BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Asam urat merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam
urat akan didegradasi menjadi alantoin oleh urikase. Kadar serum asam urat diatur
melalui sintesis asam urat dan ekskresi oleh ginjal (So & Thorens, 2010).
Hiperurisemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan produksi asam urat yang
berlebihan. Dalam klinik hiperurisemia berhubungan dengan penyakit metabolik,
penyakit jantung, disfungsi endotel, dan cedera ginjal (Rho et al., 2011 & Ichida,
2012).
Proses peningkatan asam urat ini dibagi menjadi akut dan kronis.
Hiperurisemia akut misalnya berhubungan dengan konsumsi alkohol, sedangkan
hiperurisemia kronis terjadi karena adanya penurunan glomerular filtrate rate
(GFR) dan ekskresi asam urat atau peningkatan absorpsi di tubulus ginjal (Kutzing,
2012).
Berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry (IRR) (2011)
menyebutkan bahwa terdapat beberapa penyebab penyakit ginjal kronis antara lain
glomerulopati/GNC (14%), diabetes nefropati (27%), penyakit ginjal hipertensi
(34%), nefropati asam urat (2%), obstruksi nefropati (8%), pielonefritis kronis
(6%). Adanya nefropati urat terjadi karena hipersaturasi asam urat atau
hiperurisemia. Prevalensi hiperurisemia berkisar antara 2,6%-47,2% yang
bervariasi pada setiap populasi dan cenderung mengalami peningkatan sejak
beberapa akhir dekade ini. Studi meta-analisis menunjukkan bahwa hiperurisemia
1
2
memiliki kecenderungan terjadi pada pria dibanding pada wanita. Penelitian yang
dilakukan oleh You et al., (2011) di Mongolia menunjukkan hasil bahwa
hiperurisemia pada pria tidak berhubungan dengan usia, sedangkan pada wanita
kejadian hiperurisemia meningkat seiring dengan bertambahnya usia namun
kejadian hiperurisemia ini menjadi konsisten pada pria maupun wanita setelah usia
50 tahun (Hidayat, 2009 & Liu, 2011). Di Jepang dilaporkan bahwa prevalensi
hiperurisemia bervariasi antara 25%-30% pada populasi laki-laki dewasa dan
mengalami peningkatan sampai beberapa dekade yang lalu. Hasil studi metaanalisis di China melaporkan bahwa prevalensi hiperurisemia pada pria mencapai
21,6% dan pada wanita mencapai 8,6% (Hakoda, 2012 dan Liu, 2011). Pada
populasi penduduk Bali didapatkan prevalensi hiperurisemia pada laki-laki sebesar
28% dan 7% pada wanita (Kurniari et al., 2012).
Kadar asam urat yang tinggi pada tikus dapat menginduksi terjadinya
hipertensi glomerulus dan penyakit ginjal seperti arteriosklerosis, cedera
glomerulus dan fibrosis tubulointerstisial. Penumpukan asam urat yang terjadi pada
tubulus dan jaringan interstisial, utamanya pada bagian luar medula ginjal memicu
terjadinya gout nefropati (Johnson et al., 2013). Pada penelitian yang dilakukan
oleh Yang et al., menggunakan kultur sel epitel tubulus ginjal menunjukkan bahwa
asam urat mampu menginduksi ekspresi fibronektin de novo yang merupakan
marker dari matriks ekstraseluler pada sel epitel tubulus ginjal melalui URAT1 dan
adanya peningkatan regulasi dari lysyl oxidase (LOX). Interaksi antara LOX dan
Snail akan menginduksi terjadinya fibrosis (Yang et al., 2010). Aktivasi faktor
3
transkripsi Snail akan menekan fenotip sel epitel dan menginduksi terjadinya EMT
pada sel epitel kelenjar mamae (Boutet et al., 2006).
Sel epitel memiliki struktur multiseluler yang saling berikatan rapat dan
terletak di membran basal berperan sebagai barier dan absorpsi/sekresi. Sel
mesenkim terdiri dari sel bebas yang hidup sendiri dengan menghasilkan matriks
ekstraseluler dan mampu untuk bermigrasi. Adanya polarisasi dari sel epitel yang
mengalami transisi fenotip dan perubahan biokimia menjadi sel mesenkim melalui
proses yang disebut epithelial-to-mesenchymal transition (EMT) (Guarino et al.,
2009 & Kang et al., 2002). Proses EMT merupakan kontributor terbesar pada
patogenesis fibrosis ginjal yang memicu peningkatan jumlah substansi
myofibroblas sehingga menyebabkan terjadinya atrofi tubulus. Bukti terkini
menunjukkan bahwa EMT merupakan proses yang bersifat reversible sehingga
proses regulasi EMT dapat dijadikan sebagai target potensial untuk mencegah
progresivitas fibrosis tubulointerstitial ginjal (Zeisberg & Kalluri, 2004; Yongheng
et al., 2014).
Aktivasi faktor transkripsi EMT diinduksi oleh beberapa mekanisme
signalling yang dimediasi oleh TGFβ, Wnt-β-catenin, Notch, Hedgehog, dan
reseptor tirosin-kinase (RTK). Jalur signaling tersebut mengalami aktivasi melalui
beberapa stimulus dari lingkungan, termasuk dari sitokin, hipoksia, dan adanya
matriks ekstraseluler (Gonzales & Medici, 2014). Beberapa dekade terakhir
disebutkan bahwa jalur signalling Wnt-independent β-catenin terlibat dalam proses
inflamasi dan beberapa mekanisme seluler yang terjadi pada sel individu dewasa.
