Bab II Tinpus A10ram-5

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Vertisol
Vertisol merupakan order untuk tanah liat berwarna kelam yang bersifat
fisik berat. Tanah ini terbentuk pada wilayah dengan topografi agak bergelombang
sampai berbukit pada ketinggian <300 m dpl, temperatur tahunan rata-rata 25 oC
dengan curah hujan <2500 mm per tahun. Vertisol merupakan tanah yang banyak
mengandung mineral liat smektit. Diantara tiga mineral smektit (montmorillonit,
beidelit dan nontronit), montmorillonit merupakan mineral yang paling banyak
dikandung oleh Vertisol. Berdasarkan hasil penelitian Mulyatri (2003)
menggunakan XRD, komposisi mineral liat Vertisol Cianjur terdiri atas 90%
montmorillonit, 8% kaolinit, 1% kuarsa dan 1% kristobalit.
Montmorillonit merupakan mineral liat tipe 2:1 yang dapat mengembang
dan mengerut. Perbedaan musim hujan dan kemarau yang nyata menyebabkan
Vertisol mengerut membentuk retakan-retakan tanah pada saat tanah kering dan
pada saat basah akan terbentuk relief mikro gilgai akibat pengembangan tanah
(Hardjowigeno, 1993).
Tingginya kandungan montmorillonit menyebabkan Vertisol memiliki KTK
(80-120 cmol(+)/kg) dan luas permukaan total (600-800 m2/g) yang tinggi serta
menyebabkan tanah ini mengandung koloid dengan aktivitas yang sangat tinggi
(Bohn et al., 1979). Bahan induk Vertisol umumnya bersifat alkalis, yaitu batuan
sedimen berkapur, batuan beku basa, atau endapan alluvium dari bahan-bahan
tersebut. Kandungan bahan induk ini menyebabkan Vertisol memiliki kejenuhan
basa yang tinggi (80-100%) dengan dominasi kation Ca dan Mg, pH 6.0-8.0,
kandungan liat tinggi (50-70%) serta kandungan bahan organik rendah (1-3%)
pada lapisan atas (Rachim, 2009).
Sifat-sifat kimia tanah Vertisol sangat baik untuk menunjang pertumbuhan
tanaman. Akan tetapi, tingginya kohesi dan plastisitas yang dimiliki Vertisol
menyebabkan tanah ini sangat lengket jika basah. Sifat mengembang dan
mengerut menyebabkan tingginya fiksasi K dan kesulitan dalam pengolahan.
Vertisol
cocok
digunakan
untuk
pertanaman
padi
sawah
karena
permeabilitasnya yang rendah. Vertisol juga dapat digunakan untuk pertanaman
jagung, kedelai, tebu, kapas, tembakau dan hutan jati. Walaupun demikian,
vegetasi alami tanah ini didominasi oleh rumput, savana, hutan terbuka, atau
semak gurun (Rachim, 2009), sehingga sering digunakan sebagai area
penggembalaan.
Montmorillonit
Nama montmorillonit dikhususkan untuk mineral liat aluminium silikat
terhidrasi dengan sedikit substitusi. Montmorillonit beserta beidelit dan nontronit
merupakan smektit dioktahedra yang terbentuk dari mineral primer mika.
Montmorillonit merupakan mineral liat tipe 2:1 yang terdiri atas dua Si-tetrahedra
yang mengapit satu Al-oktahedra pada masing-masing unitnya. Lapisan-lapisan
tersebut bertumpuk dalam pola dari lembar-lembar Si-tetrahedra dan Al-oktahedra
atau Mg-oktahedra. Lembar-lembar tersebut meluas tanpa batas dalam arah dua
dimensi. Montmorillonit merupakan mineral liat yang khas pada tanah-tanah
Vertisol, Mollisol, Alfisol, serta beberapa Entisol (Tan, 1991).
Montmorillonit merupakan mineral liat tanah yang sangat reaktif. Diameter
koloid montmorillonit berkisar 0.01-1.00 µm. Adanya jarak antar unit lapisannya
(pada kondisi kering udara sekitar 12-14 วบ) menyebabkan mineral ini memiliki
permukaan-permukaan aktif luar dan antar lapisan (internal). Permukaan aktif luar
montmorillonit meliputi bagian permukaan luar serta pinggiran kristalnya. Bagian
internal merupakan area pada permukaan basal plane atau permukaan antar
lapisannya. Permukaan internal lebih luas daripada permukaan aktif luar.
Montmorilonit memiliki luas permukaan total 600-800 m2/g dan hampir 80%
merupakan permukaan internal (Bohn et al., 1979).
