BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini memiliki memiliki tiga tujuan antara lain 1) menguji kebermanfaatan konsep nilai wajar dibanding biaya historis di Indonesia; 2) mengetahui bagaimana konsep ini berjalan setelah ada penerapan standar baru tentang nilai wajar di Indonesia; dan 3) mengetahui bagaimana peran penilai dalam implementasi konsep nilai wajar terhadap penyajian laporan keuangan pada seluruh emiten di Indonesia. Setiap tujuan penelitian memiliki dasar urgensi dan kebaruan masing-masing. Tujuan pertama penelitian ini mendasarkan pada inkonsistensi hasil penelitian terdahulu tentang implementasi konsep nilai wajar dan kebermanfaatannya. Pro dan kontra hasil penelitian tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Sehubungan dengan hal tersebut¸ terdapat pernyataan yang menjelaskan bahwa keuntungan dan kerugian dari konsep nilai wajar masih memerlukan kajian ilmiah apakah konsep ini benar-benar bermanfaat (Majercakova dan Skoda, 2015). Lebih lanjut disampaikan juga bahwa masih dibutuhkan riset yang membuktikan apakah nilai wajar benar–benar bermanfaat dalam ukuran-ukuran yang berbeda (Majercakova dan Skoda, 2015). Dengan demikian, penelitian ini adalah menguji relevansi nilai wajar dibanding nilai historis dengan ukuran yang berbeda, sebagaimana yang disarankan oleh (Majercakova dan Skoda, 2015). Nilai wajar adalah konsep utama International Financial Reporting Standar (IFRS) memunculkan pro dan kontra terkait tentang keandalan konsep tersebut terhadap laporan keuangan sebagai alat untuk mempertimbangkan keputusan 1 investasi dan menunjukkan performa entitas. Definisi serta ruang lingkup yang baru tentang nilai wajar diperbaiki pada standar ini di tahun 2013 dengan dikeluarkannya IFRS 13 tentang fair value measurement. Definisi baru ini diadopsi pada Standar Akuntansi Indonesia dengan ditetapkannya PSAK 68 pada yang efektif 1 Januari 2015. Sebelum dikeluarkannya standar baru tersebut, teknik pengukuran nilai wajar untuk tujuan laporan keuangan dinilai masih tidak konsisten (Wahyuni, 2013). Oleh karena itu, standar baru ini diharapkan membawa arah penyajian laporan keuangan yang berbasis nilai wajar yang lebih baik. Konsep nilai wajar diterapkan pada entitas terbuka Indonesia, sejak dimulainya misi harmonisasi Standar Akuntansi Indonesia terhadap International Financial Reporting Standar (IFRS). Akan tetapi, implementasi nilai wajar ini menjadi tugas yang tidak mudah di Indonesia, karena Indonesia telah menganut konsep biaya historis selama puluhan tahun dan bahkan sampai sekarang, misalnya laporan keuangan untuk kepentingan pajak tetap menggunakan historical cost. Bukti kesetiaan pada biaya historis tersebut masih dapat ditunjukkan dari kurikulum akuntansi baik pada pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi sampai saat ini (2017) yang memberikan materi utama akuntansi dasar dan menengah adalah biaya historis. Permasalahan lain tugas yang tidak mudah tentang berlakunya nilai wajar ini adalah kurangnya tenaga profesional bidang penilaian yang menentukan nilai wajar instrumen keuangan pada laporan keuangan. Hal ini disebabkan oleh profesi bidang penilai yang belum lama berkembang di Indonesia. Jika perusahaan menilai tanpa menggunakan pedoman tertentu yaitu standar penilaian, nilai wajar yang disajikan dalam laporan keuangan dimungkinkan mengandung under value atau bahkan upper value. Permasalah penerapan nilai wajar yang disampaikan 2 tersebut, sejalan dengan penjelasan yang disampaikan oleh (Dechow, Myers, dan Shakespeare, 2010). Peran penilai profesional diperlukan untuk mengakomodir implementasi fair value dan menghidari bias atas laporan keuangan yang berbasis nilai wajar (Dechow dkk., 2010). PSAK 68 mengatur nilai wajar dalam hierarki tertentu menjadi tiga level (tingkat). Tingkat 1 dilakukan atas instrumen pada laporan keuangan jika terdapat kuotasi harga (tanpa disesuaikan) dalam pasar aktif untuk aset atau liabilitas yang identik. Tingkat 2 menjelaskan bahwa pada tingkat ini dilakukan jika input selain kuotasi harga yang termasuk dalam tingkat 1 dapat diobservasi, baik secara langsung (yaitu harga) atau secara tidak langsung (yaitu berasal dari harga lain yang dapat diobservasi). Tingkat terakhir yaitu tingkat 3 menjelaskan bahwa metode ini dilakukan dengan teknik penilaian yaitu jika tidak ada data pasar yang dapat diobservasi (input yang tidak dapat diobservasi) yang dilakukan oleh penilai profesional. Pada tiga jenis tingkatan di atas, menunjukkan bahwa teknik penilaian yang digunakan oleh profesi penilai hanya dilakukan pada tingkat 2 dan 3. Dapat diinterpertasikan juga bahwa pada tingkat 2 dan 3 ini membutuhkan professional judgment dalam menentukan nilai wajar. Pada Level 1 dijelaskan bahwa penyajian nilai pada level ini tidak membutuhkan penilaian karena ada harga pasar yang identik dengan objek instrumen keuangan yang akan diungkap besar nilai wajarnya. Di sisi lain, Standar Penilaian Indonesia (SPI) menjelaskan bahwa dasar nilai yang digunakan dalam teknik penilaian adalah Nilai Pasar dan Selain Nilai Pasar. Artinya, teknik penilaian memiliki output utama nilai pasar sebagai pertimbangan utama menentukan opini