6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alat Tangkap Purse Seine 2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi Diniah (2008) menyatakan bahwa pukat cincin adalah alat penangkap ikan dari jaring yang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan hingga alat berbentuk seperti mangkuk pada akhir proses penangkapan ikan. Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang bergerombol. Cara pengoperasian pukat cincin adalah dengan melingkari gerombolan ikan, kemudian tali kolor (purse line) ditarik ke dan dari kapal hingga bentuk jaring menyerupai mangkuk. Selanjutnya hasil tangkapan dipindahkan ke kapal dengan menggunakan serok atau scoop. Menurut Sadhori (1985), purse seine disebut juga pukat atau jaring kantong, karena bentuk jaring pada saat dioperasikan menyerupai kantong. Alat tangkap ini disebut juga jaring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor yang berfungsi untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kolor tersebut. Von Brandt (2005) menyatakan bahwa karakteristik purse seine terletak pada cincin dan purse line atau tali kolor. Alat tangkap ini memiliki ciri tali ris atas yang lebih pendek dari tali ris bawahnya, sedangkan alat tangkap yang termasuk kelompok ini seperti lampara memiliki tali ris atas yang lebih panjang dari tali ris bawah. Purse seine dikelompokkan ke dalam kelompok surrounding nets. Ada dua tipe purse seine yaitu purse seine tipe Amerika dan purse seine tipe Jepang. Purse seine tipe Amerika berbentuk empat persegi panjang dengan bagian pembentuk kantong terletak di bagian tepi jaring. Purse seine tipe Jepang berbentuk empat persegi panjang dengan bagian bawah jaring berbentuk busur lingkaran dan bagian pembentuk kantong terletak di tengah jaring. Menurut Sadhori (1985), purse seine dibedakan atas empat bagian besar, yaitu: 1) Berdasarkan bentuk jaring utama, yaitu: (1) Persegi atau segi empat; (2) Trapesium atau potongan; dan 7 (3) Lekuk. 2) Berdasarkan jumlah kapal yang digunakan pada saat operasi, yaitu: (1) Tipe satu kapal (one boat system); dan (2) Tipe dua kapal (two boat system). 3) Berdasarkan spesies ikan yang menjadi tujuan hasil tangkapan (contohnya): (1) Purse seine tuna; (2) Purse seine layang; dan (3) Purse seine kembung. 4) Berdasarkan waktu operasi (1) Purse seine siang hari; dan (2) Purse seine malam hari. Menurut BPPI Semarang (1985) jika dilihat dari besarnya skala usaha atau besarnya kapal, purse seine dibedakan atas tiga jenis, yaitu: 1) Purse seine ukuran besar; 2) Purse seine ukuran sedang; dan 3) Purse seine ukuran kecil atau mini purse seine. 2.1.2 Konstruksi purse seine Menurut Ayodhoa (1981) vide Sumargono (1999), secara garis besar purse seine terdiri dari: 1) Kantong (bag): bagian jaring tempat berkumpulnya ikan hasil tangkapan pada proses pengambilan ikan (brailing); 2) Corck line (floating line): tali tempat menempelnya pelampung; 3) Wing (tubuh jaring): bagian keseluruhan purse seine; 4) Lead line (sinker line): tali tempat menempelnya pemberat; 5) Purse line (tali kolor): tali yang bergerak bebas melalui ring; 6) Ring (cincin): cincin tempat bergeraknya purse line; 7) Bridle ring: tali pengikat cincin. 1. Unit penangkapan ikan Unit penangkapan ikan merupakan satu kesatuan teknis dalam operasi penangkapan ikan, terdiri atas kapal, alat tangkap dan nelayan. Ukuran alat 8 tangkap, ukuran kapal dan jumlah anak buah kapal tergantung pada skala usaha (Yusfiandayani 1997). Mini purse seine di daerah Maluku Tenggara dikenal dengan nama jaring bobo. Mini purse seine ini terdiri dari bagian kantong (bunt), badan jaring, sayap, jaring pada pinggir badan jaring (selvedge), tali ris atas (float line), tali ris bawah (lead line), pemberat (sinkers), pelampung (floats) dan cincin (rings). Menurut Jeujanan (2008) panjang alat tangkap yang digunakan di perairan Maluku Tenggara berkisar antara 