BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Di Provinsi Aceh

advertisement
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Di Provinsi Aceh tepatnya di kota Banda Aceh, konsep ruang publik sebagai
ruang demokrasi, sebagaimana yang disinyalir oleh Habermas sebagai ruang publik
yang dapat memediasi antara kepentingan publik dengan pemerintah (penguasa)
sebenarnya telah ada, bahkan sejak berlangsungnya kerajaan Islam. Ruang publik itu
ialah warung kopi yang dalam bahasa lokal Aceh dikenal dengan keudee kupi. Ruang
itu menjadi tempat yang secara fisik sangat nyaman untuk mengundang kehadiran
orang – orang1. Warung kopi menjadi arena wajib bagi masyarakat untuk berbincang
mengenai apa saja, mulai dari topik berat hingga gosip di masyarakat.
Dalam kehidupan sosial, beberapa ruang yang menjadi milik publik juga
tumbuh ditengah masyarakat Aceh. Akan tetapi, ruang tersebut telah terorganisir
secara formal mengikuti sistem birokrasi negara. Substansi yang diperbincangkan
dalam ruang tersebut senantiasa berkaitan dengan rutinitas kegiatan yang disepakati
sebagai tujuan dari organisasi. Beberapa organisasi tersebut adalah organisasi
keagamaan (kelompok pengajian) dan organisasi sosial (kegiatan PKK, Koperasi,
Kelompok Dagang). Ekslusivitas tercermin dari ruang tersebut karena dikategorikan
berdasarkan latar belakang masyarakat yang terlibat di dalamnya. Ruang ini sangat
berbeda dengan keudee kupi karena mereka yang hadir di keudee kupi sepertinya tidak
memiliki tujuan spesifik yang menjadi alasan kenapa mereka berkumpul di satu
tempat tersebut.
Provinsi Aceh memiliki tingkat keberadaan keudee kupi cukup tinggi. Di
provinsi ini, minum kopi merupakan budaya, karena kopi diminum setiap saat, tempat
dan pada banyak acara adat (seperti coffee break, kendurian, pernikahan, kegiatan adat
dan lain sebagainya) oleh masyarakat pedesaan dan perkotaan. Kebiasaan minum kopi
pada masyarakat kota Banda Aceh sudah menjadi perilaku yang tidak dapat
ditinggalkan, karena faktanya banyak keudee kupi yang buka sejak subuh hingga
tengah malam dan selalu ramai dikunjungi pengunjung. Tak heran dengan jumlah
1
Warung kopi menjadi nyaman karena dilengkapi dengan fasilitas wi-fi, televisi, musik, makanan ringan,
minuman khususnya kopi serta fasilitas nonton bareng siaran bola.
1
keudee kupi yang tersebar di seantero Provinsi Aceh terkhusus Banda Aceh sehingga
menjadikan kota ini terkenal sebagai negeri seribu warung kopi2.
Para pengunjung setia keudee kupi di Banda Aceh berasal dari latar belakang
profesi dan status sosial yang beragam. Mereka biasa datang setiap hari, bahkan dalam
satu hari mereka bisa mendatangi keudee kupi hingga tiga kali, yakni pagi hari
sebelum berangkat kerja, siang hari ketika waktu istirahat makan siang, dan sore atau
malam hari sepulang dari bekerja. Yang menarik dari keudee kupi di Banda Aceh
adalah keudee kupi menjadi ruang publik bagi masyarakat, dimana masyarakat setiap
harinya menghabiskan waktu disana. Disana orang bisa melakukan transaksi bisnis,
transaksi politik, interaksi sosial, nongkrong, ngenet hingga menonton bola. Bahkan
seminar pun bisa dilakukan di keudee kupi ketika itu berada di Aceh. Disanalah proses
berwacana berlangsung terus – menerus. Topik pembicaraan yang diangkat beraneka
ragam.
Keudee kupi menjadi tempat bagi masyarakat Aceh untuk berkumpul,
membicarakan segala hal yang menyangkut kepentingan masyarakat luas serta
kepentingan individu warganya. Tak hanya itu, beberapa keudee kupi menyediakan
acara talkshow untuk merangkum pemikiran – pemikiran masyarakat dalam merespon
peristiwa yang terjadi di keseharian mereka. Bahkan Kepolisian Aceh sengaja
membuat kegiatan “Saweu Keudee kupi” atau “Geh Ku Keudee kupi” untuk menjaring
aspirasi warga Aceh dalam menunjang kinerja kepolisian. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) juga menggagas ide obrolan di keudee kupi yaitu “Warung Kopi Anti
Korupsi” sebagai media pembelajaran, sosialisasi serta transfer ilmu bagi masyarakat
Aceh mengenai pendidikan korupsi sejak dini.
Keudee kupi yang saat ini marak bermunculan dan terus berkembang di Aceh
adalah keudee kupi yang menyediakan fasilitas internet (Wi-Fi), live music accoustic
hingga ruang karaoke dan fasilitas nonton bareng sepak bola. Keudee kupi ini banyak
diminati pengunjung usia pelajar dan mahasiswa. Pengunjung keudee kupi ini dengan
bermodalkan laptop dan secangkir kopi bisa leluasa memanfaatkan fasilitas yang ada.
Selain itu, masih dijumpai keudee kupi yang tetap mempertahankan konsep tradisional
dengan hanya berisikan meja panjang dan kursi yang memberikan keleluasaan
berdiskusi antar sesama pengunjung yang datang. Keudee kupi Solong (Jasa Ayah)
2
Andreas Maryoto dan Mahdi Muhammad, 2011, Aceh, Negeri Seribu Warung Kopi,
http://travel.kompas.com/read/2011/03/01/08512866/Aceh.Negeri.Seribu.Warung.Kopi diakses pada 12
November 2013.
2
salah satu keudee kupi yang tetap memegang konsep ini. Keudee kupi tradisional
(tanpa Wi-Fi) adalah keudee kupi konsep asli yang banyak ditemui sebelum tsunami
Aceh terjadi dan semakin menyusut jumlahnya saat ini.
