BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Kesehatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem Kesehatan Nasional menyatakan bahwa segala upaya dalam pembangunan
kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih tinggi yang
memungkinkan orang hidup lebih produktif baik sosial maupun ekonomi. Meningkatnya status
sosial dan ekonomi, pelayanan kesehatan masyarakat, perubahan gaya hidup, bertambahnya
umur harapan hidup, menyebabkan Indonesia mengalami pergeseran pola penyakit dari penyakit
menular menjadi penyakit tidak menular, hal ini dikenal dengan transisi epidemiologi. Salah satu
penyakit tidak menular yang mengalami peningkatan adalah Diabetes Melitus (Depkes RI,2007).
Diabetes melitus yang sering disebut dengan kencing manis adalah suatu sindrom atau penyakit
akibat kekurangan atau hilangnya keberfungsian hormon insulin sehingga menyebabkan
tingginya kadar glukosa di dalam darah (Badawi, 2009). Diabetes melitus atau yang biasa
disebut DM merupakan suatu gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat
dan lemak yang relatif kekurangan insulin. Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi Diabetes
Melitus Tipe I Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), diabetes melitus Tipe II Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dan diabetes dalam kehamilan atau Gestational
Diabetes Mellitus (GDM) (Bilous dan Donelly, 2010).
Jumlah individu dengan diabetes melitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat (Depkes RI,2010).
Survey yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah individu dengan diabetes
melitus di dunia pada tahun 2000 tercatat 175,4 juta orang, dan mengalami peningkatan pada
tahun 2010 menjadi 279,3 juta orang. Jumlah individu dengan diabetes melitus di Indonesia pada
tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang, jumlah tersebut menempati urutan ke-4 terbesar didunia.
(Depkes RI, 2008). Dari 33 Provinsi di Indonesia Bali termasuk dalam sepuluh besar Provinsi
dengan kasus diabetes terbanyak, jumlah individu dengan diabetes melitus di Provinsi Bali pada
tahun 2011 sebanyak 2.210 orang dan jumlah ini akan meningkat setiap tahunnya (Depkes
Provinsi Bali, 2014). Tingginya jumlah penderita diabetes melitus di Bali tidak terlepas dari pola
makan dan gaya hidup masyarakat Bali. Dari Sembilan kabupaten/ kota dibali kasus yang
menonjol terjadi di kabupaten Badung, kabupaten Gianyar, dan kota Denpasar hal tersebut
dikarenakan ketiga kabupaten tersebut merupakan daerah pariwisata sehingga terjadi relevansi
antara tingkat penghasilan dan pola makan yang mempengaruhi gaya hidup masyarakat setempat
(www.Antarabali.com)
Umumnya diabetes melitus disebabkan kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya
gula darah. Beberapa faktor pemicu seperti pola makan yang berlebihan dan melebihi jumlah
kalori yang dibutuhkan. Konsumsi makanan yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan sekresi
insulin dalam jumlah yang cukup dapat menyebabkan kadar glukosa darah meningkat dan akan
menyebabkan diabetes melitus. Faktor genetis juga merupakan penyebab dari diabetes melitus,
karena diabetes melitus dapat diwariskan dari orangtua kepada anak. Pola hidup juga sangat
mempengaruhi faktor penyebab diabetes melitus jika individu malas berolahraga memiliki risiko
tinggi untuk terkena penyakit diabetes melitus karena olah raga berfungsi untuk membakar kalori
berlebihan didalam tubuh. Kalori yang tertimbun di dalam tubuh merupakan faktor utama
penyebab diabetes melitus selain kerusakan pankreas (Hasdianah, 2012).
Diabetes melitus tipe I disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau sebagian besar selsel betha dari pankreas yang berfungsi dalam menghasilkan insulin. Diabetes melitus tipe I
sebagian besar terjadi sebelum usia 30 tahun dan diabetes melitus tipe I diperkirakan terjadi
sekitar 5% hingga 10% dari seluruh kasus diabetes melitus yang ada. Diabetes melitus tipe 2
disebebkan karena terjadinya penurunan kemampuan insulin selain itu pada diabetes melitus tipe
II
juga dapat disebabkan oleh obesitas dan kekurangan olahraga, diabetes melitus tipe II
sebagian besar terjadi pada usia lebih dari 65 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Admin
(2011) menyebutkan bahwa pria memiliki faktor risiko lebih besar terkena diabetes dari pada
wanita. Jenis diabetes melitus lainnya yaitu diabetes melitus dalam kehamilan (gestational
diabetes melitus), yang merupakan kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin
resistance. Pada umumnya ditemukan pada kehamilan trisemester ke dua atau ketiga.
