BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Di Provinsi Aceh tepatnya di kota Banda Aceh, konsep ruang publik sebagai ruang demokrasi, sebagaimana yang disinyalir oleh Habermas sebagai ruang publik yang dapat memediasi antara kepentingan publik dengan pemerintah (penguasa) sebenarnya telah ada, bahkan sejak berlangsungnya kerajaan Islam. Ruang publik itu ialah warung kopi yang dalam bahasa lokal Aceh dikenal dengan keudee kupi. Ruang itu menjadi tempat yang secara fisik sangat nyaman untuk mengundang kehadiran orang – orang1. Warung kopi menjadi arena wajib bagi masyarakat untuk berbincang mengenai apa saja, mulai dari topik berat hingga gosip di masyarakat. Dalam kehidupan sosial, beberapa ruang yang menjadi milik publik juga tumbuh ditengah masyarakat Aceh. Akan tetapi, ruang tersebut telah terorganisir secara formal mengikuti sistem birokrasi negara. Substansi yang diperbincangkan dalam ruang tersebut senantiasa berkaitan dengan rutinitas kegiatan yang disepakati sebagai tujuan dari organisasi. Beberapa organisasi tersebut adalah organisasi keagamaan (kelompok pengajian) dan organisasi sosial (kegiatan PKK, Koperasi, Kelompok Dagang). Ekslusivitas tercermin dari ruang tersebut karena dikategorikan berdasarkan latar belakang masyarakat yang terlibat di dalamnya. Ruang ini sangat berbeda dengan keudee kupi karena mereka yang hadir di keudee kupi sepertinya tidak memiliki tujuan spesifik yang menjadi alasan kenapa mereka berkumpul di satu tempat tersebut. Provinsi Aceh memiliki tingkat keberadaan keudee kupi cukup tinggi. Di provinsi ini, minum kopi merupakan budaya, karena kopi diminum setiap saat, tempat dan pada banyak acara adat (seperti coffee break, kendurian, pernikahan, kegiatan adat dan lain sebagainya) oleh masyarakat pedesaan dan perkotaan. Kebiasaan minum kopi pada masyarakat kota Banda Aceh sudah menjadi perilaku yang tidak dapat ditinggalkan, karena faktanya banyak keudee kupi yang buka sejak subuh hingga tengah malam dan selalu ramai dikunjungi pengunjung. Tak heran dengan jumlah 1 Warung kopi menjadi nyaman karena dilengkapi dengan fasilitas wi-fi, televisi, musik, makanan ringan, minuman khususnya kopi serta fasilitas nonton bareng siaran bola. 1 keudee kupi yang tersebar di seantero Provinsi Aceh terkhusus Banda Aceh sehingga menjadikan kota ini terkenal sebagai negeri seribu warung kopi2. Para pengunjung setia keudee kupi di Banda Aceh berasal dari latar belakang profesi dan status sosial yang beragam. Mereka biasa datang setiap hari, bahkan dalam satu hari mereka bisa mendatangi keudee kupi hingga tiga kali, yakni pagi hari sebelum berangkat kerja, siang hari ketika waktu istirahat makan siang, dan sore atau malam hari sepulang dari bekerja. Yang menarik dari keudee kupi di Banda Aceh adalah keudee kupi menjadi ruang publik bagi masyarakat, dimana masyarakat setiap harinya menghabiskan waktu disana. Disana orang bisa melakukan transaksi bisnis, transaksi politik, interaksi sosial, nongkrong, ngenet hingga menonton bola. Bahkan seminar pun bisa dilakukan di keudee kupi ketika itu berada di Aceh. Disanalah proses berwacana berlangsung terus – menerus. Topik pembicaraan yang diangkat beraneka ragam. Keudee kupi menjadi tempat bagi masyarakat Aceh untuk berkumpul, membicarakan segala hal yang menyangkut kepentingan masyarakat luas serta kepentingan individu warganya. Tak hanya itu, beberapa keudee kupi menyediakan acara talkshow untuk merangkum pemikiran – pemikiran masyarakat dalam merespon peristiwa yang terjadi di keseharian mereka. Bahkan Kepolisian Aceh sengaja membuat kegiatan “Saweu Keudee kupi” atau “Geh Ku Keudee kupi” untuk menjaring aspirasi warga Aceh dalam menunjang kinerja kepolisian. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menggagas ide obrolan di keudee kupi yaitu “Warung Kopi Anti Korupsi” sebagai media pembelajaran, sosialisasi serta transfer ilmu bagi masyarakat Aceh mengenai pendidikan korupsi sejak dini. Keudee kupi yang saat ini marak bermunculan dan terus berkembang di Aceh adalah keudee kupi yang menyediakan fasilitas internet (Wi-Fi), live music accoustic hingga ruang karaoke dan fasilitas nonton bareng sepak bola. Keudee kupi ini banyak diminati pengunjung usia pelajar dan mahasiswa. Pengunjung keudee kupi ini dengan bermodalkan laptop dan secangkir kopi bisa leluasa memanfaatkan fasilitas yang ada. Selain itu, masih dijumpai keudee kupi yang tetap mempertahankan konsep tradisional dengan hanya berisikan meja panjang dan kursi yang memberikan keleluasaan berdiskusi antar sesama pengunjung yang datang. Keudee kupi Solong (Jasa Ayah) 2 Andreas Maryoto dan Mahdi Muhammad, 2011, Aceh, Negeri Seribu Warung Kopi, http://travel.kompas.com/read/2011/03/01/08512866/Aceh.Negeri.Seribu.Warung.Kopi diakses pada 12 November 2013. 2 salah satu keudee kupi yang tetap memegang konsep ini. Keudee kupi tradisional (tanpa Wi-Fi) adalah keudee kupi konsep asli yang banyak ditemui sebelum tsunami Aceh terjadi dan semakin menyusut jumlahnya saat ini. Perbincangan yang terjadi di keudee kupi berlangsung natural. Semua pengunjung bebas berkomentar mengenai hal apapun terutama mengenai isu politik yang sering menjadi bahan perbincangan antarpengunjung keudee kupi yang didominasi oleh kaum lelaki. Kondisi politik Aceh yang terus menggeliat pasca MoU memberikan ruang bagi masyarakat untuk berbicara di muka umum. Belum lagi kondisi sosial masyarakat Aceh yang mengalami pasang surut setelah tsunami tahun 2004. Nuansa politik yang terus hangat di Aceh menjadikan pembicaraan politik di kalangan masyarakat hal lumrah yang bisa ditemui dimana saja. Keudee kupi memfasilitasi perbincangan masyarakat Aceh. Hasil prapenelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai aktivitas pengunjung keudee kupi beberapa waktu lalu menyatakan bahwa para informan mengakui setiap harinya menghabiskan waktu di keudee kupi. Kegiatan yang dilakukan beragam. Ada yang menjawab berdiskusi mengenai isu politik yang tengah hangat diperbincangkan. Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa keudee kupi menjadi tempat bertemu untuk melakukan lobi bisnis, serta tak jarang membahas masalah ekonomi daerah. Informan yang berstatus sebagai mahasiswa menerangkan bahwa aktivitasnya di keudee kupi tak jauh dari menyelesaikan tugas kampus dan menjadi tempat nongkrong sambil mengakses internet 3. Isu politik dan konflik yang terjadi di Aceh menjadi hal yang biasa ditemui. Sejumlah penelitian mengenai konflik di Aceh termasuk yang dilakukan oleh The World Bank dengan akuratnya melaporkan hasil pemantauan kekerasan pascakonflik di Aceh. Misalkan saja, dari bulan Januari hingga Desember 2006 dimana isu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) perdana mulai menggema, hanya tiga saja insiden konflik antara GAM dan RI yang terjadi pada periode tersebut. Bulan Januari hingga Agustus, konflik di tingkat lokal tetap tinggi dan mulai menurun pada September hingga Oktober kemudian melonjak tajam pada bulan November hingga Desember dengan disertai beberapa insiden berdimensi kekerasan yang bersifat fluktuatif dimana 3 Wawancara prapenelitian dengan informan pengunjung warung kopi di Banda Aceh dilakukan via telepon dan messenger chat dengan sebelumnya melakukan pencarian informasi kesediaan melalui akun portal @iloveaceh di sosial mediaTwitter pada tanggal 12 Oktober 2013. 3 diantaranya melibatkan mantan GAM (The World Bank, LPK Aceh Januari – Desember 2006). Konflik yang terjadi pascadamai merupakan upaya tranformasi politik dimana ke depan menuntut Aceh yang lebih demokratis. Adanya MoU Helsinki lebih merupakan upaya transformasi politik yang kemudian salah satunya dibuktikan dengan penekanan pada terintegrasinya GAM ke dalam masyarakat sipil, kebebasan partisipasi politik, adanya calon independen dan isyarat akan adanya partai politik lokal. Saat ini Aceh memiliki tiga partai lokal yakni Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA), dan Partai Damai Aceh (PDA) yang bersiap bertarung pada Pemilu Legislatif April 2014. Suasana politik yang terus memanas di Aceh menimbulkan berbagai isu yang berkembang di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari mulai munculnya beberapa tindak kekerasan berlatar belakang pilihan politik atau partai akhir – akhir ini. Keadaan semakin kompleks ketika tindak kekerasan sengaja dilabeli kepentingan politik tertentu. Persaingan dua partai lokal Aceh yakni Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA) 4 terus berlangsung terutama dalam suasana prapemilihan legislatif April mendatang mengisyaratkan tranformasi politik dan kepentingan di kedua belah pihak yang bertikai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tindakan kekerasan berlatar politik kekuasaan terjadi di Aceh. Hal serupa juga terjadi pada Pemilukada 2012 yang lalu dimana memakan korban jiwa bahkan dari rakyat sipil. Situasi politik ini menimbulkan bermacam opini di masyarakat Aceh. Perbincangan hadir untuk menjawab keresahan masyarakat atas suasana politik yang terus memanas. Adanya keudee kupi yang mewadahi masyarakat dalam menyampaikan pendapat mengenai kondisi keseharian masyarakat menjadikan keudee kupi sebagai pilihan yang tepat untuk berbincang. Sebagai contoh, tema perbincangan mengenai pengukuhan dan pelantikan Wali Nanggroe5 sempat menjadi perbincangan 4 PA dan PNA merupakan partai lokal yang didirikan oleh mantan kombatan GAM. PA didirikan pada tanggal 22 April 2008 dengan Muzakkir Manaf sebagai ketua umum. PNA didirikan pada tanggal 4 Desember 2010 dengan ketua umum Irwandi Yusuf yang merupakan mantan Panglima GAM, mantan anggota Partai Aceh dan juga merupakan Gubernur Aceh periode 2007-2012. 5 Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, bahasa dan pemberian gelar gelar dan derajat atau upacara-upacara adat lainnya. Secara harfiah dapat kita pahami bahwa lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat. Lembaga ini dipimpin oleh Wali Nanggroe, sosok yang pandai dalam agama dan mengerti permasalahan yang dialami masyarakat Aceh ( Maruah Raja, 2013, Malek Mahmud: Wali Nanggroe atau Vampire Penghisap Darah, http://maruahraja.blogspot.com/2013/10/malek-mahmud-wali-nanggroe-atau-vampire.html?m=0diakses pada 31 Desember 2013. 4 yang hangat di keudee kupi. Beberapa informan prapenelitian menyatakan awalnya ia merasa Wali Nanggroe memang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh, namun ketika melihat begitu besar dana yang akan dikeluarkan untuk pengangkatan Wali Nanggroe, pikiran itu pun sontak berubah. Tergantikan dengan pemikiran baru sebagai hasil pembicaraan di keudee kupi. Munculnya perubahan pola pikir ini menunjukkan adanya tindakan komunikasi bertujuan yang digunakan untuk pemikiran pribadi si pengunjung. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah isu – isu politik diwacanakan dalam komunikasi antarpengunjung keudee kupi di ruang publik sepanjang Maret 2014? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui isu – isu politik diwacanakan dalam komunikasi antarpengunjung keudee kupi di ruang publik sepanjang Maret 2014. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan kontribusi terhadap berkembangnya ilmu – ilmu sosial, khususnya ilmu komunikasi yang berbasis pada pengembangan penelitian fenomenologi dalam perspektif studi kasus. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah daerah dan masyarakat luas agar dapat memahami bagaimana isu – isu politik yang berada di kehidupan sehari – hari masyarakat diwacanakan melalui komunikasi antarpengunjung di keudee kupi. E. Objek Penelitian Objek penelitian pada penelitian ini adalah perbincangan antarpengunjung keudee kupi mengenai isu politik yang terjadi di Banda Aceh. Keudee kupi yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah keudee kupi tradisional dan keudee kupi modern dengan jumlah pengunjung yang ramai dan keaktifan pengunjung berbicara di 5 keudee kupi. Keudee kupi yang mewakili tipe tradisional adalah keudee kupi Solong dan keudee kupi yang mewakili keudee kupi modern yaitu Cut Nun. Waktu penelitian yang dilakukan yakni sepanjang Maret 2014. F. Kerangka Pemikiran 1. Isu Politik di Ruang Publik Politik menurut Aristoteles dalam pandangan klasik adalah sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat (Surbakti, 1992). Filosof ini membedakan urusan – urusan yang menyangkut kebaikan bersama (kepentingan publik) dengan urusan – urusan yang menyangkut kepentingan individu atau kelompok masyarakat (swasta). Bagi Aristoteles, urusan – urusan yang menyangkut kebaikan bersama memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada urusan – urusan yang menyangkut kepentingan swasta. Namun, politik juga berarti sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Surbakti, 1992). Dalam dunia politik, interaksi antara masyarakat dengan elit politik seperti pemerintah dan partai politik menjadi hal yang lumrah terjadi. Interaksi tersebut dinamakan interaksi politik. Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga – lembaga pemerintah dan diantara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Ada pihak yang memerintah, ada pula yang menaati pemerintah,di satu pihak mempengaruhi dan di pihak yang lain menentang. Hasilnya adalah sebuah kompromi dimana ada pihak yang menjanjikan serta ada pihak yang kecewa. Juga adanya tawar – menawar dan perundingan, serta adanya pihak yang memaksakan putusan ketika berhadapan dengan pihak lain yang dianggap mewakili kepentingan rakyat yang berusaha membebaskan, serta yang satu berusaha menutupi kenyataan yang sebenarnya. Tak hanya itu, ada juga pihak yang mengajukan tuntutan, memperjuangkan kepentingan, mencemaskan apa yang akan terjadi dan itu semua adalah perilaku politik (Surbakti, 1992). Dalam perkembangan politik di Indonesia, media telah memainkan peranan yang sangat penting. Dengan konstruksi yang dilakukan oleh media, isu – isu yang 6 ada di masyarakat akan membentuk opini yang terarah sehingga mampu mempengaruhi kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari intensitas komunikasi yang tinggi dapat mengubah kata – kata menjadi fakta dan imajinasi seakan – akan nyata. Paradigma masyarakat seolah dibius oleh pemberitaan yang dilakukan media massa. Perkembangan politik berbalik arah menjadi lebih demokratis. Wacana politik yang kian hangat dibicarakan tak lepas dari kekuasaan. Kekuasaan menurut Duverger (2007: XI) adalah seluruh jaringan lembaga – lembaga (institusi) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal ini suasana dominasi beberapa orang atas orang lain. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung otoritas mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun komunitas – komunitas yang lebih kecil. Terdapat dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan. Pertama, bilamana orang melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam masyarakat. Kedua, bilamana orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Disini kekuasaan memainkan peran integratif, memihak, dan melindungi kepentingan bersama golongan atau kelompok. Kedua dimensi kekuasaan itu selalu muncul dalam kehidupan politik. Kekuasaan bisa mendorong orang untuk berkonflik, tetapi pada waktu yang sama juga bisa merangsang kerja sama atau integrasi. Pada essensinya, politik atau kekuasaan akan selalu bersifat kontradiktif dan ambivalen (Duverger, 2007: XII-XIII). Untuk membangun kekuasaan tersebut, terdapat dua aktivitas kelompok yakni aktivitas kelompok kecil dan aktivitas kelompok besar. Dalam kelompok kecil, semua anggota tahu satu sama lain secara pribadi. Hubungannya demikian interpersonal dari orang ke orang. Dalam kelompok besar, pengenalan secara personal pada pihak lain tidak akan terjadi. Berkaitan dengan kehidupan politik, dalam kelompok kecil perjuangan politik hakikatnya bersifat personal, menyerupai pengelompokan politik dalam komunitas besar. Akan tetapi, kelompok kecil tidak mempunyai organisasi politik yang formal hanya aliansi antara individu – individu dan kesamaan pribadi. Sebaliknya, kelompok besar menawarkan masalah – masalah khusus yang semakin akut di dalam masyarakat modern seperti birokratisasi dan desentralisasi. Lingkup 7 wilayah yang luas serta cakupan anggota dalam jumlah besar serta pertarungan politik yang riil dalam lingkaran mesin – mesin politik, termasuk pemerintah dan kelompok elit media menjadikan kekuasaan seringkali berimbas terhadap pendapat publik (Duverger, 2007: 52-56). Peranan media dalam membangun isu publik pun turut andil dalam perbincangan di ruang publik. Dalam masa transisi demokrasi, kekuatan civil society sangat penting dalam mendukung demokrasi. Isu – isu yang akan mengisi ruang publik perlu dicerna lebih mendalam. Isu politik yang marak hadir di ruang publik seringkali dibentuk oleh dominasi elit pemerintahan dan juga media. Dalam era reformasi yang ditandai dengan kebebasan, termasuk dalam hal aksesibilitas informasi, para aktor yang bertarung dalam ruang publik menjadi semakin beragam. Perluasan ini terutama didukung oleh semakin beragamnya media massa yang tersedia di mana media massa berperan sebagai media penyelenggara hak publik untuk memperoleh informasi atau forum pertarungan wacana seputar kebijakan yang menyangkut kepentingan umum. Pemberitaan media massa tersebut kemudian menjadi angin segar bagi lahirnya pembicaraan hangat masyarakat awam melalui ruang milik masyarakat, yang dikenal dengan ruang publik. Seringkali isu – isu yang dikonstruksi oleh media massa menjadi isu yang juga disepakati oleh masyarakat secara luas, meskipun ada pihak – pihak yang tidak menyetujui dan menentang isu yang berkembang.Isu politik adalah isu yang seringkali menjadi pilihan pembicaraan oleh masyarakat ketika berkumpul di ruang publik. Di Aceh, situasi politik terus memanas. Mulai dari konflik TNI – GAM hingga pasca Mou Helsinki, politik di Aceh terus menggeliat. Media cetak lokal telah menjadi faktor pendorong di tingkat lokal terhadap konstruksi pemberitaan lokal. Isu politik menjadi isu yang selalu hangat di keudee kupi yang di klaim sebagai ruang publik masyarakat Aceh. Berita lokal menjadi lebih menarik karena sifatnya dekat dan sangat menyentuh dalam tataran masyarakat karena mengangkat isu – isu lokal. Pergolakan politik di Aceh yang saat ini didominasi tiga partai lokal juga terus memberikan warna perpolitikan Aceh. Belum lagi dengan kondisi sosial pascatsunami yang terus berbenah dan kondisi politik yang kian bergairah menambah peluang isu politik selalu diwacanakan oleh masyarakat. Wacana politik selalu dilihat dalam konteks ancaman dan agresi. Tidak berjalannya wacana politik deliberatif atau tanggung rasa antara masyarakat dan 8 negara dan juga antarmasyarakat menyebabkan banyak kemacetan fungsi pengetahuan sosial dalam praktik (Fasya, 2005: 144). Akibatnya, masyarakat menjadi tidak toleran terhadap perbedaan terutama pada masalah agama dan budaya lokal. Perkembangan kekuasaan distributif dalam seluruh “organisme hidup” ini adalah lahirnya masyarakat yang cenderung mengutamakan norma dan hukum yang didukung oleh kekuasaan yang sah. Di Aceh tahun 2000-an, masyarakat bisa sangat berbusa – busa berbicara tentang masalah jilbab dan perempuan namun bungkam terhadap masalah korupsi dan militerisme, karena yang pertama mendapatkan ruang untuk melakukan politik tuturan (politics of enunciation) sedangkan yang kedua dianggap larangan (Fasya, 2005: 145). Pasca tsunami, Aceh mulai berbenah. Menjamurnya keudee kupi dan pembicaraan hangat tanpa batasan di keudee kupi mulai memberikan angin sejuk bagi msyarakat Aceh untuk berwacana mengangkat isu politik yang terus hangat disekitar mereka. Label daerah Syariat Islam, Undang – Undang Pemerintah Aceh (Qanun), lahir dan berkembangnya partai lokal yang mendominasi kepemimpinan di Aceh menjadi isu yang terus hangat diperbincangkan masyarakat. Menggeliatnya perpolitikan di Aceh menjadikan isu – isu politik terus hadir menemani masyarakat menikmati secangkir kopi tanpa adanya ketakutan berbicara menyampaikan pendapat. Dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik terjadi konflik, konsensus dan perubahan. Dalam sebuah proses politik, adanya konflik menunjukkan bahwa sebuah proses politik berjalan pada lintasan yang benar. Berbagai kelompok individu ataupun kelompok masyarakat dengan menggunakan sarana kekuasaan yang dimiliki berupaya keras memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya kepada pemerintah sehingga menjadi bagian dari keputusan politik. Aspirasi dan kepentingan setiap kelompok individu atau masyarakat tidak selalu sama karena terdapat perbedaan kepentingan di dalamnya. Aspirasi yang disampaikan oleh kelompok individu atau masyarakat merupakan bentuk partisipasi dalam dunia demokrasi. Masyarakat berhak untuk ikut serta dalam menentukan isi keputusan politik. Keputusan politik menyangkut dan mempengaruhi kehidupan masyarakat sehingga masyarakat berhak untuk terlibat di dalamnya. Bentuk diskusi di ruang publik, berusaha membicarakan hal – hal mengenai kepetingan bersama merupakan bentuk partisipasi politik yang dilakukan masyarakat. Membicarakan mengenai kondisi politik di suatu daerah yang erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah juga merupakan bentuk partisipasi politik masyarakat. 9 2. Wacana dan Pendekatan Komunikatif a) Pengertian Wacana Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia sehingga dalam kenyataannya bahasa menjadi aspek penting dalam melakukan sosialisasi atau berinteraksi sosial. Dengan bahasa manusia dapat menyampaikan berbagai berita, pikiran, pengalaman, gagasan, pendapat, perasaan, keinginan, dan lain – lain kepada orang lain. Berdasarkan hierarkinya, wacana merupakan tataran bahasa yang terbesar, tertinggi, dan terlengkap. Wacana dikatakan terlengkap karena wacana mencakup tataran di bawahnya, yakni foologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan ditunjang oleh unsur lainnya, yaitu situasi pemakaian dalam masyarakat. Istilah wacana dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Dalam pembelajaran, wacana merupakan disiplin ilmu baru. Wacana menurut Firth (Syamsudin, 1992:2) adalah language was only meaningful in its context of situation. Jadi, pembahasan wacana adalah pembahasan bahasa dan tuturan yang harus dalam satu rangkaian kesatuan situasi atau dengan akata lain, makna suatu bahasa berada dalam rangkaian konteks dan situasi. Wacana dikatakan sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan dan bahasa tulisan. Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pembaca. Dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis, sedangkan pesapa adalah pembaca. Tarigan mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisau ataupun tertulis (Tarigan, 1987: 27). Dari pendapat – pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan koheren yang dibentuk oleh unsur – unsur segmental dalam sebuah wacana yang paling besar. Alex Sobur (2009: 11) mengungkap bahwa wacana adalah rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kestuan yang koheren, dibentuk 10 melalui unsur segmental dan non segmental bahasa. Jadi, wacana adalah proses komunikasi menggunakan simbol – simbol yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. b) Ciri, Sifat, Wujud, dan Jenis Wacana Berdasarkan pengertian wacana, beberapa identifikasi mengenai ciri dan sifat wacana, antara lain sebagai berikut (Yoce Aliah Darma, 2009: 3-4) : (1) Wacana dapat berupa rangkaian ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur. (2) Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek). (3) Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, dan lengkap dengan semua situasi pendukungnya. (4) Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu. (5) Dibentuk oleh unsur segmental dan non segmental bahasa. Wujud merupakan rupa dan bentuk yang dapat diraba atau nyata. Jenis adalah ciri yang khusus. Jadi, wujud wacana mempunyai rupa atau bentuk wacana yang nyata dan dapat kita lihat strukturnya yang nyata. Sedangkan jenis wacana mempunyai arti bahwa wacana itu memiliki sifat – sifat atau ciri – ciri khas yang dapat dibedakan dari bentuk bahasa lain. Pada dasarnya, wujud dan jenis wacana dapat ditinjau dari sudut realitas, media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Dalam kenyataannya wujud dari bentuk wacana itu dapat dilihat dalam beragam buah karya si pembuat wacana, yaitu; Text (wacana dalam bentuk wujud tulisan / grafis) antara lain dalam wujud berita, features,artikel, opini, cerpen, novel, dsb. Talk (wacana dalam wujud ucapan), antara lain dalam wujud rekaman wawancara, obrolan, pidato, dsb. Act (wacana dalam wujud tindakan) antara lain dalam wujud lakon drama, tarian, film, defile, demonstrasi, dsb. Artifact (wacana dalam wujud jejak) antara lain dalam wujud bangunan, lanskap, fashion, puing, dsb. Dalam penelitian ini, kita akan melihat wacana dari wujud Talk, yakni dalam bentuk obrolan antarpengunjung keudee kupi di Banda Aceh. c) Konteks Wacana Berbicara tentang wacana selalu berkaitan dengan konteks, seperti apa yang dikatakan oleh Kridalaksana (2001) bahwa konteks merupakan ciri – ciri alam di luar bahasa yang menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana (lingkungan nonlinguistik dari wacana). Konteks wacana dibentuk dari berbagai 11 unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, amanat, kode, dan saluran (Fatimah, 1994). Unsur – unsur ini berhubungan dengan unsur – unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa, antara lain sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hymes (Yoce Alia Darma, 2009:4): a) Latar (setting) Mengacu pada tempat (ruang / space) dan waktu (tempo / time) terjadinya percakapan. b) Peserta (participant) Peserta mengacu pada peserta percakapan, yaitu oembicara (penyapa) dan pendengar atau lawan bicara (pesapa). c) Hasil (ends) Hasil mengacu pada percakapan dan tujuan percakapan. Hasil berkaitan dengan topik pembicaraan yang diangkat. Topik yang menarik belum tentu hasilnya baik, karena tergantung dari percakapan yang berlangsung saat itu. d) Amanat (message) Amanat mengacu pada bentuk dan isi amanat. Bentuk amanat bisa berupa hasil pembicaraan, kesepakatan yang terbentuk dari percakapan, pengumuman, dan sebagainya. e) Cara (key) Cara mengacu pada semangat melaksanakan percakapan, misalnya bercakap – cakap dengan penuh semangat, santai, atau tenang meyakinkan. f) Sarana (instrument) Sarana mengacu pada penggunaan bahasa baik lisan maupun tulis dan mengacu pula pada variasi bahasa yang digunakan. Penelitian ini akan melihat pembentukan wacana dari beberapa kategori konteks yakni latar (setting), tema, dan peserta. Tema sebagai konteks wacana akan membantu menentukan sifat kewacanaan. Tema - tema yang terjadi di sekeliling masyarakat sering menjadi tema pembicaraan yang menarik oleh peserta percakapan. 12 d) Wacana sebagai Media Komunikasi Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan, ide, atau gagasan dari satu pihak ke pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya. Pada umumnya komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata – kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua pihak. Apabila tidak dilakukan dengan bahasa verbal dapat dilakukan dengan bahasa nonverbal atau bahasa isyarat,misalnya menggunakan gerak – gerik badan atau menunjukkan sifat tertentu, seperti tersenyum, menggelengkan kepala, mengangguk, mengangkat bahu, dan lain – lain. Wacana terbentuk dari unsur segmental dan nonsegmental, namun wacana tidak hanya menampilkan kelengkapan unsur pembentuknya, tetapi juga menampilkan gambaran bagaimana masyarakat pemakai bahasa menggunakan bahasa melalui rangkaian tuturan. Pendekatan komunikatif erat hubungannya dengan hakikat bahasa dan pengajaran bahasa. Wacana yang dihasilkan dari percakapan antar peserta diskusi merupakan hasil dari kesamaan pemahaman mengenai makna dari bahasa yang digunakan serta berlakunya unsur – unsur konteks pembentukan wacana. Percakapan yang terjadi antarpengunjung di keudee kupi, yang di klaim sebagai ruang publik milik masyarakat sehingga membentuk wacana di masyarakat adalah bagian dari kesepakatan bersama sebagai hasil dari wacana yang berhasil di bangun oleh peserta diskusi. 3. Rasionalitas Komunikasi di dalam Ruang Publik Ruang publik yang muncul di abad ke-18 dilihat sebagai penghubung kepentingan masing – masing individu dalam keluarga dengan tuntutan dan kepentingan kehidupan sosial dan publik yang muncul dalam konteks negara. Ruang publik digambarkan mengandung pertentangan antara kepentingan borjuis dan kepentingan masyarakat lainnya. Ruang publik dianggap mampu menjadi sarana penghubung yang memediasi perbedaan – perbedaan hingga akhirnya menemukan kepentingan umum yang mengarah kepada sebuah kesepakatan bersama. Menurut Habermas, ruang publik tersebut adalah ruang – ruang penyedia informasi dan perdebatan politis seperti surat kabar, klub sastra dan politik, café, warung kopi / keudee kupi dan tempat – tempat publik lainnya yang menjadi ruang bagi diskusi mengenai sosial politik. 13 Ruang publik pun menjadi alternatif bagi kelompok borjuis pada masa itu untuk berdiskusi dan memahami hakikat kekuasaan yang ada. Kalangan inilah yang disebut dengan publik dan merupakan masyarakat terpandang meskipun tidak berasal dari keturunan bangsawan. Dengan pemikiran yang merupakan hasil didikan borjuis, mereka menggagas terbentuknya sebuah ruang bagi masyarakat yang bebas dari campur tangan politik dan memandang negara menjadi otoritas terbatas. Idealnya, ruang publik mampu mengubah otoritas politis negara menjadi otoritas rasional dalam ruang publik. Rasionalitas tersebut diukur dari seberapa jauh kepentingan umum terwakili dan ruang publik mampu menjamin tercapainya rasionalitas tersebut (Hari Juliawan, 2004 dalam Pinem, 2009: 15). Jurgen Habermas dalam 12 Tokoh Etika Abad 20 karya Frans MagnisSuseno juga merumuskan pandangan mengenai rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif menurut Habermas merupakan sebuah tindakan kesadaran yang dalam komunikasi menempatkan masing – masing partisan komunikasi mampu mengkoordinasikan rencana tindakan mereka masing – masing. Jika dikaitkan dengan G.H Mead tindakan ini disebut dengan “ideal roletalking” dimana masing – masing partisipan mengambil alih peran orang lain. Hal ini berarti bahwa sang partisipan mengambil partisipasi dari orang lain dan kemudian mereflesikannya di diri sang partisipan itu sendiri. Sebuah komunikasi dikatakan rasional apabila saling pengertian tercapai sehingga mampu dikatakan sebagai rasionalitas komunikatif (Suseno, 2000: 220). Untuk mencapai sebuah rasionalitas komunikatif yang ideal sesuai dengan konsep Habermas, maka kita membutuhkan kesamaan bahasa. Bahasa menurut Habermas merupakan tempat dimana manusia senantiasa sudah tahu apa yang dimaksud dengan rasionalitas dan kebebasan. Gagasan dasar Habermas adalah bahwa kita hanya dapat mau berbicara karena kita sudah mengetahui arti sebuah komunikasi yang tidak terdistorsi. Ketika kita telah terlibat dalam sebuah pembicaraan, maka kita telah mengandaikan 4 hal penting seperti yang diungkap Habermas (Suseno, 2000: 221) yaitu kejelasan (understandability), kebenaran (truth), kejujuran (truthfulness), dan ketepatan (rightness). Apabila dalam pembicaraan kita mengabaikan satu hal saja maka telah dapat dipastikan bahwa komunikasi tidak akan berjalan. Menurut Habermas, tindakan kunci manusia adalah komunikasi (Habermas, 2007). Semua tindakan yang dilakukan bergantung kepada 14 komunikasi. Tindakan strategis yang hadir dalam interaksi sosial yang memiliki tujuan memanipulasi atau memanfaatkan orang lain pun juga membutuhkan komunikasi. Dalam kehidupan sehari – hari pun, komunikasi sangat diperlukan untuk mencapai kepentingan tertentu. Ketika komunikasi dipergunakan untuk saling berkoordinasi dan koordinasi membutuhkan komunikasi verbal. Perkembangan rasionalitas dalam kehidupan bersama mulai terbangun dalam medium komunikasi. Karena itu komunikasi menjadi tempat pencarian rasionalitas yang paling mendasar. Ketika rasionalitas telah berada pada titik normatif, wacana hadir berdasarkan pengandaian konterfaktual yang artinya apa yang diandaikan dalam kenyataan seringkali tidak tercapai. Oleh karena itu diperlukan penciptaan situasi wacana ideal, dimana peserta dapat mengatakan apapun yang ingin dikatakan, tanpa adanya tekanan, dan yang berlaku hanya bagi yang memiliki kekuatan argumen yang baik (Suseno, 2005: 165). Wacana kesepakatan bersama yang rasional hanya mungkin terjadi dalam kondisi yang disebut Habermas sebagai situasi wicara yang ideal (the ideal speech situation)(Hardiman, 2009: 47). Situasi dimana prasyarat – prasyarat ideal tidak bisa ditawar lagi. Prasyarat ideal tersebut yakni harus memiliki karakteristik inklusif, egaliter, terbuka, dan bebas dominasi. Pertama, inklusif: tidak seorang pun yang dapat memberikan kontribusi yang relevan dapat dicegah untuk berpartisipasi. Semua peserta atau partisipan memiliki kesempatan dan potensi yang sama untuk memulai atau melanjutkan diskusi. Kedua, semua partisipan mempunyai kesempatan yang sama untuk membuat klaim – klaim, mempertanyakannya, mengklarifikasi, mempertahankan dan seterusnya. Ketiga, sungguh benar semua partisipan harus saling menunjukkan sikap, perasaan dan intensi mereka secara transparan. Keempat, ketiadaan pemaksaan eksternal dengan dimungkinkan adanya suara „ya‟ maupun „tidak‟ untuk mengkritisi klaim – klaim validitas. Terdapat beberapa asumsi tersembunyi mengenai proses pembentukan wacana (Hardiman, 2009: 48–49). Pertama, keikutsertaan di dalam sebuah wacana hanya mungkin terjadi jika orang menggunakan bahasa dan logika yang sama. Kedua, kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam wacana hanya bisa terjadi ketika setiap peserta tidak memihak dan memandang peserta lainnya sebagai sarana saja, melainkan memandang secara sejajar. Ketiga, aturan – aturan 15 sebagai imperatif dalam proses diskursif yang dipatuhi secara umum yang mengamankan wacana dari tekanan dan diskriminasi. Untuk memperjelas konsep tersebut, Habermas membedakan tindakan komunikatif dengan tindakan strategis yang dibimbing oleh rasio instrumental (Hardiman, 2009: 34-35). Tindakan strategis berorientasi pada keberhasilan, misalnya keberhasilan mempengaruhi peserta atau partisipan lain. Karena itu tindakan strategis juga bersifat rasional karena mengandaikan orang lain mengerti mengenai ungkapan bahasa dan dapat menjelaskannya. Namun perbedaannya dengan tindakan komunikatif adalah pada tindakan strategis bahasa tidak dipakai sebagai medium pemahaman melainkan sebagai alat untuk memaksakan kehendak dengan cara memanipulasi bahasa itu sendiri. Karena alasan tersebut maka menurut Habermas, tindakan komunikatif lebih penting untuk menghasilkan mekanisme koordinasi dan integrasi sosial sedikit kekerasan daripada tindakan strategis. Dalam tindakan komunikatif, yang ada adalah rasa saling pengertian. Rasa saling pengertian ini diperoleh karena kedua subyek yang berinteraksi berusaha mengambil perspektif subyek lain yang berinteraksi dengannya (Suseno, 2004: 7). Wacana mengenai kesepakatan bersama merupakan bentuk refleksi dari tindakan komunikatif. Maksudnya adalah bahwa wacana merupakan kelanjutan tindakan komunikatif dengan menggunakan sarana lain yakni sarana argumentatif. Wacana juga menandai bentuk komunikasi modern dimana orang – orang tidak begitu saja menerima sesuatu dengan pemahaman – pemahaman yang berkembang lewat tradisi, melainkan pertama – tama dengan menguji hal tersebut melalui pertimbangan rasional. Sehingga wacana jelas diartikan sebagai bentuk komunikasi yang bersifat kritis dan terbuka. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan tiga dimensi rasionalitas komunikatif yakni bahasa, inklusivitas dan egaliter. Dalam situasi di masyarakat Aceh yang lebih menekankan pada peranan kaum lelaki, proses berwacana yang terjadi di ruang publik masyarakat akan dilihat melalui tiga ranah ini di ruang publik masyarakat. Dimensi bahasa menjadi penting karena melalui bahasa akan terjadi kesamaan dalam memahami apa yang disampaikan dan diperbincangkan oleh pelaku komunikasi. Dimensi inklusivitas akan membantu untuk melihat bahwa semua yang hadir di ruang publik tersebut memiliki hak untuk berbicara, menyampaikan opini yang dimilikinya terkait hal yang sedang dibicarakan. 16 Dimensi egaliter digunakan untuk melihat posisi pengunjung terkait dengan kebebasan dalam mempermasalahkan masalah yang dihadirkan dalam perbincangan di ruang publik tersebut. Peneliti memilih tiga dimensi ini disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat Banda Aceh yang didominasi oleh pengunjung laki – laki. Rasionalitas komunikatif secara keseluruhan mengarahkan seluruh proses menggunakan bahasa, ungkapan – ungkapan non verbal dan pengambilalihan perspektif orang lain sedemikian rupa sehingga kita dan orang asing tersebut akhirnya dapat mengerti satu sama lain, sehingga perbincangan yang kita lakukan bisa mencapai kesepakatan bersama. Rasionalitas komunikatif yang beroperasi di dalam proses berwacana tersebut menjadi syarat terwujudnya sebuah ruang publik. Ruang yang dipahami bukan karena berhasil diciptakan dari keputusan bersama mayoritas tapi pada fakta bahwa cara – cara di dalam perbincangan dan interaksi berlangsung secara adil dan menghasilkan wacana yang lahir dari perdebatan – perdebatan masyarakat dan bukan yang dibentuk oleh kalangan elit media, politik hingga ekonomi. Proses berwacana di dalam ruang publik berangkat dari opini masyarakat yang berusaha menyampaikan kebutuhannya. Bagaimana pendapat dari masing – masing peserta di ruang publik dikemukakan dengan kekuatan argumen yang baik akan menjadi sebuah wacana. 4. Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dipahami bahwa perbincangan yang terjadi di keudee kupi merupakan bagian dari proses berwacana di ruang publik. Konteks perbincangan dalam penelitian ini adalah aktivitas perbincangan antarpengunjung terkait isu politik yang berkembang di keudee kupi dalam membentuk wacana politik di lingkungan masyarakat. Aktivitas ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam merespon isu – isu yang berkembang di keudee kupi terutama isu politik sehingga membentuk wacana politik. Penelitian ini akan menggunakan dua konsep untuk melihat proses berwacana yang dilakukan oleh pengunjung keudee kupi yang didominasi oleh kaum lelaki. Konsep pertama yaitu melalui pendekatan rasionalitas komunikatif untuk melihat kondisi syarat perbincangan yang ideal dalam proses berwacana. Kondisi ideal yang digunakan yakni berdasarkan bahasa, kondisi inklusivitas, dan 17 egaliter. Konsep kedua yakni melihat wacana yang terbentuk berdasarkan konteks wacana. Konteks wacana yang akan dilihat yakni berdasarkan latar, tema, serta partisipan yang terlibat dalam pembentukan wacana tersebut. Berikut adalah konsep penelitian yang akan digunakan pada penelitian: Tabel 1: Konsep Penelitian No Konsep 1. Pembentukan wacana berdasarkan rasionalitas komunikatif. Makna Konsep Melihat perbincangan yang terjadi berdasarkan kondisi ideal perbincangan. 2 Melihat perbincangan yang terjadi dari ciri – ciri diluar bahasa yang mampu menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana. Pembentukan wacana berdasarkan konteks wacana. Indikator 1. Penggunaan bahasa yang sama secara konsisten. 2. Kondisi inklusivitas: Semua partisipan memiliki kesempatan dan potensi yang sama untuk memulai atau melanjutkan perbincangan. 3. Kondisi egaliter: Semua partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk membuat klaim, mempertanyakannya, mengklarifikasi, mempertahankan dan seterusnya. 1. Latar : Mengacu pada tempat (ruang / space) dan waktu (tempo / time) terjadinya percakapan. 