Untitled - Index of

advertisement
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003
1
PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN
DAN SISTEM PEMBAYARAN
TRIWULAN IV – 2003
Tim Penulis Laporan Triwulanan IV – 2003, Bank Indonesia
Sampai dengan triwulan terakhir di tahun 2003, kestabilan makroekonomi dan
moneter masih terus berlanjut yang mengindikasikan bahwa proses pemulihan ekonomi
terus berlangsung. Pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2003 diperkirakan meningkat. Nilai
tukar rupiah bergerak relatif stabil pada level sebagaimana yang diperkirakan pada awal
tahun. Kecenderungan penurunan inflasi terus berlangsung sejalan dengan stabilnya nilai
tukar, ekspektasi masyarakat yang membaik, serta ketersediaan pasokan dalam negeri.
Sementara itu, pertumbuhan uang primer t etap terkendali meskipun cenderung meningkat
seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap uang kartal dalam rangka
perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru. Kondisi-kondisi tersebut telah memberikan
ruang bagi penurunan suku bunga instrumen moneter secara lambat dan berhati-hati. Seiring
dengan penurunan suku bunga instrumen moneter tersebut, suku bunga pasar uang, suku
bunga simpanan dan kredit menurun. Sejalan dengan hal tersebut, fungsi intermediasi
perbankan menunjukkan peningkatan.
Pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2003 diperkirakan meningkat sebesar 4,55% lebih
tinggi dari triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong
oleh kegiatan konsumsi terutama konsumsi swasta serta ekspor. Sementara kegiatan
investasi menunjukkan sedikit penurunan. Secara sektoral, pertumbuhan positif ditunjukkan
oleh seluruh sektor ekonomi.
Nilai tukar rupiah dalam triwulan IV-2004 bergerak relatif stabil pada tingkat ratarata sekitar Rp8.474 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah ini didukung oleh faktor
fundamental dan sentimen positif yang terkait terutama dengan kemajuan program
divestasi saham beberapa bank dan peningkatan credit rating Indonesia oleh Lembaga
Pemeringkat Internasional. Sejalan dengan kestabilan kondisi makroekonomi dan moneter
termasuk nilai tukar serta membaiknya sisi penawaran, laju inflasi masih dalam
kecenderungan yang menurun. Inflasi IHK pada akhir triwulan IV-2003 tercatat rendah
mencapai 5,06% (yoy). Penurunan laju inflasi ini didukung oleh kebijakan moneter yang
berhati-hati khususnya dalam menyerap kelebihan likuiditas yang cenderung meningkat
akibat faktor musiman pada akhir triwulan IV-2003. Kecenderungan menurunnya laju
inflasi juga dipengaruhi oleh rendahnya dampak administered price serta terkendalinya
2
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
harga beberapa bahan makanan yang biasanya cenderung fluktuatif serta membaiknya
ekspektasi masyarakat.
Perkembangan besaran-besaran moneter khususnya uang beredar menunjukkan
peningkatan sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dalam triwulan IV-2003. Uang
primer menunjukkan peningkatan namun masih dalam batas-batas pengendalian Bank
Indonesia. Sejalan dengan penurunan suku bunga tersebut, intermediasi perbankan juga
terus menunjukkan perbaikan, walaupun belum seoptimal sebagaimana yang diharapkan.
Hal ini terlihat dari peningkatan nominal kredit dan pembiayaan alternatif melalui obligasi
dan saham. Sejalan dengan kondisi moneter yang kondusif, stabilitas perbankan dan sistem
keuangan dapat dipertahankan sampai dengan triwulan laporan. Kinerja dan tingkat
kesehatan perbankan menunjukkan perbaikan.
Dalam triwulan mendatang, beberapa tantangan ekonomi masih harus dihadapi Indonesia. Prospek ekonomi negara maju dalam triwulan I-2004 dan keseluruhan tahun 2004
diperkirakan akan membaik, walaupun belum secara optimal mendorong sektor eksternal
ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2004 diperkirakan akan meningkat.
Sejalan dengan hal ini inflasi IHK diperkirakan akan naik, sementara nilai tukar Rupiah
diperkirakan akan stabil dan cenderung menguat. Di bidang perbankan, proses intermediasi
perbankan terus menunjukkan perbaikan namun belum begitu kuat. Melihat keseluruhan
prospek ekonomi tahun 2004, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati antara lain masih
adanya faktor risiko yang terkait dengan masih besarnya ekses likuiditas perbankan, serta
perkiraan kenaikan suku bunga di beberapa negara maju.
Mempertimbangkan perkembangan dan prospek makroekonomi dan moneter sampai
dengan akhir tahun 2003 dan tahun 2004, kebijakan moneter tetap diarahkan pada upaya
mencapai sasaran inflasi jangka menengah dengan tetap memperkuat proses pemulihan
ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, ruang bagi penurunan suku bunga tetap terbuka
yang dilakukan secara berhati-hati meskipun dengan laju yang semakin melambat dan
disesuaikan dengan upaya pencapaian sasaran inflasi. Sementara itu, di bidang perbankan,
kebijakan diarahkan untuk melanjutkan upaya-upaya untuk mempertahankan stabilitas
sistem keuangan dan perbankan serta mendorong peningkatan fungsi intermediasi
perbankan dan efisiensi operasional melalui moral suasion kepada bank-bank.
Laporan triwulan IV-2003 ini mencakup evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang
Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran dengan penekanan
pada evaluasi pencapaian sasaran inflasi dan sasaran moneter lainnya. Sistematika penyajian
laporan terbagi dalam beberapa bab. Bab 2 memaparkan evaluasi Bank Indonesia atas
perkembangan kinerja makroekonomi dan kinerja inflasi. Selanjutnya bab 3, 4, 5 masingmasing memaparkan evaluasi atas kebijakan dan perkembangan di bidang moneter,
perbankan, dan sistem pembayaran. Bab 6 mengemukakan pandangan Bank Indonesia
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003
3
mengenai prospek ekonomi dan arah kebijakan mendatang termasuk permasalahan yang
dihadapi perekonomian dan berbagai langkah yang akan ditempuh Bank Indonesia untuk
mengatasinya. Dalam lampiran laporan ini juga disampaikan evaluasi kebijakan di bidang
manajemen intern serta produk-produk hukum Bank Indonesia selama triwulan laporan.
Secara keseluruhan, rangkuman dari materi laporan triwulan IV-2003 disajikan dalam
Tinjauan Umum ini.
1. Evaluasi Perkembangan Inflasi dan Makroekonomi
1.1. Kinerja Inflasi dan Nilai Tukar
Sejalan dengan keberhasilan mempertahankan stabilitas moneter dan makroekonomi
khususnya nilai tukar, laju inflasi selama triwulan IV-2003 menunjukkan kecenderungan
yang menurun. Di samping itu, kestabilan makroekonomi dan moneter juga mendukung
upaya menjaga ketersediaan pasokan dalam negeri baik yang berasal dari produksi dalam
negeri maupun impor guna mengimbangi permintaan domestik yang meningkat. Laju inflasi
IHK triwulan IV-2003 mencapai 5,06% (yoy) atau lebih rendah dari dibandingkan triwulan
III-2003 yang mencapai 6,02% (yoy). Laju inflasi IHK yang cenderung menurun tersebut
terutama dipengaruhi oleh rendahnya dampak administered price serta terkendalinya harga
beberapa bahan makanan yang biasanya cenderung fluktuatif serta membaiknya ekspektasi
masyarakat.
Pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung stabil turut membantu kestabilan harga.
Hal ini terlihat dari inflasi kategori traded yang menurun hingga mencapai 2,60% (yoy)
dibandingkan triwulan III-2003 sebesar 3,93% (yoy). Sementara itu inflasi non traded juga
menunjukkan sedikit melambat yakni dari 10,06% pada akhir triwulan III-2003 menjadi
9,65% (yoy) pada akhir triwulan laporan. Meningkatnya permintaan untuk bahan makanan
seiring dengan faktor musimannya telah mendorong lebih tingginya inflasi kelompok food
dibandingkan kelompok non food.
Dalam triwulan IV-2003, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil pada level rata-rata
sekitar Rp8.474 per dolar AS. Secara point to point rupiah melemah 0,3% dari Rp8.395 per
dolar AS menjadi Rp8.420 per dolar AS. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan
tahun 2002, nilai tukar rupiah tahun 2003 telah menguat 6,29% secara point to point dan
secara rata-rata menguat 8,71%.
Cukup stabilnya nilai tukar rupiah tersebut didukung oleh beberapa faktor positif
baik fundamental maupun sentimen sehingga dapat menahan tekanan depresiasi rupiah
, yang terutama diakibatkan oleh peningkatan valas untuk kebutuhan akhir tahun
khususnya oleh BUMN menjelang akhir tahun, baik untuk kebutuhan pembiayaan impor
maupun untuk pembayaran utang luar negeri. Membaiknya kondisi fundamental ekonomi
4
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Indonesia antara lain tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kecenderungan
menurunnya inflasi, dan membaiknya kinerja fiskal dan neraca pembayaran. Sementara
itu, beberapa faktor positif yang mendukung sentimen positif antara lain : divestasi saham
beberapa bank seperti BRI dan BII, penerbitan obligasi pemerintah, dan peningkatan credit
rating Indonesia oleh Standard and Poor’s dan Fitch IBCA, serta Moody’s.
1.2. Kinerja Makroekonomi
Kinerja perekonomian nasional pada triwulan IV-2003 diperkirakan membaik dan
tumbuh sebesar 4,55% (yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 3,93%.
Di sisi permintaan, perbaikan kinerja ekonomi ini masih ditopang oleh kinerja sektor
konsumsi, terutama sektor konsumsi swasta. Sementara itu, kegiatan investasi diperkirakan
menunjukkan penurunan sejalan dengan penurunan pertumbuhan impor barang modal.
Sumbangan operasi keuangan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi relatif netral
seiring dengan berimbangnya ekspansi fiskal dan kebutuhan perekonomian pada akhir
tahun 2003.
Konsumsi swasta dalam triwulan IV-2003 menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,29%
(yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan konsumsi swasta ini
antara lain terindikasi dari berbagai indikator seperti peningkatan indeks keyakinan
konsumsi, peningkatan penjualan kendaraan bermotor, dan peningkatan impor barang
konsumsi. Kegiatan konsumsi yang meningkat tersebut didukung oleh adanya kemudahan
pembiayaan dan didorong oleh kecenderungan penurunan suku bunga.
Kinerja investasi dalam triwulan IV-2003 diperkirakan menurun dibandingkan
triwulan sebelumnya. Beberapa indikator yang menunjukkan perkiraan ini antara lain
kecenderungan penurunan indeks tendensi bisnis. Diffusion index untuk sentimen bisnis
menunjukkan adanya penurunan pada industri transportasi, komunikasi, keuangan dan
jasa. Indikator lain yang mendukung rendahnya kinerja investasi ditunjukkan dari
pertumbuhan impor barang modal yang tercatat masih negatif dan pertumbuhan kredit
investasi yang menurun. Rendahnya pertumbuhan impor barang modal ini juga sejalan
dengan rendahnya realisasi investasi asing.
Sementara itu, ekspor non migas menunjukkan peningkatan dibanding triwulan
sebelumnya. Peningkatan ini terutama disumbang oleh seluruh kelompok barang terutama
kelompok barang tambang. Dengan demikian, kinerja ekspor barang dan jasa dalam triwulan
IV-2003 diprakirakan mencatat pertumbuhan sebesar 0,73% (yoy). Peningkatan ini antara
lain terkait dengan masih tingginya harga komoditas nonmigas di pasar internasional dan
mulai membaiknya kondisi perekonomian di beberapa negara tujuan ekspor. Sementara
5
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003
itu, sejalan dengan meningkatnya permintaan domestik telah mendorong pertumbuhan
impor non migas.
Tabel 1.1. Indikator Makroekonomi
Indikator
2002
Trw III
2003
Trw IV
Trw I
Trw II Trw III
IHK (%)
Triwulanan (quarter to quarter)
Tahunan (year on year)
3,63
10,03
0,77
7,12
0,46
6,62
1,24
6,20
2,51
5,06
PDB (% pertumbuhan, tahunan)
Dari sisi permintaan :
Konsumsi Total
Investasi Total
Dari sisi produksi :
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
3,8
3,4
3,8
3,9*
4,6*
5,9
8,9
4,1
5,5
5,0
1,7
5,3*
0,03*
6,0*
-0,4*
2,4
5,7
2,4
4,9
-1,3
2,1
2,1
5,2
2,5
0,8*
7,4*
2,4*
3,6*
5,6*
2,8*
Sektor eksternal :
Ekspor non migas (fob, % pertumbuhan tahunan)
Impor non migas (c&f, % pertumbuhan tahunan)
Transaksi berjalan (juta USD)
Posisi Utang LN (juta USD)
4,3
-2,1
1.849
131.343
5,0
6,4
1.225
129.466
14,9
11,0
2.617
130.587
0.7
3,6**
-5.1
6,6**
2.507
1.451
132.072 132.575***
Besaran Moneter (miliar RP)
M0
M1
M2
138.250
191.939
883.908
125.211
181.239
877.776
132.403
195.219
894.554
136.471
207.587
911.223
166.474
224.318**
944.647**
Suku bunga (%)1)
SBI 1 bulan
PUAB (overnight)
Deposito 1 bulan
Kredit modal kerja
Kredit investasi
12,93
12,44
12,81
18,25
17,82
11,40
12,70
11,90
18,08
17,85
9,53
6,99
10,31
17,41
17,43
8,66
9,71
8,17
16,36
16,7
8,31
8,38
7,48
15,45
15,93
Kurs (Rp/USD), nominal akhir periode
Real Effective Exchange Rate (REER)2), 1995=100
Kurs rata-rata
8.950
86,1
9.045
8.693
87,2
8.902
8.275
92,4
8.488
8.395
88,5
8.431
8.420
88,9
8.474
1) Rata-rata tertimbang akhir periode
2) REER adalah indeks nilai tukar rupiah per mata uang negara mitra dagang yang dibobot dengan total ekspor dan impor dari 8 mitra dagang
utama Indonesia.
* : Perkiraan Bank Indonesia
** : Angka bulan November 2003
*** : Angka Bulan Oktober 2003
Sumber : BPS (diolah) dan Bank Indonesia
Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi selama triwulan IV-2003 didukung oleh
pertumbuhan positif di seluruh sektor pembentuk PDB. Sektor perdagangan, sektor
pengangkutan, dan sektor industri pengolahan diperkirakan memberi sumbangan terbesar
terhadap peningkatan kegiatan ekonomi selama triwulan laporan. Sektor perdagangan
6
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
menunjukkan peningkatan kinerja seiring dengan berlangsungnya perayaan hari raya Idul
Fitri. Selain itu, meningkatnya impor barang-barang ritel terutama dari Cina turut
mendorong tingginya pertumbuhan sektor tersebut. Peningkatan sektor pengangkutan dan
telekomunikasi seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat terhadap jasa
angkutan dan telekomunikasi menjelang hari raya dan tahun baru.
2. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Moneter
Pada triwulan IV-2003, secara umum perkembangan besaran-besaran moneter
menunjukkan kecenderungan meningkat namun tetap stabil dan terkendali. Sejalan dengan
meningkatnya permintaan uang oleh masyarakat menjelang perayaan beberapa hari
keagamaan dan tahun baru, perkembangan uang primer menunjukkan peningkatan. Dalam
kondisi meningkatnya permintaan uang oleh masyarakat yang berakibat terhadap relatif
ketatnya likuiditas perbankan dan dalam kondisi masih rendahnya inflasi dan stabilnya
nilai tukar rupiah, ruang bagi penurunan suku bunga moneter tetap terbuka namun
dilakukan secara hati-hati dengan kecepatan yang lebih lambat dari triwulan sebelumnya.
Penurunan suku bunga instrumen moneter tersebut telah ditransmisikan oleh penurunan
suku suku bunga pasar uang antar bank (PUAB), simpanan dan kredit.
Selama triwulan IV-2003, perkembangan uang primer cenderung meningkat dan
tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Posisi test date sementara akhir triwulan IV2003 mencapai Rp152,1 triliun dan rata-rata test date sementara uang primer meningkat
dari 11,28% (yoy) pada triwulan III-2003 menjadi 14,29% (yoy). Berdasarkan komponennya,
peningkatan uang primer terutama disebabkan oleh peningkatan uang yang diedarkan
khususnya uang kartal. Peningkatan uang kartal ini seiring dengan meningkatnya
permintaan uang untuk kebutuhan transaksi sehubungan dengan perayaan hari besar
keagamaan, hari-hari libur yang lebih panjang, dan perayaan akhir tahun. Sejalan dengan
meningkatnya kegiatan ekonomi dalam triwulan IV-2003, perkembangan uang beredar juga
menunjukkan perkembangan yang meningkat. Pertumbuhan rata-rata M1 dan M2 (November 2003) masing-masing 15,6% dan 8,0% (yoy) lebih tinggi dari triwulan sebelumnya.
Operasi pasar terbuka (OPT) selama triwulan IV-2003 masih menunjukkan likuiditas
perbankan yang relatif ketat terutama pada pertengahan triwulan sebagai akibat
meningkatnya permintaan uang kartal masyarakat untuk perayaan hari keagamaan. Kondisi
ini tercermin dari lebih rendahnya bidding perbankan dalam lelang SBI dibandingkan yang
jatuh tempo terutama untuk SBI 1 tahun. Namun demikian, sejalan dengan relatif stabilnya
nilai tukar rupiah dan laju inflasi, ruang bagi penurunan suku bunga SBI secara hati-hati
masih berlanjut meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat. Selama triwulan IV-2003,
suku bunga SBI 1 dan 3 bulan hanya turun sebesar 35 bps dan 41 bps hingga masing-masing
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003
7
mencapai posisi 8,31% dan 8,34% pada akhr periode. Penurunan ini lebih lambat
dibandingkan triwulan sebelumnya yang turun sebesar 87 bps dan 143 bps. Searah dengan
perkembangan tersebut, suku bunga FASBI diturunkan sebesar 50 bps dan tercatat pada
posisi 8,00%.
Sejalan dengan penurunan suku bunga SBI, suku bunga simpanan dan kredit bank
juga menunjukkan arah yang sama. Suku bunga simpanan menurun secara signifikan,
sementara suku bunga kredit masih menurun meskipun masih relatif lambat sebagai akibat
pengaruh internal maupun eksternal perbankan. Di PUAB, suku bunga PUAB baik sessi
pagi maupun sore menunjukkan penurunan sejalan dengan turunnya suku bunga instrumen
moneter. Suku bunga rata-rata PUAB pagi dan sore pada triwulan IV-2003 masing-masing
turun sebesar 55 bps dan 75 bps menjadi 8,38% dan 6,23%. Rata-rata tertimbang suku bunga
deposito 1 dan 3 bulan menurun masing-masing sebesar 69 bps dan 100 bps. Penghapusan
margin penjaminan suku bunga deposito yang berlaku pada November 2003 juga turut
mendorong penurunan suku bunga deposito ini. Sementara itu, suku bunga kredit
perbankan turun dengan kisaran 46-62 bps.
3. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Perbankan
Selama triwulan IV-2003 kebijakan bidang perbankan tetap difokuskan pada berbagai
langkah untuk memperkokoh kondisi perbankan nasional sebagai kesinambungan program restrukturisasi perbankan. Program tersebut difokuskan untuk melanjutkan upaya
program penyehatan lembaga perbankan dan pemantapan ketahanan sistem perbankan
antara lain melalui pengembangan infrastruktur, peningkatan good corporate governance, serta
penyempurnaan pengaturan dan pemantapan sistem pengawasan bank.
Dalam kerangka penyempurnaan ketentuan perbankan, dalam triwulan III-2003 Bank
Indonesia telah mengeluarkan empat ketentuan yakni : (i) Ketentuan tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk), (ii) Ketentuan tentang Posisi Devisa Neto (PDN); (iii) Ketentuan tentang Kewajiban
Penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan Untuk Pengembangan SDM BPR; (iv) Ketentuan
tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.
Secara umum kinerja perbankan dan sistem keuangan dalam triwulan IV-2003
menunjukkan kestabilan. Hal ini antara lain didukung oleh semakin pulihnya kepercayaan
masyarakat terhadap sektor perbankan Indonesia. Namun demikian, terdapat beberapa
hal yang perlu mendapat perhatian, terutama dalam menghadapi tahun 2004 dan tahuntahun selanjutnya. Sementara itu, beberapa indikator keuangan lainnya yang mempengaruhi
kestabilan sistem perbankan dan keuangan relatif menunjukkan perbaikan.
8
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Membaiknya kondisi perbankan terutama tercermin dari meningkatnya
penghimpunan dana serta membaiknya tingkat profitabilitas dan permodalan. Perbaikan
tingkat keuntungan yang tercermin dari ROA terutama terkiat dengan keberhasilan
perbankan menahan penurunan secara drastis net interest margin (NIM) di tengah
kecenderungan penurunan suku bunga. Sementara itu, likuiditas perbankan selama 2003
sangat memadai bahkan masih mengalami kelebihan likuiditas. Demikian pula, permodalan
perbankan masih berada di atas angka 20% dan modal tersebut ternyata dapat tetap
menyerap risiko usaha khususnya risiko kredit selama 2003.
Namun demikian, selama 2003 terdapat beberapa hal yang patut dicermati terutama
dalam hal perkembangan kredit perbankan dan permodalan bank. Dalam hal perkembangan
kredit perbankan, peningkatan posisi kredit dan kredit baru yang dikucurkan perbankan
selama tahun 2003 lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan posisi kredit
perbankan dan pertambahan kredit baru masing-masing sebesar Rp53,4 triliun dan Rp53,6
triliun (sampai dengan Oktober 2003), lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Rendahnya penyaluran kredit baru tersebut disertai pula dengan meningkatnya undisbursed
loan perbankan yang selama 2003 mencapai Rp25,6 triliun (periode Januari sd Oktober 2003),
lebih besar dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp19,1 triliun. Tersendatnya
penyaluran kredit tersebut tidak terlepas dari masih berlanjutnya rigiditas suku bunga kredit
perbankan yang di satu sisi ditujukan untuk mempertahankan tingkat kleuntungannya.
Selain itu, penyaluran kredit selama 2003 masih didominasi oleh kredit konsumsi.
Penyaluran kredit konsumsi selama 2003 menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat (33,8% y-o-y), jauh lebih besar dibandingkan kredit untuk jenis penggunaan modal
kerja dan investasi yang masing-masing sebesar 16,9% dan 7,4%. Sementara itu, posisi kredit
properti mencapai sebesar Rp43,9 triliun (Oktober 2003) atau 10,3% dari total kredit perbankan,
mengalami peningkatan dibandingkan posisi Desember 2002 sebesar Rp. 35,0 triliun.
Di sisi lain, pemulihan fungsi intermediasi perbankan dihadapkan pada tantangan
semakin gencarnya perusahaan melakukan pembiayaan melalui penerbitan obligasi di pasar
modal. Selama 2003, 43 emiten telah menerbitkan obligasi sebesar Rp19,2 triliun atau
mencapai 35,8% kredit baru yang dikucurkan perbankan.
4. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran
Secara umum perkembangan aktivitas dalam sistem pembayaran baik tunai maupun
non tunai dalam triwulan IV-2003 mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya
kegiatan ekonomi. Di sisi pembayaran tunai, indikator-indikator pengedaran uang dalam
triwulan IV-2003 menunjukkan pertumbuhan yang positif sejalan dengan penurunan suku
bunga SBI dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah selama beberapa bulan terakhir.
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003
9
Sesuai dengan arah kebijakan di sektor sistem pembayaran tunai, Bank Indonesia
berupaya meningkatkan penyediaan uang untuk memenuhi peningkatan kebutuhan
masyarakat akan uang kartal seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat
khususnya dalam menghadapi perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru. Posisi Uang
Yang Diedarkan (UYD) meningkat pada triwulan IV-2003 sebesar 16,80%. Peningkatan UYD
tersebut juga sejalan dengan pola musiman yang berlaku selama ini khususnya dalam
menghadapi perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru 2004. Sementara itu, persediaan
uang kartal yang tercermin dari posisi kas nasional menunjukkan penurunan 19,63%
dibandingkan triwulan sebelumnya.
Sementara itu, kebijakan di sektor sistem pembayaran non tunai diarahkan pada upaya
penurunan risiko dan peningkatan efisiensi sistem pembayaran. Beberapa upaya yang
ditempuh antara lain dengan menyusun RUU tentang Transfer Dana, menyusun konsep
PBI Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan penyusunan Failure to Settle
Arrangement. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan efisiensi sistem pembayaran Bank
Indonesia terus melanjutkan pengembangan Nota Kredit Paperless (PNK).
Secara umum aktivitas sistem pemnÒyaran pada triwulan IV-2003 mengalami
peningkatan sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat. Aktivitas pembayaran
non tunai melalui sistem BI-RTGS mengalami peningkatan, sedangkan transaksi melalui
kliring menunjukkan penurunan. Sementara itu untuk perkembangan alat pembayaran
berbasis kartu, seperti kartu kredit, kartu debit, dan penggunaan kartu ATM mengalami
peningkatan yang antara lain disebabkan oleh makin meluasnya jaringan ATM.
Selama triwulan IV-2003, total aktivitas BI-RTGS mencapai nilai Rp6.233 triliun dengan
jumlah transaksi sebanyak 1.166 ribu atau meningkat masing-masing sebesar 4,5% dan 15,7
% dibanding triwulan sebelumnya. Sementara itu, total nominal kliring penyerahan secara
nasional menunjukkan penurunan menjadi sebesar Rp245,2 triliun dengan warkat sejumlah
15,27 juta lembar.
5. Prospek Ekonomi dan Moneter serta Arah Kebijakan Ke Depan
5.1. Prospek Ekonomi Makro
Prospek ekonomi pada triwulan I-2004 diperkirakan tetap membaik. Pertumbuhan
ekonomi pada triwulan I-2004 diperkirakan meningkat, berkisar 4,3% - 4,8% (y-o-y).
