Chapter II - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 MENINGIOMA
Pada abad 18 dan 19 meningioma hanya dapat terdiagnosa pada pasien bila
pasien tersebut mengalami perubahan pada tulang tengkorak yang didekatnya,
sehingga tampak pada inspeksi maupun palpasi. Hanya sedikit usaha
pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat lesi ini, dan hanya sedikit saja
yang menguntungkan pasien. Dari 13 operasi yang dilakukan antara 1743 da
1896, 9 pasien mengalami kematian.
Pada 1894 John Cleland, seorang profesor anatomy di Glasgow
menemukan bahwa dua tumor meningioma yang ditemukannya di ruang diseksi,
berasal dari arachnoid dan bukan duramater. Pada 1915 pendapat ini kembali
ditegaskan oleh Cushing dan Weed.
Tumor ini kemudian telah mendapatkan berbagai penamaan termasuk
fungoid tumor, sarcoma, cylindroma, endothelioma, dan fibroma. Cushing
mengajukan nama mengiothelioma sebagai usaha untuk menjelaskan tumor ini
berdasarkan jaringan yang terlibat. Cushing berusaha untuk menghindarkan
nama histologis karena pada saat tersebut komposisi tumor masih belum jelas,
dia juga berusahan menghindarkan penggunaan nama berdasar letak anatomis
karena tumor ini dapat terdapat pada daerah yang sangat bervariasi. Kemudian
Cushing lebih memilih untuk menggunakan nama meningioma.
EPIDEMIOLOGI
Meningioma adalah tumor yang berasal dari arachnoid cap cell yang terdapat
pada selaput arachnoid yang melapisi seluruh permukaan otak. Meningioma
dapat terjadi dimana saja di seluruh permukaan otak termasuk dasar tengkorak
dan walaupun jarang pada sistem ventrikel (Louis et al, 2000). Meningioma
merupakan 13-26% dari semua tumor primer intra kranial (Perry et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
PATOLOGI
Pada tahun 2000 klasifikasi WHO dari tumor susunan saraf pusat (SSP)
mengelompokkan meningioma ke dalam kelompok ‘tumours of the meninges’
dan lebih lanjut menyebutkannya sebagai ‘tumours of meningothelial cells’.
WHO mengelompokkan meningioma menjadi 3 derajat histologi berdasarkan
risiko rekurensi dan agresifitas pertumbuhan.
Meningioma biasanya berbentuk bulat, berkapsul. Tumor ini melekat
pada duramater dan menekan otak dibawahnya tanpa menginvasinya. Walaupun
meningioma sering menginvasi dura dan sinus, tumor ini biasanya dapat dengan
mudah dipisahkan dari pia mater. Meningioma juga dapat berbentuk datar,
membentuk seperti tulang yang mendasarinya. Tumor ini disebut sebagai enplaque meningioma, yang lebih sering ditemuak pada tulang sphenoid.
Meningioma jarang terjadi pada daerah dimana perlekatan dura tidak tampak,
seperti intraventrikular atau intra parenkim.
Distribusi meningioma intrakranial adalah sebagai berikut: convexity
(35%), para sagittal (20%), sphenoid ridge (20%), intraventricular (5%),
tuberculum sellae (3%), infratentorial (13%), dan lain-lain (4%).
Pada gambaran struktur ultra yang tampak pada mikroskop elektron,
meningioma memiliki gambaran yang menyerupai vili arachnoid normal:
interdigitasi yang prominen dari membran plasma, filamen intermediate
sitoplasma yang sangat banyak dan secara imunohistokimia konsisten dengan
vimentin, dijumpainya hemidesmosome, dan deposit interselular fokal yang
terdiri dari material granular yang kaya elektron. Arachnoid dan sel meningioma
terhubung oleh epithelial cadhenrins (E-cadherins), yang merupakan molekul
adhesi yang tergantung Ca2+, dan keduanya mengekspresikan gluotathioneindependent prostaglandin D2 synthase.
Gambaran histologi meningioma meningothelial (syncytial) memiliki ciri
sel yang tersusun rapat dengan batas sitoplasma yang tidak jelas.
