SUNARSIP / 1/7/2009 Paradoks Kebijakan Fiskal∗∗ Oleh Sunarsip ∗ Menarik tajuk (rubrik Jati Diri) Jawa Pos, 3 Januari 2009 yang berjudul “Angka-Angka Depkeu Yang Melegakan”. Berdasarkan rilis yang dikeluarkan Depkeu 1 Januari lalu, memang capaian ekonomi kita cukup melegakan. Kinerja fiskal kita, khususnya sisi penerimaan justru mengalami lonjakan. Realisasi penerimaan negara mencapai Rp981 triliun, atau Rp86 triliun (9,6%) di atas target APBN-P(erubahan) 2008. Pencapaian ini terutama didukung oleh tingginya penerimaan perpajakan yang mencapai Rp658,7 triliun, yang berarti Rp49,4 triliun (8,1%) diatas target APBN-P 2008. Namun sayang, kinerja penerimaan ini tidak ditopang oleh kinerja di sisi belanja. Realisasi belanja negara mencapai Rp985,3 triliun, atau Rp4,2 triliun (0,4%) dibawah pagu APBN-P 2008. Implikasinya, defisit APBN 2008 juga jauh di bawah target. Realisasi defisit APBN-P 2008 hanya Rp4,2 triliun (0,1% dari PDB) atau jauh di bawah target APBN 2008 Rp94,5 triliun (2,1% dari PDB). Di satu sisi, rendahnya defisit APBN ini menunjukan kemandirian APBN kita dalam membiayai kegiatannya sendiri. Namun demikian, kondisi ini juga menunjukkan terjadinya gejala paradoksal dalam kebijakan fiskal. Artinya, rendahnya defisit APBN justru berlawanan dengan realitas ekonomi yang semestinya membutuhkan defisit APBN yang lebih besar. Bagaimana penjelasannya? Tingginya penerimaan APBN, itu berarti fiskal kita menjadi semakin kontraktif, meski harus diakui, keberhasilan menggenjot penerimaan APBN (melalui pajak) juga merupakan bukti dari keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan kinerja ekonomi. Ini mengingat, kinerja perpajakan memiliki korelasi yang positif dengan kinerja perekonomian, dalam hal ini ini pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam kondisi perekonomian yang sedang menghadapi ancaman krisis global, kebijakan yang kontraktif justru tidak baik karena akan membuat aktivitas ekonomi semakin terhambat. Terlebih lagi, di saat yang bersamaan, moneter kita juga kontraktif akibat tingginya tingkat suku bunga perbankan. Dalam situasi seperti saat ini, kebijakan fiskal yang ekspansif justru sangat diperlukan terutama untuk mendorong sektor usaha (hulu dan hilir) sehingga akan semakin menggairahkan sektor riil, semakin banyak lapangan kerja, dan semakin tinggi daya beli masyarakat. Oleh karena itulah, tingginya defisit APBN sesungguhnya tidak selalu menjadi hal yang buruk. Tingginya defisit APBN, sepanjang diimbangi dengan efektivitas pengeluaran, justru bisa menjadi berita gembira, karena dapat semakin menggairahkan perekonomian dan perluasan lapangan kerja. Fakta menunjukkan bahwa tingginya defisit APBN, memang memiliki korelasi yang positif dengan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi, meskipun tidak selalu begitu (lihat Gambar). Modal Berharga Terlepas bahwa realisasi APBN 2008 masih menyisakan cerita paradoks, kalau kita cermati, sesungguhnya ada poin menarik dari APBN 2008 lalu. Defisit APBN 2008 memang rendah, karena realisasi belanja negara yang juga rendah. Di tengah rendahnya defisit APBN tersebut, ternyata pertumbuhan ekonomi 2008 cukup bagus, diperkirakan sebesar 6,2%. Poin penting yang patut dicatat dari fenomena ini adalah efektivitas belanja negara kini sudah semakin baik. Artinya, alokasi pos-pos belanja negara yang terbatas tersebut, kini sudah semakin tepat dan fokus pada target ekonomi yang ditetapkan. ∗∗ Dimuat Jawa Pos Group, Rabu, 7 Januari 2009. Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI). Beralamatkan di www.iei.or.id dan dapat dihubungi di [email protected]. ∗ -1- SUNARSIP / 1/7/2009 Gambar: Perkembangan Defisit APBN versus Pertumbuhan Ekonomi 7 6 5 4 3 2 1 0 2002 2003 2004 Defisit APBN(%thd PDB) 2005 2006 2007 2008* Pertumbuhan Ekonomi (%) Sumber: APBN setiap tahun, diolah IEI Saya melihat bahwa prestasi ini merupakan modal yang berharga bagi kita dalam mengarungi perekonomian di tahun 2009 ini. Tahun ini diramalkan akan lebih sulit dibandingkan tahun 2008. Perekonomian Indonesia diperkirakan akan terpukul dari sisi eksternal (terutama ekspor) karena berkurangnya permintaan dari luar negeri. Diperkirakan, dampak krisis global ini baru akan dirasakan setelah kuartal pertama 2009, sehingga wajar bila pertumbuhan ekonomi 2008 belum terlalu terusik. Saya melihat bahwa ekspansi fiskal menjadi hal mutlak untuk dilakukan saat ini. Dan kita juga memiliki modal cukup untuk melaksanakan hal ini, baik dari sisi dana dan teknis. Dari sisi kesiapan dana, APBN 2008 mewariskan kelebihan pembiayaan sebesar Rp51,3 triliun yang dapat dioptimalkan sebagai stimulus ekonomi di tahun 2009. Sedangkan dari sisi teknis, prestasi di bidang efektivitas pemanfaatan belanja pada APBN 2008, juga menjadi modal berharga untuk menajamkan sasaran program ekonomi. Kedua modal ini, bila dioptimalkan, tentunya akan berguna untuk mengurangi efek negatif dari krisis global, terutama untuk mengkompensasi kerugian dari sisi eksternal. Reformasi Anggaran Hanya memang, kita masih memiliki persoalan yang harus diselesaikan terkait dengan upaya peningkatan ekspansi fiskal. Yaitu, bagaimana agar realisasi belanja negara semakin dapat ditingkatkan sehingga tidak menimbulkan gejala paradoks seperti yang terjadi pada APBN 2008. Persoalan realisasi belanja negara adalah menyangkut kesiapan semua pihak. Mulai dari departemen, kementerian, lembaga negara, dan daerah sebagai pihak pengguna anggaran. Tak kecuali, juga menyangkut kesiapan sistem penganggaran di Depkeu selaku pengelola anggaran dan pemegang kas negara. Meskipun setiap tahun kualitas realisasi belanja negara semakin meningkat, namun siklusnya belum merata setiap bulan sehingga butuh pembenahan. Untuk mengatasi persoalan ini, memang reformasi anggaran menjadi mutlak dilakukan. Reformasi anggaran ini tidak hanya menyangkut pola penganggaran dan pelaksanaan anggaran di tingkat pemerintah (pusat dan daerah), namun juga menyangkut proses legislasi di DPR. Tak kalah pentingnya adalah, perlunya terobosan birokrasi. Ini mengingat, birokrasi yang responsif akan sangat membantu dalam percepatan realisasi anggaran. Reformasi birokrasi bukanlah semata peningkatan remunerasi pegawai. Lebih penting dari itu, bagaimana agar sistem promosi, degradasi, dan mutasi di jajaran birokrasi dijalankan berdasarkan kaidah kinerja bukan pada sistem ”urut kacang” atau senioritas.*** -2-