Konsumsi (khususnya swasta) sebagai sumber penopang utama ekonomi yang tumbuh
sedikit melambat, sementara pertumbuhan investasi dan ekspor mengalami peningkatan.
Sementara itu, konsumsi pemerintah diperkirakan masih tumbuh, meskipun cenderung
rendah, mengikuti pola musiman fiskal.
10
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Pertumbuhan investasi dan ekspor riil diperkirakan sedikit meningkat. Meningkatnya
pertumbuhan investasi didukung oleh menurunnya suku bunga dan membaiknya tingkat
kepercayaan investor seperti yang tercermin pada peningkatan persetujuan PMA/PMDN
(meskipun PMA didominasi oleh alih status), peningkatan aktivitas di sektor properti dan
hasil survey yang menunjukkan iklim bisnis yang membaik. Sementara itu pertumbuhan
ekspor diperkirakan mulai membaik akibat membaiknya perekonomian dunia, meskipun
masih terbatas.
Secara sektoral, kegiatan ekonomi diperkirakan akan meningkat dengan sumbangan
terbesar berasal dari sektor perdagangan, sektor pertanian, dan industri pengolahan.
Pertumbuhan tinggi di sektor perdagangan erat kaitannya dengan kondisi ekonomi dan
politik. Pertumbuhan sektor pertanian disebabkan utamanya oleh panen raya dalam
triwulan I-2004 (meskipun diwarnai banjir di beberapa daerah). Di sektor industri,
meningkatnya kegiatan di sektor ini antara lain sebagai dampak positif pelaksanaan pemilu
yang diperkirakan akan mendorong peningkatan produk industri tertentu.
Di sisi eksternal, perbaikan ekonomi dunia diperkirakan masih berlanjut pada triwulan
I-2004, yang didukung oleh peningkatan perkiraan pertumbuhan ekonomi negara-negara
AS, Eropa dan kawasan Asia. Nemun demikian, pemulihan ekonomi global diperkirakan
belum sepenuhnya diikuti oleh perbaikan kinerja neraca pembayaran Indonesia. Surplus
transaksi berjalan dalam triwulan I-2004 diperkirakan akan mengalami peningkatan,
bersumber dari penurunan ekspor yang lebih rendah dibandingkan penurunan impor serta
defisit neraca jasa yang mencatat penurunan dibandingkan dengan triwulan yang sama
pada tahun sebelumnya. Sementara itu, kinerja ekspor nonmigas diperkirakan membaik
dibandingkan triwulan I-2003 sejalan dengan semakin membaiknya permintaan dunia dan
masih relatif tingginya harga komoditas nonmigas internasional. Di lain pihak, neraca modal
diprakirakan akan mencatat peningkatan defisit, yang bersumber dari peningkatan defisit
neraca modal swasta sebagai akibat pembayaran ULN swasta terutama oleh perusahan
FDI. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa dalam triwulan I-2004 diperkirakan
akan mencapai sebesar USD36,1 miliar. Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untuk
membiayai 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
5.2. Prospek Nilai Tukar dan Inflasi
Pada triwulan I-2004 nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan bergerak relatif stabil
dan sedikit menguat. Stabilitas nilai tukar diperkirakan akan ditopang oleh cadangan devisa
yang diperkirakan masih relatif kuat dalam memelihara keseimbangan penawaran dan
permintaan di pasar valas. Faktor positif yang mendukung pergerakan nilai tukar rupiah
antara lain adalah pola musiman permintaan valas awal tahun yang cenderung menurun,
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV – 2003
11
berlanjutnya kegiatan divestasi dan privatisasi, masih berlangsungnya ekspektasi positif
sebagai dampak peningkatan credit rating Indonesia, serta adanya penerbitan obligasi valas
pemerintah.
Namun demikian, terdapat beberapa faktor risiko yang berpotensi dapat menimbulkan
tekanan depresiasi terhadap rupiah antara lain, meningkatnya faktor risiko berkaitan dengan
Pemilu 2004, dan kemungkinan semakin membaiknya perekonomian Amerika Serikat yang
menimbulkan sentimen positif terhadap dollar AS. Dengan mempergunakan model BEER,
hasil survey, dan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, nilai tukar rupiah dalam
triwulan I-2004 diperkirakan akan bergerak relatif stabil dan sedikit menguat.
Pada triwulan I-2004, inflasi IHK selama triwulan I-2004 diperkirakan mencapai 5%6% atau meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Sementara itu, inflasi inti diperkirakan
cenderung menurun, mencapai 6%-7% (yoy). Perkembangan tersebut sejalan dengan
perbaikan fundamental, khususnya nilai tukar dan ekspektasi inflasi masyarakat. Sementara
itu, kondisi permintaan dan penawaran relatif seimbang, sehingga tidak memberi tekanan
pada inflasi. Sedangkan perkembangan harga volatile food dan administered price diperkirakan
akan sedikit meningkat.
5.3. Arah Kebijakan Triwulan Mendatang
Secara umum kondisi makroekonomi stabil dan cenderung membaik selama 2003.
Kinerja neraca pembayaran, nilai tukar rupiah, dan laju inflasi lebih baik daripada proyeksi
di awal 2003. Kebijakan makroekonomi (moneter dan fiskal) memegang peran kunci dalam
mencapai kondisi makroekonomi yang membaik tersebut. Pelaksanaan kebijakan
konsolidasi fiskal yang konsisten telah membantu meningkatkan kepercayaan terhadap
stabilitas makroekonomi dan mengurangi tekanan inflasi di dalam negeri.
Sementara itu, pelaksanaan kebijakan moneter yang relatif longgar telah mendorong
kenaikan permintaan agregat dan memberikan ruang gerak bagi pemulihan kondisi sektor
usaha. Pada saat yang sama, kondisi ekses likuiditas yang terkendali dan pelaksanaan
sterilisasi valas yang terukur mampu mendukung kestabilan harga dan nilai tukar rupiah.
Dengan memperhatikan masih tingginya ekses likuiditas perbankan, maka kebijakan
moneter akan tetap diarahkan pada upaya menjaga kestabilan harga dengan
menyeimbangkan kondisi penawaran likuiditas sesuai dengan kebutuhan perekonomian.
Selain itu, upaya penurunan suku bunga yang melambat diharapkan dapat terus
dimanfaatkan oleh perekonomian riil untuk menjaga momentum pertumbuhan yang telah
dicapai.
Di bidang perbankan, dalam triwulan mendatang Bank Indonesia akan terus
melanjutkan langkah restrukturisasi perbankan serta langkah-langkah penyehatan dan
12
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
pemantapan ketahaan perbankan. Selain itu, upaya memperkuat struktur perbankan
nasional dalam ditempuh dalam kerangka penerapan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
secara bertahap serta meningkatkan fungsi intermediasi perbankan. Langkah-langkah
kebijakan dalam kerangka program penyehatan perbankan dan ketahanan sistem perbankan
akan tetap dilakukan melalui penerapan secara bertahap pengawasan bank berdasarkan
risiko yang berorientasi pada penerapan manajemen risiko bank. Di samping itu, upaya
pengembangan perbankan syariah terus dilanjutkan melalui penyempurnaan ketentuan,
sistem pengawasan, dan infrastruktur pendukung lainnya.
Di bidang sistem pembayaran tunai, kebijakan diarahkan untuk meningkatkan
efektivitas pengedaran uang kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan masyarakat
atas uang kartal termasuk pemenuhan masyarakat akan uang pecahan kecil yang layak
edar dan mempercepat penarikan uang lusuh/tidak layak edar dari masyarakat. Di samping
itu, Bank Indonesia juga terus melanjutkan kerjasama dan jejaring dengan pihak-pihak terkait
dalam upaya penanggulangan terhadap uang palsu.
Di bidang sistem pembayaran non tunai, kebijakan diarahkan untuk mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran untuk terciptanya sistem pembayaran nasional
yang efisien, cepat, aman dan handal guna mendukung kestabilan sistem moneter dan
keuangan. Hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalkan risiko sistem pembayaran,
meningkatkan efisiensi dan kehandalan sistem pembayaran serta adanya perlindungan
konsumen bagi para pemakai jasa sistem pembayaran. Beberapa langkah akan terus
dilanjutkan antara lain yang terkait dengan RUU Transfer Dana, pengembangan nota kredit
paperless (PNK), penyusunan review blue print sistem pembayaran nasional, penyusunan
failure to settle scheme, pengkajian peningkatan peran BPR dalam sistem pembayaran serta
strategi pengawasan sistem pembayaran.
Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal
13
Indikator Fiscal Impulse
untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal
Decymus1
Diana Permatasari
Pendahuluan
Kajian terhadap operasi keuangan pemerintah atau saldo (surplus/defisit) anggaran
sering digunakan untuk melihat arah kebijakan fiskal, apakah bersifat ekspansif atau
kontraktif terhadap perekonomian pada suatu periode tertentu. Lebih jauh, kajian tersebut
dimaksudkan untuk melihat apakah ada upaya dari pemerintah untuk mempengaruhi
permintaan agregat agar bergerak menuju tingkat output yang diinginkan. Namun, berbagai
penelitian membuktikan bahwa angka operasi keuangan atau saldo anggaran saja ternyata
tidak cukup untuk menjelaskan arah kebijakan fiskal.2
Oleh karena itu, perlu ada indikator lain untuk mengatasi kelemahan tersebut di atas.
Indikator dimaksud adalah Fiscal Impulse yang dikembangkan oleh German Council of
Economic Expert (GCEE) dan digambarkan secara detail oleh Dernberg (1975). Indikator
ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh IMF dan oleh beberapa bank sentral di dunia
dipakai sebagai alat (tools) terutama untuk melakukan assessment terhadap hubungan
kebijakan fiskal dengan perekonomian.
Sebagai sebuah alat, indikator fiscal impulse masih memiliki kelemahan yaitu bahwa
indikator ini hanya mampu menjelaskan sampai pada apakah stance kebijakan fiskal pada
suatu periode bersifat kontraktif atau ekspansif terhadap perekonomian, namun tidak bisa
menjawab berapa besar dampak atau efek multiplier dari operasi keuangan pemerintah
tersebut terhadap perekonomian. Pengukuran dampak atau efek multiplier operasi
keuangan pemerintah membutuhkan alat bantu lain yaitu berupa model makroekonomi
seperti Macroeconometric Model of Singapore (MMS), New Zealand Treasury Model
(NZTM), dan MODBI di Bank Indonesia.3
1 Peneliti Ekonomi dan Asisten Peneliti Ekonomi di Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, Bank Indonesia.
2 Clark, Tom and Andrew Dilnot, Measuring the UK Fiscal Stance since the Second World War, The Institute for Fiscal
Studies, Briefing Note No. 26
3 Perhitungan dampak multiplier operasi keuangan pemerintah terhadap perekonomian secara sederhana dapat dimulai dari
fungsi consumsi yaitu bahwa pendapatan siap pakai yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Setiap
rupiah belanja domestik pemerintah akan menjadi pendapatan bagi suatu pelaku ekonomi domestik, yang kemudian oleh
pelaku ekonomi domestik tersebut dibelanjakan untuk membiayai konsumsinya. Proses yang sama akan berlanjut dari
14
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Aspek Teoritis Indikator Fiscal Impulse (FI)
Indikator fiscal impulse pada dasarnya menggambarkan perkembangan besaran fiskal
(surplus/defisit anggaran) yang telah dikonfrontasikan dengan perkembangan PDB agar
kesimpulan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan stance kebijakan fiskal dalam suatu
periode tertentu, apakah bersifat kontraktif atau ekspansif terhadap perekonomian. Secara
matematis, indikator fiscal impulse tersebut dijabarkan dalam bentuk persamaan sebagai
berikut:4
FI = - ∆ B – g0 ∆ YP + t0 ∆ Y,
dimana :
FI
= fiscal impulse
T
= penerimaan negara
G
= belanja negara
∆B
= perubahan defisit/surplus (Bt – Bt-1) dimana B = T-G
g0
= G0/Y0, rasio belanja negara pada tahun dasar
t0
= T0/Y0, rasio penerimaan negara pada tahun dasar
∆ YP = perubahan PDB harga berlaku potensial (YPt – YPt-1)
∆Y
= perubahan PDB harga berlaku (Yt – Yt-1)
Komponen pertama dalam persamaan tersebut (DB) menunjukkan perubahan actual budget, sedangkan komponen kedua dan ketiga (– g0 ∆ YP + t0 ∆ Y) menunjukkan
perubahan cyclically neutral budget. Secara sederhana, actual budget dapat diartikan sebagai
selisih antara pendapatan dan belanja negara yang ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan
cyclically neutral budget dapat diartikan sebagai selisih antara potensi pendapatan dan belanja
negara yang dapat digarap oleh pemerintah sesuai perkembangan ekonomi (automatic stabilizer). Yang dimaksud pendapatan negara adalah pendapatan negara yang mengkontraksi
perekonomian domestik, sedangkan belanja negara adalah belanja negara yang menginjeksi
perekonomian domestik.
Persamaan di atas menjelaskan bahwa fiscal impulse dihitung dari perbedaan antara
perubahan actual budget dari periode tahun dasarnya dengan perubahan cyclically neutral
suatu pelaku ekonomi domestik ke pelaku ekonomi domestik lainnya, dst. Secara agregat, kenaikan Rp1 belanja pemerintah
–melalui proses multiplier— akan menyebabkan kenaikan lebih dari Rp1 pendapatan nasional (Lihat Mankiw, 2000).
Secara matematis dapat ditulis:
∆ Y = (1 + MPC + MPC2 + MPC3 + ... ) * ∆ G, sehingga
∆ Y / ∆ G = (1 + MPC + MPC2 + MPC3 + ... )
∆ Y / ∆ G = 1 / (1-MPC)
Dengan MPC Indonesia sebesar 0,73 (yang biasa digunakan dalam model makroekonomi BI), maka angka multiplier
belanja pemerintah terhadap PDB adalah sekitar 3,7.
4 Lihat Heller, Peter and others, A Review of the Fiscal Impulse Measure, IMF Occasional Paper No. 44 (May 1986).
Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal
15
budget pada kedua periode tersebut. Tahun dasar adalah suatu tahun dimana PDB aktual
secara kasar diasumsikan sama dengan PDB potensial.5 Cyclically neutral budget diturunkan
dari actual budget pada tahun dasar dengan mengasumsikan bahwa pendapatan negara
bersifat unitary elastic terhadap PDB aktual dan belanja negara bersifat unitary elastic terhadap
PDB potensial.6 Dengan demikian, belanja negara akan bersifat cyclically neutral jika ia
meningkat secara proporsional dengan peningkatan PDB potensial; hal yang sama berlaku
untuk perubahan pendapatan negara terhadap perubahan PDB aktual.
Tabel 1
Ilustrasi Penghitungan Fiscal Impulse (FI)7
Periode
Rincian
I.
Pendapatan (T)
Pajak (kec. PPh Migas)
Pendpt. Neg. Bukan Pajak (kec. Migas)
II.
Pengeluaran (G = C + I Tr)
1. Konsumsi Pemerintah - C
Belanja Pegawai DN
Belanja Barang DN
Dana Alokasi Umum
Dana Otonomi Khusus & Penyb.
Pengeluaran Rutin Lainnya
2. Investasi Pemerintah - I
Pembiayaan dlm. Rupiah
Bantuan Proyek
Dana Alokasi Umum
Dana Bagi Hsl & Dana Alok. Khusus
3. Pembayaran Transfer - Tr
Bunga Utang Dalam Negeri
Subsidi
III.
Surplus(+) / Defisit(-) (Actual Balance)
IV.
Perubahan Actual Balance ( ∆ B) periode t dibanding
periode sama tahun sebelumnya 1)
- dalam Triliun Rp
- dalam % thd PDB
V.
Perubahan Actual Balance ( ∆ Bn) periode t dibanding
periode sama tahun sebelumnya 2)
- dalam Triliun Rp
- dalam % thd PDB
VI.
Fiscal Impulse (FI) 3)
Memo items :
PDB Nominal (Y)
PDB Potensial (Yp)
Perubahan PDB Aktual ( ∆ Y)
Perubahan PDB Potensial ( ∆ Yp)
Rasio penerimaan negara terhadap PDB nominal pada tahun dasar t0 (to)
Rasio belanja Negara terhadap PDB nominal pada tahun dasar t0 (go)
t0
t1
T t0
T ti
Gto=Cto + Ito + Tr to
Ct0
Gto=Cto + Ito + Tr to
Ct1
It0
It1
Trt0
Trt1
Bt0 = Tt0 - Gt0
Bt1 = Tt1 - Gt1
∆ B = Bt1 - Bt0
∆ B/Yt1*100
∆ Bn = (-go*∆ Yp + t0*∆ Y)
∆ Bn/Yt1 *100
FI = -∆ B + ∆ Bn
Yt0
Ypt0
Yt1
Ypt1
Yt1 - Yt0
Ypt1 - Ypt0
Tt0 / Yt0
Gt0 / Yt0
Keterangan :
1. (+) = Kontraksi, jika - B t1 < - B t0 atauB t1 < - B t0 ; sebaliknya, jika - B t1 > - B t0 atauB t1 > - B t0
2. (+) = Kontraksi, jika ∆ Bn> 0; sebaliknya (-) = Ekspansi,jika ∆ Bn< 0
3. FI (+) = ekspansi,jika : ∆ Bn> eksp. pada ∆ Bn atau kontr. ∆ B < kontr. ∆ Bn; sebaliknya FI (-) = ekspansi,jika : ∆ Bn < eksp. pada ∆ Bn atau
kontr. ∆ B > kontr. ∆ Bn
FI (+) = netral, jika : eksp. ∆ B = eksp. ∆ Bn atau kontr. ∆ B = kontr. ∆ Bn
5 Karena alasan praktis, tahun dasar ditetapkan secara rolling base year dalam arti bahwa tahun lalu ditetapkan sebagai
tahun dasar untuk mengukur stance kebijakan fiskal tahun ini.
6 PDB potensial dihitung dengan menggunakan metode Hodrick-Prescott Filter.
7 Decymus dan Dian Prima S., Manual Analisis Fiskal di Bank Indonesia, Bagian Analisis Perencanaan Kebijakan, Bank
Indonesia, 2003.
16
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Dengan konsep di atas, jika tidak terjadi perubahan kebijakan fiskal atau tidak ada
diskresi pemerintah, perubahan actual budget akan sama dengan perubahan cyclically neutral budget, sehingga secara matematis angka fiscal impulse akan nol. Artinya, stance kebijakan
fiskal bersifat netral. Sementara itu, jika perubahan surplus actual budget lebih besar dari
perubahan surplus cyclically neutral budget atau perubahan defisit actual budget lebih kecil
dari perubahan defisit cyclically neutral budget, maka angka fiscal impulse akan negatif. Artinya,
pemerintah melakukan kontraksi fiskal dalam jumlah yang lebih besar dari kemampuan
potensial perekonomian atau pemerintah melakukan ekspansi fiskal dalam jumlah yang
lebih kecil dari kebutuhan potensial perekonomian. Hal yang sama berlaku sebaliknya, jika
perubahan surplus actual budget lebih kecil dari perubahan surplus cyclically neutral budget
atau perubahan defisit actual budget lebih besar dari perubahan defisit cyclically neutral budget, maka angka fiskal impulse akan positif. Artinya, pemerintah melakukan kontraksi fiskal
dalam jumlah yang lebih kecil dari kemampuan potensial perekonomian atau pemerintah
melakukan ekspansi fiskal dalam jumlah yang lebih besar dari kebutuhan potensial
perekonomian.
Berkaitan dengan stance kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah, Alesina dan
Perotti (1995) mengkategorikan signifikansi stance kebijakan tersebut terhadap perekonomian
dalam beberapa skala sebagai berikut:8
Sangat longgar : jika FI lebih kecil dari –1,5% dari PDB
Longgar
: jika FI antara –0,5% dan –1,5% dari PDB
Netral
: jika FI antara –0,5% dan 0,5% dari PDB
Ketat
: jika FI antara 0,5 dan 1,5% dari PDB
Sangat Ketat
: jika FI lebih besar dari 1,5% dari PDB
Metode Pengolahan Data
Pengukuran fiscal impulse di Indonesia dilakukan dengan menggunakan data Operasi
Keuangan Pemerintah Pusat (Central Government) dari tahun 1993 sampai dengan 2003.
Untuk mengakomodir perubahan sistem tahun anggaran sejak tahun 2001, maka data
historis triwulanan APBN sampai dengan tahun anggaran 2000 yang semula dalam bentuk
tahun fiskal dirobah menjadi tahun kalender.
8 Philip, Renee dan John Janssen, Indikator of Fiscal Impulse for New Zealand, New Zealand Treasury Working Paper 02/30,
Desember 2002. Alesina dan Perotti menggunakan budget balance sebagai indikator fiscal impulse, sehingga positif
mengindikasikan surplus, negatif mengindikasikan defisit.
Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal
17
Data-data APBN tersebut kemudian diolah untuk mengukur fiscal impulse Indonesia
dengan metode sebagai berikut:
1. Pendapatan negara (T) mencakup semua pendapatan negara di luar penerimaan migas,
pajak migas dan hibah. Penerimaan migas, pajak migas dan hibah dikeluarkan dari
perhitungan karena dari sisi anggaran negara tidak bersifat mengkontraksi
perekonomian.
2. Belanja negara (G) mencakup belanja pegawai, belanja barang, bunga utang dalam negeri,
bunga utang dalam negeri, subsidi, pengeluaran rutin lainnya, anggaran pembangunan
dan anggaran untuk daerah.9 Komponen belanja lainnya seperti pembayaran bunga
utang luar negeri, belanja pegawai luar negeri dan barang luar negeri dikeluarkan dari
perhitungan karena tidak bersifat menginjeksi perekonomian.
3. Tahun dasar menggunakan metode rolling base year yaitu angka suatu triwulan
dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya, sedangkan
perhitungan tahunan didapat dengan membandingkan angka suatu tahun dengan tahun
sebelumnya. Teknik ini berguna untuk menetralkan faktor musiman dan siklikal baik
anggaran maupun PDB.
4. Dengan menggunakan metode tahun dasar seperti pada butir 3, maka analisis FI
ditujukan untuk melihat stance kebijakan fiskal pada suatu triwulan dibanding triwulan
yang sama pada tahun sebelumnya atau suatu tahun dibanding tahun sebelumnya.
Pengukuran Fiscal Impulse Indonesia
Pengukuran fiscal impulse Indonesia dengan menggunakan data APBN yang telah
diolah dengan menggunakan metode tersebut di atas memberikan gambaran sebagai
berikut:
1. Pada periode sebelum krisis 1998, pertumbuhan ekonomi tercatat cukup tinggi sebelum
akhirnya mulai menurun pada tahun 1997. Memanfaatkan momentum pertumbuhan
tersebut, pemerintah terlihat menjalankan stance kebijakan fiskal yang kontraktif
dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun magnitude-nya cenderung menurun menuju
tahun 1996 (Grafik 1). Stance kebijakan yang bersifat kontraktif tersebut dilakukan
pemerintah melalui kebijakan pengendalian belanja negara.
9 Dampak injeksi fiskal terhadap permintaan agregat dalam bentuk pembayaran bunga utang dalam negeri masih dipertanyakan
karena belanja pemerintah dalam bentuk ini pada dasarnya masih merupakan bail-out pemerintah untuk menutup kerugian
sektor perbankan. Sebagai informasi, Monetary Authority of Singapore (MAS) dan beberapa negara tidak memasukkan
pengeluaran pemerintah dalam rangka menolong perusahaan negara yang akan bangkrut (bail-out) dalam perhitungan FI.
18
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Grafik 1.
Stance Kebijakan Fiskal Indonesia
% thd. PDB
Triliun Rp.
140.0
130.0
120.0
110.0
100.0
90.0
80.0
70.0
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
-10.0
-20.0
10.0
9.0
8.0
7.0
6.0
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
(1.0)
(2.0)
(3.0)
(4.0)
(5.0)
(6.0)
(7.0)
(8.0)
(9.0)
(10.0)
(11.0)
(12.0)
(13.0)
(14.0)
(15.0)
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004*)
FI (skala kiri); (+) = ekspansi
Perub. Penerimaan (skala kanan)
Pertmb. PDB (skala kiri)
Perub. C + I + Tr (skala kanan)
2. Pada saat krisis 1998, pertumbuhan ekonomi berbalik menjadi negatif yang cukup tajam
sehingga pemerintah menerapkan stance kebijakan yang sangat ekspansif untuk
mencegah krisis yang semakin dalam. Kebijakan tersebut dijalankan pemerintah melalui
peningkatan yang cukup tajam pada pos belanja negara, khususnya dalam bentuk subsidi
dan jaring pengaman sosial (JPS). Pada tahun 1999, mulai terjadi recovery ekonomi dan
pertumbuhan ekonomi mulai positif. Pada periode yang sama, pemerintah kembali
mengambil stance kebijakan fiskal yang bersifat kontraktif yang terutama dilakukan
melalui pengurangan alokasi anggaran belanja untuk subsidi dan JPS, karena dinilai
kurang tepat sasaran. Pada tahun 2000, pertumbuhan ekonomi makin positif, namun
stance kebijakan fiskal terlihat ekspansif. Namun, hal ini sebenarnya lebih disebabkan
karena perubahan tahun anggaran dari fiskal menjadi kalender yang menyebabkan
terjadinya dua kali akhir tahun anggaran. Berdasarkan pola musiman APBN, pengeluaran
pemerintah pada triwulan terakhir tahun anggaran selalu jauh lebih besar dari tiga
triwulan lainnya.
