PENGARUH LINGKUNGAN FISIK PADA PERILAKU: SUATU TINJAUAN ARSITEKTURAL Ir. DWI LINDARTO HADINUGROHO Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Universitas Sumatera Utara ABSRAKSI Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang makin kompleks maka manusia dan perilakunya ( human behaviour) semakin diperhitungkan juga dalam proses perancangan built environment yang sering disebut sebagai pengkajian lingkungan perilaku dalam arsitektur. Bahasan ini dilandasi oleh artikel Harold M. Proshansky, William H. Ittelson & Leanne G. Rivlin mencakup berbagai hal yang dadahului oleh pemahaman tentang Psikologi Lingkungan (perkembangan, pencarian dan pencapaiannya) yang dijadikan sebagai tema pembahasan keseluruhan. Lingkungan dibahas dalam perspektif hubungan dan pengaruhnya terhadap perilaku dalam konteks setting fisik arsitektural. Mengacu pada pendapat Holahan (1982) disampaikan karakteristik pendekatan psikologi lingkungan terhadap perilaku dan setting fisik yang berpengaruh terhadap rancangan ruang arsitektural. Manusia mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap setting fisik dan lingkungan dengan cara yang spesifik. Psikologi Lingkungan mempunyai teknik yang khusus dalam merisetnya dengan Kognitif mapping yang dalam prakteknya menggunakan teknik observasi partisipatif. Dengan teknik riset demikian dapat diturunkan pendekatan untuk perancangan setting fisik arsitektural yang bertumpu pada Lingkungan & Human Behavioral ( yang menjadi idea pokok bahasan ini). Kata kunci : Psikologi Lingkungan –Human/Environmental Behavior – Setting fisik I. Pendahuluan Sejak jaman Vitruvius tujuan arsitektur telah dinyatakan dalam pengertian kemantapan, kemanfaatan dan keindahan . Bahasa mutakhirnya adalah teknologi, fungsi dan estetika. Arsitektur merupakan disiplin yang sintetis dan senantiasa mencakup ketiga hal diatas dalam setiap rancangannya. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang makin kompleks maka perilaku manusia ( human behaviour ) semakin diperhitungkan dalam proses perancangan yang sering disebut sebagai pengkajian lingkungan perilaku dalam arsitektur. Bahasan ini mencakup berbagai hal tentang Lingkungan , Proses Lingkungan, Perilaku, Setting Fisik, Ilmu Psikologi Lingkungan (dalam pencarian dan pencapaiannya). Landasan keilmiahan penelitiannya didasarkan pada fenomena, psikologi dan sosial (dengan sedikit keraguan tentang keabsahan metode penelitian kualitatif yang dilakukannya). Namun hal ini dapat ditanggulangi dengan 2002 digitized by USU digital library 1 perkembangan teknik penelitian ‘Naturalistic Inquiry’1 untuk ilmu non-eksak yang tak kurang derajat ilmiahnya dibanding metoda penelitian eksakta/engineering. Beberapa bagian menyoroti secara khusus tentang beberapa asumsi dasar berkait dengan hubungan perilaku manusia dengan setting fisiknya secara timbal balik dan perilaku yang dapat dicermati sebagai acuan perancangan setting fisik baik secara konsep maupun fisik keruangan. I.1. Ilmu Psikologi Lingkungan, (pencarian dan pencapaian) Psikologi lingkungan adalah lahan baru dalam rangkaian pengetahuan yang lahir karena kebutuhan sosial. Hal itu sekarang merupakan bagian dari struktur teorikal yang setara dalam kaidah teorikal yang lain. Kajian psikologi sosial bisa dinyatakan dengan menunjuk pada adanya kejadian atau studi fenomena ( fenomenologi ) seperti yang dikembangkan oleh pemikir Jerman. Fenomenologi menekankan perlunya pemahaman yang simpatik didasarkan atas penjelasan yang holistik. Pemahaman ini tidak menyerankan pemahaman suatu fenomena secara parsial, dengan memecah belah kompleksitas fenomena menjadi hubungan antara beberapa variabel yang sedehana melainkan secara serentak dan menyeluruh. (Klasen,Winand; Architecture and Philosophy. University of San Carlos Cebu City,Phillipines.1980) Perhatian utama tentang Human Behaviour adalah pada hubungan antar manusia terhadap lingkungan fisik yang dibuat oleh manusia sendiri. Dalam abad terakhir ini manusia telah banyak merubah wajah bumi dan alam bebas dimana dia berada. Namun dalam dinamika perubahan tersebut (yaitu kemenangan manusia menaklukkan lingkungan fisik menggunakan teknologi modern) manusia lantas melupakan pe-rusak-an terhadap dirinya sendiri misalnya berupa populasi yang terlalu padat, polusi air dan udara, urban deterioration, pengurasan sumber daya alam, dan masalah lingkungan lain yang mendasar. Dorongan yang timbul akibat keinginan untuk memecahkan masalah (lingkungan) tersebut kemudian menumbuhkan apa yang disebut ilmu psikologi lingkungan. Sebagai dasar pemikiran adalah ilmu psikologi untuk menyatakan dan mengkonsepkan lingkungan manusia. Apa yang didapat kemudian bahwa psikologi modern hanya menawarkan sedikit petunjuk. Namun setidaknya hal tersebut memberikan sumbangan yang cukup berarti yaitu adanya kemantapan hubungan antara perilaku individu dan lingkungan alam bebas. Posisi obyektifitas ilmu psikologi lingkungan adalah lebih empirikal dibanding teorikal. Karenanya dapat dikatakan bahwa ilmu ini tetap berada pada periphery masalah tentang bagaimana mendefinisikan lingkungan ( meskipun definisi itupun tidak secara langsung dapat menjadi pegangan.) Terdapat dua pendekatan yaitu satu yang menyatakan bahwa lingkungan dalam kemurnian fisik ( kaidah obyektifnya), dan pendekatan lainnya – dalam orientasi phenomenology – yang secara esensial menyatakan kesamaan dari lingkungan fisik/signifikansinya. Masing-masing mengabaikan tujuan dasar untuk