Di Indonesia persentase diabetes melitus tipe II mencapai 85% hingga 90% dari total
penderita diabetes melitus. Penyakit kronis, seperti diabetes dapat memberikan dampak yang
cukup besar dalam kehidupan, seperti kemungkinan komplikasi di masa depan. Komplikasi yang
terjadi adalah stroke, jantung, dan dapat menyebabkan gangguan pengelihatan akibat kerusakan
retina mata selain kemungkinan komplikasi dimasa depan, dampak yang cukup besar adalah
perubahan gaya hidup (Badawi, 2009). Perubahan gaya hidup yang terjadi pada individu dengan
diabetes adalah individu dengan diabetes diharuskan untuk melakukan diet yaitu dengan
mengurangi kalori dan mengkonsumsi vitamin, melakukan aktifitas fisik seperti berolahraga
dengan teratur dan mengkonsumsi obat atau insulin setiap harinya (Hasdianah, 2012). Perubahan
gaya hidup dan komplikasi pada individu dengan diabetes melitus tersebut dapat menimbulkan
dampak psikologis seperti stres. Seseorang dengan diabetes melitus dapat menunjukan reaksi
psikologis negatif diantaranya marah, merasa tidak berguna, cemas, dan depresi (Tjokroprawiro,
1989). Dampak sosial yang dialami oleh individu dengan diabetes seperti stigmatisasi dan isolasi
dalam kelompok sosialnya (Byod, 2011), perubahan lainnya yang terjadi adalah meningkatnya
pengeluaran sehari- hari serta penurunan kegiatan rekreasi (WHO, 1998).
Permasalahan kesehatan salah satu anggota keluarga bukan hanya permasalahan individu
saja melainkan permasalahan seluruh anggota keluarga karena berdampak pada kebahagiaan
keluarga dimana bagi sebuah keluarga, penyakit adalah masalah yang sangat berat. Hal ini sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lazarus
& Folkman (1984) menjelaskan bahwa
permasalahan kesehatan anggota keluarga menempati urutan kesebelas dari empat puluh tiga
kejadian dalam hidup yang membuat stres.
Apabila suami menderita penyakit diabetes akan mengakibatkan permasalahan dalam
keluarga karena kesehatan suami sangat vital sebagai pencari nafkah. Burman & Margolin
(1992) menyatakan bahwa penyakit diabetes dapat berdampak bagi orang-orang yang dekat
dengan pasien, terutama pasangan, yang dapat mempengaruhi hubungan pernikahan mereka.
Penelitian yang dilakukan Coombs (2007) menyebutkan bahwa adanya perubahan pada
hubungan pernikahan setelah pasangan terdiagnosa penyakit kronis karena merasa kehilangan
begitu besar atas hubungan pernikahan yang mereka miliki sebelumnya. Menurut Karney &
Bradbury (1995) stres yang dihadapi oleh suami atau istri yang mengalami sakit kronis dapat
mempengaruhi kehidupan pernikahan, yakni adanya perubahan perilaku seperti marah, merasa
tidak berguna, dam kecewa yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan.
Menurut Hendrick & Hendrick (1992), kepuasan pernikahan dapat merujuk pada cara
pasangan suami istri mengevaluasi hubungan pernikahan mereka. Atwater (1983) menjelaskan
bahwa kepuasan pernikahan juga merupakan derajat kuatnya komitmen yang dirasakan
seseorang terhadap perkawinannya, walaupun terdapat konflik, stres dan perasaan kecewa.
Salah satu aspek dari kepuasan pernikahan menurut Olson & Olson (2000) adalah relasi
seksual, yang mana relasi seksual merupakan barometer emosi dalam suatu hubungan yang dapat
mencerminkan kepuasan pasangan terhadap aspek suatu hubungan. Oleh karena itu kualitas
relasi seksual merupakan kekuatan penting bagi kebahagiaan pasangan maka kualitas tersebut
perlu di jaga atau ditingkatkan melalui komunikasi seksualitas antara pasangan. Menurut
Harahap (2006), pasangan suami istri dengan suami diabetes mengalami perubahan aktivitas
seksual dikarenakan impotensi dan ejakulasi dini yang dalami oleh suami sehingga dapat
mempengaruhi kehidupan seksual pasangan suami istri hal ini dapat mempengaruhi kepuasan
pernikahan. Pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus akan merasakan kepuasan dalam
pernikahan apabila adanya dukungan dari pasangan dan keluarga, adanya waktu luang yang
digunakan untuk melakukan aktivitas bersama keluarga, terselesaikannya konflik yang ada
dalam hubungan pernikahan, dan pasangan tersebut mampu dalam mengkomunikasikan masalah
yang dihadapi dengan baik.
