107 HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIUSITAS

advertisement
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIUSITAS DAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN
KECENDERUNGAN TERJADI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh : Sillakhudin
Dosen Fakultas Tehnik Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda
ABSTRACT
The research is based on many of family abuse in public. There are many
factors of the agents, the proponent, and the controlling and the controls of family
abuse. Some of them are the religious advance and emotional competence. The
porpose of th research is to known the relationship between religious advance and
emotional competence with tendency to family abuse. The research sample is 70
respondences include of officers and students of Tecnique Faculty of University 17
Agustus 1945 Samarinda. The respondences are men, married, the age from 25
years old up to 45 years old. The sampling by using purposive random sampling
technique.The research datas is taken by using Hoyt technique and it found that
there is significant negative relationship between religious advance and emotional
competence with tendency of family abuse is R= 0,429 ; F = 7,552 with ab = 2/67 ;
with opportunity P = 0,001 (P < 0,01) with effective contribution 2,238 % for religious
advance and 9,487 % for emotional competence. From t test we found that there is
the significant relationship between religious advance and emotional competence
with tendency to family abuse.
________________________________________
Keywords : Religious Advance, Emotional Competence, Family Abuse
107
I. PENDAHULUAN
Berita-berita mengenai kekerasan dan penyiksaan hampir setiap hari tersaji dalam
berbagai media massa. Bahkan tidak jarang juga yang menyaksikan sendiri dalam kenyataan
sehari-hari. Kekerasan dan penyiksaan manusia atas sesamanya dalam berbagai bentuk itu tidak
menunjukkan gejala mereda, tetapi bahkan cenderung meningkat. Kekerasan dapat dilakukan oleh
berbagai golongan masyarakat mulai dari kalangan “bawah” yang hidupnya selalu diidentikkan
dengan kekerasan dan kriminalitas sampai kalangan “atas” yang terpelajar dan hidup
berkecukupan secara materi. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan,
bentuk dan intensitasnya berbeda-beda. Suatu saat seseorang bisa menjadi korban tindak
kekerasan, namun di saat lain seseorang juga bisa menjadi pelaku kekerasan terhadap orang lain
maupun diri sendiri. Kekerasan dan penyiksaan atau agresi adalah sebuah fenomena dalam
masyarakat yang sudah ada sejak dulu.
Sampurna (2000) mengungkapkan bahwa terdapat 2 ciri kekerasan yang paling pokok
yaitu 1). kekerasan fisik, meliputi segala bentuk kekerasan yang mengakibatkan seseorang
menderita secara fisik, dapat berupa dorongan, cubitan, tendangan, jambakan, pukulan, cekikan,
bekapan, luka bakar, pemukulan dengan menggunakan alat atau senjata tajam, siraman zat kimia
atau air panas, menenggelamkan atau tembakan; 2). kekerasan psikologis, menyangkut segala
bentuk kekerasan yang mengakibatkan seseorang menderita secara psikologis dan dapat berupa
semua jenis tindakan yang bersifat pelecehan, sikap memiliki yang berlebihan, isolasi, ancaman
dan berbagai bentuk lainnya.
Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap pasangan tidak terlalu diekspose untuk
mendapatkan perhatian, perlindungan, dan penanganan seperti di luar negeri. Kata-kata seperti
bodoh, goblok, pelacur, tidak tahu diri, dan lain-lain serta berbagai bentuk ancaman seringkali
terjadi dalam suatu hubungan. Faktor keengganan untuk menceritakan keadaan “dalam negeri”
berperan menghambat penyelidikan atau bantuan yang dapat diberikan karena malu jika
kekurangan sendiri sampai diketahui orang lain. Hukum di Indonesia masih dapat dikatakan belum
menjamin perlindungan bagi para korban penyiksaan verbal pasangan sehingga individu yang
menjadi korban khawatir jika kasusnya ini diketahui pihak berwajib jiwa individu tersebut akan
semakin terancam. Dampak dari persoalan penyiksaan verbal ini tidak hanya dialami oleh
pasangan, tetapi terutama oleh anak-anak. Apalagi jika anak-anak selalu melihat “tontonan
menyeramkan dan mengerikan” setiap kali orang tua bertikai. Dampak tersebut akan membekas
108
dan bisa menjadi trauma yang berkepanjangan dan kemudian mempengaruhi hidup, karir, dan
perkawinan di masa mendatang.