nilai wajar objek penilaian. Oleh karena itu, untuk mencapai opini nilai sebesar nilai wajar tanpa penyesuaian tetap membutuhkan 3 professional judgment yang menjelaskan bahwa tidak dilakukan penyesuaian atas harga pasar. Pendekatan data pasar yang menjadi pilihan pertama dalam proses penilaian, membutuhkan data pembanding berupa objek yang identik. Artinya, nilai wajar tidak selalu akan sama dengan nilai pasar, tetapi nilai pasar merupakan bahan utama untuk mendapat nilai sebesar nilai wajar atas objek penilaian. Laporan keuangan emiten yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia tahun buku 2015, tidak memuat informasi tentang pihak independen yang memberikan opini nilai wajar atas intrumen keuangan emiten. Di sisi lain, emiten mempunyai kewajiban untuk mempublikasikan laporan keuangan auditan (sudah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik). Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa pihak yang melakukan verifikasi ketepatan teknik penyajian nilai wajar instrumen keuangan emiten adalah KAP. Akan tetapi, Wahyuni (2013) sebagai penasihat teknik Ikatan Akuntan Indonesia menjelaskan bahwa penilaian adalah ilmu yang kompleks dan kurikulum pendidikan di Akuntansi tidak menyampaikan ilmu tentang penilain tersebut. Penjelasan Wahyuni (2013) tersebut sejalan dengan Dechow dkk, (2010) yang menegaskan bahwa penilaian yang dilakukan oleh pihak tanpa kualifikasi khusus, nilai wajar akan rawan menjadi objek manipulasi Tantangan yang juga menjadi permasalahan lain penerapan konsep nilai wajar adalah bukti empiris kebermanfaatan konsep ini terhadap emiten di Indonesia ataupun di luar negeri yang masih menghasilkan perbedaan hasil. Inkonsistensi hasil tersebut yang memungkinkan menjadi salah satu alasan dewan penyusun Standar Akuntansi Indonesia lebih memilih istilah konvergensi dibanding dengan adopsi. Istilah konvergensi dimulai dari titik awal antara standar nasional akuntansi Indonesia dan IFRS yang berbeda menuju kepada satu standar yang memiliki 4 karakteristik umum yang dimiliki oleh kedua standar (Warsono, 2011: 67). Indonesia mengikuti harmonisasi akuntansi dunia khususnya penerapan nilai wajar dengan harapan bahwa penerapan ini signifikan positif terhadap kinerja entitas. Hal tersebut ditegaskan dalam kajian ilmiah akuntansi bahwa penerapan fair value memudahkan pemahaman atas laporan keuangan di Indonesia yang dikenal secara internasional, meningkatkan arus investasi global melalui transparansi, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global, menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan, dan meningkatkan kualitas laporan keuangan (Suyatmini dan Sheilla, 2014). Harga pasar yang tidak dapat dikutip di pasar aktif akan membawa pengukuran nilai wajar yang didasarkan pada asumsi subjektif dan menjadi objek manipulasi (Dechow dkk., 2010). Kompleksitas untuk menakar nilai wajar ini semakain bertambah di Indonesia mengingat negara ini sebagai negara berkembang yang memiliki volatititas harga pasar yang lebih tinggi dibanding negara maju (Wahyuni, 2013). Wahyuni (2013) selaku penasihat teknis Ikatan Akuntan Indonesia menjelaskan bahwa ilmu penilaian adalah ilmu yang kompleks dan membutuhkan pendidikan khusus. Dengan demikian, peran penilai profesional diperlukan untuk mengakomodir implementasi fair value untuk menghidari bias atas laporan keuangan (Dechow dkk., 2010). Penelitian terkait dengan nilai wajar yang dilakukan di luar negeri masih menunjukkan perbedaan hasil meskipun IFRS sudah diakui secara internasional. Salah satunya penelitian di United Kingdom pada industri real estate yang berorientasi aset berupa properti menyimpulkan bahwa pendekatan pengukuran nilai wajar lebih Value Relevance dibandingkan dengan pendekatan pengukuran 5 nilai historis (Danbolt dan Rees, 2008). Temuan tersebut mendukung temuan pada tahun sebelumnya yang membuktikan bahwa penerapan fair value untuk aset biologis, menghindari kompleksitas perhitungan biaya berdasarkan akuntansi (Argilés dan Slof, 2001). Hasil penelitian lain di Inggris menunjukkan bahwa ratarata laba dilaporkan berdasarkan IFRS lebih tinggi dari yang dilaporkan berdasarkan UK GAAP (Ali, Akbar, dan Ormrod, 2016). Temuan tersebut mengindikasikan bahwa nilai wajar positif terhadap kinerja perusahaan. Hasil penelitian di tahun yang sama ditemukan bahwa nilai wajar dibuktikan lebih tepat untuk tujuan pengakuan atas liabilitas dan membatasi risiko kerugian akibat penilaian data historis yang tidak menunjukkan nilai sesungguhnya (Laux, 2016). Nilai wajar yang dinilai pada Level 1 dibuktikan relevan dengan investor, dibandingkan dengan Level 2 dan 3 (Siekkinen, 2016). Siekkinen (2016) juga menemukan bahwa perbedaan nilai relevansi antara harga pasar (Level 1) dan estimasi nilai wajar (Level 3) menurunkan kualitas perlindungan investor atas informasi laporan keuangan. Bukti relevansi nilai wajar ini juga dapat ditunjukkan dari temuan pada industri perbankan bahwa keandalan nilai wajar dibuktikan lebih superior dibanding biaya historis untuk mendeteksi risiko berdasarkan banks capital adequacy ratios (Liao, 2013). Konsep fair value juga dibuktikan relevan terhadap industri perbankan