BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin atau keduanya. Diabetes melitus biasanya ditandai dengan tingginya glukosa darah dan urin (PB PERKENI, 2006). Diabetes melitus saat ini menjadi salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke-21. World Health Organization (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 prevalensi DM di dunia diperkirakan sebesar 0,19% pada orang usia < 20 tahun dan 8,6% pada orang usia > 20 tahun. Pada orang usia > 65 tahun prevalensi diabetes melitus sebesar 20,1%. Jumlah penderita diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah sekitar 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu diperkirakan akan membengkak menjadi 300 juta orang. Di tahun 2004 sekitar 3,4 juta orang meninggal akibat konsekuensi dari tingginya kadar gula darah pada orang yang menderita DM dan lebih dari 80% kematian tersebut terjadi di negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah (Suyono, 2007). Berdasarkan International Diabetes Federation (IDF) tahun 2003 jumlah seluruh penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebanyak 132 juta, dan jika asumsi prevalensi DM sebesar 1,9%, diperkirakan pada tahun 2003 jumlah penderita DM tipe 2 adalah sekitar 2,5 juta. Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti saat ini, di Indonesia diperkirakan pada tahun 2025 akan ada sejumlah 186 juta 1 2 penduduk berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi sebesar 2,8%, maka akan didapatkan 5,2 juta penderita DM tipe 2 (IDF, 2003). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau berdasarkan gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur (3,3%). Sedangkan prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%), dan Kalimantan Timur (2,3%) (Kemenkes, 2013). Selain karena jumlahnya yang cukup tinggi dan terus meningkat, juga perlu diperhatikan masalah yang timbul akibat komplikasi dari penyakit ini. Komplikasi DM dapat berupa komplikasi akut dan kronis (jangka panjang). Komplikasi akut diantaranya hipoglikemi, ketoasidosis diabetikum/diabeticum acidosis dan hyperglycemic hyperosmolar state (HHS). Komplikasi jangka panjang dari diabetes mempengaruhi banyak sistem organ dan bertanggung jawab terhadap morbiditas dan mortalitas akibat penyakit DM. Komplikasi kronis terdiri dari komplikasi vaskuler dan non vaskuler. Komplikasi vaskuler sendiri dibedakan menjadi mikrovaskuler (neuropati, retinopati, nefropati) dan makrovaskuler (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskuler). Komplikasi non vaskuler termasuk gastroparesis, infeksi dan perubahan kulit (Flowler, 2008). Nefropati diabetik merupakan komplikasi yang signifikan pada pasien diabetes. Ketika nefropati diabetik telah terjadi, interval menuju end stage renal disease (ESRD) bervariasi dari 4 tahun pertama pada penelitian awal hingga lebih dari 10 tahun pada penelitian baru-baru ini dan terjadi kemiripan antara DM tipe 1 3 dan tipe 2. Meskipun DM tipe 2 merupakan penyebab ESRD yang umum terjadi di negara Barat, orang dengan penyakit ginjal dan DM tipe 2 tidak mencapai ESRD karena mortalitas kardiovaskular meningkat dua kali lipat-empat kali lipat pada adanya masing-masing mikroalbuminuria atau nefropati (Flowler, 2008). Pengukuran laju filtrasi glomerulus (LFG) atau glomerulus filtration rate (GFR) sangat penting dalam deteksi dini maupun monitor kelainan fungsi ginjal, karena merupakan petunjuk fungsi ginjal secara umum. Namun LFG tidak dapat diukur secara langsung. Baku emas (gold standard) untuk mengukur LFG adalah dengan mengukur klirens beberapa marker eksogen, seperti inulin, bahan radioisotop seperti Chromium 51 -EDTA, Technetium 99 -DTPA, Iothalamate, dan Iohexol (non radioisotop). Tetapi berbagai pemeriksaan ini memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang besar serta tidak praktis, sehingga bahan ini kurang ideal untuk aplikasi rutin atau penggunaan klinik dalam jumlah yang banyak (Shima, et.al., 2011). Dalam praktek klinik, kreatinin diukur untuk mengetahui laju filtrasi glomerulus, dengan asumsi kreatinin difiltrasi secara lengkap oleh glomerulus, dan produksi serta ekskresi kreatinin konstan. Penelitian baru-baru ini mengatakan bahwa produksi kreatinin tergantung dengan massa otot, umur dan jenis kelamin. Selain itu kadar kreatinin serum juga dipengaruhi oleh faktor metabolik seperti bilirubin dan keton. Berbagai obat juga mempengaruhi kadar kreatinin serum, seperti cimetidine dan cephalosforin. Penggunaan kadar kreatinin serum dianggap tidak ideal dalam menggambarkan LFG. Pengukuran klirens kreatinin dengan penampungan urin 24 jam, lalu menghitung perbandingan kadar kreatinin serum 4 dan urin 24 jam merupakan pengukuran LFG yang ideal dan masih menjadi reference standard. Berbagai formula berbasis dikembangkan untuk menilai estimasi LFG (eLFG). kreatinin serum telah Formula yang saat ini banyak dipakai terutama di Indonesia adalah eLFG formula Modified Diet on Renal Disease (MDRD) dan Cockcroft-Gault (CG). (Stevens et al., 