BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pada masa awal prasejarah, manusia mulai menyadari adanya kekuatan di luar
dirinya, yang mengatur kehidupan di alam raya ini. Kesadaran ini dilandasi oleh
pengalaman-pengalaman yang dialami pada masa itu, saat manusia mengalami ketidak
mampuan dalam mengendalikan alam. Segala ketidakpastian dalam hidup yang
dirasakan manusia pada masa itu kemudian menumbuhkan rasa takut dan kekhawatiran
dalam
diri.
Mereka menyadari
keterbatasan
dirinya
dan
mencoba melakukan
pendekatan-pendekatan terhadap ‘roh-roh’ yang mereka anggap berkuasa atas
ketidakpastian itu. Hal ini kemudian memunculkan adanya aliran-aliran kepercayaan
seperti animisme, dinamisme, dan sebagainya. Aliran kepercayaan yang tersebut di atas
dalam perkembangan selanjutnya diikuti dengan lahirnya agama-agama. Di dalam
agama ini, manusia mulai mempercayainya adanya apa yang disebut dengan ‘Tuhan’
yang mengatur kehidupan mereka itu. Konsep mengenai ketuhanan dalam masingmasing
agama
berbeda-beda,
demikian
pula
dengan
konsep-konsep
aktivitas
keberagamaannya. Agama layaknya sebuah institusi sosial, yang memiliki sejumlah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat ataupun nilai-nilai yang dianut oleh
anggotanya (en.wikipedia.org, 14 Maret 2013).
Salah satu agama yang ada adalah Islam. Islam merupakan agama monoteisme
yang saat ini menjadi agama dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Agama ini
berawal dari Timur Tengah pada abad ke-7 oleh Nabi Muhammad SAW, dan dalam
perkembangannya menyebar ke berbagai belahan bumi, termasuk dibawa ke Indonesia
oleh kaum pedagang dan ulama. Di dalam konsep keberagamaannya, Islam memiliki
sejumlah hukum agama, seperti misalnya apa yang disebut dengan akidah, syari’at,
ushul fiqh, serta muamalat. Selain itu Islam juga memiliki nilai-nilai etika yang ditanamkan
dalam diri setiap umatnya, contohnya akhlak (id.wikipedia.org, 14 Maret 2013).
2
Tiap-tiap individu memiliki tingkat komitmen dan ketaatannya masing-masing
terhadap aturan atau nilai yang berlaku dalam kelompok sosialnya. Termasuk pula dalam
hal agama seperti Islam. Masing-masing umat Islam memiliki tingkat ketaatan yang
berbeda-beda setiap orangnya dalam menyikapi aturan-aturan yang berlaku dalam Islam
dan mengamalkannya, atau biasa disebut dengan religiusitas. Religiusitas dapat diartikan
sebagai suatu tingkatan individu dalam meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran serta
norma-norma yang mengikat dari sistem religi yang dianut individu tersebut. Religiusitas
sendiri memiliki sejumlah peran di dalam kehidupan manusia (Lindzey & Elliot, 1975).
Salah satu peran dari religiusitas dalam kehidupan sosial adalah menumbuhkan
sikap empati. Dalam konteks kehidupan berislam, hal ini seringkali disebut dengan
akhlakul karimah. Misalnya adalah berpuasa, pada hakikatnya dapat mendorong
manusia untuk berlatih menahan amarah, bersikap jujur, serta menunjukkan kepedulian
sosial (jambi.tribunnews.com, 10 Maret 2013). Begitu pula dengan berkurban, zakat, dan
haji, yang jelas merupakan suatu bentuk aktivitas ibadah yang bersifat sosial. Dengan
demikian, pada dasarnya orang yang religius tidak hanya akan shaleh secara vertical
atau dalam hubungannya dengan Allah, melainkan juga secara horizontal dengan
sesama manusia.
Secara tidak langsung, religiusitas dan empati kemudian dapat mendorong
lahirnya toleransi beragama. Islam sendiri pada dasarnya merupakan agama yang
mengajarkan mengenai cinta, kasih sayang, dan perdamaian. Rasulullah SAW
mengajarkan bagaimana hidup dalam perbedaan secara harmonis, serta berlaku adil
terhadap siapapun tanpa memandang etnis atau bahkan agamanya. Islam juga secara
jelas melarang adanya pemaksaan dalam berdakwah, berikut cara-cara kekerasan di luar
kondisi perang (1artikelislam.blogspot.com, 14 Maret 2013). Sehingga, pada dasarnya
orang yang memiliki tingkat religiusitas dan empati yang tinggi, akan dapat menghargai
adanya perbedaan agama dan bersikap toleran.
