MODUL KARDIOVASKULAR

advertisement
MODUL KARDIOVASKULAR
MAKALAH PLENO KASUS
“DOK ANAK SAYA KOK SESAK”
DISUSUN OLEH KELOMPOK VI
ANGGOTA :
03012162
Maulvi Syawal Adz Zikri
03012163
May Velyn
03012164
Maya Septiani
03012165
Megawati
03012166
Meilani Rose
03012167
Mianova Mintardi
03012168
Moch. Syafii
03012169
Moh Almuhaimin
03012170
Mohammad Rheza
03012177
Mutia Nur Izzati
03012178
Mutia Azzahrah
03012180
Nabatul Khasan
03012187
Nabila Islamiyati
03012296
Zaimanur
Fakultas Kedokeran Universitas Trisakti
Jakarta
Kasus:
Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun diantar oleh ibunya ke poli umum karenasesak napas
sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak timbul bila berjalan lebih dari 100m, atau bila
olahraga disekolah. Bilatidur harus dengan 2 bantal, dan sering terbangun karena sesak napas.
Demam terus menerus disertai nyeri sendi lututyang berpindah pada lutut kanan dan pergelangan
kaki kiri. pasien berobat ke Dokter 24 jam diberi obat 4 macam tetap tidak ada perbaikan,
kemudian dibawa berobat ke Rumah Sakit.
Riwayat kehamilan dan kelahiran berlangsung normal, riwayat tumbuh kembang normal dan
sekarang duduk di kelas 1 SMP. Riwayat penyakit sebelumnya ialah pernah sakit sendi bengkak
dan demam disertai dirawat di Rumah Sakit selama 3 minggu. Pasien sering sakit tenggorokan
tetapi tidak berobat.
BAB I
PENDAHULUAN
Rheumatic Heart Disease (RHD) atau Penyakit Jantung Rematik/Demam
Rematik merupakan suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptococcus
βHemoliticus Group A yang terjadi secara akut maupun berulang dengan penentuan gejalamayor
dan minor dari Kriteria Jones.
Demam Rematik (DR) terjadi sebagai sekuele lambat radang non-supuratif
sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan dan
kulitdengan frekuensi yang bervariasi. Penyakit Jantung Rematik (PJR) sendiri adalah
penyakit jantung sebagai adanya gejala sisa (sekuele) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya
cacatkatup jantung.Jauh sebelum T. Duckett Jones pada tahun 1944 mengemukakan kriteria
Jonesuntuk menegakkan diagnosis demam rematik, beberapa tulisan sejak awal abad ke 17
telahmelaporkan mengenai gejala penyakit tersebut. Epidemiologis dari Perancis de
Baillouadalah yang pertama menjelaskan rheumatism artikuler akut dan membedakannya dari
goutdan kemudian Sydenham dari London menjelaskan korea, tetapi keduanya
tidak menghubungkan kedua gejala tersebut dengan penyakit jantung. Pada tahun
1761Morgagni, seorang patolog dari Itali menjelaskan adanya kelainan katup pada
penderita penyakit tersebut dan deskripsi klinis PJR dijelaskan setelah didapatinya stetoskop
padatahun 1819 oleh Laennec. Pada tahun 1886 dan 1889 Walter Butletcheadle
mengemukakan“rheumatic fever syndrome” yang merupakan kombinasi artritis akut, penyakit
jantung,korea dan belakangan termasuk manifestasi yang jarang ditemui yaitu eritema
marginatumdan nodul subkutan sebagai komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931, Coburn
mengusulkan hubungan infeksi Streptokokus grup A dengan demam rematik dan
secara perlahan-lahan diterima oleh Jones dan peneliti lainnya. Pada tahun 1944 Jones
mengemukakan suatu kriteria untuk menegakkan diagnosis demam rematik. Kriteria ini masih
digunakan sampai saat ini untuk menegakkan diagnosis dan telah beberapamengalami modifikasi
dan revisi, karena dirasakan masih mempunyai kelemahan untuk menegakkan diagnosis secara
tepat, akurat dan cepat.Saat ini banyak kemajuan yang telah dicapai dalam bidang kardiologi,
tetapi demamrematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan problem karena
merupakan penyebab kelainan katup yang terbanyak terutama pada anak. Sampai saat ini
demamrematik belum dapat dihapuskan, walaupun kemajuan dalam penelitian dan
penggunaanantibiotika terhadap penyakit infeksi begitu maju. Demam rematik dan pernyakit
jantungrematik masih merupakan penyebab penyakit kardiovaskular yang signifikan
didunia,termasuk Indonesia. Dinegara maju dalam lima tahun terakhir ini terlihat insidens
demamrematik dan prevalens penyakit jantung rematik menurun, tetapi sampai permulaan abad
ke-21 ini masih tetap merupakan problem medik dan public health didunia karena
mengenaianak-anak dan dewasa muda pada usia yang produktif.
BAB II
Identifikasi masalah
Masalah yang ada pada pasien seorang anak laki laki usia 13 tahun adalah :
1. Sesak nafas
2. demam
3. nyeri lutut dan kaki
4. sakit sendi bengkak
5. nyeri tenggorokan
Secara kronologis perjalanan penyakit yang diderita pasien ini dapat digambarkan :
BAB II
PEMBAHASAN
Learning objective yang akan dibahas adalah untuk memahami :
Memahami dan Menjelaskan Penyakit Jantung Rematik
 Definisi
 Epidemiologi

