1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan hubungan manusia dewasa ini memberikan dampak pada cara manusia berkomunikasi. Kedekatan seseorang dengan yang lain bukan saja tergantung dari aspek bagaimana pesan disampaikan tetapi juga dari proses dan cara berkomunikasi yang diterapkan pada setiap individu. Proses penyampaian pesan dari pemberi pesan (komunikator) kepada penerima pesan (komunikan) disebut dengan komunikasi. Menurut Deddy Mulyana (2005:4) kata “komunikasi” atau communication dalam Bahasa Inggris berawal dari bahasa Latin “communicare” yang memiliki arti “membuat sama”. Secara harafiah arti membuat sama ini dimaknai sebagai membuat sama antara apa yang dimaksudkan atau apa yang diutarakan komunikator dengan lawan bicaranya yaitu komunikan. Sehingga terjadi persamaan makna antara komunikator dengan komunikan. Persamaan makna yang terjadi antara dua orang dikenal dengan komunikasi interpersonal atau yang lebih umum didengar adalah komunikasi antar pribadi. Deddy Mulyana (2000:73) memaparkan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara langsung tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. 2 Sementara DeVito (2007:23) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai kemampuan untuk melakukan komunikasi secara efektif dengan orang lain. Sedangkan menurut Wiryanto (2004) komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan orang. Komunikasi interpersonal dapat dimaknai sebagai komunikasi antara dua orang atau lebih yang disebut dengan komunikasi diadik. Komunikasi antar pribadi yang terus berkesinambungan ini dapat membentuk sebuah pola berkomunikasi beserta komponen lainnya. Pola komunikasi adalah suatu gambaran yang sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya (Soejanto, 2001:27). Oleh karena itu pola komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman, dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Komunikasi antar pribadi mempunyai pola yang menghubungkan antara komunikator dengan komunikan. Begitu pula dengan proses komunikasi antara pedagang dan pembeli dalam proses jual beli, guru dan siswa dalam kegiatan interaksi belajar mengajar dan kehidupan masyarakat dalam berinteraksi yang menjadi rutinitas sehari-hari. Cara berkomunikasi dalam konteks ini dapat berupa komunikasi verbal maupun nonverbal. 3 1.2. Sejarah Kampung Inggris, Desa Pare Kampung Inggris merupakan sebuah atau komunitas yang berbasis Bahasa Inggris cukup terkenal di Pulau Jawa bahkan di Indonesia. Terletak di Desa Pelem dan Tulungrejo Kecamatan Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur. Kampung Inggris didirikan oleh Mohammad Kalend pada tahun 1976. Sejarah berdirinya Kampung Inggris ini diawali ketika Mohammad Kalend yang merupakan seorang santri asal Kutai Kartanegara tengah menimba ilmu di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Menginjak tahun kelima ia belajar di Pondok Pesantren Gontor ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena tidak mampu menanggung biaya pendidikan lebih lanjut. Bahkan keinginannya pulang kembali ke kampungnya yang ia tinggalkan sejak tahun 1972 tidak dapat terlaksana karena ketiadaan biaya. Dalam situasi yang sulit itu seorang teman memberitahukan adanya seorang guru yang baik hari dan pintar bernama Achmad Yazid di Desa Pare yang menguasai delapan bahasa asing. Mohammad Kalend muda (ketika itu sudah berusia 31 tahun) kemudian berniat berguru pada Achmad Yazid dengan harapan paling tidak dapat menguasai Bahasa Inggris. Ia cukup tahu diri dengan kemampuannya yang dirasa tidak mungkin menguasai banyak bahasa asing. Maka pergilah Mohammad Kalend ke Desa Pare dan tinggal diselasar sebuah mesjid kecil dan belajar Bahasa Arab dan Bahasa Inggris pada Achmad Yazid (Wawancara dengan Mohammad Kalend di Desa Pare, Sabtu 24 April 2015 jam 8 WIB). 4 Kalend, begitulah sapaan akrabnya, terus belajar Bahasa Inggris hingga dalam sebuah kesempatan datang dua orang tamu mahasiswa dari Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Kedatangan dua mahasiswa itu adalah untuk belajar Bahasa Inggris kepada Achmad Yazid sebagai persiapan menghadapi ujian negara yang akan dihelat dua pekan berikutnya di kampus mereka di Surabaya. Kebetulan saat itu Achmad Yazid tengah bepergian ke Majalengka untuk suatu urusan sehingga kedua mahasiswa itu hanya ditemui oleh istri Achmad Yazid. Oleh istri Achmad Yazid, kedua mahasiswa itu lalu diarahkan untuk belajar kepada Kalend yang baru saja nyantri. Dua mahasiswa itu kemudian menyodorkan beberapa lembaran kertas yang berisi 350 soal berbahasa Inggris. Setengah ingin tahu Kalend memeriksa soal-soal itu dan setelah membacanya merasa yakin dapat mengerjakan soal soal itu lebih dari 60 persen. Hal tersebut disebabkan buku yang kedua mahasiswa itu bawa yaitu Buku Bahasa Inggris Nine Hundreds yang sama dengan buku Bahasa Inggris yang Kalend pelajari di Pondok Pesantren Gontor mereka akhirnya terlibat proses belajar mengajar yang dilakukan di sebuah serambi masjid area pesantren. Pembelajarannya cukup singkat dan dilakukan secara intensif selama lima hari. Ketika kedua mahasiswa itu kembali ke Surabaya dan berhasil lulus ujian bahasa Inggris di kampusnya maka keberhasilan mereka tersebut tersebar di kalangan mahasiswa IAIN Surabaya sehingga akhirnya banyak dari mahasiswa IAIN yang mengikuti jejak seniornya dengan datang ke Desa Pare dan belajar 5 Bahasa Inggris belajar kepada Kalend. Promosi dari mulut ke mulut ini akhirnya menjadi cikal bakal terbentuknya kelas Bahasa Inggris pertama. Sejak saat itulah Kalend merintis sebuah tempat kursus Bahasa Inggris bernama Basic English Course (BEC) yang diresmikan pada tanggal 15 Juni 1977 dengan peserta sebanyak enam siswa. Para siswa tersebut terus dibina dan dididik tidak hanya dalam kemampuan bahasa Inggris saja namun juga ilmu agama serta kecakapan akhlak. Tahun tahun setelahnya Kalend berjuang sendirian untuk menghidupkan lembaga kursusnya itu dan mengatasi berbagai rintangan karena ia tidak memungut biaya belajar dari siswanya. Hingga pada sekitar tahun 1979 setelah tiga tahun mengajar secara pro bono, dua orang muridnya mendorong Kalend untuk memungut biaya kursus. Ketika itu setiap anak dipungut biaya Rp.100. Memungut biaya kursus juga dilakukan agar selain Kalend terikat secara resmi di lembaga kursus itu juga untuk mengatasi berlimpahnya siswa yang datang ke Desa Pare dan tidak tertampung lagi di Basic English Course. Lambat laun lembaga kursus di Desa Pare semakin bertambah jumlahnya. Saat ini ada sekitar 150 buah kursus Bahasa Inggris yang tersebar di seantero desa tersebut. Namun demikian lembaga kursus tersebut relatif mampu berjalan seirama tanpa diwarnai kompetisi negatif. Hal tersebut disebabkan para pendiri lembaga lembaga kursus itu mempunyai ikatan sejarah yang sama yaitu samasama belajar dari satu guru yaitu Mohammad Kalend. 6 Eksistensi Basic English Course pun hingga kini juga relatif tetap terjaga. Tahun 2011 alumni nya ada 18.000 siswa dari berbagai penjuru nusantara. Dan tahun 2015 ini jumlah lulusan Basic English Course sudah sekitar 22.000 orang. Dan dalam meluluskan siswa Basic English Course juga dikenal cukup ketat. Sejalan dengan makin besarnya Basic English Course dan bertambah banyaknya jumlah siswa yang mengikuti kursus ditempat itu Mohammad Kalend mempraktikkan bercakap dalam Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari kepada siapapun. Kebiasaannya menggunakan Bahasa Inggris tersebut mengakibatkan hampir seluruh masyarakat di Kampung Inggris dari berbagai kalangan juga familiar dalam menggunakan Bahasa Inggris. Dan pola komunikasi yang terbentuk dengan menggunakan Bahasa Inggris tersebut membentuk cara masyarakat berkomunikasi misalnya topik apa yang dibicarakan atau media komunikasi yang digunakan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Deddy Mulyana yang menegaskan bahwa pola komunikasi membawa berbagai implikasi karena merupakan sebuah proses yang dinamis. Ada yang menurut Mulyana berubah dari konteks pengetahuannya atau prilaku. Ada juga yang mengalami perubahan sedikit demi sedikit, dari waktu kewaktu akan tetapi perubahan itu cukup signifikan. Tapi ada juga yang berubah secara tiba tiba dan tidak dalam waktu lama misalnya melalui cuci otak atau konvensi agama misalnya (Mulyana,2006:111). dari Hindu menjadi Kristen atau Muslim 7 Maka secara perlahan kehidupan masyarakat Desa Pare menjadi berubah. Masyarakat mulai paham bahwa menguasai Bahasa Inggris itu merupakan hal yang sangat penting. Terutama jika ada warga yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi ataupun untuk mendapatkan pekerjaan yang rata rata mesyaratkan kemampuan berbahasa Inggris. Sehingga penguasaan Bahasa Inggris menjadi sangat penting dikalangan penduduk Desa. Selain itu struktur kehidupan sosial warga pun mulai berubah seiring menjamurnya tempat kursus Bahasa Inggris. Dari yang umumnya bertani maka rata rata penduduk Desa Pare saat ini hidup dari membuka Kursus Bahasa Inggris, membuka rumah kos atau berjualan untuk memenuhi kebutuhan ribuan siswa yang datang ke Desa tersebut. 1.3. Sejarah Kerajaan Kediri Bila dilihat dalam sisi geografisnya Desa Pare terletak di Desa Pelem dan Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Lokasi Kampung Inggris dulunya masuk dalam pusat kerajaan Kediri. Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan Hindu besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaannya terletak pada tepi Sungai Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai. Pada tahun 1041 atau 963 Masehi, Raja Airlangga memerintahkan kerajaan menjadi dua bagian untuk mencegah terjadinya pertikaian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan 8 kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas seperti yang dikisahkan dalam Prasasti Mahasubya (1289 M), Kitab Negarakertagama (1365 M) dan Serat Calon Arang (1540 M). Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta Sungai Brantas dengan Pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruan dengan ibu kotanya Kahuripan. Sedangkan Panjalu dikenal dengan nama Kediri yang meliputi wilayah Kediri, Madiun dengan ibu kota Daha. (http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/kerajaan-kediri.html) diakses pada 6 Mei 2015 jam 19:24) Secara lahiriah masyarakat yang tinggal di kawasan Kediri menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu atau bahasa sehari-hari. Dan karena Kerajaan Kediri merupakan Kerajaan Hindu yang mengenal strata atau kasta dalam sebagai pembagian struktur masyarakatnya maka Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakatpun juga memiliki tiga tingkatan, yaitu tingkat Krama (halus), Madya (biasa), dan Ngoko (pergaulan). Sehingga penggunaan Bahasa Inggris diperkirakan dapat mengubah budaya tradisional Jawa melalui proses akulturasi atau asimilasi. 1.4. Akulturasi Budaya Begitu pula dengan Desa Pare. Bila pada masa Kerajaan Kediri dan periode berikutnya masyarakat terbiasa menggunakan Bahasa Jawa yang mengenal strata sesuai klasifikasi kasta dalam masyarakat Hindu maka setelah 9 Desa Pare berkembang menjadi Kampung Inggris maka masyarakat menerima masuknya Bahasa Inggris di Desa Pare dan terbiasa menggunakan Bahasa Inggris dalam kehidupannnya sehari hari. Padahal Bahasa Inggris sangat egaliter, tidak mengenal tingkatan atau strata pemakaian. Hal ini menjadikan peneliti tertarik untuk melihat dari sisi kajian budaya. Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti akan mengupas mengenai pola komunikasi yang digunakan pedagang dan pembeli, guru dan siswa serta komunitas masyarakat di Desa Pare atau Kampung Inggris Kabupaten Kediri Jawa Timur. Pola komunikasi yang difokuskan disini adalah komunikasi interpersonal atau komunikasi tatap muka yang terjadi antara pedagang dan pembeli, antara guru dengan siswa serta di dalam komunitas masyarakat Desa Pare. Selain itu akan diteliti tentang akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri. 1.5. Identifikasi Masalah Peneliti mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut: 1. Desa Pare atau Kampung Inggris Kabupaten Kediri, Jawa Timur secara geografis masuk dalam wilayah pusat kerajaan Kediri. 