BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu penggerak utama perekonomian nasional. Menurut data dari Kementerian BUMN, saat ini terdapat 142 BUMN yang ada di Indonesia dengan perputaran uang mencapai lebih dari Rp 600 triliun. PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk. sebagai salah satu BUMN, memiliki total aset 2,95 miliar dolar AS (Laporan Keuangan PT Garuda Indonesia, Maret 2014). Sebagai perusahaan yang sarat dengan muatan teknologi, serta mengedepankan layanan, manajemen PT Garuda Indonesia senantiasa dihadapkan padapersaingan bisnis baik skala nasional maupun internasional. Untuk memenangkan persaingan, Garuda Indonesia harus mampu berinovasi dalam segala aspek bisnis khususnya dalam hal pelayanan. Garuda Indonesia harus menumbuhkan volume bisnis untuk mendominasi pasar penerbangan Full Service Carrier domestik yang sangat potensial di Indonesia. Garuda Indonesia juga harus mampu bersaing untuk merebut pangsa pasar di segmen internasional yang menjanjikan banyak peluang untuk tumbuh. Garuda harus mengembangkan dan sekaligus menyederhanakan serta meremajakan armada untuk meningkatkan volume bisnis dan mempertahankan daya saing. Garuda juga harus mengembangkan brand 1 yang kuat yang didukung oleh kualitas produk dan layanan sebagai diferensiasi untuk memenangkan persaingan. Melakukan upaya-upaya efisiensi biaya tanpa mengorbankan kualitas pelayanan, agar mampu mencapai struktur biaya yang bersaing. Memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia dari sisi jumlah, kualitas dan kualifikasi guna mendukung kinerja saat ini dan pengembangan usaha ke depan. Garuda melakukan upaya inovasi melalui berbagai terobosan diantaranya menggeser segmentasi pasar ke kelas menengah ke atas sehingga mendapat margin yang lebih baik, sedangkan untuk segmen dibawah dilayani oleh Citilink. Pola pikir dan tindak di “Garuda in Business” yang berarti membuang sikap lama yang tidak berorientasi pada bisnis. Bekerja secara tim (team work) dan berirama seperti sebuah orkestra musik dengan ketepatan waktu yang harmonis.(http://prezi.com) Estafet kepemimpinan di garuda Indonesia berubah secara dinamis. Pada tahun kedua sejak dilantik pada 1998, Abdul Gani mencanangkan program ketepatan waktu (on-time Performance). Dimasa Robby Djohan, setiap pesawat yang terlambat berangkat selalu diawasi dan di evaluasi. Bahkan pihak-pihak yang menghambat diberi teguran. Tetapi masih ada yang sesuatu yang tersisa, yaitu kebiasaan yang masih melekat dari para konsumen elite, yaitu (pejabat-pejabat tinggi yang minta pesawat agar “menunggu “ sampai mereka sampai di bandara. Ada upaya untuk mengubah perilaku yang tidak kondusif untuk berinovasi yang merupakan warisan budaya lama sejak kepemimpinan 2 sebelumnya. Perubahan ini terus diupayakan meski masih cukup sering dijumpai di Garuda Indonesia. Usaha untuk mengubah kebiasaan lama itu antara lain dengan mengubah sikap mental seluruh petugas dan kepada mereka diberikan bonus ketepatan waktu. Di kantor Garuda setiap akhir bulan karyawan bisa melihat apakah bulan ini mereka berhasil mencapai terget yang ditentukan atau tidak. Bila ya, di rekening mereka masing-masing pasti akan mampir bonus tersebut. Bonus ini ternyata berhasil bekerja dengan baik.Sebelum hal ini dilakukan, karyawan Garuda Indonesia dikenal kurang inovatif. (http://prezi.com) Kepemimpinan Garuda Indonesia yang baru di bawah CEO Emirsyah Satar melakukan restrukturasi manajemen agar lebih mampu berinovasi. Restrukturisasi ini berhasil menjadikan Garuda Indonesia sebagai salah satu perusahaan yang sehat dengan brand yang melekat kuat di masyarakat, yaitu sebagai maskapai penerbangan dengan mengedepankan pelayanan dibandingkan persaingan harga tiket, seperti yang banyak dilakukan oleh maskapai-maskapai lainnya. Manajemen baru yang dipegang oleh Emirsyah Satar tersebut mengemban tugas yang tidak mudah, mulai dari membereskan masalah utang perusahaan hingga mengembalikan Garuda Indonesia dalam pantauan radar penerbangan di Asia.Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Garuda Indonesia pun mulai menyusun strategi transformasi sampai tahun 2015. 3 Strategi tranformasi tersebut dibagi dalam tiga tahap, yakni Tahap Survival (tahun 2006 dan 2007), Tahap Turnaround (2008-2009) dan Tahap Growth atau Pertumbuhan (2010 dan seterusnya). Garuda Indonesia telah melewati Tahap Survival dan Turnaround, dan saat ini perusahaan tengah memasuki Tahap Pertumbuhan dan bersiap-siap untuk melakukan Quantum Leap.Program “Quantum Leap” mencakup program-program transformasi perusahaan di seluruh aspek bisnis, mulai dari finansial, manajemen, operasional, kualitas pelayanan, hingga sumber daya manusia, yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan memberikan nilai lebih kepada pengguna jasa. (Company Profile PT Garuda Indonesia, 2014) Sebagai bagian dari proses awal transformasi, Garuda Indonesia mengubah bisnisnya dari semula sebagai perusahaan transportasi yang membawa penumpang dari satu titik ke titik yang lain menjadi pelaku industri perjalanan udara (air travel industry). Sebagai perusahaan yang bergerak di industri air travel, Garuda menghadirkan layanannya dalam standar yang berbeda, yang mencakup keseluruhan pengalaman perjalanan para penumpang, mulai dari pre-journey, pre-flight, in-flight, post-flight, hingga post-journey.(Company Profile PT Garuda Indonesia, 2014). Untuk melakukan inovasi pelayanan, dibutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda dari sebelumnya. Gaya kepemimpinan sebelumnya bersifat transaksional, sementara gaya kepemimpinan yang berorientasi pada inovasi adalah gaya kepemimpinan transformasional. 4 Proses transisi kepemimpinan yang diikuti transformasi yang dilakukan tidak berjalan mulus. Banyak karyawan yang menentang kebijakan pemimpin, karena pemimpin menerapkan gaya otoriter. Tidak memberikan ruang yang cukup bagi karyawan untuk melakukan komunikasi. Pemimpin dinilai kurang memotivasi karyawan sehingga karyawan malas untuk bekerja. Misalnya, bebas keluar kantor saat jam kerja dengan berbagai alasan. Pengawasan pemimpin rendah khususnya dalam aspek pengawasan terhadap kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan. Saat terjadi komplain, pemimpin menyerahkan sepenuhnya kepada bawahan untuk mencari solusinya, tanpa memberikan masukan ataupun saran. Wawancara penulis dengan pengurus Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) menyebutkan bahwa pemimpin Garuda Indonesia kerap berlaku sewenang-wenang. Mengekang kebebasan berpendapat karyawan dan memutasi karyawan ke bagian lainnya apabila karyawan dinilai membuka rahasia perusahaan kepada publik. Karyawan ditekan untuk tidak berbicara kritis dan mengkritik setiap kebijakan pimpinan. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara manajemen dan karyawan kerap diabaikan. Pimpinan sering membuat keputusan sepihak, dipahami oleh karyawan. yang tidak bisa Salah satunya adalah prinsip-prinsip pengembangan renumerasi dan reward yang tidak transparan. Pemimpin dinilai sering mengintimidasi karyawan agar menunjukkan integritas dengan menjaga rahasia perusahaan. Masalah lainnya adalah masih adanya 5 gap atau “jarak” antara karyawan dan pimpinan, sehingga menyulitkan karyawan untuk berkomunikasi secara langsung dengan pimpinan. Misalnya, usulan atau ide-ide dari karyawan harus disampaikan di forum yang dihadiri oleh pucuk pimpinan yang dilakukan satu kali dalam tiap kuartal. Sehingga ide-ide yang mampu mendukung peningkatan kinerja perusahaan tidak bisa segera dieksekusi. Karyawan tidak memiliki kebebasan untuk menyampaikan ide kepada divisi lainnya, karena karyawan bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Berdasarkan