Etiologi

Patofisiologi

Manifestasi klinis

Diagnosis dan Diagnosis Banding

Pemeriksaan

Tatalaksana

Komplikasi

Prognosis
Definisi
Penyakit jantung reumatik (PJR) adalah salah satu komplikasi yangmembahayakan dari
demam reumatik. Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non
supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat.
Penyakit jantung rematik merupakan suatu kondisi dimana terjadi terjadinya kerusakan pada
katup jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral atau
katup aorta sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam rematik. Katup-katup tersebut
rusak oleh karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi bakteri
Streptococcus β hemoliticus tipe A.
Epidemiologi
DR dapat ditemukan diseluruh dunia dan mengenai semua umur, namun serangan
pertama lebih sering terjadi pada usia 5-15 tahun. Jarang sekali menyerang dibawah 5 tahun
atau diatas 50 tahun.
DR dan PJR merupakan masalah kesehatan di negara-negara berkembang dengan tingkat
kemiskinan dan kepadatan penduduk yang tinggi. DR dan PJR adalah penyebab utama
kematian penyakit jantung untuk usia dibawah 40 tahun. Di Ameriksa Serikat, insiden DR
berkisar 0,5 – 2/100.000 penduduk.
Demam rematik masih sering didapati pada anak di Negara berkembang dan sering
mengenai anak usia 5-15 tahun. Prevalensi DR dan PJR di Negara berkembang berkisar
antara 7,9 sampai 12,6 per 1000 anak sekolah dan jauh lebih rendah dibandingkan negara
berkembang lainnya.
Dalam laporan WHO Expert Consultation, Ganeva, 29 Oktober – 1 November 2001 yang
diterbitka tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di Negara maju
dan 8,2 per 100.000 penduduk di Negara berkembang, sedangan didaerah asia tenggara
diperkirakan 7,6 per 100.000. diperkirakan sekitar 2000 – 332.000 orang yang meniggal di
seluruh dunia karena penyakit tersebut.
Etiologi
Kuman Streptokokus grup A merupakan kuman yang terbanyak menimbulkan
tonsilofaringitis, di mana juga menyebabkan demam reumatik. Hampir semua Streptokokus
grup A adalah beta hemolitik.
Infeksi terjadi apabila organisme melekat pada permukaan endokardium selama episode
bakteremia. Pada beberapa kasus, penyebab infeksi hematogen jelas, seperti pada kasus
pemakai obat terlarang intravena yang menyuntikkan bahan tercemar secara langsung ke
dalam aliran darah; infeksi di tempat lain atau riwayat tindakan gigi, bedah, atau intervensi
lainnya (misal: kateterisasi urin) juga dapat menyebabkan penyebaran kuman ke aliran
darah. Namun, pada kasus lain, sumber bacteremia tidak jelas dan mungkin berkaitan
dengan cedera ringan di kulit atau mukosa, seperti yang mungkin ditemukan selama
menggosok gigi. Demam reumatik dapat menyerang semua bagian jantung. Meskipun
pengetahuan tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman Beta Streptococcus
Hemolyticus Grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya demam
reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam
remautik termasuk dalam penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel yang
terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase,
difosforidin nukleotidase, dioksiribonuklease serta streptococcal erytrogenic toxin. Produkproduk tersebut merangsang timbulnya antibodi.
Pada penderita yang sembuh dari infeksi streptococcus, terdapat kira-kira 20 sistem antigenantibodi; beberapa diantaranya menetap lebih lama daripada yang lain. Anti DNAase
misalnya dapat menetap beberapa bulan dan berguna untuk penelitian terhadap penderita
yang menunjukkan gejala korea sebagai manifestasi tunggal demam reumatik, saat kadar
antibodi lainnya sudah normal kembali. ASTO ( anti-streptolisin O) merupakan antibodi
yang paling
dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus.
Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik / penyakit jantung reumatik akut
menunjukkan
kenaikkan titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap
streptococcus, maka pada 95 % kasus demam reumatik / penyakit jantung reumatik
didapatkan peninggian
atau lebih antibodi terhadap streptococcus.
Faktor-faktor pada individu :
1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik
menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibody monoklonal
dengan status reumatikus.
2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki.
Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun
manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam
reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih.
Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang
berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang
sebenarnya.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik /
penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun
dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5
tahun
dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini
dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi
Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur
2-6 tahun.
5. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan
faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
Faktor-faktor lingkungan :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk
terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju,
jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk
sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya
pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit
sangatkurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang
dan lain-lain. Semua hal inimerupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam
reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah
yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun
mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang
letaknya
agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas
bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.
Patofisiologi
Teori yang paling dapat diterima adalah teori imunologi. Streptokokus memiliki kapsul
yang terdiri atas protein M kemudian menempel pada endotel mukosa (saluran napas atas),
mensekresi toksin yang dapat memicu radang dan membantu penyebaran ke aliran darah.
Sel APC mempresentasikan antigen SGA yang berupa protein M pada sistem imun spesifik
(sel B dan sel T), kemudian sel ini tersensitasi dan berproliferasi serta berdiferensiasi.
Proses sensitasi akan memicu sekresi antibodi terhadap protein M oleh sel plasma, aktivasi
sel T menjadi sel T efektor dan sel memori terhadap antigen protein M. Perlu diketahui,
bahwa didalam tubuh kita protein M juga dimiliki oleh jaringan ikat kulit, SSP, sendi,
sarkolema dan myosin jantung, akibatnya selain menyerang kuman SGA, sel-sel spesifik
tersebut menyerang jaringan sendiri (Autoimunitas) akibatnya terjadi kerusakan jaringan
dan muncul manifestasi DR.
Apabila
DR
tidak
segera
diatasi
maka
proses
lebih
lanjut
adalah
kelainan
yang
terjadi
pada
katup
yang
disebut
sebagai Penyakit Jantung Reumatik – PJR.
Patogenesis dan perubahan morfologi utama pada demam reumatik dan penyakit
jantung reumatik akan menyebabkan perubahan di endokardium, miokardium, dan
epikardium. Diduga kuat suatu reaksi hipersensitivitas yang dipicu oleh streptokokus grup A
bereaksi silang dengan protein normal yang terdapat di sendi, jantung, dan jaringan lain.
Faringitis yang disebabkan oleh streptokokus grup A ini akan menyebabkan peradangan
dan reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi ini akan menyebabkan kelenjar getah bening (KGB)
untuk menghasilkan limfosit B (antibodi) terhadap antigen streptokokus grup A sehingga
terbentuk kompleks imun (antigen-antibodi). Kompleks imun ini akan masuk ke dalam
sirkulasi darah di pembuluh darah, hingga kompleks ini masuk ke jantung. Kompleks imun
ini juga menyerang jantung (autoimunitas), karena beberapa protein jantung ini ada yang
mirip dengan antigen streptokokus grup A, sehingga antibodi juga mengenalinya sebagai
antigen yang sama dengan streptokokus grup A tersebut.
Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong mekanisme autoimunitas atas dasar
reaksi antigen-antibodi terhadap antigen streptokokus. Salah satu antigen tersebut adalah
protein M streptokokus. Pada serum pasien demam reumatik akut, didapatkan antibodi dan
antigen, di mana antibodi yang terbentuk bukan bersifat kekebalan. Reaksi ini dapat
ditemukan pada miokard, otot skelet, dan sel otot polos. Dengan imunofloresensi, dapat
ditemukan imunoglobulin dan komplemen pada sarkolema miokard.
Patofisiologi secara utuh dari terjadinya penyakit jantung reumatik belum diketahui
secara jelas tetapi ada penelitian yang mendapatkan bahwa demam rematik yang
mengakibatkan penyakit jantung rematik terjadi akibat sensitisasi dari tantigen Streptokokus
sesudah satu sampai empat minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih kurang 95% pasien
menunjukkan peninggian titer antistreptoksisn O (ASTO), antideoksiribonukleat B (anti
DNA-ase B) yang merupakan dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman
Streptokokus grup A. Beberapa faktor yang didiga menjadi komplikasi pasca Streptokokus
ini kemungkinan utama adalah pertama Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus ddan kedua
besarnya responsi umum dari host dan persistensi organisme yang menginfeksi faring. Dan
tidak diketemukannya faktor predisposisi dari kelainan genetik.
Infeksi dari Streptokokus ini pada awalnya akan mengaktifkan sistem imun. Seberapa
besar sistem imun yang aktif ini sangat dipengaruhi oleh faktor virulensi dari kuman itu
sendiri yaitu kejadian terjadinaya bakteriemia. Beberapa protein yang cukup penting dalam
faktor antigenisitas antara lain adalah protein M dan N asetil glukosamin pada dinding sel
bakteri terserbut. Kedua faktor antigen terserbut akan dipenetrasikan oleh makrofak ke sel
CD4+naif. Selanjutnya sel CD4 akan menyebabkan poliferasi dari sel T helper 1 dan Thelper
2 melalui berbagai sitokin antara lain interleukin 2, 12, dll. Thelper 1 akan menghasilkan
interferon yang berfungsi untuk merekrut makrofak lain datang ke tempat terjadinya infeksi
terserbut. Dan juga keberadaan IL 4 dan IL 10 juga menjadi salah satu faktor perekrutan
makrofak ke tempat lesi terserbut. Selain itu T helper juga akan mengaktifasi sel palasma
menjadi sel B yang merupakan sel memori dengan memprodukksi IL4. Keberadaan sel
memori ini lah yang memungkinkan terjadinya autoimun ulang apabila terjadi pajanan
terhadap streptokokus lagi. Setelah sel B aktif akan menghasilkan IgG dan IgE. Apabila
terpajan kembali dengan bakteri penyebab teserbut akan terjadi pengaktifan jalur komplemen
yang menyebabkan kerusakan jaringan dan pemanggilan makrofag melalui interferon
Pada penderita jantung remmatik, sel B, IgG dan IgE akan memiliki raksi silang
dengan beberapa protein yang terdapat di dalam tubuh. Hal ini disebabkan M protein dan N
asetil glukosamin pada bakteri mirip dengan protein miosin dan tropomiosin pada jantung,
laminin pada katup jantung, vimentin pada sinovial, keratin pada kulit, dan lysogangliosida
pada subtalamikus dan caudate nuclei di otak. Reaksi imun yang terjadi akan menyebabkan
pajanan sel terus menerus dengan makrofag. Kejaidan ini akan meningkatkan sitoplasma dan
organell dari makrofagsehingga mirip seperti sel epitel. Sel epitel teserbut disebut dengan sel
epiteloid, pengabungan dari granuloma ini disebut dengan aschoff body. Sedangkan jariangan
yang lisis atau rusak karena reaksi autoimun baik yang disebabkan oleh karena reaksi
komplemen atau fagositosis oleh makrofak akan digantikan dengan jaringan fibrosa atau scar.
Terbentuknya scar ini lah yang dapat menyebabkan stenosis ataupun insufisiensi dari katupkatup pada jantung.
Perubahan struktur yang paling sering terjadi pada demam jantung rematik adalah
insufisiensi katup mitral. Hal ini disebabkan karena kelihalngan dan pemendekan serta
penebalan kordae tendinea. Pada awal terjadinya demam jantung rematik akan terjadi
pembesaran ventrikel kiri karena adanya beban volume yang besar dan proses radang.
Setelah itu biasanya terjadi dilatasi atrium kiri karena terjadi regurgitasi ke dalam ruangan
ini. Kenaikan tekanan atrium kiri mengakibatkan kongesti pulmonal dan gejala-gejala gagal
jantung sisi kiri. Pada kebanyakan kasus insufisiensi mitral ada dalam kisaran ringan sampai
sedang. Bahkan, pada penderita-penderita yang pada permulaannya insufiseiensi berat,
biasanya kemudian ada perbaikan spontan. Hasilnya lesi kronis paling sering ringan atau
sedang, dan penderita akan tidak bergejala. Lebih separuh penderita dengan insufisiensi
mitral selama serangan akut akan tidak lagi mempunyai bising akibat mitral setahun
kemudian. Namun pada penderita dengan insufisiensi mitral kronis, berat, tekanan arteria
pulmonalis menjadi naik, pembesaran ventrikel dan atrium kanan yang selanjutnya akan
terjadi gagal jantung sisi kanan.
Komplikasi kedua tersering yang diktemui adalah stenosis katup mitral. Stenosis ini
adalah akibat fibrosis cincin mitral, perlekatan komisura, dan kontraktur daun katup, korda,
dan muskulus papilare selama periode waktu yang lama. Akibat yang biasanaya diketemukan
pada stenosis katup mitral adalah dilatasi atau hipertrophy dari atrium kiri, hal ini terjadi
karena hambatan aliran darah dari atrium kiki menuju ventrikel kiri. Hambatan ini
menyebabkan kurangnya aliran darah sistemik yang menyebabkan anak terserbut mudah
lelah. Hal lain yang disebabkan oleh stenosis katup mitral adalah peningkatan tekanan pada
