BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum, tidak sesuai dengan rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan normanorma moral yang berlaku dalam masyarakat Indonesia sebagai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (the living law). Denga dihapuskannya sifat melawan hukum materiil dalam UUPTPK secara tidak langsung MK mengabaikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. MK menganggap bahwa konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pertimbangan ini tentusaja tidak memenuhi tiga nilai dasar hukum yaitu .keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Dengan dikelurkannya putusan a quo, rasa kepastian hukum sudah pasti terpenuhi karena UUPTPK hanya menerapkan sifat melawan hukum formil saja. Namun disisi lain nilai keadilan dan nilai kemanfaatan akan terabaikan dengan dihapuskannya sifat melawan hukum materiil. Rasa keadilan dalam masyarakat tidak lagi menjadi pertimbangan dalam penegakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Padahal seharusnya nilai keadilan harus ditempatkan pada posisi teratas, karena hukum harus dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Plato menyatakan keadilan merupakan nilai kebajikan untuk semua yang diukur dari apa yang seharusnya dilakukan secara moral, bukan hanya diukur dari tindakan dan motif manusia. Akibat dari nilai keadilan tidak terpenuhi makan nilai kemanfaatan hukum pun juga tidak terpenuhi. Masyarakat tidak akan merasakan manfaat dari diterapkannya UUPTPK karena kaena masyarakat menilai tidak ada lagi rasa keadilan didalamnya. Seperti yang dikemukakan Sudikno Mertokusumo, masyarakat mengaharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat mendatangkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Kehadiran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUUIV/2006 adalah kontraproduktif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, dalam mana korupsi (tindak pidana korupsi) adalah masalah sosial kebangsaan yang tidak berkesudahan sejak bertahuntahun silam. Kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hukum pemberantasan korupsi, hukum berfungsi untuk menyelesaikan masalah sosial korupsi itu sendiri. Akan tetapi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 justru menganulir dengan mempersempit batasan perbuatan “melawan hukum” yang diatur dalam kedua undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut, sehingga hanya menjadi perbuatan “melawan peraturan perundang-undangan” saja, bukan lagi “melawan hukum”. Dengan demikian pemberantasan korupsi akan semakin sulit, penyelesaian masalah sosial korupsi yang diharapkan itu menjadi semakin sulit diwujudkan. B. SARAN. 1. Pembentuk undang-undang perlu melakukan Reformulasi dan Rasionalisasi peraturan perundang-undangan untuk menghindari benturan interpretasi yang menyesatkan atau sengaja dapat disesatkan dalam pelaksanaan penegakan hukum perkara korupsi. 2. Dalam menangani kasus-kasus korupsi berkaitan dengan unsur secara melawan hukum, maka Hakim hendaknya bertolak dari pengertian norma sebagai peraturan, azas dan kebijakan disamping menginterpretasikan berdasarkan moralitas hukum.