Menurut Tan (1991), permukaan antar lapisan merupakan bagian utama dari
permukaan total yang dimiliki montmorillonit. Hanya 10% dari permukaan total
tersebut yang merupakan tepi-tepi kristal yang aktif, sehingga pengaruhnya
terhadap penjerapan lebih rendah daripada permukaan internal. Fiksasi K banyak
terjadi pada permukaan internal.
Montmorilonit memiliki dua muatan negatif, yaitu muatan permanen dan
tergantung pH. Muatan permanen timbul akibat substitusi isomorfik tidak
sempurna yang menghasilkan tapak jerapan negatif ion-ion O2- dan OH-. Muatan
ini tidak berubah dengan adanya perubahan pH (Bohn et al., 1979), sedangkan
muatan tergantung pH berasal dari disosiasi ion H+ dari gugus hidroksil pada
pinggiran kristal. Namun, karena dikelilingi oleh jaringan atom-atom oksigen,
disosiasi dan sumbangannya terhadap muatan negatif relatif rendah (Tan, 1991).
Adanya
muatan-muatan
tersebut
memungkinkan
terjadinya
reaksi
penjerapan dan pertukaran bahkan fiksasi ion pada montmorillonit. Penjerapan
dapat terjadi pada semua kation. Namun, pada tanah-tanah yang mengandung
mineral liat tipe 2:1, permasalahan fiksasi K telah banyak menjadi perhatian.
Fiksasi K yang tinggi terutama terjadi pada tanah yang mengandung mineral liat
tipe 2:1 seperti smektit, vermikulit dan illit dalam jumlah yang tinggi (Mengel dan
Kirkby, 1982; Sopher dan Baird, 1982; Tan, 1991; Tisdale et al., 1985). Salah
satu penyebab terjadinya fiksasi K adalah akibat terjebaknya K pada permukaan
antar lapisan mineral liat.
Kalium Tanah
Kadar K tanah-tanah di daerah tropik pada umumnya rendah. Rendahnya
kadar K ini disebabkan oleh tingginya tingkat pelapukan dan pencucian, bahan
induk yang miskin K, pengurasan tanah akibat pertanaman yang terus menerus,
serta pemupukan yang tidak seimbang (Adiningsih, 1985). Kadar K dalam tanah
organik kira-kira 0,03%, sedangkan tanah mineral biasanya mengandung K lebih
dari 4% (Mengel dan Kirkby, 1982).
Kebutuhan
tanaman
akan
hara
K
berubah-ubah
selama
masa
pertumbuhannya. Kebutuhan K pada awal pertumbuhan rendah dan terus
meningkat hingga ke fase generatif. Kalium merupakan hara esensial pada hampir
semua tahapan pertumbuhan tanaman. Fungsi K bagi tanaman antara lain berperan
vital pada proses fotosintesis, translokasi hasil fotosintesis, regulasi stomata, dan
mengaktifkan katalis atau enzim-enzim tanaman. Tanaman kahat K tidak dapat
memanfaatkan air dan hara secara efisien, baik yang berasal dari tanah maupun
pupuk, kurang toleran terhadap cekaman lingkungan, dan kurang resisten terhadap
serangan hama dan penyakit. Hal ini menyebabkan rendahnya mutu hasil produksi
tanaman (Sumantri dan Sudriatna, 2006).
Kalium merupakan hara yang paling banyak dibutuhkan tanaman setelah N
dan P. Sekitar 6-10% dari total K yang dibutuhkan tanaman dapat diperoleh
melalui kontak langsung dengan tanah, sedangkan jumlah K yang dapat diserap
melalui intersepsi akar sebesar 1-2% (Tisdale et al., 1985). Sumber utama K bagi
tanaman berasal dari pelapukan mineral yang mengandung K seperti feldspar (415% K2O), muskovit (7-11% K2O), Biotit (6-10% K2O), Illit (4-7% K2O),
vermikulit (0-2% K2O), klorit (0-1% K2O) dan montmorillonit (0-0,5% K2O)
(Mengel dan Kirkby, 1982).
Kalium lebih banyak terdapat pada tanah-tanah bereaksi netral hingga basa
daripada tanah masam. Secara umum terdapat 3 bentuk K di dalam tanah: (1)
tidak tersedia, (2) lambat tersedia dan (3) segera tersedia. Kalium tidak tersedia
terdapat dalam struktur mineral seperti mika dan feldspar. Kalium lambat tersedia,
yaitu K yang diikat sementara di antara lapisan illit, vermikulit dan
montmorillonit. Bentuk K segera tersedia merupakan K dapat dipertukarkan dan
yang ada dalam larutan tanah. Bentuk K tersedia sangat mudah hilang dari tanah
melalui pencucian (Sopher dan Baird, 1982). Menurut Tisdale et al. (1985), 9098% K berada dalam bentuk tidak tersedia, 1-10% lambat tersedia dan 0,1-2%
segera tersedia. Ketiga bentuk K ini membentuk keseimbangan dalam tanah.
