13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Definisi HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk dalam golongan virus RNA, yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa genetik. Sebagai retrovitus, HIV memiliki sifat khas karena memiliki enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus merubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang di serang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk menggandakan dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV (Depkes, 2006). HIV dapat ditemukan dan diisolasikan dari sel limfosit T, limfosit B, sel makrofag (di otak dan di paru) dan berbagai cairan tubuh. Akan tetapi sampai saat ini hanya darah dan air mani yang jelas terbukti sebagai sumber penularan serta ASI yang mampu menularkan HIV dari ibu ke bayinya (Depkes, 2006). Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebakan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Virus tersebut mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi (Depkes, 2006). HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, terutama sekali sel darah putih limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, HIV dapat juga 13 Universitas Sumatera Utara 14 menginfeksi sel Langerhans pada kulit, menginfeksi kelenjar limfe, alveoli paru, retina, serviks uteri dan otak. Virus yang masuk Limfosit T4 kemudian mengadakan diri sehingga banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri. HIV juga memiliki tat, yaitu salah satu dari sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan sel yang baru. Tat dapat mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang pada akhirnya menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi turun atau lemah. Penurunan sistem kekebalan tubuh ini menyebabkan timbulnya berbagai infeksi dan keganasan. Kondisi ini disebut AIDS (Pinem, 2009). 2.1.2 Etiologi dan Perjalanan Infeksi HIV/AIDS AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu Human T-lymphotropic (HTL II), Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), Rapid Assessment Of Vulnerability (RAV). Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang berupa agent viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan melalui darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Pada hakikatnya perjalanan alamiah infeksi HIV berlangsung sebagai berikut setelah melalui proses transmisi virus, 2 – 3 minggu kemudian muncul kejadian awal yang timbul setelah terinfeksi HIV disebut sindroma retrovirus akut atau Acute Retrovira Syndrome. Dua-tiga minggu berikutnya disusul perbaikan dan serokonversi, beberapa saat kemudian memasuki fase infeksi kronis asimtomatis (Nasronudin dan Margarita 2007). Universitas Sumatera Utara 15 Sindrom retroviral akan diikuti oleh penurunan CD4 dan peningkatan kadar RNA-HIV dalam plasma. Hitung CD4 secara perlahan akan menurun dalam waktu beberapa tahun dalam laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load atau jumlah virus akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai suatu titik tertentu. Dengan berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan akan meningkat (Depkes, 2006). Menurut Pinem (2009), perjalanan infeksi HIV dibagi dalam dua fase yaitu : 1. Fase tanpa gejala Seseorang yang terinfeksi HIV biasanya tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun. Mereka merasa sehat-sehat saja tetapi mereka akan menjadi pembawa dan penular HIV bagi orang lain melalui tindakan dan perilaku berisiko terhadap penularan AIDS. Kelompok yang sudah terinfeksi HIV tanpa gejala ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu : kelompok yang tanpa gejala dan tes darahnya negatif karena anti-bodi terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya kuman HIV ke dalam peredaran darah dan terbentuknya antibodi terhadap HIV disebut window period (periode jendela) yang memerlukan waktu 15 hari sampai 3 bulan. Pada umumnya tes HIV baru positif setelah 3 bulan sejak terinfeksi. Pada masa ini virus berkembang secara aktif dengan menurunnya limfosit T4. Kelompok yang sudah terinfeksi HIV tanpa gejala, tetapi tes darah positif. Keadaan tanpa gejala ini dapat berjalan sampai 5 tahun atau lebih, namun dapat berkisar 2-10 tahun sesudah terinfeksi bahkan dapat lebih Universitas Sumatera Utara 16 lama. Sekitar 89% penderita HIV akan berkembang menjadi AIDS. Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya infeksi HIV menjadi AIDS belum diketahui dengan jelas, tetapi diperkirakan akibat infeksi HIV secara berulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan ke arah AIDS. Tes HIV umumnya baru positif setelah 3 bulan sejak terinfeksi, namun penderita telah dapat menularkan penyakit melalui tindakan dan perilaku berisiko terhadap penularan AIDS. 2. Fase dengan gejala Pada fase ini gejala penyakit mulai timbul dengan jelas. Gejala yang sering timbul antara lain : a. Rasa lelah berkepanjangan b. Demam lebih dari 38 derajat Celcius c. Sesak nafas dan batuk berkepanjangan d. Diare lebih dari satu bulan tanpa sebab yang jelas e. Keringat malam tanpa sebab yang jelas f. Berat badan menurun secara drastis g. Kandidiasis pada mulut h. Pembesaran kelenjar di leher, ketiak, lipatan paha tanpa sebab yang jelas. Dengan berlalunya waktu, gejala penyakit menjadi semakin berat. Keadaan penyakit tergantung pada kuman yang menyerang tubuh. Penyakit yang sering ditemukan adalah : Universitas Sumatera Utara 17 a. Radang paru (Pneumonia) yang disebabkan oleh Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) b. Tuberculosis (TBC) c. Infeksi saluran pencernaan oleh berbagai jenis kuman yang menyebabkan infeksi sehingga berat badan menurun d. Kanker kulit (sarkoma kaposi); kandidiasis pada mulut, paru dan tenggorokan karena infeksi jamur dan infeksi Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes dan Toksoplasma e. Gangguan susunan saraf yang mengakibatkan gangguan mental dan koordinasi gerakan, serta kerusakan jaringan otak. Bila sudah masuk ke dalam fase ini biasanya pasien tidak dapat bertahan lagi dan meninggal karena berbagai jenis infeksi. Tetapi bila pasien mendapat pengobatan untuk memperlambat perkembangbiakan virus HIV, pasien biasanya dapat bertahan selama 2-4 tahun. 2.1.3 Penularan HIV/AIDS Menurut Pinem (2009), Virus HIV hanya dapat ditemukan dalam : 1. Cairan tubuh yaitu dalam darah termasuk darah haid dan darah plasenta pada wanita 2. Air mani/cairan lain yang keluar dari alat kelamin laki-laki, kecuali air seni 3. Cairan vagina dan cairan serviks uteri. HIV dapat ditularkan melalui : 1. Hubungan seksual (homoseksual, biseksual dan heteroseksual). Diperkirakan sekitar 95% penularan terjadi melalui hubungan seksual, Universitas Sumatera Utara 18 baik melalui vagina, dubur maupun mulut. Pada saat hubungan seks, mungkin terjadi mikrolesi akibat gesekan dan melalui lesi tadi virus yang terdapat dalam cairan tubuh pasangan seks yang mengidap HIV dengan mudah akan ditularkan kepada pasangannya. 2. Parentral Penularan secara parentral terjadi melalui penggunaan jarum suntik, transfusi darah dan alat-alat tusuk lain seperti alat tindik, pisau cukur, alat tato dan alat khitan yang terinfeksi HIV. a. Transfusi darah yang tercemar HIV Risiko tertular HIV melalui darah lebih dari 90%, artinya hampir dapat dipastikan bahwa orang yang mendapat darah yang terkontaminasi HIV akan terinfeksi HIV. Diperkirakan penularan cara ini sekitar 12%. Hal ini dapat terjadi bila pengambilan darah dilakukan tanpa melalui skrining terhadap HIV/AIDS. b. Penularan melalui jarum suntik atau alat kedokteran yang tidak steril. HIV/AIDS dapat ditularkan melalui jarum suntik bekas pengidap HIV, melalui alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum dll, alat pemeriksaan gigi, pisau bedah, alat khitan dan alat lain yang terkontaminasi darah, air mani/cairan vagina pengidap HIV. Sekitar 1% pengidap HIV tertular melalui cara ini. c. Penularan melalui alat-alat tusuk lainnya. Pengidap HIV dapat tertular melalui alat tindik/tato, dan pisau cukur yang terkontaminasi HIV/AIDS. d. Transplantasi organ tubuh Universitas Sumatera Utara 19 3. Penularan Perinatal Penularan perinatal adalah penularan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi yang dilahirkannya yang dapat terjadi selama kehamilan berkisar sekitar 5-10%, pada saat persalinan sekitar 10-20% dan pada masa nifas (saat menyusui) sekitar 10-20%. Bila ibunya pengidap HIV, dan ibu telah menunjukkan gejala AIDS, kemungkinan bayi yang dilahirkannya tertular HIV menjadi 50%. Pada proses persalinan, penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi karena kontak antara darah ibu maupun lendir ibu yang mengandung virus masuk ke dalam darah bayi. Makin lama proses persalinan berlangsung, makin lama kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu, maka semakin tinggi risiko bayi untuk tertular HIV. Penularan HIV melalui ASI kemungkinannya relatif kecil. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV terbukti mengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih rendah dari yang ditemukan dalam darah. Sekitar 10-20% bayi akan terinfeksi HIV bila disusui sampai 18 bulan atau lebih. Pada umumnya virus HIV tidak ditularkan melalui kulit, kecuali bila terdapat luka atau lecet pada kulit tersebut. Sedangkan selaput lendir seperti yang terdapat pada vagina, penis, dubur dan mulut mudah dimasuki virus tersebut terutama bila lecet akibat gesekan, maka virus akan masuk ke dalam mukosa yang tipis dan selanjutnya disebarkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah (Pinem, 2009). 2.1.4 Diagnosis HIV/AIDS Pada tahun 2006 WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak. Untuk dewasa maupun anak, stadium klinis HIV/AIDS Universitas Sumatera Utara 20 masing-masing terdiri dari 4stadium. Jika dilihat dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut : Tabel 2.1 : Klasifikasi infeksi HIV dengan gradasi klinis Gejala terkait HIV Stadium Kinis Asimptomatik 1 Gejala ringan 2 Gejala lanjut 3 Gejala berat / sangat lanjut Sumber : Depkes RI, 2006 4 Manifestasi klinis penderita HIV/AIDS dewasa dibagi menjadi empat stadium, yaitu : 1. HIV Stadium I : Asimtomatis atau terjadi PGl (Persistent Generalized Lymphadenopath) dengan penampilan klinis derajat I : asimtomatis dan aktivitasnormal. 2. HIV Stadium II : Berat badan menurun > 10%, manifestasi mukokutaneus (dermatitis seborreic, infeksi jamur pada kuku, ulserasi pada mulut berlubang), menderita herpes zoster 5 tahun terakhir, infeksi saluran nafas atas berulang (misalnya : sinusitis bakterial) dengan atau penampilan klinis derajat II : simptomatis, aktivitas normal. 3. HIV Stadium III : Berat badan menurun >10%, diare kronis dan demam dengan sebab yang tidak jelas lebih dari 1 bulan, kandidiasis oral, TB paru dalam 1 tahun terakhir dan terinfeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis) dengan penampilan klinis derajat III : berbaring di tempat tidur >50% sehari dalam 1 bulan terakhir. Universitas Sumatera Utara 21 4. HIV Stadium IV : HIV wasting syndrome, infeksi toksoplasmosis di otak, gejala-gejala infeksi pneumositosis, infeksi herpes simpleks, maupun mukokutaneus >1 bulan, dan infeksi lainnya sebagai komplikasi turunnya sistem imun dengan penampilan klinis derajat IV : berada di tempat tidur, > 50% hari dalam bulan-bulan terakhir (Nasronudin dan Margarita, 2007). 2.2 Komponen Layanan HIV 2.2.1 Layanan Kesehatan Bagi ODHA Mengacu pada SK Menkes no 832/X/2006, maka strata pelayanan kesehatan bagi ODHA di sarana kesehatan di Indonesia dibagi menjadi 3 strata yaitu : 1) Sarana Layanan Kesehatan Strata III Sarana layanan kesehatan strata III atau rumah sakit rujukan tertier, merupakan rumah sakit rujukan yang berupa pusat rujukan nasional, regional atau provinsi. Rumah sakit tersebut memiliki klinis yang pakar di bidang tatalaksana HIV-AIDS dan mampu melakukan diagnosis dan terapi yang lebih canggih. Para pakar di rumah sakit rujukan strata III diharapkan juga mampu memberikan konsultasi, pelatihan atau bimbingan klinis bagi tenaga di layanan kesehatan strata II yang pada umumnya berupa rumah sakit di kabupaten/kota. Layanan yang ditawarkan dapat berupa layanan rawat jalan maupun layanan rawat inap. 2) Sarana Layanan Kesehatan Strata II Sarana layanan kesehatan strata II atau seringkali disebut juga sebagai rumah sakit rujukan sekunder atau tingkat menengah, yang biasanya merupakan rumah sakit kabupaten/kota sebagai Pusat PDP HIV-AIDS Strata II. Universitas Sumatera Utara 22 3) Sarana Layanan Kesehatan Strata I Layanan kesehatan strata I merupakan layanan kesehatan dasar yang biasanya diselenggarakan oleh puskesmas dan atau layanan kesehatan berbasis masyarakat. Biasanya terkait dengan perawatan berbasis masyarakat atau perawatan berbasis rumah. 