71 BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENYELESAIAN HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Analisis Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia Terhadap Kedudukan Hutang Piutang Suami atau Istri Dalam Hak dan Kewajiban Sebagaimana deskripsi pada dua bab terdahulu dapat dipahami bahwa dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia menjelaskan bahwasanya hutang piutang itu merupakan suatu peristiwa yang dimana ada dua pihak, pihak satu sebagai seseorang yang berhutang dan pihak kedua sebagai seseorang memberi hutang dengan berkewajiban untuk mengembalikan apa yang dihutangnya. Hanya saja ketika memasuki penjabaran lebih lanjut mengenai penyelesaian hutang piutang suami atau istri tanpa sepengetahuan pasangannya akan dirinci menjadi dua arah yang berbeda. Sebelum memasuki kedudukan hutang piutang suami atau istri mengenai hak dan kewajiban, harus diketahui maksud dari hutang piutang kedua hukum, dalam hukum Islam mempunyai arti yang sama 71 72 dengan hukum positif di Indonesia, sebagai mana dalam pasal 1754 yang berbunyi: Persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan pihak yang lain dengan suatu jumlah yang tertentu, barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula.89 Perbedaan dalam hukum Islam antar hutang piutang dengan meminjam mempunyai arti yang berbeda, jika hutang piutang dalam hukum Islam dinamakan Qard, sedangkan perjanjian pinjam meminjam dinamakan al-Ariyah, sedang dalam hukum perdata pengertian pinjam meminjam dengan hutang piutang adalah sama. Mengenai kedudukan hutang piutang suami atau istri dalam hak dan kewajiban perlu dipahami dulu dari segi ‚hak‛, ialah sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang timbul karena perkawinan. Sedangkan kewajiban ialah sesuatu yang harus dilakukan atau diadakan oleh suami atau istri untuk memenuhi hak dan dari pihak yang lain. Hak dan kewajiban suami istri menurut Hukum positif di Indonesia diatur Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, diatur dalam pasal 30 sampai pasal 34 yaitu: 89 R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, 399 73 a. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susuanan masyarakat. b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan pergaulan suami baik dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. c. Masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum. d. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. e. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.90 Dari pasal ini dapat dikatakan bahwasanya ketika telah terjadi perkawinan yang sah, secara eksternal seorang istri dapat menyamai kedudukan seorang suami dalam melakukan perbuatan hukum tanpa izin atau bantuan dari suaminya. Dalam arti sorang istri adalah cakap menurut hukum dalam segala hal yaitu melakukan perjanjian termasuk hutang piutang, bagitupun juga dengan seorang suami. Sedangkan dalam hukum Islam kedudukan hak dan kewajiban seorang suami istri tidak seimbang, hal ini didasari dalam surah Al-Baqara>h ayat 228, yang berbunyi : ٍََُِّْٓ ّدَرَجَخٌ َٔانهٍََِْٛٓ ثِبنًَْعْزُٔفِ َٔنِهزِجَبلِ عَهَٛ…َٔنٍََُٓ يِثْمُ انَذِ٘ عَه .ٌىِٛشٌ دَكِٚعَش 90 Departemen Agama RI, Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya, 29. 74 Artinya: ‚Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai tingkatan kelebihan dari pada istrinya‛.91 Maksud ayat diatas menjelaskan para wanita memiliki hak yang wajib atas suami-suami mereka, sebagaimana para suami memilki hak yang wajib maupun sunnah atas mereka (suami). Dalam hal ini Suami mempunyai hak dua kali lipat dari hak kaum wanita dalam hal perkara melakukan perjanjian hutang piutang dan sebagainya. Dalam arti seorang istri dalam hukum islam, dalam melakukan perjanjian hutang piutang harus memperoleh izin dari suaminya, dan suami tidak diharuskan mendapat izin dri isirinya. Karena kedudukan seorang suami dinyatakan sebagai pemimpin dalam keluarga karena suami diprioritaskan untuk mencari nafkah. B. Analisis Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia Terhadap Penyelesaian Hutang Piutang Suami atau Istri Tanpa Sepengetahuan Pasangannya Pada tulisan yang terdahulu dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia disitu pula telah diutarakan tentang hal yang berkaitan dengan adanya wanprestasi atau dalam halnya seseorang yang melanggar/tidak menepati janji disebut dalam hukum positif di Indonesia, 91 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 55. 