Bentuk tidak tersedia dan lambat tersedia merupakan persediaan K dalam tanah
bagi tanaman. Kalium ini nantinya akan tersedia bagi tanaman walaupun melalui
proses yang sangat lambat.
Pada Vertisol, kadar total K pada umumnya tinggi, namun ketersediaannya
rendah karena adanya jerapan oleh montmorillonit. Tindakan meningkatkan
ketersediaan K bagi tanaman yang biasanya adalah dengan penambahan pupuk ke
dalam tanah. Kalium yang ditambahkan sebagai pupuk ke dalam tanah dapat
dijerap oleh mineral liat. Kalium yang dijerap diikat pada permukaan antar lapisan
mineral selama proses pengembangan dan pengerutan tanah. Apabila terjadi
pengikatan seperti ini, maka K tidak akan mudah dilepaskan dan akan menjadi
sangat sulit tersedia bagi tanaman (Sopher dan Baird, 1982). Penyediaan K
kembali ke dalam tanah akan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: faktor intensitas,
kuantitas, dan daya sangga, dimana faktor-faktor tersebut tergantung pada pH
tanah, potensial redoks, kandungan dan keadaan bahan organik, tekstur dan
mineralogi, komposisi dan konsentrasi ion-ion dalam larutan, serta suhu tanah
(Widjaja-Adhi, Suwardjo, dan Soepartini, 1996).
Kalium dapat dipertukarkan diikat dengan ikatan elektrostatik pada liat dan
bahan organik tanah dan sangat mudah dilepaskan ke larutan tanah melalui
pertukaran dengan kation lain. Kalium yang berada dalam larutan tanah sebagai
hasil proses keseimbangan dari penambahan pupuk maupun K yang dilepaskan
dari mineral dapat saja mengalami pencucian melalui air drainase, digunakan
organisme, dijerap sebagai ion dapat dipertukarkan di sekitar partikel liat, atau
berubah menjadi bentuk lambat tersedia. Menurut (Tisdale et al., 1985),
peningkatan
konsentrasi
K
dalam
larutan
akan
menyebabkan
reaksi
kesetimbangan bergeser dan beberapa K akan dijerap oleh koloid liat dan sebagian
mungkin berubah menjadi bentuk tidak tersedia.
Polimer Hidroksi Aluminium (PHA)
Aluminium banyak terdapat di dalam tanah. Jumlahnya sekitar 7,1% berat
kulit bumi. Aluminium dapat terlepas dari mineral-mineral primer sebagai akibat
hancuran iklim dimana sebagian akan terpresipitasi sebagai mineral sekunder
aluminosilikat. Hancuran iklim menyebabkan Si lebih cepat hilang daripada Al,
dimana Al yang tertinggal akan dipresipitasikan menjadi oksida atau hidroksida
(Lindsay, 1979). Ultisol dan Oxisol merupakan tanah yang kaya akan hidroksida
Al dan Fe. Gibsit [Al(OH)3] merupakan mineral Al-OH yang umum terdapat
dalam tanah.
Penelitian mengenai PHA telah banyak dilakukan. Pembentukan polimer ini
dapat terjadi secara alamiah di dalam tanah pada kondisi masam dimana mineralmineral mengalami pelapukan lanjut. Polimer ini juga dapat dihasilkan di
laboratorium atau secara sintetik melalui pabrikasi.
Hsu (1989) menyatakan bahwa struktur unit lapisan Al-OH terdiri atas
paket ion-ion OH- yang saling berdekatan, dimana ion Al3+ terletak dalam
koordinasi heksagonal. Ion Al3+ menempati 2/3 posisi oktahedra dan tersebar pada
cincin-cincin heksagonal. Ion Al3+ berikatan dengan tiga ion Al3+ lainnya yang
dihubungkan dengan enam ion OH- dimana masing-masing Al3+ dihubungkan
oleh dua ion OH-. Pada bagian pinggir unit Al-OH, masing-masing Al3+ hanya
berikatan dengan dua ion Al3+ lainnya yang dihubungkan dengan empat ion OH-,
sedangkan salah satu dari dua ion OH- lainnya digantikan oleh molekul air
(Gambar 1). Bentuk struktur Al-OH ini menggambarkan struktur gibsit atau
Al(OH)3 kristalin (Tan, 1991).
