisi aerob. Kondisi pH dan tersedianya nutrisi juga merupakan faktor yang menentukan apakah suatu jenis mikroorganisme dapat berkembang di dalam tanah dan menyebabkan korosi (Bryson, 1996). Ada bakteri yang tidak menyebabkan korosi tetapi menghasilkan O2 yang pada akhirnya juga dapat menjadi penyebab terjadinya korosi karena akan terbentuk sel konsentrasi oksigen (Supardi, 1997). Pencegahan korosi telah banyak dilakukan, antara lain dengan pelapisan (coating), proteksi katiodik mapun anodik dan dapat juga dicegah dengan cara penambahan inhibitor korosi (Widharto, 2004). Sejauh ini penggunaan inhibitor merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah korosi, hal ini dikarenakan biayanya yang relatif murah dan proses yang lebih sederhana (Hermawan, 2007). Umumnya inhibitor korosi yang digunakan berasal dari senyawa organik dan anorganik yang mengandung gugus-gugus yang memiliki pasangan elektron bebas seperti nitril, kromat, fosfat, urea, fenilalanin, imidazolin dan senyawa-senyawa amina (Umoren et al, 2011). Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis J.) (Ketaren, 2008). Kelapa sawit tersebut dapat menghasilkan dua jenis minyak yaitu yang berasal dari daging buah yang disebut minyak kelapa sawit dan yang berasal dari inti yang dinamakan minyak inti sawit. Dalam industri dari minyak kelapa sawit pada proses pengolahan minyak goreng dapat dihasilkan minyak yang kaya akan kandungan asam lemak tidak jenuh yakni oleat dan linoleat (Mongoensoekarjo, 2003), yang mana senyawa tersebut dapat digunakan sebagai sumber karbonil melalui ozonolisis (Riswiyanto, 2010). Universitas Sumatera Utara Basa Schiff merupakan senyawa organik produk kondensasi dari amina primer dengan senyawa karbonil. Basa Schiff dilaporkan pertama kali oleh seorang bernama Hugo Schiff pada tahun 1986. Basa Schiff tersebut memperlihatkan karakteristik berupa gugus imin (-RC=N-) dalam strukturnya (Cimerman et al, 1997). Sebuah seri baru Ciprofloxacin methylene turunan isatin digabungkan dengan aldehida aromatik yang berbeda-beda telah diuji sifat antibakteri dan antifungi secara in vitro terhadap mikroorganisme patogen dengan metode difusi dengan 4 bakteri gram positif yaitu Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Micrococcus luteus, Bacillus cereus; 3 bakteri gram negatif yaitu Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae; dan 2 fungi yaitu Aspergillus niger dan Aspergillus fumigatus. Secara umum, kelompok turunan tersubstitusi yang mendonorkan elektron menunjukkan sifat antimikroba yang jauh lebih bagus daripada senyawa yang menerima elektron. Ciprofloxacin methylene turunan isatin yang digabungkan dengan gugus p-hidroksi menunjukkan aktivitas yang lebih baik daripada Ciprofloxacin dan Ketoconazole. Akan tetapi kelompok turunan penerima elektron tersubstitusi nitro dan kloro menunjukkan aktivitas paling buruk terhadap uji mikroorganisme (Prakash et al, 2013). Basa Schiff turunan minyak kedelai sebagai sumber aldehida telah digunakan sebagai inhibitor korosi pada baja lunak dalam media asam HCl 2 N dimana minyak kedelai mengandung asam lemak tak jenuh yang kemudian diozonolisis untuk menghasilkan senyawa aldehida turunan minyak kedelai diikuti dengan reaksi kondensasi dengan benzilamina sebagai penyumbang gugus amina primer. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa korosi pada logam dapat dihambat sehingga mencegah pengeroposan logam (Gravier et al, 2012). Peneliti lainnya telah memanfaatkan asam lemak tidak jenuh dari minyak nabati sebagai sumber aldehida melalui reaksi ozonolisis yang selanjutnya dikondensasikan dengan amina primer, diantaranya Basa Schiff hasil kondensasi antara aldehida turunan minyak kelapa sawit dengan kitosan sebagai sumber amina primer dimana pengujiannya digunakan sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng dalam media HCl 0,5 N memberikan nilai efisiensi inhibisi korosi sebesar 76 % pada konsentrasi 20000 ppm (Parry, 2013). Demikian juga Basa Schiff hasil kondensasi anilina dengan aldehida turunan minyak kemiri dimana pengujian digunakan sebagai Universitas Sumatera Utara inhibitor korosi terhadap logam seng dalam media H2SO4 0,1 N memberikan nilai efisiensi inhibisi korosi sebesar 69,57 % pada konsentrasi 5000 ppm (Ginting, 2013). Sebuah seri Basa Schif turunan oksazepin juga telah disintesis melalui kondensasi dengan aldehida aromatik dalam pelarut etanol dan asam asetat sebagai katalis. Kemudian diuji sifat antibakterinya terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella typhii dan Klebsiella pneumoniae yang memberikan hasil bahwa Basa Schiff yang diperoleh menunjukkan aktivitas anti bakteri yang bagus terhadap Salmonella typhii dan Klebsiella pneumoniae dan sedang terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Telah diuji juga kemampuannya dalam menghambat korosi dari baja lunak dalam media H2SO4 1 N yang memberikan hasil nilai efisiensi korosi Basa Schiff mencapai 89,58 % (Hamak dan Eissa, 2013). Pengujian Basa Schiff biasanya dilakukan pada logam seng. Lempeng seng digunakan karena logam seng adalah suatu logam aktif dengan banyak aplikasi industri dan sebagian besar digunakan untuk perlindungan korosi terhadap baja (Shah et al, 2011). Komponen logam yang terdapat pada seng yaitu terdiri dari 45% Zn dan 55% logam Al. Lempeng seng bersifat melapisi material baja untuk memberikan ketahanan yang lebih baik terhadap korosi, namun ketika berada pada udara yang lembab, seng cepat berkarat dengan membentuk suatu produk korosi yang dikenal sebagai karat putih. Hal serupa juga terjadi pada pembersihan seng dengan menggunakan larutan asam menyebabkan seng lebih mudah berkarat. Oleh karena itu proteksi terhadap logam seng bersifat sangat penting (Eddy et al, 2010). Dari uraian yang dikemukaan di atas peneliti tertarik untuk mensintesis Basa Schiff dengan memanfaatkan minyak kelapa sawit (RBD Palm Olein) dimana minyak kelapa sawit (RBD Palm Olein) tersebut diesterkan terlebih dahulu membentuk metil ester asam lemak minyak kelapa sawit. Metil ester asam lemak minyak kelapa sawit kemudian diozonolisis dan diikuti reaksi kondensasi dengan membandingkan dua jenis senyawa sumber amina yaitu anilina dan fenilhidrazin diikuti uji aktivitas antibakteri dan uji efisiensi Basa Schiff yang diperoleh sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng dalam media HCl 0,1 N. Universitas Sumatera Utara 1.2 Permasalahan 1. Apakah Basa Schiff dapat disintesis melalui kondensasi senyawa aldehida hasil ozonolisis metil ester asam lemak minyak kelapa sawit dengan anilina maupun fenilhidrazin. 2. Apakah kedua jenis Basa Schiff yang dihasilkan dapat bersifat sebagai antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. 3. Bagaimanakah efisiensi kedua jenis Basa Schiff yang dihasilkan sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng dibandingkan dengan aldehida turunan metil ester asam lemak minyak kelapa sawit, anilina maupun fenilhidrazin. 1.3 Pembatasan Masalah 1. Sampel yang digunakan adalah minyak kelapa sawit (RBD Palm Olein). 2. Sumber amina primer yang digunakan adalah anilina dan fenilhidrazin. 3. Metode penentuan aktivitas antibakteri yang digunakan adalah metode difusi agar. 4. Bakteri yang digunakan adalah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. 