Perbincangan yang terjadi di keudee kupi berlangsung natural. Semua
pengunjung bebas berkomentar mengenai hal apapun terutama mengenai isu politik
yang sering menjadi bahan perbincangan antarpengunjung keudee kupi yang
didominasi oleh kaum lelaki. Kondisi politik Aceh yang terus menggeliat pasca MoU
memberikan ruang bagi masyarakat untuk berbicara di muka umum. Belum lagi
kondisi sosial masyarakat Aceh yang mengalami pasang surut setelah tsunami tahun
2004. Nuansa politik yang terus hangat di Aceh menjadikan pembicaraan politik di
kalangan masyarakat hal lumrah yang bisa ditemui dimana saja. Keudee kupi
memfasilitasi perbincangan masyarakat Aceh.
Hasil prapenelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai aktivitas
pengunjung keudee kupi beberapa waktu lalu menyatakan bahwa para informan
mengakui setiap harinya menghabiskan waktu di keudee kupi. Kegiatan yang
dilakukan beragam. Ada yang menjawab berdiskusi mengenai isu politik yang tengah
hangat diperbincangkan. Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa keudee kupi
menjadi tempat bertemu untuk melakukan lobi bisnis, serta tak jarang membahas
masalah ekonomi daerah. Informan yang berstatus sebagai mahasiswa menerangkan
bahwa aktivitasnya di keudee kupi tak jauh dari menyelesaikan tugas kampus dan
menjadi tempat nongkrong sambil mengakses internet 3.
Isu politik dan konflik yang terjadi di Aceh menjadi hal yang biasa ditemui.
Sejumlah penelitian mengenai konflik di Aceh termasuk yang dilakukan oleh The
World Bank dengan akuratnya melaporkan hasil pemantauan kekerasan pascakonflik
di Aceh. Misalkan saja, dari bulan Januari hingga Desember 2006 dimana isu
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) perdana mulai menggema, hanya tiga saja insiden
konflik antara GAM dan RI yang terjadi pada periode tersebut. Bulan Januari hingga
Agustus, konflik di tingkat lokal tetap tinggi dan mulai menurun pada September
hingga Oktober kemudian melonjak tajam pada bulan November hingga Desember
dengan disertai beberapa insiden berdimensi kekerasan yang bersifat fluktuatif dimana
3
Wawancara prapenelitian dengan informan pengunjung warung kopi di Banda Aceh dilakukan via telepon dan
messenger chat dengan sebelumnya melakukan pencarian informasi kesediaan melalui akun portal @iloveaceh
di sosial mediaTwitter pada tanggal 12 Oktober 2013.
3
diantaranya melibatkan mantan GAM (The World Bank, LPK Aceh Januari –
Desember 2006).
Konflik yang terjadi pascadamai merupakan upaya tranformasi politik dimana
ke depan menuntut Aceh yang lebih demokratis. Adanya MoU Helsinki lebih
merupakan upaya transformasi politik yang kemudian salah satunya dibuktikan
dengan penekanan pada terintegrasinya GAM ke dalam masyarakat sipil, kebebasan
partisipasi politik, adanya calon independen dan isyarat akan adanya partai politik
lokal. Saat ini Aceh memiliki tiga partai lokal yakni Partai Aceh (PA), Partai Nasional
Aceh (PNA), dan Partai Damai Aceh (PDA) yang bersiap bertarung pada Pemilu
Legislatif April 2014.
Suasana politik yang terus memanas di Aceh menimbulkan berbagai isu yang
berkembang di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari mulai munculnya beberapa
tindak kekerasan berlatar belakang pilihan politik atau partai akhir – akhir ini.
Keadaan semakin kompleks ketika tindak kekerasan sengaja dilabeli kepentingan
politik tertentu. Persaingan dua partai lokal Aceh yakni Partai Aceh (PA) dan Partai
Nasional Aceh (PNA) 4 terus berlangsung terutama dalam suasana prapemilihan
legislatif April mendatang mengisyaratkan tranformasi politik dan kepentingan di
kedua belah pihak yang bertikai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tindakan
kekerasan berlatar politik kekuasaan terjadi di Aceh. Hal serupa juga terjadi pada
Pemilukada 2012 yang lalu dimana memakan korban jiwa bahkan dari rakyat sipil.
Situasi politik ini menimbulkan bermacam
opini di masyarakat Aceh.
Perbincangan hadir untuk menjawab keresahan masyarakat atas suasana politik yang
terus memanas.
Adanya
keudee
kupi
yang
mewadahi
masyarakat
dalam
menyampaikan pendapat mengenai kondisi keseharian masyarakat menjadikan keudee
kupi sebagai pilihan yang tepat untuk berbincang. Sebagai contoh, tema perbincangan
mengenai pengukuhan dan pelantikan Wali Nanggroe5 sempat menjadi perbincangan
4
PA dan PNA merupakan partai lokal yang didirikan oleh mantan kombatan GAM. PA didirikan pada tanggal
22 April 2008 dengan Muzakkir Manaf sebagai ketua umum. PNA didirikan pada tanggal 4 Desember 2010
dengan ketua umum Irwandi Yusuf yang merupakan mantan Panglima GAM, mantan anggota Partai Aceh dan
juga merupakan Gubernur Aceh periode 2007-2012.
5
Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen,
berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat
istiadat, bahasa dan pemberian gelar gelar dan derajat atau upacara-upacara adat lainnya. Secara harfiah dapat
kita pahami bahwa lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat. Lembaga ini dipimpin oleh Wali
Nanggroe, sosok yang pandai dalam agama dan mengerti permasalahan yang dialami masyarakat Aceh (
Maruah Raja, 2013, Malek Mahmud: Wali Nanggroe atau Vampire Penghisap Darah,
http://maruahraja.blogspot.com/2013/10/malek-mahmud-wali-nanggroe-atau-vampire.html?m=0diakses pada 31
Desember 2013.
4
yang hangat di keudee kupi. Beberapa informan prapenelitian menyatakan awalnya ia
merasa Wali Nanggroe memang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh, namun ketika
melihat begitu besar dana yang akan dikeluarkan untuk pengangkatan Wali Nanggroe,
pikiran itu pun sontak berubah. Tergantikan dengan pemikiran baru sebagai hasil
pembicaraan di keudee kupi. Munculnya perubahan pola pikir ini menunjukkan
adanya tindakan komunikasi bertujuan yang digunakan untuk pemikiran pribadi si
pengunjung.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah isu – isu
politik diwacanakan dalam komunikasi antarpengunjung keudee kupi di ruang publik
sepanjang Maret 2014?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui isu – isu politik
diwacanakan dalam komunikasi antarpengunjung keudee kupi di ruang publik
sepanjang Maret 2014.
D.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a.