paru-paru, sehingga mungkin didapatkan efusi ringan air menuju paru-paru ataupun ke
pleura. Apabila terjadi peningkatan tekanan pulmonal dalam waktu yang cukup lama akan
menyebabkan hipertrofi dengan disertai gagal jantung sisi kanan. Manifestasi dari gagal
jantung sisi kanan yaitu adanya edema perifer, dilatasi dari vena jugularis, dan hepatomegali.
Komplikasi berikutnya adalah insufisiensi aorta reumatik kronis, sklerosis katup aorta
yang menyebabkan penympangan dan retraksi katup. Regurgitasi darah menybabkan beban
volume berlebih dalam dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi insufisiensi mitral
dan aorta lebih sering daripada keterlibatan aorta saaja, gagal ventrikel kiri akhirnya dapat
terjadi. Untuk kelainan yang menyebabkan penyakit katup trikuspidal dan katup pulmonal
sangat jarang ditemui. Untuk katup trikuspidalis yang paling sering adalah insufisiensi
trikuspidal karena dilatasi ventrikel akan akibat lesi sisi kiri yang beradat dapat terjadi pada
penderita yang tidak dilakukan pembedahan. Tanda-tanda yang ditimbulkan oleh insufisiensi
trikuspidalis adalah pulsasi vena jugularis dengan gelombang “c-v” yang mencolok.
Biasanya kelainan ini timbul bersamaan dengan kelainan katup mitral dan aorta. Insufisiensi
pulmonal terjadi atas dasar fungsional akibat hipertensi pulmonal atau dilatasi arteria
pulmonalis. Kelainan ini merupakan tanda akhir pada stenosis mitral berat. Bising serupa
dengan bising insufisiensi aorta tetapi tanda-tanda arteri perifer tidak ada.
Manifestasi klinis
DR atau PJR yang kita kenal sekarang merupakan kumpulan penyakit terpisahpisah kemudian menjadi suatu penyakit DR/PJR. Adapun gelaja-gejala itu adalah :
1. Artritis
Artritis adalah gejala major yang sering ditemukan pada DR akut (Majeed H.A
1992). Sendi yang dikenai berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendi
besar seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku, dan bahu.
Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti
dengan reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang perlahan-lahan.
Radang sendi ini jarang menetap lebih dari satu minggu sehingga terlihat sembuh
sempurna. Proses migrasi artritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi
kecil jari tangan dan kaki juga dapat dikenai. Pengobatan dengan spirin dapat
merupakan diagnosis terapetik pada artritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak
mebaik dalam 24-72 jam, maka diagnosis akan diragukan.
2. Karditis
Kadang-kadang karditis itu asimptomatik dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi.
Karditis biasanya hanya mengenai endocardium saja. Endocarditis terdeteksi saat
adanya bising jantung. Katup mitrallah yang terbanyak dikenai dan dapat bersamaan
dengan katup aorta. Adanya regurgitasi mitral ditemukan dengan bising sistolik yang
menjalar ke aksila, dan kadang-kadang juga disertai bising mid-diastolik (bising
Carey Coombs). Miokarditis dapat bersamaan dengan endocarditis sehingga terdapat
kardiomegali atau gagal jantung. Pericarditis tak akan berdiri sendiri.
3. Chorea
Masa lat en infeksi SGA dengan chorea cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih
sering dikenai pada perempuan pada umur 8-12 tahun. Dan gejala ini muncul selama
3-4 bulan. Dapat juga ditemukan pada anak ini suatu emosi yang labil dimana anak
ini suka menyendiri dan kurang perhatian terhadap lingkungannya sendiri. Gerakangerakan tanpa disadari akan ditemukan pada wajah dan anggota-anggota gerak tubuh
yang biasanya unilateral. Dan gerakan ini menghilang saat tidur.
4. Eritema marginatum
Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari pasien DR, dan berlangsung
berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal.
5. Nodul subkutanius
Besarnya kira-kira 0,5 sampai 2 cm, bundar, terbatas dan tidak nyeri tekan. Demam
pada DR tidak khas, dan jarang menjadi keluhan utama oleh pasien DR ini. Pada
penelitain yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti di berbagai Negara, dari
manifestasi klinis DR yang dilaporkan oleh Committee of Rematic Fever tahun 1992
dan penelitian sendiri tanpa dilihat.
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Kriteria diagnosis demam rematik / penyakit jantung rematik berdasarkan criteria
jones. Ditegakkan bila ditemukan kriteria mayor dan kriteria minor ditambah dengan
bukti infeksi streptococcus grup A tenggorok positif dan peningkatan titer antibodi
streptococcus.
Kriteria Mayor
 Karditis