Masalah yang terjadi di atas sebenarnya bukanlah fenomena yang baru karena sudah
terjadi sejak berabadabad lalu. Secara garis besar kekerasan pria terhadap perempuan terjadi
karena beberapa faktor yaitu: a). Budaya “patriarkhi” yang meyakini bahwa laki-laki adalah superior
dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol
perempuan. b). Interpretasi yang keliru atas pelajaran agama. Seringkali ajaran yang
menempatkan laki-laki sebagai pemimpin diinterpretasikan sebagai pembolehan mengontrol dan
menguasai perempuan. c). Pengaruh role mode. Anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan
keluarga dimana ayah suka memukul atau kasar kepada ibu. Cenderung akan meniru pola
tersebut kepada pasangan.
Sering seorang istri tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban penyiksaan
secara verbal. Hal ini disebabkan karena menurut individu tersebut biasa terjadi, normal atau
karena “sudah wataknya” atau “sudah adatnya” ataupun mengingat latar belakang suku tertentu
pasangan.
Itu sebabnya bahwa salah satu faktor yang diasumsikan dapat membuat individu
mampu bersikap dan bertutur kata santun, mau mengerti perasaan istri atau orang lain dan
sebagainya adalah tingkat religiusitas seseorang.
Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi kecenderungan ada tidaknya kekerasan dalam
rumah tangga terhadap istri adalah kematangan emosi suami. Jika individu telah memiliki tingkat
emosi yang sudah matang, maka akan berperilaku baik serta mampu mematuhi peraturanperaturan yang telah ditetapkan baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat.
Hal ini berarti individu yang telah mencapai kematangan emosi, maka individu tersebut memiliki
tanggung jawab terhadap diri sendiri. Selain itu, individu yang matang emosinya akan mampu
mengendalikan ekspresi emosi sehingga tidak merugikan diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan sekitar.
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang diangkat dan dirumuskan
sebagai berikut: “Apakah ada hubungan tingkat religiusitas dan kematangan emosi suami dengan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri ?”
109
III. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada karyawan dan mahasiswa di lingkungan Universitas 17
Agustus 1945 Samarinda berjenis kelamin laki-laki yang sudah menikah, jumlahnya 180 populasi.
Sampel dalam penelitian ini adalah 70 karyawan dan mahasiswa di lingkungan Universitas 17
Agustus 1945 Samarinda. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive random sampling,
yaitu pengambilan sampel yang pemilihan kelompok subyek didasakan atas ciri-ciri tertentu dan
sifat-sifat tertentu yang sudah diketahui sebelumnya. Adapun ciri-ciri sampel yang dimaksudkan
tersebut adalah: 1). Karyawan dan mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda berjenis
kelamin laki-laki yang sudah berkeluarga, 2). Umur 25 sampai 45 tahun. 3). Menikah minimal 5
tahun
A. Analisa Data
Data dari penelitian ini dianalisis secara bertahap dengan menggunakan analisis statistik
dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda. Pertama-tama dilakukan uji normalitas
sebaran, uji linieritas. Uji normalitas menggunakan teknik Hoyt (Hadi 2000). Untuk uji linieritas
hubungan menggunakan analisis varians. Setelah dilakukan uji asumsi selanjutnya baru
dilaksanakan uji hipotesis. Uji hipotesis penelitian menggunakan teknik regresi ganda.
B. Uji Asumsi atau Uji Prasyarat
Untuk menguji asumsi menggunakan jasa komputer SPS. 2000 (Hadi,2000) adapun hal
yang diuji adalah :
1. Uji Normalitas sebaran
Uji normalitas sebaran dimaksudkan untuk mengetahui semua variabel yang diukur
mengikuti hukum sebaran normal atau tidak, uji statistik yang digunakan adalah
teknik Hoyt. (Hadi, 2000) Kaidah untuk mengetahui normal tidaknya menggunakan
kriteria jika p > 0.050 berarti sebaran normal dan bila p < 0,050 berarti sebaran tidak
normal.