Memberikan kontribusi terhadap berkembangnya ilmu – ilmu sosial, khususnya
ilmu komunikasi yang berbasis pada pengembangan penelitian fenomenologi
dalam perspektif studi kasus.
2. Manfaat Praktis
a.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah daerah
dan masyarakat luas agar dapat memahami bagaimana isu – isu politik yang
berada di kehidupan sehari – hari masyarakat diwacanakan melalui komunikasi
antarpengunjung di keudee kupi.
E.
Objek Penelitian
Objek penelitian pada penelitian ini adalah perbincangan antarpengunjung
keudee kupi mengenai isu politik yang terjadi di Banda Aceh. Keudee kupi yang
dipilih sebagai lokasi penelitian adalah keudee kupi tradisional dan keudee kupi
modern dengan jumlah pengunjung yang ramai dan keaktifan pengunjung berbicara di
5
keudee kupi. Keudee kupi yang mewakili tipe tradisional adalah keudee kupi Solong
dan keudee kupi yang mewakili keudee kupi modern yaitu Cut Nun. Waktu penelitian
yang dilakukan yakni sepanjang Maret 2014.
F.
Kerangka Pemikiran
1. Isu Politik di Ruang Publik
Politik menurut Aristoteles dalam pandangan klasik adalah sebagai suatu
asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal
yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat (Surbakti, 1992).
Filosof ini membedakan urusan – urusan yang menyangkut kebaikan bersama
(kepentingan publik) dengan urusan – urusan yang menyangkut kepentingan individu
atau kelompok masyarakat (swasta). Bagi Aristoteles, urusan – urusan yang
menyangkut kebaikan bersama memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada urusan
– urusan yang menyangkut kepentingan swasta.
Namun, politik juga berarti sebagai interaksi antara pemerintah dan
masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang
mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu (Surbakti, 1992). Dalam dunia politik, interaksi antara masyarakat dengan elit
politik seperti pemerintah dan partai politik menjadi hal yang lumrah terjadi. Interaksi
tersebut dinamakan interaksi politik. Interaksi antara pemerintah dan masyarakat,
diantara lembaga – lembaga pemerintah dan diantara kelompok dan individu dalam
masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan
politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Ada pihak yang memerintah, ada
pula yang menaati pemerintah,di satu pihak mempengaruhi dan di pihak yang lain
menentang.
Hasilnya adalah sebuah kompromi dimana ada pihak yang menjanjikan serta
ada pihak yang kecewa. Juga adanya tawar – menawar dan perundingan, serta adanya
pihak yang memaksakan putusan ketika berhadapan dengan pihak lain yang dianggap
mewakili kepentingan rakyat yang berusaha membebaskan, serta yang satu berusaha
menutupi kenyataan yang sebenarnya. Tak hanya itu, ada juga pihak yang
mengajukan tuntutan, memperjuangkan kepentingan, mencemaskan apa yang akan
terjadi dan itu semua adalah perilaku politik (Surbakti, 1992).
Dalam perkembangan politik di Indonesia, media telah memainkan peranan
yang sangat penting. Dengan konstruksi yang dilakukan oleh media, isu – isu yang
6
ada di masyarakat akan membentuk opini yang terarah sehingga mampu
mempengaruhi kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari intensitas komunikasi yang tinggi
dapat mengubah kata – kata menjadi fakta dan imajinasi seakan – akan nyata.
Paradigma masyarakat seolah dibius oleh pemberitaan yang dilakukan media massa.
Perkembangan politik berbalik arah menjadi lebih demokratis.
Wacana politik yang kian hangat dibicarakan tak lepas dari kekuasaan.
Kekuasaan menurut Duverger (2007: XI) adalah seluruh jaringan lembaga – lembaga
(institusi) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal ini suasana dominasi
beberapa orang atas orang lain. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung
otoritas mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun
komunitas – komunitas yang lebih kecil. Terdapat dua corak pengaruh yang
ditimbulkan oleh kekuasaan. Pertama, bilamana orang melihat politik pada dasarnya
sebagai arena pertarungan. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka yang
berhasil merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan
kekuasaannya di dalam masyarakat.
Kedua, bilamana orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk
menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan dilihat sebagai pelindung
kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai
kelompok kepentingan. Disini kekuasaan memainkan peran integratif, memihak, dan
melindungi kepentingan bersama golongan atau kelompok. Kedua dimensi kekuasaan
itu selalu muncul dalam kehidupan politik. Kekuasaan bisa mendorong orang untuk
berkonflik, tetapi pada waktu yang sama juga bisa merangsang kerja sama atau
integrasi. Pada essensinya, politik atau kekuasaan akan selalu bersifat kontradiktif dan
ambivalen (Duverger, 2007: XII-XIII).
Untuk membangun kekuasaan tersebut, terdapat dua aktivitas kelompok yakni
aktivitas kelompok kecil dan aktivitas kelompok besar. Dalam kelompok kecil, semua
anggota tahu satu sama lain secara pribadi. Hubungannya demikian interpersonal dari
orang ke orang. Dalam kelompok besar, pengenalan secara personal pada pihak lain
tidak akan terjadi. Berkaitan dengan kehidupan politik, dalam kelompok kecil
perjuangan politik hakikatnya bersifat personal, menyerupai pengelompokan politik
dalam komunitas besar. Akan tetapi, kelompok kecil tidak mempunyai organisasi
politik yang formal hanya aliansi antara individu – individu dan kesamaan pribadi.
Sebaliknya, kelompok besar menawarkan masalah – masalah khusus yang semakin
akut di dalam masyarakat modern seperti birokratisasi dan desentralisasi. Lingkup
7
wilayah yang luas serta cakupan anggota dalam jumlah besar serta pertarungan politik
yang riil dalam lingkaran mesin – mesin politik, termasuk pemerintah dan kelompok
elit media menjadikan kekuasaan seringkali berimbas terhadap pendapat publik
(Duverger, 2007: 52-56).
Peranan media dalam membangun isu publik pun turut andil dalam
perbincangan di ruang publik. Dalam masa transisi demokrasi, kekuatan civil society
sangat penting dalam mendukung demokrasi. Isu – isu yang akan mengisi ruang
publik perlu dicerna lebih mendalam. Isu politik yang marak hadir di ruang publik
seringkali dibentuk oleh dominasi elit pemerintahan dan juga media. Dalam era
reformasi yang ditandai dengan kebebasan, termasuk dalam hal aksesibilitas
informasi, para aktor yang bertarung dalam ruang publik menjadi semakin beragam.