2. Pada tahun 1976 Bahasa Inggris masuk ke Desa Pare yang secara tradisional dan dalam keseharian masyarakatnya menggunakan Bahasa Jawa. 10 3. Penggunaan Bahasa Jawa yang memiliki strata sesuai dengan corak masyarakat Hindu perlahan mengalami perubahan saat masuknya bahasa asing yaitu Bahasa Inggris dengan landasan egaliter. 4. Masuknya Bahasa Inggris dapat mengubah pola mata pencaharian penduduknya. Bila semula bermata pencarian sebagai seorang petani kemudian menjadi seorang pemilik lembaga kursus, pemilik kost dan mengajar pada lembaga kursus yang dimilikinya. 1.6. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah “Bagaimana Pola Komunikasi antara pedagang dan pembeli, guru dan siswa dan masyarakat di Kampung Inggris, serta akulturasi budaya pada masyarakat di Desa Pare?” 1.7. Ruang Lingkup Dalam penelitian ini peneliti membuat batasan atau ruang lingkup penelitian yaitu pedagang dan pembeli, guru dan siswa, dan masyarakat yang berada di Kampung Inggris dengan berbasis Bahasa Inggris pada topik pola komunikasi dan akulturasi budaya pada Komunitas di Kampung Inggris. 1.8. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 11 1. Untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi antara pedagang dan pembeli, guru dan siswa dan masyarakat di Kampung Inggris, Desa Pare. 2. Untuk mengetahui bagaimana Bahasa Inggris mempengaruhi akulturasi budaya di Kampung Inggris, Desa Pare. 1.9. Manfaat Penelitian a. Akademis 1. Memberikan kontribusi dalam dunia komunikasi pada umumnya, pola komunikasi dan proses akulturasi pada khusunya mengenai komunitas di Kampung Inggris, Desa Pare. 2. Sebagai tambahan literatur dalam dunia komunikasi pada khususnya pola komunikasi dan kajian budaya. 3. Membangkitkan pentingnya pola komunikasi dalam mengembangkan proses akulturasi yang terjadi pada komunitas di Kampung Inggris, Desa Pare. b. Praktis 1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak terkait untuk tetap mengetahui pola komunikasi yang terjadi antara pedagang dan pembeli, guru dan siswa, serta masyarakat di Kampung Inggris. 2. Penelitian ini juga dapat memberikan pengetahuan bagaimana Bahasa Inggris dapat menjadi agen perubahan budaya dalam masyarakat, seperti masyarkat mempunyai keinginan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, dan ingin mendapatkan pekerjaan yang labih layak. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 2.1. Komunikasi Sebelum menjelaskan berbagai teori yang akan digunakan dalam penelitian di Kampung Inggris, Desa Pare, Kediri ini maka pertama kali akan dijelaskan mengenai pengertian Komunikasi. Menurut Deddy Mulyana (2005:4), kata “komunikasi” atau communication dalam Bahasa Inggris berawal dari bahasa Latin “communicare” yang memiliki arti “membuat sama”. Secara harafiah arti membuat sama ini dimaknai sebagai membuat sama antara apa yang dimaksudkan, apa yang diutarakan komunikator dengan lawan bicaranya yaitu komunikan. Sehingga terjadi persamaan makna antara komunikator dengan komunikan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa komunikasi memainkan peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Berkomunikasi dengan pihak lain merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia karena tidak ada manusia yang tidak dapat hidup tanpa berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Jalaludin Rakhmat yang mengatakan bahwa manusia primitif maupun modern mempertahankan persetujuan mengenai beraneka peraturan sosial melalui komunikasi. Karena menurut Rakhmat dengan 13 kemampuan untuk berkomunikasi pada individu lainnya maka manusia dapat meningkatkan kesempatannya untuk hidup (Rakhmat, 1998:1). Sementara di tempat lain Onong Uchyana Effendy (2006:5) mengutarakan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain guna memberi tahu ataupun mengubah sikap, pendapat, maupun perilaku dan pesan tersebut disampaikan baik secara lisan maupun tidak secara langsung misalnya melalui media. Hal ini hampir senada dengan pendapat Richard West dan Lynn Turner (2006:6-7) dalam bukunya “Understanding Interpersonal Communication: Making Choices in Changing Times” yang mengatakan bahwa komunikasi antar individu tersebut merupakan “the process of message transaction between people (usually two) who work toward creating and sustaining shared meaning. 2.1.1. Komunikasi Verbal Secara bentuk menurut Deddy Mulyana (2002:5) komunikasi dibagi dua yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang berdasarkan pada interaksi antar manusia dengan menggunakan kata kata lisan maupun tertulis dan dilakukan secara sadar guna berhubungan dengan manusia lain. Sementara menurut Verdeber dalam buku Alo Liliweri (2003:12) komunikasi verbal dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Jadi komunikasi dilakukan menggunakan simbol yang telah disepakati dalam suatu bahasa. Masih menurut 14 Verdeber dikatakan selanjutnya bahwa sistem simbol dalam komunikasi verbal terdiri dari : a. Kata kata yang diketahui atau vocabulary dan kata kata ini dipelajari dengan menggunakan cara tertentu seperti dari pendidikan formal, pengasuhan dll. b. Tata bahasa atau grammar dan sintaksis. Sementara itu DeVito, Victoria dan Robert dalam buku yang sama mengatakan bahwa terdapat enam jenis komunikasi verbal yaitu sebagai berikut : a. Emotive Speech mementingkan yang dijabarkan sebagai aspek psikologis karena gaya lebih bicara yang mengutamakan pemilihan kata dan didukung oleh pesan non verbal. b. Pathic speech merupakan gaya komunikasi verbal yang berusaha menciptakan hubungan sosial. Speech model ini harus dilihat dari 10 kaitannya dengan konteks saat sebuah kata diucapkan dalam suatu tatanan sosial masyarakat tertentu. c. Cognitive Speech yaitu jenis komunikasi verbal yang merujuk secara tegas arti sebuah kata secara denotatif maupun konotatif. d. Rhetorical Speech adalah sebuah bentuk komunikasi verbal yang memfokuskan pada sifat konatif atau perilaku. Gaya bicara Rhetorical Speech mencoba untuk membentuk perilaku pendengar sesuai dengan yang diinginkan pembicara. 15 e. Metalingual Speech adalah komunikasi secara verbal dan tema pembicaraannya tidak mengacu pada obyek atau peristiwa dalam dunia nyata melainkan tentang pembicaraan itu sendiri. f. Poetic Speech adalah komunikasi lisan yang berfokus pada penggunaan kata yang tepat melalui pemilihan kata kata yang indah, ungkapan yang menggambarkan rasa seni dengan gaya yang khas. 2.1.2. Komunikasi Non Verbal Kebalikan dari komunikasi verbal maka komunikasi non verbal merupakan proses komunikasi saat pesan tidak diekspresikan melalui kata-kata. Komunikasi verbal memainkan peranan yang cukup penting karena sebuah komunikasi verbal yang disampaikan tidak akan berlangsung efektif apabila tidak disertai komunikasi non verbal yang tepat pada waktu yang bersamaan. Di tempat lain Jalaludin Rakhmat menambahkan bahwa tidak semua informasi dapat diperoleh seseorang dari komunikasi verbal saja (Rakhmat 2004:287). Karena menurut Stewart L.Tubbs dan Sylvia Moss dalam bukunya yang berjudul “Human Communication : Prinsip Prinsip Dasar”, kesan seseorang juga dapat dibentuk dari aspek kinesika yaitu semua ekspresi yang diungkapkan wajah, gestures dan aspek proksimika misalnya dengan mempertahankan jarak, seperti jarak intim, jarang sosial atapun jarak publik publik. Tubbs dan Moss juga menambahkan dengan aspek haptika yaitu sentuhan dan proksimity yang artinya kedekatan secara geografis (2008:112-150). 16 Selanjutnya Jalaludin Rakhmat mengelompokan pesan-pesan non verbal sebagai berikut: a. Pesan Kinesika yaitu pesan non verbal yang menggunakan gerakan tubuh berarti dan terdiri dari tiga komponen utama yaitu pesan facial, pesan gestural dan pesan postural. Pesan Facial adalah pesan yang menggunakan mimik wajah guna menyampaikan sebuah makna. Misalnya ekspresi ketakutan, kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, rasa muak, kecaman, rasa takjub, tekad, ekspresi minat dan ekspresi terkejut. Pesan Gestural adalah pesan yang menunjukan gerakan sebagian anggota badan seperti tangan guna mengkomunikasikan sebuah makna. Pesan Postural dapat dibagi lagi menjadi tiga yaitu : a. Immediacy yaitu ungkapan kesukaan atau ketidak sukaan terhadap lawan bicara. Misalnya bila tubuh cenderung condong ke lawan bicara maka menunjukan rasa suka dan memberikan penilaian yang baik. b. Power yaitu mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator. c. Responsiveness postur tubuh dapat menunjukan sikap yang responsif atau sebaliknya. 17 b. Pesan Proksemika Yaitu pesan yang disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Secara umum dapat dikatakan semakin seseorang dekat dengan orang lain maka semakin dekat jarak fisik diantara keduanya. c. Pesan Paralinguistik Adalah pesan komunikasi non verbal yang berkaitan dengan cara mengungkapkan pesan verbal. Sebuah pesan verbal dengan tatanan kata yang sama dapat memiliki arti yang sanagat berbeda bila diucapakan secara berbeda. d. Pesan Sentuhan dan Bau Bauan Sentuhan kulit merupakan indra ragawi yang mampu membedakan emosi seseorang. Misalnya rasa sayang, rasa takut atau bergurau.Sementara hidung digunakan dalam mencium bau bauan. Karena bau yang enak dan wangi dapat menyampaikan pesan misalnya untuk pencitraan ataupun menarik lawan jenis. Lebih lanjut Mark L. Knapp masih dalam buku Jalaluddin Rakhmat mengkategorikan fungsi pesan non verbal kedalam lima kategori yaitu : 1. Repetisi yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah diungkapkan secara verbal. Misalnya mengangkat telunjuk ketika dalam sebuah latihan musik yang bertanda satu kali lagi. 2. Substitusi yaitu menggantikan lambang verbal misalnya menutup mulut dengan jari telunjuk tanda harus diam. 18 3. Kontradiksi yaitu menolak pesan verbal, misalnya dengan melambailambaikan kelima jari sebagai tanda tidak setuju dengan satu pembicaraan. 4. Komplementari yaitu melengkapi dan memperkaya pesan komunikasi verbal, misalnya menggebrak meja sebagai tanda sangat marah. 5. Aksentuasi yaitu menegaskan pesan verbal. Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa baik komunikasi verbal maupun non verbal keduanya memainkan peranan penting dan bersifat saling mendukung satu pada yang lain. 2.2. Pengertian Pola Komunikasi Pola komunikasi adalah suatu gambaran yang sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya (Soejanto, 2001:27). Pola Komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman, dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. DeVito (1997:30) kemudian membagi macam-macam pola komunikasi sebagai berikut: 1. Pola Komunikasi Primer Pola komunikasi primer merupakan suatu proses penyampaian oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu simbol sebagai media atau saluran. Dalam pola ini terbagi menjadi dua lambang yaitu lambang verbal dan nonverbal. Lambang verbal yaitu, bahasa yang paling sering digunakan 19 karena bahasa mampu mengungkapkan pikiran komunikator. Sedangkan lambang nonverbal yaitu lambang yang digunakan dalam berkomunikasi yang bukan bahasa, namun merupakan isyarat dengan menggunakan anggota tubuh antara lain; mata, kepala, bibir, tangan dan lain sebagainya. 2. Pola Komunikasi Sekunder Pola komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang pada media pertama. Komunikator yang menggunakan media kedua ini karena yang menjadi sasaran komunikasi yang jauh tempatnya atau banyak jumlahnya. Dalam proses komunikasi secara sekunder ini semakin lama akan semakin efektif dan efisien, karena didukung oleh teknologi informasi yang semakin canggih. 3. Pola Komunikasi Linear Linear di sini mengandung makna lurus yang berarti perjalanan dari satu titik ke titik yang lain secara lurus yang berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal. Jadi dalam proses komunikasi ini biasanya terjadi dalam komunikasi tatap muka (face to face) tetapi juga adakalanya komunikasi bermedia. Dalam proses komunikasi ini pesan yang disampaikan akan efektif apabila ada perencanaan sebelum melaksanakan komunikasi. 20 4. Pola Komunikasi Sirkular Sirkular secara harafiah berarti bulat, bundar atau keliling. Dan dlam proses sirkular itu terjadinya feedback atau umpan balik yaitu terbentuknya arus dari komunikan ke komunikator merupakan penentu utama keberhasilan komunikasi. Dalam pola komunikasi seperti ini proses komunikasi berjalan terus yaitu adanya umpan balik antara komunikator dan komunikan. Dari pengertian di atas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses mengkaitkan dua komponen yaitu gambaran atau rencana yang menjadi langkah-langkah pada suatu aktifitas dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan antar organisasi ataupun juga manusia. Dan hal yang dikatakan oleh DeVito tersebut, pada hakekatnya sama dengan konsep Komunikasi Interpersonal. 