strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada

advertisement
STRATEGI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM PADA
EKOWISATA DI TAMAN WISATA ALAM TELOGO WARNO
TELOGO PENGILON DAN SEKITARNYA
DINNY FAIQAH
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Adaptasi
terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata di Taman Wisata Alam Telogo Warno
Telogo Pengilon dan Sekitarnya adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Dinny Faiqah
NIM E34100040
ABSTRAK
DINNY FAIQAH. Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata di
Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon dan Sekitarnya. Dibimbing
oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI.
Isu perubahan iklim yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
diperkirakan akan berpotensi mempengaruhi kegiatan ekowisata di Taman Wisata
Alam Telogo Warno Telogo Pengilon (TWATWTP). Hal ini diperlukan strategi
adaptasi oleh pengelola dan masyarakat terhadap perubahan iklim, agar wisata tetap
terselenggara. Tujuan penelitian ini adalah menyusun strategi adaptasi terhadap
perubahan iklim pada ekowisata di TWATWTP dan sekitarnya. Pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka, obeservasi lapang dan wawancara.
Kemudian data dianalisis menggunakan analisis deskiptif. Fenomena perubahan
iklim terjadi di TWATWTP meliputi meningkatnya suhu udara, kelembaban udara
dan curah hujan. Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada ekowisata dapat
dilakukan dengan melakukan kerjasama antara BMKG dengan pengelola wisata.
Adanya perubahan iklim berdampak pada masyarakat dan wisatawan sehingga
dapat dijadikan atraksi wisata yang baru yaitu frost.
Kata kunci: adaptasi, ekowisata, perubahan iklim
ABSTRACT
DINNY FAIQAH. Strategy Adaptation To Climate Change On Ecotourism at
Nature in Tourism Telogo Warno Telogo Pengilon Park and Surroundings Areas.
Supervised by E.K.S. HARINI MUNTASIB dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI.
The issue of climate change has occurred in Indonesian over the last few years
is expected to potentially affect ecotourism activities at Nature in Tourism Telogo
Warno Telogo Pengilon Park (TWATWTP). These adaptation startegies against
climate change are needed by managers and the community, so that tourism remains
in this area. The aim of this research was to prepare the adaptation strategy to
climate change on ecotourism at TWATWTP and surroundings areas. Data
collection in this research used literature study, observations and interview method.
Data was analyzed by analysis descriptive. The changing climate on TWATWTP
increasing temperature, humidity and rainfall. Strategy for adaptation to climate
change can be done by implementing ecotourism cooperation between BMKG and
tourism management. The climate change impact on peoples and tourists so that
can be used as new tourist attraction which is frost.
Keywords: adaptation, climate change, ecotourism
STRATEGI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM PADA
EKOWISATA DI TAMAN WISATA ALAM TELOGO WARNO
TELOGO PENGILON DAN SEKITARNYA
DINNY FAIQAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul Skripsi: Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata di
Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon dan
Sekitarnya
Nama
: Dinny Faiqah
NIM
: £43100040
Disetujui oleh
Prof Dr E.K.S. Harini Muntasib, MS
Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi
Pembimbing II
Pembimbing I
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
")
2 3 r·tA R L:U
iJ
:" ",..
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah berjudul Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim
pada Ekowisata di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon dan
Sekitarnya berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr
E.K.S Harini Muntasib, MS dan Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi sebagai dosen
pembimbing yang telah memberikan banyak masukan serta arahan selama proses
penelitian dan penulisan skripsi ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh
dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah
memberikan banyak ilmu dan pemahamannya kepada penulis. Keluarga tercinta
yang selalu memberikan doa, kasih sayang dan dukungan dalam bentuk moril
maupun materil.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Balai Konservasi Sumber
Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, Taman Wisata Alam Telogo Warno dan
Telogo Pengilon Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang Resort Konservasi
Wilayah Wonosobo, Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo, Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Wonosobo, dan Badan Meteorologi Geofisika dan
Klimatologi (BMKG) yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian.
Terima kasih juga disampaikan kepada Grup Gengges dan teman-teman KSHE 47
“Nepenthes rafflesiana” yang selalu memberikan semangat dan dukungan selama
masa studi di IPB dan dalam penyelesaian tugas akhir. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Maret 2015
Dinny Faiqah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Lokasi Penelitian
2
Alat
3
Metode Pengumpulan Data
3
Analisis data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
5
Inventarisasi Parameter Perubahan Iklim
6
Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekowisata
12
Kebutuhan Bidang Ekowisata terhadap Informasi Perubahan Iklim
16
Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata
17
SIMPULAN DAN SARAN
19
Simpulan
19
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
19
DAFTAR TABEL
1
2
Informasi pengumpulan data iklim
Matriks kebutuhan ekowisata penyusunan konsep implementasi
adaptasi perubahan iklim
3
17
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Lokasi penelitian
Rata-rata suhu udara bulanan pada tahun 2009-2013
Rata-rata suhu udara maksimum bulanan dan suhu udara minimum
bulanan pada tahun 2009-2013
Rata-rata suhu tahunan
Rata-rata kelembaban udara bulanan pada tahun 2009-2013
Rata-rata kelembaban udara maksimum bulanan dan kelembaban
udara minimum bulanan pada tahun 2009-2013
Rata-rata kelembaban udara tahunan
Jumlah hari hujan tahunan
Rata-rata hari hujan bulanan pada tahun 2000-2013
Rata-rata curah hujan bulanan pada tahun 2000-2013
Curah hujan tahunan
Pemandangan TWATWTP
Titik potensi embun upas
2
6
7
7
8
9
9
10
10
11
11
13
15
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim, yaitu suhu,
curah hujan, kelembaban, evaporasi, arah dan kecepatan angin, serta awan (Aldrian
et al. 2011). Menurut UU No. 31 Tahun 2009 tentang meteorologi, klimatologi dan
geofisika, perubahan iklim merupakan berubahnya iklim yang diakibatkan,
langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan
komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang
teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Perubahan iklim bisa juga
dilihat dari adanya pergeseran musim. Menurut Aldrian et al. (2011) pergeseran
musim di Indonesia telah diamati, berdasarkan data pengamatan selama 30 tahun
yaitu periode tahun 1971-2000 dan periode tahun 2001-2010, pola musim hujan di
Jawa Tengah mengalami pergeseran maju sedangkan musim kemarau mengalami
pergeseran mundur. Perubahan iklim dapat memberikan dampak serius terhadap
kerusakan hutan seperti kebakaran, jika hutan tidak dikelola dengan baik (Hilman
2007). Dampak dari perubahan iklim juga mempunyai keterikatan terhadap sektor
pariwisata. Menurut Rosyidie (2004) perubahan iklim memberikan pengaruh yang
besar terhadap dunia kepariwisataan, baik itu terhadap preferensi wisatawan akan
daerah tujuan wisatanya maupun berubahnya daya tarik wisata yang berakibat juga
pada perubahan pengelolaan destinasi pariwisata. Isu mengenai perubahan iklim
yang terjadi beberapa tahun terakhir ini juga diperkirakan akan berpotensi
mempengaruhi kegiatan ekowisata di Indonesia.