Akan tetapi, pada kenyataannya tingkat religiusitas yang tinggi terkadang tidak
kemudian serta merta mendorong sikap toleransi yang positif terhadap agama lain.
3
Misalnya seperti kasus-kasus terorisme, yang mengatasnamakan jihad dengan sasaran
orang-orang ‘kafir’. Contohnya lainnya adalah kasus kekerasan atas nama agama yang
marak terjadi dewasa ini dalam masyarakat Indonesia. Misalnya adalah kasus
penyerangan terhadap para penganut aliran Syiah di Sampang, Madura pada Agustus
2012 lalu, yang menyebabkan puluhan orang kehilangan tempat tinggal dan terpaksa
mengungsi dari desanya. Pada mulanya, konflik ini dipicu oleh masalah asmara, namun
akhirnya merembet pada konflik Sunni-Syiah (www.antarajatim.com, 24 September
2012). Sebelumnya, kasus kekerasan terhadap kelompok beragama juga pernah terjadi,
dengan korbannya adalah jamaah Ahmadiyah di Cikeusik pada tahun 2011, serta jamaah
HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Bekasi pada tahun 2010 (www.republika.co.id,
24 September 2012; www.metrotvnews.com, 24 September 2012). Di samping itu,
terdapat pula konflik antar agama yang menyebabkan ratusan orang tewas dan
kehilangan tempat tinggal, seperti konflik Ambon dan Poso.
Kebanyakan pelaku utama dalam berbagai kasus tersebut dikenal sebagai orangorang yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi serta taat beribadah. Seperti misalnya
tersangka terorisme jaringan M Thoriq yang tertangkap awal September 2012 lalu,
dikenal oleh keluarganya sebagai pribadi yang rajin beribadah. Begitu pula dengan
tersangka bom Depok 2012, Anwar, juga dikenal sebagai orang yang santun dan taat
beribadah (www.solopos.com, 24 September 2012). Tak hanya tersangka teroris,
kelompok-kelompok yang dianggap garis keras seperti Jamaah Anshorut Tauhid (JAT)
serta Front Pembela Islam (FPI) selama ini juga diketahui dekat dengan acara-acara
pengajian. Hal ini mendorong timbunya stereotype bahwa semakin fanatik seseorang
terhadap agama Islam, akan membuat individu tersebut menjadi eksklusif, radikal, dan
bersikap keras terhadap agama atau kelompok lain.
Uniknya, kelompok-kelompok yang dianggap ekstrim dan radikal tadi juga sering
melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Seperti misalnya FPI (Front Pembela
Islam) yang banyak ikut menjadi relawan dalam berbagai bencana alam di Indonesia,
seperti di bencana Situ Gintung, gempa Padang, serta bencana meletusnya gunung
4
Merapi yang lalu. Dalam kesempatan tersebut, para anggota FPI ikut membantu
evakuasi
korban,
penyaluran
bantuan,
serta
mendonorkan
darah
mereka
(notifikasiku.blogspot.com, 25 Desember 2012). Kemudian pada Idul Fitri tahun 2012
yang lalu, FPI Jogja juga melakukan pembagian sembako kepada masyarakat yang
kurang mampu (krjogja.com, 25 Desember 2012). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar kelompok radikal tersebut masih memiliki rasa empati yang tinggi, terutama di sini
kepada masyarakat umum beragama Islam. Padahal, sentimen terhadap kelompok lain
yang juga mereka lakukan di sisi lain, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan
empati. Kasus ini sekaligus menunjukkan bahwa empati yang terdapat dalam diri mereka
memiliki keterbatasan dalam konteks kelompok agama.