2.3. Komunikasi Interpersonal 2.3.1. Definisi Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator. Dapat diartikan pula bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang membutuhkan pelaku atau personal lebih dari satu orang. Wayne Pace mengatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka. 21 Sementara menurut Joseph A. DeVito dalam tulisan Onong Uchyana Effendy (2003:30) komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera. Sementara Deddy Mulyana (2008:81) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal merupakan komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik secara verbal maupun non verbal. 2.3.2. Karakteristik Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal berlangsung antara dua individu oleh karena itu pemahaman komunikasi dan hubungan antarpribadi menempatkan pemahaman mengenai komunikasi dalam proses psikologis. Setiap individu dalam tindakan komunikasi memiliki pemahaman dan makna pribadi terhadap tiap hubungan individu tersebut. Dari aspek psikologis hal terpenting dalam komunikasi adalah asumsi bahwa diri pribadi individu terletak dalam diri individu tersebut dan tidak mungkin diamati secara langsung. Artinya dalam komunikasi interpersonal pengamatan terhadap seseorang dilakukan melulu melalui perilaku orang tersebut berdasarkan pada persepsi pengamat. Hal tersebut dikarenakan menurut Judy C. Pearson seperti yang ditulis dalam Sendjaja (2005:21) komunikasi antarpribadi memiliki karakteristik sebagai berikut: 22 a. Komunikasi antar pribadi dimulai dengan diri pribadi (self). Berbagai persepsi komunikasi yang menyangkut pemaknaan berpusat pada diri kita artinya dipengaruhi oleh pengalaman dan pengamatan kita. b. Komunikasi antar pribadi bersifat transaksional. Anggapan ini mengacu pada pihak-pihak yang berkomunikasi secara serempak dan bersifat sejajar, menyampaikan dan menerima pesan. c. Komunikasi antar pribadi mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antar pribadi. Artinya isi pesan dipengaruhi oleh hubungan antar pihak yang berkomunikasi. d. Komunikasi antar pribadi mensyaratkan kedekatan fisik antar pihak yang berkomunikasi. e. Komunikasi antar pribadi melibatkan pihak-pihak yang saling bergantung satu sama lainnya dalam proses komunikasi. f. Komunikasi antar pribadi tidak dapat diubah maupun diulang. Jika kita salah mengucapkan sesuatu pada pasangan maka tidak dapat diubah. Bisa memaafkan tapi tidak bisa melupakan atau menghapus yang sudah dikatakan. 2.3.3. Tujuan Komunikasi Interpersonal Menurut Widjaja hubungan komunikasi antar pribadi memiliki beberapa tujuan. Tujuan dari komunikasi antar pribadi adalah sebagai berikut (Widjaja, 2000: 12): 23 a. Mengenal diri sendiri dan orang lain Salah satu cara mengenal diri sendiri adalah melalui komunikasi antar pribadi. Komunikasi antar pribadi memberikan kesempatan bagi kita untuk memperbincangkan diri kita sendiri, dengan membicarakan tentang diri kita sendiri kepada orang lain. Kita akan mendapatkan perspektif baru tentang diri kita sendiri dan memahami lebih mendalam tentang sikap dan perilaku kita. b. Mengetahui dunia luar Komunikasi antar pribadi juga memungkinkan kita untuk memahami lingkungan kita secara baik yakni tentang objek, kejadian-kejadian dan orang lain. Banyak informasi yang kita miliki dengan melakukan interaksi antar pribadi. c. Menciptakan dan memelihara hubungan Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial sehingga dalam kehidupan seharihari orang ingin menciptakan dan memelihara hubungan dekat dengan orang lain. d. Mengubah sikap dan perilaku Dalam komunikasi antar pribadi orang sering menggunakan sikap dan perilaku orang lain. Keinginan memilih suatu cara tertentu, mencoba makanan baru, membaca buku, berpikir dalam cara tertentu dan sebagainya. Singkatnya banyak yang kita gunakan untuk mempersuasikan orang lain melalui komunikasi antar pribadi. e. Bermain dan mencari hiburan Bermain mencakup semua kegiatan untuk memperoleh kesenangan. Pembicaraan-pembicaraan lain yang hampir sama merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh hiburan. 24 f. Membantu orang lain Kita sering memberikan berbagai nasihat dan saran pada teman-teman yang sedang menghadapi masalah atau suatu persoalan dan berusaha untuk menyelesaikannya. Hal ini memperlihatkan bahwa tujuan dari proses komunikasi antar pribadi adalah membantu orang lain. Sementara menurut Suranto (2011:19) komunikasi interpersonal merupakan bentuk dari action oriented yaitu suatu tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Tujuan itu pertama adalah untuk mengungkapkan perhatian pada orang lain. Dalam konteks ini seseorang berkomunikasi pada orang lain dengan cara menyapa, tersenyum, melambaikan tangan, membungkukan badan, menanyakan kabar kesehatan teman bicara atau kabar keluarga dan lain sebagainya. Jadi secara prinsip tujuan komunikasi interpersonal yang pertama ini adalah menunjukan perhatian pada orang lain dan menghindari kesan orang lain dari pribadi yang tertutup, asosial, dingin atau kaku. Tujuan kedua adalah untuk menemukan diri sendiri. Seseorang melakukan komunikasi interpersonal karena ingin mengetahui dan mengenali karakteristik diri pribadi berdasarkan informasi dari orang lain. Bila individu melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain maka akan terjadi proses belajar tentang diri sendiri maupun tentang orang lain. Sebab menurut Suranto komunikasi interpersonal memberikan kesempatan seluasnya kepada masing masing pihak untuk mengungkapkan hal apa yang disukai maupun tidak disukai. Dengan membicarakan keadaan diri, minat serta harapan maka seseorang akan 25 memperoleh informasi berharga untuk mengenali jati dirinya. Atau ddengan kata lain orang akan menemukan dirinya sendiri yang tidak diketahui orang lain. Tujuan ketiga komunikasi interpersonal masih menurut sumber yang sama adalah menemukan dunia luar. Melalui komunikasi interpersonal diperoleh kesempatan untuk memperoleh banyak informasi dari orang lain termasuk informasi penting dan bersifat terkini. Dari komunikasi itu maka diketahui keadaan dunia luar yang sebelumnya tidak diketahui. Jadi dengan berkomunikasi maka terbukalah jendela dunia karena dapat mengetahui berbagai kejadian di dunia luar. Tujuan komunikasi keempat adalah untuk membangun dan membina hubungan yang harmonis dengan orang lain. Sebab sebagai mahluk sosial maka kebutuhan manusia yang terbesar adalah memelihara hubungan baik dengan orang lain. Sementara tujuan komunikasi interpersonal yang kelima adalah untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku. Sebab komunikasi interpersonal merupakan proses penyampaian suatu pesan dari seseorang kepada orang lain untuk memberitahukan atau mengubah sikap, pendapat atau prilaku baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan media. Sebab dalam prinsip komunikasi ketika pihak komunikan menerima sebuah pesan maka komunikan tersebut mendapat pengaruh dari sebuah proses komunikasi. Karena komunikasi pada hakekatnya merupakan sebuah pengalaman dan setiap pengalaman akan member makna pada situasi kehidupan manusia 26 termasuk memberi makna tertentu terhadap kemungkinan terjadinya perubahan sikap. Tujuan komunikasi interpersonal yang keenam adalah mencari kesenangan atau menghabiskan waktu. Berbicara dengan teman tentang hal hal ringan dan menyenangkan, berdiskusi atau bertukar cerita lucu mampu mendatangkan keseimbangan dalam pikiran sehingga membuat seseorang menjadi rileks. Tujuan komunikasi interpersonal ketujuh menurut Suranto adalah menghilangkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Dengan berkomunikasi maka memungkinkan pendekatan secara langsung guna menjelaskan berbagai pesan yang rawan menimbulkan salah pengertian. 2.3.4. Efektifitas Komunikasi Interpersonal Kelebihan dari sistem komunikasi ini adalah umpan balik yang bersifat segera. Sementara itu, agar komunikasi interpersonal dapat berjalan efektif maka harus memiliki lima aspek efektifitas komunikasi yang dikemukakan oleh Joseph DeVito dalam Alo Liliweri (1997:12), yaitu: 1. Keterbukaan (Openness) 2. Empati (Emphaty) 3. Sikap Mendukung (Supportiveness) 4. Sikap Positif (Positiveness) 5. Kesetaraan (Equality) 27 Keterbukaan mengacu pada keterbukaan dan kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang dan keterbukaan peserta komunikasi interpersonal kepada orang yang mengajak untuk berinteraksi. Salah satu contoh dari aspek ini yaitu menilai pesan secara objektif dengan menggunakan data dan keajegan logika. Empati adalah menempatkan diri kita secara emosional dan intelektual pada posisi orang lain. Sikap mendukung dapat mengurangi sikap defensif komunikasi yang menjadi aspek ketiga dalam efektivitas komunikasi. Sikap positif, hal lain yang harus dimiliki adalah sikap positif (positiveness). Seseorang yang memiliki sikap diri positif, maka ia pun akan mengkomunikasikan hal yang positif. Sikap positif juga dapat dipicu oleh dorongan (stroking) yaitu perilaku mendorong untuk menghargai keberadaan orang lain. Kesetaraan merupakan pengakuan bahwa masing-masing pihak memiliki sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan juga bermakna sama, sejajar dalam tingkat, kedudukan, dan sebagainya yang membuat alur komunikasi interpersonal dapat diterima oeh komunikator dan komunikan. 2.3.5. Klasifikasi Komunikasi Interpersonal Redding seperti yang dikutip (Muhammad, mengembangkan klasifikasi komunikasi interpersonal menjadi: 1. Interaksi Intim 2004:159-160) 28 2. Percakapan Sosial 3. Interogasi atau pemeriksaan 4. Wawancara Interaksi intim termasuk komunikasi di antara teman baik, anggota family, dan orang-orang yang sudah mempunyai ikatan emosional yang kuat. Percakapan sosial adalah interaksi untuk menyenangkan seseorang secara sederhana. Tipe komunikasi tatap muka penting bagi pengembangan hubungan informal dalam organisasi. Misalnya, dua orang atau lebih bersama-sama dan berbicara tentang perhatian, minat di luar organisasi seperti isu politik, teknologi, dan sebagainya. Interogasi atau pemeriksaan adalah interaksi antara seseorang yang ada dalam kontrol, yang meminta atau bahkakn menuntut informasi dari yang lain. Misalnya, seorang karyawan dituduh mengambil barang-barang organisasi maka atasannya akan menginterogasinya untuk mengetahui kebenarannya. Wawancara adalah salah satu bentuk komunikasi interpersonal di mana dua orang terlibat dalam percakapan yang berupa tanya jawab. Misalnya atasan yang mewawancarai bawahannya untuk mencari informasi mengenai suatu pekerjaannya. Berdasarkan penjelasan di atas maka komunikasi interpersonal merupakan suatu tindakan komunikasi dua arah baik secara verbal manapun nonverbal yang melibatkan rasa kedekatan emosional sehingga dapat mencapai tujuan pesan yang disampaikan. Sehingga ketika keberhasilan pesan yang disampaikan tercapai maka dalam aktivitas komunikasi interpersonal akan membuka sebuah konsep 29 diri. Konsep diri merupakan pesan yang mencakup hal-hal yang dianggap “rahasia” dalam diri seseorang. Hal ini menimbulkan adanya rasa “keharusan” untuk berani mengungkapkan diri mengenai “rahasia” tersebut. Konsep diri memiliki keterkaitan dengan pengungkapan diri karena ketika seseorang memutuskan untuk mengungkapkan sebuah “rahasia” dalam dirinya maka konsep diri tersebut akan berkembang semakin kuat. Artinya pengungkapan diri membuat seseorang memiliki pandangan positif sehingga ia dapat menempatkan dirinya dalam lingkungannya dan merasa nyaman. 2.4. Teori Akulturasi dan Asimilasi Budaya Tidak berbeda dengan manusia sebagai mahluk sosial yang pada hakekatnya akan selalu berubah maka kebudayaan pun bersifat dinamis dan akan senantiasa mengalami perubahan secara perlahan lahan. Kenapa manusia senantiasa berubah? Sebab apabila manusia tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah maka ia diperkirakan tidak akan bertahan. Demikian juga terjadi pada budaya lokal yang telah ada selama beratus tahun. Secara perlahan tapi pasti langsung maupun tidak langsung sebuah kebudayaan akan mengalami perubahan akibat masuknya unsur unsur budaya baru. Oleh karena itu berikut ini akan dibahas beberapa konsep penting yang berhubungan dengan akuturasi budaya atau percampuran dan konsep pembauran budaya atau pembauran budaya. 