2.2.2 Konseling dan Tes HIV Konseling dan tes HIV adalah dialog antara klien/pasien dan konselor/tenaga kesehatan dengan tujuan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV (Ubra, 2012). Dalam proses konseling dan tes HIV dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu : 1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS - VCT = Voluntary Counseling and Testing / Client Initiated Counseling and Testing = CICT) Konseling dan tes HIV atas inisiasi klien ini bertujuan untuk : a. Pencegahan penularan HIV dengan menyediakan informasi tentang perilaku beresiko (seperti seks aman atau penggunaan jarum bersama) dan membantu orang dalam mengembangkan keterampilan pribadi yang diperlakukan untuk perubahan perilaku dan negoisasi praktek lebih aman. b. Menyediakan dukungan psikologis, sosial, dan spiritual seseorang yang terinfeksi virus HIV atau virus lainnya. c. Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, terapi dan perawatan melalui pemecahan masalah kepatuhan berobat. 2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif tenaga kesehatan (KTIP – PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling). Universitas Sumatera Utara 23 Tes HIV dilakukan oleh tenaga kesehatan ketika pasien datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan dan terindikasi terkait infeksi HIV. Inisiasi HIV oleh tenaga kesehatan harus selalu didasarkan atas kepentingan kesehatan dan pengobatan pasien. Untuk itu perlu memberikan informasi yang cukup sehingga pasien mengerti dan mampu mengambil keputusan menjalani tes HIV secara sukarela, bahwa konfidensialitas terjaga terhubung dengan rujukan konseling pasca tes oleh konselor sesuai dengan kebutuhan klien dan menyediakan rujukan konseling ke pelayanan dukungan dan perawatan yang memadai. Penerapan konseling dan tes atas inisiasi tenaga kesehatan (KTIP) bukan berarti menerapkan tes HIV secara mendatori atau wajib. Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip Counseling, Consent, Confidentiality – 3C) dan (Reporting dan Recording – 2R) tetap harus diterapkan dalam pelaksanaannya (Kemenkes RI, 2011). Universitas Sumatera Utara 24 Tabel 2.2 Perbandingan Metode Pendekatan KTIP dan KTS Konseling Tes atas Inisiatif Petugas Kesehatan (KTIP) Konselinga dan tes disarankan dan dilakukan oleh tenaga medis sebagai bagian dari pelayanan medis. Pelayanan diberikan secara rahasia dan didokumentasikan dalam rekam mesdis. Fokus utama adalah identifikasi pasien terinfeksi HIV dan menghubungkan mereka dengan layanan kesehatan. Consent verbal harus diperoleh dan didokumentasikan dalam rekam medis. Hasil tes pertama dilihat oleh tenaga medis untuk menentukan diagnosis dan tata laksana berikutnya. Sumber : Djauzi, S. dkk 2014 Konseling Tes HIV Sukarela (KTS) Klien yang memilih untuk menjalani konseling dan tes. Klien dapat memilih apakah pelayanan diberikan secara rahasia atau anonim. Fokus utama adalah mencegah infeksi HIV secara individual dengan identifikasi dan manajemen resiko. Klien harus memberikan consent tertulis dengan tanda tangan atau cap jari. Hasil tes pertama dilihat oleh klien dan konselor untuk menentukan keputusan secara personal. 2.2.3 Prinsip Pelayann Konseling dan Tes HIV Beberapa prinsip layanan dan tes HIV : 1. Sukarela prinsip dalam melaksanakan tes HIV. Pemeriksaan tes HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. 2. Saling membangun kepercayaan dan menjaga konfidensialitas. 3. Layanan harus bersifat profesional, mengahrgai hak dan martabat semua klien/pasien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan tenaga kesehatan tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Konfidensialitas dapat dibagi sesuai kebutuhan klien/pasien. 4. Mempertahankan hubungan relasiefektif. Universitas Sumatera Utara 25 5. Konselor/petugas medis mendorong klien/pasien untuk kembali mengambil hasil tes dan mengikuti konseling pasca tes untuk mengurangi perilaku beresiko. Di dalam konseling dan tes HIV dibicarakan juga respon dan perasaan klien ketika menerima hasil tes pada sesi tahap penerimaan. 