56 BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Profil Rumput Laut Rumput laut merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dapat diandalkan untuk membantu mempercepat tercapainya tujuan pembangunan perikanan. Indonesia yang terbentang di katulistiwa, kaya akan sinar matahari dan mineral, merupakan perairan yang subur untuk tumbuh di perairan Indonesia adalah Gracellaria, Gelidium, Eucheuma, Hypnea, Sargassum dan Turbinaria, sedangkan jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan adalah Gracellaria Sp dan Eucheuma Sp. Jenis Eucheuma Sp dibudidayakan di perairan pantai/laut sedangkan Gracellaria Sp dibudidayakan di tambak (DKP,2008). Berdasarkan DKP (2007b) rumput laut termasuk kelompok macro algae, species rumput laut diketahui lebih dari 7000 species yang tersebar di perairan tropis maupun sub tropis salah satunya di perairan Indonesia. Sejarah perkembangan rumput laut dari pertama kali ditemukan di Indonesia adalah sebagai berikut : 1899–1900 : Sibolga Expedition dipimpin oleh Max Weber untuk mengidentifikasi jenis rumput laut yang terdapat di Indonesia 1928 : Max Weber dan Van Bose melakukan klasifikasi jenis rumput laut Indonesia 1940 : Pemasaran dan ekspor rumput laut jenis Cotonii dan Spinosum dari Makassar dan Surabaya 57 1967 : Zaneveld dari FAO melakukan identifikasi jenis rumput laut komersial yaitu Gracellaria, Gelidium, Eucheuma, Hypnea, dan Sargassum 1968 : Pertama kali rumput laut jenis Spinosum dibudidayakan di Indonesia yaitu di Kepulauan Seribu 1974 : Pertama kali rumput laut komersial yaitu rumput laut jenis Cotonii yang berasal dari Filipina dapat dibudidayakan di Indonesia 1975 : Dimulainya proyek budidaya rumput laut jenis Spinossum di Pesisir Danajon, Philipina 1976 : Dimulainya proyek budidaya Spinossum di Pulau Rio, termasuk dengan Indo Fisheries, namun hasilnya tidak berkembang sehingga proyek tidak dilanjutkan 1985 : Budidaya rumput laut Cotonii komersial dimulai di lokasi yang sama dan hasilnya sangat baik 1986-2007 : Dimulainya babak baru dalam industri rumput laut Indonesia dengan diselenggarakannya beragam acara pertemuan, seminar, maupun Symposium tentang rumput laut Menurut dua pakar rumput laut dunia – Porse dan Bixler, posisi Indonesia sebagai produsen cotonii kering tidak akan terkalahkan oleh negara lain (DKP, 2011c). Produksi cotonii kering dunia tahun 2009 sebesar 160.000 ton dengan kebutuhan pasar cotonii kering menurut Cybercolloids sekitar 200.000 ton. Artinya masih ada kekurangan produksi 4000 ton yang bisa dipenuhi oleh Indonesia. Data dari Cybecolloids menunjukkan produksi cotonii kering 58 Indonesia sebesar 87.000 ton atau 54 persen produksi cotonii kering dunia. Produksi cotonii kering masih bisa ditingkatkan karena negeri bahari ini mempunyai lokasi tanam cotonii yang masih luas untuk ekpansi, terutama di Indonesia Timur (DKP, 2011c). 4.1.1. Rumput Laut Potensial Rumput laut potensial yang dimaksud disini adalah jenis – jenis rumput laut yang sudah diketahui dapat digunakan untuk berbagai industri. Karaginofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida karagin. Agarofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida agaragar. Keduanya merupakan anggota kelompok rumput laut merah. Alginofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida alginate. Rumput laut alginofit berasal dari kelompok rumput laut coklat (DKP, 2011c). A. Karaginofit Menurut DKP (2011b) rumput laut yang mengandung karaginan adalah dari marga Eucheuma yang terdiri dari tiga macam, yaitu iota karaginan, kappa karaginan dan lambda karaginan. Iota karaginan dihasilkan dari Eucheuma spinosum, kappa karaginan dari Euchema cotonii dan lambda karaginan dari Condrus crispus ketiga macam karaginan ini dibedakan karena sifat jeli yang terbentuk. Iota karaginan berupa jeli lembut dan fleksbel atau lunak. Kappa karaginan jeli bersifat kaku dan keras. Sedangkan lambda karaginan tidak dapat membentuk jeli, tetapi erbentuk cair yang viscous. Jenis yang potensial diantaranya E. cottonii dan E. Spinosum merupakan rumput laut yang secara luas diperdagangkan, baik untuk keperluan bahan baku industri di dalam dan luar negeri. Dari kedua jenis tersebut E.cotonii yang paling banyak dibudidayakan 59 karena permintaan pasarnya sangat besar. Jenis lainya Chondrus spp, Gigatina sp, dan Iridaea sp tidak ada di Indonesia, rumput laut subtropics. Wilayah potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut Eucheuma terletak