30 2.4.1. Akulturasi Budaya atau Percampuran Budaya Istilah akulturasi budaya secara epistemologis berasal dari Bahasa Inggris yaitu acculturation. Menurut Koentjaraningrat (1990:91) konsep akulturasi merujuk pada suatu proses sosial yang terjadi apabila terdapat sekelompok manusia yang telah memiliki budaya tertentu dan dihadapkan pada elemen elemen kebudayaan asing. Sebagai akibatnya menurut Koentjaraningrat lebih lanjut unsur unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh individu dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri. Akan tetapi proses sosial ini tidak sampai menghilangkan kepribadian kebudayaan asli. Terdapat unsur-unsur universal yang merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, adalah: 1. Sistem religi dan upacara keagamaan 2. Sistem dan organisasi kemasyarkatan 3. Sistem pengetahuan 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Sistem mata pencaharian hidup 7. Sistem teknologi dan peralatan 2.4.2. Pembauran Budaya atau Asimilasi Budaya Konsep pembauran budaya berakar dari Bahasa Inggris yaitu assimilation. Secara harafiah pembauran budaya dapat diartikan sebagai proses perubahan kebudayaan secara total akibat membaurnya dua kebudayaan atau lebih sehingga ciri-ciri kebudayaan yang asli atau lama tidak tampak lagi (Koentjaraningrat, 31 1996: 140-160). Menurut Koentjaraningrat lebih lanjut pembauran adalah terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda. Setelah manusia tersebut berinteraksi secara intensif maka sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan masing-masing berubah menjadi unsur kebudayaan campuran. Proses pembauran budaya baru dapat berlangsung jika ada persyaratan tertentu yang mendukung berlangsungnya proses tersebut. Harsojo menyatakan bahwa dalam pembauran dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sebagai berikut: a. Toleransi yaitu saling menghargai dan membiarkan perbedaan diantara setiap pendukung kebudayaan yang saling melengkapi sehingga masing masing pihak akan saling membutuhkan. b. Simpati adalah kontak yang dilakukan dengan masyarakat lainnya didasari oleh rasa saling menghargai dan menghormati. Misalnya dengan saling menghargai orang asing dan kebudayaan nya serta saling mengakui kelemahan dan kelebihannya sehingga akan mendekatkan masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan tersebut. c. Adanya sikap terbuka dari golongan yang berkuasa di dalam masyarakat. Misalnya dapat diwujudkan dalam kesempatan untuk menjalani pendidikan yang sama bagi golongan-golongan minoritas, pemeliharaan kesehatan ataupun penggunaan tempattempat rekreasi. 32 B. Kerangka Pemikiran Pola Komunikasi menggunakan Bahasa Inggris Akulturasi Budaya Kehidupan Masyarakat Desa Pare Kediri Jawa Timur 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian Pola Komunikasi Interpersonal (Komunikasi Antar Pribadi) Antara Pedagang dan Pembeli serta akulturasi budaya di Kampung Inggris, Desa Pare, Kabupaten Kediri Jawa Timur ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menurut Bagong dan Sutinah (2011:174) sesuai bila penelitian itu ingin mendeskripsikan latar dan interaksi yang kompleks dari partisipan serta memahami keadaan yang terbatas jumlahnya dengan fokus yang mendalam dan rinci. Pendekatan kualitatif ini dipilih peneliti karena akan menggambarkan bagaimana pola komunikasi yang diterapkan pedagang kepada pembeli di Kampung Inggris dengan berbasis Bahasa Inggris serta bagaimana akulturasi budaya terjadi di desa Pare tersebut. 3.2. Metode Penelitian Menurut Bogdan dan Taylor dalam Deddy Mulyana (2006:145), metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Bogdan dan Taylor menyatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dengan mengarahkan latar dan individu secara holistic (Moleong, 2009:4). 34 Sementara itu Rosady Ruslan menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang menghasilkan data abstrak atau tidak terukur tetapi menjelaskan dengan kata-kata. Penelitian kualitatif bertujuan untuk melakukan penafsiran terhadap fenomena sosial. Pengertian tersebut memberi makna bahwa dalam penelitian ini, individu ataupun organisasi tidak boleh diisolasi ke dalam variabel atau hipotesis tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Menurut Kriyantono (2006:194) riset kualitatif adalah riset yang menggunakan cara berpikir induktif yaitu cara berpikir yang berangkat dari halhal khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep). Daymond dan Holloway menjelaskan karakteristik penelitian kualitatif (2001:5-6) yaitu: 1. Kata-kata (words). Penelitian kualitatif mempunyai fokus pada kata-kata daripada angka. 2. Keterlibatan peneliti (researcher involment). Dalam hal ini peneliti terlibat langsung dengan orang-orang di dalam organisasi maupun lapangan yang menjadi tujuan dalam penelitian. 3. Pandangan/opini partisipan (participant viewpoints). Sebuah keinginan untuk mengembangkan dan memberikan pandangan-pandangan subjektif partisipan yang digabungkan dengan penelitian kualitatif. Informasi yang diperoleh dari partisipan akan mempengaruhi pandangan peneliti dalam menulis sebuah penelitian. 35 4. Studi skala kecil (small case study). Penelitian kualitatif tertarik dalam penelitian mendalam, detail dan mendukung penjelasan holistik. 5. Fokus holistik (holistic focus). Penelitian kualitatif mengarah pada tingkatan yang luas pada hubungan aktivitas, pengalaman, kepercayaan dan nilai masyarakat dalam konteks dimana masyarakat berada. 6. Fleksibel (flexible). Prosedur penelitian kadang tidak terstruktur, dapat beradaptasi, namun juga spontan. Disinilah peneliti dituntut untuk bersikap fleksibel. 7. Proses. Lamanya proses penelitian berarti bahwa penelitian kualitatif bisa saja berubah akibat peristiwa dan tindakan serta perubahan budaya. 8. Natural setting (lingkungan yang alami). Investigasi kualitatif dilakukan dengan mengatur lingkungan yang alami seperti di dalam kantor partisipan, atau dimana partisipan berada. Natural setting dapat dilakukan dengan meneliti bangaimana mereka melakukan aktivitas mereka. 9. Induktif dan deduktif. Penelitian kualitatif diawali dengan alasan deduktif. Ini berarti bahwa ide pertama dari pengumpulan data dan menganalisis data. Kemudian ide-ide tersebut diuji dengan menghubungkan pada literatur dan pada kumpulan data dan analisa yang lebih lengkap (deduktif). Secara substansial ciri utama penelitian kualitatif yaitu di dalam analisis data terkandung muatan pengumpulan dan interpretasi data. Analisis data dalam penelitian kualitatif terdapat dalam beberapa model, yaitu: 36 1. Model penelitian yang bersifat lapangan (field research) 2. Model penelitian yang bersifat bibliografis atau kepustakaan (library research) Penelitian bersifat bibliografis atau kepustakaan biasanya menekankan kekuatan analisis datanya pada sumber-sumber dokumentasi dan teori, atau hanya mengandalkan teori-teori saja untuk kemudian dianalisis dan diinterpretasikan secara luas, dalam, dan tajam. Metode yang digunakan peneliti berupa pengumpulan data, penggolongan data, penyimpulan data, dan penyajian data tersebut secara sistematis, jelas, dan akurat. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan model penelitian lapangan, observasi dan juga penelitian kepustakaan. Peneliti mengamati setiap kegiatan komunikasi yang menjadi pola antara pedagang dan pembeli serta proses akulturasi dan/atau asimilasi yang terjadi diantara keduanya. Data yang diperoleh di lapangan dipadukan dengan teori dan pendapat ahli kemudian ditarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut. 3.3. Definisi Konsep Terdapat dua konsep yang ada di dalam judul penelitian, yaitu: 1. Pola Komunikasi Pola komunikasi adalah suatu gambaran yang sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya (Soejanto, 2001:27). 37 Pola Komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman, dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses mengkaitkan dua komponen yaitu gambaran atau rencana yang menjadi langkahlangkah pada suatu aktifitas dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan antar organisasi ataupun juga manusia. Dalam penelitian ini, yang menjadi konsep utama adalah Pola Komunikasi. Setiap kegiatan komunikasi antara pedagang dan pembeli secara personal harus dapat menerima pesan yang disampaikan. 2. Akulturasi Budaya Menurut Koentjaraningrat (1990:91) konsep akulturasi merujuk pada suatu proses sosial yang terjadi apabila terdapat sekelompok manusia yang telah memiliki budaya tertentu dan dihadapkan pada elemen elemen kebudayaan asing. Sebagai akibatnya menurut Koentjaraningrat lebih lanjut unsur unsur kebudaayn asing tersebut diterima oleh individu dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri. Akan tetapi proses sosial ini tidak menghilangkan kepribadian kebudayaan asli. Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa masuknya Bahasa Inggris tidak begitu saja menghilangkan Bahasa Jawa yang menjadi bahasa keseharian masyarakat di Kampung Inggris, Desa Pare. Dengan 38 begitu peneliti dapat melihat adanya proses akulturasi di Kampung Inggris, Desa Pare. Pada penelitian ini, pola komunikasi yang sejalan dengan Komunikasi Interpersonal yang terjadi antara pedagang dan pembeli, guru dan siswa, dan masyarakat di Kampung Inggris akan menjadikan sebuah pola hingga timbulnya proses akulturasi budaya karena masuknya Bahasa Inggris dalam ruang lingkup budaya Jawa. 3.4. Narasumber Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara mendalam kepada beberapa narasumber yang peneliti yakini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Mereka adalah sebagai berikut: 1. Pedagang dan Pembeli Pedagang dan pembeli menjadi informan dalam penelitian ini karena mempunyai pola komunikasi yang sejalan dengan Komunikasi Interpersonal. Proses penyampaian pesan seorang pedagang diharapkan dapat membantu peneliti dalam melaksanakan wawancara mendalam mengenai Pola Komunikasi. Peneliti mewawancarai seorang pedagang batagor bernama Toto usia 41 tahun yang secara aktif menggunakan Bahasa Inggris kepada pembeli hingga terjadi proses akulturasi diantara keduanya. 39 2. Guru dan Siswa Guru dan siswa juga menjadi pemberi informasi mendalam pada penelitian ini. Peneliti mewawancarai guru dan siswa di Basic English Course untuk mengetahui Pola Komunikasi yang terjadi diantara keduanya. Guru dan siswa merupakan responden yang terlibat dalam komunikasi dua arah dan dapat pula dilihat dari proses akulturasi saat kegiatan belajar mangajar Bahasa Inggris berlangsung. 3. Masyarakat Masyarakat Kampung Inggris, Desa Pare, merupakan sebuah perkumpulan kelompok kecil yang menjadi bagian dari komunitas. Pola Komunikasi yang digunakan serta gaya hidup masyarakat dalam proses akulturasi juga menjadi bagian terpenting dalam penelitian ini. 3.5. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer Data primer adalah data yang didapat dari sumber pertama baik dari individu atau perseorangan seperti hasil dari wawancara atau hasil pengisian kuesioner yang biasa dilakukan oleh peneliti (Umar, 2008:42). Wawancara mendalam adalah metode yang memungkinkan pewawancara untuk bertanya kepada responden dengan harapan untuk memperoleh informasi mengenai fenomena yang ingin diteliti. Wawancara mendalam dilihat sebagai sebuah kolaborasi antara pewawancara dan partisipan, apa yang ingin didiskusikan oleh partisipan sama pentingnya 40 dengan apa yang ingin didiskusikan oleh pewawancara. Wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti biasanya antara satu sampai tiga jam dalam memperoleh data dan gambaran mendalam (West, 2008:83). Wawancara akan membuat peneliti lebih mudah dalam menanyakan segala sesuatu yang belum jelas atau belum dapat ditangkap secara mendalam oleh peneliti. Dengan wawancara, peneliti berharap dapat mengumpulkan pandangan-pandangan subjektif orang-orang yang diwawancarai karena mereka menggunakan pengalaman dan menyatakannya dalam kata-katanya sendiri, menggunakan istilah dan gaya bicara yang bermakna bagi mereka. Menurut Moleong (2009:22-23) dalam buku “Metodologi Penelitian Kualitatif”, syarat penelitian kualitatif yang baik ada empat, yaitu: Credibility : kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Transferability : hasil penelitian nyang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki tipologi yang sama. Dependability : kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek: apakah si peneliti sudah cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam 41 mengkonseptualisasikan rencana penelitiannya, pengumpulan data, dan penginterpretasikannya. Confirmability : kriteria untuk menilai mutu tidaknya hasil penelitian. Jika dependabilitas digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti, maka konfirmabilitas untuk menilai kualitas hasil penelitian, dengan tekanan pertanyaan apakah data dan informasi serta interpretasi dan lainnya didukung oleh materi yang ada dalam audit trail. Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari wawancara dengan narasumber (key informan), yaitu pedagang dan pembeli, guru dan siswa dan masyarakat di Kampung Inggris, Desa Pare. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain misalnya dalam bentuk tabel atau diagram (Umar, 2008:42). Hal yang sama diungkapkan Rosady Ruslan (2006:35) yang mengatakan data sekunder merupakan data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara, umumnya berupa bukti, catatan, atau laporan historis yang disusun dalam bentuk arsip atau dokumen yang diperoleh antara lain melalui : 1. Studi Kepustakaan Peneliti memperoleh data-data dari buku yang ada di perpustakaan, hasil penelitian terdahulu, artikel majalah, serta bahan bacaan lainnya untuk 42 memperoleh data dan teori yang relevan sehingga dapat digunakan sebagai referensi penulisan. 2. Internet Dengan teknologi yang semakin canggih, peneliti memanfaatkan internet dalam mencari bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini. 3.6. Fokus Penelitian Dalam penelitian ini, terdapat dua fokus penelitian, diantaranya: 1. Menjelaskan pentingnya Pola Komunikasi yang diterapkan pedagang dan pembeli, guru dan siswa, dan masyarakat. 2. Memaparkan proses akulturasi budaya yang terjadi pada komunitas (pedagang dan pembeli, guru dan siswa, dan masyarkat) di Kampung Inggris, Desa Pare. 3.7. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisa yang dapat diuraikan dalam tahap-tahap sebagai berikut : 1. Reduksi data Proses pereduksian data ke dalam bentuk uraian yang lengkap dan banyak. Data tersebut direduksi, dirangkum, dan dipilih hal-hal yang pokok dan difokuskan ke dalam hal-hal yang dianggap penting sesuai dengan arah penelitian. Data tersebut dapat diperoleh gambaran yang tajam tentang hasil pengambilan data. 43 2. Display data Upaya pembuatan data dan penyajian data melalui model matriks atau grafis sehingga keseluruhan data serta bagian detailnya dapat dipetakan dengan jelas. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa data yang diperoleh merupakan kumpulan informasi yang sangat banyak sehingga dapat menimbulkan kesukaran dalam menggambarkan secara detail dan menyeluruh. 3. Kesimpulan dan Verifikasi Penyusunan secara sistemasis data yang sudah terkumpul. Selanjutnya disimpulkan sehingga dapat diperoleh makna data yang sesungguhnya. Karena kesimpulan pada tahap ini masih tentatif dan sangat umum, maka masih perlu diuji melalui data baku yang diperoleh (Nasution, 1996:128). Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2009:284). Dalam penelitian ini peneliti memadukan data dari hasil wawancara dengan teori yang digunakan yaitu teori Pola Komunikasi yang berfokus pada Komunikasi Interpersonal. Pola Komunikasi ini peneliti telusuri secara mendalam meliputi Komunikasi Interpersonal dan proses akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat di Kampung Inggris, Desa Pare. 44 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Tinjauan Institusi 4.1.1. Sejarah Berdirinya Basic English Course Kampung Inggris Desa Pare Kampung Inggris merupakan sebuah atau komunitas yang berbasis Bahasa Inggris. Terletak di Desa Pelem dan Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kampung Inggris didirikan oleh Mohammad Kalend pada tahun 1976. Sejarahnya diawali ketika tahun 1976 Mohammad Kalend (ketika itu berusia 27 tahun) seorang santri asal Kutai Kartanegara tengah menimba ilmu di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Di tahun kelima ia “nyantri” karena ketiadaan biaya Mohammad Kalend terpaksa meninggalkan bangku Pondok Pesantren Gontor. Dalam situasinya yang serba sulit itu seorang temannya memberitahukan adanya seorang guru yang baik dan pintar bernama Achmad Yazid di Desa Pare yang menguasai delapan bahasa asing. Kalend kemudian berniat berguru pada Achmad Yazid dengan harapan paling tidak dapat menguasai satu bahsa asing. Dalam wawancara bulan April 2015 yang dilakukan dengan Mohammad Kalend ia mengatakan cukup tahu diri untuk menguasai bahasa asing mengingat kemampuan dirinya yang relatif terbatas. Maka pergilah Mohammad Kalend ke Desa Pare dan tinggal di sebuah selasar mesjid kecil di Pesantren Darul Falah 45 Desa Singgahan dan belajar pada Achmad Yazid (Wawancara dengan Mohammad Kalend, di Desa Pare Sabtu 24 April 2015 jam 08 WIB). Mohammad Kalend terus belajar Bahasa Inggris hingga pada satu hari datang dua orang tamu mahasiswa dari Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Kedatangan dua mahasiswa itu untuk belajar bahasa Inggris kepada Achmad Yazid sebagai persiapannya menghadapi ujian negara yang akan dihelat dua pekan berikutnya di kampus IAIN. Kebetulan saat itu Achmad Yazid tengah bepergian ke Majalengka selama satu bulan untuk suatu urusan sehingga kedua mahasiswa itu hanya ditemui oleh istri Achmad Yazid. Agar tidak mengecewakan kedua tamu yang telah datang dari jauh tersebut maka istri Achmad Yazid kemudian meminta kedua tamunya tersebut untuk belajar pada Mohammad Kalend. Kedua mahasiswa itu kemudian menyodorkan beberapa lembaran kertas yang berisi 350 soal berbahasa Inggris pada Mohammad Kalen dan lalu Kalend memeriksa soal-soal itu dan meyakini dapat mengerjakannya lebih dari 60 persen. Kalend menyanggupi permintaan istri Achmad Yazid dan akhirnya ia dan kedua mahasiswa IAIN tersebut mulai terlibat proses belajar mengajar yang dilakukan di serambi masjid area pesantren. Proses belajarnya pun tergolong relatif singkat yaitu hanya lima hari. Kebetulan buku pelajaran Bahasa Inggris yang digunakan kedua mahasiswa itu sama dengan buku pelajaran Bahasa Inggris yang dipakai oleh Mohammad Kalend yaitu buku “Nine Hundreds”. 46 Ketika kedua mahasiswa ini kembali ke Surabaya dan berhasil lulus dalam ujian Bahasa Inggris maka keberhasilan dua mahasiswa itu tersebar di kalangan mahasiswa IAIN Surabaya. Akhirnya banyak dari mereka yang mengikuti jejak seniornya dengan belajar pada Mohammad Kalend. Promosi dari mulut ke mulut ini akhirnya menjadi awal terbentuknya kelas pertama Bahasa Inggris di Desa Pare dan cikal bakal terbentuknya Kampung Inggris. Sejak tahun 1976 itulah Mohammad Kalend merintis sebuah tempat kursus Bahasa Inggris yang dinamakan Basic English Course dan resmi berdiri tanggal 15 Juni 1977 dengan peserta sebanyak enam siswa. Para siswa di Basic English Course tersebut terus dibina dan dididik tidak hanya dalam kemampuan Bahasa Inggris namun juga ilmu agama serta kecakapan akhlak. Setelah sekitar tiga tahun mengajar Bahasa Inggris secara pro bono maka baru tahun 1990 didorong oleh dua orang muridnya Mohammad Kalend mulai menarik iuran belajar Bahasa Inggris dari setiap muridnya sebesar Rp.100 rupiah setiap anak setiap bulannya. Mohammad Kalend juga mendorong alumni Basic English Course untuk membuat lembaga kursus Bahasa Inggris guna menampung pelajar yang tidak mendapat tempat belajar di Basic English Course akibat semakin melubernya calon siswa yang datang untuk belajar Bahasa Inggris ke Desa Pare. Lambat laun lembaga kursus di Desa Pare semakin bertambah banyak jumlahnya. Saat ini ada sekitar 150 buah lembaga kursus Bahasa Inggris yang berlokasi di desa Pare. Yang menarik semua lembaga kursus tersebut mampu berjalan dengan relative harmonis tanpa ada gesekan yang berarti. Hal tersebut 47 disebabkan antara lain para pendiri lembaga kursus itu rata-rata adalah alumni Basic English Course dan mempunyai ikatan sejarah yang sama yaitu sama-sama belajar dari satu guru yaitu Mohammad Kalend. Hingga tahun 2015 jumlah lulusan Basic English Course berjumlah 22.000 orang. Sejalan dengan berkembangnya kursus Bahasa Inggris di tempatnya maka Mohammad Kalend mulai mempraktikkan bercakap dalam Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari dengan masyarakat sekitar. Dari kebiasaan Mohammad Kalend bercakap menggunakan Bahasa Inggris maka secara perlahan masyarakat di Kampung Inggris terbiasa bercakap dalam Bahasa Inggris juga dalam kehidupan sehari hari mereka. 4.1.2. Visi Misi Basic English Course Visi Memperkenalkan pada siswa-siswi baru Basic English Course agar mengenal lebih dalam tentang materi, program dan fasilitas yang ada di Basic English Course Misi 1. Mempersiapkan siswa-siswi baru Basic English Course agar lebih mengerti materi dan program yang akan didapatkan di Basic English Course. 2. Membangun sikap percaya diri pada peserta PRE-Basic English Course agar mereka lebih aktif di dalam maupun di luar kelas dalam menguasai dan mempraktekkan bahasa Inggris. 48 4.1.3. Program dan Jadwal Belajar Basic English Course a. Program Belajar Basic English Course memiliki tiga Program Belajar dalam waktu enam bulan, antara lain: 1. Basic of Training Class (BTC) Program ini dapat ditempuh dalam waktu satu bulan. Pada akhir bulan peserta akan diuji untuk memasuki program Candidate of Training Class (CTC). 2. Candidate of Training Class (CTC) Program ini ditempuh dalam waktu dua bulan. Pada akhir bulan, peserta akan diuji untuk memasuki program TC (program akhir). 3. Training Class (TC) Program ini merupakan program akhir yang ditempuh dalam waktu tiga bulan. Ditempuh untuk menentukan kelulusan. Pada akhir bulan ketiga akan diadakan ujian akhir. Selama enam bulan, siswa dapat mengikuti mata pelajaran sebagai berikut: 1. Basic Grammar Mempelajari tentang tata Bahasa Inggris dari dasar meliputi: part of speech dan tenses 2. Basic Speaking Mempelajari tentang bagaimana kita berbicara dalam Bahasa Inggris dari dasar baik penyebutan huruf, tanggal, warna, peta, dan sebagainya. 49 3. Study Together Mempelajari tentang bagaimana kita menulis perbendaharaan katakata dalam Bahasa Inggris dan mempraktikannya dalam kehidupan seharihari. 4. Daily Conversation Dipersiapkan untuk melatih dan mempraktikkan kemampuan berbahasa Inggris dengan efektif dan aktif dalam percakapan sehari-hari. 5. Closing Program Akhir dari semua program yang ada di PRE-BEC untuk menunjukkan hasil belajar para siswa dengan menampilkan talenta mereka dalam drama, musik, dan berpidato Bahasa Inggris. b. Jadwal Belajar Tabel 4.1. Jadwal Belajar Siswa Basic English Course TIMES CLASS GRAMMAR & ENGLISH IN USE STRUCTURE PAGI SORE A/F 06.30 – 08.00 08.00 – 09.00 B/G 08.00 – 09.30 10.00 – 11.00 C/H 10.00 – 11.30 06.30 – 07.30 D/I 13.30 – 15.00 15.30 – 16.30 E/J 15.30 – 16.30 13.30 – 15.00 50 4.1.4. Struktur Organisasi Basic English Course Bagan 4.1. Struktur Organisasi Basic English Course Mohammad Kalend Teacher Administration Staff (Pengajar) (Staff Administrasi) Student (Siswa) Trader (Pedagang) 51 4.1.5. Foto Lembaga Basic English Course Foto 4.1. Gedung Basic English Course tampak depan Tampak depan Gedung Basic English Course Desa Pare, Kediri memiliki panjang sekitar 20 meter dan terdapat di Jalan Anyelir. Basic English Course merupakan lembaga kursus Bahasa Inggris terbesar dan menjadi pencetus bagi lembaga lainnya di Kampung Inggris, Desa Pare. 52 Foto 4.2. Gerbang Basic English Course Desa Pare Kediri Di atas pintu Gerbang Basic English Course tertulis kalimat Bahasa Arab “Bismillahhirrohmannirrohiiim”. Mayoritas siswa yang mengikuti kursus Bahasa Inggris ini beragama Islam. Foto 4.3. Gedung Kelas Elementary Gedung Kelas Elementary tempat belajar bagi siswa Basic of Training Kursus Bahasa Inggris di Basic English Course. 