Di satu sisi, terdapat pula sebagian umat Muslim lain yang menunjukkan hal
ekstrim yang sebaliknya, yaitu dengan memiliki sikap empati yang sangat tinggi terhadap
agama lain. Pada umumnya, ideologi semacam ini dapat disebut dengan pluralisme. Di
Indonesia sendiri, wacana mengenai pluralisme ini sebenarnya telah dikembangkan
sejak cukup lama, khususnya oleh tokoh-tokoh dari Jaringan Islam Liberal, seperti Abdul
Munir Mulkan, Ulil Absar Abdhalla, Nurcholis Madjid, dan banyak lagi yang lainnya. Pada
umumnya, mereka menganggap bahwa pluralisme sama dengan toleransi. Hal ini
dikarenakan pluralisme mendorong tren penghargaan, penerimaan, serta penghormatan
seseorang terhadap nilai-nilai di luar nilai kelompoknya. Para penggagas pluralisme
umumnya mengharapkan faham ini dapat meredam prasangka dan sentimen antar
golongan, suku, maupun agama. Pluralisme dipandang sebagai faham yang tidak hanya
menerima adanya kemajemukan, tetapi juga secara aktif mencari pemahaman melintasi
kemajemukan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan selama ini, kaum Islam pluralis dan
liberal ini banyak melakukan kegiatan yang membela kaum-kaum marjinal seperti
golongan agama minoritas, aliran-aliran yang dianggap sesat, hingga kaum waria dan
homoseksual (Ajahari, 2005).
Namun di sisi lain, tidak sedikit pula faham ini mendapat pertentangan. Pluralisme
dianggap tidak hanya sekedar toleransi, melainkan lebih dari itu. Hal ini disebutkan oleh
5
penggagas pluralisme sendiri, Diana L.Eck, yang mengatakan bahwa toleransi yang ada
saat ini lebih bersifat pengekangan dan bukan keinginan aktif untuk memahami kelompok
lain karena umumnya tidak dapat memberi kebebasan kepada kaum minoritas untuk
dapat setara dengan mayoritas. Dengan demikian maka diperlukan pluralisme yang
kemudian dapat menyetarakan dan menyamakan antar kelompok dan agama (Thoha,
2010). Kesetaraan dan kesamaan model seperti inilah yang bertentangan dengan Al
Qur’an, yang tidak mungkin mencampuradukkan antara satu agama dengan agama lain.
Pengertian pluralisme seperti ini yang kemudian mendorong MUI mengeluarkan fatwa
haram terhadap pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama, pada tahun 2005 yang
lalu. Dalam fatwa tersebut, MUI mendefinisikan pluralisme agama sebagai faham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan kebenaran setiap agama bersifat
relatif. Definisi ini sejalan dengan konsep pluralisme dari tokoh pluralis Prof.John Hick.
Hick menerangkan bahwa agama-agama yang ada saat ini bersifat perseptif atau bahwa
manusia sendirilah yang merumuskan siapa Tuhannya. Oleh karena itu, pada dasarnya
semua agama sebenarnya menuju kepada Tuhan yang sama, hanya saja jalannya yang
berbeda-beda, dan dengan demikian maka semua agama adalah benar (Hidayat, 2010).
Tingkat religiusitas dan empati yang tinggi pada dasarnya dapat mendorong
perilaku sosial yang positif. Akan tetapi, dalam konteks hubungan antar kelompok
khususnya agama, mekanisme tersebut seringkali tidak dapat berjalan sebagaimana
idealnya. Individu Muslim yang memiliki religiusitas yang tinggi ternyata belum tentu
memiliki sikap yang positif terhadap umat beragama lain, dan empatinya nampak
terbatasi oleh perbedaan kelompok tersebut. Di sisi lain, sikap yang positif terhadap umat
beragama lain ini terkadang justru tidak didukung oleh tingkat religiusitas yang tinggi, dan
sering juga disertai oleh kurangnya keberpihakan kepada kelompok sendiri. Berdasarkan
ironisme tersebut, maka peneliti menjadi tertarik untuk melihat lebih jauh bagaimana
sesungguhnya peran dari religiusitas dan juga empati kepada kelompok luar (nonMuslim) ini terhadap favoritisme kepada penganut agama lain tersebut.
6
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran religiusitas dan empati kepada
non-Muslim terhadap outgroup favoritism kepada non-muslim.
C. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan
yang bermanfaat bagi keilmuan psikologi, khususnya Psikologi Agama dan Psikologi
Sosial.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai relasi antar
kelompok, khususnya dalam hal ini kelompok agama, dalam ranah sosial
kemasyarakatan.
3. Secara garis besar, penelitian ini diharapkan dapat membantu analisa terhadap
interaksi antarkelompok agama yang ada di Indonesia, memberikan informasi
mengenai beberapa akar konflik yang ada, serta menemukan solusi untuk dapat
meresolusi konflik-konflik tersebut dan menjaga perdamaian dalam kehidupan sosial
keagamaan di masyarakat.
Download