200-600 m dengan lebar berkisar antara 40-70 m. Bagian kantong terbuat dari bahan PA 210/D12 dan PA 210/D9 dengan ukuran mesh size 0,7–1 inc. Bagian badan jaring terbuat dari bahan PA 210/D6, PA 210/D9 dan PA 210/D12 dengan ukuran mes size 1 inci. Bagian sayap terbuat dari bahan PA 210/D6, PA 210/D9 dan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size 1,25 inc. Selvedge terbuat dari bahan PVA 380/D15 dengan ukuran mesh size 1 inc. Tali ris atas terbuat dari bahan PVA dengan panjang 410 m dengan diameter tali sebesar 14 mm, sedangkan tali ris bawah terbuat dari bahan PVA berdiameter 470 m. Penggunaan pemberat (terbuat dari bahan timah hitam) pada satu unit mini purse seine adalah sebanyak 2200 buah dengan berat 100 g/buah, panjangnya 2,9 cm dan diameter 2,8 cm. Pelampungnya berbentuk elips dengan panjang 12,7 cm dan berdiameter 9,5 m, terbuat dari bahan sintesis rubber. Penggunaan pelampung pada satu unit mini purse seine sebanyak 1100 buah. Jumlah cincin yang digunakan pada satu unit mini purse seine rata-rata 50 buah dengan diameter luar 10 cm dan diameter dalam 6,6 cm. Cincin terbuat dari bahan kuningan. Purse line terbuat dari bahan PVA berdiameter 20 mm dengan panjang 500 m. Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan memberikan pengertian kapal perikanan sebagai kapal, perahu atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Widodo dan Suadi (2008) membagi kelompok nelayan kedalam empat kelompok yaitu: 9 1) Nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. 2) Nelayan asli (native/indigenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit banyak memiliki karakter dengan kelompok yang pertama, namun memiliki hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil. 3) Nelayan rekreasi (recreational/sport fihers), yaitu orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekedar untuk kesenangan atau berolahraga. 4) Nelayan komersial (commercial fishers), yaitu mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersial atau dipasarkan baik untuk pasar domestic maupun pasar ekspor. Kelompok nelayan ini dibagi atas dua lagi yaitu nelayan skala kecil dan nelayan skala besar. Yusfiandayani (1997) menyatakan bahwa anak buah kapal (ABK) dalam unit penangkapan mini purs seine mempunyai tugas yang berbeda, yaitu: 1) Juru mudi, bertugas sebagai penanggung jawab dalam operasi penangkapan dan sekaligus bertugas menentukan fishing ground dalam operasi penangkapan; 2) Juru mesin, bertanggung jawab akan kelancaran mesin penggerak kapal dan mesin penarik tali kolor; 3) Juru arus, bertugas mengatur penempatan posisi rakit lampu sesuai dengan kedudukan yang diinginkan pada saat hauling (jika alat bantu pengumpul ikan yang digunakan adalah lampu); 4) Juru rawat kapal, bertugas membersihkan kapal serta bertanggungjawab atas perawatan kapal selama kapal tidak melakukan operasi penangkapan. 2. Metode pengoperasian purse seine Penangkapan ikan dengan menggunakan purse seine dapat dilakukan dengan beberapa tahapan kerja. Menurut Inoue (1961) vide Warsito (1981), ada tiga faktor yang penting dalam metode penangkapan dengan purse seine yaitu pengamatan ikan (searching of fishing), pengumpulan ikan (luring fish), 10 pengoperasian jaring (operation of net), penarikan jaring dan pengangkatan hasil tangkapan. Setelah nelayan selesai mempersiapkan alat tangkap dan bahan yang akan dibawa melaut, kapal mulai meninggalkan fishing base menuju daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan ikan tidak lagi ditentukan oleh juru mudi karena penggunaan rumpon sebagai usaha membuat daerah penangkapan ikan. Daerah penangkapan yang dituju memiliki arus yang sedang dan air laut yang cerah. Setelah kapal tiba di daerah penangkapan dan nelayan melihat adanya gerombolan iikan yang ditandai dengan adanya perubahan warna permukaan laut, terdapat gelembung-gelembung air dan atau adanya lompatan ikan