Salah satu potensi ekowisata yang terdapat di Dataran Tinggi Dieng yaitu
Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon yang menjadi daya tarik
wisata akan keindahan alam yang menakjubkan serta kekayaan peninggalan sejarah
dan budaya. Hal ini memberikan peluang bagi wisatawan untuk melakukan
berbagai kegiatan wisata alam, wisata sejarah maupun wisata budaya. Taman
Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon (TWATWTP) memiliki objek daya
tarik wisata berupa dua buah telaga yang saling berdekatan yakni Telaga Warna dan
Telaga Pengilon, kompleks gua, Kawah Sikendang, dan Pesanggrahan Bumi
Pertolo. Selain itu, terdapat potensi satwa dan tumbuhan yang bisa dijadikan objek
daya tarik wisata.
Adanya potensi ekowisata, sehingga membutuhkan strategi adaptasi oleh
pengelola dan masyarakat terhadap perubahan iklim tersebut, agar wisata tetap
terselenggara. Menurut Muntasib (2014) tindakan adaptasi bagi penyelenggara
wisata adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim sehingga mampu
mengurangi dampak negatifnya terhadap penyelenggaraan wisata. Oleh karena itu
penelitian ini diperlukan untuk mendapatkan gambaran perubahan iklim yang
selama ini terjadi sehingga memperoleh strategi adaptasi terhadap perubahan iklim
pada ekowisata oleh pengelola dan masyarakat sekitar TWATWTP.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menyusun strategi adaptasi terhadap perubahan
iklim pada ekowisata di TWATWTP dan sekitarnya yang meliputi:
2
1. Inventarisasi parameter iklim terkait dengan ekowisata secara time series di
TWATWTP dan sekitarnya.
2. Menyusun strategi adaptasi terhadap ekowisata berdasarkan kondisi data iklim
di TWATWTP dan sekitarnya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan gambaran
mengenai perubahan iklim sehingga menjadi masukan kepada pengelola dan
masyarakat untuk melakukan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada
ekowisata di TWATWTP dan sekitarnya.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2014 di Taman Wisata Alam Telogo
Warno Telogo Pengilon dan sekitarnya, Dataran Tinggi Dieng, Provinsi Jawa
Tengah.
Gambar 1 Lokasi penelitian
3
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah buku lapang, alat tulis, perekam
suara, binokuler, buku panduan pengenalan jenis tumbuhan dan satwaliar (mamalia
dan burung), kamera, GPS (Global Positioning System), software ArcGis 9.3, dan
panduan wawancara.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian berupa studi literatur, observasi
lapang dan wawancara (Tabel 1).
Tabel 1 Informasi pengumpulan data iklim
No Jenis Data
Data yang
Metode
Sumber Data
dikumpulkan
Pengumpulan
1. Suhu udara Rata-rata suhu udara Studi pustaka Data time series (2009bulanan
2013) Badan Meteorologi
Rata-rata suhu udara
Klimatologi dan Geofisika
maksimum dan
Kabupaten Banjarnegara
minimum bulanan
Rata-rata suhu
tahunan
2. Kelembaban Rata-rata kelembaban Studi pustaka Data time series (2009udara
udara bulanan
2013) Badan Meteorologi
Rata-rata kelembaban
Klimatologi dan Geofisika
udara maksimum dan
Kabupaten Banjarnegara
minimum bulanan
Rata-rata kelembaban
udara tahunan
3. Curah hujan Jumlah hari hujan
Studi pustaka Data time series (2000tahunan
2013) Dinas Pertanian
Rata-rata hari hujan
Kabupaten Wonosobo
bulanan
Rata-rata curah hujan
bulanan
Curah hujan tahunan
4. Kondisi
Kondisi bentang alam Studi
Wawancara pengelola
iklim
(panorama alam)
pustaka,
TWATWTP
terhadap
Satwaliar dan
observasi
Wawancara Permerintah
ekowisata
tumbuhan (jenis yang lapang dan
Daerah yaitu Dinas
mendominasi dan
wawancara
Kebudayaan dan
dapat dijadikan objek
Pariwisata Kabupaten
wisata terkait dengan
Wonosobo dan Dinas
kondisi iklim)
Pertanian Wonosobo
Kondisi iklim (suhu
Wawancara masyarakat
udara, kelembaban
sekitar TWATWTP
udara dan curah hujan)
4
Studi pustaka
Studi ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai data time series
parameter iklim di TWATWTP dan sekitarnya. Parameter iklim yang dicari yaitu
suhu udara (rata-rata suhu udara bulanan, rata-rata suhu udara maksimum bulanan
dan suhu udara minimum bulanan, dan rata-rata suhu tahunan), kelembaban udara
(rata-rata kelembaban udara bulanan, rata-rata kelembaban udara maksimum
bulanan dan kelembaban udara minimum bulanan, dan rata-rata kelembaban udara
tahunan), dan curah hujan (jumlah hari hujan tahunan, rata-rata hari hujan bulanan,
rata-rata curah hujan bulanan, dan curah hujan tahunan). Pustaka yang digunakan
dapat berasal dari buku, data instansi terkait Balai Konservasi Sumberdaya Alam
(BKSDA) Provinsi Jawa Tengah, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Kabupaten Banjarnegara, Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo, media cetak atau
elektronik.
Observasi lapang
Observasi lapang bertujuan untuk memperoleh data hasil pengamatan
tumbuhan dan satwaliar yang berkaitan dengan kondisi iklim (suhu udara,
kelembaban udara dan curah hujan) di TWATWTP dan juga sebagai bentuk
verifikasi berdasarkan studi pustaka. Pengamatan satwaliar dan tumbuhan
dilakukan dengan menggunakan rapid assessment.
Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi cuaca
di kawasan TWATWTP dengan menggunakan panduan wawancara. Pengambilan
data wawancara ini ditunjukan kepada:
1.
Pengelola
Wawancara dilakukan terhadap pihak pengelola, yang terkait dengan strategi
adaptasi terhadap kondisi iklim di TWATWTP dan sekitarnya yaitu pengelola
TWATWTP (Kepala Resort yang merangkap sebagai Polisi Hutan dan satu orang
Pengendali Ekosistem Hutan), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Wonosobo, dan Dinas Pertanian Wonosobo.
2.
Masyarakat
Pemilihan responden masyarakat dengan menggunakan teknik purposive
sampling atau disebut juga teknik pengambilan sampel berdasarkan tujuan. Teknik
ini dilakukan dengan mengambil anggota sampel yang dipilih berdasarkan tujuan
penelitian yang dirumuskan (Wardiyanta 2006). Responden masyarakat yang
dipilih berdasarkan kriteria yaitu masyarakat yang memiliki pendapat dan
pengetahuan mengenai perubahan iklim sehingga dapat mengetahui adaptasi yang
dilakukan oleh masyarakat di kawasan TWATWTP dan sekitarnya, masyarakat
yang pernah mengalami kejadian perubahan iklim di kawasan TWATWTP dan
sekitarnya sehingga dapat menceritakannya. Penentuan responden masyarakat
berasal dari 3 desa terdekat dengan jumlah masing-masing 30 responden. Penentuan
jumlah responden ini didasarkan pada pendapat Guilford dan Fruchter (1978) yang
menyatakan bahwa jumlah tersebut telah representatif dan dapat digeneralisasikan
ke populasi yang lebih besar. Desa yang dipilih yaitu Desa Jojogan, Desa Dieng,
dan Desa Dieng Kulon.