Universitas Sumatera Utara
GRADE MENINGIOMA
GRADE I
GRADE II
GRADE III
Meningiothelial
Atypical
Rhabdoid
Fibrous
Clear cell
Papillary
(Fibroblastic)
Chordoid
Anaplastic (malignant)
Transitional
Psammomatous
Microcystic
Secretory
Lymphoplasmacyterich
Metaplastic
Tabel 1. Grade Histopatologi Meningioma. (Louis DN, Scheihauer BW, Budka H,
et al. Meningiomas. In: Kleihues P, Cavenee WK, eds. Pathology and Genetics of
Tumours of the Nervous System.Lyon, France: IARC Press: 2000:176-180)
Secara mikroskopis, tumor ini menyerupai sel arachnoid normal. Dapat
dijumpai whorls (bentuk kumparan), tetapi tidak prominen. Whorls yang
termineralisasi, mengandung calcium apatite dan kolagen, disebut sebagai
psammoma bodies (Psammos dalam bahasa Yunani memiliki pengertian ‘pasir’).
Gambaran yang berbeda dari meningioma termasuk sisa sitoplasma yang
menempati bagian dalam nukleus dan mengantikan chromatin inti. Ciri lain yang
berguna adalah keberadaan Orphan Annie’s eye nuclei, yaitu nukleus yang
berbentuk seperti target dengan inti yang jernih dan pada tepinya dibatasi oleh
chromatin.
Secara mikroskopis, meningioma fibroblastic menunjukkan gambaran sel
spindel yang memanjang dan tersusun berlapis-lapis. Stroma terdiri dari serat
reticulin dan kolagen. Meningioma transitional merupakan kombinasi tipe
meningothelial dan fibroblastic. Tipe ini memiliki ciri kumparan selular, yang
dipisahkan oleh sel spindel yang memanjang. Variasi pada histologi meningioma
dapat menunjukkan mutasi pada lokus genetik yang berbeda, dimana loss of
heterozytosity pada kromosom 22 lebih umum dijumpai pada tipe fibroblastic
dibanding varian meningothelial.
Banyak varian meningioma lain yang telah dilaporkan termasuk
psammomatous, angiomatous, microcystic (humid), xanthomatous, lipoblastic,
Universitas Sumatera Utara
myxoid (myxomatous), osteoblastic, chondroblastic, secretory, melanotic,
lymphofollicular, chordoid, hemangiopericytic, oncocytic, dan papillary. Tidak
semua istilah untuk varian ini digunakan pada saat ini.
Meningioma atypical berhubungan dengan angka rekurensi yang lebih
tinggi dan pertumbuhan yang lebih agresif. Kriteria yang digunakan untuk
mendiagnosa meningioma atipikal tidak tergantung pada subtipe meningioma.
Meningioma atipikal menunjukkan gambaran peningkatan aktifitas mitosis atau
tiga atau lebih gambaran berikut: peningkatan selularitas, sel kecil dengan rasio
nukleus dan sitoplasma yang tinggi, nukleoli yang prominen, pertumbuhan yang
tak berpola atau sheetlike growth, dan fokus nekrosis. Untuk varian ini,
peningkatan aktifitas mitosis telah dideskripsikan sebagai empat atau lebih
mitosis per 10 kali pembesaran kuat (high power field).
Definisi pasti dari meningioma maligna dan anaplastik masih menjadi
perdebatan. Satu ciri khusus yang tidak diragukan lagi menjadi ciri meningioma
maligna adalah: metastasis ekstraneural jauh. Tempat tersering yang menjadi
metastase meningioma adalah liver, paru, pleura, dan lymph nodes.
Pemeriksaan epithelial membrane antigen (EMA) adalah positif pada 80%
meningioma. Hasil pewarnaan S-100 adalah cukup bervariasi. Meningioma juga
mengekspresikan marker untuk fibroblasts (vimentin) dan sel epitel (EMA dan
cytokeratins). Antileu7, merupakan antibody yang ditemuaka pada schwannoma,
tidak ditemukan pada meningioma. Glial fibrillary acidic protein (GFAP) juga
negatif
pada
meningioma.
Meningioma
meningothelial
dan
syncytial
mengekspresikan E-cadherin.