di permukaan air maka nelayan segera melemparkan jaring untuk melingkari gerombolan ikan tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk melingkari gerombolan ikan adalah 2-3 menit (Nurnaningsih 2003). Nurnaningsih (2003) juga menyebutkan cara pengoperasian alat tangkap (purse seine) dan penanganan sementara hasil tangkapan di laut adalah sebagai berikut: 1) Setting Setting dimulai dengan menurunkan pelampung tanda, sayap dan badan sehingga melingkari gerombolan ikan. Setelah ikan berada dalam lingkaran jaring, maka ABK menarik tali selambar kemudian menarik tali kolor dengan bantuan gardan. Gardan adalah alat yang mempunyai sepasang capstan dan berfungsi sebagai alat penarik tali kolor sebelum jaring ditarik ke atas kapal. 2) Hauling Hauling dilakukan bila semua cincin bersatu dan jaring berbentuk seperti mangkuk. Pada saat penarikan tali kolor, semua nelayan membantu dengan pembagian tugas yang jelas. Pembegian tugas tersebut adalah enam orang nelayan berdiri di sebelah kiri kapal dan bertugas untuk menarik jaring dan pelampung ke atas kapal dan dua orang nelayan menata kembali alat tangkap setelah cincin diangkat seluruhnya. Selanjutnya badan jaring ditarik sedikit demi sedikit hingga ke bagian kantong. Setelah itu hasil tangkapan diangkat dan diletakkan di dek kapal. Lama waktu hauling sekitar 45 – 50 menit, tergantung hasil tangkapan yang diperoleh. Setelah semua jaring diangkat ke atas kapal, 11 maka seluruh nelayan menata jaring kembali untuk melakukan setting berikutnya (Gambar 3). Sumber: http://www.eurocbc.org Gambar 3 Proses hauling pada purse seine Menurut Yusfiandayani (1997), kegiatan operasi penangkapan ikan adalah kegiatan penangkapan ikan sejak persiapan di fishing base sampai kembali ke fishing base. Ditinjau dari tahapan kegiatannya, operasi penangkapan ikan yang dilakukan pada unit penangkapan mini purse seine dibagi menjadi empat tahapan, yaitu: 1. Kegiatan saat di fishing base 1) Memeriksa alat tangkap atau jaring mini purse seine; 2) Memeriksa mesin penggerak; 3) Memeriksa mesin penarik tali kolor atau gardan; 4) Memeriksa lampu petromak; 5) Penyediaan perbekalan seperti makanan, air tawar, dan es; 6) Penyediaan bahan bakar; dan 7) Memeriksa keadaan kapal. 2. Kegiatan menuju fishing ground 1) Penentuan daerah penangkapan ikan dilakukan oleh juragan atau nahkoda berdasarkan pengalaman; 2) Daerah penangkapan yang dituju mempunyai arus dan angin yang sedang atau tidak terlalu kencang serta air laut yang cerah; dan 12 3) Memeriksa dan memperbaiki lampu petromak yang akan digunakan, meliputi mengganti kaos lampu, mengisi minyak tanah, dan memperbaiki lampu petromak yang rusak. 3. Kegiatan saat di fishing ground 1) Setting, kegiatan yang dilakukan meliputi: (1) Melingkarkan jaring secepat mungkin agar kawanan ikan tidak dapat lolos ke arah horizontal; (2) Penarikan tali kolor (purse line) secepat mungkin agar kawanan ikan tidak dapat lolos ke arah vertikal dengan menggunakan gardan sebelum jaring ditarik ditarik ke atas kapal; dan (3) Melakukan upaya agar kawanan ikan tidak dapat lolos dari celah antara kedua ujung jaring yang belum tertutup rapat, sehingga kawanan ikan terkurung oleh jaring yang berbentuk seperti mangkuk. 2) Hauling, kegiatan yang dilakukan meliputi: (1) Mengangkat float line, lead line, dan badan jaring ke atas kapal oleh nelayan dan bagian bunt tetap berada di air agar ikan-ikan tetap terjaga; dan (2) 4. Memindahkan ikan dari bunt ke palka. Kegiatan saat kembali ke fishing base Kegiatan yang dilakukan saat kembali ke fishing base adalah menyortir ikan menurut jenisnya kemudian diletakkan kedalam keranjang dan sampai ke fishing base ikan diturunkan dari atas kapal. Kapal dibersihkan oleh nelayan yang bertugas membersihkan kapal, setelah semua hasil tangkapan diturunkan. 