fisik perilaku - USU-IR - Universitas Sumatera Utara

advertisement
PENGARUH LINGKUNGAN FISIK PADA PERILAKU: SUATU TINJAUAN
ARSITEKTURAL
Ir. DWI LINDARTO HADINUGROHO
Fakultas Teknik
Program Studi Arsitektur
Universitas Sumatera Utara
ABSRAKSI
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang makin kompleks maka
manusia dan perilakunya ( human behaviour) semakin diperhitungkan juga dalam
proses perancangan built environment yang sering disebut sebagai pengkajian
lingkungan perilaku dalam arsitektur.
Bahasan ini dilandasi oleh artikel Harold M. Proshansky, William H. Ittelson &
Leanne G. Rivlin mencakup berbagai hal yang dadahului oleh pemahaman tentang
Psikologi Lingkungan (perkembangan, pencarian dan pencapaiannya) yang dijadikan
sebagai tema pembahasan keseluruhan. Lingkungan dibahas dalam perspektif
hubungan dan pengaruhnya terhadap perilaku
dalam konteks setting fisik
arsitektural.
Mengacu pada pendapat Holahan (1982) disampaikan karakteristik pendekatan
psikologi lingkungan terhadap perilaku dan setting fisik yang berpengaruh terhadap
rancangan ruang arsitektural. Manusia mempunyai kemampuan beradaptasi
terhadap setting fisik dan lingkungan dengan cara yang spesifik. Psikologi
Lingkungan mempunyai teknik yang khusus dalam merisetnya dengan Kognitif
mapping yang dalam prakteknya menggunakan teknik observasi partisipatif. Dengan
teknik riset demikian dapat diturunkan pendekatan untuk perancangan setting fisik
arsitektural yang bertumpu pada Lingkungan & Human Behavioral ( yang menjadi
idea pokok bahasan ini).
Kata kunci : Psikologi Lingkungan –Human/Environmental Behavior – Setting fisik
I. Pendahuluan
Sejak jaman Vitruvius tujuan arsitektur telah dinyatakan dalam pengertian
kemantapan, kemanfaatan dan keindahan . Bahasa mutakhirnya adalah teknologi,
fungsi dan estetika.
Arsitektur merupakan disiplin yang sintetis dan senantiasa mencakup ketiga hal
diatas dalam setiap rancangannya. Dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan yang makin kompleks maka perilaku manusia ( human behaviour )
semakin diperhitungkan dalam proses perancangan yang sering disebut sebagai
pengkajian lingkungan perilaku dalam arsitektur.
Bahasan ini mencakup berbagai hal tentang Lingkungan , Proses Lingkungan,
Perilaku, Setting Fisik, Ilmu Psikologi Lingkungan (dalam pencarian dan
pencapaiannya). Landasan keilmiahan penelitiannya didasarkan pada fenomena,
psikologi dan sosial (dengan sedikit keraguan tentang keabsahan metode penelitian
kualitatif yang dilakukannya). Namun hal ini dapat ditanggulangi dengan
2002 digitized by USU digital library
1
perkembangan teknik penelitian ‘Naturalistic Inquiry’1 untuk ilmu non-eksak yang
tak kurang derajat ilmiahnya dibanding metoda penelitian eksakta/engineering.
Beberapa bagian menyoroti secara khusus tentang beberapa asumsi dasar
berkait dengan hubungan perilaku manusia dengan setting fisiknya secara timbal
balik dan perilaku yang dapat dicermati sebagai acuan perancangan setting fisik
baik secara konsep maupun fisik keruangan.
I.1. Ilmu Psikologi Lingkungan, (pencarian dan pencapaian)
Psikologi lingkungan adalah lahan baru dalam rangkaian pengetahuan yang
lahir karena kebutuhan sosial. Hal itu sekarang merupakan bagian dari struktur
teorikal yang setara dalam kaidah teorikal yang lain.
Kajian psikologi sosial bisa dinyatakan dengan menunjuk pada adanya kejadian
atau studi fenomena ( fenomenologi ) seperti yang dikembangkan oleh pemikir
Jerman.
Fenomenologi menekankan perlunya pemahaman yang simpatik didasarkan
atas penjelasan yang holistik. Pemahaman ini tidak menyerankan pemahaman suatu
fenomena secara parsial, dengan memecah belah kompleksitas fenomena menjadi
hubungan antara beberapa variabel yang sedehana melainkan secara serentak dan
menyeluruh. (Klasen,Winand; Architecture and Philosophy. University of San Carlos
Cebu City,Phillipines.1980)
Perhatian utama tentang Human Behaviour adalah pada hubungan antar
manusia terhadap lingkungan fisik yang dibuat oleh manusia sendiri. Dalam abad
terakhir ini manusia telah banyak merubah wajah bumi dan alam bebas dimana dia
berada. Namun dalam dinamika perubahan tersebut (yaitu kemenangan manusia
menaklukkan lingkungan fisik menggunakan teknologi modern) manusia lantas
melupakan
pe-rusak-an terhadap dirinya sendiri misalnya berupa populasi yang terlalu padat,
polusi air dan udara, urban deterioration, pengurasan sumber daya alam, dan
masalah lingkungan lain yang mendasar.
Dorongan yang timbul akibat keinginan untuk memecahkan masalah
(lingkungan) tersebut kemudian menumbuhkan apa yang disebut ilmu psikologi
lingkungan.
Sebagai dasar pemikiran adalah ilmu psikologi untuk menyatakan dan
mengkonsepkan lingkungan manusia. Apa yang didapat kemudian bahwa psikologi
modern hanya menawarkan sedikit petunjuk. Namun setidaknya hal tersebut
memberikan sumbangan yang cukup berarti yaitu adanya kemantapan hubungan
antara perilaku individu dan lingkungan alam bebas.
Posisi obyektifitas ilmu psikologi lingkungan adalah lebih empirikal dibanding
teorikal. Karenanya dapat dikatakan bahwa ilmu ini tetap berada pada periphery
masalah tentang bagaimana mendefinisikan lingkungan ( meskipun definisi itupun
tidak secara langsung dapat menjadi pegangan.)