2008). Cystatin C merupakan protein dengan berat molekul rendah (13kD), yang disintesis oleh semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh manusia. Cystatin C difiltrasi bebas oleh glomerulus dan tidak disekresi oleh tubulus ginjal, kemudian direabsorpsi tetapi mengalami katabolisme hampir lengkap oleh sel epitel tubulus proksimal ginjal, sehingga tidak ada yang kembali ke darah, dengan demikian kadarnya dalam darah menggambarkan LFG, sehingga dapat dikatakan cystatin C dalam darah merupakan penanda endogen yang mendekati ideal. Pemeriksaan cystatin C dapat dilakukan untuk menentukan kadar LFG pada neonatus, anak dan dewasa, karena kadar cystatin C tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, tinggi dan berat badan, inflamasi, massa otot, hormonal, dan ras. Pemeriksaan LFG dengan cystatin C tidak ada variasi diurnal seperti kreatinin, sedangkan variasi biologik lebih baik daripada kreatinin. Penurunan ringan fungsi ginjal lebih cepat terdeteksi oleh cystatin C daripada kreatinin (Grubb, 2010). Identifikasi biomarker dalam membantu meningkatkan ketepatan pembuatan keputusan klinis untuk monitor dan mencegah penyakit ginjal diabetik sangat dibutuhkan. Cystatin C telah diduga sebagai biomarker yang paling menjanjikan (Shlipak, 2008). Beberapa formula berbasis cystatin C dalam estimasi LFG memberikan hasil yang lebih mendekati standar baku emas LFG 5 dibandingkan formula berbasis kreatinin. Sebagai contoh, formula estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG) berbasis cystatin C oleh Larson memberikan hasil sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan formula berbasis kreatinin (Shima et al., 2011). B. Perumusan masalah Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Prevalensi DM tipe 2 cukup tinggi, baik di Indonesia maupun di dunia. 2. Selain prevalensinya yang semakin meningkat, tingkat morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi DM tipe 2 cukup tinggi, terutama pada ginjal, sehingga perlu deteksi dan penanganan segera. 3. Pemeriksaan LFG mengunakan marker eksogen memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang besar serta tidak praktis, sehingga kurang ideal untuk aplikasi rutin atau penggunaan klinik dalam jumlah yang banyak 4. Selain kreatinin yang selama ini sudah rutin digunakan sebagai marker endogen untuk menilai eLFG dengan formula CG, cystatin C juga merupakan biomarker endogen yang lebih menjanjikan dalam menilai LFG, tetapi penelitian di Indonesia belum banyak dilakukan. 5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang cystatin C dibandingkan dengan eLFG formula CG yang sudah rutin digunakan dalam klinik dalam menilai LFG, sehingga dapat menjadi pertimbangan klinis dalam penatalaksanaan pasien. 6 C. Pertanyaan Penelitian Apakah ada korelasi antara kadar cystatin C serum dengan eLFG formula CG pada pasien DM tipe 2? D. Keaslian Penelitian Penelitian terkait korelasi cystatin C darah dengan eLFG formula CG sudah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang akan dilakukan saat ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam hal populasi penelitian. Delanaye, et al. (2004) melakukan penelitian di Belgia terhadap 40 subyek yang dirawat di ICU dengan berbagai macam penyakit yang mendasari, dengan desain potong lintang. Dari penelitian tersebut didapatkan korelasi kuat yang bermakna antara 1/cystatin C dengan formula CG (r2=0.72, p<0.0001). Kumaresan et al. (2011) melakukan penelitian di India terhadap 106 pasien Chronic Kidney Disease (CKD) dengan desain potong lintang. Dari penelitian tersebut didapatkan korelasi yang bermakna antara cystatin C serum dengan formula CG (r=-0.601, p<0.0001). Pusparini (2005) melakukan penelitian di Jakarta terhadap 56 pasien CKD dengan desain potong lintang. Pada penelitian ini, dibandingkan korelasi antara cystatin C serum dengan klirens kreatinin urin 24 jam dan dengan menggunakan eLFG formula CG. Dari penelitian ini didapatkan korelasi sedang yang bermakna antara cystatin C serum dengan klirens kreatinin urin 24 jam (r=0.69, p=0.000) dan juga didapatkan korelasi sedang yang bermakna antara cystatin C dengan formula CG (r=-0.68, p=0.000). 7 E. Tujuan Penelitian Menilai korelasi antara kadar cystatin C serum dengan eLFG formula CG pada pasien DM tipe 2. F. Manfaat Penelitian 1. Bagi Klinisi : Diharapkan penggunaan cystatin C dapat dijadikan pertimbangan pengganti kreatinin serta formula CG untuk menilai LFG pada penderita DM agar dapat mencegah terjadinya komplikasi penyakit ginjal yang lebih lanjut. 2. Bagi Pasien : Diharapkan pasien mendapat pelayanan kesehatan yang tepat dan cepat dalam penatalaksanaan DM. 3. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan : Cystatin C sebagai marker alternatif lain selain kreatinin dapat dijadikan suatu pertimbangan dalam pelayanan pasien. 4. Bagi Ilmu Pengetahuan : Menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai marker endogen cystatin C yang dapat digunakan dalam menilai LFG pada penderita DM tipe 2.