2.2 Alat Bantu Penangkapan Ikan 2.2.1 Rumpon Rumpon atau Fish Aggregating Device (FAD) adalah salah satu jenis alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dilaut, baik laut dangkal maupun laut dalam. Pemasangan tersebut dimaksudkan untuk menarik gerombolan ikan agar berkumpul disekitar rumpon, sehingga ikan mudah untuk ditangkap. Definisi rumpon menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia 13 Nomor Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan ikan di Wilaya Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia adalah alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat atau atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Menurut Subani dan Barus (1989), rumpon adalah suatu bangunan menyerupai pepohonan yang dipasang di suatu tempat di tengah laut. Disebut sebagai alat bantu penangkapan, fungsinya hanya sebagai pembantu, yaitu untuk mengumpulkan ikan pada suatu titik atau tempat tertentu untuk kemudian dilakukan operasi penangkapan ikan. Samples dan Sproul (1985) vide Yusfiandayani (2004) menyatakan bahwa tertariknya ikan yang berada di sekitar rumpon disebabkan: 1) Rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan tertentu; 2) Rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan tertentu; 3) Rumpon sebagai substrat untuk meletakkan telur, bagi ikan-ikan tertentu; 4) Rumpon sebagai tempat berlindung; 5) Rumpon sebagai tempat atau titik acuan navigasi (meeting point) bagi ikanikan yang beruaya. Menurut Pentunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon (2006) vide Jungjunan (2010), rumpon adalah salah satu jenis alat bantu penangkapan ikan yang dipasang di laut, baik laut dangkal maupun laut dalam. Pemasangan tersebut bertujuan untuk menarik gerombolan ikan agar berkumpul di sekitar rumpon, sehingga ikan mudah ditangkap. Melalui pemasangan rumpon, kegiatan penangkapan ikan akan menjadi lebih efektif dan efisien karena tidak perlu lagi berburu ikan atau dengan mengikuti ruayanya), tetapi cukup melakukan kegiatan penangkapan ikan disekitar rumpon tersebut. Konstruksi rumpon di Desa Sathean, Maluku Tenggara dapat dilihat pada Gambar 4. 14 Sumber : Tanjaya (2011) Gambar 4 Rumpon bambu di Kabupaten Maluku Tenggara Rumpon menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/Men/2011 tentang JalurPenangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan ikan di Wilaya Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia terdiri dari: 1) Rumpon hanyut, merupakan rumpon yang ditempatkan tidak menetap, tidak dilengkapi dengan jangkar dan hanyut mengikuti arah arus; dan 2) Rumpon menetap, merupakan rumpon menetap yang ditempatkan secara menetap dengan menggunakan jangkar dan/atau pemberat. Rumpon menetap terdiri dari: (1) Rumpon permukaan, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di kolom permukaan perairan untuk mengumpulkan ikan pelagis; dan (2) Rumpon dasar, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di dasar perairan untuk mengumpulkan ikan demersal. Yusfiandayani (2004) menyatakan bahwa dalam melakukan pemasangan rumpon perairan dalam ada hal-hal yang harus dperhatikan, antara lain: 1) Tidak boleh mengganggu alur pelayaran; 2) Jarak pemasangan antar rumpon tidak boleh kurang dari sepuluh (10) mil laut; 3) Tidak boleh mengganggu pergerakan ikan di perairan laut; 4) Tidak boleh dipasang pada kedalaman perairan kurang dari 200 meter 15 5) Tidak boleh dipasang dengan jarak kurang dari 12 mil laut diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau; dan 6) Cara pemasangan rumpon tidak boleh mengakibatkan efek pagar (zig zag), yang dapat mengancam kelestarian jenis ikan pelagis. Metode pemilihan daerah penangkapan adalah sebagai berikut (Nomura 1975 vide Warsito 1981) : 1) Pendugaan yang memadai terhadap lingkungan untuk tingkah laku ikan, dengan data penelitian oseanografi dan meteorologi; 2) Pendugaan musim dan daerah penangkapan ikan berdasarkan pengalaman penangkapan masa lalu; 3) Seleksi daerah penangkapan secara ekonomis ditinjau dari jarak pelabuhan perikanan, schooling ikan, kepadatan (densitas) dan kondisi meteorologi. 