Corporate Ubermensch : Friedrich Nietzsche & Manajemen oleh: Subagyo Korporasi merupakan suatu entitas bisnis yang memiliki kekuatan dan kekuasaan besar. Kekuasaan yang berhulu pada kepemilikan modal sebagai kekuatan untuk membangun kekuasaan finansial. Saat kekuasaan secara finansial telah dimiliki, lantas seringkali korporasi melakukan invasi untuk memiliki kekuasaan secara sosial, politik, hukum, budaya dan lain-lain. Bahkan korporasi memiliki kekuasaan untuk melahirkan nilai-nilai baru bagi masyarakat (hilirisasi kekuasaan). Suatu nilai (value) yang diciptakan untuk mengkonfirmasi kepentingan finansial-nya. Pandangan seorang filsuf kontroversial, Friedrich Nietzsche, tampaknya bisa juga digunakan sebagai lensa untuk mendapatkan gambar yang lebih jelas mengenai perilaku korporasi. Meskipun Nietzsche dalam teori yang dibangunnya menyoroti manusia, namun tidaklah salah jika teori tersebut dipakai untuk memotret perilaku korporasi. Hal ini disebabkan bahwa sesungguhnya korporasi dibentuk dan dijalankan oleh individu-individu bebas yang bekerjasama untuk tujuan bersama (common goal) dengan tujuan untuk meraih kebaikan bersama (common good). (Calleja, 2016). Friedrich Nietzsche (1844-1900) lahir di Prusia dan pada umur 24 tahun diangkat menjadi guru besar di Basel. Nietzsche adalah seorang filsuf yang melakukan kritik dengan sangat keras atas menguatnya pemikiran moral pada abad ke -19. (Blackburn, 2013: 602). Dan sosok Nietzsche jugalah, yang menyatakan jargon “Tuhan telah mati” dan mengklaim bahwa “ruh murni” adalah sekedar omong kosong. (Graham, 2014: 39). Ubermensch & Will to Power Salah satu lensa Nietzsche yang relevan untuk mengambil gambar perilaku korporasi adalah konsep Nietzsche perihal Ubermensch (Manusia Unggul), “Will to Power” (Hasrat untuk Berkuasa) dan Eternal Recurrence (Perulangan Abadi). Namun pada artikel ini, hanya konsep Ubermensch dan konsep “Will to Power” yang dipakai untuk memotret perilaku korporasi. Konsep Ubermensch Nietzshe bukanlah mimpi ras Arya seperti yang ada dalam mitologi Nazi, namun merupakan suatu konsep untuk mengambarkan sosok manusia yang menujukkan kesempurnaan manusiawi-nya atas kehendak untuk berkuasa. (Graham, 2014: 42). Menurut Nietzsche, bisa disebut Ubermensch jika “dengan sangat baik”, seseorang mampu menunjukkan kehendak untuk berkuasa dalam perilaku-nya. Ubermensch menundukkan hakikat manusia dalam mempertahankan keunggulan terhadap pandangan normal dan kovensi kehidupan sosial. (Blackburn, 2013: 886) Dalam kalimat yang lain, Ubermensch adalah sesorang yang benar-benar mandiri jika dipandang berdasarkan nilai dan makna kehidupannya, seseorang yang memutuskan bagi dirinya sendiri nilai apa yang hendak dianut oleh dirinya dan menguasai dengan baik emosi dan kecerdasannya sehingga mampu merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sendiri. Menolak segala macam kecenderungan untuk berpaling pada dunia supranatural, orang-orang semacam ini menegaskan keingginannya sendiri dan mampu memenangi perlawanan melawan tekanan moralitas konvensional dan kepatuhan buta terhadap norma-norma sosial. (Graham, 2014: 43). Selanjutkan Graham menuliskan, Ubermensch menciptakan nilai dan makna bagi dirinya sendiri melalui “kehendak untuk kuasa”-nya sendiri. (Graham, 2014: 45) Sumber lain mengatakan