di Brasil (Francisco, Javier, Francisco, dan Javier, 2015). Beberapa hasil di atas, tidak sejalan dengan hasil temuan Šodan (2015) yang membuktikan bahwa akuntansi nilai wajar pada industri perbankan memiliki kualitas laba agregat yang lebih rendah dibanding dengan nilai historis. Hal ini karena sebagian industri perbankan tersebut menggunakan teknik penilaian Level 6 3 untuk mengungkapkan nilai intrumen keuangan yang terkait dengan laba rugi. Penjelasan lain juga disampaikan bahw penggunaan teknik penilaian untuk menentukan nilai wajar merupakan objek manipulasi bagi manajer (Šodan, 2015). Hasil yang sejenis juga ditemukan bahwa IFRS kurang konservatif dibandingkan Generally Accepted Accounting Principles dan akuntansi nilai wajar menurunkan nilai relevansi laba (Beisland dan Knivsfla, 2015). Temuan ini juga didukung oleh peneliti seletahnya bahwa konsep nilai wajar memaksa industri perbankan di Eropa untuk menyajikan penyesuaian kebawah yang berlebih atas instrumen keuangannya pada masa krisis (Bratten, Causholli, dan Khan, 2016). Temuan ini mengindikasikan bahwa pada masa krisis, konsep nilai wajar semakin menekan performa laporan keuangan. Kajian ilmiah tentang ketidaksetujuan atas kosep fair value menyimpulkan tiga hal antara lain: (1) kemungkinan adanya manipulasi atas penerapan fair value (2) ambiguitas dari Standar Akuntansi pada aplikasi nilai wajar dan (3) keandalan angka diukur menggunakan akuntansi nilai wajar diragukan dibanding akuntansi biaya historis (Siam dan Abdullatif, 2015). Hasil penelitian lain yang mendukung temuan diragukannya konsep nilai wajar juga dijelaskan oleh (Palea, 2014). Palea (2014) menjelaskan bahwa nilai wajar tidak dapat memberikan informasi yang berguna untuk mengevaluasi kepengurusan. Biaya historis diperlukan dan sebuah pengukuran ganda dimungkinkan dapat diterapkan pada sistem pelaporan keuangan karena bisa memberikan informasi yang lebih lengkap dan berguna untuk pengguna laporan keuangan. Penelitian yang dilakukan pada sektor pertanian menemukan bahwa penerapan akuntansi yang menggunakan fair value yang mendasarkan pada IAS 41 memiliki potensi informasi yang menyesatkan (Beattrice, 2013). 7 Penelitian di Indonesia juga menunjukkan perbedaan kesimpulan terhadap implementasi nilai wajar pada laporan keuangan. Sonbay (2010) menjelaskan bahwa penggunaan historical cost akan mengurangi aspek kualitas relevansi. Laporan keuangan dengan pendekatan historical cost tidak sepenuhnya dapat digunakan dalam pengambilan keputusan (Sonbay, 2010). Oleh karena itu, konsep fair value diperlukan dalam Standar Akuntansi di Indonesia untuk mengatasi kekurangan historical cost (Sonbay, 2010). Penjelasan tersebut didukung oleh Maria (2011) yang menemukan bahwa lebih menguntungkan bagi perusahaan untuk menerapkan fair value untuk meningkatkan nilai aset yang dimiliki dibandingkan historical cost. Keuntungan yang dimaksud dalam hasil temuan tersebut adalah performa laporan keuangan bagi perusahaan yang listing di pasar modal (Maria, 2011). Laili (2013) juga mendukung bahwa persediaan yang dilaporkan dengan sistem akuntansi berdasarkan fair value mempunyai korelasi kuat dengan harga saham. Nilai berdasarkan pasar lebih baik (lebih terpercaya) dibanding dengan nilai berdasarkan historical cost (Laili, 2013). Hidayat (2012) membuktikan hal serupa bahwa nilai wajar berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan (harga saham). Temuan ini menunjukkan bahwa nilai wajar memiliki relevansi nilai (Hidayat, 2012). Beberapa temuan di atas, terdapat juga hasil penelitian di Indonesia yang tidak dapat membuktikan bahwa penerapan fair value adalah positif terhadap harga saham. Salah satu hasil penelitian di Indoneia yang menjelaskan bahwa pengukuran nilai wajar tidak memiliki relevansi nilai terhadap harga saham adalah penggunaan objek properti investasi (Juwono dan Feliana, 2013). Temuan lain terhadap objek 8 aset biologis yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif signifikan pendekatan pengukuran nilai wajar terhadap Value Relevance (Petrus dan Farahmita, 2013). Selain itu, ditunjukkan juga bahwa terdapat pengaruh positif signifikan pendekatan pengukuran nilai historis terhadap Value Relevance (Petrus dan Farahmita, 2013). Hasil tersebut membuktikan bahwa pendekatan pengukuran nilai wajar atas aset biologis tidak mempunyai Value Relevance lebih tinggi dibandingkan dengan pendekatan pengukuran nilai historis. Dua temuan di atas, didukung Zahro (2014) yang menyimpulkan bahwa nilai wajar tidak berpengaruh terhadap volatilitas laba. Permasalahan relevansi fair value masih banyak terdapat perbedaan kesimpulan, sehingga diperlukan penelitian lebih mendalam sebagaimana disampaikan oleh Majercakova dan Skoda (2015) bahwa kajian untuk mengetahui keuntungan dan kerugian dari konsep nilai wajar masih perlu diteliti lebih lanjut tentang kebermanfaatannya dengan ukuran–ukuran yang berbeda. Penelitian di Indonesia yang dijelaskan di atas, menguji relevansi nilai wajar terhadap kinerja dengan ukuran harga saham pada akhir tahun (tutup buku). Mendasarkan pada saran Majercakova dan Skoda (2015) di atas, penelitian ini mengukur kinerja dari perpektif ukuran