2.2.2 Cahaya Menurut Ruivo (1959) vide Yudianto (1992), pada mulanya sumber cahaya yang digunakan untuk mengumpulkan ikan adalah obor. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi mulailah digunakan lampu minyak dan gas karbit, dan pada akhirnya menggunakan lampu listrik. Nomura dan Yamazaki (1977) vide Yudianto juga menyatakan bahwa intensitas cahaya obor kurang lebih sebesar 100 kandela, untuk lampu minyak intensitas cahayanya anatara 400 – 600 kandela, intensitas cahaya lampu gas karbit berkisar antara 100 – 1000 kandela sedangkan untuk lampu listrik, intensitasnya tergantung pada daya lampu yang digunakan. Menurut BPPI Semarang (1985) penempatan lampu bisa di permukaan air dan di dalam air. Lampu dipasang di perairan 2-3 jam sebelum operasi penangkapan dilakukan. Untuk lampu di permukaan air, bisa menggunakan lampu gas tekan (petromak) dan neon, sedangkan untuk lampu di dalam air menggunakan lampu neon atau lampu wolfram. Ayodhyoa (1974) vide Yudianto (1992) menyatakan, salah satu faktor yang mempengaruhi tertarik dan berkumpulnya ikan di sekeliling lampu adalah kekuatan dan warna lampu yang digunakan. Laevastu et al. (1970) vide Yudianto (1992) juga menyatakan bahwa ikan dapat membedakan warna cahaya asalkan 16 cahayanya cukup terang. Tiap spesies menyenangi warna cahaya yang berbedabeda. Penangkapan ikan dengan cahaya lampu umumnya dutujukan kepada ikanikan pelagis dengan suhu perairan antara 60C – 280C (Nikonorov 1975 vide Yudianto 1992). 2.3 Hasil Tangkapan Ayodhoa (1981) vide Nurasiah (1999) menyatakan bahwa tujuan penangkapan ikan menggunakan purse seine adalah ikan pelagis yang bergerombol. Ikan tersebut harus membentuk suatu gerombolan, berada dekat dengan permukaan air dan sangat diharapkan memiliki densitas shoal yang tinggi atau jarak antar ikan yang satu dengan ikan yang lain harus sedekat mungkin. Ikan pelagis dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Ikan pelagis kecil adalah ikan yang hidup di permukaan laut atau di dekat permukaan laut dan umumnya berukuran relatif kecil, antara lain layang (Decapterus sp.), kembung (Rastreliger sp.), tembang (Sardinella sp.) dan selar (Selaroides leptolepis). Ikan pelagis besar antara lain tuna (Thunus sp.), layaran (Isthioporus oriental) dan setuhuk (Makaira sp.). 2.3.1 Ikan layang (Decapterus russelli) Klasifikasi ikan layang (Decapterus russelli) menurut Saanin (1984): Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidea Divisi : Perciformes Sub divisi : Carangi Famili : Carangidae Sub famili : Caranginae Genus : Decapterus Spesies : Decapterus russelli, (Ruppell 1830) Nama Internasional : Indian Scad Nama Indonesia : Ikan Layang Nama Lokal (Kei) : Ikan Momar 17 Sumber : www.fishbase.org Gambar 5 Ikan layang (Decapterus russelli) Saanin (1984) menyatakan bahwa ikan layang (D. russelli) memiliki bentuk badan yang memanjang dan agak gepeng. Ikan ini memiliki sirip dada yang selalu berubah sesuai umur. Sirip tambahan (finlet) terdapat pada belakang sirip punggung dan sirip dubur. Bagian atas tubuh ikan ini berwarna biru kehijauan dan bagian bawahnya keperakan. Ciri ikan ini adalah memiliki dua sirip punggung. Sirip punggung yang pertama memiliki sembilan (9) jari-jari keras. Sirip punggung yang kedua berjari-jari keras satu (1) dan berjari-jari lemah 30-32 serta jari-jari lemah sirip dubur berjumlah 24-26 (Saanin 1984). Gunarso et al. (1994) vide Aprilianty (2000) menyatakan bahwa ikan layang tergolong ikan yang bersifat stenohaline atau ikan yang menyukai kadar garam tinggi dengan salinitas 32-34 ppt. Ikan ini memiliki sifat berkelompok di daerah sekitar benda-benda terapung. Asikin (1971) vide Aprilianty (2000) menyatakan bahwa ikan layang muncul di permukaan karena dipengaruhi oleh ruaya harian dari organisme lain yang terdapat di perairan seperti ikan dan plankton. Pada siang hari, ikan ini bergerak ke lapisan dalam, mengikuti perpindahan massal dari plankton nabati yang diikuti pula oleh plankton hewani dan binatang kecil pemakan plankton. 