6. Tes HIV merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses konseling dan tes HIV. 2.3 Pengobatan Antiretroviral (ARV) 2.3.1 Definisi Antiretroviral (ARV) Antiretroviral adalah obat yang dirancang untuk menghambat replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan menekan perkembangan penyakit HIV/AIDS di dalam tubuh si penderita HIV. Obat tersebut (ARV) tidak membunuh virus, namun dapat memperlambat pertumbuhan virus, waktu pertumbuhan virus diperlambat, begitu juga penyakit HIV. Karena HIV adalah retrovirus, obat-obat ini biasa disebut sebagai terapi antiretroviral (Depkes RI, 2006). Terapi dengan ARV merupakan strategi yang secara klinis paling berhasil hingga saat ini. Sebelum mendapat ARV, ODHA harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan, sehingga pasien paham benar akan manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda bahaya lain dan sebagainya yang terkait dengan ARV. ODHA yang mendapat ARV harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan secara klinis dengan teratur. Universitas Sumatera Utara 26 2.3.2 Tujuan Pengobatan ARV atau Antiretriviral Therapy (ART) Tujuan pengobatan antiretroviral atau antiretroviral therapy secara umum disingkat sebagai ART, adalah sebagai berikut : 1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat 2. Memulihkan atau memelihara fungsi imunologis (peningkatan sel CD4) 3. Menurunkan komplikasi akibat HIV 4. Memperbaiki kualitas hidup ODHA 5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus 6. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV. 2.3.3 Manfaat Pengobatan ARV atau Antiretroviral Therapy (ART) Antiretroviral merupakan suatu revolusi dalam perawatan ODHA. Terapi dengan obat antiretroviral (ARV) atau Anti Retroviral Teraphy (ART) telah menyebabkan penurunan angka kematian dan kesakitan bagi ODHA. Manfaat terapi antireroviral adaah sebagai berikut : 1. Menurunkan morbiditas dan mortalitas 2. Pasien dengan ARV tetap produktif 3. Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis infeksi oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi 4. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi, namun ODHA dengan viral load tidak terdeteksi harus dipandang tetap menular 5. Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu Universitas Sumatera Utara 27 6. Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status HIV-nya secara sukarela. 2.3.4 Pemeriksaan Yang Dilakukan Sebelum memulai Terapi Antiretroviral A. ANAMNESIS Riwayat medis yang perlu ditanyakan : 1. Kapan dan di mana diagnosis terinfeksi HIV ditegakkan 2. Siapa yang diperkirakan sebagai sumber penularan 3. Keluhan dan gejala yang dialami akhir-akhir ini 4. Riwayat medis di masa lalu, keluhan, diagnosis dan terapi yang telah diberikan 5. Keluhan maupun terapi TB sebelumnya 6. Riwayat kemungkinan penyakit menular seksual 7. Riwayat kehamilan 8. Riwayat terapi ARV sebelumnya 9. Riwayat kontak seksual dan kebiasaan sosial. B. PEMERIKSAAN FISIK 1. Pengukuran berat badan 2. Pemeriksaan kulit : herpes zoster, dermatitis HIV 3. Mukosa orofaring : Kandidiasis, sarkoma Kaposis’s 4. Pemeriksaan jantung dan paru 5. Pemeriksaan abdomen, neurologis, psikiatrik, fundus optik dan fraktus genitourinarius. Universitas Sumatera Utara 28 C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM I. PEMERIKSAAN ESENSIAL a. Selorogi HIV b. Hitung linfosit CD4+ atau hitung limfosit total c. Pemeriksaan darah lengkap dan profil kimia klinis d. Tes kehamilan atas dugaan e. HIV-RNA viral load II. PEMERIKSAAAN TAMBAHAN ATAS INDIKASI a. Foto toraks b. Urin untuk pemeriksaan rutin dan mikroskopik c. Pemeriksaan serologi hepatitis virus B dan C d. Toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo e. Histoplasmosis, kandidiasis, kriptokokus (Nasronudin dan Margarita, 2007). Dengan diketahui kondisi klinis yang dapat ditetapkan stadium klinis dari pasien dan dapat menjadi dasar untuk memulai terapi ARV. Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV adalah : 1. Pasien harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan yang telah baku, sehingga pasien paham benar akan manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda-tanda bahaya dan lain sebagainya yang terkait dengan terapi ARV. 2. Pasien yang akan mendapat terapi ARV harus memiliki pengawas minum obat (PMO), yaitu orang dekat pasien yang akan mengawasi kepatuhan minum obat. Universitas Sumatera Utara 29 3. Pasien yang mendapat terapi ARV harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan klinis dengan teratur (Depkes, 2007). Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa : a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4 Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis. b. Tersedia pemeriksaan CD4 Rekomendasi : 1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4<350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. 2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4. Tabel 2.3 Saat memulai terapi pada ODHA dewasa Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 Stadium IV : tanpa memandang jumlah limfosit total Stadium III : tanpa memandang jumlah limfosit total Stadium II : dengan jumlah limfosit <1200/mm³ Bila tersedia pemeriksaan CD4 Target Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Populasi ODHA Dewasa Stadium klinis 1 dan 2 > 350 sel/mm³ Rekomendasi Belum memulai terapi. Monitor gejala klinis dan jumlah sel CD4 setiap 6 – 12 bulan Universitas Sumatera Utara 30 < 350 sel/mm³ Mulai terapi Stadium klinis 3 Berapapun jumlah Mulai terapi dan 4 sel CD4 Pasien dengan Apapun Stadiun Berapapun jumlah Mulai terapi koinfeksi TB klinis sel CD4 Pasien dengan Apapun Stadiun Berapapun jumlah koinfeksi klinis sel CD4 Mulai terapi Hepatitis B Kronik aktif Ibu Hamil Apapun Stadiun Berapapun jumlah Mulai terapi klinis sel CD4 Sumber : Kemenkes RI 2011TentangPedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa 2.3.5 Prinsip Pengobatan ARV Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV berdasarkan 5 aspek yaitu : a. Efektivitas b. Efek samping/toksisitas c. Interaksi Obat d. Kepatuhan e. Harga Obat Prinsip dalam pemberian ARV adalah sebagai berikut : 1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat. 2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses pelayanan ARV. 3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik yang baik. Universitas Sumatera Utara 31 Antiretroviral Therapy (ART) hanya berhasil jika dipakai secara patuh, sesuai dengan jadwal, biasanya dua kali sehari, setiap hari. Kalau dosis terlupakan, keefektivan terapi akan cepat hilang. ARV diberikan sesuai dengan perkembangan siklus HIV di dalam tubuh. ARV golongan pertama adalah Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NsRTI) disebut juga analog nukleosida. Obat ini menghambat langkah kode genetik HIV dari RNA dirubah menjadi DNA. Jenis obat golongan ini telah mendapat persetujuan Amerika Serikat dan digunakan oleh pasien HIV. Golongan obat kedua untuk menghambat langkah yang sama dalam siklus HIV seperti golongan Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI). Berikut adalah 12 jenis nama obat Antiretroviral yang sudah disahkan oleh WHO pada April 2002, yaitu : Tabel 2.4 Nama Obat Antiretroviral Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NsRTI) Abacavir (ABC) Tablet 300 mg, oral 100 mg/5ml Didanosine (ddl) Tablet 25 mg, 100 mg, 150 mg, 200 mg Lamivudine (3TC) Tablet 150 mg, oral 50 mg/5ml Stavudine (d4T) Kapsul 15 mg, 20 mg, 30 mg, 40 mg, oral 5mg/ml Zidovudine (ZDV or AZT) Kapsul 100 mg, 250 mg, 300 mg, injeksi 10mg/ml dalam 20 ml vial; oral 50 mg/ml Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Efavirenz (EFV or EFZ) Kapsul 50 mg, 100 mg, 200 mg Nevirapine (NVP) Tablet 200 mg, oral suspensi 50mg/5ml Protease Inhibitors (PI) Indinavir (IDV) Kapsul 100 mg, 200 mg, 333 mg, 400 mg Ritonavir Kapsul 100 mg, oral 400 mg/5ml Universitas Sumatera Utara 32 Lopinavir + Ritonavir (LPV/r) Kapsul 133,3 mg + 33 mg, oral 400 mg/5ml + 100 mg/5ml Nelfinavir (NFV) Tablet 250 mg, powder 50 mg/g Saquinavir (SQV) Kapsulgel filled 200 mg a Ritonavir direkomendasikan digunakan dalam bentuk kombinasi dengan indinavir, lopinavir dan saquinavir sebagai pendukung dan bukan sebagai obat yang berfungsi sendiri. Sumber : The Use of Antiretroviral Therapy; A Simplified Approach for Resourceconstrained