5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Apendiks Apendiks vermiformis adalah organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid di dalam dindingnya. Apendiks melekat pada permukaan postereomedial caecum, sekitar 1 inci (2,5cm) dibawah juncture ileocaecalis. Apendiks vermiformis diliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada mesenterium intestinum tenue oleh messenteriumnya sendiri yang pendek disebut mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteria dan vena appendicularis dan nervus. Gambar 2.1 Retrocaecal Apendiks Apendiks vermiformis terletak di fosa illiaca dextra, dan dalam hubunganya dengan dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis yang menghubungkan spina illiaca anterior superior dan umbilicus (titik Mcburney). Di dalam abdomen, dasar apendiks vermiformis mudah Universitas Sumatera Utara 6 ditemukan dengan mencari taenia coli caecum dan mengikutinya sampai apendiks vermiformis, dimana taenia ini bersatu membentuk tunica muscularis longitudinalis yang lengkap( Richard Snell, 2013) Apendiks vermiformis mendapat pendarahan melalui arteria appendicularis yang merupakan cabang dari arteria caecalis, sedangkan vena mengalirkan darahnya ke vena caecalis posterior. Aliran linfe mengalirkan cairan limfe mesoapendiks dan akhirnya bermuara ke nodi mesenterici superiors. Apendiks disarafi oleh saraf simpatik dan nervus vagus dari plexus mesentricus superior. Serabut saraf aferen yang menghantarkan rasa nyeri visceral dari apendiks berjalan bersama saraf simpatik dan masuk ke medulla spinalis setinggi vertebra thoracica X. (Snell, 2012) 2.2 Histologi Apendiks Morfologi dari appendiks mirip dengan kolon, kecuali ada beberapa modifikasi. Dalam membandingkan mukosa appendiks dengan kolon, epitelnya mengandung banyak sel goblet, lamina propia dibawahnya mengandung kelenjar intestinal (kriptus Lieberkuhn), dan terdapat Muskularis Mukosa. Kelenjar intestinal di appendiks kurang berkembang dan lebih pendek, dan sering berjauhan letaknya dibandingkan di kolon. Jaringan limfoid difus di dalam lamina propia sangat banyak dan sering terlihat di submukosa. Nodulus limfoid dengan pusat germinal banyak ditemukan dan sangat khas bagi appendiks. Nodulus ini berasal dari lamina propia dan meluas dari epitel permukaan hingga submukosa. Submukosa memiliki banyak pembuluh darah. Muskularis eksterna terdiri atas lapisan sirkular dalam dan longitudinal luar. Ganglion parasimpatis pleksus mienterikus terletak di antara lapisan otot polos sirkular dalam dan longitudinalis luar muskularis eksterna. Lapisan terluar appendiks adalah serosa dengan sel adipose. (diFiore) Universitas Sumatera Utara 7 Gambar 2.2 Normal Apendiks 2.3 Fisiologi Apendiks Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh. Universitas Sumatera Utara 8 2.4 Apendistis Akut Gambar 2.3 Apendisitis Akut. Infiltrat Inflamasi akut yang berat menyebar melalui ketebalan dari dinding apendiks, menghancurkan mukosa, tempat dimana pulau kecil (M) berada, dan otot polos. Inflamasi menyebar ke serosa. 2.4.1. Etiologi Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan factor pencetus di samping hyperplasia jaringan limf, fekalit*, tumor apendiks, dan cacing ascaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang dapat diduga menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkannya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut. Universitas Sumatera Utara 9 Obstruksi dari lumen adalah faktor etiologi dominan pada apendisitis akut. Fecalit adalah penyebab yang paling sering dari obstruksi apendiks. Penyebab yang lebih jarang adalah hypertrophy dari jaringan limfoid, inspissated barium from previous x-ray studies, tumor, sayur – sayuran dan biji buah – buahan, dan parasit usus. Frekuensi dari obstruksi meningkat dengan keparahan dari proses inflamasi. Fecalith ditemukan 40% dari kasus apendisitis akut sederhana, pada 65% kasus apendisitis gangrenosa tanpa ruptura dan sekitar 90% oada kasus apendisitis gangrenosa dengan ruptur.( Schwartz) 2.4.2. Epidemiologi Puncak insidensi dari apendisitis akut adalah pada dasawarsa kedua dan ketiga hidup. Sangat jarang terjadi pada umur eksrim . Pria dan wanita sama – sama terkena, kecuali diantara masa pubertasa dan umur 25 tahun, dimana pria lebih dominan dengan perbandingan 3:2. Perforasi pada penyakit ini lebih umum terjadi pada bayi dan lansia, yang dimana periode kematian merupakan yang paling tinggi. Rasio kematian menurun di Eropa dan di Amerika Serikat dari 8.1 per 100 ribu populasi pada 1941 menjadi <1 dalam 100,000 pada tahun 1970 dan terus menurun. Insidensi absolut dari penyakit ini juga menurun sekitar 40 % pada kisaran tahun 1940 dan 1960 namun terus berubah. Meskipun beberapa faktor seperti perubahan pola makan, flora normal usus yang lain, dan nutrisi yang lebih baik serta pemberian vitamin diduga menjelaskan penurunan insidensi yang terjadi. Keseluruhan insidensi dari apendisitis jauh lebih rendah di negara yang sedang berkembang , terutama bagian negara Afrika, dan di negara dengan sosioekonomi rendah. (Harrison, 2005) Apendisitis akut dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20 – 30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20 – 30 tahun, ketika insidens pada lelaki lebih tinggi. Universitas Sumatera Utara 10 2.4.3. Patologi Sesuai dengan yang disebutkan diatas, maka patologi yang didapat pada apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehinga terbentuk masa periapendikular yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut. 2.4.4. Gambaran klinik Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsangan peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis adalah samar- samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah kekanan bawah ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatic setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bias mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk. Bila terdapat apendiks retrosaekal diluar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak Universitas Sumatera Utara 11 ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis bisa meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. Tabel 2.1 Gambaran Klinis Apendisitis Akut - Tanda awal Nyeri mulai dari epigastrium ata regio umbilikus disertai mual dan anoreksi - Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik McBurney - Nyeri tekan Nyeri lepas Defans Muskuler Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing) Nyeri kanan bawah bila ditekan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg) Nyeri tekan bawah bila peritoneum bergerak, seperti napas dalam, berjalan, batuk, dan mengedan. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena gejala Universitas Sumatera Utara 12 yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80– 90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar – samar saja. Tidak jarang terlambat didiagnosis,. Akibatnya lebih dari setengah penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks tersorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke region lumbal kanan. 2.4.5. Pemeriksaan Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 -38,5’C. Bila suhu lebih tinggi mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaaan suhu aksilar dan rektal sampai 1’ celcius. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses apendikuler. Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muscular menunjukan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosaekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus, maka keluhan nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester II dan trimester III akan bergeser ke kanan sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak berbeda dengan pada orang tidak hamil. Karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri berasal dari apendiks atau uterus. Bila penderita miring ke kiri nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, maka terbukti proses berasal Universitas Sumatera Utara 13 bukan dari apendiks. Peristaltis usus sering normal; peristaltis dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dilakukan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m.psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri. 2.4.6. Diagnosis Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15 – 20 % kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding laki – laki. Hal ini dapat disadari mengingat perempuan terutama yang masih muda sering timbul ganguan mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lainya. Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut bila diagnosis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1 – 2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi bias meningkatkan akurasi diagnosis. Demikian pula laporoskopi pada kasus yang meragukan. Pemeriksaan leukosit membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositiosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi. (Sjamsuhidajat et al) Universitas Sumatera Utara 14 2.4.7. Diagnosis Banding Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. a. Gastroenteritis Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukosit kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. b. Demam Dengue Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopeni, dan hematocrit yang meningkat. c. Limfadenitis mesenterika Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut samar, terutama kanan. d. Gangguan alat kelamin perempuan Folikel ovarium yang pecah (ovulasi ) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama 2 hari. e. Infeksi Panggul Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul padabiasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Rasa nyeri sekali di panggul pada colok vaginal jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding. f. Kehamilan Ektopik Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar Rahim dengan pendarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok Universitas Sumatera Utara 15 hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosuntesis didapatkan darah. g. Kista ovarium terpuntir Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan terab massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrsonografi menentukan diagnosis. h. Endometriosis