Membeo dan membebek ! " # $&% (' ) *% + , . / “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (Al Isra’ : 36) Binatang yang paling pintar membebek tentunya adalah bebek dan yang paling lihai membeo adalah burung beo. Tabiat kedua unggas tersebut seringkali dijadikan ungkapan untuk menunjukan sikap manusia yang suka mengikuti kebiasaan orang lain, yaitu suka ikut-ikutan. Jika tabiat tersebut dimiliki oleh dunia satwa tentunya tidak mengapa, akan tetapi hal ini akan menjadi masalah yang serius bila sikap membeo dan membebek itu ada dalam pribadi kita selaku kaum muslimin, apalagi dalam hal beragama, yang merupakan pangkal keselamatan kita dunia dan akhirat. Dalam hal ikut-ikutan ada dua macam, ada yang dengan ilmu dan juga ada yang tidak. Taqlid termasuk golongan yang tercela, sebab latahnya dilakukan tanpa dasar ilmu. Sementara ittiba’ adalah sikap meneladani, yaitu meneladani Rasulullah SAW dan para shahabatnya dalam beragama denngan kesadaran ilmu. Kita lihat realita di masyarakat kita. Banyak diantara kaum muslimin yang secara membabi buta betaqlid kepada tokoh-tokoh (Ustadz, Kyai, Habib, dll), walaupun sebenarnya telah jelas dan terang bahwa hal tersebut menyelisihi dalil yang shahih. Atau terkadang mereka memiliki dalil yang shahih, akan tetapi pemahaman atas dalil tersebut yang tidak shahih, sehingga melenceng jauh dari makna yang sesungguhnya. Sudah menjadi sebuah realita atas kebanyakan kaum muslimin, ketika ada salah satu praktek ibadah dikritisi, mereka spontan akan menjawab; “Bukankah kata Kyai Anu ini boleh?”, atau “Ini telah menjadi tradisi yang sudah turun temurun” atau dengan alasan lainnya. Walaupun Yang mengkritisi menghadirkan sekian banyak dalil, dan argumen. Bahkan ketika salah seorang diantara tokoh mereka (Kyai, Habib, Ustadz, dll) dikritik, maka spontan mereka akan membela mati-matian. M ereka langsung menyerbu sang pengriktik dengan tuduhantuduhan keji. “Pemecah belah ummat, sok benar sendiri, tidak bisa menghargai orang lain, M elanggar HAM ” dan tuduhan lainnya. PENGERTIAN TAQLID Taqlid secara bahasa bermakna meletakan 0 1 . (kalung) keleher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-akan perkara tersebut diletakan dilehernya seperti kalung. (Lisanul Arab 3/367) Adapun pengertian menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya (I’lamul M uwaqqi’in 2/178). Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengertahui hujjahnya (Mudzakkirah Ushul Fiqh, 314) 1 CELAAN TERHADAP TAQLID Allah telah mencela, diantaranya adalah firman Allah : $) 2 3**4 ( 5 67 4 ( 7 48 9: #/ “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (At Taubah : 31) Ketika Adi bin Hatim mendengar Rasulullah SAW membaca ayat ini, maka dia mengatakan; “Ya Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai tuhan”. Rasulullah SAW bersabda; Ya, bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian kalian juga mengharamkannya?”. Adi menjawab ;”Ya” Rasulullah SAW bersabda; “Itulah peribadatan kalian kepada mereka” (Riwayat Tirmidzi, dengan sanad hasan) Allah juga berfirman; “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." (Az Zukhruf : 23-24) ( 7 C *;< 6<; *;< , ) , !%#=6 * > $) ? @ 6 A%#/ ( 5 ,> B&% D=5 E , F ). A E “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (Al Baqarah : 170) TAQLID BUKAN LAH ITTIBA’ Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang lakukan (I’lamul Muwaqqi’in 2/171) (wajib)diikuti dan melakukan apa yang dia Seorang muslim wajib baginya untuk ittiba’ kepada Rasulullah J dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau J lakukan, serta meninggalkan apa yang beliau J tinggalkan. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menyatakan hal tersebut, diantaranya adalah: 2 E%HK LMN E $) $G%H $ / G%H ? I# $) A,J > “Katakanlah: "Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir" (Ali Imran : 32) 2 | P a ge OPH ( = Q / G%H ( K % R O ? I# A,J $) A,J ;< 2 E9$ 5LEE 2 8 ' , S B % S T U% , $)%* / ( = &% ?% I# $) V&% W L H <X O F )E%R / “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An Nisa’: 59) (' ,) !' ,"I $) $&% $) .