Terdapat dua pendekatan yaitu satu yang menyatakan bahwa lingkungan
dalam kemurnian fisik ( kaidah obyektifnya), dan pendekatan lainnya – dalam
orientasi phenomenology – yang secara esensial menyatakan kesamaan dari
lingkungan fisik/signifikansinya. Masing-masing mengabaikan tujuan dasar untuk
mendefinisikan arti lingkungan dalam kerangka pendekatan tersebut. Tapi jika kedua
pendekatan tersebut dapat menyatakan definisi, maka kesulitan mendasar akan
muncul karena masing-masing pendekatan melihat suatu tingkatan parameter yang
signifikan yang dinyatakan oleh satu dan lainnya.
Pendekatan obyektif untuk lingkungan merupakan akar dari percobaan
psikofisik dan Watsonian Behaviourism, yang membagi lingkungan fisik menjadi
1
‘Naturalistic Inquiry’metoda penelitian kualitatif bagi penelitian ‘non-engineering’
lihat buku ‘Naturalistic Inquiry’ by Yvonna S.Lincoln and Egon G. Guba.Sage Publ.London 1985
2002 digitized by USU digital library
2
dorongan discrete quantifiable yang merupakan fungsi hubungan yang khas terhadap
pengalaman dan perilaku. Pendekatan ini secara esensial digunakan
untuk
memantapkan dimensi dan kebebasan psikologi manusia seperti melihat/mengamati,
berpikir, belajar, dan merasakan. Hal itu banyak mengajarkan kita tentang beberapa
hal yang mendasar tentang fungsi tersebut namun tidak berarti terlalu banyak untuk
dimengerti sebagai hasil integrasi manusia dalam bertingkah. Perilaku sendiri punya
maksud tertentu dalam suatu setting sosial yang kompleks.
Pertanyaan untuk mempolakan dimensi dasar dalam lingkungan fisik, seperti
cahaya dan suara, sebagai sumber dan perilaku belum terlalu serius diperhitungkan.
Dan yang lebih penting adalah signifikansi makna, pengertian, dan proses kognitif
sebagai level lain yang berpengaruh terhadap perilaku (sebagai yang sangat penting
dalam pendekatan phenomenological) sampai kini belum terdefinisikan. Pendekatan
phenomenological untuk lingkungan adalah merupakan pendekatan yang tidak
hanya melihat hal itu berlangsung begitu saja namun lebih kepada ‘bagaimana
mengalaminya’ seperti yang pertama kali dikatakan oleh Kofka dalam “Lingkungan
perilaku” (1935) dan terakhir dikembangkan oleh Lewin’s dalam teori tentang ruang
hidup (1936).
Perilaku tumbuh tidak dari obyektif karena dorongan dunia “sana” namun dari
kegiatan dunia yang bertransformasi dalam “inner world” atau lingkungan fisik oleh
kepaduan pengetahuan organisme. Secara psikologikal dan sosial hal ini berkait erat
dan merupakan sesuatu yang penting dalam pembentukan dan pengalaman suasana
‘space’ yang terjadi dalam arsitektur ( Crowe ,Norman ; Nature and The Idea of ManMade World .The MIT Press. Cambridge.England 1995 ) Beberapa asumsi
menjelaskan beberapa pendekatan yang membahas kedudukan pengetahuan
pisikologi lingkungan dalam hubungannya dengan ruang. Teori lainnya banyak
mendukung formula ini adalah Murray 1938, Murphy 1947, Barker 1963, Kretch
&Crutch 1948 dan lainnya.
Suatu pengertian lingkungan psikologis harus berkembang dengan sendirinya
paling tidak studi tentang fenomena lingkungan yang terus berlangsung, berproses
dengan cara pengamatan, pemikiran dan kreasi manusia . Dan lebih teliti lagi berupa
simulasi yang dijalankan dalam suatu lingkungan fisik yang mampu meliput
keseluruhan proses tersebut. Sebenarnya, tujuan penting dalam kegiatan untuk
mengkonsepkan lingkungan manusia haruslah memasukkan hubungan antara dunia
fisik personal dan dunia yang dibentuknya yaitu yang bermula dari dirinya serta
hubungan antara perilaku dan pengalaman. Berbicara untuk mengolah perilaku
manusia dengan merubah lingkungan fisik tidak hanya berasal dari asumsi bahwa
ada hubungan antar dua keberadaan namun lebih kepada bermulanya suatu
hubungan antara kesetabilan dan keteraturan tanggapan manusia terhadap
lingkungan fisiknya.
Fokus utama psikologi lingkungan adalah ‘hubungan manusia dengan
lingkungannya’ namun ini terkadang malah bisa menjadi dikotomi (punya arti
mendua) antara personal di satu sisi dan lingkungan disisi lainnya. Secara
kebedaan/dikotomi ini bisa diabaikan karena hal itu hanya merupakan sebagian dari
keseluruhan hubungan lingkungan dengan manusia sebagai suatu komponen. Ini
berarti juga manusia tidak bisa eksis/ada kecuali punya hubungan dengan komponen
lainnya yang membentuk situasi lingkungan.
I.2. Karakteristik Pendekatan Psikologi Lingkungan
Pendekatan psikologi lingkungan sebagaimana yang disampaikan oleh Holahan
(1982) mempunyai karakteristik antara lain :
1. Adaptational Focus, Fokus penekanan pendekatan ini pada proses adaptasi
manusia terhadap kebutuhan yang demikian kompleks terhadap suatu
lingkungan fisik.
Tiga aspek penting dalam adaptational Focus ini adalah :
2002 digitized by USU digital library
3
a. Bahwa adaptational focus adalah proses psikologi yang yanag menjadi
perantara dari pengaruh lingkungan / setting fisik terhadap kegiatan manusia
b. Bahwa adaptational focus merupakan pandangan yang holistik terhadap
lingkungan fisik dalam hubungannya dengan perilaku, lingkungan,
pengalaman dan kegiatan manusia. Lingkungan fisik sebagai suatu setting
bagi perilaku manusia , bukan hanya sebagai stimula tunggal.
c. Bahwa adaptational focus melibatkan peranan aktif manusia dengan
lingkungannya. Manusia aktif mencari cara positif dan adaptif untuk
mengatasi tantangan lingkungannya (adaptational model)
2. Pendekatan Psikologi Lingkungan ini adalah lebih berupa problem soving dalam
pembentukan paradigma baru yang berkaitan dengan interdisiplin keilmuan.
Diagram Pendekatan Psikologi Lingkungan (Holahan 1982)
Environment
Conditions
Adaptive
Psychological
Process
-
Behavioral
Consequences
Perception
Cognition
Attitudes etc.