2. Tema: Acuan pembicaraan yang dapat menentukan sifat kewacanaan. Bisa berupa masalah sosial, politik, ekonomi atau budaya. 3. Peserta (partisipan): Mengacu pada peserta percakapan, yaitu pembicara (penyapa) dan pendengar atau lawan bicara (pesapa). 18 G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif yang melibatkan pengamatan (observasi partisipasi dalam pengumpulan data). Ketika ada kebutuhan membangun ide mengenai fenomena sosial dan ingin mendeskripsikan prosesnya maka dibutuhkan sebuah deskripsi yang luas dan mendalam (Neuman, 1997). Studi kasus dilakukan ketika peneliti perlu memahami atau menjelaskan fenomena (Wimmer dan Dominick, 2011: 141). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka peneliti memilih metode studi kasus karena peneliti ingin menggambarkan fenomena keudee kupi sebagai ruang publik masyarakat di Aceh dalam merespon isu politik yang berkembang melalui perbincangan antarpengunjung di keudee kupi sehingga wacana politik apa saja yang terbentuk disana. 2. Teknik Pengumpulan Data Data – data yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan penelitian ini akan dikumpulkan melalui: a. Observasi dan implikasi langsung pembicaraan di lapangan Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan bersifat partisan, dimana peneliti ikut ambil bagian dalam obyek penelitian. Pada saat pembicaraan berlangsung, peneliti akan mengamati dan mendengar pembicaraan mengenai isu politik yang terjadi di keudee kupi. Dan akan turut serta dalam pembicaraan tersebut. b. Wawancara Yaitu dengan melakukan tanya jawab antara pewawancara dengan narasumber (informan) penelitian. Pada penelitian ini wawancara akan dilakukan kepada pemilik keudee kupi, pengunjung keudee kupi, pemerhati budaya Aceh untuk informasi mengenai perkembangan keudee kupi di Aceh dan praktisi akademisi mengenai tanggapan pembentukan wacana politik di keudee kupi. Pengunjung dalam hal ini adalah pengunjung laki – laki yang sering mengunjungi keudee kupi dan aktif dalam perbincangan disana. 19 c. Studi Dokumenter dan Pustaka Studi dokumenter yaitu segala hal yang berhubungan dengan proses pengumpulan data dan bahan – bahan yang ada, yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti seperti buku, jurnal, dan foto – foto selama penelitian berlangsung. Studi dokumenter dan pustaka dalam penelitian ini akan diperoleh dari buku, jurnal, artikel internet, foto kegiatan yang menampilkan perbincangan antarpengunjung keudee kupi, dan kegiatan wawancara yang berkaitan dengan penelitian. 3. Teknik Analisis Data Analisis data diperlukan untuk menunjukkan, memaknai, menjernihkan dan menempatkan data yang ditemukan pada konteks masing – masing (Salim, 2006). Tahap awal analisis data ini akan dilakukan dengan mengelompokkan data berdasarkan pengamatan, wawancara, ingatan peneliti dan rekaman perbincangan pengunjung keudee kupi. Pada tahap ini peneliti juga mulai membaca catatan lapangan, rekaman wawancara dan rekaman perbincangan yang terjadi di keudee kupi. Peneliti akan mengamati perbincangan yang berkaitan dengan isu politik, dan ikut dalam perbincangan tersebut. Peneliti juga akan bertanya mengenai sebab akibat, kondisi dan interaksi, strategi dan proses yang dibuat secara berkelompok oleh pengunjung keudee kupi dalam menanggapi isu politik yang berkembang di masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menstimulasi pikiran dalam mengaitkan tema yang dipilih sehingga tema tersebut semakin diperdalam sesuai dengan kondisi di lapangan. Tahap selanjutnya adalah peneliti akan mulai menyajikan data dalam bentuk uraian berupa teks naratif sehingga peneliti akan lebih mudah melakukan penafsiran dengan memberikan makna kepada temua data. Diharapkan data yang telah disajikan memungkinkan peneliti untuk melakukan penarikan kesimpulan. H. Limitasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan sepanjang bulan Maret 2014 dan memfokuskan pada keudee kupi yang berada di kota Banda Aceh. Fokus penelitian adalah bagaimana isu politik diwacanakan melalui komunikasi antarpengunjung keudee kupi di ruang publik masyarakat Banda Aceh. Fokus penelitian ini akan diteliti dengan menggunakan konsep rasionalitas komunikatif dan pembentukan wacana berdasarkan konteks wacana. Penelitian ini tidak melihat pada semua isu yang 20 berkembang di ruang publik, namun hanya terfokus pada isu politik saja. Diharapkan dengan adanya batasan penelitian ini, akan membantu peneliti dan juga orang – orang yang melihat rancangan penelitian untuk mengetahui cakupan penelitian dan hal – hal yang tidak tercakup dalam penelitian. I. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan penelitian ini akan dibagi kedalam empat bab, termasuk satu bab pendahuluan dan satu bab kesimpulan. Bab I berisikan pendahuluan yang didalamnya mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritik, konsep penelitian, metodologi, limitasi penelitian serta sistematika penulisan. Bab II akan berisikan tinjauan pustaka. Bab III akan membahas mengenai konteks penelitian yaitu mengenai keudee kupi yang diteliti dan sekilas pandang mengenai awal mula kopi di Aceh dan bagaimana tradisi ngopi di keudee kupi menjadi bagian keseharian masyarakat. Bab IV akan membahas mengenai hasil penelitian. Pada bab ini akan berisikan bagaimana isu – isu politik yang hadir di keudee kupi diwacanakan melalui komunikasi antarpengunjung di ruang publik. Pada bab V yaitu bab penutup akan dibahas mengenai kesimpulan yang diperoleh sebagai hasil dari penelitian serta saran terkait hasil penelitian yang diharapkan nantinya akan berguna bagi rekan – rekan lain yang ingin meneliti di kajian objek yang sama. 21