mendefinisikan arti lingkungan dalam kerangka pendekatan tersebut. Tapi jika kedua pendekatan tersebut dapat menyatakan definisi, maka kesulitan mendasar akan muncul karena masing-masing pendekatan melihat suatu tingkatan parameter yang signifikan yang dinyatakan oleh satu dan lainnya. Pendekatan obyektif untuk lingkungan merupakan akar dari percobaan psikofisik dan Watsonian Behaviourism, yang membagi lingkungan fisik menjadi 1 ‘Naturalistic Inquiry’metoda penelitian kualitatif bagi penelitian ‘non-engineering’ lihat buku ‘Naturalistic Inquiry’ by Yvonna S.Lincoln and Egon G. Guba.Sage Publ.London 1985 2002 digitized by USU digital library 2 dorongan discrete quantifiable yang merupakan fungsi hubungan yang khas terhadap pengalaman dan perilaku. Pendekatan ini secara esensial digunakan untuk memantapkan dimensi dan kebebasan psikologi manusia seperti melihat/mengamati, berpikir, belajar, dan merasakan. Hal itu banyak mengajarkan kita tentang beberapa hal yang mendasar tentang fungsi tersebut namun tidak berarti terlalu banyak untuk dimengerti sebagai hasil integrasi manusia dalam bertingkah. Perilaku sendiri punya maksud tertentu dalam suatu setting sosial yang kompleks. Pertanyaan untuk mempolakan dimensi dasar dalam lingkungan fisik, seperti cahaya dan suara, sebagai sumber dan perilaku belum terlalu serius diperhitungkan. Dan yang lebih penting adalah signifikansi makna, pengertian, dan proses kognitif sebagai level lain yang berpengaruh terhadap perilaku (sebagai yang sangat penting dalam pendekatan phenomenological) sampai kini belum terdefinisikan. Pendekatan phenomenological untuk lingkungan adalah merupakan pendekatan yang tidak hanya melihat hal itu berlangsung begitu saja namun lebih kepada ‘bagaimana mengalaminya’ seperti yang pertama kali dikatakan oleh Kofka dalam “Lingkungan perilaku” (1935) dan terakhir dikembangkan oleh Lewin’s dalam teori tentang ruang hidup (1936). Perilaku tumbuh tidak dari obyektif karena dorongan dunia “sana” namun dari kegiatan dunia yang bertransformasi dalam “inner world” atau lingkungan fisik oleh kepaduan pengetahuan organisme. Secara psikologikal dan sosial hal ini berkait erat dan merupakan sesuatu yang penting dalam pembentukan dan pengalaman suasana ‘space’ yang terjadi dalam arsitektur ( Crowe ,Norman ; Nature and The Idea of ManMade World .The MIT Press. Cambridge.England 1995 ) Beberapa asumsi menjelaskan beberapa pendekatan yang membahas kedudukan pengetahuan pisikologi lingkungan dalam hubungannya dengan ruang. Teori lainnya banyak mendukung formula ini adalah Murray 1938, Murphy 1947, Barker 1963, Kretch &Crutch 1948 dan lainnya. Suatu pengertian lingkungan psikologis harus berkembang dengan sendirinya paling tidak studi tentang fenomena lingkungan yang terus berlangsung, berproses dengan cara pengamatan, pemikiran dan kreasi manusia . Dan lebih teliti lagi berupa simulasi yang dijalankan dalam suatu lingkungan fisik yang mampu meliput keseluruhan proses tersebut. Sebenarnya, tujuan penting dalam kegiatan untuk mengkonsepkan lingkungan manusia haruslah memasukkan hubungan antara dunia fisik personal dan dunia yang dibentuknya yaitu yang bermula dari dirinya serta hubungan antara perilaku dan pengalaman. Berbicara untuk mengolah perilaku manusia dengan merubah lingkungan fisik tidak hanya berasal dari asumsi bahwa ada hubungan antar dua keberadaan namun lebih kepada bermulanya suatu hubungan antara kesetabilan dan keteraturan tanggapan manusia terhadap lingkungan fisiknya. Fokus utama psikologi lingkungan adalah ‘hubungan manusia dengan lingkungannya’ namun ini terkadang malah bisa menjadi dikotomi (punya arti mendua) antara personal di satu sisi dan lingkungan disisi lainnya. Secara kebedaan/dikotomi ini bisa diabaikan karena hal itu hanya merupakan sebagian dari keseluruhan hubungan lingkungan dengan manusia sebagai suatu komponen. Ini berarti juga manusia tidak bisa eksis/ada kecuali punya hubungan dengan komponen lainnya yang membentuk situasi lingkungan. I.2. Karakteristik Pendekatan Psikologi Lingkungan Pendekatan psikologi lingkungan sebagaimana yang disampaikan oleh Holahan (1982) mempunyai karakteristik antara lain : 1. Adaptational Focus, Fokus penekanan pendekatan ini pada proses adaptasi manusia terhadap kebutuhan yang demikian kompleks terhadap suatu lingkungan fisik. Tiga aspek penting dalam adaptational Focus ini adalah : 2002 digitized by USU digital library 3 a. Bahwa adaptational focus adalah proses psikologi yang yanag menjadi perantara dari pengaruh lingkungan / setting fisik terhadap kegiatan manusia b. Bahwa adaptational focus merupakan pandangan yang holistik terhadap lingkungan fisik dalam hubungannya dengan perilaku, lingkungan, pengalaman dan kegiatan manusia. Lingkungan fisik sebagai suatu setting bagi perilaku manusia , bukan hanya sebagai stimula tunggal. c. Bahwa adaptational focus melibatkan peranan aktif manusia dengan lingkungannya. Manusia aktif mencari cara positif dan adaptif untuk mengatasi tantangan lingkungannya (adaptational model) 2. Pendekatan Psikologi Lingkungan ini adalah lebih berupa problem soving dalam pembentukan paradigma baru yang berkaitan dengan interdisiplin keilmuan. Diagram Pendekatan Psikologi Lingkungan (Holahan 1982) Environment Conditions Adaptive Psychological Process - Behavioral Consequences Perception Cognition Attitudes etc. Dalam hal ini ilmuwan psikologi lingkungan harus terus melanjutkan usahanya untuk melakukan uji coba selanjutnya dan lebih