7 pengembangan kelembagaan pengelola

advertisement
7 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLA
PERIKANAN TANGKAP DI PERBATASAN
7.1
Kajian Peraturan dan Kebijakan Pengelolaan
Pengaturan dan pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan
belum secara spesifik diatur dalam perundang-undangan yang ada. Peraturan
yang ada mengatur pengelolaan wilayah perbatasan secara umum atau
pengelolaan perikanan dan belum mengatur pengelolaan perikanan secara spesifik
di wilayah perbatasan. Perundang-undangan yang mengatur tersebut diantaranya
adalah :
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia
Undang-undang ini menjelaskan mengenai pengertian landas kontinen,
eksploitasi dan pengelolaannya. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan landas
kontinen adalah dasar laut dan tanah dibawahnya diluar perairan wilayah
Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin
diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Lebih jauh dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak
bernyawa lainnya didasar laut dan/atau di dalam lapisan tanah dibawahnya
bersama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter yaitu
organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak baik diatas maupun
dibawah dasar laut atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel
pada dasar laut atau lapisan tanah dibawahnya (pasal 1). Dalam melaksanakan
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen harus diindahkan dan
dilindungi kepentingan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional,
perhubungan, telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut, perikanan,
penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya dan cagar alam.
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang
97
undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia (pasal 2).
Apabila Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara
yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka
batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan
dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan
(pasal 3).
Pasal 4 UU ini menyatakan bahwa di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan :
1) Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah
di bawahnya serta air diatasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk
eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan
tenaga dari air, arus dan angin.
2) Yurisdiksi yang berhubungan dengan (1) pembuatan dan penggunaan pulaupulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya (2) penelitian
ilmiah mengenai kelautan (3) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
3) Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum
Laut yang berlaku.
Dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diatas, aparatur
penegak hukum Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakantindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dengan pengecualian
sebagai berikut :
1) Penangkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan
pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia meliputi tindakan
penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-orang
tersebut di pelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut.
98
2) Penyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat
mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila
terdapat keadaan force majeure.
3) Untuk kepentingan penahanan, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 16 dan
Pasal 17 termasuk dalam golongan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
(3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Tentang Hukum Laut)
Sesuai dengan namanya UU ini merupakan bentuk pengesahan sekaligus
persetujuan terhadap konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.
Konvesi itu sendiri berisi sebagian kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut
yang sudah ada, misalnya kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas
damai di Laut Teritorial, sebagian pengembangan hukum laut yang sudah ada,
misalnya ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut
dan kriteria Landas Kontinen dan sebagian melahirkan rejim-rejim hukum baru,
seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di
Dasar Laut Internasional.
Konvensi ini sangat penting bagi Indonesia karena merupakan bentuk
pengakuan terhadap Negara Indonesia sebagai Negara Kepulauan.
Negara
Kepulauan sendiri menurut Konvensi ini adalah suatu negara yang seluruhnya
terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau
lain. Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan
pulau-pulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau
tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya
demikian eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah
lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau
secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi, disamping harus menghormati
perjanjian-perjanjian
internasional
yang
sudah
ada,
Negara
Kepulauan
berkewajiban pula menghormati hak-hak tradisional penangkapan ikan dan
99
kegiatan lain yang sah dari negara-negara tetangga yang langsung berdampingan,
serta kabel laut yang telah ada di bagian tertentu perairan kepulauan yang
dahulunya merupakan Laut Lepas. Hak-hak tradisional dan kegiatan lain yang sah
tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi dengan negara ketiga atau warga
negaranya.
(4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang undang ini menegaskan bahwa yang dimaksud perairan Indonesia
adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan
pedalamannya (pasal 1 ayat 4). Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan
Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya
merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia
sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah
kedaulatan Negara Republik Indonesia (pasal 2 ayat 2). Dijelaskan pada pasal 3
bahwa perairan Indonesia meliputi laut teritorial yaitu jalur laut selebar 12 (dua
belas) mil laut yang dikukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia, perairan
Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari
pantai dan perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak
pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk
kedalamannya semua, bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu
garis penutup.