3. Pada tahun 2001 dan 2002, pertumbuhan ekonomi masih positif dan stance kebijakan
fiskal bersifat kontraktif. Pada kedua tahun ini, pemerintah terlihat sangat mengendalikan
anggaran belanja melalui penurunan tajam pada subsidi untuk menutup besarnya
pembayaran bunga utang dalam negeri, meskipun di sisi lain mencoba memberikan
stimulus bagi perekonomian melalui fasilitas perpajakan. Phase ini sering disebut juga
sebagai phase konsolidasi fiskal untuk menjamin tercapainya kondisi fiskal yang
sustainabel.
Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal
19
4. Pada tahun 2003, pemerintah terlihat akan menjalankan kebijakan fiskal yang relatif
netral dibandingkan tahun sebelumnya.10 Meskipun masih relatif terbatas, penurunan
alokasi anggaran untuk subsidi dikompensasi dengan peningkatan alokasi anggaran
untuk pengeluaran pembangunan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan dari
masyarakat dan DPR akan stimulus fiskal. Dari sisi sustainabilitas fiskal, langkah ini
dimungkinkan karena mulai terbukanya ruang gerak pemerintah untuk melakukan
ekspansi, sejalan dengan terus menurunnya rasio utang terhadap PDB dan mulai
bergulirnya kebijakan pengelolaan utang seperti kebijakan reprofiling dan refinancing
utang dalam negeri.11
5. Sebagaimana telah dibahas dalam tinjauan teoritis FI, secara teknis stance kebijakan fiskal
juga dapat dijelaskan sebagai hasil dari perkembangan dua aspek anggaran yaitu diskresi
pemerintah dan dan dampak automatic stabilizer anggaran dalam merespons aktivitas
perekonomian. Diskresi pemerintah tercermin dari perubahan actual budget, sedangkan
dampak automatic stabilizer anggaran tercermin dari perubahan cyclically neutral budget.
Pada periode 1995 – 1997, perhitungan actual budget pada tiap-tiap tahun menunjukkan
bahwa pemerintah menjalankan kebijakan anggaran yang relatif netral (Grafik 2). Namun,
perhitungan cyclically neutral budget menunjukkan bahwa sesuai perkembangan ekonomi
pemerintah seharusnya menjalankan kebijakan anggaran yang bersifat ekspansif pada
Grafik 2.
Perubahan Actual Budget dan Cyclically Neutral Budget
% thd PDB
8,0
7,0
6,0
5,0
4,0
3,0
2,0
1,0
0,0
-1,0
-2,0
-3,0
-4,0
-5,0
-6,0
-7,0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004*)
Fiscal Impulse: (+) ekspansi, (-) kontraksi
Perub. Actual Budget: (+) surplus, (-) defisit
Perub. Cyclically Neutral Budget: (+) surplus, (-) defisit
10 Jika mengacu pada konsep kategori stance kebijakan fiskal oleh Alesina dan Perotti (1995), stance pada tahun 2003 masih
termasuk dalam kategori netral (-0,5% s/d 0,5% dari PDB).
11 Untuk pengujian sustainabilitas fiskal, lihat Decymus, Wahyu A. Nugroho, Bambang Kusmiarso dan T.M. Arief Macmud
dalam “Kesinambungan Fiskal Indonesia Jangka Menengah, Program Kerja Strategis DKM, Bank Indonesia, 2001.
20
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
tiap-tiap tahun tersebut. Dengan kata lain, diskresi anggaran yang ditetapkan pemerintah
kurang longgar dibandingkan automatic stabilizernya. Pada kondisi demikian, dikatakan
bahwa pemerintah menempuh stance kebijakan fiskal yang lebih kontraktif dibandingkan
tahun sebelumnya.
6. Situasi yang hampir serupa juga terjadi pada tahun 1999, 2001, dan 2002. Pada tahuntahun tersebut pemerintah menempuh kebijakan fiskal yang bersifat netral dan kontraktif
pada saat automatic stabilizer anggaran menunjukkan angka ekspansif. Situasi yang unik
terjadi pada tahun 1998. Pada tahun tersebut, pemerintah justru melakukan menempuh
kebijakan fiskal yang bersifat ekspansif pada saat automatic stabilizer anggaran
memungkinkan pemerintah untuk menempuh kebijakan anggaran yang bersifat
kontraktif. Pada kondisi ini, dikatakan bahwa pemerintah menempuh stance kebijakan
fiskal yang lebih ekspansif dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2003,
pemerintah menempuh kebijakan fiskal bersifat netral yang ditunjukkan oleh angka
actual budget yang hampir sama dengan cyclically neutral budget. Sementara itu, pada
tahun 2004 pemerintah merencanakan untuk menempuh kebijakan yang kontraktif pada
saat automatic stabilizer anggaran sebenarnya memungkinkan pemerintah untuk
menempuh stance kebijakan yang netral.
Penutup
Pengukuran fiscal impulse ini harus dibedakan dengan pengukuran dampak
rupiah operasi keuangan pemerintah. Pengukuran fiskal impulse lebih ditujukan untuk
mengukur dampak bersih kontraksi dan injeksi fiskal terhadap PDB, sedangkan pengukuran
dampak rupiah lebih ditujukan untuk mengukur dampak bersih seluruh kontraksi
penerimaan (termasuk pembiayaan) rupiah dan ekspansi belanja rupiah pemerintah
terhadap jumlah uang beredar. Dengan batasan tersebut, maka beberapa transaksi rupiah
pemerintah yang diperhitungkan sebagai dampak rupiah APBN terhadap jumlah uang
beredar seperti penerbitan utang dalam negeri dan amortisasi utang dalam negeri tidak
termasuk dalam perhitungan fiscal impulse.
Pengukuran fiscal impulse dapat memperkaya metode konvensional yang biasa
digunakan selama ini untuk mengukur dampak awal keuangan pemerintah terhadap sektor
riil.12 Pengayaan tersebut adalah dalam bentuk dimasukkannya unsur pendapatan pajak
12 Metode konvensional untuk mengukur dampak awal operasi keuangan pemerintah terhadap sektor riil hanya didasarkan
atas hubungan langsung antara pengeluaran konsumsi dan investasi pemerintah (atau PDB sektor pemerintah) terhadap
PDB. Konsumsi pemerintah mencakup Belanja Pegawai Dalam Negeri, Belanja Barang Dalam Negeri, Sekitar 80% dari
Dana Alokasi Umum (proksi), Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang, dan Pengeluaran Rutin Lainnya. Investasi
pemerintah mencakup Pembiayaan Rupiah, Pembiayaan Proyek, Sekitar 20% dari Dana Alokasi Umum (proksi), Dana
Indikator Fiscal Impulse untuk Pengukuran Stance Kebijakan Fiskal
21
dan penerimaan bukan pajak sebagai besaran fiskal yang bersifat mengkontraksi
perekonomian dan dimasukkan unsur perkembangan PDB dalam perhitungan sehingga
mampu mengidentifikasi ada tidak unsur diskresi atau upaya pemerintah untuk
mempengaruhi permintaan agregat.
Pengukuran fiscal impulse pada dasarnya berguna untuk mengukur magnitude awal
dari stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah, namun tidak dimaksudkan untuk
menghitung keseluruhan dampak (full impact) dari kebijakan fiskal terhadap permintaan
agregat. Pengukuran keseluruhan dampak tersebut membutuhkan alat analisis lain yang
mampu menghubungkan dampak kebijakan fiskal terhadap berbagai blok ekonomi lainnya
dan terintegrasi dalam suatu bentuk macroeconometric model atau analisis input-output.
Bagi Hasil, dan Dana Alokasi Khusus. Sementara itu, Beban Bunga Utang Dalam Negeri dan Subsidi tidak termasuk
dalam kedua kategori tersebut karena dianggap merupakan transfer payment sektor pemerintah ke sektor swasta yang
nantinya akan mempengaruhi pembentukan PDB sektor swasta.
22
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Referensi
1. Macroeconomic Review, Monetary Authority of Singapore, January 2002.
2. N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, Fourth Edition, 2000.
3. Peter Heller and others, A Review of the Fiscal Impulse Measure, IMF Occasional
Paper No. 44, May 1986.
4. Renee Philip and John Janssen, Indicators of Fiscal Impulse for New Zealand,
New Zealand Treasury Working Paper 02/30, December 2002.
5. Tom Clark and Andrew Dilnot, Measuring the UK Fiscal Stance since the Second World
War, The Institute for Fiscal Studies, Briefing Note No. 26.
6. Decymus, Wahyu A. Nugroho, Bambang Kusmiarso dan T.M. Arief Macmud,
Kesinambungan Fiskal Indonesia Jangka Menengah, Bank Indonesia, 2001.
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
23
PENGUJIAN VALIDITAS DATA STOK KAPITAL
DAN PERKEMBANGAN STOK KAPITAL INDONESIA
Gunawan Wicaksono dan Eko Ariantoro1 )
• Data stok kapital hasil perhitungan metode Perpetual Inventory Method (PIM) dalam
kurun waktu periode 1980-2002 cukup valid untuk digunakan dalam analisis ekonomi
makro, seperti estimasi output potensial dan analisis kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Data stok kapital sektoral memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan
variabel ekonomi makro lainnya. Data stok kapital tersebut dapat disajikan dalam bentuk
matrik balk menurut jenis barang modal maupun sektor ekonominya.
• Dengan menggunakan data matriks stok kapital menurut jenis barang modal dan sektor
ekonomi selama periode 1980-2002, stok kapital Indonesia ternyata didominasi oleh jenis
barang modal bangunan, terutama yang berada pada sektor keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan, serta sektor pemerintahan umum.
• Pertumbuhan stok kapital pada periode 1990-2000 relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan periode 1980-1990, kecuali pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998 dimana
stok kapital mengalami pertubuhn negatif.
1 Penulis merupakan para peneliti ekonomi di Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. Penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada segenap pihak termasuk pimpinan Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter khususnya Bagian Statistik
Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah yang telah membantu editing penulisan hasil penelitian ini termasuk Sdr. Cicik
Yuniarsih dan A. Reina Sari yang membantu updating data stok kapital.
24
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
I. PENDAHULUAN
Penerapan kerangka kebijakan inflation targeting (IT) di Bank Indonesia memerlukan
antara lain penyiapan model ekonomi berikut data pendukung yang baik untuk menghitung
proyeksi inflasi. Model ekonomi yang saat ini sedang dikembangkan adalah model yang
memanfaatkan variabel antara berupa output-gap, yaitu kesenjangan antara aktual dan ouput
potensial. Output aktual biasa di-proxi dengan data produk domestik bruto (PDB),
sementara output potensial dihitung melalui teknik estimasi tertentu. Salah satu metode
yang digunakan untuk mengestimasi output potensial adalah pendekatan struktural dengan
model fungsi produksi Cobb-Douglass. Perhitungan pendekatan struktural tersebut
mensyaratkan tersedianya data stok kapital yang akurat.
Upaya penyusunan data stok kapital telah diawali pada tahun 2000 dengan suatu
kajian mengenai metode yang tepat untuk menghitung stok kapital saat ini. Pada tahun
2001, penelitian dilanjutkan dengan penghitungan stok kapital dengan pendekatan perpetual inventory method (PIM) yang menggunakan data PMTB sebagai data dasarnya. Data
stok kapital tersebut disajikan dalam angka total, baik menurut konsep neto (net capital
stock/NCS) maupun bruto (gross capital stock/GCS), yang disusun secara time-series untuk
periode 1980-2000.
Data stok kapital yang dihasilkan saat ini merupakan hasil penyempurnaan
metodologi perhitungan yang meliputi perbaikan metode gross-up, event analysis secara
deskriptif, time-series analysis, serta pemanfaatan data stok kapital dalam perhitungan output potensial dan kontribusi pertumbuhan ekonomi. Pengujian validitas data stok kapital
itu meliputi data PMTB sebagai data dasarnya dan data stok kapital itu sendiri.
II. PERHITUNGAN STOK KAPITAL DENGAN METODE PIM: BRIEF REVIEW
Pemilihan metode PIM dalam penghitungan stok kapital lebih didasarkan pada
pertimbangan applicability metode tersebut 2 ) . Metode PIM memiliki keunggulan
dibandingkan dengan metode langsung (Direct Observation of Capital) terutama dalam hal
efisiensi biaya dan sumber daya yang diperlukan.
Dalam perhitungan dengan metode PIM diperlukan 2 hal pokok, yaitu (1) ketersediaan
data PMTB yang reliable dengan kategori yang rinci dan cakupan data yang luas serta (2)
penetapan asumsi yang digunakan. Akumulasi data PMTB selama suatu kurun waktu
tertentu dengan mempertimbangkan periode umur aset dan karakteristik nilai usai pakainya
(retirement) serta penyusutannya (depreciation) menghasilkan angka stok kapital. Formula
2) Penghitungan Data Stok Kapital dengan Metode Perpetual Inventory – Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Vol.5
No.2, September 2002
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
25
umum penghitungan stok kapital sebagai berikut:
GCS
= Σ PMTB - Σ RET
NCS
= Σ PMTB - Σ DEP
= (GCS + Σ RET) - Σ DEP
Data PMTB diperoleh dari data sekunder3), sementara nilai usai pakai dan penyusutan
diperoleh dengan menggunakan asumsi-asumsi yaitu: (1) asumsi umur aset (asset life), (2)
asumsi pola distribusi umur aset (discard pattern/survival function), dan (3) asumsi metode
depresiasi (depreciation method). Umur suatu aset menggambarkan sampai berapa lama suatu
asset secara rata-rata dapat bertahan dan ditentukan berdasarkan best practices di beberapa
negara yang melakukan penghitungan stok kapital dengan metode PIM (antara lain Australia, Canada, dan Belanda), yaitu sebagai berikut:
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Jenis Barang Modal
Bangunan
Mesin I
Mesin II
Transportasi
Ternak
Perlengkapan – Listrik
Perlengkapan – Logam
Perlengkapan – Kain & Kulit
Lainnya
Umur (tahun)
20
16
18
10
3
10
5
5
16
Dalam penelitian terdahulu, penghitungan stok kapital dengan metode PIM
diaplikasikan terhadap 5 jenis pola distribusi, yaitu (1) Standard, (2) Linear, (3) Delayed Linear, (4) Logistic dan (5) Weibull. Salah satu kesimpulan pada penelitian terdahulu adalah
bahwa penggunaan berbagai macam asumsi pola distribusi yang berbeda (kecuali pola
Standard) tidak terlalu berpengaruh pada hasil perhitungan stok kapital. Metode depresiasi
yang digunakan adalah straight line depreciation method. Metode depresiasi ini dipilih karena
secara empiris lebih valid dibadingkan metode depresiasi lainnya dan perhitungannya yang
relatif sederhana.
3) Data PMTB merupakan hasil kerjasama BI dan BPS pada tahun 2001
26
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Untuk keperluan penelitian uji validitas, data stok kapital yang digunakan adalah
hasil perhitungan PIM dengan menggunakan pola distribusi Weibull. Secara hipotesis (hypothetical presumption), data stok kapital dengan pendekatan pola Weibull tersebut dianggap
lebih merepresentasikan perkembangan (trend) stok kapital Indonesia. Pola distribusi
Weibull secara umum diformulasikan sebagai berikut:
F( x ) = 1 − e − ( λx )
dimana
α
F(x) = fungsi cumulative density function (CDF) pola Weibull
α
= parameter pola distribusi
λ
= parameter keragaman
Dengan menggunakan persamaan regresi ln( − ln[1 − F ( x )] ) = α ln(λ ) + α ln( x ) diperoleh
nilai parameter dari fungsi CDF pola Weibull, yaitu : α = 2.7438 dan λ = 0.0153 (β = 65.3704).
Adapun pola distribusi umur aset yang diestimasi dengan pendekatan pola Weibull tersebut
adalah sebagai berikut:
Rentang umur asset
Sisa populasi (survival)
s.d. 25 %
93,1 %
s.d. 50 %
61,9 %
s.d. 75 %
23,3 %
s.d. 90 %
9,0 %
s.d. 95 %
6,1 %
Dari tabel pola distribusi tersebut, disusun retirement matrix (Mret) dan depreciation
matrix (Mdep). Perkalian matriks PMTB (Mpmtb) dengan kedua matriks tersebut
menghasilkan nilai aset yang retired (RET) dan nilai depresiasinya (DEP).
RET = Mpmtb x Mret
DEP = Mpmtb x Mdep
Stok kapital dalam konsep bruto (GCS) dan neto (NCS) dapat dihitung dengan
formula:
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
27
GCSt = GCSt-1 + PMTBt-1 – RET
NCSt = NCSt-1 + PMTBt-1 – DEP
Nilai GCS dan NCS dihitung untuk periode 1960-2002 pada setiap jenis barang modal
yang ada pada seluruh sektor ekonomi. Dari hasil perhitungan tersebut, disusun data stok
kapital dalam bentuk data-series periode 1960-2002 dan dalam bentuk matriks menurut
jenis barang modal dan sektor ekonomi.
III. TAHAPAN DALAM PROSES UJI VALIDITAS
Prosedur uji validtas mencakup tahapan-tahapan sebagai berikut:
-
Updating data PMTB sampai dengan 2002.
Data PMTB merupakan data dasar dalam penyusunan data stok kapital dengan PIM,
sehingga updating data PMTB secara otomatis akan mengupdate data stok kapital selama
3 tahun sesuai dengan updating data PDB.
-
Gross-up dengan metode yang telah disempurnakan.
Hasil data update stok kapital periode 1980-2002 digross-up dengan teknik estimasi
yang lebih baik, yaitu dari semula menggunakan metode trend-linear diganti dengan
metode estimasi. Kelemahan yang ada pada metode trend-linier karena mengabaikan
koefisien perubahan percepatan investasi tidak terdapat pada metode estimasi. Dengan
mengandalkan pada ketersediaan data PMTB, maka data hasil estimasi pada periode
1960-1979, maka proses perhitungan stok kapital dilakukan secara langsung sejak tahun
1960 sampai dengan 2002. Proses estimasi dimaksud meliputi:
-
-
estimasi data agregat PMTB 1960-1980 menjadi klasifikasi yang lebih rinci menurut
jenis barang modal.
-
Data PMTB hasil estimasi ditambahkan sebagai series pada data PMTB periode 1980
– 2002 sehingga periode perhitungan stok kapital secara langsung dimulai dari 1960
menurut jenis barang modal dan menurut sektor.
Pengujian data secara deskriptif (event analysis)
Dalam pengujian deskriptif dilakukan analisis kontribusi dan distribusi terhadap data
stok kapital atas dasar harga konstan dan analisis trend data stok kapital. Tujuan analisis
kontribusi dan distribusi adalah untuk mengamati peranan masing-masing jenis barang
modal terhadap total stok kapital dan distribusi penggunaannya pada setiap sektor
ekonomi.
28
-
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Pengujian data dengan menggunakan analisis regresi
Pengujian data stok kapital dilakukan terhadap akurasi data PMTB yang digunakan
karena data tersebut merupakan data dasar dalam perhitungan stok kapital. Pengujian
dilakukan dengan cara mengamati hubungan antara data PMTB dengan variabel
ekonomi lainnya, misalnya data PDB dan investasi finansial.
-
Penerapan data stok kapital dalam beberapa model ekonomi sederhana
Langkah ini dimaksudkan untuk mengetahui performa data stok kapital sebagai salah
satu variabel dalam beberapa model ekonomi sederhana, misalnya model fungsi produksi
untuk mengestimasi output potensial dan analisis kontribusi pertumbuhan stok kapital
terhadap pertumbuhan ekonomi.
-
Perbandingan dengan beberapa hasil penelitian lainnya
Pada bagian akhir, dilakukan pula analisis komparasi antara data stok kapital hasil
perhitungan penelitian ini dengan beberapa hasil penelitian serupa lainnya, seperti
yang dilakukan Timmer dan BPS. Meskipun tidak seluruhnya dapat dibandingkan
(incomparable), namun hasil analisis ini cukup memberikan gambaran bahwa hasil
perhitungan ini cukup searah dengan hasil penelitian lain, terutama pada sektor industri
pengolahan.
IV. PEMBAHASAN HASIL UJI VALIDITAS
Pembahasan uji validitas difokuskan pada data stok kapital neto (NCS) karena data
tersebut lebih banyak digunakan dalam analisis ekonomi. Sementara itu, data stok kapital
bruto (GCS) disajikan pada tabel-tabel lampiran untuk keperluan analisis lainnya.
4.1. Updating Data Stok Kapital Periode 1960-2002
Perhitungan PIM sebagaimana tersebut di atas menghasilkan data stok kapital harga
konstan menurut jenis barang modal (Lampiran 1: tabel I) dan sektor ekonomi (Lampiran
1: tabel II).
4.2. Hasil Analisis Deskriptif
4.2.1. Perkembangan Data Investasi Fisik
Berdasarkan harga konstan 1993, terjadi penurunan angka investasi fisik (PMTB) tahun
2002 yaitu sebesar Rp96.058 miliar dibandingkan PMTB tahun 2001 sebesar Rp96.244 miliar.
Angka PMTB tahun 2002 ini masih belum kembali kepada level PMTB tertinggi yang
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
29
terjadi pada tahun 1997 sebesar Rp128.699 miliar. Selengkapnya perkembangan PMTB
selama 10 tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 1 di bawah ini.
Grafik 1.
Perkembangan PMTB 10 tahun Terakhir
Rp. Miliar
150.000
140.000
130.000
120.000
110.000
100.000
90.000
80.000
70.000
60.000
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999 2000
2001
2002
Sumber: BPS diolah
Sementara itu, struktur data PMTB selama 10 tahun terakhir dikuasai oleh sektor
keuangan persewaan dan jasa-jasa (20%) disusul oleh sektor pemerintahan umum (17%)
dan sektor industri pengolahan (15%). Selengkapnya kontribusi 10 tahun terakhir sampai
dengan tahun 2002 dapat dilihat pada gambar berikut:
Grafik 2.
Kontribusi PMTB 10 tahun Terakhir
5%
7%
3%
17%
15%
9%
20%
1%
10%
13%
Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan
Perdagangan, hotel & restouran
Pertambangan & Penggalian
Pengangkutan & Komunikasi
Industri Pengolahan
Keuangan, Persewaaan & jasa perusahaan
Listrik, gas dan air bersih
Pemerintahan Umum
Bangunan
Jasa - jasa
Sumber: BPS diolah
30
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Berdasarkan harga konstan 1993, terjadi penurunan angka investasi fisik (PMTB)
Secara komposisi, dibandingkan periode 10 tahun sebelumnya 1983-1992 telah terjadi
perubahan dalam komposisi PMTB. Pada periode 1983-2002, sektor pemerintahan umum
memegang porsi terbesar (28%) disusul oleh sektor keuangan persewaan dan jasa-jasa (26%)
dan sektor industri pengolahan (16%).
4.2.2. Perkembangan Data Stok Kapital
Secara rata-rata pertumbuhan stok kapital periode 1980-2002 cenderung lebih tinggi
dibandingkan rata-rata pertumbuhan stok kapital 1960-1980. Pada tahun 2002, data stok
kapital neto (Net Capital Stock – NCS) mengalami peningkatan 0,45% dari semula Rp625.405
miliar pada tahun 2001 menjadi Rp628.202 pada tahun 2002. Level stok kapital tahun 2002
ini masih berada di bawah level tertinggi stok kapital yang pernah terjadi tahun 1998 sebesar
Rp636.581 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan data stok kapital selama kurun
waktu 1999 – 2002 masih belum dapat mengatasi penyusutan nilai barang modal dari stok
kapital selama periode dimaksud. Namun demikian, trend peningkatan kembali data stok
kapital telah dimulai kembali sejak tahun 2000. Perkembangan data stok kapital dapat dilihat
pada gambar 3 di bawah ini.
Grafik 3.
Perkembangan Stok Kapital neto (NCS) dan Bruto (GCS)
00.000
GCS hasil yang
disempurnakan
metode terbaru
00.000
00.000
00.000
Tahun awal perhitungan
Stok Kapital (1980)
sebelum gros-up
00.000
NCS hasil yang
disempurnakan
metode terbaru
Periode estimasi (1960-1980)
untuk menentukan nilai gros-up
Stok Kapital 1980-2001
00.000
0
NCS setelah gros-up metode 2002
NCS sebelum gros-up
NCS Metode 2003
2002
2000
1990
1980
1970
1960
GCS setelah gros-up metode 2002
GCS sebelum gros-up
GCS Metode 2003
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
31
Selain menunjukkan adanya percepatan investasi barang modal dari periode 19601980 ke periode 1980-2002, pada gambar 3 juga terlihat adanya fenomena yang wajar
mengenai perkembangan stok kapital pada periode paska krisis. Turunnya NCS pada
periode 1999-2000 menunjukkan bahwa investasi barang modal baru relatif tidak ada,
sementara angka GCS yang tetap meningkat menggambarkan adanya investasi dalam
bentuk re-utilisasi barang modal lama. Fenomena tersebut juga dapat diartikan bahwa
jumlah barang modal yang rusak (baik yang retired maupun depreciated) lebih banyak
dibandingkan jumlah investasi barang modal baru. Selanjutnya, peningkatan NCS pada
tahun 2002 antara lain memperlihatkan adanya indikasi mulai bergeraknya (recovery)
kegiatan ekonomi nasional, terutama dari sisi investasi barang modal.
Selama kurun waktu 1960 sampai dengan 2002, secara rata-rata stok kapital terbesar
terjadi pada jenis barang modal bangunan (kontribusi 71,1%) disusul jenis barang modal
mesin (kontribusi 15,8%). Selengkapnya kontribusi jenis barang modal dan sektor terhadap
total data stok kapital dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini.
Grafik 4.