Salah satu contoh dari anggota keluarga Wnt yang terlibat dalam mekanisme
4
signalling independen β-catenin adalah Wnt5a (Bhatt & Malgor, 2014). Ror2
(receptor tyrosine kinase-like orphan receptor 2) merupakan anggota dari reseptor
orphan like tyrosine kinase yang berperan sebagai reseptor atau koreseptor untuk
ligannya, yaitu Wnt5a. Ror2 memediasi signalling Wnt5a melalui aktivasi c-JunN-terminal kinase (JNK) PCP pathway dan menghambat β-cathenin (Nishita et al.,
2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Li et al., (2013) menunjukkan bahwa
mencit yang diberi UUO mengekspresikan Ror2 dan Snail1 sehingga diduga bahwa
Snail1 berperan penting dalam menginduksi ekspresi Ror2 pada sel epitel tubulus
ginjal yang mengalami EMT (Li et al., 2013).
Alopurinol merupakan inhibitor purin ksantin oksidase yang digunakan
dalam pengobatan gout, mencegah progresivitas dari penyakit ginjal kronis pada
pasien dengan hiperurisemia dan mencegah fibrosis ginjal dengan cara
menghambat sintesis asam urat. Penurunan kadar asam urat dengan menggunakan
alopurinol dapat mengembalikan kerusakan ginjal dengan cara menginduksi
perubahan E-Cadherin dan α-SMA sehingga terjadi perbaikan fibrosis ginjal (Kim
et al., 2014).
Saat ini belum banyak model penelitian yang mengkaji peran jalur
signalling Wnt5a-Ror2 dalam memodulasi epithelial to mesenchymal transition
(EMT) pada model fibrosis organ. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk
mengkaji hubungan pengaruh induksi hiperurisemia dengan dan tanpa pemberian
alopurinol terhadap ekspresi protein Wnt5a-Ror2 pada proses dan cedera tubulus
ginjal pada mencit.
5
I.2. Perumusan Masalah
1) Apakah pada kelompok yang diinduksi hiperurisemia tanpa pemberian
alopurinol memiliki ekspresi gen Wnt5a-Ror2, vimentin dan cedera tubulus
ginjal lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang diinduksi
hiperurisemia disertai dengan pemberian alopurinol ?
2) Apakah pada kelompok yang diinduksi hiperurisemia tanpa pemberian
alopurinol memiliki ekspresi gen E-Cadherin lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok yang diinduksi hiperurisemia disertai dengan pemberian
alopurinol?
3) Apakah terdapat korelasi antara ekspresi gen Wnt5a-Ror2 terhadap cedera
tubulus ginjal dan proses EMT pada kelompok yang diinduksi hiperurisemia
dengan dan tanpa pemberian alopurinol ?
I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan umum
Mengidentifikasi pengaruh induksi hiperurisemia dengan dan tanpa pemberian
alopurinol pada ginjal mencit.
I.3.2. Tujuan khusus
1) Mengetahui adanya ekspresi gen Wnt5a-Ror2, vimentin dan cedera tubulus
ginjal yang lebih tinggi pada kelompok yang diinduksi hiperurisemia tanpa
pemberian alopurinol dibandingkan dengan kelompok yang diinduksi
hiperurisemia disertai dengan pemberian alopurinol.
6
2) Mengetahui adanya ekspresi gen E-Cadherin yang lebih rendah pada kelompok
yang diinduksi hiperurisemia tanpa pemberian alopurinol dibandingkan
dengan kelompok yang diinduksi hiperurisemia disertai dengan pemberian
alopurinol.
3) Mengetahui adanya korelasi antara ekspresi gen Wnt5a-Ror2 terhadap cedera
tubulus ginjal dan proses EMT pada kelompok yang diinduksi hiperurisemia
dengan dan tanpa pemberian alopurinol.
I.4. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki ruang lingkup yang serupa
antara lain :
1.
Ryu et al. (2013), dengan judul Uric-acid induced phenotypic transition of
renal tubular cells as a novel mechanism of chronic kidney disease, yaitu
mengenai penurunan ekspresi E-Cadherin dan EMT pada ginjal tikus Spargew
Dawley yang diinduksi hiperurisemia dan kultur sel tubulus (sel NRK).
2.
Li et al. (2013), dengan judul Activation of Wnt5a-Ror2 signalling associated
with epithelial-to-mesenchymal transition of tubular epithelial cells during
renal fibrosis, yaitu mengenai mencit C57BL/6J yang terdiri dari kelompok
heterozigot dan homozigot dominan diberi perlakuan UUO dan diterminasi
pada hari ke-1, ke-3 dan ke-7 setelah perlakuan. Pada penelitian ini
menunjukkan adanya peningkatan regulasi Wnt5a dan Ror2 pada ginjal yang
mengalami fibrosis. Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa keseluruhan
sel yang mengekspresikan Ror2 pada perlakuan UUO juga mengekspresikan
7
Snail1 sehingga diduga bahwa Snail1 berperan penting dalam menginduksi
ekspresi Ror2 pada sel epitel tubulus ginjal yang mengalami EMT.
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah pada penelitian ini menggunakan
hewan coba mencit dan model perlakuan hewan coba dengan menggunakan
induksi hiperurisemia
I.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan untuk perkembangan ilmu
pengetahuan terkait peranan Wnt5a-Ror2 dalam memodulasi EMT pada
cedera tubulus ginjal sehingga molekul Wnt5a-Ror2 dapat digunakan sebagai
target terapi baru untuk mencegah transisi sel epitel menjadi mesenkim pada
kondisi cedera ginjal.
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan kajian
penelitian lebih lanjut mengenai peranan Wnt5a-Ror2 dalam memodulasi
EMT pada model gangguan ginjal.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada masyarakat
mengenai pengaruh asam urat terhadap kesehatan fungsi ginjal.
Download