Berkenaan dengan kedaulatan negara dijelaskan pada pasal 4 yang
menyatakan bahwa Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia
meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang
udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta
dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
Terkait hubungannya dengan Negara lain yang
berbatasan dijelaskan apabila suatu bagian dari perairan kepulauan Indonesia
terletak di antara dua bagian wilayah suatu Negara tetangga yang langsung
berdampingan.
Indonesia
menghormati
hak-hak
yang
ada
dan
kepentingankepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh
100
negara yang bersangkutan di perairan tersebut melalui suatu perjanjian bilateral
(pasal 22 ayat 1).
Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian
lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan nasional yang berlaku dan hukum internasional (pasal 23 ayat 1)
(5) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Undang undang ini merupakan penyempurnaan dari UU No. 31 tahun
2004 tentang Perikanan. Cakupan UU ini meliputi hal-hal yang terkait dengan
pengelolaan perikanan. Pengelolaan perikanan sendiri didefinisikan oleh undangundang ini sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari
peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Pengelolaan
perikanan
dilakukan
berdasarkan
asas
manfaat,
keadilan,
kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan,
efisiensi, kelestarian; dan pembangunan yang berkelanjutan.
Selanjutnya secara rinci undang-undang ini menjelaskan pengaturanpengaturan
pemanfaatan
dan
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
baik
penangkapan ikan, budidaya ikan, pengembangan industri perikanan, dan
pengawasan. Pengaturan mengenai aspek usaha perikanan termasuk didalamnya
usaha penangkapan ikan. Undang-undang ini mengatur juga mengenai wilayah
pengelolaan perikanan, daerah penangkapan ikan, kapal ikan, pelabuhan
perikanan, distribusi dan pemasaran. Terkait dengan pengelolaan perikanan
wilayah perbatasan belum diatur secara spesifik. Aturan yang relatif menonjol
dalam konteks ini diantaranya adalah pengaturan pengawasan. Dijelaskan bahwa
Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan. Pengawas perikanan
bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perikanan.
Pengawasan tertib pelaksanaan peraturan
perundang-undangan meliputi kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
perbenihan, pengolahan, distribusi keluar masuk ikan, mutu hasil perikanan,
101
distribusi keluar masuk obat ikan, konservasi, pencemaran akibat perbuatan
manusia, plasma nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan dan ikan hasil
rekayasa genetik.
(6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-undang ini terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap di
perbatasan karena wilayah Nunukan yang berbatasan dengan Malaysia berada di
wilayah pesisir. Undang undang ini menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat
dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (pasal 1 ayat 1). Sedangkan pasal 1 ayat 7 menyatakan
bahwa perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa
payau, dan laguna.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi kegiatan
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi
manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta
proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(7) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per. 05/Men/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal
Perikanan
Peraturan ini menjelaskan bahwa sistem Pemantauan Kapal Perikanan
adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan dan/atau
pengangkutan ikan, yang menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan
yang telah ditentukan (pasal 1). Dalam penyelenggaraan sistem pemantauan kapal
perikanan, kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan penegakan hukum
di bidang sistem pemantauan kapal perikanan. Dalam melaksanakan fungsinya
102
tersebut, kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa,
dan menahan kapal perikanan yang diduga atau patut diduga melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sistem pemantauan kapal perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(8) Peraturan tentang Minapolitan
Program pengembangan kawasan minapolitan adalah salah satu program
yang digulirkan kementerian Kelautan dan Perikanan. Oleh Karena Itu, maka
dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor Per.12/Men/2010 Tentang Minapolitan. Pertimbangan dikeluarkannnya
aturan ini adalah dalam rangka mendorong percepatan pembangunan sektor
kelautan dan perikanan perlu dilakukan pengembangan ekonomi kelautan dan
perikanan berbasis kawasan yang terintegrasi, efisien, berkualitas, dengan
konsepsi minapolitan dan bahwa dalam pembangunan ekonomi kelautan dan
perikanan
dengan
konsepsi
minapolitan
perlu
dikembangkan
kawasan
Minapolitan untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan keunggulan
komparatif dan kompetitif daerah sesuai dengan eksistensi kegiatan pra produksi,
produksi, pengolahan dan/atau pemasaran secara terpadu, holistik, dan
berkelanjutan.