Perluasan ini terutama didukung oleh semakin beragamnya media massa yang tersedia
di mana media massa berperan sebagai media penyelenggara hak publik untuk
memperoleh informasi atau forum pertarungan wacana seputar kebijakan yang
menyangkut kepentingan umum.
Pemberitaan media massa tersebut kemudian menjadi angin segar bagi
lahirnya pembicaraan hangat masyarakat awam melalui ruang milik masyarakat, yang
dikenal dengan ruang publik. Seringkali isu – isu yang dikonstruksi oleh media massa
menjadi isu yang juga disepakati oleh masyarakat secara luas, meskipun ada pihak –
pihak yang tidak menyetujui dan menentang isu yang berkembang.Isu politik adalah
isu yang seringkali menjadi pilihan pembicaraan oleh masyarakat ketika berkumpul di
ruang publik.
Di Aceh, situasi politik terus memanas. Mulai dari konflik TNI – GAM hingga
pasca Mou Helsinki, politik di Aceh terus menggeliat. Media cetak lokal telah
menjadi faktor pendorong di tingkat lokal terhadap konstruksi pemberitaan lokal. Isu
politik menjadi isu yang selalu hangat di keudee kupi yang di klaim sebagai ruang
publik masyarakat Aceh. Berita lokal menjadi lebih menarik karena sifatnya dekat dan
sangat menyentuh dalam tataran masyarakat karena mengangkat isu – isu lokal.
Pergolakan politik di Aceh yang saat ini didominasi tiga partai lokal juga terus
memberikan warna perpolitikan Aceh. Belum lagi dengan kondisi sosial pascatsunami
yang terus berbenah dan kondisi politik yang kian bergairah menambah peluang isu
politik selalu diwacanakan oleh masyarakat.
Wacana politik selalu dilihat dalam konteks ancaman dan agresi. Tidak
berjalannya wacana politik deliberatif atau tanggung rasa antara masyarakat dan
8
negara dan juga antarmasyarakat menyebabkan banyak kemacetan fungsi pengetahuan
sosial dalam praktik (Fasya, 2005: 144). Akibatnya, masyarakat menjadi tidak toleran
terhadap perbedaan terutama pada masalah agama dan budaya lokal. Perkembangan
kekuasaan distributif dalam seluruh “organisme hidup” ini adalah lahirnya masyarakat
yang cenderung mengutamakan norma dan hukum yang didukung oleh kekuasaan
yang sah. Di Aceh tahun 2000-an, masyarakat bisa sangat berbusa – busa berbicara
tentang masalah jilbab dan perempuan namun bungkam terhadap masalah korupsi dan
militerisme, karena yang pertama mendapatkan ruang untuk melakukan politik tuturan
(politics of enunciation) sedangkan yang kedua dianggap larangan (Fasya, 2005: 145).
Pasca tsunami, Aceh mulai berbenah. Menjamurnya keudee kupi dan
pembicaraan hangat tanpa batasan di keudee kupi mulai memberikan angin sejuk bagi
msyarakat Aceh untuk berwacana mengangkat isu politik yang terus hangat disekitar
mereka. Label daerah Syariat Islam, Undang – Undang Pemerintah Aceh (Qanun),
lahir dan berkembangnya partai lokal yang mendominasi kepemimpinan di Aceh
menjadi isu yang terus hangat diperbincangkan masyarakat. Menggeliatnya
perpolitikan di Aceh menjadikan isu – isu politik terus hadir menemani masyarakat
menikmati secangkir kopi tanpa adanya ketakutan berbicara menyampaikan pendapat.
Dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik terjadi konflik,
konsensus dan perubahan. Dalam sebuah proses politik, adanya konflik menunjukkan
bahwa sebuah proses politik berjalan pada lintasan yang benar. Berbagai kelompok
individu ataupun kelompok masyarakat dengan menggunakan sarana kekuasaan yang
dimiliki berupaya keras memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya kepada
pemerintah sehingga menjadi bagian dari keputusan politik. Aspirasi dan kepentingan
setiap kelompok individu atau masyarakat tidak selalu sama karena terdapat
perbedaan kepentingan di dalamnya.
Aspirasi yang disampaikan oleh kelompok individu atau masyarakat
merupakan bentuk partisipasi dalam dunia demokrasi. Masyarakat berhak untuk ikut
serta dalam menentukan isi keputusan politik. Keputusan politik menyangkut dan
mempengaruhi kehidupan masyarakat sehingga masyarakat berhak untuk terlibat di
dalamnya. Bentuk diskusi di ruang publik, berusaha membicarakan hal – hal
mengenai kepetingan bersama merupakan bentuk partisipasi politik yang dilakukan
masyarakat. Membicarakan mengenai kondisi politik di suatu daerah yang erat
kaitannya dengan kebijakan pemerintah juga merupakan bentuk partisipasi politik
masyarakat.
9
2. Wacana dan Pendekatan Komunikatif
a) Pengertian Wacana
Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia
sehingga dalam kenyataannya bahasa menjadi aspek penting dalam melakukan
sosialisasi atau berinteraksi sosial. Dengan bahasa manusia dapat menyampaikan
berbagai berita, pikiran, pengalaman, gagasan, pendapat, perasaan, keinginan, dan
lain – lain kepada orang lain. Berdasarkan hierarkinya, wacana merupakan tataran
bahasa yang terbesar, tertinggi, dan terlengkap. Wacana dikatakan terlengkap
karena wacana mencakup tataran di bawahnya, yakni foologi, morfologi,
sintaksis, semantik, dan ditunjang oleh unsur lainnya, yaitu situasi pemakaian
dalam masyarakat.
Istilah wacana dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa,
psikologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Dalam pembelajaran,
wacana merupakan disiplin ilmu baru. Wacana menurut Firth (Syamsudin,
1992:2) adalah language was only meaningful in its context of situation. Jadi,
pembahasan wacana adalah pembahasan bahasa dan tuturan yang harus dalam
satu rangkaian kesatuan situasi atau dengan akata lain, makna suatu bahasa
berada dalam rangkaian konteks dan situasi.
Wacana dikatakan sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang
peristiwa komunikasi. Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan dan bahasa
tulisan. Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah
pembaca. Dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis, sedangkan pesapa adalah
pembaca. Tarigan mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap
dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan
kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mampu mempunyai awal dan akhir
yang nyata, disampaikan secara lisau ataupun tertulis (Tarigan, 1987: 27).