5
Analisis data
Penentuan tipe iklim menurut Klasifikasi Schmidth-Ferguson (1951) hanya
memperhatikan unsur iklim hujan dan memerlukan data hujan bulanan paling
sedikit 10 tahun. Kriteria yang digunakan adalah:
Bulan kering (BK)
: bulan dengan hujan < 60 mm
Bulan lembab (BL) : bulan dengan hujan antara 60 – 100 mm
Bulan basah (BB)
: bulan dengan hujan > 100 mm
Penentuan tipe iklim mempergunakan nilai Q yaitu:
Rata-rata Bulan Kering (BK)
Q = Rata-rata Bulan Basah (BB) ×100%
Nilai Q (%) untuk menentukan batas-batas tipe iklim dapat diklasifikasikan
dalam 8 tipe iklim dari A hingga H sebagai berikut:
A
= 0 - 14.3
B
= 14.3 - 33.3
C
= 33.3 - 60
D
= 60 - 100
E
= 100 - 167
F
= 167 - 300
G
= 300 - 700
H
= > 700
Data dan informasi yang telah dikumpulkan melalui studi pustaka, observasi
lapang, dan wawancara mengenai berbagai adaptasi terhadap perubahan iklim pada
ekowisata kemudian diuraikan dan dianalisis secara deskriptif sehingga didapatkan
informasi mengenai strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dalam kaitannya
dengan kegiatan wisata alam di TWATWTP dan sekitarnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon (TWATWTP)
merupakan satu-satunya kawasan konservasi yang terletak di Dataran Tinggi Dieng
wilayah Kabupaten Wonosobo. Taman Wisata Alam ini ditunjuk berdasarkan SK
Menteri Pertanian No 740/Kpts/Um/11/1978 pada 30 November 1978 dengan luas
39.5 ha. Lokasi TWATWTP secara geografis terletak diantara 7˚12’3” dan 7˚13’3”
LS serta 109˚54’47” dan 109˚55’10” BT. Secara administratif lokasi berada di
wilayah Desa Jojogan, Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa
Tengah.
6
Inventarisasi Parameter Perubahan Iklim
Hasil Penelitian menjukkan bahwa perubahan iklim dirasakan oleh setiap
responden, namun sebagian besar responden belum mengerti istilah perubahan
iklim, mereka lebih mengenal istilah perubahan cuaca. Hasil wawancara yang
dilakukan kepada 90 responden yaitu masyarakat Desa Dieng, Desa Dieng Kulon
dan Desa Jojogan menyatakan bahwa 95.6% responden memahami makna
perubahan iklim dan 4.4% tidak memahami makna perubahan iklim. Sebagian
besar responden memahami yang dimaksud dengan perubahan iklim. Hal ini
dibuktikan dengan penjelasan yang diberikan oleh mereka mendekati dengan
fenomena-fenomena yang timbul akibat perubahan iklim yaitu berubahnya cuaca
dan adanya pergeseran musim selama beberapa tahun terakhir. Hasil wawancara
terhadap responden menunjukkan bahwa perubahan iklim yang mereka sadari
terjadi pada rentang waktu 1-5 tahun terakhir sebanyak 78.9% responden, lebih dari
5 tahun terakhir sebanyak 3.3% responden dan tidak tahu sebanyak 17.8%
responden. Hal ini dikarenakan kejadian yang sudah lama sehingga responden tidak
mengetahui waktu tepatnya.
Perubahan iklim mikro yang terjadi di kawasan TWATWTP dan sekitarnya
dapat dilihat dalam tiga parameter iklim yaitu suhu udara, kelembaban udara dan
curah hujan. Data time series suhu udara dan kelembaban udara bersumber dari
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Geofisika Banjarnegara
dalam lima tahun terakhir yaitu pada tahun 2009-2013, sedangkan curah hujan
bersumber dari Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo dalam 14 tahun terakhir
yaitu pada tahun 2000-2013.
Suhu udara (°C)
Suhu udara
Suhu merupakan keadaan derajat panas pada suatu tempat. Berdasarkan data
dari Stasiun Geofisika Banjarnegara, rata-rata suhu udara bulanan di sekitar
kawasan TWATWTP pada periode 2009-2013 berkisar 22.1-24 °C (Gambar 2).
25
24
24
23
23
22
22
21
24.0
22.1 22.1
Bulan
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara
Gambar 2 Rata-rata suhu udara bulanan pada tahun 2009-2013
Rata-rata suhu udara bulanan tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu 24 °C,
sedangkan rata-rata suhu udara bulanan terendah terjadi pada bulan Juli dan
Agustus yaitu 22.1 °C. Perubahan suhu udara minimum dan maksimum bulanan
7
menggambarkan perubahan pola suhu udara musiman. Berdasarkan data dari
Stasiun Geofisika Banjarnegara, suhu udara maksimum bulanan terjadi pada masa
pancaroba atau transisi yaitu pada bulan April, sedangkan suhu udara minimum
bulanan terjadi pada puncak musim kemarau yaitu pada bulan Agustus (Gambar 3).
Suhu udara (°C)
40
30
20
10
0
34.2
29.3
20.1
suhu udara
maksimum
suhu udara
minimum
16.8
Bulan
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara
Gambar 3 Rata-rata suhu udara maksimum bulanan dan suhu udara minimum
bulanan pada tahun 2009-2013
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa rata-rata suhu udara maksimum bulanan
dan suhu udara minimum bulanan pada tahun 2009-2013 di sekitar kawasan
TWATWTP cenderung turun naik (fluktuatif). Suhu udara maksimum tertinggi
terjadi pada suhu 34.2 °C di bulan April, sedangkan suhu udara maksimum
terendah terjadi pada suhu 29.3 °C di bulan Agustus. Suhu udara minimum
tertinggi terjadi pada suhu 20.1 °C di bulan Maret, sedangkan suhu udara minimum
terendah terjadi pada sihu 16.8 °C di bulan Agustus.
Pada periode 2009-2013 suhu udara tahunan di sekitar kawasan TWATWTP
berfluktuasi cenderung meningkat (Gambar 4). Rata-rata suhu udara tahunan di
sekitar kawasan TWATWTP berkisar antara 22.8-23.8 °C. Rata-rata Suhu tahunan
tertinggi terjadi pada tahun 2013 yakni sebesar 23.8 °C. Sedangkan rata-rata suhu
tahunan terendah terjadi pada tahun 2009 yaitu 22.8 °C. Pada tahun selanjutnya
2010 rata-rata suhu tahunan meningkat menjadi 23.4 °C. Pada tahun 2011-2012
rata-rata suhu tahunan sama yaitu 23 °C.