Gambar 1. Skema unit lapisan Aluminium hidroksida (Hsu, 1977)
Di dalam tanah, polimer hidroksi aluminium dapat terbentuk dari Al-OH
yang terpolimerisasi atau dari Al3+ yang terhidrolisis kemudian membentuk
polimer. Proses ini biasanya terjadi akibat hancuran iklim di daerah tropik. Lebih
lanjut Hsu (1989) menyatakan bahwa polimer hidroksi aluminium merupakan
fragmen dari kristal aluminium hidroksida yang stabil dan sukar larut, sehingga
apabila terjadi polimerisasi Al-OH dalam larutan, akan dihasilkan struktur yang
mirip dengan Al(OH)3 bentuk padat atau gibsit (Gambar 2).
Gambar 2. Polimer Hidroksi aluminium dengan struktur 6 cincin
heksagonal (Hsu dan Bates, 1964)
Pada smektit dan vermikulit, pembentukan Al-OH pada antar lapisan
mineral terjadi akibat terlepasnya Al3+ dari posisi oktahedra selama terjadi
hidrolisis atau polimerisasi Al-OH membentuk polikation yang lebih besar dengan
rumus struktur Al6(OH)153+, atau yang mirip dengan rumus struktur tersebut, yang
terjadi pada antar lapisan permukaan mineral liat smektit dan vermikulit.
Keberadaan lapisan hidroksida ini pada antar lapisan permukaan smektit disebut
Hydroxy-interlayered Smectite (HIS) dan pada vermikulit disebut
Hydroxy-
interlayered Vermiculite (HIV) (Schulze, 1989)( Gambar 3).
Gambar 3. Skema struktur Hydroxy-interlayered Smectite (HIS) (Shultze, 1989)
Smektit dan vermikulit dapat menjerap kation Al3+, Al-OH dan PHA dengan
sangat kuat pada permukaan antar lapisannya. Hsu dan Rich (1960) serta Jackson
(1960, dalam Barnhisel, 1977) mengusulkan struktur dengan 6 cincin heksagonal
[Al6(OH)153+] sebagai polimer terkecil yang dapat masuk pada permukaan antar
lapisan mineral liat.
Selain Al, kation Fe dan Mg juga dapat membentuk hidroksida antar
permukaan mineral liat yang pada dasarnya merupakan bentuk fiksasi kation.
Pembentukan struktur lapis hidroksida antar permukaan mineral sangat beragam,
tergantung pada 3 faktor, yaitu: struktur dasar atau kandungan mineral liat 2:1
seperti vermikulit dan smektit, tingkat pengisian antar lapisan dan komposisi
bahan hidroksida yang terjadi dalam antar lapisan mineral liat (Barnhisel, 1977).
Keberadaan Al di dalam tanah sangat tergantung pH tanah. Pada tanah
masam, Al terdapat sebagai ion yang dapat dipertukarkan. Aluminium dapat
dijerap permukaan liat dalam bentuk kation Al3+, Al-OH, atau polimernya dengan
gaya elektrostatik, sama halnya dengan kation lain seperti Ca2+, Mg2+, K+ dan
Na+. Namun PHA yang terdapat pada permukaan internal montmorillonit
merupakan kation terfiksasi kuat yang tidak dapat dipertukarkan (Barnhisel dan
Bertsch, 1989; Bohn et al., 1979; Frenkel dan Shainberg, 1980; Hsu, 1989; Saha,
Taniguchi, dan Sakurai, 2002).
Selain dijerap, Al-OH dan polimernya juga dapat menjerap dan meretensi
anion. Proses ini terjadi pada pH rendah dimana Al-OH dan polimernya memiliki
muatan positif. Muatan ini diperkirakan berasal dari protonisasi atau penambahan
ion hidrogen pada grup hidroksil yang terdapat pada pinggiran mineral. Muatan
posistif yang terbentuk akan menarik ion-ion seperti NO3-, SO42-, Cl-, H2PO4-,
HPO42- dan PO43-. Penjerapan anion-anion tersebut merupakan salah satu
penyebab terjadinya retensi fosfat. Retensi fosfat diketahui banyak terjadi pada
tanah-tanah yang banyak mengandung Al dan Fe hidroksida.