eksterna Endometrium diluar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis berada dan darah terkumpul sewaktu menstruasi, karena tidak ada jalan ke luar. i. Urolitiasis pielum Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria seirng ditemukan. Foto polos atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielo nefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria. j. Penyakit Lain Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut seperti diverticulitis Meckel. Perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, diverticulitis kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks. 2.4.8. Tatalaksana Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi Universitas Sumatera Utara 16 terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak. 2.4.9. Komplikasi Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang berapa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum , dan lekuk usus halus. a. Massa Apendicular Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa apendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih bebas sebaiknya segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak, dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan pendinginan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik dambil dilakukan pemantauan terhadap shu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, masssa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar pendarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakkan dari karsinoma sekum, penyakit Chron, dan amuboma. Perlu juga disingkirkan kemungkinan Universitas Sumatera Utara 17 aktinomikosis intestinal, entritis tuberkulosa, dan kelainan ginekologik sebelum memastikan diagnosis massa apendiks. Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang khas. Apendektomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekedar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. Bila sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja; apendektomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika, pada saat dilakukan drainase bedah, apendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus dilakukan apendektomi. b. Apendisitis Perforata Adanya fekalit dalam lumen, umur (orang tua dan anak kecil), dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya perforasi apendiks. Insidens perforasi pada penderita 60 tahun sekitar 60 %. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalnya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks, dan arteriosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masihi tipis, anak kurang komunikatif, sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendinginan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi diseluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan; peristaltis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di suatu tempat, paling sering rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicuragi sebagai abses. Ultra Universitas Sumatera Utara 18 sonografi da foto rontgen dada akan membantu membedakanya. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman Gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan kantong nanah. Akhir – akhir ini, mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan laparotomi terbuka, tetapi keuntunganya adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik. Karena terdapat kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, sebaiknya dilakukan pemasangan penyalir subfasia; kulit diiarkan terbuka dan nantinya akan dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi. Pemasangan penyalir intraperitoneal tidak perludilakukan pada abak karena justru lebih sering menyebabkan komplikasi infeksi. Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian (Craig, 2011). Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intraabdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks (Bailey, 1992). 2.5 Leukosit 2.5.1. Pengertian Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 50003 3 9000/mm , bila jumlahnya lebih dari 10.000/mm , keadaan ini disebut 3 leukositosis, bila kurang dari 5000/mm disebut leukopenia. (Effendi, Z., 2003) . Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular. Universitas Sumatera Utara 19 Leukosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular mengandung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair) dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu; limfosit yang terdiri dari selsel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis leukosit granular yaitu neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil). (Effendi, Z., 2003). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler denga menerobos antara sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. (Effendi, Z., 2003). 