53 Foto 4.5. Papan Informasi untuk Siswa Basic English Course Papan Informasi terbuka untuk umum, berisi pengumuman, hasil nilai dan kreasi siswa. Foto 4.6. Ruang Administrasi Foto 4.7. Ruang Parkir dan Taman Ruang Administrasi merupakan fasilitas Untuk mendaftar Ruang Parkir dan taman menjadi satu 54 Foto 4.8. Jadwal Kelas Tahunan di Basic English Course Jadwal Program Basic English Course untuk pengajar dan Staff di Basic English Course. Foto 4.9. Ruang Kelas “Sunlight Meeting” Ruang Kelas Sunlight Meeting merupakan kelas khusus untuk pertunjukan seni, yaitu: teater, opera, drama musical, dan sebagainya untuk melatih siswa tampil dengan karyanya. 55 Foto 4.10. Ruang Kelas “Weekly Meeting” Ruang Kelas Weekly Meeting merupakan kelas khusus untuk berinteraksi dalam pertemuan dengan banyak orang (diskusi publik). Foto 4.11. Ruang Kelas “Moonlight Meeting” Ruang Kelas Moonlight Meeting adalah kelas khusus untuk public speaking dalam bidang promosi. Terdapat moderator, team pembicara, dan team publik. Kelas ini bertujuan agar siswa siap untuk terjun ke dunia kerja. 56 Foto 4.12. Penghargaan Kemendikbud Kepada Mr. Moh. Kalend Penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Mohammad Nuh yang diberikan kepada Muhammad Kalend untuk kategori individual / Inovator Pendidikan 2014. 4.1.6. Leaflet Basic English Course Foto 4.13. Leaflet Depan Basic English Course 57 Foto 4.14. Foto Leaflet Belakang Basic English Course 4.2. Hasil Wawancara 1. Mohammad Kalend Foto 4.15. Mohammad Kalend 58 Setiap orang yang memandang dan berbincang dengan Mohammad Kalend akan mendapatkan kesan bahwa laki laki tua berbadan kecil, kurang lebih tinggi 160 cm dengan berat sekitar 50 kilogram, rambut putih yang rapih disisir menutupi kepalanya merupakan sosok yang tenang, teduh dan rendah hati. Kesan lain adalah bahwa Mohammad Kalend tampak berbusana sangat rapih dengan kemeja lengan pendek yang dimasukan kedalam celana dan ikat pinggang yang mengikat tubuh kecilnya. Dan dari foto foto tua yang diperlihatkan kepada penulis terlihat bahwa sejak masa 1976 Mohammad Kalend tidak banyak merubah penampilan dalam berbusana, kemeja yang dimasukan dan ikat pinggang kokoh terpasang disertai sisiran rambut yang rapih. Menurut pengakuannya kebiasaan rapih itu merupakan kebiasaan sedari muda. Selama pembicaraan dari awal sampai berakhir, Kalend menggunakan tata bahasa Bahasa Inggris yang baik dengan artikulasi yang sangat jelas dalam nada bicara yang amat bersahabat dan riang. Mohammad Kalend lahir di Kutai Kalimantan Timur tanggal 20 Februari 1945 dan dikenal sebagai pendiri dari Basic English Course. Kursus Basic English Course ini merupakan pionir dari munculnya kursus Bahasa Inggris yang saat ini tumbuh seperti jamur di Desa Pare yaitu ada sekitar 150 buah. 59 Foto 4.16. Basic English Course sebagai Pionir kursus Bahasa Inggris Foto 4.17. The Master English Community 60 Foto 4.18. Pare TOEFL Centre Preparation Course Foto 4.19. The Vegas English Community Dari wawancara yang seratus persen dilakukan dalam Bahasa Inggris pada hari Sabtu tanggal 25 April 2015 dengan Mohammad Kalend maka diketahui bahwa awal keterlibatan Kalend dalam pendirian kursus Bahasa Inggris di Desa 61 Pare diawali ketika pada tahun 1972 Mohammad Kalend merantau ke Pulau Jawa dan memasuki pesantren Gontor di Ponorogo. Ketika itu usianya 27 tahun dan berangkat ke Pulau Jawa tanpa meminta bantuan dari siapapun. Saat itu Mohammad Kalend telah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar dan Pendidikan Guru Agama tahun 1964 di Kutai. Dan sejak tahun 1964 sampai tahun 1972 ia bekerja di hutan rimba Kalimantan. Selama empat tahun sembilan bulan ia belajar di Pesantren Gontor dan pada tahun 1976 terpaksa harus berhenti mondok karena tidak ada uang untuk meneruskan pendidikannya. Bimbang dengan apa yang harus dilakukannya setelah putus dari Gontor, satu hari ia mendengar bahwa di Desa Pare, Kabupaten Kediri ada seorang laki laki baik dan pintar yang menguasai sembilan bahasa asing. Orang tersebut adalah Achmad Yazid. Maka pergilah Mohammad Kalend ke Desa Pare – yang saat ini bisa ditempuh kurang lebih empat jam perjalanan dari Surabaya – dengan niat untuk belajar agama Islam dan Bahasa Inggris pada Achmad Yazid. Sebab Kalend menyadari bahwa kemampuan otaknya tidak akan cukup untuk mempelajari banyak bahasa asing. Ketika itu Mohammad Kalend masih ragu apa yang akan dia lakukan untuk mencari sesuap nasi. Uang tidak ada, tidur hanya di teras sebuah mesjid kecil di Desa Pare dan untuk makan sehari hari dia membantu siapapun yang meminta pertolongannya seperti membersihkan halaman rumah orang atau mencangkul di sawah orang lain. 62 Setelah lima bulan belajar pada Achmad Yazid maka suatu hari datanglah dua orang mahasiswa Institut Agama Islam Negeri di Surabaya yang datang ke Desa Pare untuk menemui Achmad Yazid. Kedatangan kedua orang mahasiswa IAIN tersebut adalah untuk belajar Bahasa Inggris dengan Achmad Yazid. Mereka membawa pula satu bundel kertas yang berisi 350 soal Bahasa Inggris yang mereka dapatkan di IAIN. Seorang dosen di IAIN mengatakan kepada dua mahasiswa tersebut bahwa apabila mereka mampu menjawab ke 350 soal Bahasa Inggris tersebut maka hidup mereka akan berhasil. Oleh karena itulah kedua mahasiswa IAIN tersebut membawa soal soal berbahasa Inggris itu kepada Achmad Yazid. Akan tetapi keduanya kurang beruntung karena orang yang ingin mereka temui Achmad Yazid, menurut istrinya sedang melakukan perjalanan ke Majalengka dan baru akan kembali satu bulan kemudian. Itulah saat takdir datang pada Mohammad Kalend karena kemudian istri Achmad Yazid meminta kedua orang mahasiswa tersebut untuk belajar pada Mohammad Kalend. Tidak mau menolak permintaan istri Achmad Yazid maka Kalend pun lalu menanyakan buku buku pelajaran Bahasa Inggris apa yang dibawa keduanya ke Desa Pare. Buku yang dibawa adalah Buku Nine Hundreds –buku yang sama yang Kalend pelajari selama di Pondok Pesantren Gontor- dan sejak saat itu Mohammad Kalend pun mengajar kedua mahasiswa itu di selasar mesjid kecil. Kalend mempelajari buku Nine Hundreds itu sampai di level enam. 63 Setelah kedua mahasiswa itu kembali ke Surabaya, tidak lama kemudian keduanya kembali lagi ke Desa Pare dengan membawa kabar baik yaitu mereka berdua berhasil dengan baik dalam ujian Bahasa Inggris. Dan saat itulah mulai terbersit dalam benak pikiran Kalend bahwa mungkin mengajar Bahasa Inggris inilah yang akan menjadi lahan penghasilannya agar dapat bertahan hidup di Pulau Jawa. Keberhasilan dua muridnya yang pertama ini menimbulkan keberanian sekaligus kebahagiaan dalam diri Kalend untuk mengajar Bahasa Inggris. Mulailah Kalend mengajar anak anak dan remaja Desa Pare belajar Bahasa Inggris secara gratis di selasar mesjid tempat ia tinggal. Ia terlalu malu untuk meminta bayaran dari siswanya karena merasa mungkin pengajaran yang ia lakukan belum memadai atau kemampuan mengajarnya tidak cukup baik untuk siswanya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya Kalend tetap bekerja serabutan membantu orang lain yang memerlukan tenaganya. Setelah tiga tahun mengajar secara cuma cuma maka sekitar tahun 1979, dua orang siswanya menganjurkan Kalend menarik iuran dari siswa yang belajar. Karena alasan mereka, apabila Kalend tidak menarik bayaran maka setiap saat ia dapat saja pergi dari desa Pare meninggalkan siswanya. 64 Foto 4.20. Mohammad Kalend dan siswa Basic English Course pada tahun 1980 Foto 4.21. Basic English Course pada tahun 1980 Kalend menyetujui gagasan untuk menarik uang dari siswanya, kemudian ia pergi membeli kartu di toko Eka Budi yang kemudian di cetak. Bayaran pertama yang ditarik dari siswa adalah Rp 100 rupiah setiap siswa perbulannya. Biaya kursus ini kemudian naik perlahan menjadi Rp 200,-, Rp 500,-, dan Rp 1.000,-. Biaya kursus Rp 1.000,- ini selama empat tahun berturut-turut tidak 65 dinaikkan, sampai suatu ketika tetangga Kalend yang bernama almarhum Siswanto, seorang guru di Sekolah Menengah Pertama bertanya kepada Kalend, apakah iuran sebesar Rp 1.000,- itu mencukupi? Kalend menjawab bahwa kalau dulu Rp 1.000,- ditarik dari 40 siswa maka sekarang Rp 1.000,- ditarik dari lebih dari 100 orang siswa. Pada tahun 1978 Kalend menikah dengan gadis desa Pare dan memiliki tiga orang anak, yaitu dua anak laki-laki dan satu orang anak perempuan, yang semuanya kini telah dewasa dan menjadi pengajar bahasa Inggris di Basic English Course. Anak tertuanya kini menggantikan Kalend sebagai pengajar bahasa Inggris di daerah wisata Candi Borobudur, padahal sejak tahun 1982 sampai 2011 Kalend aktif datang di Borobudur setiap tiga bulan sekali untuk menemui wisatawan asing yang datang. Sedangkan dua orang anak lainnya membantu Kalend mengajar bahasa Inggris di Basic English Course di Desa Pare. Sejak tahun 1972 menetap di pulau Jawa, Kalend baru kembali ke kampung halamannya di Kutai sebanyak tiga kali. Yaitu pertama, pada akhir 1972 kemudian yang kedua pada tahun 2001 dan terakhir pada tahun 2006. Ketika ia pulang pada tahun 2006 ini, terjadi kecelakaan pesawat Adam Air di perairan Makasar. Hal tersebut cukup menakutkan Kalend karena pesawatnya terbang setelah Adam Air tinggal landas dari Jakarta. Apabila kursus bahasa Inggris lainnya di Desa Pare menyiapkan asrama di rumah-rumah pemilik kursus, maka Kalend tidak mendirikan asrama. Ia mempersilahkan seluruh siswanya untuk memilih secara leluasa rumah yang akan 66 mereka tinggali selama mengikuti kursus bahasa Inggris di temaptnya. Kalend menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan ia sangat prihatin melihat tetangganya yang banyak tidak memiliki pekerjaan. Agar tetangganya memiliki pekerjaan sekaligus menghindari permusuhan maka Kalend memutuskan untuk tidak mendirikan asrama bagi 700 orang siswanya saat ini. Tercatat sejak tahun 1976 sampai 2015, ada 22.000 siswa yang telah menamatkan pelajarannya di Basic English Course. Foto 4.22. Suasana Kampus Basic English Course 2015 Kalend pindah dari Mesjid ke tempat yang ia tempati sekarang dan tempat ini lalu direnovasi mulai tahun 2008 sampai selesai empat tahun kemudian karena kendala keuangan. Selama periode dua puluh tahun ini tumbuh subur berbagai kursus Bahasa Inggris disekitar Basic English Course di Desa Pare. Akan tetapi yang menarik dari Kalend adalah ia tidak perduli terhadap tumbuhnya kursuskursus bahasa Inggris lainnya, karena ia memfokuskan diri untuk 67 mengembangkan Basic English Course. Tujuannya mengembangkan Basic English Course ini seperti yang ditekankannya berulang kali adalah agar para siswa dapat berbahasa Inggris dan dengan demikian memudahkan siswa ketika memasuki pasar kerja. Mengajar bahasa Inggris semenjak tahun 1976 sampai 2015 tampaknya menurut penulis tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap budaya kehidupan Mohammad Kalend sehari hari. Sebab seperti pengakuannya, ia tidak mendengar musik Barat tidak juga menonton film produksi Hollywood. Sehari hari Kalend menyantap masakan khas Jawa atau Kutai Kartanegara. Tidak pernah ia memasak makanan Barat. Hanya sesekali dia bercakap dalam bahasa Inggris pada anak anaknya. Foto 4.23. Mohomaad Kalend saat diwawancarai peneliti 68 2. Miko Foto 4.24. Miko Miko adalah seorang laki laki berbadan tegap dengan raut wajah tegas berusia 45 tahun yang pernah mengajar di Basic English Course Desa Pare. Menikah dan memiliki dua orang anak yaitu yang pertama anak perempuan kelas satu Sekolah Menengah Atas dan si bungsu laki laki kelas 6 Sekolah Dasar di Desa Pare. Wawancara dilakukan dalam Bahasa Inggris di sebuah warung pecel yang terletak tepat di seberang kampus Basic English Course. Bahasa Inggris Miko sangat baik dengan aksen Inggris Amerika karena ia pernah tinggal dan bekerja di Amerika selama beberapa tahun. 