Suhu (°C)
24.0
23.8
23.4
23.5
23.0
22.8
23.0
23.0
2011
2012
22.5
22.0
2009
2010
Tahun
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara
Gambar 4 Rata-rata suhu tahunan
2013
8
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, sebanyak 84.4% responden
merasakan bahwa telah terjadi peningkatan suhu udara di sekitar kawasan
TWATWTP selama beberapa tahun terakhir, sedangkan responden yang
berpendapat bahwa suhu udara mengalami penurunan sebanyak 6.7%, dan sisanya
8.9% menyatakan tidak tahu. Berdasarkan data dari Stasiun Geofisika Banjarnegara
menunjukkan bahwa telah terjadi fluktuasi suhu udara yang cederung meningkat
selama selang waktu 2009-2013. Hal ini menujukkan bahwa, hasil wawancara
responden sesuai dengan data yang didapatkan.
Kelembaban udara (%)
Kelembaban udara
Kelembaban udara adalah banyaknya kandungan uap air yang terdapat di udara
(Sutjahjo dan Gatut 2007). Menurut data dari Stasiun Geofisika Banjarnegara ratarata kelembaban udara tertinggi periode 2009-2013 di sekitar TWATWTP terjadi
pada bulan November yaitu 89%, sedangkan rata-rata kelembaban udara terendah
terjadi pada bulan September sebesar 83% (Gambar 5).
89
90
88
86
84
82
80
83
Bulan
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara
Gambar 5 Rata-rata kelembaban udara bulanan pada tahun 2009-2013
Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa rata-rata kelembaban udara maksimum
tertinggi sebesar 97% pada bulan Desember, sedangkan rata-rata kelembaban udara
maksimum terendah terjadi pada bulan Februari, Agustus dan September sebesar
93%. Rata-rata kelembaban udara minimum tertinggi sebesar 82% pada bulan
November, sedangkan rata-rata kelembaban udara minimum terendah sebesar 68%
pada bulan September.
9
120
100
80
60
40
20
0
Kelembaban udara (%)
93
93 93
97
82
68
kelembaban
udara maksimum
kelembaban
udara minimum
Bulan
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara
Gambar 6 Rata-rata kelembaban udara maksimum bulanan dan kelembaban udara
minimum bulanan pada tahun 2009-2013
Kelembaban (%)
Rata-rata kelembaban udara tahunan pada rentang waktu 2009-2013 di sekitar
kawasan TWATWTP berfluktuasi cenderung meningkat (Gambar 7). Rata-rata
kelembaban udara tahunan maksimum terjadi pada tahun 2012 yakni sebesar 87.2%.
Sedangkan rata-rata kelembaban udara tahunan minimum terjadi pada tahun 2009
yaitu 85.3%. Pada tahun selanjutnya 2010 rata-rata kelembaban udara tahunan
meningkat menjadi 86.9%. Rata-rata kelembaban udara tahunan mengalami
penuruan pada tahun 2011 menjadi 86.7%. Selanjutnya pada tahun 2012 rata-rata
kelembaban udara tahunan mengalami kenaikan sebesar 87.2%. Kemudian, tahun
2013 rata-rata kelembaban udara tahunan mengalami penurunan kembali hingga
86%.
88
86.9
87
86
87.2
86.7
86.0
85.3
85
84
2009
2010
2011
Tahun
2012
2013
Sumber: Stasiun Geofisika Banjarnegara
Gambar 7 Rata-rata kelembaban udara tahunan
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa Jojogan, Desa Dieng
dan Desa Dieng Kulon, responden tidak mengetahui adanya perubahan kelembaban
udara. Hal ini karena kurangnya pengetahuan responden mengenai kelembaban
udara dan responden sulit untuk merasakan perubahan kelembaban udara.
Curah hujan
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo, jumlah hari
hujan di sekitar kawasan TWATWTP pada periode 2000-2013 berfluktuasi
cenderung meningkat (Gambar 8). Pada tahun 2000 jumlah hari hujan tahunan sama
10
Jumlah hari hujan
dengan tahun 2001 yaitu 194 hari hujan. Jumlah hari hujan terus menurun hingga
tahun 2003 menjadi 147 dan 136 hari hujan. Namun, pada tahun 2004 jumlah hari
hujan meningkat hingga tahun 2005 yaitu 157 dan 178 hari hujan. Pada tahun 2006
jumlah hari hujan menurun menjadi 109 hari hujan. Pada tahun 2007 jumlah hari
hujan terus meningkat hingga tahun 2010 yaitu 174, 192, 194, menjadi 230 hari
hujan. Namun, pada tahun 2011 hingga 2012 jumlah hari hujan menurun dari 172
menjadi 163 hari hujan. Pada tahun 2013 jumlah hari hujan meningkat menjadi 190
hari hujan.
250
200
150
100
50
0
194 194
178
147 136 157
230
174 192 194
172 163 190
109
Tahun
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo
Gambar 8 Jumlah hari hujan tahunan
Jumlah hari hujan
Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa rata-rata hari hujan bulanan tertinggi
tahun 2000-2013 di sekitar kawasan TWATWTP sebanyak 22 hari hujan terjadi
pada bulan Desember, sedangkan rata-rata hari hujan bulanan terendah terjadi pada
bulan Agustus sebanyak 3 hari hujan.
25
20
15
10
5
0
21
18
21
20
19
16
8
5
3
7
22
11
Bulan
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo
Gambar 9 Rata-rata hari hujan bulanan pada tahun 2000-2013
Curah hujan merupakan jumlah air yang turun pada suatu daerah dalam waktu
tertentu. Menurut Aldrian dan Susanto (2003) pola curah hujan di kawasan
TWATWTP termasuk daerah monsunal (zona A) merupakan pola yang dominan di
Indonesia karena melingkupi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut
memiliki satu puncak pada periode November sampai Maret yang dipengaruhi oleh
monsun barat laut yang basah. Di samping itu, zona tersebut juga memiliki satu
palung pada bulan Mei hingga September yang dipengaruhi oleh monsun tenggara
kering. Akibatnya, terdapat perbedaan yang jelas antara musim kemarau (curah
hujan bulanan di bawah 150 mm) dan musim hujan (curah hujan bulanan di atas
150 mm). Berdasarkan data rata-rata curah hujan bulanan pada tahun 2000-2013
11
Curah hujan (mm)
dari Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo (Gambar 10), musim kemarau terjadi
pada bulan Juni hingga September, Sedangkan musim hujan terjadi pada bulan
Oktober hingga Mei. Adanya perbedaan antara pustaka dan data yang didapatkan,
menyebabkan pergeseran musim kemarau dan musim hujan. Hasil wawancara
dengan masyarakat sekitar TWATWTP yaitu Desa Jojogan, Desa Dieng dan Desa
Dieng Kulon menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran musim hujan dan musim
kemarau dalam beberapa tahun terakhir. Musim hujan yang dulu terjadi selama
bulan November hingga Maret kini tidak dapat ditentukan lagi.
500
400
300
200
100
0
450 365 409 406
259
253
113
68
39
352
436
90
Bulan
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo
Gambar 10 Rata-rata curah hujan bulanan pada tahun 2000-2013
Curah Hujan (mm)
Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa rata-rata curah hujan bulanan tertinggi
pada periode 2000-2013 sebanyak 450 mm terjadi pada bulan Januari, sedangkan
rata-rata curah hujan bulanan terendah sebanyak 39 mm terjadi pada bulan Agustus.