Dalam hal ini ilmuwan psikologi lingkungan harus terus melanjutkan usahanya
untuk melakukan uji coba selanjutnya dan lebih mensistematiskan asumsi “terjadi
dengan sendirinya” terutama dengan perhatian terhadap wilayah permasalahan yang
relatif tidak terjangkau oleh riset yang sistematis. Salah satu yang bisa diusulkan
adalah teknik observasi partisipatif
Observasi Partisipatif
Observasi partisipatif merupakan teknik yang sering digunakan dalam berbagai
kajian ilmu termasuk psikologi lingkungan. Perkembangan bidang kajian arsitektur
lingkungan dan perilaku juga banyak dilakukan dengan menggunakan teknik ini
dengan beberapa modifikasi. Prinsip dasar yang digunakan adalah meniadakan
‘dinding batas’ serta menghilangkan jarak anata obyek yang diamati dengan subyek
(pengamat). Artinya pengamat bisa berbaur dengan lebih intens terhadap obyek
yang diamatinya.
Observasi partisipatif didefinikan sebagai suatu proses dimana observer berada
dalam situasi langsung dengan yang diamatinya dan dengan peran serta dalam
kegiatan sehari-hari observer mengumpulkan data. Teknik ini sudah lama dilakukan
oleh pengamat antropologi dalam kegiatan ilmiahnya. Dengan demikian keilmiah-an
pengamatan psikologi sosial ini dapat mengeliminir pendapat “ terjadi dengan
sendirinya”
II. Pengaruh Lingkungan Fisik pada Perilaku
Bagaimana lingkungan fisik berpengaruh terhadap lingkungan secara timbal
balik dijelaskan oleh Gibson (1966) dalam diagram berikut
2002 digitized by USU digital library
4
Affordances of Environment
Perception
Cognitive &Affect
Emotional Response
Spatial behaviour
Perception of the Result
Of Behaviour
Schemata
Motivation / Needs
(social,status,norm,etc)
Perilaku manusia dalam hubungannya terhadap suatu setting fisik berlangsung
dan konsisten sesuai waktu dan situasi. Karenanya pola perilaku yang khas untuk
setting fisik tersebut dapat diidentifikasikan. Tentu saja apa yang dibahas tidak
lantas menjadi demikian sederhana bahwa manusia semuanya berperilaku ajeg
dalam suatu tempat dan waktu tertentu. Tapi umumnya frekuensi kegiatan yang
terjadi pada suatu setting baik tunggal ataupun berkelompok dengan setting lain
menunjukkan suatu yang konstan/tetap sepanjang waktu. Ini menunjukkan bahwa
tidak hanya karakter dan pola tetap perilaku yang dapat dideteksi dalam
hubungannya dengan suatu setting tapi juga kemungkinan yang muncul seperti pola
tanggapan perilaku yang kadang dapat berubah menjadi sebaliknya.
Apa yang ditunjukkan oleh peta perilaku tidak hanya tentang bagaimana
kegiatan makan, tidur, berinteraksi, ngobrol dan lainnya dalam situasi, tempat dan
waktu yang beragam tapi juga menunjukkan bahwa pola penggunaan ruang tidak
diperdulikan oleh pasien yang terlibat dengan kata lain bahwa bila kondisi lainnya
sama, maka pola penggunaan (fungsi) setting fisik tertentu tidak diperdulikan oleh
pemakai yang terlibat. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa data yang
menjadi acuan untuk pembentukan pendapat ini dinyatakan hanya sebagai
“kebenaran yang terjadi dengan sendirinya” dan itu bukan berupa asumsi kestabilan
perilaku manusia pada umumnya tapi itu untuk menunjukkan kesamaan dalam
hubungan dengan sebagian lingkungan fisik sebagai aspek nyata eksistensi manusia.
Aspek lain
yang sebanding/setara adalah pendapat bahwa kesamaan dan
keteraturan pikiran dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan ruang fisik
yang terjadi dengan sendirinya adalah merupakan implikasi bahwa sifat alamiah dari
kesamaan juga terjadi dengan sendirinya.
Dari data yang didapat pada riset perilaku tidak dimaksudkan bahwa asumsi
itu hanya sebagian benar, tapi yang lebih penting adalah keyakinan bahwa hal
tersebut menyederhanakan pengertian hubungan antara perilaku manusia dan
setting fisiknya. Kita dapat menyaksikan bahwa kamar tidur itu secara tetap
digunakan untuk bersosial dan makan selain hanya untuk tidur. Ruang makan tidak
hanya untuk makan tapi juga untuk membentuk pola berinteraksi sosial.
2002 digitized by USU digital library
5
Rossenberg dan Holuland ( cited from Fishbein&Ajzen, 1975) menerangkan
hubungan antara stimuli dan terjadinya sikap sebagaimana diterangkan di atas
dalam diagram berikut
Stimuli
Sikap
Affeksi
Respons syaraf simpatik
Pernyataan lisan tentang affeksi
Kognisi
Respons perseptual
Pernyataan lisan tentang kognisi
Perilaku
Tindakan yang nyata
Pernyataan lisan tentang perilaku
II.1. Proses Psikologi Manusia dalam Beradaptasi
Dari riset menunjukkan bagaimana dan untuk apa tujuan individu tersebut
menggunakan ruang. Dan ini tidak merefleksikan secara langsung mengenai apa
fungsi ruang itu. Hal itu lebih menunjukkan bahwa fungsi ruang / tergantung dari
desain fisik dan label penamaannya saja. Ruang adalah sistem lingkungan binaan
yang paling kecil. Dalam banyak kasus fungsi ruang ditentukan oleh fungsi dari
sistem yang lebih besar. Fungsi ini menjadi jelas karena sebagian besar fungsi ini
sesuai dengan kegiatan yang teratur berlanjut di ruangan tersebut ( misalnya ruang
seminar, kelas dsb). Pada kasus lain fungsi ruang menjadi tidak jelas karena
beragamnya variasi perilaku yang berlangsung di dalamnya (misal ruang keluarga
dalam suatu rumah). Berarti ada dua jenis ruang yang berpengaruh terhadap
perilaku . Pertama, ruang yang dirancanag untuk suatu perilaku khusus kedua ruang
yang diperuntukkan bagi kegiatan yang lebih fleksible.2
Kesamaan dan keteraturan bukan hanya salah satu karakteristik dari prilaku
manusia dalam hubungannya dengan setting fisik.. Jika seseorang meluangkan
waktu dari suatu ruangan kemudian berpindah ke ruangan lain dalam suatu waktu
tertentu itu adalah karena adanya perbedaan kegiatan dan keteraturan kegiatan
manusia. Peta perilaku kegiatan harian yang diamati belum juga dapat menjelaskan
perbedaan apa yang terjadi pada masing-masing dan antar ruang. Ruang santai
digunakan juga untuk makan , main game, ngobrol, membaca, interaksi sosial dan
lain kegiatan. Dan untuk setiap perilaku selalu terjadi keajegan.