Ketersediaan K pada tanah-tanah yang mengandung mineral liat 2:1 dapat
mengembang sangat rendah sebagai akibat adanya fiksasi. Pada Vertisol,
rendahnya ketersediaan K dapat diatasi dengan pemberian PHA. Pemberian
polimer ini pada montmorillonit dapat mengurangi jerapan kation-kation Ca, Mg,
K dan Na pada permukaan koloid mineral liat. Khusus untuk K, kehadiran PHA
dapat mengurangi kapasitas fiksasi dengan cara menggantikan kedudukan K pada
permukaan internal montmorillonit sehingga menjadi lebih tersedia bagi tanaman
(Tisdale et al., 1985).
Kehadiran Al-OH dan polimernya pada sistem liat seperti montmorillonit
dan vermikulit dapat mengubah KTK, luas permukaan area jerapan, dan
kemasaman tanah (Rengasamy dan Oades, 1978). Penjerapan PHA menyebabkan
menurunnya tapak jerapan negatif koloid tanah sehingga menurunkan KTK dan
pH tanah (Bohn et al., 1979). Berdasarkan hasil penelitian Saha et al. (2002),
penjerapan hidroksialuminium (HyA) (sintetik) dan hidroksialuminosilikat (HAS)
pada montmorillonit menyebabkan perubahan drastis terhadap sifat-sifat
elektrokimia dan mineralogi liat, menyebabkan retensi fosfat, fiksasi serta
pertukaran K+ dan NH4+.
Pengaruh PHA terhadap sifat fisika tanah juga telah banyak diteliti.
Pemberian PHA dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah yang mengandung
mineral liat 2:1 dapat mengembang seperti meningkatkan permeabilitas tanah,
penurunan bobot isi tanah dan meningkatkan kemantapan agregat tanah.
Polimer hidroksi aluminium yang terikat kuat di antara lapisan permukaan
koloid liat berfungsi sebagai agen penyemen yang mengikat lapisan-lapisan silikat
yang berdampingan secara bersama-sama, serta dengan menggantikan kationkation antar lapisan yang memiliki energi hidrasi lebih tinggi seperti Na+, K+ dan
Li+. Kehadiran PHA akan mereduksi potensi mengembang mengerut liat (Hsu,
1989). Hal ini juga telah dipaparkan oleh para peneliti lainnya seperti Barnhisel
dan Bertsch (1989), Borchardt (1989), Frenkel dan Shainberg (1980), Rengasamy
dan Oades (1978), Tisdale et al. (1985).
Jerapan Kalium
Koloid mineral liat mempunyai muatan negatif yang dapat menjerap dan
mempertukarkan kation-kation. Reaksi ini sangat penting dalam penyediaan dan
penyerapan hara oleh tanaman, kesuburan tanah, retensi hara, dan pemupukan.
Jerapan kation-kation pada permukaan koloid mineral memiliki kekuatan
yang berbeda-beda tergantung pada valensi dan derajat hidrasi kation. Umumnya,
semakin tinggi valensi dan semakin rendah derajat hidrasi kation, maka akan
semakin kuat kation tersebut dijerap (Tan, 1991).
Dikenal dua istilah jerapan kation, yaitu jerapan spesifik dan nonspesifik.
Jerapan spesifik umumnya terjadi pada kation-kation logam berat seperti Cu, Zn,
Mn dan Pb. Kation-kation yang dijerap ini akan berada pada tingkat retensi.
Tanah-tanah yang mempunyai kemampuan tinggi meretensi logam-logam berat
adalah tanah-tanah yang kaya bahan organik dan oksida-oksida Fe dan Al. Jerapan
nonspesifik terjadi apabila kation-kation dijerap oleh koloid tanah secara
elektrostatik dan dapat dipertukarkan (Tan, 1991). Efisiensi pertukaran kationkation tergantung pada kepekatan ion atau hukum aksi massa, aktivitas ion, dan
jenis mineral liat.
Pada kondisi tertentu, kation terjerap diikat kuat oleh koloid sehingga tidak
dapat terambil kembali dengan reaksi pertukaran. Kation ini disebut kation
terfiksasi. Fiksasi yang paling penting adalah yang terjadi pada ion K+ (Tan,
1991). Fiksasi K tergantung pada jumlah muatan negatif mineral, luas dari wedge
zone, kelembaban, konsentrasi ion K, dan konsentrasi kation lain di sekeliling
medium. Fiksasi yang tinggi terjadi jika muatan negatif per unit lapisan silikat
tinggi. Jika ini terjadi, ion K dipegang sangat kuat oleh muatan negatif lapisan
silikat (Mengel dan Kirkby, 1982).
Pada vermikulit dan illit, fiksasi K dapat terjadi pada kondisi lembab dan
kering, sedangkan pada smektit akan sangat tinggi pada kondisi kering. Urutan
kekuatan fiksasi mineral tersebut terhadap K, yaitu: vermikulit >illit>smektit
(Mengel dan Kirkby, 1982).