2.3.2 Ikan selar (Selaroides spp.) Taksonomi ikan selar (Selaroides spp) berdasarkan Saanin (1984) adalah sebagai berikut: 18 Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo: Percimorphi Sub ordo: Percoidea Famili: Carangidae Genus: Caranx Spesies: Selaroides spp. Nama Internasional : Yellowstripe scad Nama Indonesia : Ikan Selar Nama Lokal (Kei) : Ikan Kawalinya Sumber : www.perikananpuger.co.cc Gambar 6 Ikan selar (Selaroides spp.) Warna tubuh ikan selar (Selaroides spp.) adalah hijau kebiruan di bagian atas dan putih keperakan di bagian bawah. Makanan ikan selar berupa ikan-ikan kecil dan krustacea. Ukuran panjang maksimal dari ikan ini adalah 30 cm, namun umumnya 20 cm. Spesies ikan selar yang terindentifikasi di perairan Indonesia sebanyak 30 spesies yang tersebar mulai dari perairan Indonesia bagian Barat sampai Indonesia bagian Timur. Jenis yang terdapat di Indonesia bagian Timur lebih banyak dibanding spesies di Indonesia bagian Barat (Nontji 1987 vide Amaliah 2002). 2.3.3 Ikan tongkol (Auxis thazard) Taksonomi ikan tongkol (Auxis thazard) berdasarkan Saanin (1984) adalah sebagai berikut: 19 Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percimorphi Sub ordo: Scombroidea Famili : Scomberidae Genus : Auxis Spesies : Auxis thazard Nama Internasional : Frigate tuna Nama Indonesia : Ikan Tongkol Nama Lokal (Kei) : Ikan Komu Sumber: www.fishbase.org Gambar 7 Ikan tongkol (Auxis thazard) Bentuk tubuh ikan tongkol (Auxis thazard) adalah bentuk seperti cerutu atau torpedo. Ikan ini memiliki gigi kecil-kecil dan berbentuk kerucut. Ukuran ikan ini dapat mencapai panjang 50 cm, namun umumnya berukuran 25-40 cm. Penyebaran ikan ini tergantung pada suhu dan perubahan lingkungan lainnya. Musim pemijahan ikan ini juga berbeda di setiap daerah, tetapi di beberapa tempat terjadi sepanjang tahun. Makanan ikan ini adalah ikan-ikan kecil, krustasea dan cephalopoda (Saptadji 2005 vide Ismajaya 2006). Ikan tongkol (Auxis thazard) adalah ikan pelagis yang hidup bergerombol, termasuk ikan perenang cepat dan karnivor. Sifat bergerombol ikan ini disebabkan karena pada kulit ikan terdapat suatu zat yang dapat menimbulkan 20 rangsangan dan rangsangan tersebut dapat dirasakan oleh ikan-ikan dari jenis yang sama maupun jenis yang berbeda (Nurjaelani 1991 vide Ismajaya 2006). Ikan ini lebih aktif mencari makan pada siang hari. Ikan ini tertangkap pada pikatan cahaya putih yang kuntiniu dengan intensitas 700-4.500 lux (Laevastu dan Hela 1970 vide Ismajaya 2006). 2.4 Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Widodo (2002) vide Aminah (2010) menyatakan bahwa pengkajian stok diartikan sebagai suatu riset yang ditujukan untuk membuat prediksi kuantitatif tentang reaksi dari populasi ikan yang bersifat dinamis terhadap sejumlah alternatif pengelolaan dengan menggunakan sejumlah metode dan penghitungan statistik serta matematik. Prediksi kuantitatif, misalnya terhadap batas produksi yang diperbolehkan, resiko yang dapat ditimbulkan, oleh penangkapan yang berlebihan atas sejumlah populasi yang tengah meijah dan perlunya memberikan kesempatan ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tertentu yang diinginkan sebelum dieksploitasi. Tinungki (2005) menyatakan bahwa ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga potensi sumberdaya perikanan, yaitu: 1) Pendugaan secara langsung, pendugaan yang didasarkan pada penangkapan ikan secara langsung dengan menggunakan alat tertentu seperti trawl survey, longline dan trap survey telur dan larva serta young fish survey. 