1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Upaya untuk menginduksi pemijahan ikan dapat dilakukan melalui beberapa cara, baik melalui manipulasi lingkungan, kawin suntik maupun dengan metode imbas. Sejak tahun 70-an, di Indonesia telah berkembang metode imbas untuk memijahkan ikan tawes yang dikenal dengan metode Cangkringan. Metode ini pertama kali ditemukan di Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Cangkringan, yang pada awalnya digunakan untuk memijahkan ikan tawes dengan rangsangan pemijahan ikan mas. Menurut Zairin (2003) pada metode di atas terjadi stimulasi dari ikan mas ke ikan tawes. Stimulasi yang bekerja kemungkinan besar diakibatkan oleh semacam feromon yang dilepas oleh ikan mas. Feromon didefinisikan sebagai bau atau campuran zat berbau, yang dikeluarkan oleh suatu individu (pengirim) dan membangkitkan respon khas pada individu lain sebagai penerima (Sorensen dan Stacey 2004). Terdapat tiga kategori feromon yang dibedakan berdasarkan fungsinya yaitu isyarat anti-predator, isyarat sosial, dan isyarat reproduksi. Masing-masing kategori terdiri dari feromon yang dapat menimbulkan respon primer berupa efek fisiologis atau perubahan endokrinologis yang terjadi lebih lambat atau respon pelepas yaitu perubahan perilaku yang kuat (Sorensen dan Stacey 2004; Appelt dan Sorensen 2007; Burnard et al. 2008; Little et al. 2011). Meskipun demikian, feromon tidak terbatas pada jenis kelamin tertentu dan spesies yang berbeda dapat memproduksi dan melepaskan feromon yang sama, namun respon induksinya bervariasi (Burnard et al. 2008). Lim dan Sorensen (2012) mengemukakan bahwa saat ovulasi, ikan betina dari berbagai spesies diketahui melepaskan F-prostaglandin, sebuah derivat feromon seks yang menarik ikan jantan sejenis. Feromon pada ikan mas diidentifikasi sebagai campuran prostaglandin F2α (PGF2α) dan metabolit tubuh lain yang tidak teridentifikasi, yang disebut sebagai feromon kompleks. Hasil penelitian pada ikan mas betina yang diimplan dengan PGF2α dapat menarik ikan jantan dewasa walaupun berjarak 20 m, tetapi tidak untuk ikan betina. Selanjutnya hasil penelitian Stacey et al. (2012) menjelaskan bahwa ikan Scardinius erythrophthalmus betina yang sudah mengalami ovulasi dapat menginduksi respon primer individu jantan sejenis yang disebabkan karena terjadi peningkatan konsentrasi 17α,20β-dihydroxy-4-pregnen-3-one (17α,20β-P) dan penurunan konsentrasi androstenedion. Zheng et al. (1997) mengemukakan bahwa respon terhadap feromon 17α,20β-P merupakan penentu utama kesuksesan reproduksi ikan mas koki jantan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh feromon 17α,20β-P menyebabkan peningkatan aktivitas pemijahan, volume dan cairan sperma, durasi motilitas sperma dan proporsi sperma motil. Namun, tampak bahwa perubahan dalam kualitas sperma adalah komponen utama dari pengaruh feromon tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam persaingan pembuahan in vitro dimana sperma dari ikan mas koki jantan yang dipapar dengan feromon 17α,20β-P dapat membuahi telur lebih banyak daripada sperma pada ikan jantan kontrol. 2 Penggunaan feromon pada pemijahan ikan memiliki nilai praktis yang sangat tinggi karena dapat diterapkan tanpa menangani ikan sehingga meniadakan stress, merangsang proses endogenus normal sehingga mengeliminir kegagalan dalam pembuahan dan hanya bekerja pada induk yang benar-benar matang. Stimulasi pemijahan dengan feromon sangat potensial untuk dikembangkan pada ikan yang biasa memijah secara masal (Zairin 2003). Keterlibatan feromon pada pemijahan ikan mas dengan metode Cangkringan, mungkin menimbulkan respon primer dan atau respon pelepas pada ikan tawes, yang selanjutnya menyebabkan pemijahan pada ikan tawes. Metode ini merupakan cara alami yang lebih efektif dan lebih aman dibandingkan dengan metode kawin suntik. Pada metode kawin suntik, jika ikan yang disuntik tidak mijah maka peluang terjadinya mortalitas semakin tinggi karena nekrosis telur yang dapat menyebabkan keracunan internal (Woynarovich dan Horvath 1980). Dengan demikian, metode Cangkringan diharapkan menelurkan alternatif cara pemijahan ikan selain dengan metode kawin suntik dalam akuakultur. Namun, sampai saat ini belum diketahui peran ikan mas betina dalam merangsang pemijahan ikan tawes dalam metode Cangkringan. Metode ini perlu dikembangkan untuk menemukan feromon yang dapat dijadikan sebagai perangsang pada pemijahan ikan. Perumusan Masalah Tahapan penting dalam siklus reproduksi ikan adalah proses pemijahan. Dewasa ini pemijahan ikan lebih banyak dilakukan dengan cara kawin suntik, baik dengan teknik hipofisasi maupun dengan menggunakan hormon gonadotropin lain seperti ovaprim maupun HCG (Human chorionic gonadotropin). Namun teknik hipofisasi memiliki beberapa kelemahan antara lain hilangnya ikan donor karena diambil hipofisisnya, standarisasi kandungan ekstrak kelenjar hipofisis ikan sukar dilakukan (Woynarovich dan Horvath 1980), terlalu banyak hormon yang terlibat sehingga dikhawatirkan akan terjadi interaksi antar hormon-hormon tersebut, dan penyakit dapat menular dengan mudah dari ikan donor ke ikan resipien (Dorafshan et al. 2003). Disamping itu metode kawin suntik dengan menggunakan ovaprim dan HCG harganya relatif mahal sehingga tidak ekonomis, sukar diperoleh dan spesifisitasnya tinggi. Oleh karena itu metode Cangkringan dapat dijadikan metode alternatif pemijahan ikan. Beberapa keunggulan metode ini antara lain induk tidak mengalami stres karena penanganan sehingga resiko mortalitas kecil, induk ikan mas dapat digunakan sebagai perangsang untuk beberapa kali pemijahan, metode Cangkringan memberikan alternatif untuk pengembangan feromon sebagai perangsang. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran ikan mas betina dalam merangsang pemijahan ikan tawes dengan metode Cangkringan. 3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan feromon sebagai perangsang, sehingga menjadi solusi alternatif bagi pemijahan ikan secara alami. 2 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Mas Ikan mas termasuk famili Cyprinidae merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, dengan daerah penyebaran alami di wilayah Eropa ke Cina dan telah dibudidayakan di berbagai daerah di dunia. Ikan ini merupakan ikan omnivora, sebagian besar memiliki cara makan dengan memakan makanan di dasar perairan. Memijah dengan menempelkan telur pada tumbuhan yang terendam di air atau di kolam (Woynarovich dan Horvath 1980). Usia matang gonad ikan mas berhubungan dengan letak garis lintang daerah dan jenis kelamin. Biasanya ikan jantan matang gonad lebih awal dibanding ikan betina. Ikan yang ada di daerah garis lintang rendah akan matang lebih awal dibandingkan dengan yang berada di daerah dengan garis lintang lebih tinggi. Pada kolam budidaya di India, ikan jantan matang gonad pada usia 6 bulan dan ikan betina pada usia 8 bulan, sedangkan di Kanada, ikan jantan matang gonad pada usia 3–4 tahun dan betina pada usia 4–5 tahun. Periode pemijahan ikan mas pada suhu air berkisar antara 18–28 °C (Tempero et al. 2006) Pada pemijahan ikan dengan teknik hipofisasi, ikan mas sering digunakan sebagai donor. Ikan mas diketahui sebagai donor universal, artinya dapat digunakan secara efektif untuk banyak jenis ikan, baik yang dalam satu famili maupun di luar famili (Sumantadinata 1983). Selain itu, ikan mas juga dikenal sebagai ikan yang mudah memijah. Pada pemijahan ikan dengan sistem Cangkringan, ikan yang biasa digunakan sebagai ikan donor atau perangsang adalah induk ikan mas. Ikan Tawes Ikan tawes juga termasuk famili Cyprinidae. Hidup di perairan tawar dengan suhu tropis 22–28 °C dan pH 7. Ikan ini dapat ditemukan di sungai pada kedalaman hingga lebih dari 15 m, rawa banjiran dan waduk. Berkembangbiak dengan baik di daerah yang letaknya 50–800 m di atas permukaan laut. Di daerah dataran rendah yang jauh di bawah 50 m dari permukaan laut, pembiakan ikan tawes pada umumnya kurang baik (Sumantadinata 1983). Bentuk badan ikan tawes agak panjang dan pipih dengan punggung meninggi, kepala kecil, moncong meruncing, mulut kecil terletak pada ujung hidung, sungut sangat kecil atau rudimenter. Badan berwarna keperakan agak gelap di bagian punggung. Pada moncong terdapat tonjolan-tonjolan yang sangat kecil. Sirip punggung dan sirip ekor berwarna abu-abu atau kekuningan, sirip dada berwarna kuning dan sirip dubur berwarna oranye terang (Kottelat et al. 1993).