2.5.2 Jenis – jenis sel darah putih 2.5.2.1.Granula a. Neutrofil Neutrofil kadang disebut “soldiers of the body” karena merupakan sel pertama yang dikerahkan ke tempat akteri masuk dan berkembang dalam tubuh. Neutrofil merupakan sebagian besar dari leukosit dalam sirkulasi. Biasanya hanya berada dalam sirkulasi 7 – 10 jam sebelum bermigrasi ke jaringan, dan hidup selama beberapa hari dalam jaringan. Butir –butir azurofilik primer(lisosom) mengandung hydrolase asam, mieloperoksidase dan neutromidase (lisozim), sedang butir – butir sekunder atau spesifik mengandung laktoferin dan lisozim. Neutrofil mempunyai reseptor untuk IgG (FcyR) dan komplemen. Neutrofil yang bermigrasi pertama dari sirkulasi ke jaringan terinfeksi dengan cepat dilengkapi dengan berbagai reseptor seperti TLR2, TLR 4 dan reseptor dengan pola lain. Neutrofil dapat mengenal pathogen secara langsung. Ikatan dengan pathogen dan fagositosis dapat meningkat apabila antibodi atau komplemen yang berfungsi sebagai opsonin diikatnya. Tanpa bantuan antibodi spesifik, komplemen dalam serum dapat mengendapkan fragmen protein di Universitas Sumatera Utara 20 permukaan pathogen sehingga memudahkan untuk diikat oleh fagositosis dan neutrofil. Neutrofil menghancurkan mikroba melalui jalur oksigen independen (lisozim, laktoferin, ROI, enzim proteolitik, katepsin G dan protein katatonik) dan oksigen dependen. b. Eosinofil Sel ini serupa dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih merah gelap (karena mengandung protein basa) dan jarang terdapat lebih dari tiga lobus inti. Mielosit eosinofil dapat dikenali tetapi stadium sebelumnya tidak dapat dibedakan dari prekursor neutrofil. Waktu perjalanan dalam darah untuk eosinofil lebih lama daripada untuk neutrofil. Eosinofil memasuki eksudat peradangan dan nyata memainkan peranan istimewa pada respon alergi, pada pertahanan melawan parasit dan dalam pengeluaran fibrin yang terbentuk selama peradangan. (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996). c. Basofil Jumlah sel basofil yang ditemukan dalam sirkulasi darah sangat sedikit, yaitu <0,5% dari seluruh sel darah putih. Basofil diduga juga dapat berfungsi sebagai fagosit, tetapi yang jelas sel tersebut melepas mediator inflamasi. Sel mast adalah sel dalam struktur, fungsi dan proliferasinya serupa dengan basofil. Bedanya adalah sel mast hanya ditemukan dalam jaringan yang berhubungan dengan pembuluh darah dan basofil dalam darah. Baik sel mast maupun basofil melepas bahan- bahan yang mempunyai aktivitas biologik, antara lain meningkatkan permeabilitas vaskular, respons inflamasi dan mngerutkan otot polos bronkus. Granul – granul di dalam kedua sel tersebut mengandung histamin, heparin, leukrotin(dahulu SRS-A) dan ECF. Degranulasi dipacu antara lain oleh ikatan antara antigen dan IgE pada permukaan sel. Peningkatan kadar IgE ditemukan pada reaksi dan penyakit alergi. Dilain pihak peningkatan kadar IgE sering dihubungkan dengan imunitas terhadap parasit. Basofil dan sel mast yang diaktifkan juga melepas berbagai sitokin. Sel mast memiliki reseptor untuk IgE dan karenanya dapat diaktifkan oleh alergen yang spesifik. Selain pada reaksi alergi, sel mast juga berperan dalam pertahanan Universitas Sumatera Utara 21 pejamu, imunitas terhadap parasit dalam usus dan invasi bakteri. Jumlahnya menurun pada sindrom imunodefisiensi. Ada dua macam sel mast yaitu terbanyak sel mast jaringan dan sel mast mukosa. Yang pertama ditemukan sekitar pembuluh darah dan mengandung sejumlah histamin dan heparin. Pengelepasan mediator tersebut dihambat kromoglikat yang mencegah influks kalsium ke dalam sel. Sel mast golongan kedua ditemukan di saluran cerna dan napas. Proliferasinya dipacu IL-3 dan IL-4 dan ditingkatkan pada infeksi parasit. Kecuali melaui mekanisme IgE, sel mast dapat pula diaktifkan dan melepas mediator atas pengaruh PAF, C3a, C5a, PGF2a, fosfolipase, kimotripsin dan sengatan serangga. Bahan seperti adrenalin, beta-stimulan, PGE1, PGE2 dan ketotifen menghambat degranulasi sedang berbagai faktor nonimun seperti latihan jasmani, tekanan, trauma, panas, dan dingin dapat pula mengaktifkan dan degranulasi sel mast. Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi normal. Diameter basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-10 μm. Jumlahnya 1% dari total sel darah putih. Basofil memiliki banyak granula sitoplasma yang menutupi inti dan mengandung heparin dan histamin. Dalam jaringan, basofil menjadi “mast cells”. Basofil memiliki tempat-tempat perlekatan IgG dan degranulasinya. 2.5.2.2.Tidak Bergranula a. Monosit Selama hematopoiesis dalam sumsum tulang, sel progenitor granulosit/monosit berdiferensiasi menjadi premonosit yang meninggalkan sumsum tulang dan masuk kedalam sirkulasi untuk selanjutnya berdiferensiasi menjadi monosit matang dan berperan dalam berbagai fungsi. Monosit adalah fagosit yang didistribusikan secara luas sekali di organ limfoid dan organ lainya. Monosit berperan sebagai APC, mengenal, menyerang mikroba dan sel kanker dan juga memproduksi sitokin, mengerahkan pertahanan sebagai respon terhadap infeksi. IL-1, IL 6, dan TNF alfa yang diproduksinya, menginduksi panas dan produksi protein fase akut di hati, memodulasi produksi seng (Zn) dan Universitas Sumatera Utara 22 tembaga, menginduksi produksi hormone kortikotropik adrenal dalam otak dan mempengaruhi metabolism. Monosit juga berperan dalam remodeling dan perbaikan jaringan. Sel – sel imun nonspesifik ada dalam darah untuk 10 jam sampai dua hari sebelum meninggalkan darah. b. Limfosit Sebagian besar limfosit yang terdapat dalam darah tepi merupakan sel kecil yang berdiameter kecil dari 10μm. Intinya yang gelap berbentuk bundar atau agak berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas tegas. Nukleoli normal terlihat. Sitoplasmanya berwarna biru-langit dan dalam kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai halus sekitar inti. Kira-kira 10% limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan diameter 12-16μm dengan sitoplasma yang banyak yang mengandung sedikit granula azuropilik. Bentuk yang lebih besar ini dipercaya telah dirangsang oleh antigen, misalnya virus atau protein asing (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996). 