Menurut Klasifikasi Schmidth-Ferguson, kawasan TWATWTP memperoleh nilai
Q sebesar 30.56%, sehingga termasuk tipe iklim B yang merupakan daerah basah
dengan vegetasi masih hutan hujan tropika.
Jumlah curah hujan di sekitar kawasan TWATWTP dari tahun 2000-2013
berfluktuasi cenderung meningkat (Gambar 11). Pada tahun 2000 jumlah curah
hujan sebanyak 4 303 mm. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010
yakni sebanyak 4 529 mm, sedangkan jumlah curah hujan terendah terjadi pada
tahun 2006 yakni sebanyak 1 654 mm.
5000 4303
4529
3725
3684
3495
3322
3234
4000
3203
3088
3051
27823029
2355
3000
1654
2000
1000
0
Tahun
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo
Gambar 11 Curah hujan tahunan
Pada tahun 2001 dan 2002 jumlah curah hujan di sekitar kawasan
TWATWTP mengalami penurunan menjadi 3 684 mm dan 2 355 mm. Pada tahun
berikutnya jumlah curah hujan meningkat menjadi 3 051 mm tahun 2003, 3 234
mm tahun 2004, dan 3 495 mm tahun 2005. Pada tahun 2006, jumlah curah hujan
12
kembali menurun menjadi 1 654 mm. Pada tahun berikutnya jumlah curah hujan
meningkat lagi menjadi 3 088 mm tahun 2007, 3 322 mm tahun 2008, 3 725 mm
tahun 2009, dan 4 529 mm tahun 2010. Pada tahun 2011 jumlah curah hujan
menurun hingga 2 782 mm. Pada tahun 2012 dan 2013 jumlah curah hujan kembali
meningkat menjadi 3 029 mm dan 3 203 mm.
Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 77.8% responden merasakan bahwa
telah terjadi peningkatan curah hujan di sekitar kawasan TWATWTP selama
beberapa tahun terakhir, sedangkan responden yang berpendapat bahwa curah
hujan mengalami penurunan sebanyak 1.1% dan sisanya 21.1% menyatakan tidak
tahu. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo menunjukkan
bahwa telah terjadi kenaikan curah hujan selama selang waktu 2000-2013 yang
berfluktuasi cenderung meningkat. Hal ini menujukkan bahwa, hasil wawancara
dengan responden sesuai dengan data yang didapatkan.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekowisata
Laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC 2007)
menyatakan bahwa suhu permukaan global meningkat sebesar 0.74 ± 0.32 °C
selama abad ke-20. Kejadian cuaca ekstrim seperti gelombang panas, kekeringan,
dan banjir diprediksi akan terus meningkat, demikian juga temperatur minimal yang
lebih tinggi dan semakin sedikit hari-hari yang dingin. Perubahan iklim
menyebabkan terjadinya pergeseran musim dan peningkatan curah hujan sehingga
hujan tidak bisa lagi diprediksi waktunya. Hal ini berdampak terhadap sektor
ekowisata.
Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon berada pada kawasan
Dataran Tinggi Dieng dengan ketinggian ± 2 100 mdpl. Kawasan ini mempunyai
topografi datar sampai dengan curam dengan kemiringan mencapai 40% atau lebih
(BKSDA 2012). Sebagian besar jalan menuju TWATWTP cenderung curam yang
terletak dipinggir tebing. Mayoritas masyarakat bertani kentang sehingga dapat
membahayakan pengguna jalan terutama pada wisatawan, apabila wisatawan tidak
berhati-hati dan rawan terhadap longsor.
Pada bulan basah menurut Klasifikasi Schmidth-Ferguson (Gambar 10),
dengan intensitas curah hujan tinggi (> 300 mm/bulan) yaitu bulan November
hingga bulan April dapat membahayakan wisatawan karena jalan licin dan rawan
terjadi longsor. Ketika longsor terjadi dan menutupi jalan, mengakibatkan akses
wisatawan menuju kawasan wisata menjadi terganggu. Peningkatan curah hujan
juga mengganggu wistawan untuk melakukan kegiatan wisata di TWATWTP.
Wisatawan kesulitan untuk mencapai beberapa objek daya tarik wisata yaitu Kawah
Sikendang, kompleks gua, Pesanggrahan Bumi Pertolo dan Telaga Pengilon.
Wisatawan harus melewati jalan berlantai tanah yang licin, sehingga bisa
menimbulkan bahaya terjatuh. Hal ini juga mempengaruhi pendapatan pemandu di
TWATWTP, karena pengunjung sepi pada saat musim hujan dan juga pemandu
sulit mentukan waktu sunrise yang bagus di Bukit Sikunir untuk ditawarkan kepada
wisatawan. Curah hujan tinggi juga berpengaruh terhadap keindahan telaga karena
presipitasi dalam bentuk curah hujan yang diterima lebih besar dari evaporasi, yang
mengakibatkan sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan sebagian
air hujan menjadi aliran permukaan yang mengalir ke tempat yang lebih rendah
sehingga mengakibatkan air telaga menjadi keruh.
13
Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon memiliki daya tarik
keunikan alam berupa dua buah telaga yang saling berdampingan. Telogo Warno
merupakan telaga dengan air yang memiliki kandungan mineral berupa belerang
sedangkan Telogo Pengilon merupakan telaga dengan air tawar. Apabila Telogo
Warno terkena sinar matahari lalu dibiaskan sehingga mengakibatkan telaga
tersebut nampak berwarna-warni. Warna tersebut dapat berubah-ubah tergantung
cuaca, waktu dan tempat untuk melihatnya. Warna yang dapat dilihat yaitu hijau,
putih, merah, dan hitam. Untuk menikmati keindahan TWATWTP, maka harus
dilihat dari tempat yang tinggi, salah satunya Bukit Sidengkeng (Gambar 12a) dan
Batu Pandang yang terletak di sekitar Dieng Plateau Theater (Gambar 12b).
(a)
(b)
Gambar 12 Pemandangan TWATWTP (a) dari Bukit Sidengkeng (b) dari Batu
Pandang
Pada musim kemarau (Gambar 10) yaitu bulan Agustus (bulan kering)
masyarakat di sekitar kawasan TWATWTP tidak mengalami kesulitan air untuk
kebutuhan rumah tangga, namun kesulitan dalam mengairi lahan pertanian. Masih
terdapat mesin penyedot air yang beroperasi di TWATWTP pada musim kemarau.
Hal ini menyebabakan berkurangnya debit air di Telaga Pengilon. Selain itu, suara
mesin penyedot menimbulkan suara yang dapat mengganggu kenyamanan satwa
dan mengganggu kenyamanan pengunjung untuk menikmati kegiatan wisata di
TWATWTP.
Ketika curah hujan dengan intensitas rendah (< 100 mm/bulan) terjadi pada
bulan Juli sampai dengan bulan September di sekitar kawasan TWATWTP sering
terjadi frost. Frost merupakan embun pagi yang membeku sehingga membentuk
kristal-kristal es seperti salju, sehingga masyarakat mengenalnya dengan sebutan
embun upas. Menurut wawancara dengan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten
Wonosobo, pada hari itu ada tiupan angin yang suhu udaranya mendadak turun
hingga 0 °C, sehingga embun yang menempel ditanaman membeku kemudian dari
kejauhan terlihat seperti embun yang seperti kapas. Menurut Handoko (1993)
embun dan ibun putih merupakan hasil kondensasi pada permukaan yang dingin
karena pancaran radiasi gelombang panjang pada malam hari dengan langit cerah
dan angin lemah. Kristal-kristal es yang terbentuk karena butir air lewat dingin
menyentuh benda dingin sehingga terjadi frost.