Komposisi Stok Kapital Neto menurut Jenis Barang Modal
15,8%
7,2%
4,8%
0,02%
71,1%
Bangunan
Mesin
Transportasi
Lainnya
Perlengkapan
Ternak
Berdasarkan komposisi menurut jenis barang modal, perkembangan stok kapital Indonesia selama kurun waktu +/- 22 tahun terkonsentrasi pada bangunan dengan rata-rata
kontribusi sebesar 71%. Investasi properti terlihat semakin meningkat pada periode 19902002 dibandingkan periode 1980-1990. Peningkatan investasi properti dikompensasikan
dengan penurunan investasi mesin, ditunjukkan dengan turunnya kontribusi mesin dari 16,1%
(1960-1965) menjadi 15,3% (1996-2002). Pada jenis barang modal alat transportasi terjadi
penurunan kontribusi investasi secara terus menerus sejak tahun 1980, terlihat dari turunnya
kontribusi alat transportasi pada komposisi stok kapital, yaitu sebesar 10,4% (1980-1985)
menjadi hanya 4,4% (1996-2002).
32
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Tabel 1
Perkembangan Komposisi Stok Kapital Menurut Jenis Barang Modal
Periode
Ternak
Perleng.
Lainnya
Transport
Mesin
Bangunan
1960-1965
0,04%
1,4%
5,0%
8,6%
16,1%
68,8%
1966-1970
0,02%
1,0%
4,9%
7,0%
15,6%
71,5%
1971-1975
0,03%
1,1%
4,8%
7,3%
15,5%
71,2%
1976-1980
0,02%
1,0%
4,8%
7,9%
15,4%
70,9%
1981-1985
0,01%
0,9%
4,0%
10,4%
13,6%
71,1%
1986-1990
0,01%
1,0%
4,5%
7,4%
16,6%
70,4%
1991-1995
0,02%
0,8%
5,1%
5,7%
18,7%
69,7%
1996-2002
0,03%
0,8%
5,2%
4,4%
15,3%
74,2%
Dilihat dari distribusi stok kapital menurut sektor ekonomi, investasi barang modal
sejak tahun 1980-an tidak terdistribusi secara merata di seluruh sektor ekonomi. Distribusi
stok kapital terkonsentrasi hanya pada 2 sektor ekonomi, yaitu sektor pemerintahan umum
dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Persentase rata-rata (periode 19802002) distribusi barang modal pada kedua sektor tersebut masing-masing sebesar 38,1%
dan 19,5%. Distribusi stok kapital pada sektor pemerintahan umum terutama berasal dari
investasi pada pembangunan infrastruktur, yang terdiri dari bangunan, jalan dan sarana
penunjang lainnya. Seiring dengan beralihnya peranan sektor pemerintah ke sektor swasta,
distribusi stok kapital pada sektor pemerintahan umum mengalami penurunan yang cukup
signifikan dari 45,8% (1960-1965) menjadi 42,7% (1981-1985) dan turun terus hingga menjadi
Grafik 5.
Perkembangan Stok Kapital Neto menurut Sektor
700.000,00
Pertambangan & Penggalian
600.000,00
Bangunan
500.000,00
Listrik, gas dan air bersih
400.000,00
Jasa - jasa
Pengangkutan & Komunikasi
300.000,00
Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan
200.000,00
Perdagangan, hotel & restoran
100.000,00
Industri Pengolahan
2000
2002
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
1960
0,00
Keuangan, Persewaaan & jasa perusahaan
Pemerintahan Umum
33
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
20,2% (1996-2002). Sementara itu, meningkatnya distribusi stok kapital pada sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan terjadi pada periode 1986-1990 dan 1991-1995
merupakan dampak dari kebijakan deregulasi perbankan sehingga investasi pada sektor
tersebut berkembang secara ekspansif. Namun krisis perbankan sejak tahun 1997 telah
mengakibatkan kontraksi pada sektor ini sehingga distribusinya turun cukup tajam dar
27,8% (1991-1995) menjadi 22,5% (1996-2002).
Tabel 2
Perkembangan Distribusi Stok Kapital Menurut Sektor Ekonomi
Periode
Pemerin- Keuangan Industri Perdagangan,
tahan Persewaan Pengolahan Hotel &
& Jasa
restoran
Umum
perusahaan
Pertanian, PengangkutJasapeternakan,
an &
kehutanan komunikasi Jasa
& perikanan
Listrik, Gas
PertamBangunan bangan &
&
air bersih
penggalian
1960-1965
45,8%
15,4%
14,2%
6,2%
8,1%
2,8%
1,7%
1,8%
1,5%
2,6%
1966-1970
47,1%
15,3%
13,8%
5,8%
8,0%
2,5%
1,6%
1,7%
1,5%
2,6%
1971-1975
47,0%
15,3%
13,8%
5,9%
8,0%
2,6%
1,6%
1,7%
1,5%
2,6%
1976-1980
46,8%
15,4%
13,7%
6,0%
8,0%
2,7%
1,6%
1,7%
1,5%
2,5%
1981-1985
42,7%
19,0%
12,3%
6,9%
7,3%
3,5%
3,2%
1,5%
1,5%
2,1%
1986-1990
32,8%
25,1%
13,8%
7,7%
6,5%
4,2%
4,8%
1,8%
1,4%
1,8%
1991-1995
27,7%
27,8%
14,0%
7,6%
5,3%
4,0%
5,6%
3,7%
2,0%
2,3%
1996-2002
20,2%
22,5%
13,3%
10,0%
4,6%
10,7%
6,5%
8,2%
1,3%
2,7%
Peningkatan peranan investasi barang modal yang cukup signifikan juga terjadi pada
sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor listrik, gas dan air. Hal ini tercermin
dari meningkatnya distribusi stok kapital pada kedua sektor tersebut. Peningkatan distribusi
stok kapital pada sektor pengangkutan dan komunikasi terutama terjadi pada periode 19962002 yaitu sebesar 10,7% dibandingkan periode-periode sebelumnya yang distribusinya
tidak lebih dari 5%. Sementara itu, distribusi stok kapital pada sektor listrik, gas dan air
meningkat dari hanya 1,8% (1960-1965) menjadi 8,2% (1996-2002).
Dilihat dari pertumbuhannya, stok kapital Indonesia selama periode 1980-2002 ratarata mengalami pertumbuhan sebesar 7,4% per tahun. Gambar 6 menunjukkan bahwa
pertumbuhan stok kapital mengalami percepatan pada tahun 1990-an, terutama pada sektor
pengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas dan air, sektor pertambangan dan
penggalian, serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Krisis ekonomi sejak
tahun 1997 berdampak pada turunnya investasi fisik di Indonesia, antara lain tercermin dari
merosotnya angka pertumbuhan total stok kapital menjadi hanya 1,5% pada tahun 1998,
bahkan mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 1999 (-2,1%). Selama krisis, sektor yang
paling terkena dampak negatif berupa berkurangnya investasi fisik adalah sektor bangunan
dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang masing-masing mengalami
34
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
pertumbuhan negatif pada tahun 1998 sebesar –9,3% dan -3,7%. Stok kapital baru kembali
mengalami pertumbuhan positif pada tahun 2001 dan 2002, masing-masing 0,69% dan 0,45%.
Grafik 6.
Pertumbuhan Stok Kapital Neto menurut Sektor Terpilih
Persen
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
-20.00
1980
1985
1990
Pemerintahan Umum
1995
2000
2002
Keuangan, Persewaaan & jasa perusahaan
Industri Pengolahan
Perdagangan, hotel & restoran
Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan
Pengangkutan & Komunikasi
Pertambangan & Penggalian
Total
4.2.3 Perkembangan Produktivitas Sektoral
Yang dimaksud dengan produktivitas sektoral di sini adalah kemampuan suatu
sektor dalam mengelola investasi yang diperoleh untuk menghasilkan output.
Perhitungannya dapat menggunakan angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) dan
angka COR (Capital Output Ratio). Angka ICOR merupakan angka investasi tahun
sebelumnya dibagi dengan pertambahan PDB pada tahun itu, sementara COR menggunakan
perbandingan data stok kapital dengan data PDB pada tahun itu.
Namun, pada kesempatan ini kita hanya akan melihat data COR yang merupakan
perbandingan antara data stok kapital dengan data output yang dihasilkan. Pada periode
waktu 1980-1985, sebagaimana yang diperkirakan, sektor pertambangan merupakan sektor
yang paling kecil angka COR-nya yaitu sebesar 0,17 pada periode 1996 – 2002. Hal ini
berarti bahwa stok kapital pada sektor pertambangan mampu menghasilkan output
hampir enam kali (600%) dari stok kapitalnya. Sementara itu, sektor pemerintahan umum
memiliki angka COR terbesar yaitu 5,97 yang berarti bahwa sektor pemerintahan umum
hanya dapat menghasilkan output sebesar kurang lebih seperenam (17%) dari stok
kapitalnya. Lebih jauh lagi, hal ini menjelaskan bahwa dalam periode 1980-1985 sektor
pertambangan merupakan sektor yang diandalkan dalam menghasilkan output bagi
perekonomian Indonesia.
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
35
Dalam perkembangannya, pada periode 1996-2002, sektor pertambangan bukan
lagi merupakan sektor yang memiliki COR terkecil. COR sektor pertambangan pada periode
tersebut adalah 0,43 atau berada di atas COR sektor bangunan yang merupakan sektor
dengan COR terkecil yaitu 0,31. Hal itu berarti bahwa pada periode tersebut, sektor
pertambangan hanya mampu menghasilkan output 232% dari stok kapitalnya sedangkan
sektor bangunan mampu menhasilkan output 323% dari stok kapitalnya. Sektor
pemerintahan umum pada periode itu memiliki COR 5,47 yang berarti kemampuan
menghasilkan output dalam periode 1996-2002 meningkat sedikit dibandingkan periode
1980-1985 yaitu 18% dari stok kapitalnya. Selengkapnya perkembangan COR sektoral sejak
tahun 1980 dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini.
Grafik 7.
Pertumbuhan Stok Kapital Neto
menurut Sektor Terpilih
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
1980 - 1985
1985 - 1990
Total Capital Stock (NCS)
Pertanian
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, gas dan air bersih
Bangunan
1991 - 1995
1996 - 2000
Perdagangan, hotel & restouran
Pengangkutan & Komunikasi
Keuangan, Persewaaan* jasa perusahaan
Pemerintahan Umum
Jasa - jasa Swasta
4.3. Hasil Pengujian Statistik
Pengujian statistik dilakukan dengan metode regresi linear terhadap data PMTB dan
data stok kapital. Pengujian terhadap data PMTB dilakukan mengingat data tersebut
merupakan data dasar dalam perhitungan stok kapital dengan metode PIM, sehingga valid
tidaknya data stok kapital juga tergantung pada akurasi data PMTB, selain pada metode
perhitungan yang digunakan. Sementara itu, pengujian terhadap data stok kapital dilakukan
dengan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglass. Tujuan pengujian adalah untuk
mengetahui apakah data stok kapital hasil perhitungan PIM dapat digunakan sebagai salah
satu variabel prediksi dalam perhitungan output potensial.
36
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Tabel 3
Regresi data PDB sektoral atas data PMTB sektoral
Dependent Variable
PDBtot
Independent Variable
R
R2
Ajd. R2
b
t
PMTBtot
0.940
0.883
0.877
2.907
12.300
PDBtani
PMTBtani
0.887
0.786
0.776
6.991
8.576
PDBindustri
PMTBindustri
0.905
0.819
0.810
5.726
9.526
PDBgast
PMTBgast
0.968
0.937
0.934
0.502
17.236
PDBbangt
PMTBbangt
0.712
0.506
0.482
0.536
4.529
PDBperdagt
PMTBperdagt
0.933
0.871
0.864
0.432
4.235
PDBtranst
PMTBtranst
0.935
0.874
0.868
0.118
11.798
PDBuangt
PMTBuangt
0.750
0.562
0.540
1.136
5.067
PDBjasat
PMTBjasat
0.757
0.573
0.552
0.348
5.179
Setelah dilakukan serangkaian uji statistik (termasuk uji normalitas, heteroskedastisitas
dan autokorelasi) antara data PDB dengan data PMTB disimpulkan bahwa secara total kedua
variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan. Koefisien korelasi antara PDB dan
PMTB tercatat sebesar 0,940, sementara variabilitas data PDB dapat dijelaskan oleh data
PMTB sebesar 87,7 % dan variabel lainnya sebesar 12,3 %. Secara sektoral, hampir seluruh
data PMTB menurut sektor memiliki hubungan yang signifikan dengan data PDB menurut
sektor. Hasil lengkap uji statistik PMTB dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 4
Hasil Uji Regresi PMTB dengan Investasi Financial
Dependent Variable : PMTB
Variable
Coefficient
C
INVFINC
AR(1)
84030.2
0.05368
0.80247
R-squared
Adjusted R-squared
SE. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.822237
0.796843
13297.23
2.48E+09
-183.8919
1.60775
Std. Error
23363.98000
0.03001
0.14530
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob (F-statistic)
r-Statistic
Prob
3.59657
1.78899
5.52274
0.00290
0.09530
0.00010
81802.75
29501.56
21.98728
22.13432
32.37833
0.000006
Pengujian statistik juga dilakukan antara data PMTB dengan data investasi finansial
(FIN). Dari hasil uji regresi liniear, diketahui bahwa kedua variabel memiliki hubungan
berbanding lurus yang cukup signifikan. Variabilitas data PMTB dapat dijelaskan oleh
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
37
perkembangan data investasi finansial (INVFINC) atau setiap penambahan investasi
finansial akan meningkatkan investasi fisik (PMTB) pada tahun yang bersangkutan. Hasil
uji regresi dapat dilihat pada tabel 4 diatas.
Selanjutnya, validitas data stok kapital diuji melalui penerapannya dalam beberapa
model ekonomi. Dalam pengujian ini data stok kapital dan data tenaga kerja (yang diperoleh
dari BPS) digunakan sebagai variabel penduga (estimator) untuk mengestimasi output
potensial dan menghitung kontribusi pertumbuhan faktor input terhadap pertumbuhan
ekonomi. Model ekonomi yang digunakan dalam pengujian ini adalah model fungsi
produksi Cobb-Douglass Douglas, dengan persamaan sebagai berikut:
Y = T Kα Lβ
dimana,
Y
K
L
T
=
=
=
=
Total output (PDB)
Stok kapital (NCS)
Tenaga kerja (LPROD)
Teknologi
α, β
= Elastisitas NCS dan LPROD terhadap PDB
Dalam pengujian ini digunakan persamaan regresi linear, sehingga persamaan CobbDouglass diatas ditransformasikan dalam bentuk fungsi log-linear menjadi:
LnY = lnT + αLnK + βLnL
Dari uji regresi, dihasilkan parameter-parameter estimator α = 0,256; β = 0,901; dan
konstanta LnT = 1,902, atau dalam bentuk persamaan: Y = 1,902 K0,256 L0,902. (Lihat hasil uji
regresi pada tabel 5). Selanjutnya, parameter-parameter estimator tersebut dapat digunakan
Tabel 5
Hasil Uji Regresi Fungsi Produksi Cobb Douglass
Dependent Variable : PDBTOT
Variable
C
LNNCSTOT
LNLPROD
R-squared
Adjusted R-squared
SE. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
Coefficient
1.90237
0.25555
0.90128
0.99575
0.99454
0.01194
0.00100
31.87224
2.054646
Std. Error
0.31787
0.02602
0.06394
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob (F-statistic)
r-Statistic
Prob
5.98471
9.82151
14.09686
0.00060
0.00000
0.00000
12.76231
0.16160
-5.77445
-5.68367
820.698.40
0.00000
38
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
untuk melakukan pendugaan (forecasting) terhadap besaran output potensial pada tahuntahun tertentu dengan memasukkan data estimasi faktor input K dan L.
Dalam perhitungan kontribusi pertumbuhan faktor input K dan L terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDB), dilakukan dengan menderivasikan persamaan log-linear
diatas terhadap variabel waktu (t) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:
(dY/dt)(1/Y)=(dT/dt)(1/T) + α(dK/dt)(1/K) + β(dL/dt)(1/L)
Dalam bentuk diskret, persamaan tersebut menjadi:
(dy/dt)=(dT/dt)+a(dK/dt)+b(dL/dt)
atau
r(Y) = r(T) + ar(K) + br(L)
dimana,
ry
= Pertumbuhan ekonomi tahunan (annual rate of changes) output
αr(K), βr(L) = Kontribusi pertumbuhan K dan L
rT
= Kontribusi pertumbuhan teknologi atau total fator produktivity (TFP)
Pengujian dilakukan dengan menggunakan data periode 1990–1999, semata-mata
karena keterbatasan data tenaga kerja yang tersedia. Simulasi perhitungan difokuskan pada
pengamatan terhadap perbedaan kontribusi pertumbuhan faktor input antara periode
sebelum krisis (1991-1996) dengan setelah krisis (1997-1999). Hasil simulasi perhitungan
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 6
Kontribusi Pertumbuhan Faktor Input Kapital (K) dan Tenaga Kerja (L)
Periode
ry
rt
ark
brl
Sebelum Krisis
0.0754
0.0015
0.0262
0.0477
Sesudah Krisis
-0.0443
-0.0966
-0.0005
0.0529
Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa faktor input tenaga kerja memberikan kontribusi
yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan stok kapital,
baik pada periode sebelum maupun sesudah krisis. Turunnya rata-rata pertumbuhan
ekonomi paska krisis (sampai dengan 1999) sebesar -4,43% lebih banyak didorong oleh
turunnya teknologi (-9,66%) dan stok kapital (-0,05 %).
39
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
4.4. Perbandingan dengan Hasil Penelitian Lain
Sebagaimana diketahui bahwa upaya penelitian mengenai stok kapital Indonesia
pernah dilakukan oleh para peneliti lain, yaitu Keuning (1988, 1991) dan , BPS (1995), dan
Timmer (1999). Cakupan penelitian stok kapital para peniliti tersebut terbatas pada sektor
industri pengolahan, sementara klasifikasi jenis barang modal yang diteliti juga tidak
selengkap penelitian ini. Meskipun tidak seluruh hasil penelitian dapat dibandingkan,
namun analisis ini dapat memberikan gambaran bahwa hasil penelitian ini cukup searah
dengan hasil penelitian lain, terutama pada sektor industri pengolahan.
Perbandingan pada tabel 7 menunjukkan bahwa komposisi NCS pada sektor industri
pengolahan antara hasil penelitian ini dengan Timmer tidak jauh berbeda, meskipun secara
nominal angka level tidak sama. Sementara itu, pada tabel 8 terlihat perbandingan angka
GCS periode 1975-1985, dimana rata-rata pertumbuhan GCS hasil penelitian ini cenderung
lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Steven J. Keuning. Secara umum, diketahui bahwa
stok kapital hasil penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Timmer
dan Keuning. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan metode perhitungan dan tahun
dasar yang digunakan, disamping karena gross-up yang dilakukan.
Tabel 7
Perbandingan Komposisi Industri Pengolahan dengan Hasil Penelitian Timmer
Stok Kapital (NCS) Sektor Industri Pengolahan, Tahun 1995
Sektor Industri Pengolahan
Kode
Hasil Penelitian ini
(BI/SRKP-DSM)
1993, Rp Milyar
Industri makanan, minuman & tembakau
Industri tekstil dan kulit
Industri dari kayu, bambu dsb
Industri kertas dan percetakan
Industri kimia
Industri mineral non logam
Industri logam dasar
Industri barang dari logam
Industri lainnya
Total NCS
S-31
S-32
S-33
S-34
s-35
S-36
S-37
S-38
S-39
S-30
7.448
15.471
4.905
6.636
11.306
5.483
1.905
7.005
384
60.544
Persen
12,01
25,11
8,39
11,68
18,87
8,86
3,07
11,35
0,65
100
Hasil Penelitian
Marcel P. Timmer *)
1983, Rp Milyar
5.998
9.629
4.281
4.148
6.141
3.100
1.277
6.025
472
41.071
*) Indonesia’s Ascent on the Technology Ladder : Capital Stock and Total Factor Productivity in Indonesian Manufacturing, 1975-1995
(Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.35, April 1999, Marcel P. Timmer, Eindhoven University of Technology)
Persen
14,60
23,44
10,42
10,10
14,95
7,55
3,11
14,67
1,15
100
40
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Tabel 8
Perbandingan dengan Hasil Penelitian Steven J. Keuning
Stok Kapital (NCS) Sektor Industri Pengolahan, 1975-1985
Hasil Penelitian ini
(BI/SRKP-DSM)
Tahun
1993, Rp Milyar
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
9.811,41
11.227,48
12.867,86
14.758,97
16.541,87
17.980,66
19.646,11
21.210,47
22.579,76
23.781,05
25.295,36
Pertumbuhan %
Hasil Penelitian
Steven J. Keuning
1993, Rp Milyar
17,6
14,4
14,6
14,7
12,1
8,7
9,3
8,0
6,5
5,3
6,4
66.996
73.082
79.360
85.451
94.343
102.484
111.983
122.756
135.274
148.223
159.706
Eqivalen 1993, Rp Milyar *) Pertumbuhan %
20.353
22.210
24.109
25.959
28.660
31.133
34.019
37.292
41.095
45.028
48.517
9,1
8,6
7,7
10,4
8,6
9,3
9,6
10,2
9,6
7,7
*) angka equivalen 1993 dengan menggunakan pendekatan deflator PDB
V. PENUTUP
Penggunaan metode PIM dalam penghitungan data stok kapital cukup valid, baik
dari sisi sumber data, metode perhitungan dan data yang dihasilkan. Data stok kapital
tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan analisis ekonomi, termasuk dalam rangka
penyusunan model-model ekonomi makro. Secara deskriptif, data stok kapital hasil
perhitungan PIM cukup mampu menggambarkan perkembangan stok kapital Indonesia.
Hasil pengujian terhadap data PMTB menunjukkan bahwa data dasar perhitungan
stok kapital tersebut cukup akurat dan dapat dipercaya. Dari hasil serangkaian test statistik,
diketahui bahwa data PMTB total dan sebagian besar data PMTB sektoral memiliki
hubungan yang cukup signifikan dengan data PDB. Hubungan yang berbanding lurus
antara investasi fisik (PMTB) dengan investasi finansial menggambarkan kondisi yang cukup
realistis, dimana investasi fisik (barang modal) akan meningkat walaupun lebih lambat
daripada pertumbuhan pada investasi finansial (seperti obligasi dan surat-surat berhaga
lainnya).
Penggunaan data stok kapital hasil perhitungan PIM dalam penghitungan output
potensial dengan pendekatan model fungsi produksi Cobb-Douglass mampu menghasilkan
parameter-parameter yang cukup masuk akal. Dalam analisis kontribusi pertumbuhan, data
stok kapital bersama-sama dengan data tenaga kerja juga mampu menggambarkan besaran
kontribusi pertumbuhan yang wajar dan cukup realistis.
Dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, data stok kapital hasil
penelitian ini lebih komprehensif terutama dalam hal cakupan data yang dihasilkan. Pada
penelitian-penelitian sebelumnya, perhitungan stok kapital hanya mencakup 4 jenis barang
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
41
modal dan 1 sektor ekonomi (sektor industri pengolahan), sementara dalam penelitian ini
data stok kapital tidak hanya disajikan dalam bentuk series yang lebih panjang (1980-2002)
tetapi juga dalam bentuk data matriks menurut 6 jenis barang modal dan 10 sektor ekonomi.
Dengan demikian, perbandingan dengan hasil penelitian sebelumnya hanya dapat dilakukan
pada sektor industri pengolahan, dimana kedua penelitian tersebut menyajikan angka
persentase distribusi sektoral yang relatif sama, meskipun angka nominalnya berbeda.
Meskipun data stok kapital hasil perhitungan PIM terbukti cukup akurat dan dapat
digunakan untuk keperluan analisis ekonomi, namun terdapat keterbatasan yang tidak
dapat dihindarkan, terutama pada penetapan asumsi-asumsi yang digunakan. Oleh karena
itu, penelitian yang lebih komprehensif diperlukan guna memperbaiki asumsi-asumsi dalam
perhitungan PIM. Penyempurnaan asumsi dapat dilakukan melalui studi literatur yang
lebih dan survei-survei khusus. Terhadap data matriks stok kapital yang dihasilkan masih
perlu dilakukan penelitian terhadap keakuratan data stok kapital secara lebih rinci, yaitu
menurut jenis barang modal, sektor ekonomi, institusi dan wilayah asal barang, sehingga
data stok kapital yang tersedia dapat dimanfaatkan secara lebih optimal dalam kajian-kajian
ekonomi. Dalam jangka panjang, apabila kajian perhitungan stok kapital dengan metode
langsung (Direct Observation of Capital) dimungkinkan maka hasilnya dapat digunakan untuk
benchmarking data stok kapital yang ada saat ini.
Upaya penyediaan data stok kapital yang akurat bagi BI sendiri merupakan langkah
nyata dalam mengantisipasi rencana pengimplementasian kerangka kebijakan inflation targeting. Penyempurnaan data stok kapital perlu terus dilakukan untuk menghasilkan data
stok kapital yang semakin akurat. Ketersediaan data stok kapital yang akurat akan
memberikan kontribusi yang semakin optimal dalam pengembangan model struktural
penghitungan output potensial, sehingga proyeksi laju inflasi dengan menggunakan variabel
antara output-gap dapat dilakukan secara lebih tepat. Pada akhirnya, ketepatan proyeksi
inflasi akan memberikan sinyal bagi Bank Indonesia dalam pengambilan kebijakan moneter
yang diperlukan.
42
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
DAFTAR PUSTAKA
Ariantoro, Eko (2001), Penetapan Asumsi dalam Perhitungan Stok Kapital, Bagian Statistik Sektor
Riil dan Keuangan Pemerintah, Bank Indonesia.
Australia Bureau of Statistics (1997), Australia’s Methodology for Compiling Estimates of Capital Stock and Consumption of Fixed Capital, Background Paper of Capital Stock Conference
in Canberra.
Badan Pusat Statistik (1997), Estimation of Capital Stock and Investment Matrix In Indonesia,
Background Paper of Capital Stock Conference in Canberra.