Dari pendapat – pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
wacana
merupakan rangkaian ujar
atau rangkaian tindak tutur
yang
mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu
kesatuan koheren yang dibentuk oleh unsur – unsur segmental dalam sebuah
wacana yang paling besar. Alex Sobur (2009: 11) mengungkap bahwa wacana
adalah rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang
disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kestuan yang koheren, dibentuk
10
melalui unsur segmental dan non segmental bahasa. Jadi, wacana adalah proses
komunikasi menggunakan simbol – simbol yang berkaitan dengan interpretasi
dan peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas.
b) Ciri, Sifat, Wujud, dan Jenis Wacana
Berdasarkan pengertian wacana, beberapa identifikasi mengenai ciri
dan sifat wacana, antara lain sebagai berikut (Yoce Aliah Darma, 2009: 3-4) :
(1) Wacana dapat berupa rangkaian ujar secara lisan dan tulisan
atau rangkaian tindak tutur.
(2) Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek).
(3) Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, dan lengkap dengan
semua situasi pendukungnya.
(4) Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu.
(5) Dibentuk oleh unsur segmental dan non segmental bahasa.
Wujud merupakan rupa dan bentuk yang dapat diraba atau nyata. Jenis
adalah ciri yang khusus. Jadi, wujud wacana mempunyai rupa atau bentuk
wacana yang nyata dan dapat kita lihat strukturnya yang nyata. Sedangkan jenis
wacana mempunyai arti bahwa wacana itu memiliki sifat – sifat atau ciri – ciri
khas yang dapat dibedakan dari bentuk bahasa lain.
Pada dasarnya, wujud dan jenis wacana dapat ditinjau dari sudut
realitas, media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Dalam
kenyataannya wujud dari bentuk wacana itu dapat dilihat dalam beragam buah
karya si pembuat wacana, yaitu; Text (wacana dalam bentuk wujud tulisan /
grafis) antara lain dalam wujud berita, features,artikel, opini, cerpen, novel, dsb.
Talk (wacana dalam wujud ucapan), antara lain dalam wujud rekaman
wawancara, obrolan, pidato, dsb. Act (wacana dalam wujud tindakan) antara lain
dalam wujud lakon drama, tarian, film, defile, demonstrasi, dsb. Artifact (wacana
dalam wujud jejak) antara lain dalam wujud bangunan, lanskap, fashion, puing,
dsb. Dalam penelitian ini, kita akan melihat wacana dari wujud Talk, yakni dalam
bentuk obrolan antarpengunjung keudee kupi di Banda Aceh.
c) Konteks Wacana
Berbicara tentang wacana selalu berkaitan dengan konteks, seperti apa
yang dikatakan oleh Kridalaksana (2001) bahwa konteks merupakan ciri – ciri
alam di luar bahasa yang menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana
(lingkungan nonlinguistik dari wacana). Konteks wacana dibentuk dari berbagai
11
unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik,
peristiwa, amanat, kode, dan saluran (Fatimah, 1994). Unsur – unsur ini
berhubungan dengan unsur – unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi
bahasa, antara lain sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hymes (Yoce Alia
Darma, 2009:4):
a) Latar (setting)
Mengacu pada tempat (ruang / space) dan waktu (tempo / time)
terjadinya percakapan.
b) Peserta (participant)
Peserta mengacu pada peserta percakapan, yaitu oembicara
(penyapa) dan pendengar atau lawan bicara (pesapa).
c) Hasil (ends)
Hasil mengacu pada percakapan dan tujuan percakapan. Hasil
berkaitan dengan topik pembicaraan yang diangkat. Topik yang
menarik belum tentu hasilnya baik, karena tergantung dari
percakapan yang berlangsung saat itu.
d) Amanat (message)
Amanat mengacu pada bentuk dan isi amanat. Bentuk amanat
bisa berupa hasil pembicaraan, kesepakatan yang terbentuk dari
percakapan, pengumuman, dan sebagainya.
e) Cara (key)
Cara mengacu pada semangat melaksanakan percakapan,
misalnya bercakap – cakap dengan penuh semangat, santai, atau
tenang meyakinkan.
f) Sarana (instrument)
Sarana mengacu pada penggunaan bahasa baik lisan maupun
tulis dan mengacu pula pada variasi bahasa yang digunakan.
Penelitian ini akan melihat pembentukan wacana dari beberapa
kategori konteks yakni latar (setting), tema, dan peserta. Tema sebagai konteks
wacana akan membantu menentukan sifat kewacanaan. Tema - tema yang terjadi
di sekeliling masyarakat sering menjadi tema pembicaraan yang menarik oleh
peserta percakapan.
12
d) Wacana sebagai Media Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan, ide, atau gagasan
dari satu pihak ke pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara
keduanya. Pada umumnya komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata –
kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua pihak. Apabila tidak dilakukan
dengan bahasa verbal dapat dilakukan dengan bahasa nonverbal atau bahasa
isyarat,misalnya menggunakan gerak – gerik badan atau menunjukkan sifat
tertentu, seperti tersenyum, menggelengkan kepala, mengangguk, mengangkat
bahu, dan lain – lain.
Wacana terbentuk dari unsur segmental dan nonsegmental, namun
wacana tidak hanya menampilkan kelengkapan unsur pembentuknya, tetapi juga
menampilkan gambaran bagaimana masyarakat pemakai bahasa menggunakan
bahasa melalui rangkaian tuturan. Pendekatan komunikatif erat hubungannya
dengan hakikat bahasa dan pengajaran bahasa. Wacana yang dihasilkan dari
percakapan antar peserta diskusi merupakan hasil dari kesamaan pemahaman
mengenai makna dari bahasa yang digunakan serta berlakunya unsur – unsur
konteks pembentukan wacana. Percakapan yang terjadi antarpengunjung di
keudee kupi, yang di klaim sebagai ruang publik milik masyarakat sehingga
membentuk wacana di masyarakat adalah bagian dari kesepakatan bersama
sebagai hasil dari wacana yang berhasil di bangun oleh peserta diskusi.
3. Rasionalitas Komunikasi di dalam Ruang Publik
Ruang publik yang muncul di abad ke-18 dilihat sebagai penghubung
kepentingan masing – masing individu dalam keluarga dengan tuntutan dan
kepentingan kehidupan sosial dan publik yang muncul dalam konteks negara.