69 Foto 4.25. Miko saat diwawancarai peneliti di Warung Pecel Ketika ditanyakan apakah berbahasa Inggris mempengaruhi budaya lokal maka dengan tegas Miko menjawab ya. Berbahasa Inggris menurutnya mempengaruhi setiap orang. Misalnya ibu penjual pecel tempat wawancara dilakukan sekarang berbahasa Inggris dalam melayani pelanggannya yang ingin membeli pecel. Untuk penjual makanan di sepanjang Jalan Anyelir tempat Basic English Course berada maka sebelas bulan terakhir ini Mohammad Kalend mengadakan kursus Bahasa Inggris khusus untuk penjual. Ada sekitar 12 orang pedagang makanan yang mengikuti kursus Bahasa Inggris yaitu antara lain: ibu penjual pecel, tukang batagor, tukang sate bakso, tukang gorengan dll. Yang menarik menurut Miko adalah Jalan Anyelir ini seperti dibagi dua. Sejak gedung Basic English Course kearah kiri sepanjang 300 meter merupakan daerah yang “dikontrol” Mohammad kalend sehingga pedagang diberikan kursus Bahasa 70 Inggris secara gratis. Sementara sebelah kanan gedung seterusnya bukan “dikuasai” Kalend. Menurut pengamatan penulis jalan sebelah kanan ini sepanjang kiri kanannya dipenuhi oleh spanduk dan papan yang menyatakan bahwa di tempat tempat kecil itu dibuka kursus Bahasa Inggris. Akan tetapi gedung yang paling megah adalah Basic English Course. Dan menurut Miko perbedaan utama antara Basic English Course dengan kursus kursus Bahasa Inggris lainnya adalah kalau Basic English Course mempedulikan dan berbagi dengan masyarakat sekitar tapi kursus lain tidak melakukan hal serupa. Foto 4.26. Alat Fitness di Kampung Inggris Kampus BEC memberikan fasilitas Fitness kepada masyarakat Kampung Inggris sebagai pusat kebugaran. Tempat fitness ini terletak tepat di sebelah kampus BEC. Selanjutnya Miko menambahkan bahwa dengan berbahasa Inggris maka orang orang jadi berkumpul bersama dalam Forum Kampung Bahasa sebuah asosiasi yang dibentuk untuk menjadi wadah bagi pedagang yang belajar Bahasa Inggris. Selain itu pengaruh budaya berbahasa Inggris lainnya adalah terbentuknya 71 Himpunan Penyelenggara Kursus Bahasa Inggris atau HIPKI untuk mewadahi tempat kursus Bahasa Inggris di Desa Pare. Pada anak anaknya, Miko sesekali berbicara Bahasa Inggris demikian juga pada istrinya. Sementara itu ketika wawancara sedang berlangsung penulis menyaksikan beberapa siswa perempuan mendatangi ibu penjual pecel dan dengan malu malu mengatakan “ one plate of pecel without cucumber” atau “one plate without beans”. Dan dengan tangkas ibu penjual pecel menjawab dalam Bahasa Inggris juga “okay” dan kemudian meracik apa yang diminta pembeli. Mereka adalah siswa Candidate of Training Class artinya telah menyelesaikan kelas Basic of Training English selama satu bulan dan lanjut ke tahap Candidate of Training Class selama dua bulan. Apabila siswa lulus tahap ini maka akan lanjut ke tahap Training Class selama tiga bulan. 3. Toto Foto 4.27. Toto 72 Toto adalah seorang pedagang batagor berusia 41 tahun. Gerobak batagornya terletak tepat diseberang gerbang Basic English Course. Berjualan di sana sejak tahun 2012, Toto yang memiliki dua orang anak masing masing sudah di tingkat Sekolah Dasar dan yang bungsu di Taman Kanak Kanak. Sejak hampir 11 bulan yang lalu ia belajar Bahasa Inggris yang diadakan oleh Basic English Course khusus untuk pedagang. Selama wawancara berlangsung Toto menggunakan Bahasa Inggris yang meskipun sederhana akan tetapi jelas ia menangkap pertanyaan yang diajukan oleh penulis dalam Bahasa Inggris. Menurut Toto, sejak ia belajar Bahasa Inggris maka ia menganut tag line “no English no service” untuk membiasakan pelanggan maupun dirinya sendiri berbahasa Inggris. Hal itu terbukti karena ketika wawancara berlangsung beberapa siswa laki laki mendatangi Toto dan berbicara dalam Bahasa Inggris seperti “I want two batagor”. Kata Toto sejak dia ikut kursus Bahasa Inggris maka setiap pelanggan yang datang semuanya berbicara dalam Bahasa Inggris. Yang menarik diperhatikan adalah di beberapa bagian gerobaknya Toto menempelkan kertas berisi perbendaharaan kata Bahasa Inggris atau kalimat kalimat percakapan sederhana dalam bahasa tersebut. Ia juga memperlihatkan satu bungkusan yang antara lain berisi pelajaran dari kursus bahasanya dan kamus mini Bahasa Inggris. 73 Foto 4.28. Kertas pertanyaan Foto 4.29. Kertas Vocabulary Toto Bahasa Inggris Toto di pintu di gerobaknya gerobaknya Foto 4.30. Kertas pernyataan Toto di gerobaknya 74 Ketika ditanyakan apakah belajar bahasa Inggris mempengaruhi dia secara pribadi, Toto menjawab bahwa ia sekarang lebih suka menonton film Barat yang diputar di Trans TV. Meskipun masih membaca terjemahannya akan tetapi Toto berusaha mengerti maksud dari kata kata yang diucapkan pemain film tersebut. Foto 4.31. Daftar Percakapan di telepon genggam Toto Foto 4.32. Buku Toto selama belajar di BEC kelas khusus Pedagang 75 4. Iin Iin adalah seorang guru private Bahasa Inggris berusia 42 tahun. Awal mulanya Iin menjadi pengajar adalah ketika ia menamatkan kursus tahap Training Class di Basic English Course pada tahun 1991. Lalu ia pindah ke Jombang dan mengajar Bahasa Inggris di kota itu. Setelah dua tahun berada di Jombang, Iin kembali ke Desa Pare dan mengajar Bahasa Inggris di tempat kursus yang bernama Liberty. Foto 4.33. Peneliti saat mewawancarai Iin Saat ini Iin mengajar Bahasa Inggris secara private pada siswa lain. Di rumahnya ia membuka tempat kos bagi siswa yang sedang kursus di Basic English Course. Ketika ditanyakan apakah ia berbahasa Inggris dengan suaminya, jawabnya adalah tidak karena suami Iin tidak bisa berbahasa Inggris karena ia pengajar komputer. Dengan kedua anaknya yang masing masing duduk di bangku Sekolah Menengah Atas dan di Sekolah Dasar, Iin menerapkan pola komunikasi 76 yang unik. Yaitu apabila anak anaknya bercakap dalam Bahasa Inggris maka Iin akan menanggapi dalam Bahasa Inggris juga. Aklan tetapi apabila mereka bercakap dalam Bahasa Jawa maka Iin akan menanggapi dalam bahasa Jawa. Menurut Iin perubahan budaya yang ia rasakan selama Desa Pare menjadi sebuah komunitas Bahasa Inggris adalah atmosphir Desa Pare mengalami perubahan. Karena hampir seluruh siswa kursus Berbahasa Inggris dan sekarang diikuti oleh pedagang. Meskipun demikian Iin tidak pernah memasak makanan Barat di rumahnya. Hampir semua masakan yang ia buat adalah masakan Jawa. Meskipun demikian Iin suka menonton film Barat yang ditayangkan melalui televisi. 5. Pembeli Foto 4.34. Andri 77 Andri adalah seorang siswa BEC asal Cilacap yang berusia 15 tahun. Saat ini, ia menjadi siswa di BEC sejak tiga bulan yang lalu. Ia memaparkan alasannya mengikuti Kursus Bahasa Inggris di Kampung Inggris, Desa Pare. Menurutnya, Kampung Inggris ini merupakan tempat belajar Kursus Bahasa Inggris yang tepat. Ia mendapatkan banyak manfaat saat belajar Bahasa Inggris disini, yaitu: bisa menggunakan Bahasa Inggris setiap hari, melatih mental untuk berbicara Bahasa Inggris di depan public, dan dapat berkreasi menggunakan Bahasa Inggris. Selama ini, Andri menggunakan Bahasa Inggris hanya di sekolahnya saja. Maka ia mengambil keputusan untuk mengikuti kursus Bahasa Inggris di Kampung Inggris yang mayoritas penduduknya juga menggunakan Bahasa Inggris. Lingkungan di Kampung Inggris dan di tempat asalnya hampir sama, terutama dari makanan dan budaya. Sehingga hampir tidak ada perbedaan diantara keduanya. Andri tak merasakan asing berada di kampung lain, karena ia merasa semua adalah sama. 4.3 Analisa Penelitian 4.3.1. Pedagang Batagor dan Pelanggan Ketika peneliti melakukan penelitian di Kampung Inggris Desa Pare maka seorang pedagang batagor bernama Toto diwawancarai dan diamati. Toto adalah seorang pedagang batagor berusia 41 tahun. Gerobak batagornya diletakan tepat diseberang gerbang Basic English Course. Ia mulai berjualan di tempat itu sejak tahun 2012. 78 Toto yang memiliki dua orang anak masing masing sudah di tingkat Sekolah Dasar dan yang bungsu di Taman Kanak Kanak. Sejak hampir 11 bulan yang lalu ia belajar Bahasa Inggris yang diadakan oleh Basic English Course khusus untuk pedagang. Selama wawancara berlangsung Toto menggunakan Bahasa Inggris yang meskipun sederhana akan tetapi tampak jelas bahwa ia mengerti isi pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dalam Bahasa Inggris. Menurut Toto sejak ia belajar Bahasa Inggris maka ia menganut tag line “no English no service” untuk membiasakan pelanggan maupun dirinya sendiri berbahasa Inggris. Hal itu terbukti karena ketika wawancara berlangsung beberapa siswa laki laki mendatangi Toto dan berbicara dalam Bahasa Inggris seperti “I want two batagor”. Dan sejak ia ikut kursus Bahasa Inggris maka setiap pelanggan yang datang semuanya berbicara dalam Bahasa Inggris. Foto 4.35. Toto dan Pelanggannya Toto sedang melayani pelanggannya dengan menggunakan Bahasa Inggris 79 Bila dikaitkan dengan teori komunikasi maka yang dilakukan Toto adalah bentuk komunikasi verbal yaitu seperti yang dikatakan oleh Deddy Mulyana interaksi antara manusia dengan menggunakan kata kata lisan (Mulyana, 2002). Komunikasi verbal yang dilakukan oleh Toto adalah dengan menanyakan dalam Bahasa Inggris kabar pelanggan dan berapa buah batagor yang diinginkan serta menyebut jumlah yang harus dibayar oleh pembeli. Ketika Toto kemudian mengatakan dalam Bahasa Inggris bahwa ia tidak memiliki uang kembalian dan meminta pelanggannya membayar lain waktu, maka pelanggannya mencari cari uang pas dari saku kemeja yang ia kenakan dan kemudian memberikan uang pas yang sesuai dengan harga batagor. Interaksi dalam komunikasi verbal ini juga dilakukan Toto seiring dengan penggunaan komunikasi non verbal yaitu berupa ekspresi wajah maupun sikap tubuh misalnya ketika ia menyapa pelanggan maka senyum lebar terkembang di wajah Toto dan sikap tubuh yang sigap melayani pelanggannya dengan mengambil batagor sesuai jumlah yang diinginkan dan kemudian memasukkannya kedalam kantong plastik dan lalu menyiramnya dengan saus kacang. Hal tersebut sejalan dengan pengelompokan pesa pesan komunikasi non verbal yang dikemukakan oleh Jalaludin Rakhmat (2004:287) yaitu: a. Pesan Kinesika yang menggunakan gerakan tubuh dan terdiri dari tiga komponen utama yaitu: facial kemudian pesan gestural dan pesan postural. Pesan facial adalah pesan yang menggunakan mimik wajah untuk mengekspresikan sebuah makna. Toto misalnya tampak bahagia dan 80 bersemangat ketika pagi itu diobservasi melayani pelanggannya. Sementara pesan gestural adalah adalah pesan yang menunjukan gerakan sebagian anggota badan seperti tangan. Toto ketika melayani pelanggannya bersikap sangat tangkas mencapit beberapa buah batagor menggunakan pencapit khusus, memasukan batagor kedalam kantung plastik dan menyiram dengan kuah kacang. Sementara pesan Postural yang dilakukan Toto adalah dengan menunjukan kesukaannya terhadap lawan bicara dengan cara mencondongkan badannya mendekati pelanggan (immediacy). Sementara postur tubuh Toto juga jelas menunjukan sikap yang sangat responsive (responsiveness). Apabila dikaitkan dengan konsep Pola Komunikasi maka bentuk komunikasi yang dilakukan Toto dapat dimasukan kedalam Pola Komunikasi Primer yang menurut DeVito (1997: 30) berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan simbol sebagai saluran. Dalam Pola Komunikasi Primer simbol dibagi dua yaitu simbol verbal dan simbol nonverbal. Simbol verbal adalah penggunaan bahasa yang digunakan oleh Toto dan kedua pelanggannya karena pemakaian bahasa dianggap mampu untuk mengungkapkan pikiran komunikator. Selain bahasa menurut DeVito juga digunakan simbol yang bukan merupakan bahasa misalnya dengan pemakaian anggota tubuh seperti mata, kepala, tangan dan gestures. Dalam konteks konsep komunikasi interpersonal maka bentuk komunikasi yang dilakukan antara Toto dengan dua pelanggannya 81 menurut Danny DeVito dapat dikategorikan kedalam komunikasi interpersonal. Menurut DeVito dalam buku Onong Uchyana Effendy, komunikasi interpersonal merupakan penyampaian pesan oleh satu orang kepada orang lain dengan peluang memberikan umpan balik segera. Ketika pelanggan datang dan ingin membeli batagor maka Toto segera menyiapkan batagor sesuai dengan yang diinginkan pelanggan. Diantara keduanya pun terjadi percakapan yang hangat disertai mimik wajah keduanya yang bersahabat dan dipenuhi senyum. Tujuan Toto maupun kedua pelanggannya bersikap hangat dan bersahabat karena salah satu tujuan komunikasi interpersonal menurut Widjaja adalah untuk menciptakan dan memelihara hubungan dekat dengan orang lain (2000:12). Karena apabila Toto tidak bersikap ramah maka pelanggannya akan pergi membeli makanan dari pedagang lain yang banyak sekali terdapat di Kampung Inggris Desa Pare. Sebaliknya apabila pelanggannya bersikap dingin maka kemungkinan besar Toto akan bersikap separuh hati. 4.3.2. Guru dan Siswa Untuk belajar di Basic English Course yang beralamat di jalan Anyelir no 8, RT/RW 02/XII Singgahan Desa Pelem, maka seorang calon siswa harus lulus ujan seleksi terlebih dahulu. Karena kuota setiap kali penerimaan cukup ketat yaitu hanya menerima 400 siswa terdiri dari 200 siswi dan 200 siswa. 