Menurut data, suhu udara mengalami penurunan pada bulan Juli-September
(Gambar 2), kelembaban mengalami penurunan pada bulan September (Gambar 5),
hari hujan (Gambar 9) dan curah hujan (Gambar 10) juga mengalami penurunan
14
yang terjadi pada bulan Juli-September. Menurut Handoko (1993) jika kelembaban
kecil diperlukan penurunan suhu yang besar untuk mencapai suhu titik embun. Hal
ini dapat berpotensi terjadinya embun upas dan juga terjadi peningkatan frekuensi
embun upas dalam beberapa tahun terakhir di sekitar kawasan TWATWTP.
Embun upas hanya terjadi beberapa hari, rata-rata frekuensi sekitar 3-5 kali
dalam sebulan, namun munculnya embun upas tidak menentu sehingga tidak bisa
diprediksi. Tanda-tanda terjadinya embun upas yaitu pada siang hari udara lebih
panas, namun ketika malam hari udara terasa lebih dingin sehingga menyebabkan
air dingin sekali, menjelang malam hari angin tenang seperti tidak ada angin,
menjelang malam hari terdapat kabut tebal yang muncul di atas permukaan tanah
setinggi 1-2 m, dan langit cerah. Jam 3 subuh mulai terjadi embun upas dan jam 7
pagi biasanya upas sudah mencair. Menurut responden, wisatawan ingin tahu untuk
merasakan langsung kejadian embun upas. Namun adanya embun upas tidak begitu
berpengaruh terhadap peningkatan wisatawan karena belum pasti hari atau tanggal
embun upas itu akan terjadi. Wisatawan ramai pada bulan Agustus karena
bertepatan dengan acara tahunan dieng yaitu Dieng Culture Festival. Suhu udara
yang dingin menyebabkan pendapatan pedagang di sekitar kawasan TWATWTP
meningkat. Hal ini karena wisatawan ramai untuk membeli penghangat seperti kaus
kaki, syal, topi, dan sarung tangan.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan Dinas Pertanian
Kabupaten Wonosobo, lokasi yang terkena embun upas tidak merata dan bisa
berpindah-pindah, dalam satu lokasi antara 3-5 ha tetapi bisa lebih dari satu lokasi
dalam saat yg bersama. Embun upas terjadi pada tanah pertanian yang datar atau
lapang dan dekat dengan cekungan lembah sehingga kebun yang disekitar lembah
bisa terkena. Di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon potensi
terkena upas yaitu jalan menuju gua dan di sekitar telaga Pengilon, sedangkan
potensi terkena upas di sekitar kawasan TWATWTP yaitu di area pertanian yang
datar, sepanjang jalan dan komplek candi. Embun upas yang terdapat di rerumputan
memberikan sebuah pemandangan yang indah sehingga bisa dijadikan daya tarik
bagi wisatawan. Di Pulau Jawa, fenomena embun upas ini hanya terjadi di Kawasan
TWATWTP dan sekitarnya. Adanya lokasi titik potensi embun upas dapat
dijadikan daya tarik wisata sehingga bisa dibuat sebuah atraksi wisata yang baru
terhadap iklim ekstrem (Gambar 13).
Fenomena embun upas juga berdampak bagi masyarakat di sekitar kawasan
TWA Telogo Warno Telogo Pengilon terutama pada lahan pertanian kentang.
Mayoritas masyarakat sekitar kawasan TWATWTP bertani kentang. Menurut BPS
(2014) Kecamatan Kejajar merupakan salah satu sentra penghasil sayuran di Jawa
Tengah, khususnya untuk tanaman kentang. Apabila terkena embun upas, produksi
pertanian menurun. Menurut hasil wawancara kepada Dinas Pertanian Kabupaten
Wonosobo, tanaman bisa mati terkena embun upas karena cairan didalam tubuh
tanaman itu mendadak beku kemudian volume cairan itu menjadi lebih besar dan
menyebabkan pecahnya sel-sel di dalam tubuh tanaman sehingga tanaman mati dan
layu. Namun kematian juga bergantung pada umur tanaman, apabila umur tanaman
kentang sudah tua, tanaman tidak mati karena tanaman sudah terbentuk umbi.
Menurut Aldrian et al. (2011) perubahan iklim yang drastis, cepat, dan besar
menyebabkan kerusakan pada tanaman.
15
Gambar 13 Titik potensi embun upas
Aktifitas ekowisata sangat terkait dengan sumberdaya alam hayati. Oleh
karena itu sangat penting mengetahui perubahan iklim terhadap sumberdaya alam
hayati sebagai daya tarik ekowisata, agar ekowisata dapat berjalan dengan optimal,
efisien dan efektif (Muntasib 2014). Menurut MacKinnon et al. (2010) pada akhir
musim hujan ketika air mencapai level tertinggi, burung air membuat sarang di atas
pohon yang tumbuh di dalam air sehingga aman. Sehingga, ketika cuaca cerah
(Gambar 10) yaitu pada bulan lembab (Juli dan September) dan bulan kering
(Agustus) wisatawan dengan mudah dapat melihat satwa terutama burung air di
Telaga Warna dan Telaga Pengilon yaitu kareo padi (Amaurornis phoenicurus), itik
gunung (Anas superciliosa), dan mandar batu (Gallinula chloropus). Burungburung tersebut mudah dijumpai ketika pagi hari karena burung (terkecuali burung
malam) adalah satwa yang paling aktif pada pagi hari (MacKinnon et al. 2010).
Amaurornis phoenicurus memiliki kebiasaan mengendap-endap dalam semak yang
lembab dan tinggal di pinggir danau, tepi sungai, hutan mangrove, dan sawah bila
tempat itu cukup rapat untuk bersembunyi (MacKinnon et al. 2010). Anas
superciliosa mencari makan di permukaan air dan juga Gallinula chloropus
kebanyakan hidup di air, berenang perlahan-lahan dan pada pagi hari dan sore hari
datang ke daerah terbuka untuk mencari makan (MacKinnon et al. 2010). Hal
tersebut menyebabkan wisatawan dapat menjumpai burung-burung air sedang
berenang dan juga mencari makan di penggir Telaga warna dan Telaga Pengilon.
Selain itu, terdapat mamalia yaitu tupai (Tupaia montana) dan garangan
(Herpestes semitorquatu). Namun wisatawan sulit untuk menemukan tupai dan
garangan, karena tupai sangat aktif untuk berpindah dari pohon satu ke pohon
lainnya. Menurut Maryanto et al. (2012) garangan (Herpestes semitorquatu)
merupakan spesies diberbagai habitat, lebih menyukai hidup didekat dengan air dan
16
menyukai habitat yang memiliki vegetasi lebat, spesies ini juga toleran terhadap
gangguan lingkungan.
Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon memiliki suhu yang
rendah dengan kelembaban yang tinggi dan juga curah hujan yang tinggi sehingga
tanaman bawah didominasi oleh jenis paku dan pakis-pakisan yaitu paku cakar
ayam (Selaginella plana), pakis jebul (Crypteronia peniculata), pakis galar
(Cyathea contaminant), pakis haji (Cycas rumphii), pakis emas (Ciboium barometz),
pakis andam (Dicranopteris dichotoma), pakis jangan (Pleocnemia irregularis),
dan pakis urang (Dryopteris pteroides). Menurut (Hoshizaki dan Moran 2001)
tumbuhan paku yang tumbuh di daerah tropis pada umumnya menghendaki kisaran
suhu 21-27 °C untuk pertumbuhannya dan kelembaban relatif yang baik bagi
pertumbuhan tumbuhan paku pada umumnya berkisar antara 60-80%. Di Kawasan
Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon memiliki suhu udara dengan
kisaran 22.1-24.0 °C (Gambar 2) dan kelembaban udara 83-89% (Gambar 5). Hal
ini meyebabkan di kawasan TWATWTP cocok untuk tumbuhan paku karena
kisaran suhu udara dan kelembaban udara tersebut merupakan suhu udara dan
kelembaban udara yang baik untuk pertumbuhan paku.
Selain itu, terdapat jenis tumbuhan yang berpotensi untuk objek daya tarik
wisata sebagai keindahan di TWATWTP yaitu panca warna (Hydrangea
macrophylla), kecubung (Datura metel), cemara gunung (Casuarina junghuniana),
gelagah (Saccharum spontaneum), dan puspa (Schima noronhae). Wisatawan dapat
menikmati keindahan tanaman-tanaman tersebut pada musim tansisi antara musim
hujan dan musim kemarau. Hal ini karena pada musim itu tanaman mulai berbunga.
Menurut (Pinyopusarerk dan Williams 2005) Casuarina junghuniana toleran
terhadap kebakaran dan meningkatkan kesuburan tanah. Cemethi (Salix
babylonica) dan Tengsek (Dodonea viscusa) merupakan tumbuhan khas yang
memiliki mitos dan nilai ekonomi yang dapat dijadikan cinderamata (keris,
gantungan kunci dan wayang) sehingga dapat dibudidayakan agar tetap lestari.
Kebutuhan Bidang Ekowisata terhadap Informasi Perubahan Iklim
Kebutuhan setiap sektor tentang informasi perubahan ikim tentu saja berbedabeda, karena sesuai dengan kegiatan serta tugas yang dijalankan oleh sektor tersebut
(Muntasib 2014). Adapun matriks kebutuhan ekowisata terhadap informasi
perubahan iklim dengan mengacu Muntasib (2014) dapat dilihat pada Tabel 2.
Untuk bidang ekowisata di TWATWTP dan sekitarnya, terdapat tiga jenis
informasi yang dibutuhkan. Informasi tersebut dapat disampaikan sebelum kegiatan
wisata dilakukan yaitu bisa sampai satu tahun sebelum kegiatan, enam bulan atau
tiga bulan sebelumnya (Muntasib 2014). Agar wisata sudah mulai dipromosikan
dan dijual kepada wisatawan.
1.
Suhu udara
Informasi suhu udara (rata-rata, maksimum dan minimum) dibutuhkan untuk
semua pengelola wisata dan wisatawan karena berpengaruh terhadap
kenyamanan berwisata. Hal itu juga terkait dengan pakaian serta sarana wisata
yang akan disarankan oleh pengelola kegiatan kepada wisatawan.
Kelembaban udara
2.
17
3.
Informasi kelembaban udara (rata-rata, maksimum dan minimum) dibutuhkan
untuk merencanakan kegiatan wisata pada lokasi yang mempunyai kelembaban
tinggi.
Curah hujan
Informasi curah hujan penting bagi pengelola wisata dan wisatawan karena pada
umumnya wisatawan menghindari hujan. Pengelola wisata diharapkan lebih
dahulu sudah mengetahui kondisi curah hujan sehingga menyampaikan kepada
wisatawan untuk mempunyai persiapan terlebih dahulu atau pengelola tidak
menawarkan kegiatan wisatanya apabila terjadi curah hujan ekstrem.
Tabel 2 Matriks kebutuhan ekowisata penyusunan konsep implementasi adaptasi
perubahan iklim
No Bentuk
Mekanisme
Manfaat
Diseminasi
1. Informasi tren perubahan Website BMKG
Promosi wisata
suhu udara
Web link ke
Kepastian penjualan paket
Informasi harian
BKSDA, Dinas
wisata
Peta lokasi cuaca (suhu
Kebudayaan dan
Kepastian merancang even
panas) ekstrim
Pariwisata
wisata
(Disbudpar), Dinas
Pertanian
Buku informasi peta
2. Peta lokasi dan dinamika Website BMKG
Peringatan dini pada saat
kelembaban udara
Web link ke
terjadinya perubahan
Informasi harian
BKSDA, Dinas
kelembaban udara yang
Kebudayaan dan
ekstrem
Pariwisata
(Disbudpar), Dinas
Pertanian
Buku informasi peta
3. Informasi tren curah
Website BMKG
Mentukan Tourism Gold
hujan
Web link ke
Period
Early warning system
BKSDA, Dinas
Menentukan periode
untuk curah hujan
Kebudayaan dan
wisata terbatas
ekstrim
Pariwisata
Perencanaan
Peta spasial curah hujan
(Disbudpar), Dinas
penanggulangan bahaya
(musiman)
Pertanian
Peta overlay rute jalan
Buku informasi peta
raya dengan peta rawan
banjir atau longsor
Informasi mingguan
curah hujan
Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata
Dampak yang ditimbulkan karena fenomena perubahan iklim menyebabkan
masyarakat, pemerintah daerah setempat dan juga pengelola TWATWTP
18
melakukan tindakan strategi adaptasi agar wisata tetap terselenggara. Adapun
Strategi Adaptasi yang sudah dilakukan oleh pengelola TWATWTP yaitu:
1.
Untuk wilayah Jawa Tengah setiap tahun diselenggarakan apel siaga yaitu
bagaimana teknik-teknik menghadapi kebakaran hutan. Pembentukan tim
SAR di Dieng sudah terbentuk, namun untuk pembentukan dari BKSDA
belum terbentuk. Untuk alat-alat pemadam kebakaran, dahulu ada pengadaan
namun tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, contohnya pemukul api yang
terbuat dari besi sehingga kesulitan untuk penggunaan.
2.
Pada bulan Agustus (bulan kering), pengelola membuat sekat bakar di daerah
rawan kebakaran namun tidak dibuat permanen yaitu daerah rumput dari
perbatasan Telaga Warna sampai Telaga Pengilon dan juga dari perbatasan
daerah Kawah Sikidang dibersihkan. Pembuatan sekat bakar dilakukan,
apabila terjadi kebakaran tidak menjalar ke area yang lebih luas.
