Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Karakteristik hubungan internasional yang lebih sarat dengan konflik1 daripada perdamaian selalu menjadi perdebatan yang menarik untuk diteliti. Intensitas konflik kekerasan di wilayah domestik suatu negara justru meningkat tajam di era penegakan hak asasi manusia seperti sekarang. Bangkitnya kelompok-kelompok pemberontak menjadi ancaman bagi pemerintah yang berdaulat dan juga masyarakat sipil yang sering menjadi target kekerasan dari kelompok tersebut. Banyaknya jumlah korban sipil yang berjatuhan membuat perhatian masyarakat internasional semakin meningkat terhadap isu perlindungan warga sipil yang sering menjadi korban dari konflik kekerasan di negaranya. Kebanyakan konflik antar kelompok di era sekarang dapat ditemukan di negara-negara sedang berkembang, khususnya di benua Afrika. Sejumlah besar grup komunal mendiami benua ini, ditambah dengan batas-batas negara buatan yang diciptakan oleh kolonial Eropa, semakin memperlengkapi kondisi yang dapat menjadi lahan yang subur bagi kompetisi etnis2. Sebagai bagian dari dunia yang sedang berkembang, Afrika menjadi justifikasi atas sejumlah besar konflik berbasis etnisitas, kekeluargaan, agama, dan nilai-nilai identitas lainnya. Dibandingkan dengan negara-negara yang sudah terkenal dengan sejarah kelam konfliknya di perbatasan utara, barat, timur, dan selatan, Republik Afrika Tengah3 adalah sebuah negara yang tidak terlalu dikenal dengan penduduk yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Meskipun demikian, populasinya telah mengalami penderitaan yang cukup lama akibat konflik kekerasan yang terjadi di 1 Robert Jackson & Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 88. 2 Raymond C. Taras & Rajat Ganguly. 2010. Understanding Ethnic Conflicts (4th Edition); Weak States and Ethnic Conflict: State Collapse and Reconstruction in Africa. London: Longman, hlm. 210. 3 Republik Afrika Tengah berbatasan langsung dengan Chad di sebelah utara, Kamerun di sebelah barat, Sudan dan Sudan Selatan di sebelah timur, serta Kongo dan Republik Demokratik Kongo di sebelah selatan. http://www.un.org/News/dh/infocus/centafricrepub/images/central-africanrepublic-map.jpg, diakses pada 18 Juni 2014. negara tersebut. Tidak banyak daerah di Republik Afrika Tengah yang dapat dikatakan benar-benar aman. Walaupun negara tersebut memiliki populasi yang jarang, namun negara tersebut tersiksa oleh begitu banyaknya aktor-aktor bersenjata. Para pemberontak ini menggunakan senjata mereka untuk berbagai macam alasan, tetapi mereka memiliki satu hal yang sama, yaitu masing-masing dari mereka kemungkinan merupakan lawan yang lemah bagi negara yang terorganisir dengan baik, namun hal itulah yang justru tidak dimiliki negara mereka. Sebagai negara yang termasuk dalam kategori negara termiskin di dunia 4, Republik Afrika Tengah telah menghadapi krisis kemanusiaan terparah sejak kemerdekaannya dari Perancis.5 Konflik yang terjadi berawal dari pertikaian politik yang menjurus pada konflik agama, bahkan kini mengarah kepada pembersihan etnis secara massal (genosida). Politik di negara tersebut pada akhirnya terpecah menjadi dua kelompok, yaitu Anti-Balaka yang didominasi Kristen dan Seleka yang didominasi Muslim.6 Republik Afrika Tengah jatuh dalam bencana kekerasan dan terindikasi genosida setelah koalisi pemberontak yang mayoritas Muslim (Seleka) berhasil menggulingkan Presiden Francois Bozize yang telah menjabat selama satu dekade pada Maret 2013.7 Pemimpin pemberontak, Michel Djotodia, kemudian berkuasa secara transisi dalam waktu 18 bulan yang disepakati oleh masyarakat internasional. Sejak saat itulah, kekerasan melanda seluruh negeri, khususnya antara Seleka melawan berbagai kelompok milisia.8 Namun sejak September 4 Republik Afrika Tengah menempati urutan ke-178 sebagai negara yang memiliki GDP terendah dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. The World Factbook – Central African Republic. https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/print/country/countrypdf_ct.pdf, diakses pada 10 Juni 2014. 5 Armed Conflict Location & Event Dataset. Conflict Trends (No.13); Real Time Analysis of African Political Violence, April 2013, hlm. 3. 6 Human Rights Watch. Central African Republic: War Crimes by Ex-Seleka Rebels, 25 November 2013. http://www.hrw.org/news/2013/11/24/central-african-republic-war-crimes-ex-selekarebels, diakses pada 23 Mei 2014. 7 Edith M. Lederer. UN may approve force for Central African Republic. The Associated Press, United Nations, 10 April 2014. http://www.thejakartapost.com/news/2014/04/10/un-mayapprove-force-central-african-republic.html, diakses pada 22 Mei 2014. 