2) Accoustic survey, survei yang menggunakan peralatan akustik. Dengan metode ini dapat dilakukan pengamatan terhadap potensi ikan dalam areal yang lebih luas, namun terbatas. 3) Virtual population analysis, analisis yang didasarkan pada perhiutngan pendugaan fishing mortality. Metide ini digunakan bersama dengan cara kelimpahan dari hasil analisa trawl survey atau survei akustik dan rangkaian CPUE. 4) Ecosystem simulation and multispecies models, metode yang digunakan melalui pembentukan model yang dapat menirukan situasi ikan yang sebenarnya ketika hidup di alam. 21 5) Surplus production model, metode yang didasarkan atas data produksi tahunan dari penangkapan. 2.5 Model Surplus Produksi Sumberdaya ikan bisa diperbaharui namun apabila sumberdaya kelautan dan perikanan dimanfaatkan tanpa batas atau tidak rasional serta melebihi batas optimal, maka dapat mengakibatkan kerusakan dan terancamnya kelestarian (Tribawono 2002 vide Solihin 2002). Oleh karena itu, untuk menciptakan pemanfaatan yang berkelanjutan maka diperlukan suatu kebijakan terpadu untuk mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan (Solihin 2002). Semua tindakan pengelolaan sangat ditentukan oleh ketersediaan informasi biologi. Tidak satupun tindakan pengelolaan rasional dapat dirumuskan tanpa tersedianya informasi yang memadai secara biologi dan atas berbagai konsekuensi pengelolaan. yang akan ditimbulkan oleh beberapa alternatif tindakan Pada prinsipnya, pengelolaan perikanan dimaksudkan untuk mengatur intensitas penangkapan agar diperoleh hasil tangkapan yang optimal dari berbagai aspek (Widodo dan Suadi 2006). Fauzi (2004) vide Susilo (2010) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan pada awalnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield). Inti dari konsep ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi melebihi kapasitas produksi atau disebut sebagai surplus, sehingga surplus ini tidak dipanen. Hal ini menyebabkan stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Konsep ini hanya mempertimbangkan faktor biologi ikan saja. Fauzi (2004) vide Susilo (2010) juga menyatakan bahwa model surplus produksi tergolong lebih mudah dimengerti dan didasari oleh pengetian matematika sederhana. Model surplus produksi melalui penggunaan hasil tangkapan yang mengandung satu variabel data sederhana yaitu Yt dalam ton per tahun sebagai peubah tidak bebas dan upaya penangkapan yaitu Et dalam trip per tahun sebagai peubah bebas. Dari kedua data time series ini dapat diperoleh tiga parameter melalui salah satu model surplus produksi. Ketiga parameter tersebut adalah tingkat pertumbuhan intristik atau disingkat dengan r, daya dukung 22 lingkungan atau disingkat dengan K dan koefisien penangkapan atau disingkat dengan q. Model surplus produksi memungkinkan dilakukan suatu analisis bilamana hanya sedikit informasi, terutama mengenai hasil, kelimpahan stok dan upaya penangkapan ikan yang tersedia. Gulland (1983) dan Sparre (1989) vide Tinungki (2005) menyatakan bahwa yang harus dipenuhi dalam menganalisis model surplus produksi adalah ketersediaan ikan pada tiap produksi tidak mempengaruhi daya tangkap relatif, distribusi ikan menyebar merata dan masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam. Tinungki (2005) menyatakan bahwa dari fungsi produksi dapat diduga parameter-parameter r, q dan K dengan pendekatan Scaefer, Gulland, PellaTomlinson, Fox, Walter-Hilborn, Schnute, Clark-Yoshimoto-Polley dan Cushing. Tinungki (2005) selanjutnya menjelaskan bahwa model Fox memiliki beberapa karateristik yang berbeda dibanding model Graham-Schaefer, yaitu bahwa pertumbuhan biomassa mengikuti model pertumbuhan Gompertz dan penurunan CPUEt terhadap upaya penangkapan mengikuti pola eksponensial negatif. Asumsi-asumsi model Fox (FAO 1984 vide Tinungki 2005), yaitu: 1) Populasi dianggap tidak akan punah 2) Populasi sebagai jumlah dari individu ikan. Model ini menghasilkan kurva lengkung bila terhadap upaya Et, akan tetapi bila secara langsung diplot diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya maka akan menghasilkan garis lurus (Tinungki 2005): ln = c +dEt .............................................................