yang lain. Ukuran yang digunakan pada penelitian ini adalah Economic Value Added (EVA). Economic Value Added (EVA) adalah indikator kinerja yang terbebas dari distorsi permasalahan berbagai pilihan metode pencatatan dalam akuntansi (Hansen dan Mowen 1994: 118 dalam Utomo, 1999). EVA adalah nilai tambah ekonomis yang diciptakan perusahaan dari kegiatan atau strateginya selama periode tertentu (Hansen dan Mowen 1994: 118 dalam Utomo, 1999). Lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip EVA memberikan sistem 9 pengukuran yang baik untuk menilai suatu kinerja dan prestasi keuangan manajemen perusahaan karena EVA berhubungan langsung dengan nilai pasar sebuah perusahaan (Hansen dan Mowen 1994: 118 dalam Utomo, 1999). Ukuran yang sering digunakan untuk mengukur relevansi nilai wajar oleh peneliti di Indonesia di atas, adalah harga saham pada titik tertentu. Ukuran lain terkait dengan saham adalah return saham yang diukur dengan deviden dan juga laba per lembar saham. Beberapa ukuran di atas, dapat dikonfirmasi ketepatannya terkait dengan keputusan investasi yang membuat harga saham naik atau turun. Harga saham pada titik tertentu belum menunjukkan harga tersebut pada kondisi naik atau turun dari titik tertentu sebelumnya. Sementara itu, ukuran deviden juga dimungkinkan akan membatasi observasi penelitian, karena tidak semua emiten akan membagi deviden tunai ataupun bentuk lain secara aktif meskipun emiten mencatat laba. Di sisi lain, laporan keuangan emiten auditan terbit di BEI sekitar bulan Maret sampai dengan Juni setelah tutup buku, memungkinkan investor akan memberikan keputusan investasi bukan pada akhir tahun buku, tetapi pada bulan maret sampai dengan juni setelah tutup buku. Selain mengukur kebermanfaatan nilai wajar dengan EVA, penelitian ini mengukur relevansi nilai wajar dengan return saham yang diadopsi dari (Widiastuti, 2015). Widiastuti (2015) menggunakan indikator return saham yang diukur dengan capital gain. Pertimbangan utama adopsi ukuran return saham ini adalah terkait dengan deviden sebagai ukuran return saham yang tidak setiap tahun dibagikan emiten, sehingga dapat membatasi observasi penelitian. Pertimbangan lain terkait dengan fakta bahwa minat pasar terhadap capital gain cukup 10 mendominasi fluktuasi harga saham. Dengan demikian, kelayakan alat ukur ini dapat dipertanggungjawabkan. Konsep nilai wajar dibanding dengan historis pada penelitian ini diukur dengan laba seperti yang dilakukan juga oleh (Widiastuti, 2015). Sementara itu, beberapa penelitian terdahulu di Indonesia yang dijelaskan di atas, mengukur relevansi nilai wajar pada aset. Kritik pengukuran tersebut dapat disampaikan secara sederhana bahwa investor akan melihat performa emiten untuk pertama kalinya pada laba rugi, dan bukan pada besarnya aset. Dengan demikian, indikator laba diharapkan dapat menjelaskan Value Relevance atas nilai wajar dengan lebih akurat. Widiastuti (2015) menemukan bahwa laba berdasarkan biaya historis dan nilai wajar memiliki relevansi keputusan nilai investasi, tetapi relevansi atas nilai wajar lebih tinggi dibanding dengan biaya historis terhadap return saham (keputusan investasi). Temuan ini memiliki implikasi praktis bahwa penggunaan konsep nilai wajar dan historis yang dapat digunakan secara bersama di Indonesia yang diukur dengan sentimen positif di pasar saham (Widiastuti, 2015). Perbedaan pertama penelitian ini dengan penelitian sebelumnya di Indonesia adalah penggunakan indikator EVA untuk mengukur relevansi nilai wajar. Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia di atas, belum menggunakan indikator ini. Kelayakan indikator ini mendasarkan pada penjelasan Hansen dan Mowen (1994: 118) dalam Utomo, (1999) bahwa indikator ini terbebas dari distorsi pilihan metode akuntansi. Perbedaan kedua penelitian ini ditunjukkan pada pengukuran konsep penyajian nilai wajar dengan laba. Sebagian besar penelitian terdahulu menggunakan instrumen aset antara lain (Hidayat, 2012; Juwono dan Feliana, 2013; Petrus dan Farahmita, 2013). Alat ukur 11 laba nilai wajar yang digunakan pada penelitian ini melakukan adopsi dari penelitian Widiastuti (2015), tetapi penelitian ini mengangkat momentum penting tentang penetapan standar baru tentang nilai wajar di Indonesia, yang belum dilakukan pada masa observasi penelitian (Widiastuti, 2015). Momentum ini sekaligus menjadi dasar event study yang menjadi tujuan kedua penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat akurasi penyajian nilai wajar pada masa sebelum dan sesudah ditetapkannya PSAK 68 sebagai standar yang mengatur ruang lingkup serta teknik menyajikan nilai wajar yang baru. Penelitian yang dilakukan saat ini adalah momentum yang tepat untuk mengetahui dampak atas standar baru tersebut yang belum lama diterapkan di Indonesia, khususnya pada akurasi penyajian nilai wajar. Perbedaan ketiga penelitian ini dengan sebelumnya adalah kajian terhadap peran profesi penilai sebagai profesi independen pada relevansi nilai wajar terhadap kinerja emiten yang belum dilakukan oleh penelitian Indonesia di atas. Dasar pemikiran bahwa variabel ini penting untuk diteliti adalah penjelasan terkait peran profesi penilai