Seperti kation lain, K dapat dijerap pada permukaan koloid montmorilonit
melalui ikatan elektrostatik dan dapat dipertukarkan, sedangkan yang terdapat
pada permukaan antar lapisan mineral difiksasi kuat. Pada vermikulit, ion-ion
Ca2+, Mg2+ dan Na+ yang terdapat diantara lapisan mineral merupakan kation yang
segera tersedia, tetapi K+ dan NH4+ merupakan kation yang tidak dapat
dipertukarkan (Bohn et al., 1979).
Banyak faktor yang menyebabkan tingginya fiksasi K pada mineral liat 2:1
seperti montmorillonit. Potensi mengembang dan mengerut yang tinggi
menyebabkan mineral ini dapat menerima dan menjerap senyawa-senyawa
organik dan ion-ion inorganik seperti K (Tan, 1991). Tingginya KTK mineral liat
seperti montmorillonit, vermikulit dan illit juga merupakan penyebab tingginya
jerapan terhadap K dan kation kation lainnya (Tisdale et al., 1985).
Vermikulit dapat terbentuk dari hancuran mika dan klorit. Hancuran mika
menjadi vermikulit atau smektit terjadi melalui pergantian K pada sisi interlayer
dengan kation terhidrasi yang dapat dipertukarkan (Schulze, 1989). Penggantian K
oleh kation-kation yang memiliki jari-jari hidrasi yang lebih tinggi (Ca
2+
, Mg
2+
dan Sr2+) menghasilkan pengembangan mineral liat dan pembentukan mintakat
baji atau wedge zone (Mengel dan Kirkby, 1982). Pembentukan wedge zone
menunjukkan situs-situs untuk selektivitas yang tinggi terhadap K+ dan NH4+
(Tan, 1991).
Pada montmorilonit terdapat tiga tipe tapak jerapan K, yaitu: planar (posisip), edge (posisi-e), dan inner (posisi-i) (Gambar 4). Posisi-p merupakan tapak
jerapan yang berada pada permukaan luar mineral liat dan kurang selektif
terhadap jerapan K. Kalium yang terjerap pada posisi ini dapat dipertukarkan dan
tersedia bagi tanaman. Posisi-e terdapat pada pinggiran kristal, sedangkan posisi-i
terdapat pada permukaan antar mineral liat dan memiliki selektivitas yang tinggi
terhadap jerapan K (Tisdale et al., 1985). Kalium paling banyak dijerap pada
posisi-e dan posisi-i.
posisi - p
posisi - i
K tidak dapat dipertukarkan
Posisi - e
Hidroksida Al (atau Fe)
Gambar 4. Model lapisan mengembang silikat dengan permukaan antar
lapisan serta posisi tapak jerapan K (Mengel dan Kirkby, 1982).
Kadar K larutan tanah merupakan hasil keseimbangan dari ketiga bentuk K.
Keberadaan K dapat dipertukarkan, kecepatan fiksasi, dan difusi K akan
mempengaruhi kemampuan tanah dalam mempertahankan konsentrasi K dalam
larutan dan kapasitas sangga tanah. Vertisol mempunyai daya sangga yang tinggi
terhadap K. Kalium yang ditambahkan pada tanah ini akan difiksasi sehingga
menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Mulyatri
(2003), pengaruh pemberian K terhadap K tidak dapat dipertukarkan meningkat
sangat nyata akibat pemberian K sampai dosis 300 ppm baik diinkubasikan
selama 1, 2, 3, atau 4 minggu dengan pemberian air kapasitas lapang pada
Vertisol Cianjur. Menurut Mengel dan Kirkby (1982), hampir 92% dari K yang
ditambahkan ke dalam tanah akan difiksasi oleh mineral liat.
Penelitian yang pernah dilakukan untuk meningkatkan pelepasan K
terfiksasi pada tanah yang didominasi mineral liat 2:1 dapat mengembang antara
lain dengan penambahan kation-kation seperti asam oksalat, Na+, NH4+ dan Fe3+
(Nursyamsi, 2008). Penambahan kation-kation tersebut nyata meningkatkan
pelepasan K terfiksasi di dalam tanah. Selain itu, dari hasil penelitian Sudadi,
Hidayati, dan Sumani (2007), diperoleh bahwa mulsa jerami padi mampu
meningkatkan K tersedia tanah sebesar 20,88% dan mulsa sekam padi sebesar
10,17% pada saat fase vegetatif maksimum tanaman kedelai pada Vertisol.