Dalam konteks penetapan lokasi pelaksanaan program minapolitan, maka
Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan no 39 tahun 2011 yang merupakan perubahan dari kepmen no 32 tahun
2010 tentang penetapan Kawasan Minapolitan. Peraturan tersebut menetapkan
223 Kabupaten/Kota pada 33 Provinsi sebagai daerah pengembangan kawasan
Minapolitan. Pengembangan kawasan minapolitan sebagaimana dimaksud pada
diktum PERTAMA dilaksanakan secara bertahap dari tahun 2010 sampai dengan
tahun 2014.
Kabupaten Nunukan merupakan salah satu kabupaten yang
ditetapkan menjadi kawasan minapolitan.
Untuk mengimplementasikan kegiatan tersebut, Menteri Kelautan dan
Perikanan mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor KEP.18/MEN/2011 Tentang Pedoman Umum Minapolitan.
Pengertian minapolitan sendiri didefinisikan sebagai konsepsi pembangunan
103
ekonomi kelautan dan perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip
terintegrasi, efisiensi, berkualitas dan percepatan ; sedangkan kawasan
minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi
yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan,
pelayanan jasa, dan/atau kegiatan pendukung lainnya.
(9) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 16/Men/2006
tentang Pelabuhan Perikanan
Peraturan ini menjelaskan mengenai aspek perencanaan, pembangunan,
pengoperasian, pengelolaan, dan pengusahaan pelabuhan perikanan. Pelabuhan
Perikanan mempunyai fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran.
Fungsi-fungsi
tersebut dapat berupa pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal
pengawas perikanan, pelayanan bongkar muat, pelaksanaan pembinaan mutu dan
pengolahan hasil perikanan, pemasaran dan distribusi ikan, pengumpulan data
tangkapan dan hasil perikanan, pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan
masyarakat nelayan,
pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan,
pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan, pelaksanaan
kesyahbandaran, pelaksanaan fungsi karantina ikan, publikasi hasil riset kelautan
dan perikanan, pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari, pengendalian
lingkungan (kebersihan, keamanan, dan ketertiban (K3), kebakaran, dan
pencemaran).
(10) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 6 Tahun 2008 yang
Diubah menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.14/Men/2008 Tentang Penggunaan Alat
Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian
Utara
Pertimbangan diberlakukannya peraturan ini adalah dalam rangka
optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan secara lestari, meningkatkan
kesejahteraan nelayan, dan memperkuat keberadaan masyarakat nelayan di
perairan
Kalimantan
Timur
bagian
utara,
diperlukan
penggunaan
alat
penangkapan ikan yang sesuai dengan karakteristik dan/atau kondisi geografis
104
wilayah perairan Kalimantan Timur bagian utara; alat penangkapan ikan pukat
hela merupakan alat penangkapan ikan yang sesuai dengan karakteristik dan/atau
kondisi geografis wilayah perairan Kalimantan Timur bagian utara;
Peraturan ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Penangkapan
ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam
keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani,
mengolah,
dan/atau
mengawetkannya.
Sedangkan
ayat
2.
Menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pukat hela adalah semua jenis alat
penangkapan ikan berbentuk jarring berkantong, berbadan dan bersayap yang
dilengkapi dengan pembuka jarring yang dioperasikan dengan cara ditarik/dihela
menggunakan satu kapal yang bergerak.
Kegiatan penangkapan ikan di perairan Kalimantan Timur bagian utara
dapat dilakukan dengan menggunakan kapal pukat hela. Daerah operasi kapal
pukat hela terdiri atas (i) Jalur I, meliputi perairan di atas 1 (satu) mil sampai
dengan 4 (empat) mil yang diukur dari permukaan air pada surut terendah dan (ii)
Jalur II, meliputi perairan di atas 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil
yang diukur dari permukaan air pada surut terendah. Jalur I hanya diperbolehkan
bagi pengoperasian kapal pukat hela dengan ukuran sampai dengan 5 (lima) gross
tonnage (GT) dan Jalur II hanya diperbolehkan bagi pengoperasian kapal pukat
hela dengan ukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) GT. Setiap kapal pukat hela
yang wilayah operasinya di jalur I dapat beroperasi di jalur II dan/atau di atas 12
(dua belas) mil, dan kapal pukat hela yang wilayah operasinya di jalur II dapat
beroperasi di atas 12 (dua belas) mil. Setiap kapal pukat hela yang wilayah
operasinya di jalur II dilarang beroperasi di jalur I.