mensistematiskan asumsi “terjadi dengan sendirinya” terutama dengan perhatian terhadap wilayah permasalahan yang relatif tidak terjangkau oleh riset yang sistematis. Salah satu yang bisa diusulkan adalah teknik observasi partisipatif Observasi Partisipatif Observasi partisipatif merupakan teknik yang sering digunakan dalam berbagai kajian ilmu termasuk psikologi lingkungan. Perkembangan bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku juga banyak dilakukan dengan menggunakan teknik ini dengan beberapa modifikasi. Prinsip dasar yang digunakan adalah meniadakan ‘dinding batas’ serta menghilangkan jarak anata obyek yang diamati dengan subyek (pengamat). Artinya pengamat bisa berbaur dengan lebih intens terhadap obyek yang diamatinya. Observasi partisipatif didefinikan sebagai suatu proses dimana observer berada dalam situasi langsung dengan yang diamatinya dan dengan peran serta dalam kegiatan sehari-hari observer mengumpulkan data. Teknik ini sudah lama dilakukan oleh pengamat antropologi dalam kegiatan ilmiahnya. Dengan demikian keilmiah-an pengamatan psikologi sosial ini dapat mengeliminir pendapat “ terjadi dengan sendirinya” II. Pengaruh Lingkungan Fisik pada Perilaku Bagaimana lingkungan fisik berpengaruh terhadap lingkungan secara timbal balik dijelaskan oleh Gibson (1966) dalam diagram berikut 2002 digitized by USU digital library 4 Affordances of Environment Perception Cognitive &Affect Emotional Response Spatial behaviour Perception of the Result Of Behaviour Schemata Motivation / Needs (social,status,norm,etc) Perilaku manusia dalam hubungannya terhadap suatu setting fisik berlangsung dan konsisten sesuai waktu dan situasi. Karenanya pola perilaku yang khas untuk setting fisik tersebut dapat diidentifikasikan. Tentu saja apa yang dibahas tidak lantas menjadi demikian sederhana bahwa manusia semuanya berperilaku ajeg dalam suatu tempat dan waktu tertentu. Tapi umumnya frekuensi kegiatan yang terjadi pada suatu setting baik tunggal ataupun berkelompok dengan setting lain menunjukkan suatu yang konstan/tetap sepanjang waktu. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya karakter dan pola tetap perilaku yang dapat dideteksi dalam hubungannya dengan suatu setting tapi juga kemungkinan yang muncul seperti pola tanggapan perilaku yang kadang dapat berubah menjadi sebaliknya. Apa yang ditunjukkan oleh peta perilaku tidak hanya tentang bagaimana kegiatan makan, tidur, berinteraksi, ngobrol dan lainnya dalam situasi, tempat dan waktu yang beragam tapi juga menunjukkan bahwa pola penggunaan ruang tidak diperdulikan oleh pasien yang terlibat dengan kata lain bahwa bila kondisi lainnya sama, maka pola penggunaan (fungsi) setting fisik tertentu tidak diperdulikan oleh pemakai yang terlibat. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa data yang menjadi acuan untuk pembentukan pendapat ini dinyatakan hanya sebagai “kebenaran yang terjadi dengan sendirinya” dan itu bukan berupa asumsi kestabilan perilaku manusia pada umumnya tapi itu untuk menunjukkan kesamaan dalam hubungan dengan sebagian lingkungan fisik sebagai aspek nyata eksistensi manusia. Aspek lain yang sebanding/setara adalah pendapat bahwa kesamaan dan keteraturan pikiran dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan ruang fisik yang terjadi dengan sendirinya adalah merupakan implikasi bahwa sifat alamiah dari kesamaan juga terjadi dengan sendirinya. Dari data yang didapat pada riset perilaku tidak dimaksudkan bahwa asumsi itu hanya sebagian benar, tapi yang lebih penting adalah keyakinan bahwa hal tersebut menyederhanakan pengertian hubungan antara perilaku manusia dan setting fisiknya. Kita dapat menyaksikan bahwa kamar tidur itu secara tetap digunakan untuk bersosial dan makan selain hanya untuk tidur. Ruang makan tidak hanya untuk makan tapi juga untuk membentuk pola berinteraksi sosial. 2002 digitized by USU digital library 5 Rossenberg dan Holuland ( cited from Fishbein&Ajzen, 1975) menerangkan hubungan antara stimuli dan terjadinya sikap sebagaimana diterangkan di atas dalam diagram berikut Stimuli Sikap Affeksi Respons syaraf simpatik Pernyataan lisan tentang affeksi Kognisi Respons perseptual Pernyataan lisan tentang kognisi Perilaku Tindakan yang nyata Pernyataan lisan tentang perilaku II.1. Proses Psikologi Manusia dalam Beradaptasi Dari riset menunjukkan bagaimana dan untuk apa tujuan individu tersebut menggunakan ruang. Dan ini tidak merefleksikan secara langsung mengenai apa fungsi ruang itu. Hal itu lebih menunjukkan bahwa fungsi ruang / tergantung dari desain fisik dan label penamaannya saja. Ruang adalah sistem lingkungan binaan yang paling kecil. Dalam banyak kasus fungsi ruang ditentukan oleh fungsi dari sistem yang lebih besar. Fungsi ini menjadi jelas karena sebagian besar fungsi ini sesuai dengan kegiatan yang teratur berlanjut di ruangan tersebut ( misalnya ruang seminar, kelas dsb). Pada kasus lain fungsi ruang menjadi tidak jelas karena beragamnya variasi perilaku yang berlangsung di dalamnya (misal ruang keluarga dalam suatu rumah). Berarti ada dua jenis ruang yang berpengaruh terhadap perilaku . Pertama, ruang yang dirancanag untuk suatu perilaku khusus kedua ruang yang diperuntukkan bagi kegiatan yang lebih fleksible.2 Kesamaan dan keteraturan bukan hanya salah satu karakteristik dari prilaku manusia dalam hubungannya dengan setting fisik.. Jika seseorang meluangkan waktu dari suatu ruangan kemudian berpindah ke ruangan lain dalam suatu waktu