Jika area tersebut diamati dalam waktu yang pendek , katakanlah lima atau
sepuluh menit maka perilaku kelihatannya tidak banyak berubah. Ketika durasi
suatu kegiatan dimasukkan dalam peta perilaku , dapat dikatakan bahwa secara
umum kegiatan berlangsung tidak terlalu lama. Bahkan ketika kegiatannya
terprogram, bagaimanapun perubahan akan terjadi juga. Misalnya ada dua orang
yang terlibat percakapan mungkin lalu didatangi oleh orang ketiga , atau mungkin
mencari sisi lain dari ruangan itu atau sejenak diam setelah melakukan percakapan
itu. Kegiatan membaca di ruang santai mungkin berpindah ke ruang tidur untuk
menghindari kebisingan.
Kaleidoskop perilaku manusia tentu saja tidak terbatas pada setting tertentu.
Itu dapat ditemukan pada setiap setting fisik yang ada interaksi sosialnya. Perilaku
manusia dalam hubungannya dengan setting fisik berbeda antar kejadian dan
beragam. Perbedaan dan kelangsungan perilakunya tidak terbatas . Meskipun pelaku
kegiatan bebas memilih setting fisik namun mereka tetap merasakan adanya
2
Tentang ‘ruang’ dalam konteks perilaku lebih jauh diungkapkan oleh Haryadi dalam Pengantar Arsitektur
Lingkungan dan Perilaku ‘ Teori, Metodologi dan Aplikasi . 1996
2002 digitized by USU digital library
6
batasan / limit. Desain ruangan punya batasan pilihan untuk perilaku yang terjadi di
dalamnya. Sebagai contoh bila ada ketentuan untuk tidak boleh tidur di sembarang
tempat dan harus di tempat tidur. Lantas seseorang malah memutuskan untuk tidur
dilantai saja, berarti ia melawan peraturan / batasan yang mengharuskannya untuk
tidur di tempat tidur. Bagaimanapun batasan ini ada meski punya potensi untuk
dilanggar.
II.2. Kemampuan beradapatasi dan Fleksibilitas
An adaptable layout
is one that affords different times standing patterns of
behaviour at different times without requiring physical changes.
Flexible layout are those in which the structure is easy to change to accommodate
different needs. This is more than is generally implied by semifixed feature space…
( Jon Lang (1997) ; Creating Architectural Theory , The role of the behavioral
sciences in environmental design )
Dari ungkapan tentang adaptasi dan fleksibilitas diatas dapat digunakan untuk
lebih memperjelas kemungkinan perancangan setting dengan perhatian pada sifat
adaptif manusia atau ruang yang diolah untuk mencapai tatanan yang sesuai dengan
perilaku manusia ( supaya lebih gampang diadaptasi )
Mungkin karena terlalu bernilainya asumsi itu maka sedikit terlupa untuk
memberi peringatan terhadap riset lingkungan yang gagal dalam mengenali
kerumitan studi fenomena. Kebanyakan asumsi itu menunjukkan kebutuhan riset
dengan maksud untuk mengesampingkan paradigma ‘sebab – akibat’ yang relatif
sederhana yang menjadi tipe riset ilmiah lingkungan .
Holahan (1982) menyatakan bahwa terjadinya proses psikologi manusia yang
berhubungan dalan rangka mengatasi atau beradaptasi dengan lingkungan fisik
dipengaruhi tiga hal yaitu :
1. Environmental Perception, yaitu proses memahami linkungan fisik melalui input
indrawi dari stimuli yang baru saja hadir atau terjadi
2. Envorinmental Cognition, yaitu proses menyimpan , mengorganisasikan
,mengkonstruksi dan memanggil kembali imaji, ciri-ciri, atau kondisi lingkungan
yang sudah ada / terjadi beberapa saat yang lalu.
3. Environmental Attitudes, yaitu rasa suka atau tidak suka terhadap sifat atau ciri ,
kondisi lingkungan fisiknya.
II.3. Hubungan Perilaku dengan Setting Fisik
Setting fisik yang dinyatakan dan dibentuk dengan pembatas bukan merupakan
sistem tertutup ; batas itu tidak tetap terhadap ruang dan waktu.
Hal ini sangat jelas diungkapkan oleh Norman Crowe dalam kajian ‘Natural Source
for the Geometry of Architecture’ bahwa batas ( yang menggunakan geometri )
adalah berasal dari proses penataan/olahan material dan hasilnya dipengaruhi oleh
Human Perseption. Human perseption inilah yang merupakan sesuatu yang tidak
bisa di batasi.
( Norman Crowe (1995) ;Nature and The Idea of Man-Made World .The MIT Press.
Cambridge.England )
Dalam suatu setting fisik, perilaku individu mempunyai karakter perubahan
yang menerus / ajeg disamping berlaku umum dan stabil/tetap. Setting fisik adalah
subyek yang bersistem terbuka untuk ruang diluar dan dibatasi waktu. Peralatan
yang berada dalam suatu ruang semuanya berfungsi tidak hanya dilihat dalam fungsi
dekorasinya
tapi
mempertimbangkan
juga
sejumlah
orang
yang
akan
menggunakannya. Suatu ruang dengan enam penghuni didalamnya secara fisik tidak
dapat disamakan dengan ruang yang sama namun berisi dua orang didalamnya.
Bahkan saat penghuninya tetap, struktur yang kelihatan akan berbeda dalam
menanggapi perilakunya.
2002 digitized by USU digital library
7
Jika setting fisik adalah suatu sistem terbuka yang ditandai dengan sesuatu
yang simultan dalam perubahan dan tetap maka organisasinya menjadi dinamis dan
saling ketergantungan antar ruang lain dalam suatu setting tertentu. Dengan
menutup suatu ruang maka panas dalam ruang tersebut meningkat yang berakibat
ruang lain mungkin menjadi sejuk, namun ini akan meningkatkan kepadatan
pemakai yang berada disitu sampai menurunkan temperature pada tingkat yang
tidak nyaman. Perabot yang usang dan ruang yang panas jarang digunakan oleh
siapapun dan hanya ruang tertentu yang menjadi tujuan spesifik yang kerap penuh
sesak meskipun kurang nyaman.