Setiap kapal pukat hela wajib mendaratkan ikan hasil tangkapannya di
pelabuhan pangkalan.
Pelabuhan pangkalan tersebut
meliputi Pangkalan
Pendaratan Ikan Sebatik, Pangkalan Pendaratan Ikan Pulau Bunyu, Pelabuhan
Perikanan Pantai Tarakan dan Pelabuhan Perikanan Mansapa-Nunukan.
Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat hela hanya dapat
dilakukan oleh orang atau badan hukum Indonesia yang berdomisili di Provinsi
Kalimantan Timur pada Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten
105
Tana Tidung atau Kota Tarakan. Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang
melakukan penangkapan ikan wajib memiliki izin tertulis dari (i) Gubernur,
untuk kapal pukat hela dengan ukuran di atas 10 (sepuluh) GT sampai dengan 30
(tiga puluh) GT dan (ii) Bupati atau Walikota, untuk kapal pukat hela dengan
ukuran 5 (lima) GT sampai dengan 10 (sepuluh) GT. Kewajiban memiliki izin
dikecualikan bagi kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan kecil
dan/atau nelayan yang memiliki sebuah kapal pukat hela berukuran di bawah 5
(lima) GT.
Ketersediaan daya dukung sumber daya ikan dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat setempat dievaluasi setiap tahun sekali oleh Direktur Jenderal. Hasil
evaluasi merupakan dasar pertimbangan penetapan kebijakan Menteri dalam
pemberian alokasi jumlah kapal pukat hela yang dapat diizinkan.
(11)
Permen no 14 tahun 2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap
Dasar pertimbangan dikeluarkannya aturan ini adalah guna lebih
meningkatkan pengendalian sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) yang merupakan bagian dari kekayaan
bangsa Indonesia yang sudah semakin terbatas potensinya, dan sebagai anggota
Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (Regional Fisheries Management
Organization/RFMO) dalam memanfaatkan potensi di laut lepas perlu
memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta
memperhatikan persyaratan, dan/atau standar internasional. Disamping itu juga
dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Usaha perikanan tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan
penangkapan ikan dan/atau kegiatan pengangkutan ikan.
Peraturan ini
menjelaskan jenis usaha dan jenis perizinan, pengaturan wilayah penangkapan
dan pengangkutan ikan, persyaratan perizinan, pemeriksaan dan pengadaan kapal
perikanan, Usaha Perikanan Terpadu, pengawasan dan lain-lain. Bila ditelaah
lebih lanjut, terlihat bahwa permen ini menjelaskan detail mengenai perizinan
untuk usaha penangkapan ikan.
106
Tabel 30
Hasil analisis isi peraturan perikanan
UU/17/85/Pe
ngesahan
Konvensi
Hukum Laut
UU/6/96
/perairan
Indonesai
UU/45/09/
Perikanan
Permen/12/01/
Minapolitan
Permen/16/06
/pelabuhan
perikanan
Permen/6/08
/pukat hela
Kerjasama dengan
dengan negara lain
UU no
1/73/landas
kontinen
UU/5/83/ZEEI
Koordinasi antar
instansi
Jenis Peraturan
jenis aturan
(no/tahun/perih
al)
Pengelolaan
perikanan tangkap di
perbatasan
Aspek yang ditelaah
Mengatur penyelenggaraan
usaha pemanfaatan
kekayaan alam
Mengatur pemanfaatan
segenap sumber daya alam
yang tersedia, baik hayati
maupun non
hayati di ZEEI
Mengatur rejim-rejim hukum
laut
+
+++
+
Pemerintah pusat
+++
+++
+++
Pemerintah pusat
+++
+++
+++
Pemerintah pusat
mengatur wilayah
perairan Indonesia,
kedaulatan, yurisdiksi, hak
dan kewajiban serta kegiatan
di perairan Indonesia
Mengatur pengelolaan
perikanan
Pengembangan kawasan
berbasis perikanan
Pengelolaan pelabuhan
perikanan
+
+
+++
Pemerintah pusat
-
+++
+
-
+++
-
Pemerintah pusat
dan daerah
Pemerintah pusat
dan daerah
-
+
-
Penggunaan Alat
Penangkapan Ikan Pukat
Hela Di Perairan Kalimantan
Timur Bagian Utara
+++
+
-
Pemerintah pusat
dan daerah
-
+
+
Pemerintah pusat
dan daerah
Tujuan
Permen/14/11/
Perizinan Usaha Perikanan
usaha perikanan Tangkap
tangkap
Keterangan :
- tidak mengatur
+ sedikit keterkaitan
+++ banyak keterkaitan
Pelaksana
Berdasarkan identifikasi peraturan Tabel 30, tidak terlihat adanya
peraturan yang spesifik mengatur mengenai pengelolaan perikanan tangkap di
perbatasan kecuali Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no 6 tahun 2008
tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela Di Perairan Kalimantan
107
Timur Bagian Utara.