Ruang publik digambarkan mengandung pertentangan antara kepentingan borjuis
dan kepentingan masyarakat lainnya. Ruang publik dianggap mampu menjadi
sarana penghubung yang memediasi perbedaan – perbedaan hingga akhirnya
menemukan kepentingan umum yang mengarah kepada sebuah kesepakatan
bersama. Menurut Habermas, ruang publik tersebut adalah ruang – ruang penyedia
informasi dan perdebatan politis seperti surat kabar, klub sastra dan politik, café,
warung kopi / keudee kupi dan tempat – tempat publik lainnya yang menjadi
ruang bagi diskusi mengenai sosial politik.
13
Ruang publik pun menjadi alternatif bagi kelompok borjuis pada masa itu
untuk berdiskusi dan memahami hakikat kekuasaan yang ada. Kalangan inilah
yang disebut dengan publik dan merupakan masyarakat terpandang meskipun
tidak berasal dari keturunan bangsawan. Dengan pemikiran yang merupakan hasil
didikan borjuis, mereka menggagas terbentuknya sebuah ruang bagi masyarakat
yang bebas dari campur tangan politik dan memandang negara menjadi otoritas
terbatas. Idealnya, ruang publik mampu mengubah otoritas politis negara menjadi
otoritas rasional dalam ruang publik. Rasionalitas tersebut diukur dari seberapa
jauh kepentingan umum terwakili dan ruang publik mampu menjamin tercapainya
rasionalitas tersebut (Hari Juliawan, 2004 dalam Pinem, 2009: 15).
Jurgen Habermas dalam 12 Tokoh Etika Abad 20 karya Frans MagnisSuseno juga merumuskan pandangan mengenai rasionalitas komunikatif.
Rasionalitas komunikatif menurut Habermas merupakan sebuah tindakan
kesadaran yang dalam komunikasi menempatkan masing – masing partisan
komunikasi mampu mengkoordinasikan rencana tindakan mereka masing –
masing. Jika dikaitkan dengan G.H Mead tindakan ini disebut dengan “ideal roletalking” dimana masing – masing partisipan mengambil alih peran orang lain. Hal
ini berarti bahwa sang partisipan mengambil partisipasi dari orang lain dan
kemudian mereflesikannya di diri sang partisipan itu sendiri. Sebuah komunikasi
dikatakan rasional apabila saling pengertian tercapai sehingga mampu dikatakan
sebagai rasionalitas komunikatif (Suseno, 2000: 220).
Untuk mencapai sebuah rasionalitas komunikatif yang ideal sesuai dengan
konsep Habermas, maka kita membutuhkan kesamaan bahasa. Bahasa menurut
Habermas merupakan tempat dimana manusia senantiasa sudah tahu apa yang
dimaksud dengan rasionalitas dan kebebasan. Gagasan dasar Habermas adalah
bahwa kita hanya dapat mau berbicara karena kita sudah mengetahui arti sebuah
komunikasi yang tidak terdistorsi. Ketika kita telah terlibat dalam sebuah
pembicaraan, maka kita telah mengandaikan 4 hal penting seperti yang diungkap
Habermas (Suseno, 2000: 221) yaitu kejelasan (understandability), kebenaran
(truth), kejujuran (truthfulness), dan ketepatan (rightness). Apabila dalam
pembicaraan kita mengabaikan satu hal saja maka telah dapat dipastikan bahwa
komunikasi tidak akan berjalan.
Menurut
Habermas,
tindakan kunci
manusia adalah komunikasi
(Habermas, 2007). Semua tindakan yang dilakukan bergantung kepada
14
komunikasi. Tindakan strategis yang hadir dalam interaksi sosial yang memiliki
tujuan memanipulasi atau memanfaatkan orang lain pun juga membutuhkan
komunikasi. Dalam kehidupan sehari – hari pun, komunikasi sangat diperlukan
untuk mencapai kepentingan tertentu. Ketika komunikasi dipergunakan untuk
saling
berkoordinasi
dan
koordinasi
membutuhkan
komunikasi
verbal.
Perkembangan rasionalitas dalam kehidupan bersama mulai terbangun dalam
medium komunikasi. Karena itu komunikasi menjadi tempat pencarian
rasionalitas yang paling mendasar. Ketika rasionalitas telah berada pada titik
normatif, wacana hadir berdasarkan pengandaian konterfaktual yang artinya apa
yang diandaikan dalam kenyataan seringkali tidak tercapai. Oleh karena itu
diperlukan penciptaan situasi wacana ideal, dimana peserta dapat mengatakan
apapun yang ingin dikatakan, tanpa adanya tekanan, dan yang berlaku hanya bagi
yang memiliki kekuatan argumen yang baik (Suseno, 2005: 165).
Wacana kesepakatan bersama yang rasional hanya mungkin terjadi dalam
kondisi yang disebut Habermas sebagai situasi wicara yang ideal (the ideal speech
situation)(Hardiman, 2009: 47). Situasi dimana prasyarat – prasyarat ideal tidak
bisa ditawar lagi. Prasyarat ideal tersebut yakni harus memiliki karakteristik
inklusif, egaliter, terbuka, dan bebas dominasi. Pertama, inklusif: tidak seorang
pun yang dapat memberikan kontribusi yang relevan dapat dicegah untuk
berpartisipasi. Semua peserta atau partisipan memiliki kesempatan dan potensi
yang sama untuk memulai atau melanjutkan diskusi. Kedua, semua partisipan
mempunyai
kesempatan
yang
sama
untuk
membuat
klaim
–
klaim,
mempertanyakannya, mengklarifikasi, mempertahankan dan seterusnya. Ketiga,
sungguh benar semua partisipan harus saling menunjukkan sikap, perasaan dan
intensi mereka secara transparan. Keempat, ketiadaan pemaksaan eksternal dengan
dimungkinkan adanya suara „ya‟ maupun „tidak‟ untuk mengkritisi klaim – klaim
validitas.
Terdapat beberapa asumsi tersembunyi mengenai proses pembentukan
wacana (Hardiman, 2009: 48–49). Pertama, keikutsertaan di dalam sebuah
wacana hanya mungkin terjadi jika orang menggunakan bahasa dan logika yang
sama. Kedua, kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam wacana hanya bisa
terjadi ketika setiap peserta tidak memihak dan memandang peserta lainnya
sebagai sarana saja, melainkan memandang secara sejajar. Ketiga, aturan – aturan
15
sebagai imperatif dalam proses diskursif yang dipatuhi secara umum yang
mengamankan wacana dari tekanan dan diskriminasi.