75 sedangkan dalam hukum Islamnya disebut muflis. Dalam hukum Islam seseorang debitur dalam hal ini (suami atau istri) yang lalai dalam hal memenuhi kewajiban membayar hutang kepada kreditur dikatakan sebagai seseorang yang muflis atau bangkrut bahasa fikihnya al-ifla>s}h. Debitur yang muflis ketika terjadi kelalaian dalam memenuhi kewajibannya dalam hukum Islam tindakan debitur tersebut harus dibatasi apabila debitur tersebut mengalami al-ifla>s}h atau bangkrut. Dalam upaya hukum yang dilakukan bagi debitur yang muflis, kreditur tersebut dapat difasakh (membatalkan) tindakan debitur yang merugikan kreditur. Dan kreditur dapat mengajukan pengampuan atas tindakan debitur kepada hakim, sehingga debitur tidak dapat melakukan hukum atas kekayaannya. Dalam hukum Islam bahwasanya kewajiban membayar hutang selalu tekankan kepada umat muslim yang tersirat dari bunyi hadist Nabi saw : .َُُُّْمّْضَٗ عٚ َُِِّْٗ دَزََٚ ْفضُ انًُْؤْيٍِِ يُعَهَمَخٌ ثِّد Artinya: ‚Jiwa seorang mukmin itu tergantung kepada hutangnya, sehingga dibayarkan hutang tersebut.‛ (H.R. Tu>rmu>d}zi).92 92 Imam Al Hafizh Abu Isa Mu>hamma>d bin Isa bin> Su>ra>h At Trmid}zi, Su>nan At Tirmidzi juz II, (Terjemahan Moh Zuhri Dkk, Sunan At Tirmidzi Juz II), ( Semarang: CV. Asy Syifa, 1992), 403 76 Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia untuk mengatasi pihak debitur yang malas atau lalai dalam melunasi hutangnya, yaitu dengan cara mengingatkan pihak debitur. Dalam hukum positif di Indonesia, peringatan ini dikenal dengan ‚Sommasi‛, hal ini dilakukan secara tertulis sebagaimana pasal 1238 dan dilakukannya oleh seorang juru sita dari pengadilan. Debitur yang lalai, maka kreditur berhak mengajukan permintaan kepada pengadilan bahwasanya debitur tidak dapat mememuhi kewajibannya sebagaimana disebutkan dalam pasal 1266 BW yang berbunyi : ‚syarat-batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuanpersetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim, permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban di dalam persetujuan.93 Mengenai kewajiban seseorang debitur memenuhi suatu hutang dalam hukum positif tersirat pada pasal 1763 BW : ‚Bahwa seseorang yang telah menerima pinjaman sesuatu barang dari orang lain diwajibkan untuk mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama serta pada waktu yang ditentukannya.‛94 93 94 R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, 296. Ibid, 400. 77 Dari kedua sistem hukum di atas, semua menunjuk bahwa debitur mempunyai kewajiban untuk mengembalikan apa yang telah dipinjamnya. Dalam hukum Islam kewajiban membayar hutang tersebut tetap berlangsung meskipun ia telah meninggal dunia. Dan dalam hukum positif di Indonesia, selama hutang itu belum dibayar atau dilunasi, maka kewajiban membayar itu masih ada bilamana sampai terjadi wanprestasi, maka menurut pasal 1243-1252 BW, orang tersebut dapat dipaksa dan dikenai sanksi.95 Mengenai waktu pembayaran, dalam hukum Islam, waktu pembayaran tergantung pada sisi perjanjian yang diadakan, jika tidak disebutkan batas ketentuan waktu pembayarannya, maka pihak berhutang dapat ditagih sewaktu-waktu untuk membayar hutang tersebut. Jika telah ditentukan waktunya, maka membayarkan hutang ialah pada waktu yang telah ditentukan. Tapi bila pihak berhutang belum bisa membayar hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, maka dianjurkan (sunnah) pihak berpiutang memberikan kelonggaran waktu sampai ia mampu membayarnya. Sedang dalam hukum positif mengenai waktu pembayaran hutang tentu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, apabila tidak ditentukan waktu, bilamana ada gugatan dari pihak kreditur untuk meminta pengembalian 95 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW , 181. 