yang dijelaskan oleh (Dechow dkk., 2010). Pihak independen diperlukan untuk menyajikan nilai atas aset, dengan tujuan nilai tersebut terbebas dari upper value maupun under value (Dechow dkk., 2010). Penetapan nilai wajar perlu dilakukan melalui penilai yang memiliki kualifikasi profesional (Sukendar, 2012). Implementasi nilai wajar membuka peluang jasa appraisal (penilai) secara signifikan yang salah satu perannya adalah mengurangi kesalahan penilaian aset atau instrumen keuangan lain untuk disajikan sebesar nilai wajar (Sukendar, 2012). Kesiapan akuntan dan penilai secara bersama diperlukan untuk menyambut implementasi nilai wajar pada laporan keuangan di Indonesia (Wahyuni, 2013). Akan tetapi, urgensi peran penilai ini belum secara eksplisit mendapatkan peran 12 yang strategis dalam penyajian laporan keuangan emiten yang berbasis nilai wajar. Hal ini ini mendasarkan pada fakta bahwa penelusuran yang dilakukan dalam penelitian ini tidak menemukan pernyataan terkait dengan informasi pihak yang mengeluarkan opini nilai wajar atas instrumen keuangan baik pada Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK). PSAK 68 juga menambahkan bahwa prioritas utama penyajian nilai wajar emiten adalah Level 1 yang tidak membutuhkan penilaian (professional judgment). Akan tetapi, fakta dilapangan membuktikan bahwa Indonesia sebagai negara berkembang memiliki volatolitas pasar yang tinggi (Wahyuni, 2013). Oleh karena itu, Level 2 dan 3 adalah yang paling memungkinkan digunakan oleh emiten. Namun, PSAK 68 menyebutkan bahwa teknik penilaian dibutuhkan pada Level 3. Level 3 ini adalah Level terendah, dan tidak ada keharusan bagi emiten untuk menggunakan jasa penilai sebagaimana keharusan bagi emiten untuk menggunakan jasa Akuntan Publik. Penilai dan Akuntan Publik adalah pihak independen yang akan menambah kepercayaan pemakai laporan kauangan tentang keandalan laporan keuangan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa profesi independen ini tidak secara langsung berhubungan dengan kinerja emiten. Akan tetapi, profesi ini merupakan faktor yang dapat melemahkan atau menguatkan kepercayan publik atas laporan keuangan emiten yang telah mendapatkan verifikasi kewajaran laporan keuangan dengan kualifikasi auditor yang memadai. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini memiliki dugaan bahwa profesi penilai sebagai variabel yang memoderasi pada relevansi nilai wajar. Berdasar latar belakang di atas bahwa terdapat masih perbedaan hasil penelitian tentang relevansi nilai wajar baik di Indonesia maupun di luar negeri, 13 maka masih diperlukan penelitian tentang konsep nilai wajar dengan menilai kebermanfaatannya pada ukuran yang berbeda dengan penelitian sebelumnya termasuk pada masa observasi lain yang strategis. Dengan demikian, penelitian ini mengukur relevansi nilai wajar terhadap return saham dan EVA sebagai ukuran yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, dan menjadi tujuan pertama penelitian. Tujuan kedua penelitian ini adalah mengatahui dampak penerapan PSAK 68. Hal ini mendasarkan pada urgensi isu peran strategis yang belum diberikan kepada penilai dalam penyajian nilai wajar laporan keuangan. Isu ini membawa dugaan bahwa tidak ada beda tingkat akurasi penyajian nilai wajar pada masa sebelum dan sesudah penerapan PSAK 68. Dengan demikian, penelitian untuk mengetahui dampak aturan ini penting untuk dilakukan yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi dewan standar tentang efektifitas Standar Akuntansi tentang nilai wajar ini di Indonesia. Sementara itu, permasalahan ketiga yang disampaikan pada latar belakang di atas, adalah peran strategis penilai perlu dibuktikan secara empiris. Oleh karena itu, penelitian dengan tujuan ketiga yaitu membuktikan moderasi penilai atas pengaruh nilai wajar terhadap sentimen pasar adalah penting untuk dilakukan. Tujuan ketiga penelitian ini adalah melihat moderasi pada setiap sektor emiten. Pasar modal Indonesia membuat kelompok emiten dalam indeks sektoral yang terdiri dari agriculture, basic industry, mining, manufacture, property, consumer, trade, finance, Infrastructure, dan miscellaneous industry. 1.2 Keaslian Penelitian Tujuan pertama penelitian ini adalah mengetahui tingkat relevansi konsep nilai wajar dibanding dengan biaya historis terhadap kinerja emiten di Indonesia. 14 Tujuan pertama tersebut memiliki tiga perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan pertama tersebut adalah pada indikator yang digunakan untuk membandingkan antara nilai wajar dengan historis terhadap kinerja emiten. Penelitian di Indonesia yang dilakukan terdahulu di atas, sebagian besar menggunakan indikator harga saham pada tutup buku (akhir tahun) untuk mengukur relevansi nilai wajar terhadap kinerja (Hidayat, 2012; Juwono dan Feliana, 2013; Petrus dan Farahmita, 2013; Zahro, 2014). Kritik terhadap ukuran tersebut dapat dijelaskan bahwa harga saham belum dapat menunjukkan fluktuasi harga saham apakah meningkat atau menurun dari waktu tertentu yang menunjukkan minat keputusan investasi atau trading. Kritik lain juga dapat disampaikan bahwa harga saham diwaktu tertentu tidak dapat menunjukkan apakah harga tersebut