Perilaku dihubungkan dengan setting fisik adalah organisasi yang dinamis;
suatu perubahan dalam setiap komponen setting mempunyai tingkat efek yang
beraneka menyangkut komponen keseluruhan dalam setting tersebut. Karenanya
merubah karakter pola perilaku harus secara menyeluruh.
Dengan berbagai batasan diadakan beberapa percobaan untuk mempelajari
efek peningkatan kenikmatan fisik ruang dan kegiatan di dalamnya. Dengan
hipotesis bahwa beberapa perubahan / perbaikan perabot akan meningkatkan
kegiatan di ruangan tersebut dan akan menurunkan kegiatan di ruangan lainnya.
Perubahan ruang yang dibuat membuat pemakai tetap tinggal dalam waktu lama
berada di ruangan tersebut dan kurang dalam pemakaian ruangan lain. Ini
menyatakan bahwa meski jelas berhubungan dengan asumsi tentang ke-stabil-an
dan kebiasan perilaku dalam setting fisik, ada juga asumsi yang boleh disebut
sebagai “ perilaku tetap ”. Ketika perubahan dalam setting fisik tidak
menjamin/kondusif terhadap pola perilaku yang menjadi karakteristik terhadap suatu
setting, maka akan muncul perilaku tanggapan yang bisa berupa menerima, menolak
atau bahkan menghindar terhadap setting fisik tersebut.
( Materi kuliah ‘Pengantar Arsitektur dan Perilaku’ oleh Ir.Sri Amiranti.MS. 2000)
Dalam pengamatan terhadap perilaku ternyata dapat dibuat suatu pengaruh
untuk mengembangkan kegiatan suatu ruang dengan merobah tatanan perabot.
Perubahan lainnya tentu saja dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya
dengan menambah jumlah kapasitas dan dengan penjadwalan pemakaian ruang
yang berbeda waktu bagi tiap kelompok dengan gerakan kegiatan yang terpola,
perabotan, atau penggantian tata letak ruang.
Perubahan dalam karakter pola perilaku setting fisik dapat disebabkan oleh
perubahan fisik, sosial dan struktur administrative yang terdapat pada setting
tersebut.
Asumsi ini merupakan hal yang sangat penting khususnya untuk merencanakan
perubahan lingkungan yang condong kepada suatu pemaksaan.
Keruwetan yang terjadi dalam suatu ruang dapat dikurangi dengan membangun
ruang lainnya atau dengan mengurangi jumlah pemakai. Sejumlah batasan harus
diberikan untuk menentukan metode apa yang layak pakai dan sesuai dengan
masalahnya. Dalam kenyataannya adalah pemborosan jika mengatasi masalah di
atas dengan perubahan fisik jika berbagai metoda lainnya dapat dijalankan.
Arsitek biasanya sangat memperhatikan detail keaslian dan tidak begitu peduli
dengan biaya membangun gedung. Tapi begitupun akan lebih fleksibel bila dapat
ditangani dengan efektif dengan pengelolaan administrasi dan keuangan yang baik.
Perubahan setting fisik sebaiknya mempertimbangkan pada kaidah teritory dan
privacy seperti yang dinyatakan oleh Altman. Bahwa ‘kepadatan adalah ukuran
matematik dari jumlah orang per unit ruang. Sedangkan kesesakan adalah
merupakan pengertian psikologis atau perilaku lingkungan. Ini jelas berbeda dalam
penanganannya. Kesesakan mungkin akibat kepadatan yang terlalu tinggi dan
akhirnya kebutuhan privacy yang terganggu dan menimbulkan pengaruh perilaku
yang bisa beraneka ragam. Kesesakan adalah merupakan akibat dari kegagalan
2002 digitized by USU digital library
8
mencapai tingkat privacy yang diinginkan. Hal ini dapat dijelaskan dengan diagram
berikut
Isolasi sosial
Privacy tercapai
lebih dari privacy
diharapkan
Privacy yang
diharapkan
(ideal)
Mekanisme kontrol
antar pribadi
Ruang pribadi
Teritori
Perilaku verbal
Perilaku non verbal
Privacy yang
dicapai
(hasil)
Optimum
(privacy yang
dicapai = yang
diharapkan)
Kesesakan
(privacy yang
dicapai kurang dari
privacy yang
diharapkan)
( Altman.I.;The Environment and Social Behaviour, 1975)
Setting fisik bukan merupakan ruang yang sederhana sebagai ruangan fisik
semata. Setting itu sedemikian terencananya dan sudah dicanangkan untuk dapat
melayani obyek yang berada di dalamnya. Perilaku individu yang menggunakannya
dalam kontek sosial menunjukkan guna/fungsi dari ruangan itu sekaligus
menunjukkan bagaimana cara menggunakannya dan apa yang tak mungkin dapat
dilakukan disitu. Untuk tujuan analisa, perlu dirumuskan efek apa yang merubah
perilaku manusia dalam setting fisik tertentu. Tentu saja tidak hanya fisikal semata
karena perlu memperhitungkan kondisis sosial, administrative dan fisikologikal.
Sejumlah perilaku yang berlangsung bukan hanya dalam hubungan dengan perabot
yang baru saja namun juga dengan ‘makna’ sehubungan dengan perilakunya
tersebut. Misalnya penataan perabot baru mengartikan bahwa yang punya ruang
menginginkan tersebut terpakai atau para tamu tergugah datang di situ karena
perabot dan tatanannya yang baru. Dalam beberapa kenyataan asumsi harus
dinyatakan dengan terbuka, dengan sistem yang dinamis, tidak terbatasi oleh ruang
dan waktu yang secara menerus berlanjut dan berubah.