Tindakan adaptasi dilakukan sebagai antisipasi terhadap dampak yang timbul
karena perubahan iklim. Adapun strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada
ekowisata yang dapat dilakukan yaitu:
Pengelola TWATWTP bersama pemerintah daerah dan BMKG bekerja sama
1.
untuk melakukan program pengurangan resiko bahaya dengan
menyampaikan informasi iklim (suhu udara, kelembaban udara dan curah
hujan) seawal mungkin kepada para pelaku wisata maupun masyarakat
daerah apabila terjadi kondisi ekstrem. Sehingga penyebarluasan informasi
iklim dan cuaca dapat tersampaikan secara cepat, tepat dan aktual.
2.
Pengelola TWATWTP bersama pemerintah daerah dan BMKG bekerja sama
untuk mengidentifikasi waktu dan tempat terjadinya embun upas dengan
melakukan pemantauan areal yang sering terkena bencana akibat perubahan
iklim secara berkala. Sehingga bisa dijadikan sebuah atraksi wisata untuk
ditawarkan kepada wisatawan.
3.
Pengelola TWATWTP bersama pemerintah daerah dan BMKG bekerja sama
untuk melakukan sosialisasi terhadap para pelaku wisata untuk
memanfaatkan informasi iklim dan cuaca sehingga dapat menyusun kalender
even wisata untuk melakukan promosi wisata.
4.
Masyarakat secara periodik mendapatkan informasi tentang cuaca terutama
menjelang musim hujan atau musim kemarau sehingga masyarakat bisa
mengantisipasi kondisi cuaca. Pembinaan masyarakat untuk menghadapi
perubahan iklim terhadap usaha wisata dan pertanian.
5.
Pelaku wisata membuat paket wisata dan promosi terhadap fenomena
perubahan iklim yang terjadi. Promosi dapat dilakukan dengan cara
memperkenalkan objek wisata dan menceritakan fenomena embun upas
kepada wisatawan sehingga wisatawan penasaran untuk merasakan embun
upas.
19
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
2.
3.
Fenomena perubahan iklim terjadi di Taman Wisata Alam Telogo Warno
Telogo Pengilon dan sekitarnya yang meliputi suhu udara, kelembaban udara,
dan curah hujan yang berfluktuasi cenderung meningkat.
Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dilakukan agar wisata tetap
terselenggara yaitu pengelola TWATWTP bersama pemerintah daerah dan
BMKG bekerja sama untuk mengidentifikasi informasi terhadap cuaca,
sehingga dapat dilakukan program pengurangan resiko bahaya dengan
menyampaikan informasi seawal mungkin. Informasi cuaca juga dapat
dijadikan sebagai pedoman bagi kegiatan wisata agar tetap terselenggara.
Salah satu bentuk perubahan iklim yaitu meningkatnya frost (embun upas)
sehingga berdampak negatif pada pertanian masyarakat sekitar kawasan
TWATWTP. Namun, fenomena frost bisa menjadi daya tarik wisata untuk
dijadikan sebuah atraksi wisata yang baru.
Saran
Sosialisasi mengenai perubahan iklim kepada pelaku wisata dan masyarakat
secara cepat, tepat dan aktual, agar mereka dapat memahami dan mampu
beradaptasi dalam merespon dampak perubahan iklim serta tanggap terhadap resiko
bahaya. Pengelola TWATWTP, pemerintah daerah bersama BMKG Mulai
mengidentifikasi waktu terjadinya frost.
DAFTAR PUSTAKA
[BKSDA] Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Tengah. 2012. Rencana
Pengelolan Jangka Panjang Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo
Pengiloin Periode 2013 sampai 2022. Jawa Tengah (ID): BKSDA Jawa
Tengah.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Kecamatan Kejajar dalam Angka 2014.
Wonosobo (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo.
[IPCC]. 2007. Climate Change 2007. The Physical Science Basis. Contribution of
Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change [Solomon S, D Qin, M Manning, Z Chen, M
Marquis, KB Averyt, M Tignor and HL Miller (eds)]. New York (USA):
Cambridge University Press.
Aldrian E, Budiman, Karmin M. 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di
Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara
Kedeputian Badan Klimatologi.
Aldrian E, RD Susanto. 2003. Identification of three dominant rainfall regions
within Indonesia and their relationship to sea surface temperature.
International Journal of Climatology, 23, 1435-1452.
20
Guilford JP, Fruchter B. 197l8. Fundamental Statistics in Psychology and
Education. London (UK): McGraw-Hill.
Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Bogor (ID): Pustaka Jaya.
Hilman M. 2007. Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim.
Jakarta (ID): Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Hoshizaki BJ, Moran RC. 2001. Fern Grower‟s Manual. Portland (US): Timber
Press. 604 p.
MacKinnon J, Phillipps K, Balen BV. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa,
Bali dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam).
Bogor (ID): LIPI.
Maryanto I, Noerdjito M, Partomihardjo T. 2012. Ekologi Gunung Slamet
Geologi, Klimatologi, Biodiversitas Dan Dinamika Sosial. Universitas
Jenderal Sudirman (ID): Pusat Penelitian Biologi-Lipi.
Muntasib EKSH. 2014. Konsep Implementasi Adaptasi Sektoral Perubahan Iklim:
Kebutuhan Layanan Iklim di Sektor Pariwisata. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Jakarta (ID).
Halaman 251-271.
Pinyopusarerk, Williams. 2005. Variations In Growth And Morphological
Characteristic Of Casuarina Junghuhniana Provenances Grown In Thailand.
Bangkok (TH): Royal Forest Departemen.
Rosyidie A. 2004. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pariwisata [Laporan
Penelitian]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Schmidth FH, Ferguson JH. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period for
Indonesia with Western New Guinea. Djakarta (ID): Kementrian
perhubungan Djawatan Meteorologi dan Geofisika.
Sutjahjo H, Gatut S. 2007. Akankah Indonesia Akan Tenggelam Akibat Pemanasan
Global?. Jakarta (ID): Penebar Plus.
Wardiyanta. 2006. Metode Penelitian Pariwisata. Yogyakarta (ID): Penerbit ANDI.
21
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 November 1992 dari Bapak
Miftahudin dan Ibu Juhairiah. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 85
Srengseng pada tahun 2007-2010 dan melanjutkan S1 di Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2010.
Selama menempuh kuliah di IPB, penulis mengikuti beberapa organisasi
seperti menjadi anggota Biro Sosial dan Lingkungan Himpunan Mahasiswa
Konservasi (Himakova) serta ikut dalam Kelompok Pemerhati Ekowisata 20112012. Bersama Himakova, penulis mengikuti kegiatan ekspedisi Eksplorasi Fauna,
Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Taman Wisata Alam Sukawayana
(2012) dan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti (2013). Penulis pernah menjadi
asisten Pendidikan Konservasi (2013-2014) dan Interpretasi Alam (2014-2015).
Penulis juga pernah melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan
(PPEH) di Taman Nasional Gunung Ciremai dan KPH Indramayu tahun 2012,
Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2013,
serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Wisata Alam Telogo Warno
Telogo Pengilon tahun 2014.
Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Strategi Adaptasi terhadap
Perubahan Iklim pada Ekowisata di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo
Pengilon dan Sekitarnya” dibawah bimbingan Prof Dr E.K.S. Harini Muntasib, MS
dan Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB.
Download