pada titik harga tinggi atau rendah terutama di perdagangan pasar reguler. Dengan demikian, penelitian ini mengukur kinerja emiten dari harga saham pada tingkat fluktuasi harga saham antara titik tertentu yang disebut sebagai return saham. Return saham pernah digunakan juga oleh Widiastuti (2015) untuk mengukur Value Relevance nilai wajar. Widiastuti (2015) mengukur return saham dihitung dari selisih harga saham awal tahun setelah tutup buku sampai dengan akhir bulan ketiga tahun berikutnya. Pembeda ukuran return saham penelitian ini dengan Widiastuti (2015) adalah penggunaan periode cut off untuk melakukan identifikasi harga saham antara masa obsevasi return saham yang tidak dilakukan oleh (Widiastuti, 2015). Hal ini penting untuk diidentifikasi dan dilakukan dengan pertimbangan bahwa keaktifan saham tiap emiten adalah berbeda. Beberapa emiten aktif dalam menerbitkan laporan keuangan dan juga membukukan laba, tetapi 15 belum tentu saham atas emiten tersebut diminati dan aktif diperdagangkan di pasar reguler. Perbedaan kedua atas tujuan pertama penelitian ini juga dapat ditunjukkan dari indikator kinerja emiten Economic Value Added (EVA) yang belum dilakukan oleh beberapa penelitian di atas, untuk menguji kebermanfaatan konsep nilai wajar. Penggunaan ukuran lain ini mendasarkan juga pada pernyataan (Majercakova dan Skoda, 2015) yang menjelaskan bahwa diperlukan berbagai indikator untuk membuat generalisasi yang lebih luas tentang kebermanfaatan nilai wajar. Perbedaan ketiga adalah terkait dengan pengukuran konsep nilai wajar penelitian ini berbeda dengan penelitian lain sebelumnya yang menggunakan aset pada sektor tertentu (Hidayat, 2012; Juwono dan Feliana, 2013; Petrus dan Farahmita, 2013; Zahro, 2014). Ukuran tersebut dapat dikonfirmasi ketepatannya karena secara umum sentimen pasar atas saham akan melihat pada kinerja yang tidak dapat diukur dengan total aset yang dimiliki, melainkan salah satunya laba. Dengan demikin penelitian ini menggunakan laba yang diukur dengan nilai wajar maupun historis untuk diuji pada semua emiten di Indonesia pada periode tertentu. Indikator konsep nilai wajar yang diukur dengan laba ini diadopsi dari (Widiastuti, 2015). Akan tetapi, dapat disampaikan juga perbedaan penelitian ini dengan penelitian Widiastuti (2015) bahwa penelitian ini dilakukan pada durasi waktu yang berbeda dan pada momentum yang strategis untuk mengetahui dampak Standar Akuntansi yang baru di Indonesia tentang konsep nilai wajar. Tujuan kedua dan ketiga dalam penelitian ini merupakan perbedaan penelitian sebelumya karena masa observasi penelitian ini yang tepat sebagai bahan evaluasi efektifitas PSAK 68 terhadap tingkat akurasi penyajian laporan keuangan. 16 Penelitian ini merumuskan faktor peran profesi penilai sebagai variabel moderasi yang belum dirumuskan pada beberapa penelitian di atas. Selain faktor tersebut belum diteliti oleh beberapa peneliti di Indonesia, faktor ini penting untuk diteliti pengingat penjelasan yang disampaikan oleh Dechow dkk, (2010) bahwa penilai mempunyai peran penting dalam penyajian nilai wajar yang terbebas dari manipulasi nilai. Indikator ini menjadi masalah dalam mengumpulan data, karena laporan keuangan auditan tidak menjelaskan secara rinci pihak yang melakukan penilaian atas aset dan liabilitas. Oleh karena itu, penelitian ini memerlukan proxy untuk mengukur faktor tersebut. Proxy yang digunakan untuk mengukur profesi penilai adalah Ukuan KAP. Ukuran KAP erat kaitannya dengan kualitas audit. Kualitas audit merupakan segala kemungkinan yang dapat terjadi saat auditor mengaudit laporan keuangan klien dan menemukan pelanggaran atau kesalahan yang terjadi dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan (Dewi dan Jati, 2014). Ukuran KAP pernah digunakan untuk menjelaskan Value Relevance oleh Hidayat (2012) dengan data penelitian emiten sektor tententu, sedangkan penelitian ini menggunakan seluruh emiten pada periode tertentu dengan pertimbangan event study di atas. Kelayakan proxy ini juga dapat dijelaskan dari tidak adanya pengungkapan tentang pihak penilai pada laporan keuangan. Oleh karena itu, pihak yang diasumsikan melakukan verifikasi atas kewajaran penyajian nilai wajar pada laporan keuangan adalah KAP. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan urgensi penelitian yang disampaikan pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan menjadi tiga rumusan masalah penelitian. Pembahasan setiap rumusan masalah penelitian tersebut, dapat disampaikan sebagai berikut. 17 1.3.1 Kebermanfaatan Implementasi Konsep Fair Value terhadap Kinerja Emiten di Indonesia yang Masih Terdapat Pro dan Kontra Kebermanfaatan konsep nilai wajar pada emiten diukur dengan kinerja yang salah satunya pada harga saham sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa penelitian di atas, baik di Indonesia maupun luar negeri. Hasil penelitian terkait dengan kebermanfaatan tentang konsep ini juga masih berbeda, meskipun indikator kebermanfaatannya sama (harga saham). Pro dan kontra atas keandalan nilai wajar ini terkait dengan keuntungan dan kerugian dari konsep nilai wajar yang masih jauh dari sempurna dan diragukannya apakah konsep ini benar-benar bermanfaat dengan indikator yang berbeda-beda (Majercakova dan Skoda, 2015). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan indikator yang berbeda sebagaimana dijelaskan pada keaslian penelitian di atas. Penjelasan Majercakova dan Skoda (2015) di atas, muncul ketika Indonesia mulai menetapkan berlakunya PSAK 68. Sehubungan dengan itu, permasalahan penelitian terkait dengan kebermanfaatan nilai dengan indikator EVA dan return saham ini, diharapkan dapat menjelaskan perbedaan sebelum dan sesudah diterapkannya PSAK 68 sebagai standar yang khusus menjelaskan tentang nilai wajar. 1.3.2 Tingkat Akurasi Penyajian Nilai Wajar Di Indonesia yang Perlu Diketahui Pada Masa Sebelum dan Sesudah Diterapkannya PSAK 68 Masa observasi penelitian ini adalah momentum yang tepat untuk mengetahui dampak penerapan Standar Akuntansi PSAK 68 yang mengatur definisi dan ruang lingkup nilai wajar pada laporan keuangan di Indonesia. Penelitian ini menduga bahwa penyajian laporan keuangan yang berbasis nilai wajar pada satu tahun sebelum dan sesudah penerapan PSAK 68 tidak terdapat perbedaan signifikan 18 terkait tingkat akurasinya. Dugaan ini mendasarkan pada fenomena praktek bahwa peran penilai belum ditempatkan pada posisi strategis pada standar baru ini dalam melakukan verifikasi pengungkapan nilai wajar oleh emiten sebagaimana peran strategis yang diberikan kepada Akuntan Publik. Kondisi ini berlawanan dengan penjelasan Dechow dkk, (2010) bahwa penilai memiliki peran strategis untuk menyajikan laporan keuangan yang berbasis nilai wajar yang terhindar dari upper value dan under value bahkan mengurangi risiko manipulasi nilai. Peran strategis yang tidak diberikan itu dapat dijelaskan mulai dari pembagian hierarki tingkat penilaian yang diatur dalam PSAK 68. Level 1 adalah level prioritas yang perlu diupayakan oleh emiten untuk menyajikan instrumen keuangannya. Pengungkapan nilai wajar pada Level 1 ini dikatakan tanpa menggunakan teknik penilaian dan tidak membutuhkan professsional judgment. Berkaitan dengan hal tersebut, SPI menjelaskan bahwa dasar untuk menentukan nilai yang pertama adalah nilai pasar, dan juga dibutuhkan teknik penilaian dan professional judgment. Dengan demikian, Level 1 akan mejadi prioritas penyajian nilai wajar, tetapi emiten mengungkap nilai wajar ini tanpa pertimbangan profesional. Kondisi ini tidak berbeda ketika belum ada PSAK 68, yaitu mencatat instrumen keuangan sebesar nilai wajar tanpa pertimbangan profesional. Penyajian pada Level 1 ini juga sulit dicapai, mengingat bahwa Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki volatilitas harga pasar yang tinggi dibanding negara maju. Oleh karena itu, penyajian nilai wajar yang paling mungkin dapat dilakukan emiten dengan menggunakan Level 2 atau 3 yang dijelaskan membutuhkan professional judgment. Pada level ini, Standar Akuntansi belum mengatur tentang kewajiban bagi emiten untuk memberikan pertimbangan 19 profesional dari profesi khusus dalam hal ini penilai independen. Wahyuni (2013) menjelaskan bahwa penilaian merupakan teknik yang rumit yang membutuhkan pendidikan khusus, yang tidak didapatkan oeh akuntan. Oleh karena itu, kemungkinan verifikasi nilai wajar yang dilakukan Akuntan Publik tentang kewajaran nilai yang diungkap oleh emiten, juga masih dipertanyakan akurasinya. Jika mendasarkan pada penjelasan Wahyuni (2013) selaku penasihat teknik IAI di atas, akuntan belum dapat dikatakan memiliki kualifikasi sebagai penilai kecuali mendapatkan pendidikan khusus penilai. Sementara itu, fakta pada laporan keuangan emiten menunjukkan bahwa laporan keuangan tersebut tidak mengungkap pihak yang memberikan opini nilai baik pada Level 2 dan 3 maupun Level 1. 1.3.3 Peran Profesi Penilai Eksternal sebagai Profesi Independen yang diduga Memoderasi Kebermanfaatan Penerapan Nilai Wajar Permasalahan ini perlu diperhatikan dalam rangka menjaga akuntabilitas atas nilai wajar yang dilaporkan oleh emiten. Permasalah tersebut sejalan dengan penjelasan yang disampaikan oleh Dechow dkk, (2010) bahwa dengan tidak adanya harga pasar yang dikutip di pasar aktif, pengukuran nilai wajar akan didasarkan asumsi subjektif dan oleh karena nilai wajar dapat menjadi objek manipulasi. Dengan demikian, peran penilai professional diperlukan dalam mengakomodir implementasi fair value di Indonesia untuk menghidari bias atas laporan keuangan (Dechow dkk., 2010). Dengan demikian, rumusan ketiga penelitian ini adalah mendapatkan bukti bahwa penilai memiliki peran strategis sebagai profesi indenpenden yang menguatkan implementasi konsep nilai wajar ini terhadap kinerja emiten. 20 1.4 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan tiga rumusan masalah yang disampaikan di atas, dapat disusun beberapa pertayaan penelitian. Pernyataan penelitian dapat dirumuskan menjadi tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Apakah konsep nilai wajar memiliki Value Relevance dan bagaimana tingkat relevansi nilai wajar tersebut dibanding biaya historis? 2. Apakah ada perbedaan tingkat akurasi penyajian nilai wajar pada masa sebelum dan sesudah penerapan PSAK 68 yang efektif mulai 1 Januari 2015? 