(1995), Study of Estimation of Capital Stock in Indonesia 1979-1994, Jakarta.
, Tabel Input Output, berbagai seri, Jakarta
Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (2000), Kajian Kemungkinan
Pengumpulan Data Stok Kapital Sektor Industri Pengolahan, Direktorat Statistik Ekonomi
dan Moneter, Bank Indonesia.
Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (2001), Draft Stok Kapital, Hasil
Kerjasama Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia dengan Badan
Pusat Statistik.
Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (2001), Proses Pengumpulan Matriks
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), Hasil Kerjasama Direktorat Statistik Ekonomi
dan Moneter, Bank Indonesia dengan Badan Pusat Statistik.
Divisi Pengembangan Statistika dan Komputasi (2001), Materi Workshop: Probabilitas dan
Distribusi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor.
Frenken, Jim (1992), How to Measure Tangible Capital Stock?: The Choice Between Two Methods,
CBS Netherlands.
Jones, Charles Irving (1997), Introduction to Economic Growth, Stanford University.
Keuning, Steven J. (1988), An Estimate Of Fixed Capital Stock By Industry and Type Of Capital
Good in Indonesia, Statistical Analysis Capability Programme, Working Paper Series No.
4, Jakarta.
Saleh, Kusmadi (1997), The Measurement of Gross Domestic Fixed Capital Formation in Indonesia, Paper of Capital Stock Conference in Canberra.
Meinen, Gerhard (1999), Measuring Capital Stock: Explanatory Notes for the Manual on Capital
Stock Statistics, Statistics Netherlands.
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
43
Meinen, Gerhard and Bert Verlinden (1997), Statistics on Tangible Capital Stock: Direct Observation at Statistics Netherlands, Paper of Conference on Capital Stock (Preliminary Version) in Canberra.
Meinen, Gerhard, Piet Verbiest and Peter-Paul de Wolf (1998), Perpetual Inventory Method:
Service Lives, Discard Patterns and Depreciation Methods, Department of National Accounts,
Statistics Netherlands.
Timmer, Marcel, The Dynamics of Asian Manufacturing: A Comparative Perspective, 1963-1993,
Eindhoven Centre for Innovation Studies, Netherlands.
Timmer, Marcel (1999), Indonesia’s Ascent on The Technology Ladder: Capital Stock and Total
Factor Productivity in Indonesian Manufacturing, 1975-95, Bulletin of Indonesian Economic
Studies, Eindhoven University of Technology, Netherlands.
Wicaksono, Gunawan (2001), Perhitungan Stok Kapital: Beberapa Pengamatan terhadap Model
Perhitungan Stok Kapital dengan Perpetual Inventory Method Metode Australia dan Metode
Belanda, Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah, Bank Indonesia.
Wicaksono, Gunawan, Eko Ariantoro dan A. Reina Sari (2002), Penghitungan Data Stok Kapital
dengan Metode Perpetual Inventory (Suatu Upaya Penyediaan Data Stok Kapital untuk
Penghitungan Potensial Output dengan Pendekatan Fungsi Produksi), Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, Volume 5, No.2, September 2002, Bank Indonesia, Jakarta.
44
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Tabel 1
Perkembangan Komposisi Stok Kapital Menurut Jenis Barang Modal
Tahun
Total
T-10
T-21
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
1967
1968
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
3526.85
8385.43
12282.16
14536.90
16844.54
18957.44
21234.16
22296.62
23917.83
26621.86
30962.43
36484.77
43177.04
50997.14
60411.92
70987.56
81288.39
93216.63
106953.84
120008.95
135245.63
151734.46
170213.47
189153.69
197135.27
205316.41
217186.96
229860.47
248634.26
272982.67
303849.87
339747.92
373917.74
408733.93
450839.58
501742.21
562576.57
626940.02
636581.45
623168.00
621098.35
625404.93
628201.82
2384.85
5690.64
8294.35
10036.39
11742.94
13330.47
15034.06
15917.00
17169.16
19139.41
22211.38
26093.99
30796.50
36304.32
42944.37
50434.03
57810.89
66356.05
76188.04
85630.10
94228.32
106366.22
121070.80
133965.81
139886.31
148920.71
156452.85
165301.96
175934.94
188897.89
206588.73
228806.54
254605.24
285127.49
321063.88
362128.36
408713.05
455701.05
462248.94
465358.46
468151.43
471995.43
477107.75
549.93
1305.85
1907.59
2248.07
2591.55
2899.30
3227.28
3361.38
3579.77
3965.87
4606.74
5431.29
6436.77
7615.22
9037.30
10632.53
12174.08
13957.19
16009.18
17939.52
18911.60
20144.81
21804.78
24679.35
25723.05
26291.18
29431.17
33584.91
40597.30
46880.66
55979.70
65908.45
72005.83
75027.37
77670.75
81933.22
88605.75
96762.32
98469.16
88628.99
86878.74
86948.12
85969.81
T-22
T-20
21.29
571.23
50.70
1356.56
74.47
1982.06
88.46
2336.53
102.82
2694.38
115.97
3015.27
130.02
3357.30
136.65
3498.03
146.53
3726.30
162.85
4128.72
188.99
4795.73
222.29
5653.58
262.77
6699.54
310.20
7925.42
367.45
9404.75
431.88 11064.41
494.81 12668.89
567.67 14524.86
65149 16660.67
731.25 18670.77
800.88 1971249
879.32 21024.13
970.93 22775.70
1108.82 25788.17
1162.34 26885.39
1190.63 27481.81
129384 30725.01
1402.50 34987.40
1567.83 42165.13
1648.49 48529.15
1798.28 57777.98
2024.64 67933.09
2204.85 74210.68
2346.92 77374.28
2530.91 80201.67
2991.82 84925.04
3461.64 92067.39
4079.25 100841.57
4451.06 102920.21
4204.00 92832.99
4448.63 91327.36
4832.36 91780.48
5096.18 91065.99
T-30
T-40
T-51
T-52
329.47
771.49
1095.38
1236.59
1364.00
1463.98
1575.95
1576.30
1637.51
1812.05
2145.52
2584.87
3117.45
3729.17
4455.40
5248.91
5971.46
6804.63
7768.94
8629.14
13980.94
16733.34
18355.88
19983.61
20409.65
19202.35
18690.49
17859.32
17500.28
19041.05
2062802
22590.28
22688.69
22325.52
23667.85
24915.44
26203.52
29686.09
28463.48
24662.88
24996.51
28004.19
29311.52
1.84
4.00
4.91
4.51
4.32
4.40
4.78
4.57
4.76
5.67
7.32
9.19
11.14
13.19
15.63
18.21
20.15
22.63
25.85
28.28
21.52
15.55
13.54
19.95
15.34
7.71
6.14
12.14
16.48
17.98
12.59
1618
42.23
96.50
136.06
180.94
21635
324.85
291.28
220.75
154.17
126.73
115.80
10.96
25.67
36.45
41.15
45.39
48.71
52.44
52.45
54.49
60.30
71.39
86.01
103.73
124.09
148.25
174.66
198.70
226.42
258.51
287.13
311.15
326.25
338.33
355.59
338.50
311.66
312.52
319.98
347.31
352.00
377.69
441.57
505.34
569.09
665.83
943.42
1356.16
1898.65
2265.56
2119.96
1924.46
1803.93
1673.04
47.83
108.31
143.43
145.69
164.14
147.43
155.73
151.15
157.38
181.14
226.49
282.45
344.92
411.84
489.55
572.15
640.04
721.69
82136
903.25
915.78
950.62
1026.03
1394.91
1526.32
1343.57
1636.90
1582.10
1736.55
2893.63
321498
2931.87
2734.86
2439.32
2232.57
2260.37
2818.32
3219.63
3487.57
3282.86
2785.87
2520.35
2325.94
Keterangan:
T -10 : Bangunan
T -20 : Mesin terbagi 2 jenis:
T -21 : Mesin penggerak mula, mesin clan perlengkapannya, clan motor listrik
T -22 : Mesin listrik clan perlengkapannya
T-40 : Transportasi
T-40 : Ternak
T-50 : Perlengkapan terbagi 3 jenis:
T-31 : Perlengkapan listrik
T-32 : Perlengkapan logam
T-33 : Perlengkapan kain/kulit
T-60: Lainnya
T-40
T-53
2.44
5.54
7.33
7.45
7.47
7.54
7.96
7.73
8.04
9.26
11.58
14.44
17.63
21.05
25.02
29.24
32.71
36.89
41.98
46.16
7484
95.81
105.92
128.85
125.01
98.72
104.64
94.07
9565
143.01
147.63
130.73
123.36
115.32
113.15
124.96
126.82
102.29
74.86
54.86
40.97
34.54
31.24
T-50
61.24
139.52
187.21
194.29
199.00
203.68
216.13
211.33
219.91
250.70
309.46
382.90
466.29
556.98
662.83
776.05
871.45
98500
1121.85
1236.55
1301.76
1372.69
1470.28
1879.34
1989.82
1753.95
2054.05
1996.15
2179.51
3388.64
3740.30
3504.16
3363.56
3123.72
3011.56
3328.75
4301.30
5220.57
5827.99
5457.69
4751.30
4358.83
4030.22
T-60
178.23
423.22
618.24
728.59
839.91
939.65
1045.94
1089.41
1160.18
1285.32
1493.02
1760.25
2086.13
2468.05
2928.94
3445.95
3945.56
4523.46
5188.50
5814.11
6000.60
6222.53
6527.27
7516.80
7948.76
7949.89
9258.42
9703.51
10837.92
13107.97
15102.25
16897.67
19007.35
20686.41
22758.57
26263.68
3107497
35165.87
36829.54
34635.24
31717.58
29139.28
26570.54
Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia
45
Tabel 2
Perkembangan Distribusi Stok Kapital Menurut Sektor Ekonomi
Tahun
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
1967
1968
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Keuangan
Perdagangan,
Pemerintahan Persewaan Industri
Hotel &
Pengolahan
Umum
& Jasa
restoran
perusahaan
1595.74
3804.05
5600.87
6678.57
7794.19
8827.73
9937.75
10498.25
11307.00
12598.44
14627.76
17197.35
20310.42
23954.79
28347.21
33296.56
3815723
43787.21
50266.44
56471.45
62299.72
68776.48
76737.32
80497.54
80373.65
81325.96
81910.14
80997.84
79766.89
82904.19
87602.49
96421.02
109251.39
117787.76
124491.96
123187.79
128030.87
135453.81
132223.46
127659.68
123774.37
115722.73
107827.40
542.73
1289.91
1887.87
2231.71
2582.46
2902.42
3247.40
3406.07
3651.90
4065.75
4732.42
5581.24
6609.60
7810.11
9253.89
10873.80
12448.91
14272.30
16372.30
18365.90
21536.71
25079.34
29685.75
36517.48
40178.17
43436.68
48575.16
54518.71
63767.43
72427.67
82875.79
92083.52
100431.44
112786.79
130043.03
144704.07
152051.74
154939.85
149183.10
139568.73
131431.75
124681.91
119068.67
505.64
1198.99
1746.93
2052.33
2361.88
2642.87
2947.33
3077.49
3288.07
3654.76
4255.62
5023.15
5953.43
7039.11
8346.24
9811.41
11227.48
12867.86
14758.97
16541.87
17980.66
19646.11
21210.47
22579.76
23781.05
25295.36
27750.04
30834.40
34462.27
39367.45
44818.27
53441.48
56613.55
57372.51
59520.63
60543.58
63558.13
74371.43
80019.91
81386.92
86373.40
93268.13
98844.18
223.24
528.38
766.93
895.54
1023.49
1136.96
1259.93
1306.31
1389.86
1544.51
1804.10
2137.71
2542.21
3012.77
3577.13
4206.38
4808.76
5505.42
6308.57
7060.07
8893.97
10338.21
11239.30
13069.72
1373271
14419.56
15360.78
16831.55
19328.88
21837.33
25115.52
27295.37
28595.04
30465.57
31931.75
39082.05
52167.06
63028.56
64587.57
63648.65
63352.02
63536.10
63778.15
Pertanian, PengangkutJasapeternakan,
an &
kehutanan komunikasi Jasa
& perikanan
286.46
680.35
994.50
1174.04
1357.73
1525.98
1707.74
1790.75
1919.06
2135.29
2484.08
2928.02
3465.83
4094.10
4850.79
5700.53
6526.45
7483.27
8585.78
9631.13
10572.28
11580.66
12683.11
13835.28
14083.52
14441.72
14984.51
15476.09
16300.52
17263.26
18375.18
19495.68
20450.37
21458.36
22776.41
24404.97
26675.77
28818.66
29171.22
28504.97
28329.09
28353.02
28380.86
104.22
245.67
353.59
407.63
459.70
504.09
552.42
564.90
595.23
659.59
773.34
921.21
1100.82
1309.07
1558.23
1834.13
2093.47
2393.05
2738.77
3056.48
4098.67
4737.82
5312.86
6499.95
7478.36
8105.91
8709.51
9401.38
10422.38
11390.44
13403.63
14279.71
14625.40
15095.53
15792.02
22538.27
39716.44
56943.56
65042.98
68594.92
73551.00
79048.57
83674.09
59.77
141.80
206.74
243.01
279.60
312.53
348.01
362.84
387.28
430.34
50129
592.14
702.41
831.09
985.84
1159.08
1326.29
1519.79
1742.69
1952.69
2266.11
3318.49
4379.29
6507.14
7507.84
7911.79
8908.67
10147.59
12016.86
13911.61
16117.78
17727.59
19414.85
21434.89
24079.53
34036.43
38683.41
42366.58
41561.01
38081.19
36189.27
39441.80
42439.86
Listrik, Gas
PertamBangunan bangan &
&
air bersih
penggalian
62.56
53.16
148.69
126.25
217.59
184.48
257.13
217.59
297.32
251.25
333.72
281.84
372.67
314.82
389.76
329.50
416.52
352.69
462.36
392.32
537.17
456.69
632.92
538.82
749.40
638.38
885.80
754.62
1050.29
894.47
1235.01 1051.29
1414.30 1203.38
1621.79 1379.44
1860.63 1582.25
2086.47 1774.22
2229.68 2038.21
2413.30 2294.07
2616.11 2612.02
2798.35 2956.91
2954.08 3028.01
3148.58 3092. 18
3506.10 3189.83
3931.85 3282.89
4509.95 3478.93
5214.19 3869.41
6172.13 4292.17
7149.92 5650.00
9818.81 7148.06
13589.13 8735.73
20274.36 10121.12
29700.73 10003.50
36722.39 9868.08
44543.77 9854.04
48858.57 8942.27
51148.78 7905.92
54230.70 7145.12
57966.37 6542.14
61319.51 6006.62
93.33
221.35
322.66
379.35
43692
489.31
546.09
570.75
610.24
678.50
789.97
932.20
1104.54
1305.67
1547.83
1819.38
2082.12
2386.51
2737.44
3068.66
3329.62
3549.98
3737.26
3891 .56
4017.89
4138.66
4292.23
4438.17
4580.15
4797.13
5076.90
6203.63
7568.83
10007.65
11808.78
13540.80
15102.68
16619.76
16991.37
16668.24
16721.64
16844.16
16862.48
46
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Menerawang
Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’
Firman Mochtar*
Abstrak
Dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta
turut memperhatikan sumber pembiayaan bagi penerapan satu kebijakan, tulisan ini berusaha menelaah dampak
penerapan kebijakan moneter yang ‘forward looking’. Hasil menerawang mengindikasikan bahwa upaya
menerapkan kebijakan moneter yang ‘forward looking’ dalam periode SBI sebagai piranti moneter relatif terbatas.
Sempitnya ruang gerak kebijakan moneter yang ‘forward looking’ pada periode SBI ini tersirat dari kemungkinan
munculnya fenomena ‘tight monetary paradox’ saat kebijakan moneter ketat diterapkan. Gambaran berbeda
bilamana kebijakan moneter yang ‘forward looking’ tersebut diterapkan pada saat piranti yang digunakan adalah
surat utang negara (SUN, misalnya T-Bills). Kebijakan moneter yang ‘forward looking’ dalam periode T-Bills
ini terindikasi lebih leluasa bergerak untuk mengendalikan inflasi ke depan. Indikasi lain yang juga terlihat dari
tulisan ini adalah sulitnya bagi kebijakan moneter yang ‘forward looking’ untuk dapat berdiri sendiri dalam
formulasi kebijakan moneter. Meski dengan bobot yang lebih kecil dibandingkan bobot yang diberikan kepada
proyeksi inflasi, formulasi kebijakan moneter masih tetap perlu mempertimbangkan kondisi inflasi yang sedang
terjadi untuk melengkapi kebijakan moneter yang forward looking tersebut.
* Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan – Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Wahyu A. Nugroho atas saran dan kritik terhadap lamunan ini.
Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’
47
1. Pendahuluan
Pemahaman bahwa efektivitas kebijakan moneter mempunyai efek tunda melahirkan
pemahaman lanjutan bahwa kebijakan moneter yang diterapkan haruslah berkarateristik
‘forward looking’ (Batini dan Haldane, 1999). Dalam hubungannya dengan ekonomi Indonesia, pemahaman yang sama juga muncul terutama berkaitan dengan kerangka inflation
targeting dimana salah satu elemennya adalah perlunya kebijakan moneter yang merespon
ekspektasi inflasi ke depan (Agung et.al, 2002 dan Alamsyah et.al, 2003).
Berkaitan dengan kebijakan moneter yang ‘forward looking’ tersebut, tulisan ini hanya
mencoba menerawang 1 secara singkat dan sederhana tentang kelayakan penerapan
karakteristik kebijakan moneter ‘forward looking’ tersebut. Berbeda dengan beberapa
penelitian sebelumnya yang tidak memasukkan variabel agregat moneter (‘M’), lamunan
ini menggunakan pendekatan lain yaitu dengan tetap mengakomodasi besaran moneter
dalam sistem analisa. Upaya berbeda ini dilakukan karena pembahasan akan dicoba
dikaitkan dengan piranti yang digunakan dalam operasi pasar terbuka (OPT), yaitu SBI
untuk saat ini atau kemungkinan menggunakan surat utang negara (SUN, misalnya T-Bills).
Dua bagian selanjutnya akan menerangkan secara singkat model yang digunakan serta
hasil-hasil simulasi kejutan kebijakan moneter yang ‘forward looking’. Bagian terakhir
ditutup dengan implikasi kebijakan.
2. Model
Model yang digunakan adalah sama dengan model pada Mochtar (2003). Perbedaan
utama model yang digunakan ini dengan penelitian terdahulu tentang kebijakan moneter
yang forward looking di Indonesia (Hutabarat et.al, 2000, Darsono, et.al, 2002, Hutabarat,
2003) terletak pada upaya untuk memperhatikan sumber pembiayaan kebijakan moneter.
Sebagaimana pada Mochtar (2003), sumber pembiayaan kebijakan moneter dapat bersumber
dari bank sentral bilamana instrumen yang digunakan merupakan surat berharga milik
bank sentral (seperti SBI) atau bersumber dari pajak bilamana instrumen kebijakan moneter
tersebut menggunakan surat berharga pemerintah (seperti T-Bills). Perbedaan kedua yaitu
turut mempertimbangkan interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang
sedang diterapkan. Upaya turut mengakomodir dampak interaksi kedua kebijakan tersebut
sangat penting karena pengaruh dari kebijakan akan tergantung pola kebijakan yang sedang
dijalankan di tiap kebijakan.
Implikasi yang muncul dari upaya mengakomodir sumber pembiyaan ini adalah tetap
memberikan tempat kepada besaran moneter (‘M’) ke dalam sistem analisa. Keuntungan
1 Menerawang berarti pikiran atau batin yang melayang jauh (Poerwadarminta, 1986)
48
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
tidak langsung yang didapat bila mengakomodasi ‘M’ tersebut adalah memberikan
gambaran pentingnya untuk tetap memperhatikan variable ‘M’ dalam kebijakan moneter
karena pada dasarnya uang dan suku bunga memiliki hubungan yang simultan sehingga
tidak dapat dipisahkan (Leeper, 2003). Argumentasi lain adalah karena transmisi kebijakan
moneter tidak dapat hanya ditangkap melalui perilaku suku bunga sehingga peran ‘M’
masih cukup relevan dipertimbangkan (Meltzer, 2001). Dikaitkan dengan kondisi Indonesia periode sekarang, hal ini semakin relevan akibat kondisi perbankan yang mengalami
ekses likuiditas sehingga unsur kuantitas ’M’ dalam kebijakan moneter patut pula
memperoleh perhatian.
Guna kepentingan kelengkapan analisa, model akan dijabarkan kembali secara singkat.
Perekonomian diasumsikan berpopulasikan rumah tangga yang pada tiap periode t memilih
konsumsi riil ct , uang nominal,
Mtd serta surat berharga bank sentral atau pemerintah Btd
guna memaksimalkan utilitas
∞
max
E ∑ β tU (ct , Mtd / Pt ),
d
d
{c t , M t , Bt }
0 < β < 1,
(1)
t =0
dimana
α −1
 α −1

 Mtd  α 
α  α
U (ct , M / Pt ) =
ct
+
,


α −1
 Pt 


d
t
α >0
(2)
dengan batasan anggaran
ct +
Mtd − Mt −1 Btd − Rt −1 Bt −1
+
= yt − τ t ,
Pt
Pt
(3)
dimana Pt indeks harga secara umum, Rt −1 bunga dan pokok surat berharga bank sentral
atau pemerintah yang dijual pada satu periode sebelumnya (t-1) dan jatuh tempo pada
periode t,
τ t pajak lumpsum yang ditarik pada periode t dan yt produksi perekonomian
pada periode t.
Pengeluaran pemerintah dalam arti konsolidasi anggaran pemerintah pusat dan bank
sentral (government budget constraint) dibiayai melalui penciptaan uang oleh bank sentral,
Mt − Mt −1 , nilai bersih penjualan surat berharga bank sentral atau pemerintah, Bt − Rt −1 Bt −1,
dan pajak lumpsum, τ t , sehingga memenuhi persamaan batasan anggaran pemerintah
dalam arti konsolidasi antara pemerintah pusat dengan bank sentral
Mt − Mt −1 Bt − Rt −1 Bt −1
+
+ τ t = gt
Pt
Pt
(4)
Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’
49
Pengeluaran pemerintah diasumsikan konstan dalam rasio tertentu terhadap output
perekonomian,
gt = λyt dimana 0 < λ < 1 , sehingga persamaan (4) dalam nilai riil
menjadi :
mt −
mt −1
b R
+ bt − t −1 t −1 + τ t = λyt
πt
πt
(5)
Kebijakan moneter diasumsikan merupakan fungsi dari kombinasi inflasi pada periode
bersangkutan dan ekspektasi inflasi satu periode mendatang inflasi.
Rt = exp(γ 0 )π tγ 1 π tγ+21θ t
(6)
dimana
log(θ t ) = ρθ log(θ t −1 ) + σ θ ε tθ , ρθ ∈[0,1) dan σ θ > 0
(7)
Bank sentral melalui kebijakan moneternya dapat melakukan kombinasi pemilihan
bobot kedua inflasi tersebut sesuai dengan prioritas kebijakan moneter. Bilamana kebijakan
moneter tersebut lebih memprioritaskan kebijakan moneter ‘backward looking’ maka bobot
γ 1 akan lebih besar dibandingkan dengan bobot γ 2 . Sebaliknya, bila kebijakan moneter
yang diterapkan lebih bersifat ‘forward looking’ maka bobot γ 2 akan lebih besar
dibandingkan dengan bobot γ 1 .
Kebijakan fiskal berupa kebijakan penetapan pajak lumpsum diasumsikan mengacu
kepada posisi surat berharga pemerintah (SBI atau T-Bills) pada periode sebelumnya.
τ t = exp(δ 0 )btδ−21ν t
(8)
dimana
log(ν t ) = ρν log(ν t −1 ) + σ ν ε tν , ρν ∈[0,1) dan σ ν > 0
(9)
Hasil rinci penjabaran model ekonomi dalam kondisi optimum dan bentuk linearisasinya dapat dilihat pada Mochtar (2003).
3. Simulasi Perubahan Parameter Kebijakan Moneter
Menggunakan model di atas, analisa dilanjutkan dengan mengubah parameter-parameter pada kebijakan moneter ( γ 1 , γ 2 ) serta membandingkan dampaknya terhadap
perkembangan inflasi. Sekali lagi disampaikan, kebijakan moneter tersebut lebih
didefinisikan sebagai kebijakan moneter yang ‘forward looking’ bilamana bobot γ 2 lebih
besar dibandingkan dengan bobot γ 1 . Sebaliknya kebijakan moneter dikategorikan ‘backward looking’ adalah jika bobot γ 1 lebih besar dibandingkan dengan bobot γ 2 .
50
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Selain itu, simulasi juga dilakukan dengan membandingkan dampaknya bila
menggunakan piranti yang berbeda dalam kegiatan OPT bank sentral, yaitu perbedaan
antara penggunaan SBI sebagai piranti OPT dan penggunaan surat utang negara (SUN,
misalnya T-Bills). Untuk tujuan itu maka perubahan parameter dilakukan terhadap parameter kebijakan fiskal ( δ 1 ). Selebihnya parameter-parameter steady state yang digunakan
dalam model adalah sama dengan Mochtar (2003) sebagaimana pada tabel 1.
Tabel 1
Parameter Kalibrasi
Parameter
Nilai
λ
π
β
b y
α
0,41
0,85
0,93
0,15
0,05
Periode SBI
Asumsi utama dalam periode ini adalah kebijakan fiskal bersifat aktif yaitu pemerintah
melalui kebijakan fiskal-nya tidak memberikan respon saat terjadi perubahan pada posisi
SBI. Sebagai pengejawantahan karakteristik ini maka parameter untuk kebijakan fiskal yang
digunakan adalah
δ1 = 0 .