wawancara penulis dengan CEO Garuda Indonesia Emirsyah Satar, intuk mencapai target-target tersebut, sebagai CEO dirinya tidak bisa bekerja dengan cara-cara yang biasa. Dalam setiap kesempatan, kepada seluruh karyawan, Emirsyah Satar juga selalu mengatakan “Good is not good when much better is expected”. Insan Garuda Indonesia betul-betul harus memaksa diri, raising the bar. Untuk itu, dibutuhkan SDM dalam kuantitas dan kualitas yang tepat atau right man in the right place. Garuda juga membutuhkan SDM yang selalu berkeinginan untuk maju dan berupaya untuk menemukan dirinya kembali (re-invent themselves), serta SDM yang selalu memikirkan bagaimana caranya agar bisa bekerja lebih baik, lebih efisien, dan lebih kreatif, bukan hanya melakukan hal rutin. Selain itu, dalam kaitan dengan pengembangan SDM ke depan, untuk mendukung visi Garuda menjadi Global Player, Garuda bekerja sama dengan General Electric (GE) dalam membangun corporate university. 6 Garuda Indonesia membutuhkan banyak orang untuk berubah. Di Garuda, perubahan diinternalisasi dengan nilai-nilai perusahaan yang disingkat FLY HI, yakni efficient & efffective, loyalty, customer centricity, honesty & openness, serta integrity. Key performance indicators (KPI) diterapkan untuk mengikat tiap orang dengan target perubahan. Tiap pekerja dipacu mencapai target maksimal dengan implementasi balance score card pada tahun 2008. Menurut Emirsyah ditetapkan 23 aspek penilaian KPI Garuda. Bobot tertinggi adalah tingkat insiden (12,5 persen), lalu kepuasan pelanggan (7,5 persen), ketepatan waktu (7,5 persen), komitmen pengembangan sumber daya manusia (7 persen). Kemudian utilisasi armada pesawat (5 persen), profit margin (4,5 persen), laba usaha (4 persen), komitmen pengembangan kepemimpinan (4 persen), pengelolaan utang (3 persen), hingga pendapatan (3 persen). Meskipun sudah menjadi perusahaan go public, namun Garuda Indonesia masih tercatat sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dimana saham pemerintah masih sebesar 69 persen, sementara saham publik Garuda tercatat sebesar 28 persen. Maka untuk mengembangkan perusahaan maka tergantung pada keputusan pengembang saham mayorits dalam hal ini pemerintah. 7 Gambar 1 : Struktur Kepemilikan Saham PT Garuda Indonesia Sumber : Company Profile PT Garuda Indonesia, 2014 Sehingga ruang gerak karyawan dalam mengembangkan inovasi dan kreativitasnya terbentur oleh keputusan pemerintah. Masalah senioritas juga menjadi budaya yang masih melekat di Garuda Indonesia Dimana karyawan senior dianggap lebih penting dibandingkan dengan yang lainnya dan kerap mendapat perlakuan khusus misakan dalam hal reward, meskipun secara kinerja dinilai biasa saja oleh karyawan lainnya. Sikap saling menyalahkan antar divisi dan rasa saling percaya yang rendah juga terjadi di Garuda Indonesia. Misalnya, apabila terjadi kebocoran informasi perusahaan terkait dengan sebuah insiden penerbangan kepada pihak regulator ataupun publik, maka kerap terjadi sikap saling menyalahkan antara divisi operasional dan corporate communication. Karyawan cenderung tidak berani untuk mengambil risiko karena takut gagal dan tidak berani mengkomunikasikan secara jelas apa yang 8 ingin dicapai. Gagasan atau ide-ide dari pimpinan yang menjadi acuan dalam rangka mencapai sebuah tujuan kerja. Gagasan-gagasan baru sulit dikembangkan karena terbentur dengan kebijakan pimpinan untuk pengetatan anggaran dalam rangka fokus untuk memperbaiki kinerja keuangan. Pemberian imbalan atau reward belum menggunakan sistem meritokrasi dimana pemberian imbalan harus disesuaikan dengan prestasi dan kinerja seorang karyawan. Masalah lainnya yang dihadapi Garuda adalah budaya kerja berdasarkan senioritas masa kerja untuk memperoleh penghargaan. Karyawan tidak harus bekerja keras dan sungguh-sungguh untuk