perairan Nanggro Aceh Darusallam, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dll. Rumput laut Eucheuma di Indonesia umumnya tumbuh diperairan yang mempunyai terumbu karang. Ia melekat pada substrat karang mati ataupun batu gamping di daerah intertidal dan subtidal. B. Agarofit Berdasarkan data dari DKP (2011b), agarofit adalah jenis rumput laut penghasil agar. Jenis jenis rumput laut tersebut adalah Gracilaria Sp, Gelidium Spp, dan Gelidiella Spp. Agar-agar merupakan senyawa kompleks polisakarida yang dapat membentuk jeli. Kualitas agar-agar dapat ditingkatkan dengan suatu proses pemurnian yaitu membuang kandungan sulfatnya. Produk ini dikenal dengan nama agarose. Jenis dari agarofit yang potensial dan telah dikembangkan secara luas hanya GracilariaSpp. Di Indonesia, Gracilaria verrucosa umumnya dibudidayakan di tambak. Jenis ini mempunyai Thallus berwarna merah keunguan. Gracilaria verucosa dan G. gigas banyak dibudidayakan di perairan Sulawesi Selatan, Lombok Barat, Pantai Utara Pulau Jawa, dll. Sedangkan Gelidium Spp belum banyak dibudidayakan karena seluruh produksinya dihasilkan dari alam dan ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia. C. Alginofit Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) RI menjelaskan bahwa alginofit adalah jenis rumput laut penghasil alginate. Jenis rumput laut coklat 60 penghasil alginat adalah Sargassum Spp, Turbinaria Spp, Laminaria Spp, Ascophylum Spp, dan Macrocysis spp. Sargassum Spp dan Turbinaria Spp banyak dijumpai di perairan laut Indonesia sedangkan Laminaria, Ascophyllum dan Macrocystis banyak dijumpai di perairan sub tropis. Alginat banyak digunakan untuk industri seperti industri makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, kertas, detergen, cat, tekstil, vernis, fotografi, dll. Untuk keuthan industri di Indonesia yang saat ini terus berkembang, kebutuhan Alginat masih disuplai melalui impor dari beberapa negara seperti Perancis, Inggris, RRC, dan Jepang (DKP, 2011b). 4.2. Standar Nasional Rumput Laut Indonesia Untuk memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan pada komoditas rumput laut yang dipasarkan di dalam dan luar negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan bersama Badan Standarisasi Nasional menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dapat memenuhi jaminan tersebut. Tabel 4.1. Standar Nasional Rumput Laut Indonesia Persyaratan Jenis Uji Satuan Eucheuma Spp a. Sensori Gracillaria Spp 7 Gelidium Spp Angka(1-9) 7 7 persen Fraksi 30-35 15-18 15-20 Minimal 30 Minimal 30 Minimal 30 Maksimal 5 Maksimal 5 Maksimal 5 Kimia Kadar air Clean Anhydrous wee persen Fraksi Fisik Benda Asing persen Fraksi Sumber: Badan Standarisasi dan Akreditasi DKP (2008) Dalam SNI rumput laut yang ditetapkan mencakup teknik sanitasi dan hygiene, syarat mutu dan keamanan pangan komoditas rumput laut kering. 61 4.3. Klaster Industri Rumput Laut Indonesia Salah satu upaya Departemen Kelautan dan Perikanan dalam mengembangkan Daerah Industri Budidaya Rumput Laut Terpadu adalah dengan Program Klaster. Klaster industri rumput laut merupakan suatu sistem usaha rumput laut dimana komponen pembentuk kawasan minapolitan berhubungan scara fungsional satu sama lain didalam satu kawasan tertentu dan dalam sistem manajemen terpadu. Konsep klaster melalui pendekatan rekayasa sosial dan tataniaga sebagai hasil dari kajian usaha pembudidaya rumput laut. Dalam satu kawasan klaster pengolahan rumput laut, terdiri dari kelompok usaha pembudidaya, penyedia sarana dan prasarana produksi, lembaga pembiayaan, unit usaha pengolahan, unit usaha ekspor dan jasa pendukung lainnya. Implementasi dari konsep ini adalah kontrol kualitas rumput laut mulai dari tingkat pembudidaya sampai dengan tingkat pemasaran dalam suatu manajemen terpadu utuk memperoleh hasil rumput laut yang berkualitas baik sesuai dengan persyaratan pengolah untuk mendapatkan kualitas karaginan yang dibutuhkan pasar. Sejak tahun 2006 DKP berinisiatif untuk mengembangkan program pengelolaan rumput laut secara terpadu dari hulu hingga hilir melalui pengembangan sistem klaster industri (Minapolitan) rumput laut. Diharapkan dari program ini dapat diperoleh peningkatan nilai tambah produk rumput laut dengan berkembangnya industri pengolahan. Pada tahun 2007 Sistem Klaster Industri (Minapolitan) Rumput Laut telah diimplementasikan di Kabupaten Sumenep (Jawa Timur), Gorontalo, dan beberapa daerah lain hingga tahun 2009 (DKP,2011c).