Countries, WHO, 2002 2.3.6 Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah kombinasi obat Antiretroviral (ARV) yang umumnya digunakan di Indonesia yaitu kombinasi Zidovudin (ZDV)/Lamivudin (3TC), dengan Nevirapin (NVP) untuk lini pertama. Berikut adalah tabel kombinasi ARV lini pertama yang direkomendasikan Depkes RI, yaitu : Tabel 2.5 Kombinasi ARV Lini Pertama pada ODHA Dewasa AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine) ATAU AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) ATAU TDF + 3TC (atau (Tenofovir FTC) + NVP TDF +3TC FTC) + EFV + Lamivudine (atau Emtricitabine)+Nevirapine) (atau (Tenofovir + ATAU Lamivudine(atau Emtricitabine) + Efavirenz) Sumber: Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa dan Remaja, Kementerian Kesehatan RI 2011 Universitas Sumatera Utara 33 2.4 Bagan Alur Layanan Terapi ARV Gambar 2.1 Bagan alur layanan pengobatan pada ODHA ODHA Langkah tatalaksana terdiri dari : Pemeriksaan fisik lengkap dan lab untuk mengidentifikasi IO Penentuan stadium klinis Skrining TB Skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk BUMIL Pemeriksaan CD4 (bila tersedia) untuk menentukan PPK dan ART Pemberian PPK bila tidak tersedia tes CD4 Identifikasi solusi terkait adherence Konseling positive prevention Konseling KB (jika rencana punya anak) Memenuhi syarat ARV Tidak ada IO (Infeksi Opurtunistik) Mulai terapi ARV Belum memenuhi syarat ARV Cari solusi terkait kepatuhan secara tim hingga ODHA dapat patuh dan mendapat akses Terapi ARV Ada IO Obat IO 2 minggu selanjutnya mulai terapi ARV ODHA ada kendala kepatuhan (adherence) Berikan rencana pengobatan danpemberian Terapi ARV Vaksinasi bila pasien mampu Mulai ARV jika Odha sudah memenuhi syarat Terapi ARV Sumber : Kemenkes RI, 2011 Tentang Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Universitas Sumatera Utara 34 2.5 Kepatuhan Pengobatan ARV 2.5.1 Definisi Kepatuhan dalam Mengonsumsi Obat Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Kepatuhan pasien didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan di mana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter. Kepatuhan berarti menghabiskan obat persis sesuai dengan aturan, yaitu obat yang benar, pada waktu yang benar dan dengan cara yang benar (Science, 2010). Alasan utama terjadinya kegagalan terapi ARV adalah kepatuhan atau adherence yang buruk. Untuk itu, kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan dalam mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Studi menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Faktor yang terkait dengan rendahnya kepatuhan berobat dapat disebabkan pula oleh hubungan yang kurang serasi antara pasien HIV dengan tenaga kesehatan, jumlah pil yang harus diminum, lupa, depresi, tingkat pendidikan, kurangnya pemahaman pasien tentang obat – obat yang harus di telan dan tentang toksisitas obat dan pasien terlalu sakit untuk menelan obat (Depkes, 2007). Sebelum memulai terapi harus dimantapkan terlebih dahulu mengenai pemahaman pasien tentang terapi ARV termasuk dengan segala konsekuensinya yaitu penjelasan secara rinci tentang kepatuhan minum obat dan dampak akibat Universitas Sumatera Utara 35 kelalaian minum obat agar dapat meningkatkan rasa tanggung jawab pasien dalam pengobatan. Selain itu yang perlu diketahui oleh pasien adalah kemungkinan timbulnya efek samping yang akan diterima oleh pasien. ART merupakan terapi yang kompleks dengan medikasi yang lebih dari satu macam dan diminum untuk jangka panjang. Kepatuhan atau Adherence yang efektif untuk terapi sebesar lebih dari 95%, karena itu minum obat harus tepat dosis, tepat waktu dan tepat cara. Kekurangan kepatuhan minum obat akan membuat ODHA resisten terhadap terapi dengan konsekuensi dapat menularkan virus yang resisten kepada orang lain. Konselor bertugas menerapkan konseling dukungan kepatuhan atau adherence dan menyampaikan cara dasar obat ARV, terjadinya kegagalan terapi dan cara menghindarkan diri dari ketidakpatuhan. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien untuk patuh meminum obat (Kemenkes, 2011). 2.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan 1. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman, jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan membantu pasien. 2. Karakteristik pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, ras/etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan, Universitas Sumatera Utara 36 dan asal kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja seks komersial) dan faktor psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV dan terapinya). 3. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan), karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk mendapatkan ARV. 4. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum. 5. Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-tenaga kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi yang melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan pasien (Kemenkes RI, 2011). Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan yaitu : Universitas Sumatera Utara 37 1. Komunikasi Berbagai aspek komunikasi antara pasien dan dokter mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, Ketidakpuasan misalnya terhadap informasi aspek dengan hubungan pengawasan emosional yang kurang. dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang di berikan. 2. Pengetahuan Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian antibiotik untuk mencegah timbulnya penyakit infeksi. 3. Fasilitas kesehatan Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting di mana dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan. 4. Variabel program teraupetik seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak menyenangkan. Sementara itu menurut Niven (2002) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah : 1. Dukungan keluarga Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga merupakan bagian yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tentram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya. Karena dengan dukungan tersebut Universitas Sumatera Utara 38 akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi dan mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran yang diberikan dari keluarga untuk menunjang pengelolahan penyakitnya. 2. Dukungan sosial Dukungan Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga, teman, rekan sepenanggungan. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan. Dukungan sosial nampaknya efektif di negara seperti Indonesia yang memiliki status sosial lebih kuat, dibandingkan dengan negara-negara barat. Berdasarkan teori perilaku menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku terdiri atas 3 faktor yaitu, faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor), faktor pendorong (reinforcing factor). Jika dikaitkan dengan perilaku pasien HIV/AIDS dalam menjalani terapi ARV maka dapat di jelaskan sebagai berikut : 1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang menimbulkan motivasi untuk bertindak dan mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya. Dalam penelitian ini meliputi pengetahuan, persepsi, riwayat efek samping dan pengalaman stigma di layanan kesehatan. Universitas Sumatera Utara 39 2. Faktor Pendukung (Enabling Factor) Faktor pendukung dalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pendukung adalah sarana, prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. Dalam penelitian ini meliputi akses layanan kesehatan dan paduan terapi antiretroviral. 3. Faktor Pendorong (Reinforcing Factor) Faktor yang merupakan penguat terjadinya suatu perilaku meliputi dukungan sosial, dukungan keluarga, pengaruh teman sebaya. 2.6 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka tersusun kerangka konsep penelitian yang dimodifikasi dari teori perilaku Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), sebagaimana gambar 2.2 berikut ini. Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) : 1. Pengetahuan 2. Persepsi 3. Riwayat Efek Samping 4. Pengalaman stigma di layanan kesehatan Faktor Pendukung (Enabling Factor) : 1. Akses layanan kesehatan 2. Pelayanan Konseling Kepatuhan Kepatuhan Pasien HIV/AIDS Dalam Menjalani Terapi Antiretroviral Faktor Pendorong (Reinforcing Factor) : 1. Dukungan Keluarga 2. Dukungan Komunitas Sebaya Universitas Sumatera Utara