Poliartritis
Khorea
Eritema marginatum
Nodul subkutan


Kriteria Minor
Riwayat demam rematik atau penyakit jantung
sebelumnya
Arthalgia
Demam
Lab :
ASTO >, kenaikan titer antistreptolisin atau antibodi
antistreptococcus lainnya, biakan usap tenggorok
yang positif untuk streptococcus grup A.
LED meningkat, CRP meningkat, Leukosit
meningkat (peningkatan kadar reaktan fase akut)
EKG : interval PR memanjang.
Kriteria Mayor
1. Karditis
Merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena merupakan satusatunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat
menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik. Penderita tanpa
keterlibatan jantung pada pemeriksaan awal harus dipantau dengan ketat untuk mendeteksi
adanya karditis sampai tiga minggu berikutnya. Jika karditis tidak muncul dalam 2 – 3
minggu biasanya jarang akan muncul selanjutnya.Diagnosis karditis rematik dapat
ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah satu tanda berikut:
 Bising jantung organik. Pemeriksaan ekokardiografi yang menunjukan adanya AI atau MI
saja tanpa adanya bising jantung organic tidak dapat disebut sebagai karditis
 Perikarditis ( friction rub, efusi pericardium, nyeri dada, perubahan EKG)
 Kardiomegali pada foto thorak
 Gagal jantung kongestif.
2. Poliartritis Migrans
Ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan keterbatasan gerak
aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling sering mengenai sendisendi besar. Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi
dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada
beberapa sendi pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada satu
sendi, sendi yang lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu
sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor. Selain itu, agar
dapat digunakan sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurangkurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus
didukung oleh adanya titer ASTO atau antibody antistreptokokus lainnya yang tinggi.
Arthritis ini mempunyai respon yang cepat dengan pemberian salisilat, bahkan pada dosis
rendah.
3.
Korea Sydenham
Secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang
berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu
sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidak-stabilan
emosi. Manifestasi ini lebih nyata bila penderita bangun dan dalam keadaan tertekan. Tanpa
pengobatan gejala korea ini menghilang dalam 1 – 2 minggu. Pada kasus yang berat
meskipun denga terapi
gejala ini dapat menetap selama 3 - 4 minggu dan bahakan sampai 2 tahun,
walupun jarang.
4. Eritema marginatum
Merupakan ruam yang khas pada demam rematik, berupa ruam yang tidak gatal, macular dan
tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit yang tampak
normal, terjadi pada 5 % kasus. Lesi ini berdiameter 2,5 cm dan paling sering ditemukan
pada tubuh, tungkai proksimal dan tidak melibatkan muka. Pada penderita kulit hitam sukar
ditemukan.
5. Nodulus subkutan
Pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di daerah ekstensor
persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat,
tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa
milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak
terdapat karditis.
Kriteria Minor
1. Riwayar demam rematik sebelumnya
Dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu
diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam
rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita
seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan
tidak terdiagnosis.
2. Artralgia
Merupakan rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau keterbatasan
gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan
periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak
normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah
dipakai sebagai kriteria mayor.
3. Demam
Pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39°C, terutama jika
terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan
selama beberapa minggu(1,9,11). Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik,
dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak meiliki
arti diagnosis banding yang bermakna.
4. Peningkatan kadar reaktan fase akut
Perupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan
indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir
selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya
manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat
pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat
pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap
darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus.
5. Bukti yang Mendukung
Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostic standar untuk demam
rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO
dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd
pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80% kasus
demam rematik akutInfeksi streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan
usapan
tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut. Bagaimanapun,
biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adasnya infeksi
streptokokus akut
Pemeriksaan
Pemeriksaan diagnostik :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik : didapati manifestasi klinis DR atau PJR
3. Pemeriksaan Hematologi rutin : Leukositosis yang didominasi neutrofil, hemoglobin
rendah, LED cepat, CRP meningkat.
4. Kultur bakteri : (+) streptokokus pada hapusan tenggorok. Apabila hasilnya (-) maka
kemungkinan :
- Telah mendapat antibiotika sebelumnya
- Mikroba tidak dapat tumbuh dengan kultur biasa
Kultur (+) streptokokus pada ADP. Terlihat zona hemolitik dengan warna kehijauan
disekelilingnya.
5. Imunologi : dapat diambil 2-3 minggu pasca DR atau 4-5 minggu pasca infeksi SGA di
tenggorokan. Hasil positif bila :
Titer
Anak
Dewasa
ASTO
Anti-DNAse
320
240
210
120
6. Histopatologi : ditemukan “Badan Aschoff” pada septum fibrosa intervaskular, jaringan
ikat perivaskular dan daerah subendotelial. Badan atau nodul Aschoff adalah daerah
terlokalisir yang berisi sel-sel fibrotik dengan sebukan sel-sel datia Aschoff dan
Anitchow myocyte (histiosit dengan sitoplasma yang mengandung fibril, nukleusnya
tampak seperti ulat bulu).
Nodul Aschoff pada katup jantung (katup tampak mengalami fibrosis, penebalan dan tumpul)
Badan Aschoff pada sediaan
jantung.
Pewarnaan
HE.
Tampak sel datia Aschoff dan
sel
Anitchow.
Daerah
terlokalisir didekat pembuluh
darah.
Diagnosis
ditegakkan
demam
reumatik
bila didapati :
o
2 kriteria mayor
o
1
kriteria
mayor
dengan 2 kriteria minor
Diagnosis akan diperkuat dengan kenaikan titer ASTO dan Anti-DNAse serta kultur positif
pada hapus tenggorok. Pemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokus grup A sangat
membantu diagnosis demam reumatik, yaitu :
a. Pada saat sebelum ditemukan infeksi streptokokus grup A
b. Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi streptokokus grup A tersebut
Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kuman streptokokus grup A ini, dapat
dilakukan pemeriksaan dengan cara:


Hapusan tenggorokan. Biasanya kultur hapusan tenggorokan negatif pada saat akut.
Hasil yang positif juga belum pasti membantu diagnosis karena adanya kemungkinan
kekambuhan akibat kuman streptokokus grup A ini atau infeksi Streptococcus dengan
strain yang lain.
Titer tes ASTO. Tes antibodi streptokokus ini lebih menjelaskan adanya infeksi
streptokokus dengan adanya kenaikan titer ASTO (antistreptoksin O) dan anti-DNA-se.
Terbentuknya antibodi-antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer

ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak,
sedangkan titer pada DNA-se B 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd untuk
anak-anak. Antibodi ini dapat terdeteksi pada minggu kedua sampai minggu ketiga
setelah fase akut demam reumatik atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman streptokokus
grup A di tenggorokan.
Pada fase akut juga ditemukan leukositosis, laju endap darah (LED) yang meningkat,
protein C-reactive (CRP), mukoprotein serum. LED dan CRP sering diperiksa dan
biasanya selalu meningkat/positif saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat
antireumatik.
Diagnosis banding pada penyakit demam rematik yaitu :
Penatalaksanaan
Pada saat diagnosis demam rematik ditegakkan terhadap semua penderita harus
diperlakukan seolah-olah masih terdapat infeksi streptococcus meskipun organisme tidak
ditemukan pada kultur.
Tatalaksana demam reumatik aktif atau reaktivasi adalah sebagai berikut:
1. Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung
2. Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit
im bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin 2 x
500.000 unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, di berikan eritromisin 2 x 20 mg/kg
BB/hari untuk 10 hari. Untuk profilaksis di penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu sekali. Bila
alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat badan < 30 kg atau 1 g untuk yang
lebih besar. Jangan lupa menghitung sel darah putih pada minggu-minggu pertama, jika leukosit
< 4.000 dan neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun pertama
bila ada kelainan jantung dan rekurensi.
3. Antiinflamasi
Salisilat biasanya dipakai pada demam reumatik tanpa karditis dan ditambah kortikosteroid
jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan
gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan atralgia saja cukup diberikan analgesic.
Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100
mg/kg BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian
dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu kemudian.
Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah
prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80
mg/hari. Bila gawat diberikan metilprednisolon iv 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah 2-3
minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 23 hari. Secara bersamaan,
salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison
dihentikan. Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru.
Komplikasi

Insufisiensi katup mitral
Hal ini disebabkan karena kelihalngan dan pemendekan serta penebalan
kordae tendinea. Pada awal terjadinya demam jantung rematik akan
terjadi pembesaran ventrikel kiri karena adanya beban volume yang besar
dan proses radang. Setelah itu biasanya terjadi dilatasi atrium kiri karena
terjadi regurgitasi ke dalam ruangan ini. Kenaikan tekanan atrium kiri
mengakibatkan kongesti pulmonal dan gejala-gejala gagal jantung sisi kiri.
Pada kebanyakan kasus insufisiensi mitral ada dalam kisaran ringan
sampai
sedang.
Bahkan,
pada
penderita-penderita
yang
pada
permulaannya insufiseiensi berat, biasanya kemudian ada perbaikan
spontan. Hasilnya lesi kronis paling sering ringan atau sedang, dan
penderita
akan
tidak
bergejala.
Lebih
separuh
penderita
dengan
insufisiensi mitral selama serangan akut akan tidak lagi mempunyai bising
akibat
mitral
setahun
kemudian.
Namun
pada
penderita
dengan
insufisiensi mitral kronis, berat, tekanan arteria pulmonalis menjadi naik,
pembesaran ventrikel dan atrium kanan yang selanjutnya akan terjadi
gagal jantung sisi kanan.