Menurut Tan (1991), kehadiran asam-asam humat dan fulvat dalam tanah
dapat mempercepat pelepasan K. Jerapan senyawa-senyawa organik dapat
membentuk kompleks organomineral yang mampu menggantikan kation-kation
inorganik seperti K pada posisi antar lapisan mineral liat.
Selain upaya-upaya tersebut di atas, pemberian PHA juga mampu
meningkatkan pelepasan K terfiksasi. Polimer hidroksi aluminium yang diberikan
pada Vertisol akan masuk ke dalam permukaaan antar lapis mineral
montmorillonit dan mengganti kedudukan K serta
kation-kation lain pada
kompleks jerapan. PHA tersebut diikat kuat dan tidak dapat dipertukarkan melalui
pertukaran ion biasa. Keberadaan PHA dalam mineral liat mampu menurunkan
KTK tanah. Penurunan KTK tanah ini menyebabkan penurunan jerapan koloid
terhadap K terutama pada permukaan antar lapisan mineral.
Sifat-sifat Kimia Tanah
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Nilai KTK merupakan salah satu petunjuk tujuan kesuburan tanah. Tanahtanah dengan KTK tinggi biasanya subur karena mempunyai daya menyimpan
hara tinggi dan kaya akan kation-kation basa. Namun demikian, pada tanah-tanah
masam mungkin banyak mengandung ion Al dan H yang dapat dipertukarkan.
Smektit dan vermikulit memiliki luas permukaan jerapan kation-kation yang
tinggi. Keberadaan mineral liat ini menyebabkan tanah memiliki KTK tinggi.
Selain bahan organik, vermikulit merupakan mineral liat yang memiliki KTK
paling tinggi. Rata-rata KTK koloid utama tanah, yaitu: humus 200 cmol(+)/kg,
vermikulit 100-150 cmol(+)/kg, montmorillonit 70-95 cmol(+)/kg, illit 10-40
cmol(+)/kg, dan kaolinit 3-15 cmol(+)/kg (Tan, 1991). Nilai KTK bervariasi
berdasarkan jenis dan jumlah mineral liat di dalam tanah.
Pertukaran kation pada kebanyakan tanah berubah dengan pH. Oleh karena
itu, KTK tanah dibedakan menjadi KTK permanen dan KTK tergantung pH. KTK
tergantung pH terjadi karena meningkatnya ionisasi ion H+ dari gugus OH
fungsional. Polimer hidroksi aluminium, bahan organik, dan mineral nonkristalin
umumnya menunjukkan sifat-sifat tergantung pH yang lebih tinggi daripada
smektit (Borchardt, 1989). Nilai KTK tanah meningkat seiring dengan
peningkatan pH tanah dan biasanya rendah pada tanah masam. Pada tanah dengan
nilai pH sangat rendah, hanya muatan permanen liat dan sebagian kecil dari
muatan koloid organik memegang ion yang dapat diganti melalui pertukaran ion
(Soepardi, 1983).
Pemberian PHA atau pembentukan aluminium hidroksida dalam ruang antar
lapis dapat menurunkan KTK mineral seperti pada montmorillonit (Borchardt,
1989), vermikulit (Rich, 1960 dan Douglas, 1989), dan kaolinit (Dixon, 1989).
PHA yang terdapat pada permukaan mineral liat ini akan menetralkan muatan
mineral dan dijerap kuat. Apabila dilakukan pengukuran KTK, nilai yang
diperoleh akan lebih rendah karena adanya pemblokan oleh polimer tersebut.
KTK tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan tanah untuk menjerap
K. Tanah yang memiliki KTK tinggi memiliki kemampuan menjerap K yang
tinggi. Tingginya muatan smektit cenderung memiliki kemampuan menfiksasi K
yang tinggi seperti vermikulit (Borchardt,1989).
Reaksi Tanah (pH)
Pengetahuan mengenai reaksi tanah (pH) sangat penting karena banyak
dipertimbangkan dalam pemupukan, pengapuran, dan perbaikan sifat kimia dan
fisika tanah. Pada umumnya, pH yang baik bagi pertumbuhan tanaman sekitar
6,5-7. Vertisol memiliki pH sekitar 6.0-8.2. pH berpengaruh pada kehadiran hara
nutrisi yang menyokong pertumbuhan tanaman.
Keberadaan Al di dalam tanah memengaruhi reaksi (pH) tanah karena Al
merupakan sumber kemasaman tanah. Aluminium banyak terdapat pada tanahtanah mengalami pencucian dan pelapukan yang tinggi khususnya di daerah
lembab.