II.4. Hubungan Perilaku dengan Lingkungan
Posisi Perilaku dengan lingkungan digambarkan sebagai berikut :
2002 digitized by USU digital library
9
Kondisi
Lingkungan
Fisik
Persepsi terhadap
Lingkungan
Fisik
Pengenalan ide
dan sikap terhadap
Lingkungan
Harapan/keinginan
tindakan terhadap
Lingkungan
Mempengaruhi
Proses berikutnya
(pengulangan proses)
Lingkungan keseluruhan adalah proses total dimana semua komponen terlibat
dan ditandai dengan kelangsungan dan perubahan hubungan antar komponen
tersebut. Lingkungan adalah sesuatu yang aktif dan proses yang berlanjut atas dasar
partisipasi komponennya dan dinyatakan oleh hubungan diantaranya yang
bebas/alami. Apapun model analisanya semua komponen dinyatakan oleh keikutsertaan-nya dalam proses lingkungan. Komponen perilaku dapat dikenali karena
keterkaitannya dengan komponen lainnya (dan dinyatakan dengan hubungan antar
komponen tersebut). Tak ada satupun komponen yang berdiri sendiri dalam suatu
komposisi lingkungan dengan lainnya.
Diagram : Cakupan kelompok dan informasi perilaku lingkungan
(Gary T.Moore ; Pengkajian Lingkungan dan Perilaku dalam ‘Introduction To
Architecture’.Mc Graw Hill Inc. 1997)
Kelompok
Setting
Dunia
Bangsa
Daerah
Kota
Bangunan
Kamar
Perabot
Perlengkapan&Obyek
Anak-anak
Dewasa
Manula,Cacat
Kelompok Pemakai
Antropometrik
Proksemik
Teritory,Privacy,Persepsi
Pengenalan,makna
Konsep Perilaku
Fenomena
Kita dapat menggambarkan karakteristik yang menunjukkan berbagai
kelangsungan dalam suatu situasi yang bervariasi dan menamakannya sebagai suatu
kesatuan. Jika kita kembali pada pendapat sebelumnya secara sepintas dinyatakan
bahwa lingkungan sebagai sesuatu yang aktif dalam melanjutkan kelangsungan
proses hubungan dan kaitan antar komponennya. Apapun komponen yang
dinyatakan merupakan hubungan sebab dan akibat. Komponen itu tidak hanya
beraksi terhadap komponen lainnya dan kemudian merubahnya tapi juga merubah
lingkungan dan tentu saja akan merubah dirinya juga. Proses lingkungan bukan
2002 digitized by USU digital library
10
merupakan sebab langsung yang linear namun merupakan sirkulasi ulang-alik yang
saling berbalas.
Setiap komponen lingkungan berkait atau punya hubungan antar komponen
dengan dua cara yaitu : (a) Itu berlaku pada semua aspek dan (b) ia diaktifkan oleh
semua dan sebagian aspek lainnya menerima konsekuensi perbuatannya sendiri
untuk merubah situasi lingkungan. Sebagai contoh adalah suatu keputusan
administrative untuk menambah jumlah pasien dalam ruang rumah sakit supaya
mencapai kapasitas optimum akan berpengaruh pada setting sosial dan setting fisik.
Tentu saja karena perubahan ini akan menambah keruwetan di ruang tidur dan
ruangan lainnya. Hubungan antar pasien, pasien dengan staf akan meruncing kearah
konflik terbuka. Keputusan untuk menambah jumlah pasien akan memaksa staf
administrasi untuk membuat peraturan baru guna mengatasi akibat buruk dari
peraturan terdahulu. Ini seperti yang digambarkan tentang lingkungan sebagai suatu
proses dinamis hubungan antar komponen yang unik dalam suatu waktu tertentu.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian pengamat dalam merasakan adanya
‘keberagaman’ dan keunikan lingkungan dari waktu ke waktu. Keunikan ini lebih
banyak terjadi dalam penggunaan ruang. Jadi dalam dua ruang yang sama struktur
dan perabotnya maka lingkungannya akan bisa berbeda suasananya.
Lingkungan adalah unik dalam menurut tempat dan waktu kejadiannya.
Lingkungan merupakan proses total antar komponennya. Walaupun manusia dan
lingkungannya terpisah keduanya dapat menuju tujuan yang sama. Lingkungan
dapat didekati dalam dua sudut pandang yang berlainan. Dari satu sisi individu
sebagai salah satu komponen proses lingkungan total diselidiki dalam kaitan untuk
pembuktian dengan pengertian yang dalam dalam proses.
Ilmuwan sebagai pengamat berdiri di luar lingkungan dan menjaring data para
personal yang ikut (proses tersebut).dengan pikiran yang obyektif. Dari sisi kedua
bahwa proses lingkungan dapat dipelajari dari sudut pandang “orang pertama” yaitu
dari tempat dimana individu itu ikut dalam proses tersebut.
Riset dilakukan untuk pemahaman alam bebas tidak hanya sebagai proses
lingkungan tapi juga individu yang terikut di dalamnya (sebagai suatu entity) juga
ikut teruji. Dua metodologi yang dapat digunakan mengacu pada pendekatan
obyektifitas dan phenomenological. Kedua pendekatan tersebut diperlukan untuk
pemahaman yang penuh tentang situsi lingkungan. Dalam titik ini orientasi peserta
lebih menjadi perhatian dibanding orientasi pengamat. Meskipun peserta sangat
tidak peduli terhadap sekelilingnya dalam proses lingkungan tetapi lingkungan
sekeliling tetap berpengaruh terhadap perilaku peserta.
Beberapa asumsi di atas menyuguhkan sumber-sumber yang penting dalam
hubungannya dengan lingkungan. Asumsi yang menempatkan bahwa setting fisik
bukan merupakan sistem tertutup menekankan pada pentingnya pengalaman masa
lalu dan keluasan sosial sistem dalam beberapa hubungan yang mungkin. Meskipun
disini hanya ada satu situasi lingkungan, lingkungan sekelilingnya juga merupakan
komponen yang dapat diuji coba (jika dilihat dari titik pandang proses). Tidak ada
dua komponen dalam proses lingkungan yang berada pada tempat yang sama. Dan
karenanya sekitarnya atau lingkungan sering terlihat unik Jika dimungkinkan dua
peserta berada pada satu tempat dan waktu yang sama, itupun masih unik juga.
Setiap peserta menampilkan sesuatu yang diekspresikan tidak hanya berupa
keunikan hubungannya dengan peserta yang lain dalam suatu setting lingkungan
namun juga menampilkan pola hubungan yang pernah dialaminya di setting dan
waktu yang lain. Studi tentang proses lingkungan dari titik pandang sebagian peserta
dalam proses itu kadang membentuk suasana dikotomi antara ‘peserta’ disatu sisi
dengan ‘komponen lingkungan’ yang lain disatu sisi.