3. Apakah peran profesi penilai sebagai profesi independen merupakan faktor yang memoderasi relevansi konsep nilai wajar terhadap nilai entitas? 1.5 Tujuan Penelitian Sehubungan dengan pertanyaan penelitian di atas, dapat dirumuskan tujuan penelitian. Tujuan penelitian yang dirumuskan terdiri dari tiga tujuan penelitian sebagai berikut. 1. Mengetahui relevansi konsep nilai wajar dibanding biaya historis terhadap nilai emiten. 2. Mengetahui dampak penerapan PSAK 68 tantang nilai wajar yang efektif mulai 1 Januari 2015 terhadap tingkat akurasi penyajian nilai wajar oleh emiten. 3. Menguji peran penilai sebagai faktor yang memoderasi relevansi metode nilai wajar terhadap nilai entitas sebagai bukti bahwa profesi ini diperlukan dan penting sebagaimana Akuntan Publik yang menguji kewajaran laporan keuangan. 21 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang akan didapatkan dari hasil penelitian ini dapat digunakan oleh beberapa pihak khususnya dalam kontribusi teoritis dan praktik. Uraian tentang manfaat teoritis dan praktik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1.6.1 Manfaat Praktik Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi empiris tentang dinamika penerapan nilai wajar maupun historis terhadap aktifitas bisnis di Indonesia. Informasi tersebut berupa pengaruh implementasi nilai wajar dibanding historis terhadap kinerja bisnis yang diukur dengan return saham dan Economic Value Added. Kesimpulan hasil penelitian terkait kebermanfaatan konsep nilai wajar, masih menemui pro dan kontra yang sebagian besar dilakukan pada sektor industri tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini mengindentifikasi dan menguji nilai wajar dibanding dengan nilai hitoris terhadap kinerja semua emiten di Indonesia. Momentum penerapan PSAK 68 pada tahun 2015 sebagai standar yang mengatur penyajian nilai wajar pada laporan keuangan, dapat memberikan informasi tentang efektifitas standar ini terhadap tingkat akurasi penyajian nilai wajar oleh emiten. Hasil penelitian ini dapat memberi informasi tentang peran profesi penilai eksternal sebagai profesi independen untuk mengakomodir kepentingan konsep nilai wajar pada laporan keuangan emiten, meskipun digunakan proxy untuk mengukur peran penilai karena data informasi tentang penilai yang tidak didapatkan dari laporan emiten. Sebagai profesi yang dibuktikan memoderasi relevansi nilai wajar, hasil penelitian ini memberikan penguatan peran penting MAPPI sebagai organisasi penyusun standar penilaian Indonesia pada perannya terhadap 22 penyusunan laporan keuangan di Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa laporan keuangan emiten tidak mengungkap secara eksplisit pihak yang mengeluarkan opini nilai wajar. Sehubungan dengan hal tersebuut, dapat dijelaskan bahwa keterlibatan dan peran strategis profesi penilai, belum dapat sepenuhnya menjadi perhatian penting yang setara dengan pengungkapan pihak yang melakukan audit laporan keuangan. 1.6.2 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang dapat diberikan berdasar hasil penelitian ini adalah penguatan bahwa kurikulum ilmu penilaian khususnya untuk tujuan laporan keuangan penting untuk dilakukan. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Masyarakat Profesi Penilai untuk memberikan prioritas ilmu penilaian untuk tujuan laporan keuangan yang selama ini belum mendapatkan minat dan menjadi kebutuhan pasar tinggi. Minat yang kurang ini dimungkinkan karena rekonsiliasi antara profesi penilai dengan akuntan yang belum dapat dikatakan intensif dengan melihat standar penyusunan laporan keuangan tentang nilai wajar dan prakteknya. Jika rekonsiliasi ini dilakukan lebih intensif, diharapkan membawa penguatan kurikulum bidang ilmu penilaian untuk tujuan laporan keuangan, dan juga peningkatan permintaan jasa penilaian untuk tujuan laporan keuangan yang saat ini belum sebanyak penilaian untuk tujuan lain seperti pembebasan tanah, agunan, jual beli dan asuransi. 23 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun terdiri dari lima bab yang berisi pendahulun, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan serta simpulan. Bab 1 berisi tantang urgensi penelitian, kebaruan penelitian serta manfaat yang ditargetkan pada hasil penelitian ini. Bab 2 penelitian ini berisi tinjauan pustaka sebagai pembangunan teori atas beberapa variabel yang diangkat dalam penelitian. Bab 2 ini juga berisi penelusuran hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan tujuan penelitian. Bab 3 pada penelitian ini merumuskan metode penelitian yang digunakan untuk menjawab petanyaan dan mecapai tujuan penelitian. Selain itu, dibahas juga tentang definisi operasional variabel yang berisi ruang lingkup serta cara mengukur variabel yang diangkat dalam penelitian ini. Bab 4 berisi tentang hasil analisis menggunakan metode yang dirumuskan pada bab 3 tentang deskriptif data, hasil analisis, pembahasan dan diskusi hasil penelitian. Bab terakhir penelitian ini berupa simpulan dan saran. Saran yang dimaksud dalam bab lima ini adalah saran bagi pihak yang dituju pada kebermanfaatan hasil penelitian serta saran bagi penelitian selanjutnya atas keterbatasan penelitian yang juga disampaikan pada bab lima. 24