RADIOLOGI
Foto polos pada meningioma menunjukkan tiga temuan khas: hyperostosis,
peningkatan gambaran vaskularisasi, dan kalsifikasi. Pada CT non kontras,
meningioma secara tipikal menunjukkan gambaran isodense sampai sedikit
hyperdense. Kalsifikasi dapat dijumpai. Meningioma biasanya menyangat kontras
dengan homogen dan kuat. Tumor ini berbatas tegas dan biasanya terletak pada
Universitas Sumatera Utara
struktur tulang atau pun dura. Manifestasi perubahan tulang yang sering
dijumpai adalah hyperostosis. Sekitar 15% meningioma benigna memiliki
gambaran yang tidak khas, termasuk nekrosis sentral atau dijumpainya kavitasi
kista (cystic meningioma). Edema peritumoral yang mengelilingi meningioma
bervariasi. Dura mater yang melekat dapat menunjukkan penyangatan kontras,
temuan ini dikenal sebagai dural tail.
Pada T1WI MRI, 60% meningioma adalah isointense dan 30% lainnya
sedikit hypointense dibandingkan dengan gray matter. Pada T2WI, tumor
menunjukkan gambaran isointense (50%) atau sedikit hyperintentse (40%).
Gambaran hyperintense pada T2WI mengindikasikan tingginya kandungan air,
sering dijumpai pada meningioma meningothelial, vaskular, atau yang agresif.
TERAPI PEMBEDAHAN DAN REKURENSI TUMOR
Terapi definitif satu-satunya untuk meningioma adalah reseksi bedah total.
Semakin sedikit tumor yang tersisa, akan memberikan kesempatan rekurensi
tumor yang lebih kecil. Pada 1957 Simpson memperkenalkan lima tingkatan
klasifikasi untuk reseksi bedah pada meningioma.
Simpson Grading System
GRADE
I
II
III
IV
V
Tabel
DESCRIPTION
10 Years
Recurrence
Macroscopically complete tumor remofal with excision of the
9%
tumor’s dural attachment and any abnormal bone
Macroscopically complete tumor removal with coagulation of
19%
its dural attachment
Macroscopicallay complete removal of the intradural tumor
29%
without resection of coagulation of its dural attachment or
extradural extension
Subtotal removal of the tumor
40%
Simple decompression of the tumor
2. Sistem Klasifikasi Meningioma Berdasarkan Derajat Pengangakatan
Masa Tumor Durante Operasi. Simpson D. The recurrence of intracranial
mengiomas after surgical treatment. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1957;20:22
Universitas Sumatera Utara
Rekurensi untuk grade I adalah sekitar 10%; tumor dengan grade II
memiliki angka rekurensi dua kali lebih tinggi. Angka rekurensi tumor jauh lebih
tinggi sesuai dengan Simpson grade. Reseksi tumor yang menyertakan reseksi
tambahan pada dura mater sejauh 2 cm dikenal sebagai grade 0. Pada satu studi
disebutkan bahwa tidak dijumpai rekurensi pada pasien yang mendapatkan
reseksi dengan Simpson grade 0.
THE P53 NETWORK– APOPTOSIS
Paparan terhadap stress selular dapat memicu protein tumor supressor p53
untuk menginduksi fase istirahat siklus sel atau apoptosis. Respon yang terjadi
dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk jenis sel dan stress selular, dan
pengaruh co-activator dari p53. p53 menstimulasi sinyal selular yang secara luas
bertindak melalui dua pathway apoptosis utama. Pada extrinsic pathway, death
receptor memicu aktivasi cascade caspase. Intrinsic pathway, melibatkan
mitokondria dan perubahan keseimbangan famili Bcl-2 menjadi pro apoptosis,
sehingga memicu pembentukan apoptosome, dan sebagai akibatnya apoptosis
yang diperantarai oleh caspase.Dampak dari kedua pathway apoptosis ini dapat
diperkuat pada saat kedua pathway bertemu melalui Bid, yang merupakan target
p53. Kebanyakan efek apoptosis diperantari oleh induksi dari gen target
apoptosis spesifik. Walau demikian, p53 dapat juga memicu apoptosis dengan
mekanisme yang diperantarai oleh transkripsi pada keadaan tertentu. (Haupt,
2003).