2002 digitized by USU digital library
11
II.5. Behaviour ( Cognitive ) Mapping
Metoda lain yang sering digunakan dalam kegiatan ilmiah psikologi lingkungan
adalah Behavioral mapping (dikembangkan oleh Ittelson, 1970). Teknik ini
mempunyai kekuatan utama dalam aspek spasialnya. Dengan teknik ini akan
didapatkan sekaligus suatu bentuk informasi mengenai fenomena ( terutama
perilaku individu dan sekelompok manusia) yang terkait dengan sistem spatialnya.
Behavioral mapping digambarkan dalam skema dan diagram mengenai suatu
area dimana manusia melakukan berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk
menggambarkan perilaku serta menunjukkan kaitan antara perilaku tersebut dengan
wujud perancangan yang spesifik. Jenis perlaku yang biasa dipetakan adalah : pola
perjalanan, migrasi, perilaku konsumtif, kegiatan rumah tangga, penggunaan
berbagai fasilitas publik. Kajian ini terutama digunakan untuk penyempurnaan
rancangan fisik terutama dengan teknik Post Occupancy Evaluation. (POE) / Evaluasi
Purna Huni.
Pemetaan perilaku biasa dilakukan dengan dua cara yaitu : Place Centered Mapping
(pemetaan berdasar tempat) dan Person Centerred Mapping ( penekanan pada
pergerakan manusia pada suatu perioda tertentu).
( Haryadi & B.Setiawan ; Arsitektur Lingkungan dan Perilaku .Gajah Mada Press
.1996)
Penyelidikan perilaku dalam hubungannya dalam setting fisik dilakukan untuk
mendefinisikan perbedaan antar komponen lainnya dalam suatu lingkungan tertentu.
Berdasar peta perilaku diketahui proses lingkungan dari sudut pengamat. Lalu ini
dilanjutkan dengan mulai mengembangkan metodologi yang merangkum berbagai
peserta dalam berbagai tingkatan. Misalnya pemakai diminta untuk menceritakan
setting dimana berbagai aktifitas terjadi, apa yang mereka suka dan tidak suka
terhadap setting fisik, perubahan apa yang mereka mau di ruang tersebut. Dan
berbagai isu yang relevan. Obyektif pemakai tidak mudah memahami lingkungan
setting untuk melacak perubahan yang terjadi di lingkungan tersebut. Tentu saja kita
menemukan jawaban yang sama dari tiap pemakai tentang tanggapannya terhadap
ruang dan ini sangat berbeda dengan peta perilaku yang dibuat secara
sistematik.Perbedaan antar pernyataan itu juga merupakan bukti yang cukup unik.
Mereka tidak begitu peduli dengan struktur setting secara detail, apalagi berniat
untuk merubahnya. Lingkungan fisik sekeliling terlihat “netral” dan timbulnya
kepedulian karena adanya kesulitan dalam memasukinya.
Orang sering lupa terhadap lingkungan sekitar jika kondisinya tenang, sunyi dan
senyap. Kondisi itu hanya terjadi jika suhu, suara, sinar, ruang dan warna serta
desain dan aspek structural menyimpang dari suatu tingkat untuk beradaptasi yang
membuat lingkungan atau beberapa aspeknya menjadi mengganggu .
Dilihat dari titik pandang peserta dalam proses lingkungan, tipikal sekelilingnya
berupa sesuatu yang ‘netral’. Mereka perlu diwaspadai jika mereka menyimpang dari
beberapa tingkat ( cara ) beradaptasi.
Akan tetapi salah bila mengasumsikan bahwa ada pengecualian dalam
generalisasi ini ketika individu berada dengan setting yang baru. Meskipun setting
baru optimal dalam pemenuhannya (terhadap perilaku) termasuk suhu, lampu, tata
suara, ruang dan warna agar mereka mau pindah dan menggunakannya, namun
ketidak pedulian person terhadap suatu setting tetap tinggi. Kasus ini merefleksikan
adanya simpangan dalam beradaptasi.
Dalam lingkungan yang belum dikenal ketidakpedulian peserta timbul dalam
kenyataan bahwa ia belajar dulu tentang struktur setting dan bagaimana
menggunakannya. Adaptasinya belum terlalu mapan. Bagaimanapun tidak pedulinya
pemakai,
perilakunya sepanjang waktu tetap dipengaruhi
oleh
setting
lingkungannya. Ketidak peduliannya tidak diartikan dia tidak bergerak di dalamnya,
2002 digitized by USU digital library
12
dan dalam kenyataannya ini ditentukan oleh pertentangan/beda antara kepedulian
terhadap sekeliling dalam hubungannya dengan lingkungan kita.
Hal ini juga mencakup pendapat yang lain tentang hubungan antar variable yang
dapat diformulasikan dalam kaidah yang lebih spesifik untuk menguji social setting
secara tersendiri.
Asumsi lain menganjurkan untuk menanyakan bagaimana hubungan antara
kesukaran beradaptasi dalam setting fisik dan ketidak pedulian terhadap setting
tersebut yang dipengaruhi oleh sifat alami setting. Apakah tingkat kesulitan untuk
peduli terhadap setting mulai berkurang ?. Konsep “Adaptasi lingkungan” dalam
hubungannya dengan ketidak pedulian masih sebagai jalan lain untuk memahami
masalah tersebut.
II.6. Beberapa Kaidah Perancangan Setting Fisik
Latar belakangnya adalah dalam upaya menanggapi secara langsung adanya
suatu permintaan agar para psikolog melakukan riset yang memungkinkan adanya
dasar/konsep perancangan fasilitas bagi pasien rumah sakit jiwa dengan atmosfer
terapi dan berpengaruh terhadap interaksi sosial yang dapat memfasilitasi perawatan
mental pasien secara institusional .Untuk itu maka dibuatlah suatu riset perilaku
lengkap dengan pemetaan perilaku untuk menjawab pertanyaan tersebut dan
berharap dapat terjawab oleh riset yang sistematik yang didasarkan pada berbagai
asumsi yang terkait dengan kaidah ilmu psikologi lingkungan .
Riset dilakukan dengan asumsi bahwa psikolog dan ahli sosial lainnya juga
harus siap untuk memahami aturan lingkungan fisik yang menjembatani kerumitan
interaksi sosial. Yang lebih penting adalah perlunya berperasangka baik terhadap
eksistensi adanya suatu pengetahuan yang berprinsip untuk menangani perawatan
penyakit mental yang memungkinkan adanya pendapat/proposisi tentang atmosfer
yang bebas dan adanya interaksi sosial yang terpengaruh oleh setting rumah sakit
dalam tujuan untuk memaksimalkan efek terapi perawatan.