(2.5.1) = exp (c+dEt) Kedua model diatas mengikuti asumsi bahwa menurun dengan meningkatnya upaya, akan tetapi berbeda dengan model Schaefer yang 23 menyatakan bahwa satu tingkatan upaya dapat dicapai pada nilai nol. Hal ini bila Et = -a/b, sedangkan pada model Fox, besar dari nol untuk seluruh nilai Et. sama dengan adalah selalu lebih Hubungan antara effort atau dilambangkan dengan Et dan catch atau dilambangkan dengan Ct adalah berbentuk eksponensial dengan kurva hasil yang tidak simetris dan dinyatakan bahwa hubungan antara Et dengan catch per unit effort (CPUEt) adalah: = e(a-bE)t .............................................................(2.5.2) Hubungan antara effort (Et) dengan catch (Ct) adalah : Ct = Et e(a-bE)t .............................................................(2.5.3) Effort optimum (Eopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama Ct terhadap Et sama dengan nol, atau = e(a-bE)t + Et e(a-bEt)(-b) = 0 Sehingga, Eopt = .................................................(2.5.4) .............................................................(2.5.5) Produksi maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) diperoleh dengan mensubstitusikan nilai Eopt kedalam persamaan (2.5.3), sehingga MSY = (a/b-1) e .............................................................(2.5.6) Besarnya parameter a dan b secara matematis dapat dicari dengan menggunakan persamaan regresi Yt = a + bXt. Rumus-rumus untuk model surplus ini hanya berlaku jika parameter slope (b) bernilai negatif. Artinya, penambahan jumlah effort akan menyebabkan penurunan CPUEt. Bila dalam perhitungan diperoleh nilai slope (b) positif, maka tidak dapat dilakukan pendugaan stok maupun besarnya effort minimum tetapi hanya dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah effort masih menambah hasil tangkapan. Penelitian komponen sumberdaya perikanan dan potensinya dilakukan terhadap kondisi 24 perikanan yang sekarang ada. Informasi ini diperlukan untuk perencanaan pengembangan perikanan masa yang akan datang (Tinungki 2005). 2.6 Analisis Kelayakan Usaha Komponen-komponen yang digunakan dalam analisis usaha adalah penerimaan usaha, pengeluaran usaha dan pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha. Pendapatan atau keuntungan adalah penerimaan total (Total Revenue = TR) dikurangi biaya total (Total Cost = TC). Penerimaan adalah total produksi dikalikan harga per satuan output tertentu. Biaya total adalah seluruh biaya yang diperlukan untuk menghasilkan keluaran atau produk di dalam interval tertentu (Sugiarto et al. 2002). Biaya operasi terdiri atas dua bagian, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tetap, tidak dipengaruhi oleh perubahan tingkat kegiatan dalam menghasilkan keluaran atau produk di dalam interval tertentu. Biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan tingkat produksi (Umar 2007). Sugiarto et al. (2002) menyatakan bahwa analisis R/C adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh setiap rupiah biaya yang digunakan dengan memberikan nilai penerimaan sebagai manfaat. Umar (2007) menyatakan bahwa payback period adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan menggunakan aliran kas. Dengan kata lain, payback period merupakan rasio antara initial cash investment dengan cash inflow-nya yang hasilnya merupakan satuan waktu. Menurut Rangkuti (2006), Return on Investment atau disingkat dengan ROI adalah rasio yang membandingkan hasil usaha yang diperoleh dari operasi perusahaan (net operating income) dengan jumlah investasi atau aktiva yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan tersebut.