Pencegahan
pembentukan
kanker
melibatkan
mekanisme
yang
tergantung protein tumor supressor p53. Kemampuan p53 untuk mengeliminasi
dampak yang berlebih dari sel yang rusak atau terinfeksi sangat vital terhadap
regulasi proliferasi sel yang baik pada organisme multiselular. (Huang dan
Strasser,2000).
P53 diaktivasi oleh sinyal eksternal dan internal yang memicu
akumulasinya dalam bentuk yang aktif. Kemudian p53 akan menginduksi fase
istirahat siklus sel ataupun apoptosis. Kedua fungsi ini sangat penting untuk
Universitas Sumatera Utara
fungsi supresi tumor. Kemampuan menginhibisi pertumbuhan sel akan
mencegah proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA dengan potensi
transformasi neoplastik. Sebagai tambahan, p53 berperan dalam berbagai proses
selular seperti diferensiasi, perbaikan DNA dan angiogenesis, yang juga penting
untuk supresi tumor (Vogt dan Haupt,1999).
Sebagai protein kunci dalam respon selular terhadap stress, p53 berperan
sebagai penghambat utama tumorigenesis. Fungsi p53 harus dihilangkan untuk
memungkinkan pertumbuhan tumor. Hampir 50% kanker pada manusia
mengalami mutasi pada gen p53; dan pada sisanya terjadi modifikasi aktifitas
p53 melalui mekanisme alternatif (Vogelstein et al.,2000)
Mekanisme ini antara lain melibatkan peningkatan ekspresi kadar
inhibitor p53 seperti Mdm2 atau protein E6 dari HPV, atau inhibisi terhadap coactivator kunci p53, seperti ARF (Vogelstein et al.,2000; Vogt Sionov et al., 2001).
Dalam keadaan normal, p53 merupakan protein yang memiliki masa aktif
singkat. Inhibitor p53 Mdm2 (Hdm2 pada manusia) secara umum memiliki peran
untuk mengakibatkan p53 menjadi kembali inaktif. Mdm2 menghambat aktifitas
transkripsi p53, dan lebih penting lagi, memicu degradasi p53 dengan
proteasome. Walau demikian status p53 secara drastis berubah pada saat sel
terpapar terhadap stress, termasuk kerusakan DNA, ekspresi onkogen, hipoksia,
dan deplesi nukleotida (Giaccia dan Kastan,1998).
Aktivasi p53 melibatkan stabilisasi dari protein tersebut, dan memperkuat
ikatan DNA dan aktifitas transkripsi. Perubahan terhadap p53 ini melibatkan
ikatan DNA dan aktifitas transkripsi. Perubahan pada p53 ini diperantarai oleh
modifikasi posttranslational dari p53 dan modifikasi interaksi antar protein dan
faktor pendukung. Sebagai hasil akhirnya aktivasi p53 memicu fase istirahat
siklus sel, penuaan atau apoptosis, pilihan ini tergantung pada jumlah sinyal yang
diterima. Oleh karena fungsi apoptosis dari p53 sangat penting dalam supresi
tumor, pengaktifan pathway apoptosis yang tergantung p53 yang masih inaktif,
menjadi
bidang
yang
banyak
diteliti
dalam
penatalaksanaan
kanker
(Haupt,2003).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Sebuah model apoptosis yang diperantarai oleh p53. Model ini
mewakili keterlibataan p53 dalam pathway apoptosis intrinsik dan ekstrinsik.
Gen target p53 ditunjukkan dalam warna merah. Pertemuan kedua pathway
melalui Bid nampak pada gambar. (Haupt S, Berger M, Goldberg Z, Haupt Y.
Apoptosis – the p53 network. Journal of Cell Science 2003:116, 4077-4085)
Extrinsic pathway dan Intrinsic pathway dari apoptosis.
P53 terlibat dalam induksi dua sinyal pathway berbeda yang mengaktifkan
cysteine protease yang spesifik aspartate (caspase) yang berfungsi sebagai
mediator apoptosis. Extrinsic pathway melibatkan pengaktifan ‘death receptor’
tertentu yang merupakan keluarga dari tumor necrosis factor receptor (TNF-R),
dan melalui pembentukan death inducing signaling complex (DISC) (Ashkenazi
dan Dixit,1998), memicu cascade dari aktifasi caspase, termasuk caspase-8 dan
caspase-3, yang menginduksi apoptosis.