bahawa “An ubermensch is someone who can establish his own values as the world in which others live their lives, often unaware that they are not pregiven. This means an ubermensch can affect and influence the lives of others. In other words, an ubermensch has his own values, independent of others, which affects and dominates others lives that may not have predetermined values but only herd instinct”. (https://ccrma.stanford.edu/~pj97/Nietzsche.htm) Bertolak dari beberapa pengertian ubermensch diatas, maka dapat dikatakan bahwa manusia bisa dikatagorikan sebagai Ubermensch jika memiliki ciri, kharakter dan perilaku antara lain sebagai berikut: Pertama, menunjukkan kehendak untuk berkuasa dalam perilaku-nya. Kedua, mempertahankan keyakinanannya atas pandangan normal dan kovensi kehidupan sosial. Ketiga, mandiri atas nilai dan makna kehidupannya. Keempat, menguasai dengan baik emosi dan kecerdasannya sehingga mampu merealisasikan nilai-nilai yang diyakini dalam kehidupannya sendiri. Kelima, menolak segala macam kecenderungan untuk berpaling pada dunia supranatural. Keenam, melawan tekanan moralitas konvensional dan kepatuhan buta terhadap norma-norma sosial. Ketujuh, menciptakan nilai dan makna bagi dirinya sendiri melalui “kehendak untuk kuasa”-nya sendiri. Kedelapan, mampu mempengaruhi kehidupan manusia lainnya. Kesembilan, memiliki nilai sendiri, tidak bergantung pada yang lainnya dan mendominasi manusia lainnya. Nietzshe mencontohkan Ubermensch seperti Richard Wagner yang merupakan seorang komposer besar yang menerobos batasan-batasan konvensional dan praktis di dunia seni dan mengukuhkan nilai-nilai artistiknya sendiri. (Graham, 2014: 43) Sedangkan “Will to Power” merupakan elemen fundamental hakikat manusia. Kuasa ini tidak mesti berupa dominasi atas orang lain, tetapi juga bisa diraih lewat aktivitas kreatif untuk diri sendiri. Hasrat untuk berkuasa diasosiasikan dengan kecukupan diri dan kepercayaan diri. Menurut Nietzshe, “Will to Power” melawan atas hambatan dalam bentuk sistem etika yang tidak sehat dan selalu perihal kebajikan, seperti kemurahan hati dan kerendahan hati. Menurut Nietzshe, sistem etika tidak lebih dari sebuah tidak lebih dari penyublimasian kemarahan dan iri/cemburu hati. (Graham, 2014: 920) Nietzshe melontarkan pertanyaan sekaligus jawaban atas beberapa hal, seperti digambarkan oleh Graham (2014: 40-41) sebagai berikut: Apakah yang bisa menggerakkan manusia dan jawaban yang ia berikan adalah “kehendak untuk kuasa”. Apakah kebaikan itu? Adalah segala hal yang mempertinggi perasaan berkuasa, kehendak untuk kuasa dan kekuasaan itu sendiri dalam manusia. Apakah keburukan itu? Adalah segala hal yang dihasilkan oleh kelemahan. Apakah kebahagiaan itu? Adalah perasaan akan meningkatnya kekuasaan-keberhasilan memadamkan pemberontakan dan penentangan. Selanjutnya, Nietzshe juga mengatakan “bukan kepuasan namun lebih berkuasa, bukan perdamaian namun perang, bukan nilai namun kemahiran. Hasrat untuk kuasa adalah hasrat untuk menang dalam pertarungan yang merupakan kondisi esensial manusia, kehendak untuk menguasai dan menaklukkan tantangan-tantangan kompetitif eksistensi manusia. (ada pengaruh Darwin, barangkali hal ini merupakan sumber konsepsi Richard Dawkins atas “gen yang egois”. (Graham, 2014: 41). Selanjutnya Graham (2014: 49) menulis pula pendapat Nietzshe yang mengatakan bahwa “kehendak manusia untuk berkuasa merupakan pusat dalam penciptaan segala nilai”. Ilustrasi diatas tentang “Will to Power” memberikan penanda bahwa, “Hasrat untuk Berkuasa” itu bertanda: Pertama, elemen fundamental hakikat manusia. Kedua, kuasa bisa diraih melalui dominasi atas orang lain, tetapi juga bisa diraih lewat aktivitas kreatif untuk diri sendiri. Ketiga, diasosiasikan dengan kecukupan diri dan kepercayaan diri. Keempat, melawan atas hambatan dalam bentuk sistem etika yang tidak sehat dan selalu perihal kebajikan, seperti kemurahan hati dan kerendahan hati. Kelima, sistem etika tidak lebih dari sebuah tidak lebih dari penyublimasian kemarahan dan iri/cemburu hati. Keenam, hasrat untuk menang dalam pertarungan yang merupakan kondisi esensial manusia, kehendak untuk menguasai dan menaklukkan tantangan-tantangan kompetitif eksistensi manusia. Ketujuh, merupakan pusat dalam penciptaan segala nilai. Kedelapan, merupakan penggerak manusia. Kesembilan, penanda atas kebaikan saat perasahaan kehendak untuk berkuasa meningkat. Kesepuluh, sebagai penanda kebahagiaan saat perasaan akan meningkatnya kekuasaankeberhasilan memadamkan pemberontakan dan penentangan. Bagaimana potret perilaku korporasi dengan memakai lensa Friedrich Nietzsche ini? Jika dilihat dari ciri, kharakter dan perilaku Ubermensch serta penanda atas “Will to Power” maka dapat dikatakan bahwa sebagaian perilaku korporasi adalah sebagai entitas bisnis dengan pola yang saling berkait antara wujud dari Ubermensch dan “Will to Power”. Korporasi menggunakan kharakter Ubermensch untuk memenuhi hasrat “Will to Power” sekaligus korporasi juga menebalkan “Will to Power”-nya untuk meningkatkan derajad atau level ke-Ubermensch-nya. Bisa pula dikatakan bahwa korporasi menggunakan kharakter Ubermensch dan “Will to Power” sebagai kekuatan instrumental untuk saling meneguhkan sikap sebagai Ubermensch dan meninggikan hasrat “Will to Power”. Dengan kekuatan dan kekuasaan finansial yang dimilikinya, korporasi bisa memaksakan nilai yang diyakininya sebagai sebuah nilai yang baik sekaligus benar. Korporasi tidak hanya bisa menolak sistem nilai dan etika namun korporasi sekaligus bisa melawannya. Korporasi bisa pula menciptakan nilai sendiri yang di-yakini-nya serta mempengaruhi pihak lain untuk menerima nilai tersebut sebagai nilai yang baik dan benar. Dan akhirnya mewujudlah sebagai “Corporate Ubermensch”. Manajemen & Konsepsi Nietzsche Manajemen dapat ditempatkan sebagai abdi atas korporasi. Common goal maupun common good yang dititah oleh korporasi, sebagai abdi, maka manajemen akan melakukan titah tersebut. Manajemen merupakan suatu aktivitas praktis (practical activity) dari manajer yang biasa disebut sebagai “phronetic bricolage”. Yaitu suatu aktivitas praktis yang dilahirkan dari suatu kompleksitas dengan variasi metode serta variasi data dan sumber. (Trnavcevis, 2017). Sebagai suatu aktivitas praktis, manajemen selalu dihadapkan pada dilema antara pilihan serta keberpihakan atas rasionalitas ekonomi (economic rationality) dan etika. (Windsor, 2016). Dilema manajemen ini lahir karena memang korporasi dihadapkan pada daulat pasar yang menuntut adanya maksimalisasi atas utilitas dari sifat dan nilai aset yang “terbatas”. Disaat