78 pinjamannya, maka dalam hal ini hakim berwenang, berdasarkan pertimbangan keadaan untuk memberikan kelonggaran kepada peminjam dengan menetapkan sesuatu waktu atau tanggal dilakukannya pembayaran itu. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa kedua sistem hukum di atas mempunyai titik persamaan dalam memberikan kelonggaran waktu bagi pihak berhutang yang belum mampu membayarnya. Hanya saja hukum Islam, hal ini merupakan sunnah bagi pihak berpiutang bila dengan suka rela memberikan kelonggaran waktu, sedang dalam hukum positif di Indonesia dalam hal ini hakimlah yang berkuasa memberikan kelonggaran waktu kepada pihak berhutang dengan memperhatikan keadaan kedua belah pihak. Kemudian bilamana si berhutang masih belum mampu membayarnya, setelah diberi kelonggaran waktu, maka agama Islam menyerukan agar si kreditur menyedekahkan sebagian dari hutangnya. Pada tahap berikutnya, hukum Islam dan hukum positif di Indonesia mempunyai persamaan dalam mengatasi pihak debitur yang malas atau lalai dalam melunasi hutangnya, yaitu dengan mengingatkan pihak debitur dan dapat difasakh (dibatalkan) karena merugikan kreditur, dan kreditur dapat mengajukan pengampuan atas tindakan debitur 79 kepada hakim. Dalam hukum positif, peringatan ini dikenal dengan ‚Somasi‛, hal ini dilakukan secara tertulis sebagaimana pasal 1238 dan dilakukannya oleh seorang juru sita dari pengadilan. Hukum Islam dalam menerapkan suatu penyelesaian persengketaan memberikan jalan terbaik yaitu dengan jalan perdamaian yang dalam fiqh Islam disebut dengan istilah ash shulh yang artinya adalah sejenis akad untuk mengakhiri suatu perselisihan atau suatu kesepakatan untuk menyelesaikan pertikaian secara damai dan saling memaafkan.96 Sama halnya dengan hukum positif, bila perkara hutang piutang tersebut sudah diajukan ke Pengadilan, maka pengadilan juga memberikan kesempatan kepada pihak berperkara, untuk mencapai perdamaian di muka sidang, seperti halnya yang termaktub dalam pasal 1852 KUHPer97 dan apabila perdamaian itu sudah tercapai, maka oleh pengadilan dibuatkan sebuah akte perdamaian dan akte perdamaian ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Dari kenyataan di atas, bahwa antara hukum Islam dengan hukum positif di Indonesia mempunyai persamaan dalam tahap pertama proses penyelesaian hutang piutang, yaitu dengan jalan perdamaian, hanya saja perbedaannya dalam hukum Islam perdamaian itu terjadi bilamana sudah 96 97 Helmi karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raa Grafindo Persada, 1993), 49. R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata 414. 80 bertemu antara pihak yang berpiutang yang kemudian melakukan ija>b qa>bul Shu>lh atau perdamaian, lalu disertai dengan pelunasan hutanghutang oleh pihak berhutang atau penyerahan jaminan bilamana pihak berhutang tidak dapat melunasi hutang-hutangnya yang kemudian pihak berpiutang menerimanya, maka berakhirlah perjanjian hutang piutang tersebut. Sedang dalam hukum positif di Indonesia, perdamaian itu dapat ditempuh, bila sudah bertemunya kedua belah pihak, kemudian pihak debitur berjanji melunasi hutangnya atau menyerahkan jaminan atas hutang-hutangnya, dan pihak berpiutang menerimanya, maka berakhirlah perjanjian hutang piutang tersebut. Tetapi hal ini harus dilakukan di muka hakim, sehingga kedua belah pihak tidak diperkenannkan banding. Dengan perkataan lain hukum positif di Indonesia lebih mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga kedua belah pihak harus menaatinya dan tidak digugat lagi, lain halnya dengan hukum Islam, bukti perdamaian itu cukup dengan adanya ijab qabul antara kedua belah pihak, sehingga dikhawatirkan salah satu pihak bisa menggugat kembali.98 Tetapi bila jalan perdamaian itu sulit ditempuh, maka hukum Islam membolehkan masalah hutang piutang tersebut dilanjutkan ke 98 Chairuman Pasaribu, et al, Hukum Perjanjian Dalam Islam, 31. 