Komunikasi penting dalam hubungan pernikahan karena dengan komunikasi yang baik
antara kedua pasangan menyebabkan pasangan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi
dengan lebih mudah sehingga dapat tercapai suatu kepuasan dalam pernikahan. Hal ini sesuai
dengan
yang dikemukakan oleh Olson & Olson (2000) yaitu salah satu aspek yang
mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah komunikasi, karena berkaitan dengan hampir semua
aspek pada pasangan. Hasil dari semua diskusi dan pengambilan keputusan dalam pernikahan
akan tergantung kepada gaya, pola, dan keterampilan berkomunikasi.
Reis & Shaver (1988) menjelaskan bahwa ketika pasangan saling berkomunikasi secara
terbuka dan mengungkapkan perasaan pribadi satu sama lain maka akan mampu meningkatkan
keintiman antara pasangan. Keintiman pada pasangan akan berhubungan positif dengan
kepuasan pernikahan. Hubungan positif yang dimaksud adalah semakin tiggi taraf keintiman
pada pasangan, maka kepuasan pernikahan juga akan meningkat. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Kuijer, Hagedoorn, Buunk, DeJong & Wobbes (2000) pada pasien dengan
penyakit kronis telah menunjukkan hubungan positif antara pasangan dengan keterlibatan aktif
dalam perawatan pasangan yang sakit dan kepuasan dalam hubungan pernikahan. Semakin tinggi
keterlibatan aktif dalam perawatan pasangan yang sakit maka kepuasan hubungan dalam
pernikahan semakin meningkat.
Menurut Bodenmann (1995) penyakit kronis dapat dianggap sebagai stressor bersama
bagi pasien dan pasangan, maka dari itu dibutuhkan strategi coping sebagai cara bagi pasangan
dalam menghadapi penyakit. Strategi coping merupakan upaya perubahan kognitif dan tingkah
laku secara terus menerus untuk mengatasi tuntutan eksternal maupun internal yang dinilai
membebani individu (Lazarus & Folkman 1984). Penelitian yang dilakukan oleh Papp & Witt
(2010) menyebutkan bahwa dalam hubungan pernikahan, dyadic coping dapat memprediksi
kepuasan pernikahan dibandingkan dengan emosional dan problem fokus coping, maka dari itu
dalam suatu hubungan interpersonal seperti pernikahan, jenis coping yang digunakan adalah
dyadic coping. Dyadic coping merupakan upaya yang dilakukan pasangan untuk memikirkan
masalah yang dihadapinya dan mencoba untuk mencari penyelesaian dari masalah tersebut,
(Bodenmann 1995). Tujuan dari dyadic coping adalah untuk mengurangi tingkat stres dan
meningkatkan hubungan pernikahan (Bodenmann 2005). Meier, Bodenmann, Morgeli, &
Jenewin (2011) juga menjelaskan bahwa dyadic coping dapat meningkatkan kepercayaan,
kenyamanan, dan keintiman antar pasangan serta memberi pengaruh yang positif dan
menguntungkan bagi kedua pasangan. Dyadic coping inilah yang nantinya akan berperan dalam
meningkatkan kepuasan pernikahan.