yang bersamaan, manajemen juga dihadapkan pada penilaian normatif atas motif, tindakan dan konsekuensi atas kebijakan manajemen. Yang terakhir ini lahir dari sistem etika. Jika manajemen hanya berpihak pada rasionalitas ekonomi dan melakukan perlawanan terhadap sistem etika, dan menganggap bahwa sistem etika tidak lebih dari sebuah penyublimasian kemarahan dan iri/cemburu hati, maka korporasi sudah menjelma sebagai Corporate Ubermensch. Sebagai sebuah ilmu, sesungguhnya manajemen memiliki 3 tipe pengetahuan, yaitu: Scientific (Episteme), Professional (Techne) dan Practical Wisdom (Phronesis). (Kessel, 2001). Dalam tataran praktis saat ini, khususnya dalam ranah pendidikan manajemen, manajemen sebagai sebuah ilmu masih memiliki dominasi pada aspek Episteme dan Techne, dengan sedikit sekali menyinggung aspek Phronesis. Jika dibandingkan antara aspek Episteme dan Techne, tampaknya Techne lebih mendominasi. Sehingga tipe pengetahuan manajemen yang diajarkan, jika dilihat dari aspek dominasi (dari yang lebih dominan) memiliki urutan sebagai berikut: Techne, Episteme dan paling akhir adalah Phronesis (jika sempat!). Dalam ranah ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan manajemen juga (secara tidak sadar, mungkin) memiliki hasrat untuk menciptakan manusia Ubermensch. Setelah berpuluh-puluh tahun, dari tipologi ini menjadi mainstream dalam pendidikan manajemen, maka tidaklah menjadi mengejutkan jika saat ini, bisa dijumpai bahwa sebagai besar korporasi berwujud sebagai Corporate Ubermensch. Apakah kondisi ini akan terus diabaikan? Tentunya tidak, sebelum segala sesuatu-nya sudah dalam kondisi parah, akut dan sekarat!. Mengabaikan Phronesis dalam pembelajaran manajemen adalah bentuk kesepakatan ideologis dengan Friedrich Nietzsche. Dalam tataran praktis, mengalami hal yang lebih kurang sama dengan apa yang terjadi dalam ranah pendidikan manajemen. Tampaknya hanya 2 hal yang diperhatikan dan dipertimbangkan oleh korporasi, yaitu Episteme dan Techne. Ilmu sekaligus teknik yang dipakai oleh korporasi untuk memenuhi hasrat “Will to Power” dan hasrat untuk menjelma menjadi sosok Coporate Ubermensch. Tanpa pernah melakukan kontrak secara substansial dengan Phronesis. Sistem etika adalah sekedar sublimasi atas kecemburuan, kemarahan dan iri hati!, begitu Friedrich Nietzsche mengajari. Dan begitu banyak korporasi, manajer dan pendidik mengamini dan menaati. Daftar Pustaka: Blackburn, Simon, Kamus Filsafat, Terjemahan dari The Oxford Dictionary of Philosophy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013 Calleja, Ricardo, Political Wisdom in Management and Corporate Governance, Philosophy of Management, June 2016, Vol 15, Issue 2, pp 99-119 Kessel, Jos, Socrates Comes to Market, Philosophy of Management, march 2001, Vol 1, Issue 1, pp 49-71 Graham, Gordon, Teori-teori Etika, Terjemahan dari Eight Theories of Ethics, Nusa Media, Bandung, 2015 Trnavcevis, Anita, To the Future with Aristoteles: Phronetic Bricolage?, Philosophy of Management, February 2017, Vol 16, Issue 1, pp 7-18 Windsor, Duane, Economic Rationality and a Moral Science of Business Ethics, Philosophy of Management, June 2016, Vol 15, Issue 2, pp 135-149 https://ccrma.stanford.edu/~pj97/Nietzsche.htm diakses tanggal 26 Maret 2017 .id Penulis adalah Penjaga Portal subagyo