tertentu itu adalah karena adanya perbedaan kegiatan dan keteraturan kegiatan manusia. Peta perilaku kegiatan harian yang diamati belum juga dapat menjelaskan perbedaan apa yang terjadi pada masing-masing dan antar ruang. Ruang santai digunakan juga untuk makan , main game, ngobrol, membaca, interaksi sosial dan lain kegiatan. Dan untuk setiap perilaku selalu terjadi keajegan. Jika area tersebut diamati dalam waktu yang pendek , katakanlah lima atau sepuluh menit maka perilaku kelihatannya tidak banyak berubah. Ketika durasi suatu kegiatan dimasukkan dalam peta perilaku , dapat dikatakan bahwa secara umum kegiatan berlangsung tidak terlalu lama. Bahkan ketika kegiatannya terprogram, bagaimanapun perubahan akan terjadi juga. Misalnya ada dua orang yang terlibat percakapan mungkin lalu didatangi oleh orang ketiga , atau mungkin mencari sisi lain dari ruangan itu atau sejenak diam setelah melakukan percakapan itu. Kegiatan membaca di ruang santai mungkin berpindah ke ruang tidur untuk menghindari kebisingan. Kaleidoskop perilaku manusia tentu saja tidak terbatas pada setting tertentu. Itu dapat ditemukan pada setiap setting fisik yang ada interaksi sosialnya. Perilaku manusia dalam hubungannya dengan setting fisik berbeda antar kejadian dan beragam. Perbedaan dan kelangsungan perilakunya tidak terbatas . Meskipun pelaku kegiatan bebas memilih setting fisik namun mereka tetap merasakan adanya 2 Tentang ‘ruang’ dalam konteks perilaku lebih jauh diungkapkan oleh Haryadi dalam Pengantar Arsitektur Lingkungan dan Perilaku ‘ Teori, Metodologi dan Aplikasi . 1996 2002 digitized by USU digital library 6 batasan / limit. Desain ruangan punya batasan pilihan untuk perilaku yang terjadi di dalamnya. Sebagai contoh bila ada ketentuan untuk tidak boleh tidur di sembarang tempat dan harus di tempat tidur. Lantas seseorang malah memutuskan untuk tidur dilantai saja, berarti ia melawan peraturan / batasan yang mengharuskannya untuk tidur di tempat tidur. Bagaimanapun batasan ini ada meski punya potensi untuk dilanggar. II.2. Kemampuan beradapatasi dan Fleksibilitas An adaptable layout is one that affords different times standing patterns of behaviour at different times without requiring physical changes. Flexible layout are those in which the structure is easy to change to accommodate different needs. This is more than is generally implied by semifixed feature space… ( Jon Lang (1997) ; Creating Architectural Theory , The role of the behavioral sciences in environmental design ) Dari ungkapan tentang adaptasi dan fleksibilitas diatas dapat digunakan untuk lebih memperjelas kemungkinan perancangan setting dengan perhatian pada sifat adaptif manusia atau ruang yang diolah untuk mencapai tatanan yang sesuai dengan perilaku manusia ( supaya lebih gampang diadaptasi ) Mungkin karena terlalu bernilainya asumsi itu maka sedikit terlupa untuk memberi peringatan terhadap riset lingkungan yang gagal dalam mengenali kerumitan studi fenomena. Kebanyakan asumsi itu menunjukkan kebutuhan riset dengan maksud untuk mengesampingkan paradigma ‘sebab – akibat’ yang relatif sederhana yang menjadi tipe riset ilmiah lingkungan . Holahan (1982) menyatakan bahwa terjadinya proses psikologi manusia yang berhubungan dalan rangka mengatasi atau beradaptasi dengan lingkungan fisik dipengaruhi tiga hal yaitu : 1. Environmental Perception, yaitu proses memahami linkungan fisik melalui input indrawi dari stimuli yang baru saja hadir atau terjadi 2. Envorinmental Cognition, yaitu proses menyimpan , mengorganisasikan ,mengkonstruksi dan memanggil kembali imaji, ciri-ciri, atau kondisi lingkungan yang sudah ada / terjadi beberapa saat yang lalu. 3. Environmental Attitudes, yaitu rasa suka atau tidak suka terhadap sifat atau ciri , kondisi lingkungan fisiknya. II.3. Hubungan Perilaku dengan Setting Fisik Setting fisik yang dinyatakan dan dibentuk dengan pembatas bukan merupakan sistem tertutup ; batas itu tidak tetap terhadap ruang dan waktu. Hal ini sangat jelas diungkapkan oleh Norman Crowe dalam kajian ‘Natural Source for the Geometry of Architecture’ bahwa batas ( yang menggunakan geometri ) adalah berasal dari proses penataan/olahan material dan hasilnya dipengaruhi oleh Human Perseption. Human perseption inilah yang merupakan sesuatu yang tidak bisa di batasi. ( Norman Crowe (1995) ;Nature and The Idea of Man-Made World .The MIT Press. Cambridge.England ) Dalam suatu setting fisik, perilaku individu mempunyai karakter perubahan yang menerus / ajeg disamping berlaku umum dan stabil/tetap. Setting fisik adalah subyek yang bersistem terbuka untuk ruang diluar dan dibatasi waktu. Peralatan yang berada dalam suatu ruang semuanya berfungsi tidak hanya dilihat dalam fungsi dekorasinya tapi mempertimbangkan juga sejumlah orang yang akan menggunakannya. Suatu ruang dengan enam penghuni didalamnya secara fisik tidak dapat disamakan dengan ruang yang sama namun berisi dua orang didalamnya. Bahkan saat penghuninya tetap, struktur yang kelihatan akan berbeda dalam menanggapi perilakunya. 