81 pengadilan, sehingga perkara tersebut dapat terselesaikan. Walaupun sebenarnya hukum Islam memberatkan masalah persengketaan itu sampai ke pengadilan. Mengenai hal pembebanan hutang yang dibuat salah satu dari suami atau istri perlu dilihat dari sisi hutang pribadi atau hutang bersama. Kewajiban memikul dalam penyelesaian hukum positif di Indonesia perlu ditinjau harta bersama yang terdapat pada pasal 35 dan 36 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang mengatur harta benda dalam perkawinan. Harta benda dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan, harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, yang terhadap harta bersama tersebut, suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Untuk suatu hutang pribadi yang harus dituntut adalah suami atau istri tersebut yang membuat hutang, sedangkan yang harus disita adalah benda pribadi (benda pribadi). Apabila tidak mencukupi maka harta benda bersama dapatlah disita juga. Dalam hal ini hutang pribadi yang bisa diminta pelunasannya dari harta bersama adalah hutang pribadi yang berasal dari perjanjian hutang piutang dengan persetujuan pasangannya, oleh karena itu hutang yang dibuat tanpa sepengatahuan pasangannya atau tanpa persetujuan suami atau istri, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada harta pribadi dan tidak dapat diambil pelunasannya dari harta bersama 82 juga.99 Sedangkan dalam hukum Islam mengenai pembebanan hutang yang dibuat oleh suami atau istri yang perlu dilihat terlebih dahulu yaitu dari konsep harta dalam perkawinan tersebut. Bahwasanya dalam hukum Islam tidak mengatur tentang adanya harta bersama dan harta bawaan dalam suatu ikatan perkawinan.100 Dalam hal harta kekayaan suami istri dapat bersatu atau menjadi milik bersama dengan jalan syirkah.101 Syirkah ini termasuk golongan syirkah muwafadhah yaitu persekutuan suami istri dalam hal harta bersama secara tidak terbatas dan apa yang mereka hasilkan selama dalam perkawinan mereka, selain dari warisan dan pemberian yang secara tegas dikhusukan salah satu suami istri.102 Mengenai hutang pribadi atau hutang bersama dalam hukum Islam tidak menyinggung masalah hutang pribadi atau hutang bersama, karena bahwasanya harta dalam perkawinan suami istri menjadi milik bersama dengan jalan syirkah. Bila terjadi hutang yang diperbuat istrinya maka suami otomatis suami ikut menanggung beban hutang istri. Karena dalam hukum Islam seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin, dan pemimpin bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinya, sedangkan jika suami yang berhutang istri juga dapat ikut dipertanggungjawabkan, 99 www.hukumonline.com/klinik/detail/apakah -hutang-istri-juga-merupakan hutang-suami, diakses pada tanggal 29 oktober 2013. 100 Soemmiyati,Hukum Perkawinan Islam, 98. 101 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 13, 194. 102 Ibid, 197. 83 disamping tanggung jawab suaminya. Karena wajib bagi seorang istri untuk menasehati suaminya, dalam rangka ama>r ma’ru>f na>hi mu>ngkar.103 Dalam pertanggung jawaban hutang suami istri tersebut dalam penyelesaiannya bisa dibebankan kepada harta masing-masing, sedangkan jika hutang tersebut dilakukan demi kepentingan bersama maka dibebankan kepada harta bersama dengan jalan syirkah, dan bila harta bersam tersebut tidak dapat mencukupi , maka hutang tersebut dibebankan kepada harta suami, bila harta suami tidak mencukupi maka dibebankan pada harta istri.104 Dan ini merupakan perbedaan kedua hukum antara hukum Islam dan hukum positif di Indonesia. 103 104 Yusuf Qardhawi, Permasalahan, pemecahan dan Hikmah, 27. Tihami dan Sahrani, Fikih Munakahat, 177.