Universitas Sumatera Utara
Intrinsic pathway dipicu sebagai respon terhadap kerusakan DNA dan
berhubungan dengan depolarisasi mitokondria dan pelepasan sitokrom c dari
intermembrane space dari mitokondria ke dalam sitoplasma. Sitokrom c,
apoptotic protease-activating factor 1 (APAF-1) dan procaspase-9 dan kemudian
membentuk kompleks yang disebut apoptosisem, dimana caspase-9 diaktivasi
dan memicu aktivasi caspase-3, caspase-6 dan caspase-7 (Nicholson dan
Thornberry,2003).
Studi terbaru menyebutkan bahwa intrinsic pathway dan extrinsic
pathway merupakan jalur yang berhubungan (Gross et al.,1999; Li et al., 1998).
The extrinsic pathway
p53 dapat mengaktifasi extrinsic pathway dari apoptosis melalui induksi gen yang
mengkode tiga protein transmembran: Fas, DR5 dan PERP. Reseptor permukaan
sel Fas (CD95/Apo-1), anggota dari keluarga reseptor TNF-R, merupakan
komponen
kunci
kematian sel pada extrinsic pathway (Nagata
dan
Golstein,1995). Fas diaktifkan oleh ikatannya dengan ligan Fas, FasL, yang secara
predominan diekspresikan oleh sel T (Muzio,1998).
P53 menginduksi mRNA Fas dengan berikatan pada elemen yang
ditemukan pada promoter dan intron pertama dan gen Fas (Muller et al.,1998).
Induksi Fas mRNA yang tergantung p53 telah dijumpai pada limpa, timus, ginjal
dan paru, tetapi tidak dijumpai pada jantung dan liver (Bouvard et al., 2000).
Walau demikian, paling tidak pada limfosit, Fas tampaknya dapat digantikan
pada apoptosis yang tergantung p53 (Fuchs et al., 1997; O’Connor et al.,2000).
Peranan Fas sebgai target p53 pada tipe sel lain masih sedang diteliti.
Anggota kedua dari keluarga reseptor yang diinduksi oleh p53 adalah
DR5/KILLER, death receptor untuk TRAIL (TNF-related apoptosis-inducing ligand).
DR5 diinduksi oleh p53 sebagai respon terhadap kerusakan DNA (Wu et al.,1997)
dan berperan dalam memicu kematian sel melalui caspase-8 (Ashkenazi dan
Dixit, 1998). Induksi DR5 bersifat spesifik pada sel tertentu. Radiasi seluruh tubuh
akan memicu ekspresi DR5 pada limpa, usus halus dan timus (Burns et al., 2001).
Universitas Sumatera Utara
Gen apoptosis lain, PERP, diinduksi dalam MEF (Mouse Embryo
Fibroblast) sebagai respon terhadap kerusakan DNA pada sel yang ditransduksi
oleh baik E2F-1 ataupun dengan protein E1A adenovirus. Bagaimana mekanisme
kontribusi PERP belum diketahui dengan jelas, namun diduga PERP mungkin
bersama dengan E2F-1 menginduksi apoptosis (Attardi et al., 2000)
The intrinsic pathway
Intrinsic pathway dari apoptosis didominasi oleh keluarga protein Bcl-2, yang
mengatur pelepasan sitokrom c dari mitokondria (Cory dan Adam,2002; Kuwana
et al., 2002). Keluarga Bcl-2 terdiri dari kelompok anti-apoptotic (prosurvival) dan
pro-apoptotic. Klasifikasi ini dibagi berdasarkan kemiripan struktur dengan
domain homolog Bcl-2 (BH: Bcl-2 homology) yaitu BH1, BH2, BH3 dan BH4, dan
domain transmembran. Domain BH3, yang dijumpai pada semua anggota
keluarga Bcl-2 dan diperlukan untuk heterodimeriasis di antara keluarga Bcl-2,
merupakan domain minimum yang dibutuhkan untuk fungsi proapoptosis
(Kelekar dan Thompson,1998; Yu et al., 2001).