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, nampak bahwa dyadic coping penting karena
dengan dyadic coping pasangan dapat menghadapi stres yang dirasakan akibat dari penyakit
yang dihadapi. Pasangan yang melakukan dyadic coping dengan baik akan mampu memecahkan
masalah dalam pernikahan sehingga stres yang dirasakan pasangan akan berkurang, akan tetapi
pasangan yang tidak mampu melakukan dyadic coping akan cenderung memiliki permasalahan
akibat dari penyakitnya yang dapat menyebabkan tingginya stress yang dirasakan oleh pasangan
sehingga kepuasan pernikahan yang dirasakan menjadi rendah. Dampak buruk yang terjadi
akibat rendahnya kepuasan pernikahan pasangan yaitu perceraian, tidak terkontrolnya kesehatan
yang menyebabkan tingginya gula darah pada suami dengan diabetes melitus, dan tingginya stres
yang dirasakan oleh pasangan. Oleh karena itu peran dyadic coping dan kepuasan pernikahan
pada pasangan suami istri dengan diabetes melitus tipe II penting untuk diteliti.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini
yaitu bagaimana peran dyadic coping dan kepuasan pernikahan pasangan suami istri dengan
suami diabetes melitus tipe II?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran dan kontribusi antara dyadic coping
dan kepuasan pernikahan pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
sebagai pembuktian empiris tentang hubungan dyadic coping dan kepuasan pernikahan pada
pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II . Penelitian ini juga diharapkan
dapat memberikan sumbangan ilmiah yang berguna bagi Psikologi Perkembangan Keluarga
dan Psikologi Kesehatan terkait hubungan pernikahan bilamana salah satu pasangan
mengalami diabetes melitus tipe II.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan konsultasi, baik sebagai tindakan
intervensi bagi pasangan yang sudah menikah ketika mengalami kesulitan dalam menghadapi
situasi ketika salah satu pasangan mengalami DM tipe II. Selain itu penelitian ini juga dapat
menjadi tambahan pengetahuan bagi pasangan yang sudah menikah untuk mengetahui
bagaimana strategi dyadic coping berperan dalam kualitas pernikahan, termasuk di dalamnya
kepuasan pernikahan.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian serupa pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Hasil penelitian
Diana, Sukarlan, & Pohan (2012) mengenai “Hubungan antara Caregiver Strain dan Kepuasan
Pernikahan pada Istri sebagai Spouse Caregiver dari penderita stroke” menemukan bahwa
terdapat hubungan negatif antara caregiver strain dan kepuasan pernikahan, yang bermakna
bahwa dengan meningkatnya caregiver strain akan diikuti dengan penurunan kepuasan
pernikahan begitu juga sebaliknya dengan menurunnya caregiver strain akan diikuti dengan
kenaikan skor kepuasan pernikahan. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan, yaitu dari segi variabel bebas dan responden penelitian. Pada penelitian Diana,
Sukarlan, & Pohan (2012) variabel bebas yang digunakan adalah caregiver strain dan responden
yang digunakan adalah istri yang berperan sebagai spouse caregiver dari penderita stroke.
Penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan dyadic coping sebagai variabel bebas dan
responden yang digunakan adalah pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus type II.
Penelitian Meier, Bodenmann, Morgeli, & Jenewin (2011) pada pasien yang menerima
perawatan secara regular di Zurich Lung League, mengenai “Dyadic Coping, Quality of life, and
Psychological distress among chronic obstructive pulmonary disease patient and their partners”
menunjukkan bahwa
Pasangan dari pasien COPD sangat mendukung dan memberikan
perhatian, pasien merasa mereka tidak dapat mengurus tugas yang pernah mereka lakukan ini
berkorelasi dengan kualitas hidup yang rendah antara pasien dan pasangannya. Penelitian ini
memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Perbedaan yang terdapat
pada penelitian ini adalah dari segi variabel dan responden penelitian. Pada penelitian Meier,
Bodenmann, Morgeli, & Jenewin (2011) terdapat dua variabel bebas dan satu variabel tergantung
. Sementara pada penelitian yang akan dilakukan berikut menggunakan satu veriabel bebas dan
satu variabel tergantung.
Penelitian yang dilakukan oleh Trief, Himes, Orendorf, & Wenstock (2010) kepada
individu dengan diabetes melitus mengenai “The Marital Relationship Psychosocial Adaptation
and Glycemic Control of individual with diabetes” menunjukan bahwa kepuasan pernikahan
memiliki hubungan yang positif dengan psychosocial adaptation dan glycemic control yang
bermakna bahwa ketika kepuasan pernikahan tinggi maka psychosocial adaptation dan glycemic
control tinggi. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan berikut.
Perbedaan yang terdapat pada penelitian ini adalah dari responden penelitian. Pada penelitian
Trief, Himes, Orendorf, & Wenstock (2010) responden penelitian adalah individu dengan
diabetes, sedangkan responden penelitian dari penelitian ini adalah pasangan suami istri dengan
suami diabetes melitus type II.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, terlihat perbedaan penelitian- penelitian
terdahulu dengan penelitian yang dilakukan ini. Hal ini menunjukan bahwa penelitian ini adalah
asli karena merupakan hasil karya peneliti, penelitian serupa belum pernah dilakukan
sebelumnya, khususnya di Bali.
Download