Dari hasil komputasi uji normalitas diperoleh bahwa variabel kekerasan dalam rumah
tangga menghasilkan kai kuadrat = 7,937; db = 9; dengan peluang galat p = 0.540 (p >
0.005, nirsignifikan) yang berarti variabel kenakalan remaja memiliki sebaran yang
normal.
110
2. Uji linieritas hubungan
Uji linieritas hubungan dimaksudkan untuk mengetahui apakah antara variabel bebas
dengan variabel terikat terdapat hubungan yang linier atau tidak. Untuk menguji
linieritas hubungan menggunakan jasa komputer program SPS 2000. Kaidah yang
digunakan untuk menguji linier atau tidak adalah p < 0,050 maka hubungan linier,
sedangkan jika p > 0,050 maka hubungannya tidak linier. Hasil dari uji linieritas
adalah sebagai berikut:
Uji linieritas dilakukan untuk membuktikan bahwa masing-masing variabel bebas
mempunyai hubungan yang linier dengan variable tergantung. Kaidah yang digunakan
untuk mengetahui linieritas hubungan antara variable bebas dengan variable
tergantung adalah jika p > 0,05; maka hubungannya linier. Jika p < 0,05; maka
hubungannya tidak linier. Hasil uji linieritas dapat terlihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Hasil Uji Linieritas
Variabel
Religiusitas
Kematangan
emosi
“Beda” derajat ke-2 ----- derajat ke-1, dst
R
Db
F
P
0,903 (p>0,05 ;
0.000
1 / 67
0,014
tidak signifikan)
0.224 (p>0,05 ;
0.018
1 / 67
1,495
tidak signifikan)
2
Kesimpulan
Korelasi
Linier
Linier
Dari tabel diatas disimpulkan bahwa untuk variabel X1 (Religiusitas) yang sudah linier
(tanpa transformasi) dan variabel X2 (kematangan emosi) dapat dipakai langsung untuk analisis
regresi umum dalam rangka pengujian.
IV. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan analisis regresi umum, khususnya matriks interkorelasi dapat disimpulkan
bahwa antara variabel X1 (Religiusitas) dengan variabel Y (kekerasan dalam rumah tangga)
diperoleh : r x1y = -0.265 (dengan arah negatif ), dengan peluang galat p = 0.025 (p dibaca
separuh , p < 0.05, signifikan). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan
antara Religiusitas dengan kekerasan dalam rumah tangga. Artinya makin tinggi Religiusitas,
makin rendah kekerasan dalam rumah tangga. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan ada
111
hubungan negatif antara Religiusitas dengan kekerasan dalam rumah tangga, diterima.
Berdasarkan analisis regresi umum, khususnya matriks interkorelasi dapat disimpulkan bahwa
antara variabel X2 (kematangan emosi) dengan variabel Y (kekerasan dalam rumah tangga)
diperoleh : r x2y = -0.336 (dengan arah negatif), dengan peluang galat p = 0.005 (p dibaca
separuh, p < 0.01; sangat signifikan). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang
sangat signifikan antara kematangan emosi dengan kekerasan dalam rumah tangga. Semakin
tinggi kematangan emosi, makin rendah kekerasan dalam rumah tangga. Dengan demikian
hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara kematangan emosi dengan kekerasan
dalam rumah tangga, diterima. Berdasarkan rangkuman analisis regresi, hasil uji hipotesis 3
diperoleh harga R = 0,429; F = 7,552 ; dengan db = 2/67; dan peluang galat p = 0.001 ( p < 0.01;
sangat signifikan). Sumbangan efektif yang diberikan oleh religiusitas terhadap kekerasan dalam
rumah tangga sebesar 2,238 %. Sedangkan sumbangan efektif kematangan emosi terhadap
kekerasan dalam rumah tangga sebesar 9,487 %. Sisanya 88,275 % adalah faktor-faktor lain diluar
religiusitas dan kematangan emosi. Dengan demikian disimpulkan bahwa hipotesis 3, diterima.
Artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara religiusitas dan kematangan emosi dengan
kekerasan dalam rumah tangga.