Keluarga Bcl-2 dapat dibagi menjadi tiga kelas: protein prosurvival, yang
memiliki struktur paling mirip dengan Bcl-2, seperti Bcl-XL; protein proapoptosis, Bax dan Bak, yang secara struktur mirip dengan Bcl-2 tetapi memiliki
fungsi antagonis terhadap fungsi pro-survival; dan ‘BH3-only’ protein (Bouillet
dan Strasser, 2002).
Hal yang menarik adalah, anggota dari gen keluarga Bcl-2 adalah
merupakan target untuk p53, termasuk Bax, Noxa, PUMA dan yang lebih baru
teridentifikasi, Bid. Bax merupakan anggota kelompok Bcl-2 yang dinduksi oleh
p53. Sebagai respon terhadap aktivasi stress selular, Bax membentuk homodimer
dan melepas sitokrom c dari mitokondria (Skulachev,1998), dan mengakibatkan
aktivasi caspase-9 (Adam dan Cory,1998). Diperlukannya Bax pada apoptosis
yang diperantarai oleh p53 tampaknya tergantung pada tipe sel. Bax diperlukan
untuk respon apoptosis dari radiasi pada susunan saraf pusat (Chong et al., 2000)
dan kematian sel yang diinduksi oleh kemoterapi (McCurrach et al,1997).
Universitas Sumatera Utara
Sebagai tambahan, pada epitel kolon, Bax nampaknya tidak esensial
terhadap kejadian apoptosis yang dipicu oleh radiasi (Pritchard et al.,1999). Studi
telah mengindikasikan bahwa Bax nampaknya tidak menentukan nasib sel.
Penjelasan yang menarik mengenai peranan Bax pada induksi apoptosis mungkin
dapat ditawarkan oleh konteks PUMA. Gen PUMA juga secara langsung diinduksi
oleh p53 sebagai respon terhadap kerusakan DNA, melalui elemen respon p53
pada intron pertama dari PUMA. Pada manusia, PUMA mengkode protein yang
mengandung domain BH3, PUMA-αdan PUMA-β (Nakano dan Vousden,2001;
Yu et al., 2001).
Keseimbangan vital antara PUMA dan p21 telah diidentifikasi dapat
menentukan onset berhentinya siklus sel atau kematian sel, sebagai respon
terhadap ekspresi p53 eksogen dn juga hipoksia pada sel kanker kolorektal pada
manusia. Penghentian pertumbuhan sel melalui aktivasi p21 merupakan respon
normal terhadap ekspresi p53 pada sel. Jika p21 terganggu, sel akan mengalami
kematian tanpa proses apoptosis; namun jika PUMA terganggu, maka apoptosis
akan dicegah. Bax diperlukan secara mutlak untuk apoptosis yang diperantarai
PUMA. Ekspresi PUMA memicu translokasi mitokondria dan multimerization dari
Bax, dan terkumpul pada induksi apoptosis (Yu et al., 2003).
Oleh karena itu walaupun p53 dapat berikatan dengan promoter Bax,
ikatan ini adalah lemah, berbeda dengan ikatan PUMA dan p21 (Kaeser dan
Iggo,2002). Bax berperan dalam respon kematian sel sebagai target tak langsung
p53 melalui PUMA (Yu et al.,2003). Gen target p53 lainnya, Noxa, terdiri dari
elemen responsif p53 tunggal dan promoternya, diinduksi oleh radiasi (Oda et
al.,2000). Noxa mengkode BH3-only protein dan oleh karena itu berkontribusi
terhadap apoptosis dengan cara yang sama dengan PUMA dan Bax. Sebagai
respon terhadap kerusakan DNA, p53 mengaktifkan intrinsic pathway
mitokondria dengan menginduksi minimal tiga anggota keluarga Bcl-2 yang pro
apoptosis.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Regulasi p53 oleh AKT pathway dalam kondisi survival dan sinyal
stress. Regulasi negatif dari p53 oleh AKT diinduksi sebagai respon terhadap
sinyal survival dari Mdm2. Aktifasi dari pathway ini memicu inhibisi dan
destruksi p53. Dalam keadaan stress pathway ini dihambat melalui degradasi
AKT dan inhibisi P13K melalui PTEN. Kedua aktifitas ini diinduksi oleh p53.