Karena beberapa pengetahuan dasar ini belum ada. Maka tidak ada pilihan
selain hanya menunda pertanyaan tentang bagaimana merencanakan desain fasilitas
terapi psikiatrik yang efektif.
Mungkin masalah besar yang menghadang – tentu saja ini selanjutnya
menenggelamkan periset dalam lahan ilmu perilaku – adalah ketidak adaan suatu
konsep definisi dari lingkungan.
Untuk mendapat efek perubahan perilaku yang terbentuk oleh setting fisik
menghendaki adanya suatu teori atau definisi tentang lingkungan yang baku.
Dalam tingkatan hubungan manusia yang diberi setting sosial untuk dipakai
dalam berbagai penggunaan, maka tanggapan individu tidak untuk mencampurkan
proksimal dan sinar distal serta gelombang suara, bentuk dan struktur, obyek dan
ruang, tapi untuk berhubungan dengan person yang lain termasuk dalam aktifitas,
ruang dan untuk penggunaan khusus.
Setting fisik – secara tunggal atau komplek – memungkinkan tanggapan
manusia yang beragam dalam bentuk perasaan, sikap, norma, pengharapan, dan
keinginan dan itu sebaik suasana dalam perilaku fisikal yang mereka ketahui dan ini
berarti bahwa hubungan mereka terhadap pengalaman manusia dan perilaku harus
dapat difahami.
Perancangan setting fisik secara rasional untuk tujuan khusus dan kelompok
sebelum setting fisik terbangun harus diuji – coba dengan penggunaan yang nyata
atas setting tersebut seperti layaknya sudah terbangun dan dioperasikan .
Tanpa uji – coba tidaklah mungkin untuk mengakumulasikan pengetahuan yang
dapat mempengaruhi perilaku manusia untuk tujuan pembuatan organisasi ruang.
2002 digitized by USU digital library
13
Ini berlawanan dengan yang terjadi di lapangan bahwa dalam studi yang sistematik
untuk mengevaluasi efektifitas setting fisik setelah bangunan dioperasikan ternyata
jarang dilakukan .
Dalam menganalisa perilaku akan lebih baik bila dapat merekam secara detail
yang akan memudahkan kita untuk dapat menemukan kesamaan dan perubahan
dalam hubungan perilaku dengan setting fisiknya.
Untuk tujuan analisa dan riset adalah mungkin untuk mencari substansi dari
lingkungan keseluruhan secara sosial, fisikal, bahkan secara pribadi/personal atau
lingkungan psikologisnya.
Setting fisik tidaklah merupakan ruang yang sederhana sebagai ruangan fisik
semata. Setting itu demikian terencananya dan sudah diangankan dapat melayani
obyek yang berada di dalamnya. Untuk setiap yang menggunakannya apakah itu
individu, orang-orang lain, perilakunya dalam kontek social menunjukkan
guna/fungsi dari ruangan itu dan bagaimana cara menggunakannya dan apa yang
tak mungkin dapat dilakukan disitu.
Dalam beberapa kenyataan asumsi harus dinyatakan dengan terbuka, dengan
sistem yang dinamis, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu yang secara menerus
berlanjut dan berubah. Lingkungan keseluruhan adalah proses total dimana semua
komponen terlibat dan ditandai dengan kelangsungan dan perubahan hubungan
antar komponen tersebut.
Kesimpulan
Beberapa asumsi dapat membuat jelas mengenai beberapa pendekatan, paling
tidak terhadap kedudukan tentang pengetahuan psikologi lingkungan dalam
hubungannya dengan ruang. Yang lainnya adalah membawa kita kembali pada suatu
pendapat bahwa proses lingkungan total dapat dan harus dipelajari dari berbagai
sudut pandang dan beragam tingkatan analisa.
Ini berati hanya dengan pendekatan keilmuan multi disiplin akan bisa
didapatkan teori yang berkembang dalam ilmu psikologi lingkungan (sebagai suatu
pengetahuan yang sangat bermanfaat).
Beberapa kaidah perancangan setting fisik memberikan batasan dan wawasan
betapa pentingnya pemahaman tentang hubungan lingkungan dan perilaku secara
timbal balik sehingga apapun perancangan yang dibuat untuk suatu masa tertentu
tidak menimbulkan efek yang ternyata merugikan ataupun timbul secara tidak
terencana (apalagi terantisipasi). Manusia sebagai subyek perilaku menjadi
perspektif yang diutamakan . Penggunaan riset tentang perilaku dalam perancangan
demikian beraneka konteks namun perilaku perlu diposisikan sebagai hal yang patut
dan harus diperhatikan dalam setiap langkah perancangan built environment.
2002 digitized by USU digital library
14
Daftar Pustaka
Altman.I.;The Environment and Social Behaviour, The MIT Press. England. 1975
Barker,R.G. The Stream of Behaviour. New York;Appleton-Century-Crofts. 1963
Crowe ,Norman ; Nature and The Idea of Man-Made World .The MIT Press.
Cambridge.England 1995
Gary T.Moore ; Pengkajian Lingkungan dan Perilaku dalam ‘Introduction To
Architecture’.Mc Graw Hill Inc. 1997
Haryadi & B.Setiawan ; Arsitektur Lingkungan dan Perilaku .Gajah Mada Press .1996
Koffka,K. Principles of Gestalt Psychology. New York. Hancourt, Barce. 1935
Klasen,Winand; Architecture and Philosophy. University of San Carlos Cebu
City,Phillipines.1980
Krech.D & Crutchfield,R.S. Theory and Problems of Social Psychology. New York
;Mc.Graw-Hill. 1936
Lang.Jon ; Creating Architectural Theory , The role of the behavioral sciences in
environmental design. Van Nostrand Reinhold. England. USA.1987
Lewin, K. Principles of Topological and Vectors Psychology. New York; Mc.Graw-Hill.
1936
Murphy,G. Personality. New York; Harper. 1947
Murray,H. Exploration in Personality. New York;Oxford University Press. 1938
Materi kuliah ‘Pengantar Arsitektur dan Perilaku’ oleh Ir.Sri Amiranti.MS. 2000)
2002 digitized by USU digital library
15
Download