Hasil penelitian mendapatkan bahwa kecenderungan terjadi kekerasan dalam rumah
tangga dipengaruhi secara signifikan antara kematangan emosi dan tingkat religiusitas. Dari
analisis yang diperoleh cukup membuktikan bahwa kedua variabel ini mempengaruhi
kecenderungan terjadi kekerasan dalam rumah tangga dan ini membuktikan hipotesis yang ketiga
yang berbunyi ada hubungan negatif antara tingkat religiusitas dan kematangan emosi suami
dengan kecenderungan melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Semakin tinggi tingkat
religiusitas dan kematangan emosi, maka semakin rendah kecenderungan melakukan kekerasan
dalam rumah tangga. Dan sebaliknya semakin rendah tingkat relegiusitas dan kematangan emosi,
maka semakin tinggi kecenderungan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, hal ini
menunjukkan bahwa hipotesis ini diterima artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara
tingkat religiusitas dengan kematangan emosi dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Dengan perbandingan Mean Empiris dan Mean Teoritis sebagai berikut:
1. Rata-rata tingkat religiusitas tinggi
2. Rata-rata kematangan emosi tinggi
3. Rata-rata kekerasan dalam rumah tangga rendah.
112
Maka hal ini dapat dijadikan dasar rekomendasi bagi para suami untuk melakukan
perbaikan aspek individu di samping aplikasi-aplikasi bentuk-bentuk relegiusitas dan kematangan
emosi yang lain sebagai upaya untuk terus meminimalisir terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab terdahulu,
maka hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ada hubunganantara tingkat religiusitas suami dengan kecenderungan melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri. Semakin tinggi tingkat religiusitas suami
maka semakin rendah untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri,
demikian sebaliknya.
2. Ada hubungan antara kematangan emosi dengan kecenderungan melakukan kekerasan
dalam rumah tangga terhadap istri. Semakin matang emosi suami, maka semakin rendah
untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, demikian sebaliknya.
3. Ada hubungan antara tingkat religiusitas dan kematangan emosi suami dengan
kecenderungan melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri
B. Saran-Saran
Setelah mengetahui dari hasil penelitian ini, maka penulis dapat memberikan saran-saran
sebagai berikut:
1. Bagi para suami, dapat menjadi masukan yang bermanfaat karena persoalan tentang
tingkat relegiusitas dan kematangan emosi dengan kekerasan dalam rumah tangga dapat
berdampak buruk bagi setiap anggota keluarga di dalamnya.
2. Bagi para isteri, Agar lebih memperhatikan kehidupan keluarga, apapun status para isteri
diharapkan mereka menjalankan peran mereka sebagai isteri, sebagai orang tua, yang
melayani keperluan suami dan anak agar terjadi suasana keharmonisan dalam rumah
tangga.
3. Bagi para peneliti yang lain, Diharapkan dapat menjadi masukan yang bermafaat untuk
mengembangkan konsep-konsep psikologi, terutama dibidang psikologi sosial, psikologi
pendidikan, psikologi
klinis. Serta diharapkan menjadi acuan dalam
113
penelitian
selanjutnya sehingga dapat memperbaiki atau menambah variabel lain yang menjadi
kekurangan dalam penelitian ini nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A., Supriyono, W. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Dan Pengukuran. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada Press
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Bhineka Cipta.
Azwar, S. 2000. Validitas dan Reliabilitas dalam Penerapan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta.
Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada
Breakwell, Lorenz. 1998. Coping With Aggresisve Behaviour. Yogyakarta: Kanisius
Cole L., 1983. Psychology of Adolessence. New York. Hort, Reinhart, and Winston.
Djannah,dkk. 2007. Kekerasan Terhadap Istri. Yogyakarta: Lkis
Dugan, Meg Kennedy & Roger R. Hock. 2000. It’s My Life Now Starting Over After an Abusive
Relationships or Domestic Violence. New York: Academic Press
Hardjana, A. 2005. Religiousitas, Agama dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius
Hawari, Dadang, 1996. Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Jakarta: Dana Bhakti
prima Yasa.
114
Download