Namun demikian aturan ini pun belum sepenuhnya
memberikan jaminan pengelolaan perikanan tangkap yang baik yang memberikan
peluang pencapaian tujuan pengelolaan yaitu peningkatan kesejahteraan
masyarakat nelayan, pendapatan daerah dan kelestarian sumberdaya ikan.
Kebijakan pemberlakuan ini pada satu sisi merupakan upaya pemerintah untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan IUU fishing yang dilakukan oleh nelayannelayan asing dari Malaysia dimana sebagian besar menggunakan alat tangkap
trawl.
Daerah penangkapan nelayan Malaysia ini relatif berdekatan dengan
perairan Indonesia yang seringkali mereka memasuki perairan Indonesia secara
illegal. Akibatnya sumberdaya ikan yang ada di perairan Indonesia sebagian
besar ditangkap oleh mereka dengan alat tangkap yang lebih produktif seperti
trawl.
Sementara nelayan-nelayan Indonesia, karena terhalang oleh aturan
pelarangan penggunaan trawl (Kepres no 39 tahun 1980 mengenai Pelarangan
Trawl), hanya menggunakan alat tangkap yang relatif sederhana dengan tingkat
produktivitas penangkapan yang lebih rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang
mengizinkan pengoperasian pukat hela (pada dasarnya trawl) merupakan alternatif
solusinya.
Namun demikian ternyata ada faktor sosial ekonomi masyarakat relatif
tidak menjadi bahan pertimbangan dalam pemberlakuan aturan ini dimana
terdapat keterikatan nelayan Nunukan kepada para pemilik modal dari luar
Malaysia (sebagaimana telah dijelaskan bab sebelumnya).
Sebagian besar
nelayan Nunukan mendapatkan modal dari para pemilik modal Malaysia melalui
perantaraan para pedagang pengumpulnya.
Semua ketentuan dan harga
ditetapkan oleh para pemilik modal ini. Nelayan Nunukan lebih berperan sebagai
buruh saja. Akibatnya kebijakan yang membolehkan penggunaan pukat hela di
perairan ini tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan
pendapatan nelayan setempat karena adanya keterikatan permodalan dan
pemasaran kepada para pemilik modal dari Malaysia tersebut.
7.2
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan
Strategi pengembangan kelembagaan diarahkan supaya pengelolaan tersebut
berjalan efektif sesuai dengan tujuan-tujuan kelembagan yang ditetapkan.
108
Peningkatan
dan
pengembangan
kapasitas
kelembagaan
diyakini
akan
memperlancar jalannya berbagai fungsi kelembagaan, baik fungsi-fungsi di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, hukum maupun di
bidang lingkungan hidup. Berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan dalam bidangbidang tersebut secara optimal dipahami akan mampu mengentaskan lembagalembaga yang ada dari krisis multidimensi (Purwaka, 2006 dalam Lopulalan,
2009).
Dalam konteks kelembagaan, peran pemerintah relatif dominan yang
mencakup (i) penetapan tujuan pengelolaan, (ii) mendefinisikan dan menyediaan
pengetahuan untuk pengelolaan dan (iii) mendorong implementasi kebijakan
(Nielson et al, 2004).
Strategi pengembangan kelembagaan pengelola perikanan di wilayah
perbatasan dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu penetapan fungsi dan
manfaat perikanan tangkap, tujuan pengelolaan, prasyarat pengelolaan dan hukum
dan kelembagaan yang diperlukan.
1) Fungsi dan manfaat perikanan tangkap di wilayah perbatasan
Pada dasarnya perikanan tangkap sebagai salah satu sektor yang cukup
dominan dan strategis di wilayah perbatasan Nunukan mempunyai fungsi yang
sangat strategis yaitu penyangga bagi ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat
wilayah perbatasan.
Penyangga bagi ketahanan ekonomi disebabkan karena
perikanan tangkap dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat.
Aktifitas
perikanan tangkap dapat membangkitkan aktifitas perekonomian lainnya yang
terkait dengan aktifitas penangkapan ikan baik itu pra penangkapan ikan
(penyediaan kapal penangkapan, alat tangkap, dan bahan perbekalan melaut) dan
pasca penangkapan seperti pengolahan, distribusi dan pemasaran produk hasil
tangkapan. Oleh karena itu, dengan banyaknya aktifitas yang menjadi turunan
dari aktifitas penangkapan ikan, maka penangkapan ikan dapat memberikan
dampak pengganda bagi perekonomian masyarakat Kabupaten Nunukan.
Disamping itu, perikanan tangkap juga dapat menjadi sumber pendapatan negara
dari berbagai jasa yang dihasilkan.
Sebagaima penyangga ketahanan sosial, adanya aktifitas perikanan
tangkap akan menjadi wadah bagi penyatuan kelompok-kelompok sosial yang ada
di wilayah perbatasan Nunukan sekaligus meredam konflik horizontal yang terjadi
109
diantara kelompok masyarakat Nunukan maupun antara kelompok masyarakat
Nunukan dengan kelompok masyarakat Tawau Malaysia.
Sebagaimana
dijelaskan pada bab sebelumnya, sebagian besar nelayan baik di Nunukan maupun
Tawau berasal dari suku bangsa yang sama yaitu Bugis Sulawesi Selatan.
Karakteristik sosial mereka relatif sama sehingga memudahkan dalam
berkomunikasi dan menyelasaikan konflik sosial yang mungkin timbul.
2) Tujuan pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan
Pada dasarnya prinsip dasar tujuan pengelolaan perikanan tangkap adalah
tercapainya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang bertanggung jawab
dan berkelanjutan. Prinsip perikanan tangkap yang bertanggung jawab mengacu
pada Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for
Responsible Fisheries) yang dikeluarkan oleh PBB dan telah diratifikasi
Pemerintah RI. Prinsip dari CCRF ini yang kiranya relevan dengan pengelolaan
perikanan di wilayah perbatasan diantaranya adalah adanya upaya kehati-hatian
(precautionary
approach)
dalam
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan,
mengembangkan kerjasama pengelolaan, tukar menukar informasi antar instansi
dan negara, memperhatikan kelestarian lingkungan, penanganan over fishing,
pengaturan sistem perizinan penangkapan dan membangun sistem Monitoring,
Controlling dan Surveillance (MCS), integrasi perikanan ke dalam pengelolaan
wilayah pesisir. Disamping itu, tujuan pengelolaan juga mengacu pada prinsip
keberlanjutan (sustainability) dimana prinsip ini mengandung tiga pilar utama
yaitu tujuan ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan, sosial (pengentasan
kemiskinan dan pemerataan dan ekologi (pengeloaan sumberdaya ikan)
Tujuan pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan pada
dasarnya dapat mengacu pada tujuan pengelolaan perikanan pada UU no 31 tahun
2004 tentang Perikanan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa tujuan
pengelolaan perikanan adalah :
1. Meningkatkan taraf hidup nelayan dan pembudidaya ikan kecil
2. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara
3. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja
4. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan
5. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan
110
6. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing
7. Meningkatkan bahan baku untuk industri pengolahan ikan
8. Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
lingkungan sumberdaya ikan secara optimal
9. Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata
ruang
Review
terhadap
tujuan-tujuan
pengelolaan
perikanan
tersebut
menghasilkan bahwa orientasi pengelolaan perikanan lebih dominan untuk
mencapai tujuan-tujuan ekonomi sebagaimana disajikan pada Tabel 31. Tujuan
sosial dan ekologi masih belum banyak dielaborasi dengan baik.
Tabel 31
Pengelompokkan tujuan pengelolaan perikanan
Item
1.
Tujuan pengelolaan
Ekonomi
2.
3.
Mendorong perluasan dan kesempatan kerja
4.
Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein
ikan
Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan
√
Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya
saing
Meningkatkan bahan baku untuk industri pengolahan ikan
√
Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan
pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan
secara optimal
Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan
pembudidaya ikan dan tata ruang
√
6.