2002 digitized by USU digital library 7 Jika setting fisik adalah suatu sistem terbuka yang ditandai dengan sesuatu yang simultan dalam perubahan dan tetap maka organisasinya menjadi dinamis dan saling ketergantungan antar ruang lain dalam suatu setting tertentu. Dengan menutup suatu ruang maka panas dalam ruang tersebut meningkat yang berakibat ruang lain mungkin menjadi sejuk, namun ini akan meningkatkan kepadatan pemakai yang berada disitu sampai menurunkan temperature pada tingkat yang tidak nyaman. Perabot yang usang dan ruang yang panas jarang digunakan oleh siapapun dan hanya ruang tertentu yang menjadi tujuan spesifik yang kerap penuh sesak meskipun kurang nyaman. Perilaku dihubungkan dengan setting fisik adalah organisasi yang dinamis; suatu perubahan dalam setiap komponen setting mempunyai tingkat efek yang beraneka menyangkut komponen keseluruhan dalam setting tersebut. Karenanya merubah karakter pola perilaku harus secara menyeluruh. Dengan berbagai batasan diadakan beberapa percobaan untuk mempelajari efek peningkatan kenikmatan fisik ruang dan kegiatan di dalamnya. Dengan hipotesis bahwa beberapa perubahan / perbaikan perabot akan meningkatkan kegiatan di ruangan tersebut dan akan menurunkan kegiatan di ruangan lainnya. Perubahan ruang yang dibuat membuat pemakai tetap tinggal dalam waktu lama berada di ruangan tersebut dan kurang dalam pemakaian ruangan lain. Ini menyatakan bahwa meski jelas berhubungan dengan asumsi tentang ke-stabil-an dan kebiasan perilaku dalam setting fisik, ada juga asumsi yang boleh disebut sebagai “ perilaku tetap ”. Ketika perubahan dalam setting fisik tidak menjamin/kondusif terhadap pola perilaku yang menjadi karakteristik terhadap suatu setting, maka akan muncul perilaku tanggapan yang bisa berupa menerima, menolak atau bahkan menghindar terhadap setting fisik tersebut. ( Materi kuliah ‘Pengantar Arsitektur dan Perilaku’ oleh Ir.Sri Amiranti.MS. 2000) Dalam pengamatan terhadap perilaku ternyata dapat dibuat suatu pengaruh untuk mengembangkan kegiatan suatu ruang dengan merobah tatanan perabot. Perubahan lainnya tentu saja dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan menambah jumlah kapasitas dan dengan penjadwalan pemakaian ruang yang berbeda waktu bagi tiap kelompok dengan gerakan kegiatan yang terpola, perabotan, atau penggantian tata letak ruang. Perubahan dalam karakter pola perilaku setting fisik dapat disebabkan oleh perubahan fisik, sosial dan struktur administrative yang terdapat pada setting tersebut. Asumsi ini merupakan hal yang sangat penting khususnya untuk merencanakan perubahan lingkungan yang condong kepada suatu pemaksaan. Keruwetan yang terjadi dalam suatu ruang dapat dikurangi dengan membangun ruang lainnya atau dengan mengurangi jumlah pemakai. Sejumlah batasan harus diberikan untuk menentukan metode apa yang layak pakai dan sesuai dengan masalahnya. Dalam kenyataannya adalah pemborosan jika mengatasi masalah di atas dengan perubahan fisik jika berbagai metoda lainnya dapat dijalankan. Arsitek biasanya sangat memperhatikan detail keaslian dan tidak begitu peduli dengan biaya membangun gedung. Tapi begitupun akan lebih fleksibel bila dapat ditangani dengan efektif dengan pengelolaan administrasi dan keuangan yang baik. Perubahan setting fisik sebaiknya mempertimbangkan pada kaidah teritory dan privacy seperti yang dinyatakan oleh Altman. Bahwa ‘kepadatan adalah ukuran matematik dari jumlah orang per unit ruang. Sedangkan kesesakan adalah merupakan pengertian psikologis atau perilaku lingkungan. Ini jelas berbeda dalam penanganannya. Kesesakan mungkin akibat kepadatan yang terlalu tinggi dan akhirnya kebutuhan privacy yang terganggu dan menimbulkan pengaruh perilaku yang bisa beraneka ragam. Kesesakan adalah merupakan akibat dari kegagalan 2002 digitized by USU digital library 8 mencapai tingkat privacy yang diinginkan. Hal ini dapat dijelaskan dengan diagram berikut Isolasi sosial Privacy tercapai lebih dari privacy diharapkan Privacy yang diharapkan (ideal) Mekanisme kontrol antar pribadi Ruang pribadi Teritori Perilaku verbal Perilaku non verbal Privacy yang dicapai (hasil) Optimum (privacy yang dicapai = yang diharapkan) Kesesakan (privacy yang dicapai kurang dari privacy yang diharapkan) ( Altman.I.;The Environment and Social Behaviour, 1975) Setting fisik bukan merupakan ruang yang sederhana sebagai ruangan fisik semata. Setting itu sedemikian terencananya dan sudah dicanangkan untuk dapat melayani obyek yang berada di dalamnya. Perilaku individu yang menggunakannya dalam kontek sosial menunjukkan guna/fungsi dari ruangan itu sekaligus menunjukkan bagaimana cara menggunakannya dan apa yang tak mungkin dapat dilakukan disitu. Untuk tujuan analisa, perlu dirumuskan efek apa yang merubah perilaku manusia dalam setting fisik tertentu. Tentu saja tidak hanya fisikal semata karena perlu memperhitungkan kondisis sosial, administrative dan fisikologikal. Sejumlah perilaku yang berlangsung bukan hanya dalam hubungan dengan perabot yang baru saja namun juga dengan ‘makna’ sehubungan dengan perilakunya tersebut. Misalnya penataan perabot baru mengartikan bahwa yang punya ruang menginginkan tersebut terpakai atau para tamu tergugah datang di situ karena perabot dan tatanannya yang baru. Dalam beberapa kenyataan asumsi harus dinyatakan dengan terbuka, dengan sistem yang dinamis, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu yang secara menerus berlanjut dan berubah. II.4. Hubungan Perilaku dengan Lingkungan Posisi Perilaku dengan lingkungan digambarkan sebagai berikut : 2002 digitized by USU digital library 9 Kondisi Lingkungan Fisik Persepsi terhadap Lingkungan Fisik Pengenalan ide dan sikap terhadap Lingkungan Harapan/keinginan tindakan terhadap Lingkungan Mempengaruhi Proses berikutnya (pengulangan proses) Lingkungan keseluruhan adalah proses total dimana semua komponen terlibat dan ditandai dengan