2.3 Reaksi Inflamasi Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap masuknya benda asing, invasi mikroorganisma atau kerusakan jaringan. Dalam usaha pertama untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan yang rusak, maka tubuh akan mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat masuknya benda asing dan mikroorganisma atau jaringan yang rusak (Baratawidjaja K.G., 1998). Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi. Dalam proses inflamasi ada 3 hal yang terjadi sebagai berikut: i. Peningkatan peredaran darah ke tempat benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang rusak. ii. Peninggian permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel endotel. Hal tersebut memungkinkan molekul yang lebih besar seperti antibodi dan fagosit bergerak ke luar pembuluh darah dan sampai di tempat benda asing, mikroorganisme atau jaringan rusak. iii. Peningkatan leukosit terjadi terutama apabila fagosit polimorfonuklear dan makrofag dikerahkan dari sirkulasi dan bergerak ke tempat benda asing, Universitas Sumatera Utara 23 mikroorganisma atau jaringan yang rusak. Hal tersebut dipermudah dengan pelepasan C3a dan C5 pada aktivasi komplemen yang bersifat kemotaksis. Dalam proses tersebut banyak leukosit dihancurkan. Kemudian makrofag lain yang memasuki daerah tersebut akan mengakhiri inflamasi (Baratawidjaja K.G., 1998). Ketiga kejadian di atas disebut inflamasi. C3a dan C5a merupakan nafilatoksin yang dapat melepaskan histamin melalui degranulasi mastosit dan basofil yang juga mempunyai sifat biologik. Selain C3a dan C5a pada aktivasi komplemen dilepas bahan-bahan lain yang berperanan pada inflamasi. (Baratawidjaja K.G., 1998) Fagosit akhirnya memakan benda asing, mikroorganisma atau jaringan yang rusak. Selama proses tersebut enzim lisosom dilepaskan oleh makrofag ke luar sel, sehingga hal itu dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan sekitarnya. Jelas bahawa sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik bekerja sama dalam usaha untuk mengembalikan keseimbangan badan dan bahawa dalam usaha tersebut, hal-hal yang tidak menyenangkan untuk tubuh seperti panas, bengkak, sakit dan kerusakan jaringan dapat terjadi. Sel polimorfonuklear lebih sering ditemukan pada inflamasi akut, sedangkan proliferasi monosit ditemukan pada inflamasi kronik (Baratawidjaja K.G., 1998). 2.4 Rasio Neutrofil Limfosit Hasil penelitian kami menunjukan bahwa RNL dengan cutoff value 4,68 dapat secara signifikan membedakan apendiks normal dan Apendisitis Akut. Hasil ini lebih tinggi dari angka yang dikemukakan oleh penelitian sebelumnya namun lebih rendah dari angka yang dikemukakan Ischizuka et al. Sensitivitas dari cutofff value ini adalah 65,3 % yang berarti total 65% dari pasien dengan hasil histilogi yang Apendisitis Akut terdapat peningkatan rasio. Spesifisitas 57% juga termasuk rendah. Sensitivitas dan Spesifitas yang rendah ini bisa dijelaskan dengan keadaan bahwa pasien yang dipoerasi yang di masukan kedalam studi ini, data tentang dugaan kasus yang lain yang tidak dioperasi atau yang diobati tidak diketahui. Kelainan lain yang didapatkan adalah bahwa rasio wanita banding pria Universitas Sumatera Utara 24 lebih tinggi secara signifikan pada apendektomi group. Ini mungkin terjadi karena kelainan ginecologic yang meragukan Apendisitis Akut. (Kahramanca ,et al) Akhirnya, perbandingan antara umur dan RNL menunjukan bahwa yang terakhir lebih superior dibandingkan dengan yang terbaru. Masing-masing sensitivitas dan spesifisitas adalah 65% dan 27%, dan 73 % dan 39%. Karena RNL merupakan indikator diagnostic yang lebih baik dari pada umur untuk apendisitis gangrenosa, pasien yang menjalani operasi untuk apendisitis akut dapat dianggap memiliki resiko lebih besar akan apendisitis gangrenosa(OR 4,170) apabila mereka menunjukan nilai RNL tinggi (>8). Dengan demikian, RNL praoperatif muncul sebagai predictor paling baik dari apendisitis gangrenosa pada pasien yang menjalani operasi untuk apendsitis akut. Sebagai tambahan, meskipiun pasien yang lebih tua dengan apendisitis akut terkadang menunggu lebih lama untuk operasi karena sedikitnya gejala-gejala. RNL praoperatif yang lebih tinggi(>8) dapat memprediksi apendisitis akut yang parah sama baiknya dengan pemeriksaan imaging seperti computed topography dan netic resonance imaging. (Ischizuka, et al) Universitas Sumatera Utara