7.
8.
9.
Ekologi
√
Meningkatkan taraf hidup nelayan dan pembudidaya ikan
kecil
Meningkatkan penerimaan dan devisa negara
5.
Sosial
√
√
√
√
√
Berdasarkan karakteristik pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah
perbatasan dimana aspek IUU fishing dan perdagangan hasil tangkapan ke luar
negeri, maka tujuan pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan
ditekankan pula pada kedua aspek tersebut yaitu :
-
Meningkatkan pendapatan nelayan dan negara melalui penyempurnaan sistem
perdagangan hasil tangkapan ke luar negeri
-
Menjaga kelestarian sumberdaya ikan di wilayah perairan perbatasan melalui
penanganan praktek IUU Fishing
111
-
Meningkatkan kerjasama antara Indonesia dan Malaysia dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan.
3) Prasyarat pengelolaan
Pengelolaan perikanan tangkap di perbatasan merupakan suatu sistem dan
proses dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan.
Keberhasilan pencapaian
tujuan akan sangat ditentukan oleh terpenuhinya berbagai prasyarat pengelolaan.
Prasyarat tersebut meliputi :
-
Adanya landasan hukum/peraturan yang menjadi pijakan bagi berbagai
aktifitas pemanfaatan.
-
Sumberdaya manusia (human capital) yang mampu menjalankan pengelolaan
perikanan tangkap di wilayah perbatasan
-
Sarana dan prasarana (Man made capital) yang memadai untuk bisa
berjalannya pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan.
4) Hukum dan Kelembagaan yang diperlukan
Berdasarkan pada tujuan yang hendak dicapai maka diperlukan peraturan-
peraturan yang mengatur mengenai upaya-upaya pencapaian tujuan pengelolaan
perikanan tangkap di wilayah perbatasan.
Tabel 32
Tujuan yang ingin dicapai dan aturan tambahan
Tujuan yang ingin dicapai
Meningkatkan pendapatan nelayan dan
negara melalui penyempurnaan sistem
perdagangan hasil tangkapan ke luar
negeri
Menjaga kelestarian sumberdaya ikan di
wilayah perairan perbatasan melalui
penanganan praktek IUU Fishing
Meningkatkan
kerjasama
antara
Indonesia
dan
Malaysia
dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan
tangkap
Aspek yang perlu ditambahkan
Pengaturan khusus mengenai sistem
perdagangan komoditas perikanan di
wilayah perbatasan
Sistem koordinasi antar instansi yang lebih
efektif dalam menangani praktek IUU
Fishing
Pengaturan sistem kerjasama pengelolaan
sumberdaya perikanan tangkap di perairan
perbatasan
112
Tabel 33
Kegiatan dan fungsi kelembagaan
Kerjasama luar
Indonesia
Malaysia
Pengawasan dan Pengendalian
Pengembangan
pemasaran
Monitoring dan Evaluasi
Peningkatan
nilai tambah
produk
Penanganan
illegal fishing
Implementasi
Penyediaan
infrastruktur
wilayah
Penyediaan
infrastruktur
pelabuhan
perikanan
Peningkatan
kapasitas SDM
dan
kelembagaan
Peningkatan
produksi
Perencanaan
Kegiatan
Perizinan
Fungsi
Diskimpraswil
Diskimpraswil
Diskimpraswil
Diskimpraswil
Diskimpraswil
KKP, Dinas
Kelautan dan
Perikanan
KKP, Dinas
Kelautan dan
Perikanan
KKP, Dinas
Kelautan dan
Perikanan
KKP, Dinas
Kelautan dan
Perikanan
KKP, Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Perindustrian
Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Perindustrian,
KKP
Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Perindustrian,
KKP
Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Perindustrian,
KKP
Dinas
Kelautan dan
Perikanan
Perindustrian,
KKP
Dinas
Perikanan dan
Kelautan
Dinas
Perikanan dan
kelautan
Dinas
Perikanan dan
Kelautan, TNI
AL,
Kepolisian
Dinas
Perikanan dan
Kelautan, TNI
AL,
Kepolisian
Dinas
Perdagangan
dan industri
Departemen
Luar Negeri
Dinas
Perdangan
dan Industri
Dinas
Perikanan dan
Kelautan, TNI
AL,
Kepolisian
Dinas
Perdangan
dan Industri
Download