8 Dennis Pastoor. Vulnerability Assessment of the Christians in the Central African Repubic. World Watch Unit of Open Doors International, hlm. 4. 2013, kekuatan Djotodia melemah dan mengakibatkan kekosongan kekuasaan (vacuum of power), yang akhirnya diambil alih oleh kelompok Anti-Balaka yang membalaskan dendam terhadap Seleka dengan cara membantai Muslim di negara tersebut. Pada kenyataannya, tidak terdapat satupun rezim demokratis yang dibangun di kawasan Afrika Tengah; otokrasi9 adalah rezim yang mendominasi selama periode setelah merdeka, di mana partisipasi masyarakat sangat dibatasi10. Kompleksitas konflik regional di kawasan Afrika Tengah juga turut mempengaruhi peningkatan konflik di wilayah Republik Afrika Tengah, hingga menimbulkan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan di negara tersebut. Dari data yang diperoleh, dari total populasi sebanyak 4,6 juta jiwa, sekitar 1 juta jiwa telah mengungsi, dan 2,5 juta jiwa membutuhkan bantuan kemanusiaan sesegera mungkin.11 Populasi Muslim di Bangui juga telah menurun secara drastis dari 130.000 jiwa sejak tahun 2013, menjadi hanya 900 jiwa pada pertengahan tahun 201412. Untuk jangka waktu setahun, penurunan ini merupakan angka yang sangat mengejutkan. Hingga September 2014, konflik kekerasan yang terjadi telah menelan korban meninggal sebanyak lebih dari 5.000 jiwa.13 Jutaan orang telah kehilangan tempat tinggal dan anggota keluarga akibat kekerasan yang terjadi. Akibat yang ditimbulkan dari hilangnya tempat tinggal 9 Menurut Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik (1992), rezim otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokrator yang secara harfiah berarti “berkuasa sendiri” atau “penguasa tunggal”. Sistem politik ini menekankan pada hubungan kekerabatan dan ikatan primordial seperti ikatan keturunan, suku bangsa, atau agama yang terwujud dalam diri seorang pemimpin yang dominan (otokrat). Kewenangan otokrat bersumber dan berdasarkan tradisi atau warisan orang tuanya yang mungkin pernah memegang otokrat atau kerabat otokrat. 10 Monty G. Marshall. 2005. Conflict Trends In Africa, 1946 – 2004; A Macro Comparative Perspective. Virginia: Center for Global Policy – George Mason University, hlm. 15. 11 Azad Essa, dkk. Mapping Central African Republic’s Bloodshed, Aljazeera, 30 April 2014. http://www.aljazeera.com/indepth/interactive/2014/02/mapping-central-african-republicbloodshed-2014220135628374426.html, diakses tanggal 9 Juni 2014. 12 European Commission. Humanitarian Aid and Civil Protection. Echo Factsheet – 27 May 2014 Central African Republic, hlm. 2. http://www.europarl.europa.eu/meetdocs/2009_2014/documents/deve/dv/car_factsheet_2002 14_/car_factsheet_200214_en.pdf, diakses pada 5 Juni 2014. 13 Krista Larson. Report: Death Toll in Central African Republic Tops 5.000, Huffington Post, 12 September 2014. http://www.huffingtonpost.com/2014/09/12/central-african-republic-deathtoll_n_5810010.html, diakses tanggal 15 September 2014. tersebut adalah mereka terpaksa menjadi pengungsi di daerah-daerah perbatasan. Tak jarang masalah pengungsian ini menimbulkan permasalahan baru baik bagi para pengungsi maupun negara-negara tetangga yang mereka tuju, yang pada akhirnya mendukung terjadinya instabilitas kawasan Afrika Tengah. Konflik yang pada mulanya berakar pada kesenjangan politik dan ekonomi ini, berujung pada kekerasan sektarian yang terjadi hampir di semua wilayah Republik Afrika Tengah. RAT yang 80% warganya beragama Kristen menganggap bahwa Seleka adalah orang asing di negaranya. Parahnya, seranganserangan milisi telah menyebabkan warga Muslim meninggalkan tempat asal mereka dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekerasan ini juga sangat berdampak terhadap populasi yang paling rentan, yaitu wanita dan anakanak14. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini ingin melihat dinamika konflik Muslim dan Kristen yang terjadi sehingga dapat menunjukkan peningkatan dan penurunan intensitas konflik dalam skala waktu tertentu. Dari dinamika konflik tersebut akan dapat diketahui pada tahap mana situasi konflik15 di Republik Afrika Tengah sekarang berada. Penelitian ini menarik untuk diteliti karena berusaha menganalisis pola-pola peningkatan intensitas konflik dan apa yang sebenarnya mendasari terjadinya dinamika dalam konflik tersebut dengan tujuan menghindari pola-pola tersebut terjadi di masa depan. 14 Data yang ada menunjukkan bahwa dari total populasi yang mengungsi, 60 persennya adalah anak-anak, yang seharusnya justru mendapatkan perlindungan khusus dikarenakan ketidakmampuan dan masih tingginya ketergantungan mereka terhadap orang dewasa. 15 Simon Fisher, dkk. 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The British Council Indonesia, hlm. 19.