Berbagai hasil simulasi dengan mengubah komposisi bobot kebijakan moneter, secara
umum memperlihatkan bahwa upaya menerapkan kebijakan moneter yang ’forward looking’ dalam periode SBI relatif terbatas. Sebaliknya, dalam periode SBI ini kemungkinan
penerapan kebijakan moneter yang ’backward looking’ terlihat masih lebih dominan karena
kebijakan moneter tersebut akan mampu mengendalikan inflasi beberapa saat setelah
kebijakan moneter tersebut diterapkan (Tabel 2).
Menggunakan parameter kebijakan moneter yang berkarateristik ‘backward looking’ (tergambar pada parameter
γ 1 yang lebih dominan/besar dalam formulasi kebijakan
moneter), hasil yang didapat adalah kebijakan moneter dapat secara penuh dalam beberapa
periode mengendalikan inflasi (baca: terdapat solusi yang unik terhadap inflasi bilamana
terjadi kejutan dari kebijakan moneter). Sebagai ilustrasi, dengan parameter kebijakan
moneter γ 1 = 0, 5 dan γ 2 = 0,1, hasil simulasi memperlihatkan bahwa kejutan kebijakan
moneter melalui peningkatan suku bunga SBI pada periode awal akan segera menurunkan
mampu menurunkan inflasi di periode setelah kejutan moneter tersebut (gambar 1).
Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’
Tabel 2
Hasil Simulasi Parameter Kebijakan Moneter dalam Periode SBI
γ1
KM
γ2
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2
1.3
0
2
2
2
2
2
0.5 0.6
2
2
2
2
2
2
4
4
4
1.4 1.5
4
4
0.1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
4
4
4
4
4
5
0.2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
4
4
4
4
4
4
0.3
2
2
2
2
2
2
2
2
4
4
4
4
4
4
4
4
0.4
3
2
2
2
2
2
2
4
4
4
4
4
4
4
4
4
0.5
3
3
2
2
2
2
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
0.6
3
3
3
2
2
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
0.7
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
0.8
3
3
3
2*
2*
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
0.9
3
3
2*
2*
2*
2*
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
1.0
3
2*
2*
2*
2*
2*
2*
4
4
4
4
4
4
4
4
4
1.1 2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
4
4
4
4
4
4
4
4
1.2 2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
4
4
4
4
4
4
4
1.3 2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
4
4
4
4
4
4
1.4 2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
4
4
4
4
4
1.5 2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
2*
4
4
4
4
Katerangan :
KM = Parameter Kebijakan Moneter
2* = Forward Looking dengan hasil “Tight Monetary Paradox”
2
= Dominasi Backward Looking
3
= Kondisi di bawah Multiple Equilibria Region (Indeterminacy)
2
= Dominasi Forward Looking
4
= Unstable Region
Gambar 1
Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang
‘Backward Looking’ dalam Periode SBI ( γ 1
= 0, 5 dan γ 2 = 0,1)
Persen
0
-0.1
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)
-0,2
0
0,5
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal
0
0
2
0,5
1
1,5
0,5
1
1,5
0
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi
-2
2 0
0
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)
-2
0
10
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan
0,5
1
5
0 x 10-16
1 0
0,5
0
0
1,5
Tahun setelah Kejutan
2
2,5
3
51
52
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Perilaku inflasi yang muncul menggunakan kebijakan moneter yang ’bacward looking’ dalam periode SBI adalah kebijakan moneter ketat di periode awal berarti akan
meningkatkan ekspektasi inflasi (Sargent dan Wallace, 1981). Hal ini karena pada periode
selanjutnya pertumbuhan base money akan mengalami pertumbuhan positif sebagai
dampak dari komitmen Bank Indonesia untuk membayar bunga atas SBI yang telah dijual
pada periode sebelumnya. Dengan asumsi Bank Indonesia di periode kedua ini tidak kembali
melakukan pengetatan kebijakan moneter guna menyerap kembali ’injeksi’ uang tersebut
maka secara kumulatif uang yang beredar mengalami peningkatan yang pada gilirannya
akan menyebabkan terjadinya kembali inflasi di periode berikutnya.
Perilaku berbeda akan nampak bila kebijakan moneter yang ’forward
looking’diterapkan. Meski terdapat beberapa hasil simulasi kebijakan moneter yang ’forward looking’ ini sesuai dengan harapan, perilaku dominan yang muncul dari dampak
kebijakan moneter yang ’forward looking’ ini adalah fenomena ’tight monetary paradox’
yaitu kebijakan moneter ketat justru akan meningkatkan inflasi bersamaan dengan kebijakan
moneter ketat tersebut (gambar 2). Kondisi aktual yang menggambarkan perilaku ’tight
monetary paradox’ ini terjadi di perekonomian Kenya (Buffie, 2003).
Sebagai ilustrasi dengan menggunakan bobot parameter
γ 1 = 0,1 dan γ 2 = 1, 0
(gambar 2), alur transmisi ’tight monetary paradox’ ini adalah karena ’representative agent’
memahami bahwa kebijakan moneter ketat dalam periode SBI, —bila tidak dibarengi oleh
Gambar 2
Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’ dalam Periode SBI
( γ 1 = 0,1 ,
γ 2 = 1, 0 ) dengan Hasil ‘Tight Monetary Policy Paradox’
Persen
0.5
0
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)
-0,5
0
2
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal
0
-2
0
0,5
1
1,5
-5
0
5
0,5
1
1,5
5
0
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi
0
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)
-5
0
20
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan
0,5
1
0
-20
x 10-16
0 0
-0,5
-1
0
1,5
Tahun setelah Kejutan
2
2,5
3
Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’
53
Gambar 3
Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’ dalam Periode SBI
( γ 1 = 0,1 dan
γ 2 = 0, 5) dengan Hasil ‘Multiple Equilibria / Indeterminacy Region’
Persen
1
0
-1
0
5
0,5
1
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)
1,5
2
2,5
3
0,5
1
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal
1,5
2
2,5
3
0,5
1
0
-5 0
10
0
-10
0
10
1,5
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi
2
2,5
3
0
-10
0
50
0,5
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)
1
1,5
2
2,5
3
0
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI
-50
0
2
0,5
1
1,5
2
2,5
3
0
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan
-2
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Tahun setelah Kejutan
penyerapan kembali di periode selanjutnya—, akan mengakibatkan meningkatkan
ekspektasi inflasi. Dalam kondisi bank sentral lebih memusatkan perhatian kepada inflasi
ke depan (sebagai cerminan dari kebijakan moneter yang ‘forward looking’) maka kebijakan
moneter ketat tersebut (melalui ’fisher equation’) akan berdampak pada menurunnya suku
bunga nominal. Penurunan suku bunga nominal ini selanjutnya akan menurunkan
permintaan SBI dan meningkatkan permintaan uang. Dalam kondisi ini meningkatnya
pertumbuhan uang nominal ini maka pada akhirnya akan meningkatkan inflasi sesaat
setelah kebijakan moneter ketat tersebut diterapkan.
Selain kedua hasil tersebut, hasil lain yang muncul dari simulasi parameter kebijakan
moneter ini adalah perilaku inflasi yang indeterminacy. Implikasi ekonomi dari hasil ini
adalah kemungkinan sulitnya kebijakan moneter mengendalikan inflasi karena adanya
unsur multiple equilibria dari inflasi yang terjadi (gambar 3). Kendati demikian, dalam
kondisi aktual, hasil ini masih diperdebatkan karena secara praktik fenomena ini sulit
ditemukan (McCallum, 2001). Hasil lain yang nampak dari simulasi adalah kondisi unstable yaitu tidak ditemukannya nilai tunggal inflasi (gambar 4).
54
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Gambar 4
Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’
dalam Periode SBI ( γ 1 = 0, 6 ,
γ 2 = 0, 9 ) dengan Hasil ‘Unstable Region’
Persen
0,04
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)
0.02
0
0
0,5
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal
0
-0,5
0
0
0,5
1
1,5
0,5
1
1,5
2
2,5
3
-0,2
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi
-0,4
0
0
2
2,5
3
-0,2
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)
-0,4
0
0
0,5
1
0,5
1
1,5
2
2,5
3
-2
-4
0
0,2
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan SBI
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Permintaan
0,1
0
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Tahun setelah Kejutan
Periode T-Bills
Asumsi utama untuk periode ini adalah Bank Indonesia telah menggunakan Surat
Utang Negara (SUN misalnya T-Bills) sebagai piranti dalam operasi pasar terbuka. Berkaitan
dengan karakteristik ini diasumsikan pula bahwa kebijakan fiskal bersifat pasif yaitu
kebijakan fiskal yang secara permanen memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi
pada posisi T-Bills guna memenuhi keseimbangan pada persamaan anggaran. Dalam
hubungan itu pula maka parameter skenario kebijakan fiskal ditunjukkan oleh nilai δ 1 = 0,3 .
Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’
55
Tabel 3
Hasil Simulasi Parameter Kebijakan Moneter dalam Periode T-Bills
γ1
KM
0
γ2
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
0.8 0.9
1.0 1.1
1.2 1.3
1.4 1.5
0
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
0.1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
0.2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
0.3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
0.4
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0.5
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0.6
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0.7
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0.8
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0.9
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1.0
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1.1
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1.2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1.3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1.4
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1.5
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
Keterangan :
KM = Parameter Kebijakan Moneter
2
= Dominasi Backward Looking
2
= Dominasi Forward Looking
3
= Kondisi di bawah Multiple Equilibria Region (Indeterminacy)
Berbeda dengan hasil periode SBI, hasil simulasi berbagai bobot parameter kebijakan
moneter pada periode T-Bills memperlihatkan bahwa kebijakan moneter yang ‘forward
looking’ dapat lebih leluasa diterapkan untuk mengendalikan inflasi (Tabel 3). Sebagai
gambaran, dengan menggunakan bobot γ 1 = 0, 5 dan γ 2 = 0, 8 , kebijakan moneter yang
’forward looking’ ini akan mampu mengendalikan inflasi sesuai harapan. Inflasi akan tetap
menurun secara permanen setelah kebijakan moneter ketat diimplementasikan (gambar 5).
56
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Gambar 5
Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’
dalam Periode T-Bills ( γ 1
= 0, 5 , γ 2 = 0, 8 ) dengan Hasil Solusi yang Tunggal
Persen
0,05
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan Uang (Riil)
0
0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Suku Bunga Nominal
-0,1
-0,2
0
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Inflasi
-1
-2
0
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pertumbuhan Uang (Nominal)
-1
-2
0
10
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Permintaan T-Bills
5
0
4 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Pengaruh Kejutan Moneter terhadap Pajak Pemerintah
2
0
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Tahun setelah Kejutan
4. Implikasi Kebijakan
Berbagai hasil simulasi dari lamunan ini menyiratkan bahwa upaya memperhatikan
sumber pembiayaan dalam kebijakan moneter serta interaksi antara kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter akan memberikan hasil yang berbeda terhadap dampak penerapan
kebijakan moneter yang ’forward looking’. Dalam periode SBI sebagai instrumen OPT,
efektivitas kebijakan moneter yang ’forward looking’ terindikasi terbatas. Dengan analogi
bermain sepakbola, penerapan kebijakan moneter ‘forward looking’ dalam periode SBI tanpa
melihat ’kondisi lapangan’ kebijakan makro ekonomi tempat ’bermain’ akan menyebabkan
terjadinya ‘senggolan’ antar pemain sendiri sehingga dapat menyebabkan tidak
harmonisnya alur permainan bahkan dapat ‘terjerembab’ dalam indikasi fenomena ‘tight
monetary paradox’.
Hal berbeda diperlihatkan bilamana kebijakan moneter ‘forward looking’ tersebut
diterapkan di era SUN sebagai piranti OPT. Kebijakan moneter yang ‘forward looking’ dapat
‘bermain’ secara lebih leluasa memanfaatkan ‘luasnya lapangan’ kebijakan makroekonomi
sehingga mampu ‘menembak’ inflasi ke depan dengan tepat.
Menerawang Kebijakan Moneter yang ‘Forward Looking’
57
Implikasi lain yang muncul dari ‘permainan imajiner’ ini adalah kebijakan moneter
forward looking tidak dapat ‘bermain’ sendiri dalam formulasi kebijakan moneter. Kedua
periode simulasi memperlihatkan bahwa hasil solusi yang tunggal akan dapat diperoleh
bilamana formulasi kebijakan moneter tersebut juga mempertimbangkan kondisi inflasi
yang sedang terjadi dan tidak hanya proyeksi inflasi ke depan (forward looking). ‘Bayangan’
ini mengimplikasikan bahwa kebijakan moneter harus tetap membagi ‘anggota tim’
kebijakan moneter-nya antara pemain dari ‘inflasi yang sedang terjadi’ dan pemain ‘inflasi
ke depan’ secara optimal sehingga dapat bermain dengan cantik untuk menghasilkan gol
berupa inflasi yang terkendali.
Daftar Pustaka
Agung, J., Siti Astiyah, Elisabeth S., Nugroho J.P., M.F. Muttaqin, Rifki I. (2002), Identifikasi
Variabel Informasi dalam Framework Inflation Targeting, Occasional Paper Bank Indonesia, 30 Juni
Alamsyah, Halim, Agung, J., Budiman, A., Affandi, Y., (2003), “Perubahan Struktural dan
Kebijakan Moneter Pasca Krisis: Retrospek dan Framework ke Depan”, paper Direktorat
Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia pada seminar ISEI di Malang
14-15 Juli 2003
Batini, N. dan Haldane, A.G. (1999), “Forward-Looking Rules for Monetary Policy” dalam
John B. Taylor, eds, “Monetary Policy Rules’, The University of Chicago Press, London
Buffie, Edward F (2003),”Tight Money, Real Interest Rates, and Inflation in Sub-Saharan
Africa”, IMF Staff Papers, Vo. 50, No.1
Darsono, Hutabarat, A.R., Wimanda, R.E., Handayani, D.E. (2002), “Disain Policy Rule untuk
Indonesia”, Working Paper, Program Kerja Strategis, Bank Indonesia, Direktorat Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bagian Studi Sektor Riil
Hutabarat, A.R., Anglingkusumo, R., Madjardi, F., dan Wimanda, R.E. (2000), “Policy Rules
untuk Pengendalian Inflasi secara Forward Looking”, Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan Vol. 3, Nomor 3, Desember, Bank Indonesia
Hutabarat, A.R., (2003), “Suku Bunga SBI dan Proyeksi Inflasi”, Occasional Paper Bagian
Studi Sektor Riil - Bank Indonesia, Agustus
58
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Leeper, E.M.dan J.E. Roush (2003), “Putting ‘M’ Back in Monetary Policy”, NBER WP 9552,
March
Leeper, Eric M., (2002) “A Model of Monetary and Fiscal Policy Interactions”. Indiana University, unpublished
McCallum, Bennet T. (2001), “Monetary Policy Analysis in Model without Money”, Federal
Reserve Bank of St. Louis, July/August
Meltzer, A.H. (2001), “The transmission process”, dalam “The Monetary Transmission Process: Recent Development and Lesson for Europe, Palgrave, London, Deutsche
Bundesbank, 112-130
Mochtar, Firman (2003), “SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi”, Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Vol. 6 No.2, September
Poerwadarminta, W.J.S. (1986), “Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cetakan
IX, Jakarta
Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting
59
Identifikasi Variabel Informasi
Dalam Framework Inflation Targeting
Juda Agung, Siti Astiyah, Elisabeth Sukowati,
Nugroho J. Prastowo, M.Firdauz Muttaqin, Rifqi Ismal*)
1. Pendahuluan
Inflation targeting (IT) secara implisit telah diterapkan di Indonesia sejak Bank Indonesia mengumumkan target inflasi secara transparan kepada publik di awal tahun 2000.
Penerapan IT di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan (Alamsyah, et al, 2001).
Pertama, dengan telah ditinggalkannya sistem nilai tukar sebagai nominal anchor,
diperlukan adanya anchor alternatif yang kredibel. Kedua, penerapan inflation targeting
merupakan konsekuensi dari independensi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan
moneter yang difokuskan pada pengendalian inflasi.
Penerapan inflation targeting di Indonesia terutama jika diterapkan secara “ketat”
(strict) masih menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, komitmen untuk mencapai target
inflasi bermanfaat untuk mendisiplinkan bank sentral dalam menjalankan kebijakan
moneter, terutama dalam situasi ketika tekanan-tekanan untuk melakukan kebijakan
moneter yang akomodatif sangat besar. Bukti empiris di beberapa negara menunjukkan
bahwa walaupun inflasi menjadi prioritas, namun ketika ‘short-run’ trade off antara inflasi
dan pertumbuhan ekonomi benar-benar sedang dihadapi, agak sulit bagi otoritas moneter
untuk secara konsisten menjadikan inflasi sebagai tujuan utama. Dengan target inflasi yang
secara eksplisit diumumkan kepada masyarakat dengan akuntabilitas yang jelas, bank
sentral mau tidak mau harus memprioritaskan pencapaian target inflasi. Kebijakan moneter
yang secara konsisten memprioritaskan pencapaian target inflasi akan meningkatkan
kredibilitas kebijakan moneter itu sendiri, yang pada gilirannya akan menurunkan
ekspektasi masyarakat terhadap inflasi dan meminimalisir biaya pengendalian inflasi.
Sementara itu, beberapa pihak yang berkeberatan1 diterapkannya inflation targeting di Indonesia pada saat ini mengajukan sejumlah alasan. Pertama, dalam kondisi
krisis, base money lebih baik dalam memberikan arah bagi kebijakan moneter karena
*) Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter serta Bagian Studi
Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan yang telah memberikan saran dan dukungan dalam penyelesaian paper ini
1 Misalnya, Felman (2000).
60
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
demand for base money lebih stabil dibandingkan dengan hubungan antara suku bunga
dan inflasi.2 Dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi, suku bunga yang terjadi sangat
berfluktuatif sejalan dengan naik turunnya premi resiko sebagai respon terhadap
perkembangan faktor-faktor non-fundamental. Kedua, kredibilitas Bank Indonesia lebih
mudah dibangun kembali melalui base money targeting karena bank sentral lebih mudah
mengendalikan base money dibandingkan mengendalikan inflasi dalam situasi yang serba
tidak pasti. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Pengalaman akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa pengendalian base money bukanlah hal yang mudah, terutama
ketika fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan normal dan aktivitas perekonomian
berlangsung dengan uang kartal, maka sulit bagi kebijakan moneter untuk menyerap
kelebihan base money. Ketiga, dalam situasi dimana banyak kendala di sisi perbankan
dan sektor riil, kebijakan moneter untuk mencapai target inflasi sering dihadapkan pada
dilemma kebijakan. Karena publik mengetahui dilemma yang dihadapi oleh bank sentral
dan memiliki persepsi bahwa bank sentral akan mentolerir laju inflasi untuk tidak
mengorbankan sektor riil dan perbankan, ekspektasi masyarakat terhadap inflasi semakin
meningkat. Dengan kata lain, karena publik melihat masalah yang dialami oleh perbankan
maupun oleh perusahaan adalah masalah jangka pendek yang harus segera diselesaikan,
maka publik kurang percaya bahwa bank sentral akan mengabaikannya demi pencapaian
target inflasi (credibility problem).
Dengan framework inflation targeting yang saat ini diterapkan, Bank Indonesia masih
menggunakan target base money sebagai sasaran antara. Dalam praktek, target inflasi yang
diumumkan tersebut digunakan dalam menghitung target base money dengan
menggunakan simple quantity theory of money. Beberapa permasalahan dalam
pengendalian base money dalam inflation targeting seperti ketidakstabilan hubungan antara
base money dan inflasi dan keterbatasan instrumen dalam mengendalikan ‘kuantitas’ base
money telah mendorong berkembangnya wacana tentang perlunya Bank Indonesia untuk
segera menerapkan inflation targeting secara penuh (full-fledged inflation targeting). ‘Full
inflation targeting’ mengandung pengertian bahwa kebijakan moneter dalam rangka
mencapai target inflasi paling tidak didasarkan pada lima pilar, yaitu tidak adanya nominal anchor lainnya, komitmen institusional untuk mencapai kestabilan harga, tidak adanya
dominasi fiskal, instrument independence, dan transparansi dan akuntabilitas (Mishkin
dan Hebbel, 2001). Dari kelima pilar IT ini, hanya pilar pertama yang belum dipenuhi
dalam framework kebijakan moneter yang saat ini dilakukan, yaitu masih adanya ‘double
nominal anchor’ yaitu digunakannya base money sebagai nominal anchor selain target inflasi
itu sendiri.3 Lebih dari itu, kebijakan moneter belum sepenuhnya dilakukan secara for2 Dalam praktek inflation targeting, sejumlah negara menggunakan Taylor-type rule dalam merespon tekanan inflasi, dimana
suku bunga digunakan sebagai operasional target.
3 Sedangkan keempat unsur lainnya secara jelas telah digariskan dalam UU 23/1999.
Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting
61
ward looking, dalam arti target operasional tidak secara eksplist diarahkan untuk merespon
perkembangan inflasi ke depan secara dinamis.
Framework inflation targeting yang bersifat forward looking mensyaratkan
kemampuan bank sentral dalam memprediksi perkembangan inflasi ke depan. Studi ini
ditujukan untuk mengidentifikasi sejumlah indikator atau variabel yang memiliki
kandungan informasi terhadap inflasi ke depan. Dalam konteks inflation targeting informasi
terhadap perkembangan inflasi ke depan ini sangat krusial dalam menentukan respon
kebijakan moneter, yaitu respon dari target operasional jika perkembangan inflasi ke depan
telah melenceng dari target inflasi yang telah ditetapkan.
Kesimpulan dari paper ini adalah sebagai berikut. Pertama, variabel-variabel nilai
tukar merupakan ‘the best indicators’ inflasi dan memberikan efek yang segera terhadap
inflasi. Kedua, variabel-variabel suku bunga memiliki information content yang lebih baik
terhadap inflasi dibandingkan dengan variabel-variabel kuantitas uang. Temuan ini
konsisten dengan berbagai penelitian sebelumnya yaitu suku bunga memiliki information
content yang tinggi terhadap inflasi ke depan. Ketiga, output gap mengandung informasi
inflasi yang sangat signifikan dan memiliki predictive power terhadap inflasi degan lag
antara 12-18 bulan. Ekspektasi inflasi yang dihasilkan dari Survey Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU) merupakan indikator inflasi dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang
kekuatan indikator ini terhadap inflasi melemah.
2. Inflation Targeting dan Information Variables
Secara operasional, negara-negara yang telah menerapkan inflation targeting secara
penuh seperti UK, Canada, Swedia dan Brazil, menggunakan suatu “rule”, seperti Taylor
rule dalam merespon terhadap tekanan inflasi ke depan. Secara spesifik, suku bunga yang
menjadi stance kebijakan moneter disesuaikan apabila terjadi deviasi antara prakiraan inflasi
yang akan datang (forecast inflasi) dengan target inflasi yang telah ditetapkan, dan apabila
proyeksi atas aggregat permintaan telah melebihi kapasitas perekonomian.
r = ηrt-1 + α(πf-π*) + β(y-y*)
dimana r adalah suku bunga jangka pendek yang dipergunakan sebagai operational
target (instrument kebijakan), πf dan π* adalah inflasi yang akan datang (prakiraan inflasi)
dan target inflasi, y dan y* output aktual dan output potensial sehingga (y-y*) adalah output
gap. Suku bunga jangka pendek sebagai instrument moneter tersebut merupakan variabel
yang harus dapat dikontrol oleh bank sentral dan akan berubah sebagai respon kebijakan
dalam rangka pencapaian sasaran akhir target inflasi. Sehingga dalam rejim inflation tar-
62
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
geting, prakiraan inflasi mempunyai peranan yang penting karena prakiraan inflasi tersebut
seringkali menjadi semacam “intermediate target”, sehingga kemampuan bank sentral untuk
memprediksi inflasi secara tepat menjadi sangat penting. Akan tetapi dalam pengambilan
kebijakan untuk merespon jika terjadi deviasi dari target menjadi lebih komplek karena hal
ini juga tergantung dari banyak faktor antara lain penentuan dari model yang dipergunakan
sehingga permasalahannya tidak sesederhana untuk forecast inflasi saja. Oleh karena itu,
banyak negara yang menggunakan inflation targeting juga memerlukan set indicator variables sebagai information variables. Sehingga variables yang mempunyai prediction content dengan inflasi yang akan datang ini menjadi penting untuk membantu pengambil
kebijakan.
Secara umum information variables merupakan sebuah set variabel indikator yang
mempunyai kandungan informasi untuk memprediksi inflasi yang akan datang. Sebuah
variabel dapat berperan sebagai information variabel ataupun sebagai intermediate target,
tergantung dari framework kebijakan moneter yang digunakan. Sebagai contoh, nilai tukar
dalam rejim nilai tukar tetap merupakan intermediate target, namun dalam rejim nilai tukar
fleksibel merupakan information variable. Contoh lain, uang beredar yang berperan sebagai
intermediate target dalam framework monetary targeting, dapat berperan sebagai information variable dalam framework inflation targeting.
Peranan dari suatu variable “hanya” sebagai information variable berbeda dengan
peranannya sebagai intermediate target4 . Dalam framework intermediate targeting,
variabel tersebut harus memiliki hubungan struktural dengan variabel yang menjadi sasaran
akhir yaitu inflasi, lebih dari sekedar memiliki ‘forecasting power’ atau ‘leading indicator’
inflasi. Lebih dari itu hubungan struktural tersebut harus stabil. Tentu saja variabel yang
menjadi intermediate target harus dapat dikontrol oleh bank sentral melalui instrumen yang
dimiliki, sehingga intermediate target itu berupa variabel finansial, seperti suku bunga jangka
panjang atau uang beredar.