kelangsungan dan perubahan hubungan antar komponen tersebut. Lingkungan adalah sesuatu yang aktif dan proses yang berlanjut atas dasar partisipasi komponennya dan dinyatakan oleh hubungan diantaranya yang bebas/alami. Apapun model analisanya semua komponen dinyatakan oleh keikutsertaan-nya dalam proses lingkungan. Komponen perilaku dapat dikenali karena keterkaitannya dengan komponen lainnya (dan dinyatakan dengan hubungan antar komponen tersebut). Tak ada satupun komponen yang berdiri sendiri dalam suatu komposisi lingkungan dengan lainnya. Diagram : Cakupan kelompok dan informasi perilaku lingkungan (Gary T.Moore ; Pengkajian Lingkungan dan Perilaku dalam ‘Introduction To Architecture’.Mc Graw Hill Inc. 1997) Kelompok Setting Dunia Bangsa Daerah Kota Bangunan Kamar Perabot Perlengkapan&Obyek Anak-anak Dewasa Manula,Cacat Kelompok Pemakai Antropometrik Proksemik Teritory,Privacy,Persepsi Pengenalan,makna Konsep Perilaku Fenomena Kita dapat menggambarkan karakteristik yang menunjukkan berbagai kelangsungan dalam suatu situasi yang bervariasi dan menamakannya sebagai suatu kesatuan. Jika kita kembali pada pendapat sebelumnya secara sepintas dinyatakan bahwa lingkungan sebagai sesuatu yang aktif dalam melanjutkan kelangsungan proses hubungan dan kaitan antar komponennya. Apapun komponen yang dinyatakan merupakan hubungan sebab dan akibat. Komponen itu tidak hanya beraksi terhadap komponen lainnya dan kemudian merubahnya tapi juga merubah lingkungan dan tentu saja akan merubah dirinya juga. Proses lingkungan bukan 2002 digitized by USU digital library 10 merupakan sebab langsung yang linear namun merupakan sirkulasi ulang-alik yang saling berbalas. Setiap komponen lingkungan berkait atau punya hubungan antar komponen dengan dua cara yaitu : (a) Itu berlaku pada semua aspek dan (b) ia diaktifkan oleh semua dan sebagian aspek lainnya menerima konsekuensi perbuatannya sendiri untuk merubah situasi lingkungan. Sebagai contoh adalah suatu keputusan administrative untuk menambah jumlah pasien dalam ruang rumah sakit supaya mencapai kapasitas optimum akan berpengaruh pada setting sosial dan setting fisik. Tentu saja karena perubahan ini akan menambah keruwetan di ruang tidur dan ruangan lainnya. Hubungan antar pasien, pasien dengan staf akan meruncing kearah konflik terbuka. Keputusan untuk menambah jumlah pasien akan memaksa staf administrasi untuk membuat peraturan baru guna mengatasi akibat buruk dari peraturan terdahulu. Ini seperti yang digambarkan tentang lingkungan sebagai suatu proses dinamis hubungan antar komponen yang unik dalam suatu waktu tertentu. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pengamat dalam merasakan adanya ‘keberagaman’ dan keunikan lingkungan dari waktu ke waktu. Keunikan ini lebih banyak terjadi dalam penggunaan ruang. Jadi dalam dua ruang yang sama struktur dan perabotnya maka lingkungannya akan bisa berbeda suasananya. Lingkungan adalah unik dalam menurut tempat dan waktu kejadiannya. Lingkungan merupakan proses total antar komponennya. Walaupun manusia dan lingkungannya terpisah keduanya dapat menuju tujuan yang sama. Lingkungan dapat didekati dalam dua sudut pandang yang berlainan. Dari satu sisi individu sebagai salah satu komponen proses lingkungan total diselidiki dalam kaitan untuk pembuktian dengan pengertian yang dalam dalam proses. Ilmuwan sebagai pengamat berdiri di luar lingkungan dan menjaring data para personal yang ikut (proses tersebut).dengan pikiran yang obyektif. Dari sisi kedua bahwa proses lingkungan dapat dipelajari dari sudut pandang “orang pertama” yaitu dari tempat dimana individu itu ikut dalam proses tersebut. Riset dilakukan untuk pemahaman alam bebas tidak hanya sebagai proses lingkungan tapi juga individu yang terikut di dalamnya (sebagai suatu entity) juga ikut teruji. Dua metodologi yang dapat digunakan mengacu pada pendekatan obyektifitas dan phenomenological. Kedua pendekatan tersebut diperlukan untuk pemahaman yang penuh tentang situsi lingkungan. Dalam titik ini orientasi peserta lebih menjadi perhatian dibanding orientasi pengamat. Meskipun peserta sangat tidak peduli terhadap sekelilingnya dalam proses lingkungan tetapi lingkungan sekeliling tetap berpengaruh terhadap perilaku peserta. Beberapa asumsi di atas menyuguhkan sumber-sumber yang penting dalam hubungannya dengan lingkungan. Asumsi yang menempatkan bahwa setting fisik bukan merupakan sistem tertutup menekankan pada pentingnya pengalaman masa lalu dan keluasan sosial sistem dalam beberapa hubungan yang mungkin. Meskipun disini hanya ada satu situasi lingkungan, lingkungan sekelilingnya juga merupakan komponen yang dapat diuji coba (jika dilihat dari titik pandang proses). Tidak ada dua komponen dalam proses lingkungan yang berada pada tempat yang sama. Dan karenanya sekitarnya atau lingkungan sering terlihat unik Jika dimungkinkan dua peserta berada pada satu tempat dan waktu yang sama, itupun masih unik juga. Setiap peserta menampilkan sesuatu yang diekspresikan tidak hanya berupa keunikan hubungannya dengan peserta yang lain dalam suatu setting lingkungan namun juga menampilkan pola hubungan yang pernah dialaminya di setting dan waktu yang lain. Studi tentang proses lingkungan dari titik pandang sebagian peserta dalam proses itu kadang membentuk suasana dikotomi antara ‘peserta’ disatu sisi dengan ‘komponen lingkungan’ yang lain disatu sisi. 2002 digitized by USU digital library 11 II.5. Behaviour ( Cognitive ) Mapping Metoda lain yang