5. Material yang digunakan adalah plat seng yang dibeli di pasaran dan dibentuk dengan ukuran 5 x 1,5cm. 6. Inhibitor korosi yang digunakan diaplikasikan pada larutan HCl 0,1 N. 7. Metode penentuan effisiensi inhibitor yang digunakan adalah metode kehilangan berat. 8. Konsentrasi inhibitor korosi yang digunakan dengan beda penambahan masing-masing yaitu 0 ppm (tanpa inhibitor), 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm. 9. Waktu perendaman yang digunakan adalah 24 jam, 48 jam, 72 jam, 96 jam, 120 jam pada temperatur ruangan. Universitas Sumatera Utara 1.4 Tujuan Penelitian 1. Untuk mensintesis Basa Schiff yang diperoleh melalui ozonolisis metil ester asam lemak minyak kelapa sawit yang diikuti kondensasi dengan anilina maupun fenilhidrazin. 2. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari kedua jenis Basa Schiff yang dihasilkan terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. 3. Untuk mengetahui efisiensi kedua jenis Basa Schiff yang dihasilkan sebagai inhibitor korosi pada logam seng dibandingkan dengan aldehida turunan metil ester asam lemak minyak kelapa sawit, anilina maupun fenilhidrazin. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara mensintesis Basa Schiff melalui ozonolisis metil ester asam lemak minyak kelapa sawit yang diikuti kondensasi dengan anilina maupun fenilhidrazin serta memberikan informasi tentang aktivitas antibakteri Basa Schiff dan efisiensi nya sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng. 1.6 Lokasi Penelitian Sintesis Basa Schiff, uji efisiensi inhibitor korosi dan penimbangan spesimen seng dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU dan Laboratorium Ilmu Dasar USU, uji aktivitas antibakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU, uji bilangan iodin dilakukan di salah satu Laboratorium perusahaan swasta di Medan, dan analisa Spektroskopi FT-IR dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM. 1.7 Metodologi Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimen laboratorium. Minyak kelapa sawit (RBD Palm Olein) mengalami proses transesterifikasi dengan metanol membentuk metil ester asam lemak minyak kelapa sawit yang kemudian dianalisa dengan FT-IR Universitas Sumatera Utara dan diuji bilangan iodinnya. Metil ester asam lemak minyak kelapa sawit selanjutnya diozonolisis dengan menggunakan ozonator selama 20 jam dimana hasilnya direduksi dengan serbuk Zn dan asam asetat encer sambil diaduk hingga merata. Campuran disaring untuk memisahkan serbuk Zn, kemudian ditambahkan akuades dan didestilasi vakum untuk memisahkan asam perasetat. Aldehida turunan dari metil ester asam lemak minyak kelapa sawit yang diperoleh diuji dengan pereaksi Fehling dan Tollens yang dilanjutkan dengan analisa FT-IR, uji bilangan iodin dan uji efisiensi inhibitor korosi. Kemudian aldehida tersebut dipisahkan menjadi dua bagian. Bagian pertama direaksikan dengan anilina dengan cara direfluks selama 4 jam dalam pelarut toluena. Hasilnya kemudian didestilasi vakum untuk menguapkan sisa anilina dan pelarut toluena sehingga diperoleh Basa Schiff I. Bagian kedua direaksikan dengan fenilhidrazin dengan cara direfluks selama 4 jam dalam pelarut toluena. Hasilnya kemudian didestilasi vakum untuk menguapkan sisa fenilhidrazin dan pelarut toluena sehingga diperoleh Basa Schiff II. Kedua jenis Basa Schiff tersebut kemudian dianalisa dengan FT-IR, diuji dengan KLT, diuji bilangan iodin, diuji aktivitas antibakterinya terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dan diuji efisiensi inhibitor korosinya terhadap logam seng dalam media HCl 0,1 N. Universitas Sumatera Utara