Sementara itu, variabel yang berperan sebagai information variabel tidak memerlukan
hubungan struktural yang stabil dengan inflasi namun cukup memerlukan forecasting power
terhadap inflasi. Di samping itu, salah satu keuntungan penggunaan information variable
didalam inflation targeting adalah dimungkinkannya untuk memasukkan indikator nonfinansial didalam implementasi kebijakan moneter sehingga dapat meningkatkan efektivitas
pencapain sasaran akhir kebijakan moneter. Keuntungan lain dari pendekatan ini adalah
bahwa sebuah variabel yang tidak lagi memiliki kandungan informasi inflasi dapat dengan
mudah diganti dengan variabel yang lain. Ketidakstabilan hubungan struktural antara
uang beredar dengan inflasi dan output pasca deregulasi sektor keuangan di berbagai negara
4 Diskusi lebih detail dapat dilihat di Friedman (1996).
Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting
63
industri dan berkembang telah menggeser peran uang beredar dari sasaran antara menjadi
sekedar information variabel (Friedman dan Kuttner, 1992). Dalam kaitan ini, ketidakpastian
transmisi kebijakan moneter dalam suatu periode dimana telah terjadi perubahan struktural
dalam perekonomian, penggunaan suatu set information variables dalam kebijakan moneter,
daripada menggunakan sebuah variabel sebagai intermediate target, menjadi lebih tepat.
Pendekatan information variable sejalan dengan kerangka inflation targeting yaitu
bersifat constrained discretion dan orientasi kebijakan moneter yang bersifat aktif. Berbeda
dengan intermediate targeting dimana kebijakan moneter dilakukan secara pasif seperti
misalnya Friedman’s money supply rule, pendekatan information variables berhubungan
dengan penggunaan kebijakan moneter yang aktif seperti dalam inflation targeting dimana
respon kebijakan moneter merupakan hasil ‘feedback’ dari variabel indikator. Information
variables ini diharapkan dapat memberikan signal kepada otoritas moneter sehingga otoritas
moneter dapat melakukan tindakan preventif jika terjadi “shock” yang dapat mempengaruhi
target inflasi. Atas dasar informasi tersebut, otoritas moneter diharapkan dapat merubah
policy stance yang diperlukan.
3. Metodologi dan Data
3.1. Metodologi
Untuk mengidentifikasi suatu variable yang dapat dikelompokkan dalam information variables, yaitu variabel-variabel yang memiliki kandungan informasi terhadap inflasi,
studi ini menggunakan berbagai pendekatan. Pertama, untuk melihat hubungan jangka
panjang antara variabel-variabel yang menjadi kandidat dengan inflasi, pertama kali
dilakukan pengujian kointegrasi. Selain hubungan kointegrasi antara kedua variabel tersebut
(bivariate), pengujian kointegrasi juga dilakukan dalam bentuk multivariate dengan
melibatkan output riil (trivariate), dan output riil dan nilai tukar (four-variate). Kedua,
selanjutnya untuk melihat ‘information content’ dari variabel-variabel indikator dilakukan
‘Granger causality test’ dari variabel indikator terhadap inflasi dalam bentuk reduce form
persamaan inflasi dalam bentuk first-difference jika antar variabel tidak terdapat hubungan
kointegrasi:
∆Xt = α(L) ∆Xt-1 + β(L) ∆Yt-1 + φ(L) ∆Zt-1 + ε t
(1)
atau dalam bentuk model ‘error correction’ jika antar variabel terdapat hubungan kointegrasi,
yaitu dengan menambahkan error correction term ke dalam model (1), menjadi:
∆Xt = α(L) ∆Xt-1 + β(L) ∆Yt-1 + φ(L) ∆Zt-1 + EC t-1 +ε t
(2)
64
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
dimana X adalah logaritmik dari indeks harga dan Y adalah variabel indikator. Z adalah
vektor dari variabel kontrol yang kemungkinan mengandung informasi terhadap inflasi.
Dalam hal ini Z adalah GDP riil untuk model tiga-variabel dan GDP riil dan nilai tukar
untuk model empat-variabel. EC adalah error correction term jika terdapat hubungan
kointegrasi antar variabel indikator, indeks harga dan variabel kontrol.
Ketiga, untuk melihat apakah hubungan antara variabel kandidat dan inflasi bersifat
‘struktural’ dalam arti variabel tersebut penting dalam transmisi kebijakan moneter, studi
ini juga menghitung variance decomposition dari inflasi.
3.2. Data
Sampel data adalah bulanan 1984.01 – 2001.12. Data inflasi yang digunakan adalah
inflasi IHK, inflasi inti dengan menggunakan metode exclusion dan inflasi inti dengan
menggunakan metode trimming. Sedangkan variabel-variabel yang digunakan sebagai
kandidat terdiri dari 29 variabel yang meliputi besaran moneter, suku bunga, spread, nilai
tukar dan variabel di sektor riil seperti output gap dan ekpektasi inflasi. Besaran moneter
meliputi base money (BM), uang kartal (CUR), uang beredar dalam arti sempit (M1), uang
beredar dalam arti luas (M2), Divisia M1 (DIVM1), dan Divisia M2 (DIVM2). Besaran
moneter yang lain meliputi total kredit (CR_TOT), total kredit dengan koreksi nilai tukar
(CR_TOTEA), kredit investasi (CR_INV) dan kredit modal kerja (CR_WC). Variabel yang
terkait dengan suku bunga meliputi suku bunga SBI 1 bulan (RSBI1M), suku bunga PUAB
overnight (RON), suku bunga deposito 1 bulan (RD1) dan 3 bulan (RD3), suku bunga kredit
modal kerja (RC_WC) dan suku bunga kredit investasi (RC_INV). Spread suku bunga
meliputi spread antara suku bunga kredit dan deposito (SP_CD), spread antara suku bunga
deposito dan suku bunga SBI (SP_DS). Sedangkan, nilai tukar meliputi nilai tukar nominal (EXR), Real Effective Exchange Rate (REER), Nominal Effective Exchange Rate (NEER)
dan swap rate. Semua data dalam bentuk level di-log-kan terlebih dahulu sebelum
digunakan dalam berbagai prosedur empiris. Disamping itu, semua data dihilangkan dari
unsur seasonalnya (seasonal adjustment) dengan metode X-12.
Sementara itu, sebelum melakukan pengujian kointegrasi, semua variabel perlu diuji
tes stationaritas untuk menganalisa apakah masing-masing variabel tersebut stationer atau
non-stationer. Hasil dari uji stationaritas dengan menggunakan prosedur Augmented
Dickey-Fuller (ADF) dimana jumlah ‘agumented lag’ ditentukan sedemikian rupa sehingga
residual dari persamaan ADF tidak mengandung serial correlation. Hasil pengujian dengan
ADF ini ditampilkan dalam Tabel 1. Tabel 1 mengindikasikan bahwa masing-masing level
variabel tidak stasioner, sehingga perlu dilakukan uji stationaritas dengan menggunakan
first difference untuk masing-masing variabel. Hasil uji stationaritas dengan menggunakan
Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting
65
first difference untuk masing-masing variabel tersebut menunjukkan bahwa masing-masing
variabel adalah stasioner pada first difference atau masing-masing variabel tersebut
berintegrasi order 1 (I(1)), sehingga valid digunakan untuk pengujian kointegrasi.
Dengan memperhatikan hasil uji stasionaritas, maka pengujian Granger causality
menggunakan VAR dalam bentuk first difference. Sedangkan jika terdapat kointegrasi antar
variabel, maka Granger causality test untuk melihat information content dari variabelvariabel kandidat dilakukan dengan menggunakan vector error correction, yaitu first difference VAR dengan memasukkan error correction term.
4. Hasil Empiris
Hasil dari pengujian kointegrasi dan block exogeneity test (Wald test) untuk
mengetahui kandungan informasi terhadap inflasi IHK, exclusion and trimming ditampilkan
dalam Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4 masing-masing untuk sistem dengan dua, tiga dan empat
variabel. Hasil pengujian kointegrasi menunjukkan bahwa dalam sistem dua variabel
(bivariate system), yaitu variabel informasi dan inflasi, menunjukkan bahwa uang primer,
uang kartal, nilai tukar nominal, M1, Divisia M1 dan M2 terkointegrasi dengan ketiga jenis
ukuran inflasi . Dalam sistem dengan tiga variabel (trivariate system), maka antara uang
primer dan inflasi tidak lagi terkointegrasi, sedangkan variabel lainnya secara konsisten
masih terkointegrasi.
Namun, dalam sistem dengan empat variabel, yaitu dengan
memasukkan nilai tukar ke dalam sistem, beberapa variabel yang sebelumnya terkointegrasi
seperti uang primer dan uang kartal menjadi tidak terkointegrasi lagi.
Hasil pengujian dengan Wald test/causality test pada sistem dengan dua variabel
untuk melihat kandungan informasi variabel terhadap inflasi mengindikasikan bahwa
secara umum baik variabel kuantitas uang seperti uang kartal, M0, M1 dan M2, dan variabelvariabel suku bunga dan nilai tukar mempunyai kandungan informasi terhadap inflasi
baik yang diukur dengan IHK maupun terhadap inflasi inti dengan metode exclusion dan
trimming. Total kredit, kredit investasi, dan kredit modal kerja juga mempunyai kandungan
informasi yang signifikan terhadap inflasi baik yang diukur dengan IHK maupun dengan
inflasi inti yang diukur dengan exclusion dan trimming. Akan tetapi hasil uji bivariate Wald
test menunjukkan bahwa kredit yang telah dikeluarkan pengaruhnya terhadap volatilitas
nilai tukar (CR_TOTEA) tidak mempunyai information content secara significant terhadap
inflasi baik yang diukur dari IHK, exclusion maupun trimming. Adanya ketidak konsistenan
antara hasil uji total kredit dengan kredit yang telah dikeluarkan faktor perubahan nilai
tukarnya mengindikasikan bahwa pengaruh kredit terhadap inflasi kemungkinan melalui
pengaruh perubahan nilai tukar.
66
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Hasil bivariate variance decomposition yang ditampilkan dalam Tabel 5 mendukung
hasil dari Granger causality test. Variabel-variabel nilai tukar baik nominal maupun riil,
kecuali swap rate, memiliki kemampuan prediksi yang terbesar dalam jangka pendek (6
bulan) dan kamampuan prediksi terhadap inflasi dalam jangka panjang masih relatif tinggi
walaupun mengalami penurunan. Sebaliknya, variabel besaran moneter seperti uang kartal,
base money, M1, dan M2 serta kredit memiliki kemampuan prediksi yang agak lemah untuk
inflasi jangka pendek namun kemampuan prediksinya terhadap inflasi dalam jangka yang
relatif lebih panjang menguat dan sangat signifikan di atas 24 bulan. Fakta di atas
menunjukkan bahwa transmisi nilai tukar kepada inflasi bersifat segera, sedangkan transmisi
uang beredar kepada inflasi memiliki waktu tunda yang relatif lebih lama antara 1-2 tahun.
Mendukung temuan dari uji Granger causality, variance decompisition dari inflasi
menunjukkan bahwa total kredit yang sudah dikoreksi dari unsur pergerakan nilai tukar
tidak memiliki kemampuan prediktif yang sangat rendah. Sementara itu, variabel suku
bunga yang memiliki kemampuan prediksi cukup signifikan terhadap inflasi IHK adalah
suku bunga deposito 1 bulan dan suku bunga PUAB overnight. Namun, untuk inflasi inti
baik yang dihitung dari exclusion maupun trimming, suku bunga deposito 3 bulan memiliki
kemampuan prediksi yang lebih baik dibanding dengan suku bunga deposito 1 bulan.
Walaupun perhitungan output gap dengan metode Hodrick-Prescott sampai saat ini
masih banyak mengandung kelemahan, namun kandungan informasi variabel ini terhadap
ketiga ukuran inflasi sangat signifikan. Dari variance decomposition inflasi juga
menunjukkan bahwa output gap memiliki kemampuan prediktif terhadap inflasi dengan
lag antara 1-2 tahun. Sementara itu, ekspektasi inflasi juga mengandung informasi inflasi
dalam jangka pendek. Predictive power ekspektasi inflasi menjadi melemah setelah 6
bulan.
Hasil temuan di atas juga konsisten pada sistem dengan tiga variabel. Secara umum
tidak ada perbedaan temuan yang signifikan antara sistem dengan dua variabel dan tiga
variabel. Hal ini juga tercermin dari temuan bahwa semua variabel nilai tukar, baik nilai
tukar nominal (Rp/USD), nominal effective exchange rate (NEER), dan real effective exchange rate (REER) secara konsisten memiliki kandungan informasi yang signifikan terhadap
inflasi. Namun demikian, hasil pengujian Granger-causality menunjukkan bahwa
kandungan informasi dari base money menjadi lemah dalam trivariate system. Sementara
itu, dari hasil trivariate variance decomposition, semakin menunjukkan konsistensi nilai
tukar sebagai indikator inflasi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, sementara
predictive power dari beberapa besaran moneter seperti base money, uang kartal, M1 dan
M2 mengalami penurunan. Sebaliknya, predictive power dari suku bunga terutama suku
bunga PUAB overnight mengalami penguatan dibanding dalam bivariate.
Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting
67
Hasil pengujian Granger causality dengan empat variabel dalam VAR, yaitu dengan
memasukkan nilai tukar nominal ke dalam VAR, ditampilkan dalam Tabel 4, sedangkan
four-variable variance decomposition disajikan dalam Tabel 7. Hasil dari Granger causality maupun variance decomposition dengan memasukkan nilai tukar ke dalam sistem
menunjukkan perubahan yang cukup signifikan dari information content dan predictive
power dari variabel-variabel kandidat. Kandungan informasi terhadap inflasi dari
berbagai besaran moneter seperti M1, M2, Divisia M1 dan M2 menjadi hilang. Divisia M1
dan Divisia M2 memiliki kandungan informasi terhadap inflasi inti yang dihasilkan dari
metode trimming. Sementara itu, base money dan uang kartal masih memiliki kandungan
informasi terhadap semua jenis inflasi namun tidak terkointegrasi dengan inflasi. Temuan
ini didukung dengan hasil dari variance decomposition yang menunjukkan bahwa predictive power dari base money dan uang kartal melemah. Hal ini memperkuat fakta
tingginya peran nilai tukar dalam mempengaruhi inflasi sehingga peran dari agregat
moneter menjadi kurang signifikan. Yang menarik adalah kandungan informasi dari
variabel suku bunga menjadi menguat, bahkan predictive power dari suku bunga PUAB
melebihi predictive power dari base money baik untuk prediksi inflasi dalam jangka yang
lebih pendek (1 tahun) maupun jangka panjang (2-3 tahun). Output gap menjadi variabel
yang memiliki predictive power yang tertinggi baik untuk jangka waktu 1, 2 dan 3 tahun
ke depan, konsisten untuk semua jenis inflasi.
Untuk mengetahui seberapa lama dampak dari perubahan variabel indikator tersebut
akan mempengaruhi inflasi yang akan datang, studi ini menggunakan impulse-response.
Impulse–response function ini pada dasarnya digunakan untuk mengetahui time path
response dari target variabel dengan adanya 1 unit shock dari variabel besaran moneter
tersebut. Pengujian impulse-response function hanya dilakukan untuk variabel besaran
moneter yang telah terseleksi mempunyai kandungan informasi yang cukup signifikan
terhadap inflasi. Hasil dari pengujian impulse response tersebut ditampilkan dalam
grafik 1.
Impulse response function untuk base money mengindikasikan bahwa dampak base
money pada inflasi mencapai puncaknya dalam waktu sekitar 24 bulan, sehingga hal ini
mengindikasikan bahwa perubahan base money mempunyai informasi untuk memprediksi
inflasi baik inflasi IHK, exclusion, dan trimming sekitar 2 tahun kedepan. Impulse response function bivariate untuk uang kartal mengindikasikan perubahan uang kartal
mempunyai dampak maksimum terhadap inflasi IHK yang lebih pendek dibdaning base
money yaitu sekitar 20-25 bulan ke depan. Impulse response function untuk total kredit
signfikan pada periode antara 6 sampai 12 bulan, sedangkan di atas 12 bulan dampaknya
tidak signifikan (standar deviasi besar). Sementara itu, impulse response dari inflasi
terhadap beberapa besaran moneter lain seperti M1, M2 dan Divisia M2 secara umum
mencapai puncak berada pada kisaran antara 18-24 bulan.
68
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Konsisten dengan hasil variance decomposition, dampak nilai tukar baik nominal
maupun REER terhadap inflasi IHK relatif lebih cepat dan mencapai puncaknya pada
periode yaitu sekitar 8-12 bulan. Sementara itu, dampak output gap terhadap inflasi sangat
signifikan dan mencapai maksimum antara 12-18 bulan.
5. Kesimpulan
Dari hasil studi empiris ‘information content’ sejumlah variabel informasi dapat
disimpulkan bahwa: pertama, variabel-variabel nilai tukar merupakan ‘the best indicators’ inflasi dan memberikan efek yang segera terhadap inflasi. Kedua, variabel kuantitas
uang, seperti uang kartal, base money, M1, dan M2 masih memiliki kandungan informasi
yang cukup tinggi terhadap inflasi dengan lag sekitar 20-24 bulan. Namun, kandungan
informasi aggregat moneter ini melemah ketika nilai tukar dimasukkan sebagai variabel
kontrol. Melemahnya kandungan informasi besaran moneter, seperti jumlah uang beredar
dan kredit mempunyai implikasi pada pergeseran peran variabel-variabel ini di dalam
kebijakan moneter Bank Indonesia, yaitu dari peran sebagai intermediate target menjadi
sekedar information variables. Dari variabel aggregate moneter tersebut, base money (M0)
mempunyai information content yang cukup besar untuk memprediksi inflasi IHK maupun
inflasi inti.
Ketiga, variabel-variabel suku bunga, terutama suku bunga PUAB memiliki
kandungan informasi yang lebih baik terhadap inflasi dibandingkan dengan variabelvariabel kuantitas uang. Temuan ini konsisten dengan berbagai penelitian sebelumnya
yaitu suku bunga PUAB memiliki information content yang tinggi terhadap inflasi ke depan.
Sementara itu, kandungan informasi suku bunga SBI terhadap inflasi sangat lemah.
Keempat, output gap memiliki kandungan informasi yang sangat signifikan dengan
dampak yang relatif lebih cepat dibanding besaran moneter yaitu sekitar 12-18 bulan.
Kelima, ekspektasi inflasi yang dihasilkan dari Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)
merupakan indikator inflasi dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang
kekuatan indikator ini terhadap inflasi melemah.
Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting
69
Tabel 1
Unit Root Test
No Trend
With Trend
Variables
Optimum Lag
ADF Test-stat
Optimum Lag
ADF Test-stat
LEVEL
CPt_SA
CPt_EX
CP’-TR
GDPRL_SA
BM_SA
BM_LA
CR_INV_SA
CR_TOT_SA
CR_TOTEA_SA
CR_WC_SA
CUR_SA
CUR_LA_SA
EXR_SA
GAP RAT_SA
M1_SA
M1SAV_SA
M2_SA
DIVM2_SA
DIVM2ATM_SA
NEER_SA
REER_SA
SWAP_SA
RC_INV
RC_INV_SA
RC_WC_SA
RD1_SA
RD3_SA
RON_SA
RSBI1 M_SA
SKDU_SA
8
7
10
4
1
12
5
8
12
8
12
11
9
12
1
6
5
1
1
9
12
12
1
1
10
8
3
2
7
3
3.07349
2.21094
2.86601
2.45307
6.94162
4.01118
0.35002
0.29725
0.30327
0.37032
3.98097
521914
1.28698
-5.09034
8.01372
3.75999
4.22129
7.75607
7.82716
-1.33080
-0.81690
-0.34333
-0.37937
-0.38434
-0.60979
-1.32508
-1.18046
-1.37353
-1.79311
-1.12340
8
6
6
6
1
12
6
8
3
8
12
11
9
12
1
6
8
1
1
9
8
6
1
1
10
6
6
8
7
5
-1.75697
-2.71705
-2.44879
-0.20988
-0.91795
-1.09637
-2.16116
-2.74719
-1.74274
-2.67895
-1.35969
-1.23391
-2.21537
-5.09768
-2.53872
-4.02030
-3.13065
-3.89715
-3.48499
-2.72610
-412346
-3.54352
-1.78712
-1.75939
-3.19160
-4.34845
-4.05376
-3.69336
-4.34111
-265398
FIRST DIFFERENT
DCPI_SA
DCP,-EX
DCPI_TR
DGDPRL_SA
DBM_SA
DBM_LA
DCR_INV_SA
DCR_TOT_SA
DCR- TOTEA_SA
DCR_WC_SA
DCUR_SA
DCUR_LA_SA
DEXR_SA
DGAPRAT_SA
DM1_SA
DM1SAV_SA
DM2_SA
DDIVM2_SA
DDIVM2ATM_SA
DNEER_SA
DREER_SA
DSWAP _SA
DRC_INV
DRC_INV_SA
DRC_WC_SA
DRD1_SA
DRD3_SA
DRON_SA
DRSBI1 M_SA
DSKDU_SA
7
5
5
12
9
8
4
7
11
7
11
11
12
12
5
5
7
5
7
12
12
11
1
1
9
7
2
12
12
1
-3.41093
-2.21516
-2.03947
-2.61719
-2.23867
-3.05434
-3.07564
-1.80275
-2.31532
-1.81605
-2.20297
-2.62778
-4.93327
-6.90560
-3.45051
-2.44310
-1.71239
-2.07741
-1.67563
-430012
-5.42841
-4.55591
-11 .39625
-11.65270
-3.18708
-4.32722
-5.26551
-3.99635
-5.46469
-5.72828
7
6
9
12
1
11
4
4
11
7
11
10
12
12
1
4
4
1
1
12
12
11
1
1
9
7
2
12
12
1
-4.74025
-3.39513
-3.86196
-4.01669
-23.91980
-5.16108
-3.17089
-3.17619
-2.45894
-193426
-4.70387
-6.33612
-5.61257
-6.86767
-18.86684
-6.69113
-5.07566
-14.71917
-14.91296
-489369
-5.50716
-4.52166
-11.32773
-11 .58267
-3.16782
-4.30943
-5.24246
-3.96830
-5.43579
-5.69024
70
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Tabel 2
Kointegrasi dan Casuality (bivariete)
HEAD LINE
EXCLUSION
TRIMMING
INFORMATIONS VARIABLES
Wald
ECM
Coint
Wald
ECM
11,19
(0,51)
43,51***
(0 ,00)
5,51**
(0,02)
-
Yes
Yes
9,13
(0,69)
30,19(0,00)
9,06***
(0,00)
7,9S(0,00)
No
75,28***
(0.00)
-
No
65,72***
(0, 00)
-
No
52,20***
(0,00)
10.001
No
75.28***
(0.00)
-
No
66,79***
(0. 00)
-
-
47,26***
(0,00)
-
No
15.37
(0.22)
-
No
18,09
(0,11)
-
No
11,81
(0,46)
-
No
41,04***
(0.00)
-
No
63,69***
(0.00)
-
No
43,70***
(0.00)
-
Yes
13,31
(0,35)
39,50***
(0.00)
5,16**
(0,02)
-
Yes
No
7,06
(0,85)
26,78***
(0,008)
6,56**
(0,01)
-
Yes
No
No
6,70
(0,88)
2405***
(0',02)
6,26**
(0,012)
-
Yes
95,58***
(0.00)
3.01*
(0,08
No
287,14***
(0,00)
-
No
270,03***
(0.00)
-
No
33,11***
(0.00)
-
No
33,15***
(0.00)
-
No
26,40***
(0.009)
Yes
38.05***
(0,00)
16,98***
(0. 00)
No
32,29***
(0.00)
757***
(0.006)
No
30,06***
(0.003
9.05***
(0.003)
No
38,62***
(0,00)
-
No
50,49***
(0,00)
-
No
51,94***
(0.00)
-
No
96.84***
(0,00)
-
No
148,91***
(0,00)
-
No
139,62***
(0,00)
-
Yes
32.06***
(0,00)
20,00***
(0.00)
Yes
31,82***
(0,00)
10 48***
(0.00)
Yes
33,78***
(0.00)
13,38***
(0,00)
Yes
25,82**
(0.011)
13,31**
(0.00)
No
24,70**
(0.016)
-
Yes
25,61**
(0,012)
9,04***
(0.003)
No
207,43***
(0.00)
24,50**
(0,02)
24,85**
(0.02)
-
No
No
-
No
-
No
-
No
262 ,9***
(0.00)
28,58***
(0,005)
28 44***
(0.005)
-
No
311,62***
(0.00)
26,11**
(0,01)
28,09**
(0.007)
-
-
No
55.30***
(0.00)
-
No
106,33***
(0.00)
-
No
85,19***
(0.00)
-
No
35,73***
(0.00)
-
No
54,92***
(0.00)
-
No
72,73***
(0.00)
-
No
30.06***
(0.00)
-
No
46,53***
(0.00)
-
No
53,83***
(0.00)
-
No
196,87***
(0.00)
-
No
289,17***
(0.00)
-
No
248,81***
(0.00)
-
No
55,81***
(0.00)
-
No
110,03***
(0.00)
-
No
111,99***
(0.00)
-
No
28.84***
(0.00)
-
No
28,05***
(0.005)
-
No
30,18***
(0.003)
-
No
78,11***
(0.00)
-
No
92,88***
(0.00)
-
No
97,11***
(0.00)
-
No
42,89***
(0.00)
-
No
42,13***
(0.00)
-
No
49,13***
(0.00)
-
Coint
BM
BM_SA
Coint
Wald
ECM
No
14,38
(0,28)
36,50***
(0 ,00)
712***
(0,08)
Base Money
Yes
BM_LA
No
CR_INV
CR_NV_SA
Credit - Investment
CR_TOT
CR_TOT_SA
Credit - Total
CR_TOTEA
CR_TOTEA_SA
Credit- Total with ER adj
CR_WC
CR_WC_SA
Credit - working capital
CUR
CUR_SA
Currency
CUR_LA_SA
EXR
EXR_SA
Exchange rate nominal
GAPRAT
GAP RAT_SA
Output gap in ratio terms
M1
M1_SA
Narrow Money
M1 SAV
M1SAV_SA
Na.rrow + Saving deposits
M2
M2_SA
Broad money
DIVM2
DIVM2_SA
Divisia broad money
DIVM2ATM
DIVM2ATM_SA
Divisia broad moneyadjusled ATM
NEER
NEER_SA
Nominal efective exchange rate
RC_INV
Loan rate - ivestment
RC_NV_SA
No
No
RC_WC
RC_WC_SA
Loan rate. - working capital
RD1
RDI_SA
Deposit rate - 1 month
RD3
RD3_SA
Deposit rate - 3 month
REER
REER_SA
Real effective exchange rate
RON
RON_SA
Overnight rate - PUAB
SBI1M
SBI1M_SA
SBI1 month rate
SWAP
SWAP_SA
Swap rate
SKDU
SKDU_SA
Survey in Business Sector Activily
Yes
-
-
Note
*) Significant at α= 10% or 90% level of confidence **) Significant at α = 5% or 95% level of confidence ***) Significant at α= 1% or 99% level of confidence
71
Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting
Tabel 3
Kointegrasi dan Casuality (trivariete)
HEAD LINE
EXCLUSION
TRIMMING
INFORMATIONS VARIABLES
Wald
ECM
Coint
Wald
ECM
20,77***
(0,054)
35,23***
(0,00)
-
Yes
-
Yes
7,54
(0,82)
17,00
(0,15)
4,37**
(0,04)
4 09***
(0.04)
No
68,89***
(0,00)
-
No
74,97***
(0,00)
-
No
59,54***
(0.00)
-
No
49,76***
(0.00)
-
No
8180***
(0.00)
-
No
54,12***
(0.00)
-
No
12.42
(0.41)
-
No
19.41*
(0.08)
-
No
14,58
(0.27)
-
No
41.12***
(0.00)
-
No
74,77***
(0,00)
-
No
46,92***
(0,00)
-
Yes
11,33
(0,50)
28,78***
(0,004)
2,92*
(0,09)
-
Yes
No
6,58
(0,88)
17,41
(0,13)
5,45**
(0,02)
-
Yes
No
No
8,18
(0,77)
17,15
(0,14)
5,51**
(0,02)
-
Yes
42,26***
(0,00)
8,03***
(0 ,005)
Yes
76,16***
(0.00)
6,74***
(0,009)
Yes
76,91***
(0.00)
3,87**
(0,045)
No
32.12***
(0 ,00)
-
No
20,16*
(0.06)
-
No
19,46*
(0.08)
-
Yes
26,06**
(0,011)
12,60***
(0,00)
Yes
17,71
(0,12)
6,96***
(0.008)
Yes
17,88
(0,12)
9,72
(0,00)
No
21.24**
(0,047)
-
No
34,16***
(0,00)
-
No
34,27***
(0,00)
-
No
86.79***
(0.00)
-
No
138,75***
(0.00)
-
No
135,71***
(0.00)
-
Yes
25,02**
(0.015)
10,02***
(0,00)
Yes
22,17**
(0.04)
4.86**
(0.03)
Yes
25. 86**
(0.011)
5.96**
(0.015)
Yes
22.69**
(0.03)
8.87**
(0.03)
No
17.11
(0.15)
-
Yes
19.91*
(0.07)
4.02**
(0.045)
Yes
36,44***
(0.00)
33,72***
(0,00)
34,31***
(0.00)
3,98**
(0.045)
-
Yes
7,16***
(0.007)
-
Yes
No
-
No
186,91***
(0.00)
32,06***
(0,00)
33,55***
(0.00)
-
-
72,49***
(0.00)
29,09***
(0,004)
30,22***
(0.003)
No
54.27***
(0.00)
-
No
85,62***
(0.00)
-
No
77,40***
(0.00)
-
No
45.51***
(0.00)
-
No
51.77***
(0.00)
-
No
56,94***
(0.00)
-
No
35.65***
(0.00)
-
No
32,73***
(0,001)
-
No
37,31***
(0,00)
-
No
146.10***
(0.00)
-
No
239,83***
(0.00)
No
179,79***
(0.00)
-
No
59.26***
(0.00)
-
No
88.44***
(0.00)
-
No
77,12***
(0.00)
-
No
30.93***
(0.002)
-
No
3200***
(0.001)
-
No
29,90***
(0,003)
--
No
70.76***
(0.00)
-
No
77.63***
(0.00)
-
No
93,18***
(0.00)
-
No
26.07**
(0.01)
-
No
21 ,67**
(0,04)
-
No
28,56***
(0,005)
-
Coint
BM
BM_SA
Coint
Wald
ECM
No
11,32
(0,50)
20,24*
(0,06)
348*
(0.06)
Base Money
No
BM_LA
No
CR_INV
CR_INV_SA
Credit - Investment
CR_TOT
CR_TOT_SA
Credit - Total
CR_TOTEA
CR_TOTEA_SA
Credit - Total with ER adj
CR_WC
CR_WC_SA
Credit - working capital
CUR
CUR_SA
Currency
CUR_LA_SA
EXR
EXR_SA
Exchange rate nominal
GAPRAT
GAPRAT_SA
Output gap in ratio terms
M1
M1_SA
Narrow Money
M1SAV
M1SAV_SA
Narrow + Saving deposits
M2
M2_SA
Broad money
DIVM2
DIVM2_SA
Divisia broad money
DIVU2ATIII
DIVM2ATIII_SA
Divisia broad money adjusted ATM
NEER
NEER_SA
Nominal efective exchange rate
RCJNV
Loan rate - investment
RC_INV_SA
No
No
RC_WC
RC_WC_SA
Loan rate - working capital
RD1
RD1_SA
Deposit rate - 1 month
RD3
RD3_SA
Deposit rate - 3 month
REER
REER_SA
Real effective exchange rate
RON
RON_SA
Overnight rate - PUAB
SBI1M
SBI1M_SA
SBI1 month rate
SWAP
SWAP_SA
Swap rate
SKDU
SKDU_SA
Survay in Business Sector Activity
No
-
Yes
No
-
-
-
Note
*) Significant at α= 10% or 90% level of confidence **) Significant at α = 5% or 95% level of confidence ***) Significant at α= 1% or 99% level of confidence
72
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Tabel 4
Kointegrasi dan Casuality (four-variete)
HEAD LINE
EXCLUSION
TRIMMING
INFORMATIONS VARIABLES
Coint
BM
BM_SA
Wald
ECM
Coint
Wald
15.34
(0,22)
30.57***
(0,15)
ECM
Coint
Wald
14.77
(0,25)
34.97***
(0,00)
ECM
Base Money
No
BM_LA
No
CR_INV
CR_INV_SA
Credit - Investment
CR_TOT
CR_TOT_SA
Credit - Total
CR_TOTEA
CR_TOTEA_SA
Credit - Total with ER adj
CR_WC
CR_WC_SA
Credit - working capital
CUR
CUR_SA
Currency
CUR_LA_SA
Output gap in ratio terms
M1
M1_SA
Narrow Money
M1SAV
M1SAV_SA
Narrow + Saving deposits
M2
M2_SA
Broad money
DIVM2
DIVM2_SA
Divisia broad money
DIVU2ATIII
DIVM2ATIII_SA
Divisia broad money adjusted ATM
NEER
NEER_SA
Nominal efective exchange rate
RCJNV
Loan rate - investment
RC_INV_SA
Loan rate - working capital
RD1
RD1_SA
Deposit rate - 1 month
RD3
RD3_SA
Deposit rate - 3 month
REER
REER_SA
Real effective exchange rate
RON
RON_SA
Overnight rate - PUAB
SBI1M
SBI1M_SA
SBI1 month rate
SWAP
SWAP_SA
Swap rate
SKDU
SKDU_SA
Survay in Business Sector Activity
No
No
-
No
-
No
-
15.02***
(0,24)
-
Yes
39.29***
(0,00)
2.86*
(0.09)
No
28.53***
(0.00)
-
Yes
20.96***
(0.05)
4.21**
(0.04)
Yes
28,98***
(0.004)
3.35*
(0.07)
Yes
30.40***
(0.00)
3.84**
(0.049)
Yes
23.17**
(0.03)
4.10**
(0.04)
Yes
23.89**
(0.02)
3.09*
(0.08)
Yes
26.02**
(0.011)
3.38*
(0.07)
Yes
19.05*
(0.09)
4.31**
(0.04)
Yes
21.25**
(0,047)
3.60*
(0.06)
Yes
22.30**
(0,03)
3.92**
(0.048)
No
21.41**
(0,045)
32.02***
(0,00)
-
No
-
No
No
-
No
22.68**
(0,03)
30.46***
(0,00)
-
-
14.90
(0,25)
21.58**
(0,04)
-
Yes
13.10
(0 ,36)
6.19**
(0.013)
Yes
13.00
(0.37)
6.05**
(0.014)
Yes
11.71
(0.47)
3.00*
(0.08)
No
12.07
(0,44)
-
No
13.64
(0,32)
-
No
15.91
(0,19)
-
Yes
16.42
(0,17)
6.22**
(0.013)
Yes
13.94
(0,30)
4.29**
(0.04)
Yes
25.15**
(0,014)
3.92**
(0.048)
No
12.62
(0.40)
-
No
15.34
(0.22)
-
No
17,97
(0.12)
-
No
9.97
(0.62)
-
No
14.77
(0.25)
-
No
23.52**
(0.02)
-
No
8.02
(0.78)
-
No
14.76
(0.25)
-
No
23.54*
(0.02)
-
Yes
11.46
(0.49)
18.84*
(0,09)
20.15*
(0.06)
4.94**
(0.03)
6.80***
(0.009)
7.12***
(0.008)
Yes
12.79***
(0.38)
16.54
(0,17)
16.86
(0.16)
8.10***
(0.00)
9.47***
(0.00)
9.63***
(0.00)
Yes
17.05***
(0.15)
22.54**
(0,03)
22.48**
(0.03)
3.16*
(0.08)
6.38**
(0.011)
6.61**
(0.01)
Yes
14.79
(0.25)
6.93***
(0.008)
Yes
34.29***
(0.00)
9.26***
(0.00)
Yes
44.35***
(0.00)
8.93***
(0.00)
Yes
24.35**
(0.03)
7.73***
(0.005)
Yes
45.69***
(0.00)
6.81***
(0.009)
Yes
52.96***
(0.00)
6.30**
(0.012)
Yes
31.98***
(0.00)
9.15***
(0.00)
Yes
48.50***
(0,00)
10.15***
(0,00)
Yes
66.29***
(0,00)
6.41**
(0,011)
No
14.56
(0.27)
-
No
15.93
(0.19)
No
17.14
(0.14)
-
Yes
22.88**
(0.03)
4.16**
(0.04)
No
27.40***
(0.007)
-
No
37.85***
(0.00)
-
Yes
19.39*
(0.002)
6.68***
(0.009)
Yes
23.96**
(0.02)
7.52***
(0.006)
Yes
23.34**
(0,02)
5.48**
(0.02)
No
25.05**
(0.015)
-
Yes
28.94***
(0.00)
4.14**
(0.04)
Yes
38.97***
(0.00)
4.22**
(0.04)
No
14.15
(0.29)
-
No
11.35
(0,50)
-
No
8.97
(0,71)
-
No
No
RC_WC
RC_WC_SA
-
No
No
GAPRAT
GAPRAT_SA
24.08***
(0,02)
36.92***
(0,00)
Yes
Yes
-
Yes
Yes
Note
*) Significant at α= 10% or 90% level of confidence **) Significant at α = 5% or 95% level of confidence ***) Significant at α= 1% or 99% level of confidence
Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting
73
Tabel 5
Variance Decomposition (bivariate)
Variable
Lag
BM_SA
BM_LA
CR_INV_SA
CR_TOT_SA
CR_TOTEA_SA
CR_WC_SA
CUR_SA
CUR_LA_SA
EXR_SA
GAPRAT_SA
M1_SA
M1SAV_SA
M2_SA
DIVM2_SA
DIVMl2ATM_SA
NEER_SA
REER_SA
SWAP_SA
RC_IN\/
RC_INV_SA
RC_WC_SA
RD1_SA
RD3_SA
RON_SA
SBI 1M_SA
SKDU_SA
CPI_SA (Headline)
1
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1473
11.172
46927
28.073
0.407
21.471
6.997
13.921
53.636
4.958
13.388
18.679
11.349
7.757
6333
58.276
59170
21.754
0.362
0.174
0.435
2969
0193
5.309
4189
10.326
CPI_EX (Exclusion)
12
24
36
1
6
12
7.762
20.242
56.128
38883
0.787
31.301
13.924
21.599
65.881
30737
18021
20393
11.882
9.491
8.693
63.121
67.646
28.724
0.465
0.273
1.171
5.977
0.245
8.539
2.046
14178
45.236
47.202
61.450
48382
2.029
41.660
35.429
37.940
64.853
58.941
28.767
26. 825
15.002
18.308
18.308
50.930
59.290
42.056
2.346
1.871
0.587
5.065
2.125
10.986
0.936
16.661
67.054
65.190
63.326
52860
3.317
47.267
51.921
50.673
58.237
60.929
38.811
32.365
19.616
28.101
28.003
42.442
54.139
48.159
4.897
4161
0.934
3.798
4.261
11.935
0.859
16876
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3.608
18.664
35.059
24.407
0.046
19.294
16.231
24.550
68.648
5.026
23.228
13.933
12.715
4.706
3.643
57.541
56.611
23.890
0.552
0.296
0.352
1.265
5.632
4.129
1.341
27.164
11.716
25.497
43878
35.184
0.034
29.376
26.685
34.974
75.883
33.687
31.091
13.975
15.748
5302
4739
57.155
59.082
30.251
0.679
0.460
1.021
1.724
7.178
7.500
0379
33.474
CPT_TR (Trimming)
24
36
1
6
12
24
36
46.037
51.716
49.053
44.173
0737
39.436
48.888
51.820
70.000
59.027
47.723
21.416
26.696
12.928
13.267
39.389
45.311
39.675
2.881
2326
0.481
0.793
13.317
8983
1.028
35.853
57.028
68.102
50.719
48.131
2043
44.553
62.391
63.013
61145
59.414
56.580
28.693
31.898
23.004
23.920
28.399
37.039
44.276
5.794
4190
1400
1.121
17604
9.083
1.525
35.682
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6.400
22.144
33.956
22.983
0.089
18.730
20.274
27.713
64.171
4.810
27.041
15.069
13.703
5.393
4.364
52.745
53.742
26.586
0.582
0.392
0231
1.462
3.513
6.792
0.636
20.564
13.971
26.985
44.371
34.042
0.190
29.122
30.478
38.120
71.708
33.905
35.133
14.992
14.902
5.796
5.469
51.824
57.553
33.662
0.883
0.755
0738
1.762
4.185
12.043
0.519
24.658
42.485
49.152
52.032
44758
1171
40.468
49.591
53.592
67.949
58.825
50.656
22.688
23.084
12.968
14.238
37.556
49.002
43.810
4.213
3.817
0.477
0.729
10.796
13.913
2.344
26.728
57.004
66.960
55 303
50224
2.289
46.798
62.491
64.014
61.294
60.367
60.088
31.209
30.888
24.338
26.932
29.749
43.847
48.269
8.463
6.452
2.437
1.292
15.056
13.729
3.349
26.844
Tabel 6
Variance Decomposition (trivariate)
Variable
Lag
BM_SA
BM_LA
CR_INV_SA
CR_TOT_SA
CR_TOTEA_SA
CR_WC_SA
CUR_SA
CUR_LA_SA
EXR_SA
GAPRAT_SA
M1_SA
M1_SAV_SA
M2_SA
DlVM2_SA
DIVM 2ATM_SA
NEER_SA
REER_SA
SWAP_SA
RC_INV
RC_INV_SA
RC_WC_SA
RD1_SA
RD3_SA
RON_SA
SBl 1M_SA
SKDU_SA
CPI_SA (Headline)
1
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.132
2.841
22.644
7.801
1.685
4.118
4.030
8.196
56.551
3.066
9.013
5.297
8.549
4.027
2.555
55.892
56.694
7.044
0.157
0.108
0.702
1448
0.058
3.084
3.734
7.029
CPI_EX (Exclusion)
12
24
36
1
6
12
1407
3.461
18.616
4.538
4.624
1.699
8.974
11.687
71.398
23.589
10.323
1.954
7.726
2.974
1.636
60.063
64.658
4161
1.205
0.955
5.964
5.007
0.246
10.917
2.521
5.901
27.657
15.749
18478
4.178
5.745
1.367
26.602
20.562
77.170
57.305
18.438
1225
7.931
6.531
5.028
58.034
63.535
4.831
2.555
2.151
8.664
6.390
0.200
24.566
1.672
4.945
51.942
30.747
18.292
4.473
5.432
1.686
40.247
27.135
78.724
67824
25.690
1.652
9.108
10.893
10.471
58.942
64.369
5.862
2.853
2.409
7.930
6067
0.726
30.961
1.512
5.166
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.858
3.995
14.889
6.673
4.216
4096
10.053
10.385
71.668
3050
10.811
3.438
11.222
0.961
0.507
55.115
58.433
9.473
0.070
0.036
0.584
0.908
3.931
1.542
2.201
20.005
6.878
3.315
11078
4.014
9.564
1.933
13.125
9869
88.450
34560
13089
1546
15.797
0.373
0.185
58.593
65.995
9.018
1.087
0.650
5.331
3.567
2.955
7.193
1.190
22548
24
CPT_TR (Trimming)
36
26.242 33.317
8.270 12.124
10.473 10.291
3533 3.624
11.907 11.251
1.482 1.624
17.066 18.639
7.881 7.659
93.987 93.830
62.374 67.499
20.538 24.306
2.354 4.229
29.215 36.033
1.565 3.147
2133
5328
57.177 57.114 0
66.665 66.863
10.747 12.434
3.085 3.614
2.353 2.912
7.141 6.789
3745 3.579
4.901 6.783
12.698 13.588
0.727 0.667
18.512 17.731
1
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2.633
4.437
12.923
4.924
6.026
2.700
10.003
10.561
73.631
3.030
12.360
3.193
10205
0.945
0.654
52.412
56.844
9.662
0.206
0.063
0.609
0.802
2.099
2.795
1.331
13.612
12
24
36
5.035
2.212
8.851
2.328
12.103
0.907
10.495
9.162
90.303
33.017
13.314
1.140
10.995
0.281
0.209
56.566
66.576
8.740
1.218
0.663
5.668
3.075
1.325
11.586
0.528
15.097
15.916
4.087
8.115
1.827
15.152
0.534
11460
6.540
94.880
67.636
17.606
1.358
16.666
0391
1401
55.687
68.494
10639
2.464
1.600
7.592
3.057
2962
20.540
0.289
12.120
23.686
7.157
8.274
2.113
14.286
0.786
12.709
6.336
94.896
73.900
20.749
2.547
22421
1.312
3.707
56.678
69.502
12.431
2.764
1.841
7.037
2.812
4.113
22.934
0.343
10.994
74
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Tabel 7
Variance decomposition (four-variable)
Variable/
Lag
CPI_SA (Headline)
1
6
12
24
CPI_EX (Exclusion)
36
1
6
12
24
CPT_TR (Trimming)
36
20.984 30.223
1
6
12
24
36
BM_SA
0
1.062
0.668 15.785 32.750
0
0.017
2.093
0
0.099
1.040 12.768 22.325
BM_LA
0
0.805
0.640
4.739 17.098
0
0.964
0.869
3.240
7.420
0
1.464
1.148
1.274
CR_INV_SA
0
0.237
0.827
0.607
0.961
0
0.497
0.336
0.569
1.109
0
0.201
0.280
1.582
2.474
CR_TOT_SA
0
1.553
2.399
1.672
1.899
0
2.979
2.672
1.685
1.805
0
2.985
0.993
0.741
1.145
4.260
CR_TOTEA_SA
0
0.947
0.795
0.487
0.711
0
1.909
1.289
0.811
0.918
0
1.428
0.360
0.760
1.086
CR_WC_SA
0
2.172
2.317
1.511
1.699
0
4.106
3.818
2.481
2.419
0
4.215
1.644
0.938
1.193
CUR_SA
0
0.443
1.675
8.157 14.453
0
0.272
0.064
0.615
1.494
0
0.635
0.261
0.192
0.663
CUR_LA _SA
0
0.500
0.115
0.708
2.278
0
0.356
1.078
3.295
3.376
0
0.599
1.546
4.990
5.192
EXR_SA
0
56.551 71.398 77.170 78.724
0
71.668 88.450
93.987 93.830
0
GAPRAT_SA
0
0.711 18.380 53.279 64.273
0
0.971 31.387
65.923 70.476
0
1.051 31.542 69.226 73.745
M1_SA
0
0.765
0.169
1.648
5.792
0
0.642
0.322
1.708
5.182
0
1.103
0.549
0.500
2.105
M1SAV_SA
0
1.202
2.983
4.230
3.829
0
0.464
4.195
4.437
4.269
0
0.509
6.101
9.448
9.152
M2_SA
0
4.927
13.976 17.656 15.471
0
11.655 19.004
0
11.638 16.854
73.631 90.303 94.880 94.896
11.691 16.935 10.971 13.193
DlVM2_SA
0
1.454
3.958
2.402
4.793
0
4.755
9.576
5.878
7.006
0
5.541 11.560
8.527
8.196
DlVM2ATM_SA
0
1.477
3.853
2.454
5.804
0
4.779
9.826
6.290
8.524
0
5.548 11.430
8.677
8.406
NEER_SA
0
0.177
0.656 28.796 40.543
0
0.050
0.830
21.949 31.453
0
0.026
REER_SA
0
0.036
0.615 15.336 29.472
0
0.249
1.795
10.377 19.517
0
0.060
0.692 21.545 32.985
1.117
SWAP_SA
0
0.640
6.995 11.841 11.856
0
0.329
3.930
7.105
6.977
0
0.393
7.028 14.262 15.036
RC_INV
0
0.725
2.660
3.822
3.245
0
0.158
4.330
8.062
7.726
0
0.341
5.628 11.857 12.387
RC_INV_SA
0
0.696
2.367
3.506
2.974
0
0.124
4.168
8.246
7.938
0
0.285
5.610 12.234 12.810
RC_WC_SA
0
0.256
10.470 15.265 13.802
0
0.159 10.492
16.567 15.917
0
0.318 15.344 25.649 25.575
RD1_SA
0
0.659
5.538
9.481
9.797
0
1.257
2.035
4.721
4.809
0
1.067
3.505 10.107 10.879
RD3_SA
0
0.624
0.364
0.375
0.360
0
6.280
1.892
0.801
0.925
0
5.476
1.183
RON_SA
0
0.403
14.289 31.535 35. 385
0
2.401 10.995
23.070 24.003
0
3.063 11.648 29.838 32. 554
SBI1M_SA
0
1.226
0.579
0.262
0.229
0
0.474
0.161
0.174
0.216
0
0.307
0.088
0.128
0.141
SKDU_SA
0
3.065
0.971
0.515
0.608
0
3.542
0.986
1.082
1.013
0
2.702
1.252
1.948
1.828
9.190 19.882
1.230
1.201
Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting
75
Grafik 1.
Impulse Response Inflasi IHK terhadap variabel informasi (bivariate, 6 lags)
CUR (Uang Kartal)
BM (Base Money)
0,30
0,4
0,25
0,3
0,20
0,2
0,15
0,1
0,10
0,0
0,05
-0,1
0,00
5
10
15
20
25
30
5
35
10
15
CR_TOT (Total Kredit)
20
25
30
35
20
25
30
35
25
30
35
M1
0,25
.10
.08
0,20
.06
0,15
.04
0,10
.02
0,05
.00
-.02
0,00
5
10
15
20
25
30
35
5
10
15
M 2
DIVM2 (Divisia M2)
.024
.030
.020
.025
.020
.016
.015
.012
.010
.008
.005
.004
.000
.000
-.005
5
10
15
20
25
30
35
5
10
15
20
76
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003
Grafik 1. (lanjutan)
GDPRAT (Output Gap)
EXR (Exchange Rate)
.05
.06
.04
.05
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
5
10
15
20
25
30
5
35
10
15
REER
20
25
30
35
25
30
35
25
30
35
SWAP
.00
.00
-.01
-.01
-.02
-.02
-.03
-.03
-.04
-.04
-.05
-.05
-.06
-.06
-.07
10
5
15
20
25
30
35
5
10
15
RON (Suku Bunga PUAB Overnight)
20
SKDU
.05
.03
.04
.02
.03
.01
.02
.00
.01
-.01
.00
-.01
-.02
5
10
15
20
25
30
35
5
10
15
20
Identifikasi Variabel Informasi Dalam Framework Inflation Targeting
77
References
Alamsyah, H., Joseph, C., Agung, J., dan Zulverdy, D. (2001). Toward Implementation of
Inflation Targeting in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Dec.
Baumgartner, Josef and Ramana Ramaswamy (1996), Inflation Targeting in the United Kingdom: Information Content of Financial and Monetary Variables, IMF Working Paper, No.44.
Felman, J. (2000). Towards the Implementation of Inflation Targeting in Indonesia: Comments. Proceedings of an International Coneference on Monetary Policy and Inflation Targeting
in Emerging Economies, Jakarta July 2000.
Friedman, Benjamin M. and Kenneth N. Kuttner (1992), Money, Income, Prices, and Interest Rates, The American Economic Review, pp. 472-492, June.
Friedman, Benjamin M.(1996), The Rise and Fall of Money Growth Targets As Guidelines
for US Monetary Policy, NBER Working Paper, No.5465.
Tallman, Ellis W. and Naveen Chandra (1997), Financial Aggregates As Conditioning Information for Australian Output and Inflation, RBA Research Discussion Paper, No. 9704,
Reserve Bank of Australia.
Download