sering digunakan dalam kegiatan ilmiah psikologi lingkungan adalah Behavioral mapping (dikembangkan oleh Ittelson, 1970). Teknik ini mempunyai kekuatan utama dalam aspek spasialnya. Dengan teknik ini akan didapatkan sekaligus suatu bentuk informasi mengenai fenomena ( terutama perilaku individu dan sekelompok manusia) yang terkait dengan sistem spatialnya. Behavioral mapping digambarkan dalam skema dan diagram mengenai suatu area dimana manusia melakukan berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perilaku serta menunjukkan kaitan antara perilaku tersebut dengan wujud perancangan yang spesifik. Jenis perlaku yang biasa dipetakan adalah : pola perjalanan, migrasi, perilaku konsumtif, kegiatan rumah tangga, penggunaan berbagai fasilitas publik. Kajian ini terutama digunakan untuk penyempurnaan rancangan fisik terutama dengan teknik Post Occupancy Evaluation. (POE) / Evaluasi Purna Huni. Pemetaan perilaku biasa dilakukan dengan dua cara yaitu : Place Centered Mapping (pemetaan berdasar tempat) dan Person Centerred Mapping ( penekanan pada pergerakan manusia pada suatu perioda tertentu). ( Haryadi & B.Setiawan ; Arsitektur Lingkungan dan Perilaku .Gajah Mada Press .1996) Penyelidikan perilaku dalam hubungannya dalam setting fisik dilakukan untuk mendefinisikan perbedaan antar komponen lainnya dalam suatu lingkungan tertentu. Berdasar peta perilaku diketahui proses lingkungan dari sudut pengamat. Lalu ini dilanjutkan dengan mulai mengembangkan metodologi yang merangkum berbagai peserta dalam berbagai tingkatan. Misalnya pemakai diminta untuk menceritakan setting dimana berbagai aktifitas terjadi, apa yang mereka suka dan tidak suka terhadap setting fisik, perubahan apa yang mereka mau di ruang tersebut. Dan berbagai isu yang relevan. Obyektif pemakai tidak mudah memahami lingkungan setting untuk melacak perubahan yang terjadi di lingkungan tersebut. Tentu saja kita menemukan jawaban yang sama dari tiap pemakai tentang tanggapannya terhadap ruang dan ini sangat berbeda dengan peta perilaku yang dibuat secara sistematik.Perbedaan antar pernyataan itu juga merupakan bukti yang cukup unik. Mereka tidak begitu peduli dengan struktur setting secara detail, apalagi berniat untuk merubahnya. Lingkungan fisik sekeliling terlihat “netral” dan timbulnya kepedulian karena adanya kesulitan dalam memasukinya. Orang sering lupa terhadap lingkungan sekitar jika kondisinya tenang, sunyi dan senyap. Kondisi itu hanya terjadi jika suhu, suara, sinar, ruang dan warna serta desain dan aspek structural menyimpang dari suatu tingkat untuk beradaptasi yang membuat lingkungan atau beberapa aspeknya menjadi mengganggu . Dilihat dari titik pandang peserta dalam proses lingkungan, tipikal sekelilingnya berupa sesuatu yang ‘netral’. Mereka perlu diwaspadai jika mereka menyimpang dari beberapa tingkat ( cara ) beradaptasi. Akan tetapi salah bila mengasumsikan bahwa ada pengecualian dalam generalisasi ini ketika individu berada dengan setting yang baru. Meskipun setting baru optimal dalam pemenuhannya (terhadap perilaku) termasuk suhu, lampu, tata suara, ruang dan warna agar mereka mau pindah dan menggunakannya, namun ketidak pedulian person terhadap suatu setting tetap tinggi. Kasus ini merefleksikan adanya simpangan dalam beradaptasi. Dalam lingkungan yang belum dikenal ketidakpedulian peserta timbul dalam kenyataan bahwa ia belajar dulu tentang struktur setting dan bagaimana menggunakannya. Adaptasinya belum terlalu mapan. Bagaimanapun tidak pedulinya pemakai, perilakunya sepanjang waktu tetap dipengaruhi oleh setting lingkungannya. Ketidak peduliannya tidak diartikan dia tidak bergerak di dalamnya, 2002 digitized by USU digital library 12 dan dalam kenyataannya ini ditentukan oleh pertentangan/beda antara kepedulian terhadap sekeliling dalam hubungannya dengan lingkungan kita. Hal ini juga mencakup pendapat yang lain tentang hubungan antar variable yang dapat diformulasikan dalam kaidah yang lebih spesifik untuk menguji social setting secara tersendiri. Asumsi lain menganjurkan untuk menanyakan bagaimana hubungan antara kesukaran beradaptasi dalam setting fisik dan ketidak pedulian terhadap setting tersebut yang dipengaruhi oleh sifat alami setting. Apakah tingkat kesulitan untuk peduli terhadap setting mulai berkurang ?. Konsep “Adaptasi lingkungan” dalam hubungannya dengan ketidak pedulian masih sebagai jalan lain untuk memahami masalah tersebut. II.6. Beberapa Kaidah Perancangan Setting Fisik Latar belakangnya adalah dalam upaya menanggapi secara langsung adanya suatu permintaan agar para psikolog melakukan riset yang memungkinkan adanya dasar/konsep perancangan fasilitas bagi pasien rumah sakit jiwa dengan atmosfer terapi dan berpengaruh terhadap interaksi sosial yang dapat memfasilitasi perawatan mental pasien secara institusional .Untuk itu maka dibuatlah suatu riset perilaku lengkap dengan pemetaan perilaku untuk menjawab pertanyaan tersebut dan berharap dapat terjawab oleh riset yang sistematik yang didasarkan pada berbagai asumsi yang terkait dengan kaidah ilmu psikologi lingkungan . Riset dilakukan dengan asumsi bahwa psikolog dan ahli sosial lainnya juga harus siap untuk memahami aturan lingkungan fisik yang menjembatani kerumitan interaksi sosial. Yang lebih penting adalah perlunya berperasangka baik terhadap eksistensi adanya suatu pengetahuan yang berprinsip untuk menangani perawatan penyakit mental yang memungkinkan adanya pendapat/proposisi tentang atmosfer