Aluminium apabila terhidrolisis akan berubah menjadi monomerik atau
polimerik hidroksi aluminium membentuk Al(OH)2+, Al(OH)2+, atau bentuk
terpresipitasi Al(OH)3 (gibsit). Aluminium berada dalam bentuk kation Al3+ pada
pH <4.7, Al(OH)2+ pada pH 4.7-6.5, Al(OH)3 pada pH 6.5-8.0 dan Al(OH)4- pada
pH >8.0. Pada tanah dengan pH rendah, kadar PHA terjerap dalam jumlah tinggi
akan menurunkan KTK tanah akibat peningkatan tapak jerapan positif polimer.
Peningkatan pH dapat menurunkan tapak jerapan positif dan meningkatkan KTK
tanah (Bohn et al., 1979). pH tanah sangat berpengaruh terhadap muatan
tergantung pH montmorillonit yang terdapat pada pinggiran kristalnya. Muatan
negatif tanah tinggi jika pH tinggi dan rendah jika pH tanah rendah.
Basa-basa dapat dipertukarkan (Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+)
Vertisol merupakan order tanah yang umumnya terbentuk di daerah dengan
curah hujan rendah. Kation Ca2+ dan Mg2+ akan menjenuhi kompleks jerapan
koloid tanah dan tidak akan hilang tercuci dari tanah. Kandungan basa-basa yang
tinggi tersebut menyebabkan terciptanya suasana pH sekitar netral hingga alkalin.
Dalam suasana demikian, ion-ion Al3+ menjadi senyawa tidak larut dan ion-ion H
terjerap akan digantikan oleh kation-kation basa tersebut.
Kandungan kation-kation basa di dalam tanah tergantung pada bahan induk
dan curah hujan. Kandungan Ca kira-kira 3,6% pada lithosfer dan 1,37% di dalam
tanah, Mg kira-kira 2,1% pada lithosfer dan 0,5% di dalam tanah, Na kira-kira
2,8% pada lithosfer dan 0,63% di dalam tanah, sedangkan K kira-kira 2,6% pada
lithosfer dan 0,83% di dalam tanah (Lindsay, 1979).
Kalsium dapat dipertukarkan merupakan bagian penting dari struktur tanah.
Kalsium dapat menyebabkan terjadinya koagulasi koloid tanah yang mendukung
perbaikan struktur dan stabilitas partikel tanah. Kalsium kebanyakan hilang dari
tanah karena pencucian. Ion H+ yang dihasilkan dari proses disosiasi dapat
melepaskan Ca melalui proses penghancuran atau dengan pertukaran dari koloid
tanah (Mengel dan Kirkby, 1982).
Magnesium merupakan kation yang berasal dari hancuran mineral
ferromagnesium seperti biotit, serpentin, hornblende dan olivin. Kandungan Mg
pada tanah berliat sekitar 0,5%. Magnesium juga terdapat pada mineral sekunder
yaitu pada kisi-kisi dan antar permukaan mineral liat. Magnesium dapat
dipertukarkan biasanya berkisar 5% dari totalnya (Mengel dan Kirkby, 1982).
Kalium terdapat dalam jumlah yang sedikit dibandingkan kation-kation basa
lainnya bahkan lebih rendah daripada Na karena dijerap oleh liat montmorillonit.
Dibandingkan dengan K, Na sedikit lebih mudah tercuci. Natrium dibutuhkan
tanaman dalam jumlah sedikit sedangkan K merupakan unsur yang dibutuhkan
dalam jumlah yang tinggi dibandingkan kation-kation basa lainnya. Adapun
komposisi kation-kation basa tersebut pada tanah-tanah yang didominasi oleh
mineral liat 2:1 seperti Vertisol , yaitu: 4% KTK tanah dijenuhi K+, 4-20% KTK
dijenuhi Mg2+ dan 80% KTK dijenuhi Ca2+ (Mengel dan Kirkby, 1982).
Kejenuhan Basa (KB)
Kejenuhan basa setiap tanah berbeda-beda. Tanah yang terdapat di daerah
kering biasanya jenuh dengan kation-kation basa dan di daerah lembab biasanya
kurang akan
kation-kation basa akibat pencucian yang tinggi dan biasanya
dijenuhi oleh kation-kation Al dan H. Pengetahuan mengenai KB tanah sangat
penting ditinjau dari segi kesuburan. Antara KB dan pH tanah memiliki hubungan
yang nyata dimana penurunan KB akibat pencucian basa-basa akan menurunkan
pH tanah (Soepardi, 1983). Vertisol memiliki nilai KB yang tinggi (80-100%)
dengan dominasi kation Ca dan Mg.
Download