Dalam model ini survival terjadi dengan inhibisi p53 oleh AKT, sementara
apoptosis terjadi dengan penghambatan AKT. Gen target p53 tampak sebagai
warna merah. Anak panah hijau menunjukkan aktivasi, sementara warna
merah menunjukkan inhibisi. (Haupt S, Berger M, Goldberg Z, Haupt Y.
Apoptosis – the p53 network. Journal of Cell Science 2003:116, 4077-4085.)
Universitas Sumatera Utara
Survival signals: AKT pathway
Ikatan mitogen dan sitokin pada reseptor di permukaan sel mencakup reseptor
insulin, epidermal growth factor receptor (EGFR) dan platelet derived growth
factor receptor (PDGFR), dan onkogen seperti Ras dan Her2/neu, ditransduksi
oleh sinyal pathway yang diaktifkan oleh phospoinositide 3-kinase (PI3K) yang
memicu proliferasi sel dan daya tahannya. PI3K mempengaruhi subunit regulator
p85, yang berinteraksi dengan reseptor eyrosine kines yang terfosforilasi.
PI3K mengaktifasi AKT, yang kemudian memfosforilasi berbagai target
yang berfungsi untuk memicu survival dari sel, termasuk inhibitor utama p53
yaitu Mdm2 (Mayo dan Donner, 2002). Fosforilasi ini memperkuat akumulasi
Mdm2 pada inti sel, memperkuat interaksi Mdm2 dengan p300, dan mengurangi
ikatan
Mdm2
pada
p19ARF
(Testa
dan
Bellacosa,
2001).
Sebagai
konsekuensinyanya, AKT memperkuat inhibisi dan destabilisasi p53 oleh Mdm2.
Aktifasi p53 yang diaktifasi oleh stress akan menghentikan efek inhibisi survival
pathway dengan berbagai mekanisme. Pertama, p53 akan memicu cleavage yang
diperantarai caspase dan degradasi protein AKT itu sendiri (Gottlieb et al., 2002).
Kedua, p53 menginduksi ekspresi gen supressor tumor PTEN, yang
mengkode phospatase yang mengakibatkan defosforilasi PI3K, sehingga akan
mengganggu aktifasi AKT (Mayo dan Donner, 2002). Ketiga, p53 menginduksi
ekspresi cyclin G, yang mengakibatkan defosforilasi Mdm2 pada tempai
fosforilasi AKT. Loop feedback ini menentukan outcome survival atau apoptosis
antara keseimbangan pathway p53 dan AKT (Oren et al ., 2002). Keseimbangan
ini sering diganggu oleh kanker, baik oleh mutasi pada PTEN atau amplifikasi oleh
Mdm2 (Mayo dan Donner, 2002).
Universitas Sumatera Utara
IMUNOHISTOKIMIA P53 PADA MENINGIOMA
Berbagai faktor memiliki peranan dalam progresifitas tumor dan salah satunya
adalah mutasi tumor supressor gene. Produk gen p53 wild type berfungsi sebagai
faktor transkripsi dan terlibat dalam regulasi perbaikan DNA dari siklus sel dan
induksi apoptosis. p53 yang mengalami mutasi tidak lagi memiliki kemampuan
tersebut sehingga menjadi sering menjadi target abnormalitas tumor pada
kebanyakan tumor. Mutasi dari gen p53 mengakibatkan protein yang secara
abnormal stabil dan akan berakumulasi dalam inti sel dan mencapai kadar
dimana protein ini dapat dengan mudah dideteksi dengan pewarnaan
immunohistokimia (Barbareschi et al.,1992). Oleh karena itu ekspresi dari protein
p53 menjadi indikator kemungkinan terjadinya mutasi dari gen p53 itu sendiri.
Studi-studi terkini dilakukan untuk menilai perilaku biologi meningioma dengan
mengevaluasi
indeks
proliferasi
dan
ekspresi
antigen
p53
dan
menghubungkannya dengan derajat histologi dan perjalanan klinis (Torp et
al.,2009).
Gambar 3. Beberapa sel tumor meningioma yang menunjukkan pewarnaan p53
positif (p53 immunostain, 3100); (Rao S, Sadiya N, Doraiswami S, Prathiba D.