yang bebas dan adanya interaksi sosial yang terpengaruh oleh setting rumah sakit dalam tujuan untuk memaksimalkan efek terapi perawatan. Karena beberapa pengetahuan dasar ini belum ada. Maka tidak ada pilihan selain hanya menunda pertanyaan tentang bagaimana merencanakan desain fasilitas terapi psikiatrik yang efektif. Mungkin masalah besar yang menghadang – tentu saja ini selanjutnya menenggelamkan periset dalam lahan ilmu perilaku – adalah ketidak adaan suatu konsep definisi dari lingkungan. Untuk mendapat efek perubahan perilaku yang terbentuk oleh setting fisik menghendaki adanya suatu teori atau definisi tentang lingkungan yang baku. Dalam tingkatan hubungan manusia yang diberi setting sosial untuk dipakai dalam berbagai penggunaan, maka tanggapan individu tidak untuk mencampurkan proksimal dan sinar distal serta gelombang suara, bentuk dan struktur, obyek dan ruang, tapi untuk berhubungan dengan person yang lain termasuk dalam aktifitas, ruang dan untuk penggunaan khusus. Setting fisik – secara tunggal atau komplek – memungkinkan tanggapan manusia yang beragam dalam bentuk perasaan, sikap, norma, pengharapan, dan keinginan dan itu sebaik suasana dalam perilaku fisikal yang mereka ketahui dan ini berarti bahwa hubungan mereka terhadap pengalaman manusia dan perilaku harus dapat difahami. Perancangan setting fisik secara rasional untuk tujuan khusus dan kelompok sebelum setting fisik terbangun harus diuji – coba dengan penggunaan yang nyata atas setting tersebut seperti layaknya sudah terbangun dan dioperasikan . Tanpa uji – coba tidaklah mungkin untuk mengakumulasikan pengetahuan yang dapat mempengaruhi perilaku manusia untuk tujuan pembuatan organisasi ruang. 2002 digitized by USU digital library 13 Ini berlawanan dengan yang terjadi di lapangan bahwa dalam studi yang sistematik untuk mengevaluasi efektifitas setting fisik setelah bangunan dioperasikan ternyata jarang dilakukan . Dalam menganalisa perilaku akan lebih baik bila dapat merekam secara detail yang akan memudahkan kita untuk dapat menemukan kesamaan dan perubahan dalam hubungan perilaku dengan setting fisiknya. Untuk tujuan analisa dan riset adalah mungkin untuk mencari substansi dari lingkungan keseluruhan secara sosial, fisikal, bahkan secara pribadi/personal atau lingkungan psikologisnya. Setting fisik tidaklah merupakan ruang yang sederhana sebagai ruangan fisik semata. Setting itu demikian terencananya dan sudah diangankan dapat melayani obyek yang berada di dalamnya. Untuk setiap yang menggunakannya apakah itu individu, orang-orang lain, perilakunya dalam kontek social menunjukkan guna/fungsi dari ruangan itu dan bagaimana cara menggunakannya dan apa yang tak mungkin dapat dilakukan disitu. Dalam beberapa kenyataan asumsi harus dinyatakan dengan terbuka, dengan sistem yang dinamis, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu yang secara menerus berlanjut dan berubah. Lingkungan keseluruhan adalah proses total dimana semua komponen terlibat dan ditandai dengan kelangsungan dan perubahan hubungan antar komponen tersebut. Kesimpulan Beberapa asumsi dapat membuat jelas mengenai beberapa pendekatan, paling tidak terhadap kedudukan tentang pengetahuan psikologi lingkungan dalam hubungannya dengan ruang. Yang lainnya adalah membawa kita kembali pada suatu pendapat bahwa proses lingkungan total dapat dan harus dipelajari dari berbagai sudut pandang dan beragam tingkatan analisa. Ini berati hanya dengan pendekatan keilmuan multi disiplin akan bisa didapatkan teori yang berkembang dalam ilmu psikologi lingkungan (sebagai suatu pengetahuan yang sangat bermanfaat). Beberapa kaidah perancangan setting fisik memberikan batasan dan wawasan betapa pentingnya pemahaman tentang hubungan lingkungan dan perilaku secara timbal balik sehingga apapun perancangan yang dibuat untuk suatu masa tertentu tidak menimbulkan efek yang ternyata merugikan ataupun timbul secara tidak terencana (apalagi terantisipasi). Manusia sebagai subyek perilaku menjadi perspektif yang diutamakan . Penggunaan riset tentang perilaku dalam perancangan demikian beraneka konteks namun perilaku perlu diposisikan sebagai hal yang patut dan harus diperhatikan dalam setiap langkah perancangan built environment. 2002 digitized by USU digital library 14 Daftar Pustaka Altman.I.;The Environment and Social Behaviour, The MIT Press. England. 1975 Barker,R.G. The Stream of Behaviour. New York;Appleton-Century-Crofts. 1963 Crowe ,Norman ; Nature and The Idea of Man-Made World .The MIT Press. Cambridge.England 1995 Gary T.Moore ; Pengkajian Lingkungan dan Perilaku dalam ‘Introduction To Architecture’.Mc Graw Hill Inc. 1997 Haryadi & B.Setiawan ; Arsitektur Lingkungan dan Perilaku .Gajah Mada Press .1996 Koffka,K. Principles of Gestalt Psychology. New York. Hancourt, Barce. 1935 Klasen,Winand; Architecture and Philosophy. University of San Carlos Cebu City,Phillipines.1980 Krech.D & Crutchfield,R.S. Theory and Problems of Social Psychology. New York ;Mc.Graw-Hill. 1936 Lang.Jon ; Creating Architectural Theory , The role of the behavioral sciences in environmental design. Van Nostrand Reinhold. England. USA.1987 Lewin, K. Principles of Topological and Vectors Psychology. New York; Mc.Graw-Hill. 1936 Murphy,G. Personality. New York; Harper. 1947 Murray,H. Exploration in Personality. New York;Oxford University Press. 1938 Materi kuliah ‘Pengantar Arsitektur dan Perilaku’ oleh Ir.Sri Amiranti.MS. 2000) 2002 digitized by USU digital library 15