Untuk memperjelas konsep tersebut, Habermas membedakan tindakan
komunikatif dengan tindakan strategis yang dibimbing oleh rasio instrumental
(Hardiman, 2009: 34-35). Tindakan strategis berorientasi pada keberhasilan,
misalnya keberhasilan mempengaruhi peserta atau partisipan lain. Karena itu
tindakan strategis juga bersifat rasional karena mengandaikan orang lain mengerti
mengenai ungkapan bahasa dan dapat menjelaskannya. Namun perbedaannya
dengan tindakan komunikatif adalah pada tindakan strategis bahasa tidak dipakai
sebagai medium pemahaman melainkan sebagai alat untuk memaksakan kehendak
dengan cara memanipulasi bahasa itu sendiri. Karena alasan tersebut maka
menurut Habermas, tindakan komunikatif lebih penting untuk menghasilkan
mekanisme koordinasi dan integrasi sosial sedikit kekerasan daripada tindakan
strategis. Dalam tindakan komunikatif, yang ada adalah rasa saling pengertian.
Rasa saling pengertian ini diperoleh karena kedua subyek yang berinteraksi
berusaha mengambil perspektif subyek lain yang berinteraksi dengannya (Suseno,
2004: 7).
Wacana mengenai kesepakatan bersama merupakan bentuk refleksi dari
tindakan komunikatif. Maksudnya adalah bahwa wacana merupakan kelanjutan
tindakan komunikatif dengan menggunakan sarana lain yakni sarana argumentatif.
Wacana juga menandai bentuk komunikasi modern dimana orang – orang tidak
begitu saja menerima sesuatu dengan pemahaman – pemahaman yang
berkembang lewat tradisi, melainkan pertama – tama dengan menguji hal tersebut
melalui pertimbangan rasional. Sehingga wacana jelas diartikan sebagai bentuk
komunikasi yang bersifat kritis dan terbuka.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan tiga dimensi rasionalitas
komunikatif yakni bahasa, inklusivitas dan egaliter. Dalam situasi di masyarakat
Aceh yang lebih menekankan pada peranan kaum lelaki, proses berwacana yang
terjadi di ruang publik masyarakat akan dilihat melalui tiga ranah ini di ruang
publik masyarakat. Dimensi bahasa menjadi penting karena melalui bahasa akan
terjadi kesamaan dalam memahami apa yang disampaikan dan diperbincangkan
oleh pelaku komunikasi. Dimensi inklusivitas akan membantu untuk melihat
bahwa semua yang hadir di ruang publik tersebut memiliki hak untuk berbicara,
menyampaikan opini yang dimilikinya terkait hal yang sedang dibicarakan.
16
Dimensi egaliter digunakan untuk melihat posisi pengunjung terkait dengan
kebebasan
dalam
mempermasalahkan
masalah
yang
dihadirkan
dalam
perbincangan di ruang publik tersebut. Peneliti memilih tiga dimensi ini
disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat Banda Aceh yang didominasi oleh
pengunjung laki – laki.
Rasionalitas komunikatif secara keseluruhan mengarahkan seluruh proses
menggunakan bahasa, ungkapan – ungkapan non verbal dan pengambilalihan
perspektif orang lain sedemikian rupa sehingga kita dan orang asing tersebut
akhirnya dapat mengerti satu sama lain, sehingga perbincangan yang kita lakukan
bisa mencapai kesepakatan bersama. Rasionalitas komunikatif yang beroperasi di
dalam proses berwacana tersebut menjadi syarat terwujudnya sebuah ruang
publik. Ruang yang dipahami bukan karena berhasil diciptakan dari keputusan
bersama mayoritas tapi pada fakta bahwa cara – cara di dalam perbincangan dan
interaksi berlangsung secara adil dan menghasilkan wacana yang lahir dari
perdebatan – perdebatan masyarakat dan bukan yang dibentuk oleh kalangan elit
media, politik hingga ekonomi. Proses berwacana di dalam ruang publik
berangkat dari opini masyarakat yang berusaha menyampaikan kebutuhannya.
Bagaimana pendapat dari masing – masing peserta di ruang publik dikemukakan
dengan kekuatan argumen yang baik akan menjadi sebuah wacana.
4. Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, dapat
dipahami bahwa perbincangan yang terjadi di keudee kupi merupakan bagian dari
proses berwacana di ruang publik. Konteks perbincangan dalam penelitian ini
adalah aktivitas perbincangan antarpengunjung terkait isu politik yang
berkembang di keudee kupi dalam membentuk wacana politik di lingkungan
masyarakat. Aktivitas ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam
merespon isu – isu yang berkembang di keudee kupi terutama isu politik sehingga
membentuk wacana politik.
Penelitian ini akan menggunakan dua konsep untuk melihat proses
berwacana yang dilakukan oleh pengunjung keudee kupi yang didominasi oleh
kaum lelaki. Konsep pertama yaitu melalui pendekatan rasionalitas komunikatif
untuk melihat kondisi syarat perbincangan yang ideal dalam proses berwacana.
Kondisi ideal yang digunakan yakni berdasarkan bahasa, kondisi inklusivitas, dan
17
egaliter. Konsep kedua yakni
melihat wacana yang terbentuk berdasarkan
konteks wacana. Konteks wacana yang akan dilihat yakni berdasarkan latar, tema,
serta partisipan yang terlibat dalam pembentukan wacana tersebut. Berikut adalah
konsep penelitian yang akan digunakan pada penelitian:
Tabel 1: Konsep Penelitian
No
Konsep
1. Pembentukan
wacana berdasarkan
rasionalitas
komunikatif.
Makna Konsep
Melihat perbincangan
yang terjadi
berdasarkan kondisi
ideal perbincangan.
2
Melihat perbincangan
yang terjadi dari ciri –
ciri diluar bahasa yang
mampu
menumbuhkan makna
pada ujaran atau
wacana.
Pembentukan
wacana berdasarkan
konteks wacana.
Indikator
1. Penggunaan bahasa yang
sama secara konsisten.
2. Kondisi inklusivitas: Semua
partisipan memiliki
kesempatan dan potensi yang
sama untuk memulai atau
melanjutkan perbincangan.