#/ I4 $) Y % D E 2 , * ZD. / ;< 2 E9$ 5LEE “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al Hujurat :1) Jadi dengan kata lain ittiba’ adalah jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr (jami’ Bayanil Ilmi Wa Ahlihi 2/787) Sedangkan taqlid adalah engkau mengikuti seseorang dengan membabi buta tanpa mengetahui dasarnya. Para Ulama mewajibkan ittiba’ dan melarang taqlid. Imam Abu Hanifah berkata; “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama ia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”. Dalam riwayat lain beliau berkata; “Orang yang tidak tahu dalilku, maka haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”(Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya atas Bahru Raiq 6/293) Imam M alik juga berkata; “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa juga salah. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan kitab dan sunnah maka ambilah, dan setiap yang tidak sesuai dengan kitab dan sunnah maka tiinggalkan” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami’ 2/32) Imam Syafi’i juga berkata; “Setiap yang aku katakan, lalu ada hadits shahih yang menyelisihinya maka hadits Nabi J lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku” (Adab Syafi’i hal.93) Dalam Riwayat lain beliau juga berkata; “Jika kalian menjumpai Sunnah Rasulullah J, ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Aulia’ 9/107) Imam Ahmad juga berkata; “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi J dan para shahabatnya ambilah” (Masa’il Imam Ahmad hal. 276) PEMBAGIAN TAQLID Taqlid dalam beragama dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 3 | P a ge Pertama,Taqlid yang diperbolehkan, yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim; “Adapun taqlidnya seseorang yang telah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya J. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut, sehingga dia taqlid kepada orang lain yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji, dan tidak tercela,..(I’lamul Muwaqqi’in 2/169) Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata; “Adapun orang yang mampu berijtihad apakah dibolehkan baginya bertaqlid? Ini adalah hal yang diperselisihkan dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dari pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya” (Majmu’ Fatawa 20/203-204) Kedua,Taqlid yang di larang, maka hal ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu: a. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dari Allah dan Rasul-Nya J. b. Taqlid kepada orang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya. c. Taqlid kepada perkataan seseorang setelah jelas baginya argumen dan dalil yang menyelisihinya. PENUTUP Dari uraian singkat diatas, maka hendaklah setiap dari kita menyadari bahwa ibadah kita itu memerlukan tuntutan ilmu, tidak cukup hanya dengan manggut-manggut melihat cara beribadah orang lain atau mengikuti perkataan orang lain tanpa terlebih dahulu menela’ah sumbernya Bukankah Allah telah berfirman: ! " # $&% (' ) *% + , . / “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”(Al Isra’ : 36) Ayat diatas merupakan salah satu kaidah penting dalam ilmu, amal dan tarbiyah yang selayaknya menjadi peganggan setiap muslim. Ayat diatas menjelaskan prinsip dasar syar’i yang benar tentang bagaimana sikap seorang muslim ketika mendengar, melihat atau meyakini sesuatu. Kesemuanya harus dibangun atas dasar ilmu. Bukan sekedar ikut-ikutan saja, atau dengan bahasa lain, membeo dan membebek saja. Oleh karena itu menuntut ilmu adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Rasulullah SAW telah bersabda; ([ ) \ V) ^] _ E% H (% ) A M )J "Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim." (Riwayat Ibnu Majah No.224, dengan sanad shahih) -------------------------------------------------------------------------------------------Kontribusi: Mas Heru Yulias Wibowo – Redaktur Buletin Da’wah An Nashihah Cikarang Baru - Bekasi, untuk berlangganan hubungi bag. Sirkulasi: Mas Arifin 08156094080 (Abu Laili) 4 | P a ge