Characterization of morphologically benign biologically aggressive
meningiomas. Neurology India. 2009(57)6:744-748)
Universitas Sumatera Utara
PERAN ‘P53 PATHWAY’ DALAM PATOLOGI MENINGIOMA
TP53, gen yang mengkode protein p53, memperantrai pathway tumor supression
utama dari sel. Sejak dilaporkan pertama kali pada 1989 (Baker,1989), mutasi
p53 telah ditemukan hampir pada setengah kasus keganasan pada manusia
(Levine,1997; Hollstein,1994). Walaupun pathway p53 telah dikenal baik dalam
patogenesis kanker, peranannya dalam meningioma masih kontroversial.
Beberapa studi menunjukkan pathway p53 tidaklah penting dalam etiologi
meningioma seperti tidak dijumpainya mutasi TP53 pada meningioma
(Das,2005), kurangya ekspresi abnormal dari p53 atau Mdm2 pada sel
meningioma (Pykett,1997), dan kemiripan ekspresi p53 pada meningioma orbita
dari berbagai derajat histologi yang berbeda (Hei,2006).
Sementara studi lain menyimpulkan adanya keterlibatan pathway p53
dalam perkembangan meninigoma; dimana dijumpai korelasi antara protein p53
dengan
derajat
tumor
pada
meningioma
dan
rekurensi
meningioma
(Ohkoudo,1998), hilangnya protein Mdm2 yang dapat terdeteksi (Amatya,2004),
dan terdapatnya gangguan respon p53 terhadap stress sinar gamma pada sel
meningioma (Al-Khalaf,2007)
Sebagai tambahan, produk protein NF2 dilaporkan meningkatkan
stabilitas p53 melalui proses downregulation level Mdm2 pada fibroblast tikus
(Kim,2004). Hilangnya NF2 dapat meningkatkan kecenderungan supresi p53, dan
oleh karena itu menurunkan aktifitas supresi tumor dan mungkin dapat
menunjukkan mekanisme keterlibatan pathway p53 dalam meningioma. Chang
menduga bahwa faktor genetik yang mempengaruhi aktifitas pathway p53
mungkin bertanggung jawab terhadap pathogenesis meningioma. (Chang,2009)
Produk proto-onkogen Mdm2, E3 ubiquitin ligase, bertindak dengan
menekan aktifitas transkripsi p53 dalam inti sel (Momand,1992) dan
menginduksi degradasi p53 melalui sistem ubiquitinproteasome (Honda,1997;
Haupt,1997). Proses downregulation yang berlebih oleh Mdm2 telah
dihubungkan dengan percepatan pertumbuhan tumor dan fenotipe kanker
Universitas Sumatera Utara
metastase (Laurie,2006; Ku,2007). Berbeda dengan p53, Mdm2 merupakan
protein yang penting untuk fungsi supresi tumor dari p53. Monoubiquitylation
yang diperantarai Mdm2 telah terbukti diperlukan untuk translokasi p53 dari inti
sel ke mitokondria, dimana p53 menginduksi apoptosis pada sel yang mengalami
stress (Erster,2004; Marchenko,2007).
Prolimorfisme p53 pada codon 72 menjadi proline mengubah potensi
apoptosis sel melalui interaksi yang berbeda dengan Mdm2. Allele Arg72
ditemukan meningkatkan interaksi dengan Mdm2, sehingga meningkatkan
shuttling pada mitokondria induksi apoptosis yang tergantung transkripsi
(Dumont, 2003). Sementara allele Pro72, yang berhubungan dengan
perkembangan
kanker
(Marin,2000)
dan
penurunan
survival
pasien
(Tommiska,2005), telah dihubungkan dengan penurunan translokasi p53 dari inti
sel (Dummont,2003) Dalam keadaan ini, interaksi p53 dengan Mdm2 akan
mengakibatkan penekanan terhadap p53 dan mengakibatkan perkembangan
tumor. NF2 merupakan salah satu protein yang mengakibatkan downregulation
aksi inhibisi Mdm2 terhadap p53 (Mayo,2002; Chang 2009)
Universitas Sumatera Utara
2.6. Kerangka Konseptual
Gambar 4. Kerangka konsep penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download