Stenosis katup mitral.
Stenosis ini adalah akibat fibrosis cincin mitral, perlekatan komisura, dan
kontraktur daun katup, korda, dan muskulus papilare selama periode
waktu yang lama. Akibat yang biasanaya diketemukan pada stenosis
katup mitral adalah dilatasi atau hipertrophy dari atrium kiri, hal ini terjadi
karena hambatan aliran darah dari atrium kiki menuju ventrikel kiri.
Hambatan ini menyebabkan kurangnya aliran darah sistemik yang
menyebabkan anak terserbut mudah lelah. Hal lain yang disebabkan oleh
stenosis katup mitral adalah peningkatan tekanan pada paru-paru,
sehingga mungkin didapatkan efusi ringan air menuju paru-paru ataupun
ke pleura. Apabila terjadi peningkatan tekanan pulmonal dalam waktu
yang cukup lama akan menyebabkan hipertrofi dengan disertai gagal
jantung sisi kanan. Manifestasi dari gagal jantung sisi kanan yaitu adanya
edema perifer, dilatasi dari vena jugularis, dan hepatomegali.

Insufisiensi aorta reumatik kronis
Sklerosis katup aorta yang menyebabkan penympangan dan retraksi
katup. Regurgitasi darah menybabkan beban volume berlebih dalam
dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi insufisiensi mitral dan aorta
lebih sering daripada keterlibatan aorta saaja, gagal ventrikel kiri akhirnya
dapat terjadi. Untuk kelainan yang menyebabkan penyakit katup
trikuspidal dan katup pulmonal sangat jarang ditemui. Untuk katup
trikuspidalis yang paling sering adalah insufisiensi trikuspidal karena
dilatasi ventrikel akan akibat lesi sisi kiri yang beradat dapat terjadi pada
penderita yang tidak dilakukan pembedahan. Tanda-tanda yang
ditimbulkan oleh insufisiensi trikuspidalis adalah pulsasi vena jugularis
dengan gelombang “c-v” yang mencolok. Biasanya kelainan ini timbul
bersamaan dengan kelainan katup mitral dan aorta. Insufisiensi pulmonal
terjadi atas dasar fungsional akibat hipertensi pulmonal atau dilatasi
arteria pulmonalis. Kelainan ini merupakan tanda akhir pada stenosis
mitral berat. Bising serupa dengan bising insufisiensi aorta tetapi tandatanda arteri perifer tidak ada.
Prognosis
Prognosis tidak akan kambuh bila infeksi Streptococcus diatasi. Prognosis sangat
baik bila karditis sembuh pada saat permulaan serangan akut DR. selama 5 tahun
pertama perjalanan penyakit DR dan PJR tidak membaik bila bising organic. Katup
tidak menghilang. Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata
DR akut dengan Payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40%
setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini akan bertambah bilaa pengobatan
pencegahan sekunder dilakukan secara baik. Ada penilaian melaporkan bahwa stenosis
mitralis sangat tergantung pada beratnya karditis, sehingga kerusakan katup mitral
selama 5 tahun pertama sangat mempengaruhi angka kematian DR ini. Penelitian
selama 10 tahun yang mereka lakukan menemukan adanya kelompok lain terutama
kelompok perempuan dengan kelaianan mitral ringan yang menimbulkan payah jantung
yang berat tanpa diketahui adanya kekambuhan DR atau infeksi Streptococcus.
(Stresser, 1978)
Daftar Pustaka
Corwin Elizabeth j. 2009.Buku Saku Patofisiologi.Ed 3. EGC
Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, Sp.A(K). 2006. Kardiologi Anak. EGC
Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, Sp.A(K).1996.Ilmu Kesehatan Anak Nelson.vol II. Ed 15.EGC
Sudoyo,Aru W. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam Ed 2. Jakarta: interna publishing
Kasper DL, Braunwald E, Fauchi AS et al [editor]. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16
ed, 2003.
Pusponegoro D Hardiono. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1. Jakarta : IDAI,
2004. P. 149-53.
Gray H.H, Dawkins K.D, Morgan J.M, Simpson I.A. Lecture Notes Kardiologi. 4th ed. Jakarta:
Penerbit Erlangga;2005. p.200
Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta:Binarupa Aksara. p.280
Widagdo. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi pada Anak. Jakarta:Sagung Seto;2011.
p.119
Download