82 Foto 4.36. Siswa sedang mengikuti Test Masuk BEC Setiap siswa yang sudah lolos ujian masuk maka wajib menempuh Basic Training Class yang lamanya satu bulan. Materi yang diberikan dalam Bahasa Indonesia dan yang diajarkan adalah : 1. English in Use 2. Grammar yang meliputi 16 tenses, pronoun, conditional sentence dan no-any. Kemudian ada program tambahan berupa Study Club yang berlangsung empat kali dalam satu minggu yaitu pada hari Senin sampai Kamis. Kemudian ada lagi program tambahan Nightly Speaking yang dilaksanakan dua kali seminggu yaitu hari Senin dan Rabu atau hari Selasa dan Kamis. Selanjutnya terdapat Bimbingan Guru yang berlangsung empat kali dalam seminggu yaitu dari hari Senin sampai 83 Kamis. Selanjutnya Basic English Course masih menyiapkan Extra Program yang meliputi: Speaking and Pronounciation, Grammar and Structure ditambah Vocabulary. Untuk mengevaluasi kemajuan siswa maka setiap minggu pihak Basic English Course mengadakan evalusi mingguan berupa ujian tulis harian setiap seminggu sekali atau Daily Exercise dan pada setiap hari Jumat dilaksanakan ujian lisan atau Oral Exam dengan guru kelas. Pada akhir program akan diadakan ujian akhir yaitu ujian tulis untuk naik program berikutnya yaitu ke kelas Candidate of Training Class atau CTC. Lama belajar seorang siswa di kelas CTC ini adalah dua bulan. Materi pada tingkatan ini diberikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Adapun materi yang diajarkan adalah: 1. English in Use. 2.Grammar yang meliputi: Model Auxiliary, Question Tag,Passive Voice, Direct Indirect, Degrees of Comparison, Hafalan New Concept English (No 1-15) Untuk tingkatan ini program tambahan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut: Study Club yang dilangsungkan empat kali seminggu yaitu mulai hari Senin sampai Kamis. Kemudian ada Night Speaking yang berlangsung dua kali seminggu yaitu hari Senin dan Rabu atau hari Selasa dan Kamis. Kemudian ada Bimbingan Guru berupa Extra Program yang dilaksanakan empat kali seminggu yaitu hari Senin sampai Kamis. Materi yang diberikan dalam Extra Program ini 84 adalah Speaking and Pronounciation, Grammar and Structure ditambah Vocabulary. Pada hari Jumat sebelum atau sesudah ujian lisan atau Oral Exam maka diadakan Weekly Meeting dengan guru kelas. Lalu untuk mengevalusi kemajuan siswa maka diadakan evaluasi yaitu ujian tulis harian setiap seminggu sekali atau dikenal dengan Daily Exercise. Kemudian ada ujian lisan atau Oral Exam setiap hari Jum’at dengan guru kelas. Dan di akhir program akan diadakan ujian akhir atau ujian tulis untuk naik program berikutnya. Diikuti oleh pemberian pengarahan naik program oleh Direktur Basic English Course. Ketika peneliti datang melakukan penelitian di Basic English Course pada hari Jumat 24 April 2015 sekitar jam 8 malam ternyata kampus Basic English Course telah tutup. Demikian juga warung warung makanan yang ada disekitar Jalan Anyelir di Singgahan. Baru keesokan harinya hari Jumat 25 April 2015 pagi hari sejak jam 7.30 pagi peneliti kembali mengunjungi basic English Course dan bertemu dengan Lina seorang pengajar di Basic English Course. Karena materi pembelajaran secara formal tidak diberikan pada hari Sabtu maka peneliti melakukan observasi bagaimana kelas hari Sabtu yang merupakan kelas tambahan bagi siswa. Pada satu kelas siswa diminta untuk melakukan pidato singkat dalam Bahasa Inggris dihadapan beberapa siswa lainnya. Meskipun berpidato tidak dapat dimasukan sebagai bentuk komunikasi interpersonal akan tetapi berbicara 85 dihadapan sejumlah orang menurut DeVito masih masuk dalam komunikasi verbal. Dan menurut DeVito dapat dikategorikan sebagai bentuk Rhetorical Speech yaitu bentuk komunikasi verbal yang berfokus pada sifat konatif atau perilaku. Gaya bicara Rhetorical Speech mencoba untuk membentuk perilaku pendengar sesuai dengan yang diinginkan oleh pembicara. Selain itu ketika seorang siswa berpidato maka ia menggunakan tiga komponen utama komunikasi non verbal yaitu penggunaan pesan facial, penggunaan pesan gestural dan penggunaan pesan postural yaitu dengan antara lain menunjukan responsiveness yaitu postur tubuh yang menunjukan sikap yang responsive terhadap pendengar. Menurut Lina guna membuat siswa semakin cepat menguasai Bahasa Inggris maka metode pengajaran dikombinasikan antara pemberian materi sesuai kurikulum dan simulasi yaitu mengharuskan siswa berpidato dalam Bahasa Inggris, kemudian membuat sebuah drama dalam Bahasa Inggris dan dengan menyanyikan lagu lagu popular. Dengan demikian siswa terbiasa tampil di depan umum dan berpidato dalam Bahasa Inggris. Secara keseluruhan terlihat bahwa siswa umumnya sangat antusias dan bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Siswa juga sangat responsif ketika tiba waktu tanya jawab dengan guru maupun dengan penyaji pidato. Yang menjadi perhatian peneliti juga adalah pemilik Basic English Course mencoba menerapkan moral etika Islami di lingkungan kampus terutama bagi siswi perempuan. Hal tersebut tampak jelas karena kewajiban bagi siswi 86 perempuan yang beragama Islam adalah untuk menutup kepalanya dengan kerudung dan berbaju rok panjang. Sementara bagi siswi non muslim diwajibkan untuk berbusana panjang menutupi kaki. 4.3.3. Masyarakat Seperti telah dikemukakan di atas sejak tanggal 15 Juni 1977 Basic English Course dengan pemrakarsanya Mohammad Kalend berdiri secara resmi di Desa Pare. Desa ini yang dulu merupakan sebuah lahan subur dan luas dengan sekitar 18,000 petani yang bekerja mengolah lahannya sekarang lebih dikenal sebagai Kampung Inggris. Meskipun Mohammad Kalend pribadi kurang menyukai sebutan “Kampung Inggris” tersebut karena seolah memiliki konotasi bahwa setiap orang di Desa Pare tersebut dapat bercakap dalam Bahasa Inggris namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa sejak sekitar tahun 2000an Desa Pare telah berubah menjadi sebuah kampung yang berbasis agrikultur menjadi kampung industri. Karena saat ini ada sekitar 150 buah kursus Bahasa Inggris yang terdapat di Desa ini. Dan sekitar 10 ribu siswa yang datang ke Desa Pare ini ketika musim libur sekolah tiba yaitu antar periode bulan Juni sampai Juli. Untuk memenuhi kebutuhan siswa sebanyak itu maka berbagai industri skala rumah tangga bermunculan. Misalnya yang pasti adalah tempat kost atau asrama. Nyaris setiap rumah di sepanjang Jalan Anyelir menyiapkan tempat kost baik bagi siswa maupun siswi. Lalu yang menyolok lagi adalah munculnya berbagai warung makanan yang menjual berbagai makanan seperti pecel sayur, nasi rawon, mie rebus atau sekadar tempat kopi. Ada juga yang mencuri perhatian 87 yaitu menjamurnya tempat penyewaan sepeda. Sepeda bisa disewa dengan biaya Rp. 70 ribu rupiah perbulan. Kemudian banyak rumah yang membuka bisnis penatu dan fotocopy. Bahkan juga toko buku kecil dan sederhana. Yang menarik adalah ketika menyusuri Jalan Anyelir di Desa Pare maka hampir tidak ditemui warung makanan Barat seperti hamburger atau hotdog atau fried chicken. Yang ada adalah warung warung makanan tradisional atau jajanan sederhana. Foto 4.37. Kantin Sambala berlokasi di Jalan Anyelir 88 Foto 4.38. Warung di Jalan Anyelir Foto 4.39. Warung pecel dan minuman hangat di Jalan Anyelir 89 Apabila fenomena ini dikaitkan dengan konsep akulturasi menurut Koentjaraningrat (1990:91) maka yang terjadi di Desa Pare adalah terjadinya suatu proses sosial masuknya budaya baru pada sekelompok individu yang telah memiliki budaya tersendiri. Dan sebagai akibatnya menurut Koentjaraningrat unsur unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh individu dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri. Akan tetapi proses sosial ini tidak menghilangkan kepribadian kebudayaan asli. Tampaknya penduduk Desa Pare menerima Bahasa Inggris sebagai bagian dari kebudayaan baru masyarakat. Menyadari pula bahwa dengan penguasaan Bahasa Inggris maka kesempatan bagi anak anak muda Pare untuk bekerja dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik terbuka luas. Akan tetapi tampaknya juga akulturasi budaya yang terjadi hanya sebatas pada penggunaan Bahasa Inggris secara meluas dan dalam pada masyarakat Desa tersebut. Namun penggunaan Bahasa Jawa sebagai Bahasa Ibu masyarakat masih tetap kental di pakai di rumah dengan sesama anggota keluarga. Hal tersebut terbukti dari wawancara dengan Toto pedagang batagor, ibu penjual pecel di seberang kampus Basic English Course maupun dengan Ibu Iin seorang pengajar Bahasa Inggris yang mengungkap bahwa dengan sesame anggota keluarga mereka masih bercakap dalam Bahasa Inggris dan memasak makanan tradisional Jawa. Sementara sesama siswa menggunakan Bahasa Inggris hampir 24 jam dalam sehari selama satu minggu. 90 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Basic English Course yang ebroperasi secara resmi sejak tahun 1977 ternyata membawa pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di Desa Pare. Perubahan itu antara lain: berlalihnya mata pencaharian penduduk yang secara tradisional adalah petani menjadi pemilik khusus bahasa inggris, menyewakan rumah kos, membuka warung minuman dan makanan, membuka rental sepeda, membuka tempat fotocopy, tempat fitness, dsb. Pola komunikasi yang terjadi antara pedangan dan pembeli di Desa Pare khususnya pedagang batagor dan ibu pecel berlangsung secara primer, yang artinya slaing bertatap muka akan tetapi menggunakan bahasa inggris dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa inggris membuat masyarakat Desa Pare menjadi sadar betapa pentingnya penguasaan bahasa inggris guna mencari pekerjaan yang lebih baik atau untuk memasuki dunia perguruan tinggi. 91 5.2 Saran Untuk penelitian berikutnya akan menarik bila melihat bagaimana proses akulturasi budaya terjadi di kalangan masyarakat Desa Pare dan bagaimana akulturasi tersebut membawa perubahan pada pola piker masyarakat, misalnya apakah masyarakat ingin menyelohkan anaknya setinggi mungkin atau apakah usia pernikahan menjadi semakin tinggi, apakah sektor agrikultur masih menjadi pilihan utama masyarakat, bagaimana pola pengasuhan anak. 92 DAFTAR PUSTAKA Sumber Kepustakaan : Arni, Muhammad. 2004. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Daymond, Christine, dan Immy Holloway. 2001. Metode-Metode Riset Kualitatif: Dalam Public Relations dan Marketing Communications. Yogyakarta: Penerbit Bentang. DeVito, J.A. 1997. Human Communicationn. New York: Harper Collinc College Publisher. DeVito, J.A. 2007. The Interpersonal Communications Book. USA: Pearson Education. Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Cetakan Kesembilan Belas. Bandung: Remaja Rosdakarya. Effendy, Onong Uchana. 2006. Hubungan Masyarakat. Bandung: Remaja Rosdakarya. Harsojo. 1967. Pengantar Antropologi. Bandung: Bina Cipta. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia. Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi. Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta. 93 Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. L. Tubbs, Stewart, dan Moss, Sylvia. 2008. Human Communication: PrinsipPrinsip Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Liliweri, Alo. 1997. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Liliweri, Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi, Pengantar. Bandung: Remaja Rosadakarya. Mulyana, Deddy. 2002. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik - Kualitatif. Bandung: Tarsito 94 Rakhmat, Jalaludin. 1998. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaludin. 2000. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaludin. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ruslan, Rosady. 2006. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi: Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sendjaja, S. Djuarsa. 2005. Teori Komunikasi. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Soerjono, Soekanto. 2001. Sosiologi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Suyanto, Bagong., dan Sutinah. 2011. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana. Umar, Husein. 2008. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Edisi Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. West, Richard.,& Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika. Widjaja. 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sumber internet : http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/kerajaan-kediri.html diakses pada Rabu, 6 Mei 2015 pukul 19.24 WIB