mencapai kenaikan golongan atau kepangkatan, karena manajemen sudah menetapkan kenaikan golongan atau kepangkatan dilakukan setiap tiga tahun. Sebagai BUMN, Garuda Indonesia mempunyai nilai ganda yang membuatnya lebih sulit merumuskan budayanya. Sebab, sebagai aparatur pembangunan nasional, peranan pemerintah di BUMN sangat dominan. Di lain pihak, BUMN juga dituntut bersikap profesional dalam usahanya. BUMN juga harus mampu meningkatkan daya saing di dalam negeri maupun di luar negeri untuk menghasilkan devisa negara. Masalah lainnya yang dihadapi Garuda Indonesia adalah produktivitas dan inovasi karyawan masih rendah. Hal ini terlihat dari masalah keterlambatan penerbangan yang tidak ditangani dengan baik 9 sehingga sering mengecewakan pengguna jasa dengan tingkat on time performance yang hanya 75 persen, dibandingkan kompetitor terdekat yakni Batik Air yang sudah mencapai 85 persen. Meski sebagai salah satu BUMN besar, produktifitasnya karyawan rendah, on time performance rendah, budaya melayani kurang, padahal bisnis Garuda adalah di bidang jasa pelayanan. Proses restrukturisasi ini tentunya ditunjang oleh beberapa faktor pendukung seperti adanya model kepemimpinan transformasional dari puncuk pimpinan Garuda itu sendiri, dan inovasi-inovasi yang mampu melampaui batas maskapai-maskapai domestik yang ada sekarang ini. Sehingga, walaupun Garuda merupakan perusahaan BUMN, tetap mampu mandiri mengelola dan membiayai manajemen produksinya. Garuda Indonesia memang telah berhasil mengubah haluannya, sehingga terhindar dari kegagalan di masa krisis dan meraih kesuksesan pada era 2006 hingga 2010.Setelah melalui masa-masa sulit, kini Garuda Indonesia melanjutkan kesuksesan dengan menjalankan program 5 tahun ekspansi secara agresif. Program ini dikenal dengan nama ‘Quantum Leap’. Program ini diharapkan akan membawa perusahaan menjadi lebih besar lagi, dengan jaringan yang lebih luas dan diiringi dengan kualitas pelayanan yang semakin baik (Company Profile PT Garuda Indonesia, 2014). 10 Demikian strategisnya keberadaan Garuda Indonesia, menjadi penting untuk selalu meningkatkan kinerja, salah satunya yang didorong dari kegiatan inovasi. Kemampuan berinovasi dipandang oleh beberapa pakar sebagai keunggulan yang membedakan perusahaan yang mampu bersaing dengan yang tidak mampu (Amit & Schoermaker, 1993; Prahalad & Hammel, 1990). Menurut Rosabeth Moss Kanter (1986), inovasi adalah sebuah hasil karya pemikiran baru yang diterapkan dalam kehidupan manusia. Inovasi yang dimaksud tidak melulu menyangkut penciptaan suatu produk, melainkan pada beberapa aspek seperti inovasi proses, inovasi metode, inovasi struktur, inovasui hubungan, inovasi strategis, inovasi pola pikir, inovasi pelayanan. Menurut De Jong & Den Hartog (2003:25) perilaku inovatif dapat didefinisikan sebagai semua tindakan individu yang diarahkan pada generasi, pengenalan dan penerapan baru yang bermanfaat pada setiap tingkat organisasi. Kajian yang dilakukan para pakar tentang faktor yang mendorong inovasi telah banyak dilakukan. Amabile (1998) dan Mumford & Gustafson (1998, dalam Ancok, 2012) menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah salah satu faktor utama pengungkit inovasi. Selain itu faktor struktur dan proses organisasi berupa jejaring kerjasama dalam organisasi (intraorganizational network) dan kemampuan belajar organisasi (organizational learning) juga menentukan terjadinya inovasi. Faktor lainnhya adalah lingkungan kerja yang kondusif dan kreatif 11 (Amabile, 1998), kompleksitas pekerjaan dan tipe pengawasan yang diterapkan dalam perusahaan, budaya dan iklim organisasi (Mumford & Gustafson, 1998). Ciri lain yang harus dimiliki organisasi inovatif adalah adanya orang yang hebat sebagai perencana dan pelaksana kegiatan organisasi. Secara garis besar, ada tiga koponen modal organisasi yng mendukung inovasi yakni modal manusia (human capital), modal kepemimpinan (leadership capital) dan modal struktural (structural capital) (Ancok, 2012).Peran seorang pemimpin sangat besar dalam menumbuhkan jiwa inovatif karyawan. Sifat apresiatif pimpinan akan memotivasi orang untuk berinovasi. Berdasarkan teori kepemimpinan transformasional yang dikemukakan Bass & Avolio (2007), diyakini bahwa seorang pemimpin transformasional memiliki kemampuan untuk menginspirasi pekerja (inspirational motivation). Namun, keberadaan pemimpin tak akan ada artinya jika pekerja yang bersangkutan tidak memiliki keinginan untuk berinovasi. Salah satunya berkaitan dengan kepribadian seseroang. Costa & McRae mengungkapkan lima aspek tipe kepribadian dalam Big Five Personality atau yang juga disebut dengan Five Factor Model Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, terdiri atas Neuroticism, dan Openness to Experience. Pencapaian kreativitas lebih banyak pada orang yang memiliki tingkat Openness yang tinggi. Seseorang yang kreatif, 12 memiliki rasa ingin tahu, atau terbuka terhadap pengalaman lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk suatu masalah. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan dalam latar belakang, dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah persepsi gaya Kepemimpinan Tranformasional mempengaruhi Perilaku Inovatif karyawan. 2. Apakah Budaya Inovasi perusahaan mempengaruhi Perilaku Inovatif karyawan. 3. Apakah tipe kepribadian Openness to Experience mempengaruhi perilaku inovatif karyawan. 4. Apakah Gaya Kepemimpinan Transformasional, Budaya Inovasi perusahaan dan tipe kepribadian Openness to Experience mempengaruhi perilaku inovatif karyawan 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional pada Perilaku Inovatif Karyawan. 2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Budaya Inovasi perusahaan pada Perilaku Inovatif karyawan. 13 3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Tipe Kepribadian openness to experience pada perilaku inovatif karyawan. 1.4 Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi hanya pada beberapa dua unit (Divisi) yang ada di wilayah kerja PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Pusat. 1.5 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut : 1. Menjadi salah satu sumber informasi bagi jajaran manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. mengenai pengaruh persepsi gaya kepemimpinan Transformasional, budaya perusahaan dan tipe kepribadian Openness to Experience terhadap perilaku inovatif karyawan. Hasilnya diharapkan bisa menjadi rujukan dalam mengambil kebijakan terkait manajemen SDM yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan perilaku inovatif karyawan. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi bagi ilmu pengetahuan di masa yang akan datang dan dapat disempurnaan untuk penelitian berikutnya. 14 1.6 Susunan Penelitian Penelitian ini disusun dalam beberapa langkah penulisan sebagai berikut : Bab I – PENDAHULUAN Membahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian dan kontribusi penelitian dalam kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. Bab II – TINJAUAN PUSTAKA Membahas mengenai teori normatif dan empiris yang digunakan oleh penulis dalam penelitian. Selain itu pula dijelaskan mengenai kerangka teoritis dari peneliti. BAB III – METODE PENELITIAN Membahas mengenai objek penelitian yaitu perusahaan yang diteliti seta metode pengumpulan data, definisi operasional variabel dan metode analisa data. BAB IV – HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN Bab IV berisi tentang pembahasan dan analisa hasil penelitian dan membandingkan dengan landasan teori yang diuraikan di Bab II. BAB V – KESIMPULAN dan SARAN Berisi kesimpulan dan saran dari peneliti berdasarkan hasil pembahasan Bab IV. 15