3. Kondisi egaliter: Semua
partisipan memiliki
kesempatan yang sama untuk
membuat klaim,
mempertanyakannya,
mengklarifikasi,
mempertahankan dan
seterusnya.
1. Latar : Mengacu pada tempat
(ruang / space) dan waktu
(tempo / time) terjadinya
percakapan.
2. Tema: Acuan pembicaraan
yang dapat menentukan sifat
kewacanaan. Bisa berupa
masalah sosial, politik,
ekonomi atau budaya.
3. Peserta (partisipan):
Mengacu pada peserta
percakapan, yaitu pembicara
(penyapa) dan pendengar
atau lawan bicara (pesapa).
18
G.
Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan jenis penelitian deskriptif
kualitatif yang melibatkan pengamatan (observasi partisipasi dalam pengumpulan data).
Ketika ada kebutuhan membangun ide mengenai fenomena sosial dan ingin
mendeskripsikan prosesnya maka dibutuhkan sebuah deskripsi yang luas dan mendalam
(Neuman, 1997). Studi kasus dilakukan ketika peneliti perlu memahami atau menjelaskan
fenomena (Wimmer dan Dominick, 2011: 141). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka
peneliti memilih metode studi kasus karena peneliti ingin menggambarkan fenomena
keudee kupi sebagai ruang publik masyarakat di Aceh dalam merespon isu politik yang
berkembang melalui perbincangan antarpengunjung di keudee kupi sehingga wacana
politik apa saja yang terbentuk disana.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data – data yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan penelitian ini akan
dikumpulkan melalui:
a.
Observasi dan implikasi langsung pembicaraan di lapangan
Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan bersifat partisan, dimana
peneliti ikut ambil bagian dalam obyek penelitian. Pada saat pembicaraan
berlangsung, peneliti akan mengamati dan mendengar pembicaraan
mengenai isu politik yang terjadi di keudee kupi. Dan akan turut serta dalam
pembicaraan tersebut.
b.
Wawancara
Yaitu dengan melakukan tanya jawab antara pewawancara dengan
narasumber (informan) penelitian. Pada penelitian ini wawancara akan
dilakukan kepada pemilik keudee kupi, pengunjung keudee kupi, pemerhati
budaya Aceh untuk informasi mengenai perkembangan keudee kupi di Aceh
dan praktisi akademisi mengenai tanggapan pembentukan wacana politik di
keudee kupi. Pengunjung dalam hal ini adalah pengunjung laki – laki yang
sering mengunjungi keudee kupi dan aktif dalam perbincangan disana.
19
c.
Studi Dokumenter dan Pustaka
Studi dokumenter yaitu segala hal yang berhubungan dengan proses
pengumpulan data dan bahan – bahan yang ada, yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteliti seperti buku, jurnal, dan foto – foto selama
penelitian berlangsung. Studi dokumenter dan pustaka dalam penelitian ini
akan diperoleh dari buku, jurnal, artikel internet, foto kegiatan yang
menampilkan perbincangan antarpengunjung keudee kupi, dan kegiatan
wawancara yang berkaitan dengan penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data diperlukan untuk menunjukkan, memaknai, menjernihkan dan
menempatkan data yang ditemukan pada konteks masing – masing (Salim, 2006). Tahap
awal analisis data ini akan dilakukan dengan mengelompokkan data berdasarkan
pengamatan, wawancara, ingatan peneliti dan rekaman perbincangan pengunjung keudee
kupi. Pada tahap ini peneliti juga mulai membaca catatan lapangan, rekaman wawancara
dan rekaman perbincangan yang terjadi di keudee kupi. Peneliti akan mengamati
perbincangan yang berkaitan dengan isu politik, dan ikut dalam perbincangan tersebut.
Peneliti juga akan bertanya mengenai sebab akibat, kondisi dan interaksi, strategi dan
proses yang dibuat secara berkelompok oleh pengunjung keudee kupi dalam menanggapi
isu politik yang berkembang di masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menstimulasi
pikiran dalam mengaitkan tema yang dipilih sehingga tema tersebut semakin diperdalam
sesuai dengan kondisi di lapangan. Tahap selanjutnya adalah peneliti akan mulai
menyajikan data dalam bentuk uraian berupa teks naratif sehingga peneliti akan lebih
mudah melakukan penafsiran dengan memberikan makna kepada temua data.
Diharapkan data yang telah disajikan memungkinkan peneliti untuk melakukan
penarikan kesimpulan.
H.
Limitasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan sepanjang bulan Maret 2014 dan
memfokuskan pada keudee kupi yang berada di kota Banda Aceh. Fokus penelitian
adalah bagaimana isu politik diwacanakan melalui komunikasi antarpengunjung
keudee kupi di ruang publik masyarakat Banda Aceh. Fokus penelitian ini akan diteliti
dengan menggunakan konsep rasionalitas komunikatif dan pembentukan wacana
berdasarkan konteks wacana. Penelitian ini tidak melihat pada semua isu yang
20
berkembang di ruang publik, namun hanya terfokus pada isu politik saja. Diharapkan
dengan adanya batasan penelitian ini, akan membantu peneliti dan juga orang – orang
yang melihat rancangan penelitian untuk mengetahui cakupan penelitian dan hal – hal
yang tidak tercakup dalam penelitian.
I.
Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan penelitian ini akan dibagi kedalam empat bab, termasuk
satu bab pendahuluan dan satu bab kesimpulan. Bab I berisikan pendahuluan yang
didalamnya mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka teoritik, konsep penelitian, metodologi, limitasi penelitian serta
sistematika penulisan. Bab II akan berisikan tinjauan pustaka. Bab III akan membahas
mengenai konteks penelitian yaitu mengenai keudee kupi yang diteliti dan sekilas
pandang mengenai awal mula kopi di Aceh dan bagaimana tradisi ngopi di keudee
kupi menjadi bagian keseharian masyarakat. Bab IV akan membahas mengenai hasil
penelitian. Pada bab ini akan berisikan bagaimana isu – isu politik yang hadir di
keudee kupi diwacanakan melalui komunikasi antarpengunjung di ruang publik. Pada
bab V yaitu bab penutup akan dibahas mengenai kesimpulan yang diperoleh sebagai
hasil dari penelitian serta saran terkait hasil penelitian yang diharapkan nantinya akan
berguna bagi rekan – rekan lain yang ingin meneliti di kajian objek yang sama.
21
Download