Dilema Wajib Belajar Kamis, 25 Juni 2009 | 03:06 WIB Satryo Soemantri Brodjonegoro Pendidikan dasar 9 tahun (compulsory education) akan meningkatkan jumlah calon siswa yang harus ditampung SMA/SMK/MA. Tekanan tidak berhenti di situ, tetapi berlanjut ke perguruan tinggi untuk menampung lulusan SMA/SMK/MA. Dari perguruan tinggi, tekanan mengarah ke pemerintah untuk penyediaan lapangan kerja. Kini, tidak kurang dari satu juta lulusan perguruan tinggi masih menganggur. Berarti pemerintah mengalami dilema, di satu sisi harus mengadakan pendidikan wajib bagi masyarakat sebagai salah satu fungsi sosial, di sisi lain pemerintah juga harus memberikan lapangan kerja bagi mereka yang diwajibkan mengikuti pendidikan. Hakikat pendidikan Hakikat pendidikan bukan untuk menjadikan masyarakat tidak berdaya dan hanya menggantungkan dirinya kepada pemerintah (social security), tetapi merupakan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup. Pendidikan wajib saja belum menjamin adanya pemberdayaan masyarakat. Yang diperlukan adalah pendidikan wajib bermutu. Jika masyarakat berdaya, pemerintah akan terbantu. Bagaimana memulai pendidikan wajib bermutu? Kini, anggaran pendidikan amat besar dibandingkan sektor lain. Karena itu, harus ada strategi jitu guna menyikapi pendidikan wajib ini agar tidak mubazir. Anggaran pendidikan seyogianya dirasakan semaksimal mungkin oleh peserta didik. Porsi terbesar anggaran belanja pendidikan wajib adalah untuk pemenuhan kebutuhan peserta didik. Kebutuhan anggaran ditentukan oleh pola pembelajaran dan selama ini dianut teacher centered learning. Sudah saatnya diterapkan student centered learning, lebih mengemukakan peran pemberdayaan. Apa saja tolok ukur pendidikan wajib bermutu? Jika saja seluruh lulusan perguruan tinggi mampu berkarya menghidupi dirinya—tidak bergantung pemerintah— maka pendidikan sudah sukses. Kata kunci untuk pemberdayaan dan mutu adalah nilai tambah (added value). Apakah peserta didik mendapat nilai tambah yang signifikan selama pendidikan? Apakah peringkatan nilai tambah itu sebanding dengan anggaran yang telah dialokasikan untuk peserta didik? Sebagian pendidik berdalih, nilai tambah pendidikan tidak bisa diukur (intangible). Sebagai pendidik seyogianya selalu mengadakan pre-test dan post-test terhadap peserta didik, baik secara individu maupun secara kelompok usia (cohort). Penjaminan mutu Pendidikan wajib memberi kesan tidak ada seleksi terhadap calon peserta didik, padahal proses seleksi justru memacu peningkatan mutu. Semangat berkompetisi merupakan modal utama untuk mencapai mutu melalui pemberdayaan diri. Apakah drop out (DO) diperkenankan dalam pendidikan wajib ini? Atau semuanya harus lulus? Jawabannya, tiap peserta didik dimaksimalkan nilai tambahnya sesuai bakat dan kemampuannya. Melalui seleksi, ditetapkan jenis dan bentuk pendidikan yang perlu bagi peserta didik. Dengan demikian, akan terjadi keluwesan dalam proses pembelajaran, pendekatan yang bersifat massal seragam sudah tidak tepat. Apakah pendidikan yang beragam seperti ini akan mahal? Tidak harus karena keluwesan dilakukan oleh guru dan tidak harus mengadakan infrastruktur baru. Guru mempunyai keluwesan dalam membelajarkan peserta didik dan guru mempunyai hak prerogatif untuk memberdayakan peserta didiknya. Perhatian khusus perlu diberikan bagi masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi. Mereka tidak hanya membutuhkan kelengkapan perangkat pendidikan, tetapi juga membutuhkan dukungan untuk kesehatan dan gizi. Dengan demikian, mereka dapat berkompetisi dengan peserta didik lain dengan kondisi awal yang sama. Jika dari awal mereka sudah mampu bersaing, selanjutnya mereka akan mudah mendapat berbagai beasiswa untuk kelanjutan pendidikannya. Dengan pendekatan yang komprehensif, kelompok masyarakat miskin akan mampu mengangkat dirinya untuk tidak lagi miskin. Artinya, pendidikan wajib bermutu akan mampu mengentaskan rakyat miskin dan ini merupakan tema pendidikan wajib di negara sedang berkembang. Sedangkan di negara maju pendidikan wajib diselenggarakan untuk mengurangi kesenjangan antarkelompok masyarakat. Satryo Soemantri Brodjonegoro Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi