Disusun Oleh: MOH. JAZULI NIM. 103051028501

advertisement
PERAN WAHID INSTITUT DALAM MENGKAMPANYEKAN
PEMIKIRAN ISLAM, PLURALISME DAN DEMOKRASI
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir
Mencapai Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Disusun Oleh:
MOH. JAZULI
NIM. 103051028501
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
PERAN WAHID INSTITUT DALAM
MENGKAMPANYEKAN PEMIKIRAN ISLAM,
PLURALISME DAN DEMOKRASI
DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh :
MOH. JAZULI
NIM. 103051028501
Di Bawah Bimbingan
Dr. Wahyu Prasetyawan M. A
NIP : 150 271 946
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H/2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang dilakukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan mempeloreh gelar SI di Universitas Islam Negeri Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia diberikan
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis
ABSTRAK
PERAN WAHID INSTITUT DALAM MENGKAMPANYEKAN PEMIKIRAN
ISLAM PLURALISME DAN DEMOKRASI
Pemikiran Islam Pluralisme dan Demokrasi merupakan tiga komponen yang
saling mengisi dalam demokratisasi, namun dalam proses tersebut tidak selamanya
berjalan dengan mulus. Diperlukan sebuah usaha untuk mewujudkan kehidupan
negara yang damai dan menjunjung tinggi norma masyarakat maupun hukum negara
baik oleh perseorangan, kelompok aktivis atau lembaga yang konsisten dalam
mewujudkan misi itu.
Diantara lembaga yang berusaha mewujudkan tujuan diatas ialah Lembaga
Wahid Institut, yang bergerak sebagai lembaga riset dan pengembangan kebudayaan
Islam. Hampir lima tahun Wahid Institut ikut andil dalam demokratisasi di Indonesia
yang tentunya sebagai lembaga yang konsisten dan aktif, telah banyak merealiasikan
peran lembaga kepada negara maupun masyarakat sesuai dengan ruang lingkup
programnya
Sehingga, berkaitan dengan aktivitas lembaga Wahid Institut, yang perlu
untuk di jawab dalam penelitian ini ialah apa peran Wahid Institut dalam
mengkampanyekan pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi, sebagai salah satu
program lembaga dan bagaimana lembaga mewujudkannya?
Dalam menjawab pertanyaan diatas penulis menggunakan pendekatan Gross,
Mason, dan A.W. Mc. Eachem sebagaimana dikutip oleh David Berry, dalam
teorinya, mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan yang di kenakan
pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Menurutnya, dalam peran
terdapat dua macam harapan yaitu: pertama, harapan-harapan masyarakat terhadap
pemegang peran. Kedua, harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran atau
kewajiban-kewajiban dari pemegang peran terhadap orang-orang yang berhubungan
dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya.
Lebih lanjut, Biddle dan Thomas membagi peristilahan teori peran dalam
empat golongan yaitu istilah yang menyangkut orang yang mengambil bagian dalam
interaksi, perilaku yang muncul dalam interaksi, kedudukan orang dalam perilaku
interaksi dan kaitan antara orang dan perilaku interaksi perilaku tersebut.
Sebagai sebuah lembaga gerakan Wahid Institut ingin berperan dan
berkontribusi untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai, mencoba
memberikan alternatif-alternatif melalui pemikiran progresif dalam nuansa
demokratis dan sadar hukum tanpa ada pembedaan terhadap segala perbedaan yang
ada.
Setelah melakukan penelitian, Penulis menilai bahwa Yayasan lembaga the
Wahid Institut telah berhasil menjalankan perannya dalam mengkampanyekan
pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi di Indonesia. Melalui beberapa realisasi
program, advokasi, pemantauan langsung serta turun ke dalam akar rumput (grass
root).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang karena kasih dan
sayang serta ridhanya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga Allah sampaikan kepada Nabi Muhammad saw,
dan semoga penulis dapat menempuh jalan tauladan dan mendapatkan tempat
dihatinya.
Selanjutnya terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu dan Ayahanda yang
selalu memberikan ketulusan cinta serta keikhlasan do'anya semoga penulis
mendapatkan tempat di dunia ini.
Penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan kepada berbagai pihak
yang telah membantu penulisan ini penulis sampaikan banyak terimakasih kepada:
1. Dr. Murodi MA. Selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Wahidin Saputra, M.Ag dan Umi Musyarofah, MA. Selaku ketua dan
sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Wahyu Prasetyawan. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bantuannya atas penulisan skripsi ini.
4. Dosen dan staf pengajar Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh pengurus lembaga Wahid Institut yang telah membantu penyelesaian
skripsi penulis
6. Segenap staf
Perpustakaan Utama dan Fakultas yang telah memberikan
pelayanan yang baik kepada penulis.
ii
7. Seluruh keluarga yang selalu mendoakan,
mendukung dan memberikan
motivasi kepada penulis
8. Sahabat-sahabatku yang kusayangi semoga kita akan mendapatkan kasih
sayang dari Allah dan mendapatkan syafaatnya diakhirat nanti, sahabat ini
berharap kita tidak akan berpisah selamanya dalam esensi persahabatan kita,
dan,
9. Kepada teman-teman yang saya banggakan ku berucap dan perpesan salam.
Terimakasih semuanya.
Jakarta, 23 Februari 2008
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ........................................... 2
C. Metodologi Penelitian ................................................................... 3
D. Tujuan Penulisan ........................................................................... 3
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 4
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Peran ................................................................................... 6
B. Teori Kampanye ........................................................................... 7
C. Teori Pemikiran Islam, Pluralisme dan Demokrasi ..................... 8
BAB III SEKILAS TENTANG WAHID INSTITUTE
A. Latar belakang Lembaga Wahid Institut ....................................... 22
B. Visi dan Misi Wahid Institut ......................................................... 23
C. Program – Program Wahid Institut ................................................ 24
D. Struktur Organisasi Wahid Institut, Garis Besar Aktivitas,
Program dan Managemen Wahid Institut, ..................................... 26
BAB IV PEMBAHASAN KAMPANYE PEMIKIRAN ISLAM, PLURALISME
DAN DEMOKRASI DI INDONESIA
A. Upaya yang dilakukan Wahid Institut dalam
mengkampanyekan Pemikiran Islam, Pluralisme dan
Demokrasi di Indonesia …………………………….………...….. 62
B. Faktor Pendukung dan Penghambat Kampanye
Pemikiran Islam, Pluralisme dan
Demokrasi……………………...……………………………….… 62
C. Analisa ………………………………………………………........ 68
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan .......................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
iv
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum menjadi presiden dan membentuk partai, Gus Dur selalu bercita-cita
bagaimana di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini mempunyai
sumbangan yang lebih kongkrit terhadap kepemimpinan di dunia di dalam proses
dialog peradaban yang di katakan olehnya sebagai sebuah pusat study Asia Tenggara.
Pusat study inilah yang dicita-citakan oleh Gus Dur bahwa disanalah nanti tokohtokoh Islam yang kemudian punya pemikiran masa depan bisa bertemu,
berkumpuldan kemudian membuat Indonesia sebagai sebagai simpul dinamika agama
di Asia Tenggara.
Perkembagan warga NU dalam sangatlah luar biasa dan tatkala Gus Dur
bilang NU harus kembali ke khittah, yang paling berhasil di letakan olehnya adalah
tradisi pemikiran yang terbuka itu. Selain tradisi bahwa NU memiliki subkultur Islam
yang damai karena berasal dari pedesaan, tetapi juga subkultur Islam yang terbuka
dan fleksibel untuk perubahan. Dan itulah kira-kira sumbangan Gus Dur yang
terbesar, selain juga Cak Nur dengan Paramadina-nya dan juga M. Syafi'i Maarif
dalam Muhammadiyah dengan ( Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) JIMMnya. Walau pun tidak sebesar NU1.
Loyalitas serta konsistensi dalam membela pluralisme, demokrasi dan dalam
memperjuangkan masyarakat dengan nilai Islami mendorong berbagai pihak untuk
membentuk lembaga yang bertujuan untuk mewujudkan prinsip-prinsip Gus Dus
1
Dr. Muslim Abdurrahman, www.wahidinstitut.org
yakni membangun lembaga dengan pemikiran Islam yang moderat agar tercipta
demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan toleransi dikalangan
kaum muslim di Indonesia maupun dunia. Untuk itu maka, diluncurkanlah Wahid
Institut yang dihadiri oleh tokoh dari dalam maupun luar negeri.
Dari penjelasan diatas, penulis ingin membahas dan meneliti tentang Wahid
Institut lebih mendalam untuk mendapatkan informasi yang mencukupi tentangnya.
Sehingga penulis mengajukan sebuah skripsi yang berjudul : Peran Wahid Institut
dalam Mengampanyekan Pemikiran Islam, Demokrasi dan Pluralisme di Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Bertolak dari uraian diatas, untuk mempermudahkan pembahasan dan
pemfokusan penelitian penulis mendasarkan pada tema program kampanye Pemikiran
Islam, Pluralisme dan Demokrasi serta aktivitas Wahid Institut secara umum.
Dari pembahasan di atas, masalah yang dapat dirumuskan adalah: Apa Peran
Wahid Institut dalam Mengkampanyekan Pemikiran Islam, Pluralisme dan Demokrasi
Wahid Institut di Indonesia?
Pilihan ini didasarkan pada isu-isu yang memang menjadi kajian dan model
utama kampanye Wahid Institut dalam masyarakat, sehingga dengan demikian dapat
menjadi pembatasan dan menghindari melebarnya bahasan penelitian ini.
C. Metodologi Penelitian
1. Metode pengumpulan data
Untuk menjawab persoalan di atas, sebagai landasan operasional penulis
melakukan observasi, mencari dan mengumpulkan buku-buku, tulisan-tulisan atau
dokumen-dokumen maupun situs mereka (http.//www.wahidintitute.org.) serta
wawancara sebagai sumber primer, juga dokumentasi-dokumentasi lain seperti bukubuku dan artikel yang berkaitan dengannya sebagai sumber sekunder.
2. Metode pembahasan
Adapun pembahasannya, penulis menggunakan :
-
Pendekatan deskriptif yaitu pendekatan dengan cara mengumpulkan datadata yang berkaitan dengan masalah yang diteliti kemudian dideskripsikan
secara aktual akurat dan sistematis untuk memperoleh kejelasan masalah
yang diteliti dan dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
-
Tekhnik Analisis Isi (content Analisis) yaitu menurut R. Holsti yang
mendefinisikan analisis isi sebagai tekhnik apapun yang di gunakan untuk
menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan dan
dilakukan secara obyektif dan sistematis2.
3. Tehnik penulisan
Sedangkan tekhnik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman penulisan
Skripsi, Tesis, dan disertasi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
2007 dan metode penelitian dakwah.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini ialah:
1. Untuk mengetahui metode-metode yang dikembangkan oleh yayasan Wahid
Institut dalam mengampanyekan pluralisme di Indonesia
2. Untuk mengetahui profile dan aktivitas yayasan lembaga Wahid Institut
2
Suejono Dan Abdurrahman, Metode Penelitian (Jakarta, PT.Rhineka Cipta, 1999) Cet 1, h.13
3. Secara akademis diharapkan dapat mampu membahas kajian gerakan
kontemporer dalam rangka pengembangan kajian Islamiah bagi para praktisi
dan aktivis di Indonesia
4. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi tugas akademik yang
merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka
menyelesaikan studi tingkat sarjana program strata satu (SI) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
E. Tinjauan Pustaka
Dalam menulis skripsi ini penulis terinspirasi saat penulis membaca harian
kompas saat mengetengahkan launcing Wahid Institut yang di dalamnya
mengemukakan visi-misi serta program lembaga.
Terdapat dua alasan ketertarikan dari penulis untuk menelitinya; pertama,
lembaga ini bervisi mewujudkan prinsip-prinsip Gus Dur, di mana tokoh ini memiliki
sejarah fenomena yang unik dan kontroversial; kedua, bermisi mengemban komitmen
menyebarkan gagasan muslim progresif yang mengedepankan toleransi dansaling
pengertian di masyarakat dunia Islam dan barat dengan mengusung isu pemikiran
Islam, pluralisme dan demokrasi.
Saat penulis melihat skripsi-skripsi di perpustakaan utama menulis
menemukan beberapa skripsi tentang Gus Dur dan hanya pada pemikiran dan isu
demokrasi serta plurlitas yang menjadi bagian perjuangannya. Data ilmiah dari
gagasan maupun isu tersebut penulis sesuaikan dengan buku yang berjudul symbol of
system, dan penulis berinisiatif melengkapi pustaka tentang ide pemikiran serta Gus
Dur dengan meneliti lembaga yang menjadi pengemban komitmen tokoh tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis bagi kedalam lima bab, masing-masing
bab terdiri atas beberapa sub, untuk memperoleh gambaran yang jelas penulis uraikan
sistematika sebagai berikut :
BAB I
: Pendahuluan: pendahuluan ini berisikan latar belakang masalah,
perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II
: Landasan teori: teori peran, kampanye, pemikiran Islam, pluralisme dan
demokrasi
BAB III
: Sekilas tentang yayasan lembaga Wahid Institut: latar belakang, visimisi, program-program serta struktur organisasi lembaga Wahid
Institut serta garis besar program, manajemen dan aktivitas Wahid
Institut.
BAB IV
: Pembahasan tentang kampanye pemikiran Islam, pluralisme dan
demokrasi: upaya-upaya yang di lakukan, pendukung dan penghambat
serta
analisa
penulis
tentang
peran
Wahid
Institut
dalam
mengkampanyekan pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi di
Indonesia
BAB V
: Penutup: Penulis mencoba membuat suatu kesimpulan dari bab-bab di
atas dan yang terakhir adalah daftar pustaka.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Peran
Secara bahasa, peran dalam kamus besar bahasa Indonesia ialah beberapa
tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dimasyarakat
dan harus dilaksanakan. Dengan kata lain seseorang dapat dikatakan memainkan
perannya apabila memiliki status di masyarakat.
Teori peran (role theory) adalah teori yang merupakan sebuah perpaduan
berbagai teori orientasi maupun disiplin ilmu pada dasarnya peran tidak bisa
dipisahkan dengan status kedudukan, walaupun keduanya berbeda, akan tetapi saling
berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya, karenanya peran diibaratkan dua
sisi mata uang yang berbeda.3
Jadi peran adalah seperangkat tindakan atau perbuatan, pekerjaan yang
dilakukan oleh seseorang yang berkedudukan di masyarakat dalam suatu peristiwa
atau keadaan yang sedang terjadi untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Dalam teorinya, Biddle dan Thomas seperti dikutip Sarlito membagi
peristilahan dalam teori peran dalam empat golongan yaitu istilah yang menyangkut :
a) Orang yang mengambil bagian dalam interaksi tersebut.
b) Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut
c) Kedudukan orang dalam perilaku.
4
d) Kaitan antara orang dan perilaku .
Tidak hanya sekedar memiliki status, namun ia harus dapat menjalankan
harapan-harapan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Gross, Mason, dan A.W.
3
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori Psikologi Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2003), Cet. Ke-8, h. 214
2. Ibid. h. 215.
6
Mc. Eachem sebagaimana dikutip oleh David Berry mendefinisikan peran sebagai
seperangkat harapan-harapan yang di kenakan pada individu yang menempati
kedudukan sosial tertentu. Menurutnya pula bahwa harapan-harapan tersebut
merupakan imbangan-imbangan dari norma-norma sosial. Berdasarkan hal tersebut
maka norma-norma dan harapan-harapan yang ditentukan oleh masyarakat.
Di dalam peran terdapat dua macam harapan yaitu: pertama, harapan-harapan
masyarakat terhadap pemegang peran. Kedua, harapan-harapan yang dimiliki oleh
pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran terhadap orangorang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajibankewajibannya.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan seseorang berperan apabila
telah memiliki status. Di dalam status tersebut terdapat tugas-tugas yang sebelumnya
disusun berdasarkan harapan-harapannya, namun, harus sesuai pula dengan harapan
masyarakat. Sehingga, apabila dalam tugas-tugasnya yang semula disesuaikan dengan
harapan orang atau lembaga yang berperan kemudian tidak sesuai harapan
masyarakat, maka dapat dikatakan belum berhasil.
B. Teori Kampanye
Menurut pakar komunikasi Rice dan Paisley, dikatakan bahwa kampanye ialah
keinginan seseorang untuk mempengaruhi opini individu dan publik, keperdayaan,
tingkah laku, minat atau keinginan audiensi dengan daya tarik komunikator sekaligus
komunikatif.
Wiliam Albig mendefinisikan komunikiasi dalam kampanye merupakan
proses pengoperan lambang-lambang yang bernama antar individu, Suatu lambang
yang sama-sama dimengerti.
Unsur-unsur kampanye:
- Ada kegiatan atau proses komunikasi yang berlangsung dalam suatu
kampanye. Berisikan rencana, tema/topik/isu, budget (dana), dan fasilitas
- Komunikator, merupakan orang yang menyampaikan suatu pesan yang hendak
disampaikan kepada pihak lain
Jika ditarik sebuah kesimpulan dari uraian di atas, bahwa kampanye adalah
menyangkut kepentingan organisasi, lembaga, perusahaan, peluncuran produk suatu
barang atau jasa hingga bidang poitik, sosial, dan seni budaya, olahraga,
pembangunan nasional dan sebagainya. Kegiatan kampanye dilakukan tertentu pada
jangka waktu yang tertentu dan dirancang sedemikian rupa, aktraktif, kreatif, dan
dinamis dalam rangka untuk mempengaruhi pihak lain5.
C. Teori Pemikiran Islam, Pluralisme dan Demokrasi
Pemikiran Islam
Pemikiran Islam di Indonesia berkembang dengan cepat pada permulaan abad
ke-20 dengan tumbuhnya modernisme. Dalam seajarah Islam, Mulanya berkembang
pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran
rasional berkembang pada zaman klasik Islam (650-1250 M), sedang pemikiran
tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M)6.
Periode sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, pada
hakikatnya merupakan periode formatif7. Ajaran-ajaran Islam mengalami kristalisasi
dan bentuk yang komprehensif dan universal. Jadi masalah pembaharuan pemikiran
5
Ruslan Rosady, Kiat Dan Publc Relation,( Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005), cet Ke-
6
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung, Mizan 1996). Cet Ke-
1, h. 64.
1, h. 157
7
M Amin Rais, Kata Pengantar dalam John L. Dorhne dan John L. Esposito, Islam dan
Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, (Jakarta, Rajawali 1984), Cet Ke-1, h. v.
Islam muncul setelah periode formatif, terutama setelah Islam sebagai agama dan
sekaligus "great tradition" berhadapan dengan berbagai budaya lokal, berbagai paham
non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yang ada, baik di dunia timur sendiri
maupun dunia barat.
Periode formatif pasca-Nabi bukanlah suatu periode sejarah yang tanpa
konflik. Justru pada periode inilah telah muncul konflik tajam antara berbagai aliran
dalam masyarkat Islam pada waktu itu, mengenai masalah ideologi, politik, sosial,
moral, spiritual8. Ortodoksi Islam yang kemudian melembaga dan mengkristal setelah
dua abad setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, adalah hasil pertarungan berbagai
macam gagasan dan pemikiran di kalangan umat Islam yang meliputi hampir segala
bidang kehidupan9.
Arkoun, seorang tokoh besar Islam membagi epistema dalam sejarah Islam
dalam beberapa penggalan untuk menjelaskan terma-terma "yang terpikirkan" (le
pensable/ thinkable) yang "yang tak terpikirkan" (L 'impense/ Inthinkable) dan "yang
belum terpikirkan" (L Impensable/ not yet though)10.
Terpikirkan
maksudnya
ialah
hal-hal
yang
mungkin
umat
Islam
memikirkannya, yang demikian bisa difikirkan, karena merupakan yang jelas dan
boleh
memikirkannya.
Sedang
“yang
tak
terpikirkan"
atau
“mustahil
memikirkannya” atau belum terpikrkan (unthinkable) adalah hal-hal yang yang tidak
mempunyai hubungan dan tidak saling terikatnya antara ajaran agama dengan praktek
kehidupan sehari-hari, atau jauhnya aplikasi agama dengan norma transenden yang
semestinya seperti tak terikatnya apa yang dilakukan para ilmuwan dan apa yang
8
Ahmad Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta, Pustaka Al Husna 1989), Cet Ke-2,
h.19.
9
Nurhidayat Muh Said, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta, Media
Aktualisasi Pemikiran 2006), Cet ke-1 h. 37.
10
Ibid, Harun Nasution., ....
dikerjakan para ulama, meskipun keduanya masih memiliki keterlibatan intelektual
(intelektual link).
Adalah kebijakan kerasulan yang sangat tinggi bahwa nabi menegaskan tidak
adanya kerugian dalam kegiatan berijtihad dan ijtihad hanya akan membawa kebaikan
ganda atau tunggal. Maka tidak ada yang salah dengan berijtihad. Kesalahan satusatunya ialah adanya rasa takut salah itu sendiri yang menjadikan manusia jadi statis
dan tidak kreatif. Bias dari adanya rasa takut salah akan berdampak pada sumber
taklid.
Seharusnya, kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk
pikiran dan ide, betapapun aneh kedengarannya harus mendapatkan jalan untuk
dinyatakan. Tidak mustahil dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula
dianggap salah ternyata kemudian benar. Kenyaataan ini merupakan pengalaman
setiap gerakan pembaruan, baik perorangan maupun organisasi dalam sejarah manusia
di bumi ini. Dalam pertentangan pikiran dan ide, kesalahan sekalipun memberikan
kegunaan yang kecil, ia akan mendorong untuk menyatakan dirinya dan tumbuh
menjadi kuat.
Karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar, kita telah kehilangan apa yang
dinamakan psycological striking force (daya tonjok psikologis) untuk membikin ideide yang sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang. Sejalan dengan
intelectual freedom, kita harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide
kemanusiaan dengan spectrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang
menurut ukuran-ukuran objektif mengandung kebenaran, sulit dimengerti justru umat
Islam lebih banyak bersifat tertutup dalam sikapnya padahal kitab suci al qur'an
menegaskan semangat inklusivisme.11
11
Ibid, Harun Nasution., h. 45
Pembaharuan mempunyai pengertian pikiran gerakan untuk menyesuaikan
paham-paham keagamaan Islam dengan perkembagan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Arti pembaharuan dan modernisasi hampir identik dengan rasionalisasi yaitu
hasil perombakan pola pikir dan tata kerja tema yang tidak akilah (rasional) menjadi
pola berpikir rasional dan tata kerja yang akilah. Kegunaannya adalah untuk
memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal.
Tujuan dari pembaharuan Islam adalah
a. Untuk menyebarkan, menafsirkan dan mensistematisasi ajaran-ajaran Islam
yang sifatnya global dan universal, sehingga dapat difahami masyarakat sesuai
zamannya.
b. Untuk menafsirkan ulang ajaran-ajaran yang sudah dianggap lama, sehingga
menjadi pemahaman baru yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi baru.
c. Menjadi bukti agama Islam adalah agama yang paling sempurna yang sesuai
dengan segala bangsa dan zaman
d. Menunjukan bahwa agama Islam adalah agama rasional yang menempatkan
rasio berkedudukan tinggi, sehingga Islam tidak pernah bertentangan dengan
kemajuan zaman
e. Menunjukan bahwa agama Islam yang ajarannya bersumber dari qur'an dan
hadist dan yang sifatnya qot'iyu dilalah, dan dzoniyyu dilalah sekarang masih
asli tidak ada perubahan, sedang yang dzaniyyu dilalah penafsirannya
disesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga tidak ketinggalan zaman.
Pembaruan Islam menurut Harun Nasution mengharuskan umat Islam untuk
menerima pluralitas keagamaan, dan perlunyas seruan yang di lakukan yaitu
1
Agama rasional, sebagai landasan bagi pandangan dunia dan moral Islam.
Maksudnya adalah bahwa pilihan moral tidak selamanya mengasaskan pada
wahyu, akan tetapi juga pada akal agamis yang berdaya yang mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk;
2
Budaya rasional sebagai landasan bagi pengembangan pendidikan dan ilmu
pengetahuan, yaitu dalam pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan
harus dilandaskan pada kerja budaya yang di topang oleh nalar sehat;
3
Teologi rasional, sebagai landasan bagi pembaruan dan pembaruan umat yaitu
dimaksudkan untuk mengajak umat Islam agar selalu kritis tatkala hendak
memulai membangun suatu langkah reformatif sekaligus menggagas upaya
pembangunan bangsa;
4
Masyarakat rasional, sebagai landasan bagi aspirasi sosial, politik dan
hubungan antar agama, yaitu dalam hubungan berbangsa hendaklah bersamasama memfungsikan nalar untuk duduk bersama saling menghargai baik antar
sesama agama maupun beda agama12.
Lepas dari keadaan yang ada sekarang di dunia Islam, terdapat sejumlah
pemikir muslim di pelbgai negara Islam yang berusaha mengembangkan konsep Islam
yang berbeda yaitu Islam yang tercerahkan, mereka percaya bahwa ideologi Islam
yang ditentukan dari atas tidak mewakili konsep Islam yang sejati, melainkan sesuatu
yang lebih baik jika disebut dengan "ideologi Islam politis".
Para pemikir Islam yang tercerahkan tersebut sedang bekerja membuat metode
baru dan ilmiah dalam menafsirtkan ayat-ayat al Qur'an yang di dasarkan pada prinsip
atau keyakinan bahwa ayat-ayat tersebut pertama-tama harus dibaca dan di tafsirkan
berdasarkan konteks historisnya.
12
h.52.
Achmad Ghalib, Rekonstruksi Pemikiran Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press,2000) Cet Ke-I,
Dengan demikian mereka akan menyadari dan memahami bahwa politik
bukanlah doktrin yang tetap maupun metode yang pasti dalam Islam, selain itu
mereka akan menyadari bahwa peristiwa-peristiwa politik hanyalah peristiwaperistiwa manusia karena itu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang ilahiah.
Sebelumnya peristiwa-peristiwa politik tersebut harus dilihat dan dinilai oleh
masyarakat sipil berdasarkan hak-hak asasi manusia.
Kita berharap bahwa lewat pemikiran yang tercerahkan tersebut demokrasi
akan menjadi tuntutan semua orang Islam dan dengan demikian mereka akan
menyadari bahwa demokrasi merupakan satu-satunya jalan bagi perkembangan dan
kemajuan mereka, dan hanya hanya melalui demokrasi mereka akan menjadi mampu
untuk memerintah dan mengatur diri mereka sendiri13.
Pluralisme
Secara etimologis istilah ini berasal dari dua kata yaitu plural dan isme. Plural
berarti jamak, lebih dari satu, pluralitas dapat berarti keanekaragaman, sehingga
pluralitas merupakan kondisi obyek dalam suatu masyarakat yang terdapat sejumlah
group saling berbeda, baik strata ekonomi, ideologi, keimanan maupun latar belakang
etnis. Sedang isme artinya paham, pemahaman atau memahami.
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa pluralisme adalah paham yang
menyadari suatu kenyataan tentang adanya kemajemukan, keragaman sebagai sebuah
keniscayaan sekaligus ikut secara aktif memberikan makna signifikansinya dalam
konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara serta
beragama14. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, karangan Prof. Dr. Js. Badudu
13
Islam & Barat, Demokrasi dalam Masyarakat Islam, (Jakarta: Fredrich-Naumann-Stiftung
(FNS) Indonesia dan Pusat Studi Paramadina, 2002).cet 1, h. 11.
14
Ensklopedi Akidah Islam, (Jakarta: Prenada Media 2003), Cet Ke-1, h. 320.
dan Prof. Dr. Sultan moh Zain, pluralisme ialah sifat yang menyatakan jamak, seperti
kebudayaan yang tampak pada bangsa Indonesia .
Sedang pluralisme agama berasal dari dua kata pluralisme dan agama. Dalam
bahasa arab, pluralisme diterjemahkan dengan al-ta’addudiyyah al-diniyah dan dalam
bahasa Inggris “religious pluralism”. Oleh karena pluralisme agama ini berasal dari
bahasa Inggris maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus menggunakan
kamus bahasa tersebut.
Pluralisme dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama,
pengertian kegerejaan yaitu orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam
struktur kegerejaan, memegang satu atau lebih secara bersamaan baik bersifat
kegerejaan maupun nonkegerejaan. Kedua, pengertian filosofis berarti sistem
pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran mendasar yang lebih dari satu.
Sedangkan ketiga, pengertian sosiopolitis ialah suatu sistem yang mengakui
koeksistensi keragaman kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai
dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik
diantara kelompok-kelompok tersebut.
Ketiga pengertian tersebut dapat disederhanakan dalam satu makna yaitu,
koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap
terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Dalam the encyclopedia of religion, Jhon Hick menjelaskan bahwa, pluralisme
adalah sikap keagamaan antitesa dari eksklusivisme. Eksklusivisme ialah suatu
pandangan bahwa hanya keyakinananya saja yang paling benar, yang lainnya tidak.
Misalnya doktrin gereja katolik yang berbunyi extra eccesia nulla salus yang artinya
diluar gereja tidak ada keselamatan15.
Sedang eksklusifisme ialah suatu pandangan bahwa agama saya dan agama
anda benar walaupun berbeda formalitasnya. Agama lain dianggap baik dalam
kategori kebenaran dalam agama saya, misalnya pandangan Karl Rahner bahwa setiap
kristiani adalah muslim universal16. Sebagaimana eksklusivisme pluralisme ialah
suatu pandangan bahwa agama ajaran apapun yang mengajarkan kebenaran yang
sejati dianggap sama dengan jalan keselamatan17. Jadi pluralisme adalah suatu cara
untuk melihat dan memberikan nilai p bositif dan oktimis terhadap kemajemukan itu
sendiri, menerima perbedaan sebagai sebuah realitas yang tak dipungkiri18.
Pluralisme tidak dapat difahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat
kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru
hanya menggambarkan kesan fregmentasi bukan pluralisme, pluralisme juga tidak
boleh difahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negatif good) hanya ditilik dari
kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticm at bay). Pluralisme
harus difahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban
(genuine engagement of difertices within the bond of civility). Bahkan pluralisme
adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan merupakan salah satu wujud kemurahan tuhan yang
melimpah kepada umat manusia19.
15
Mercia Eliade (ed), The Encyclopedia or Religion, (New York: Macmillan Library
Reference USA,1993), h. 331.
16
Ibid. h. 331-332
17
Ibid. h. 332
18
Nur Cholish Madjid, Islam Doktrin dan Agama, h. 296
19
Budy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta,
Paramadina, 2002) Cet Ke-1, h. 31
Menurut Alwi Shihab sikap pluralisme sangat mendorong dalam rangka
berdialog untuk terciptanya kerukunan antar umat beragama, ada beberapa konsep
pluralisme yang dikemukakan oleh Alwi Shihab:
Pertama, pluralisme bukan hanya kemajemukan semata, namun melibatkan
diri (keterlibatan aktif) terhadap kemajemukan itu sendiri, kemajemukan bisa dilihat
diberbagai macam tempat, pasar, kantor, sekolah dan lainnya.
Kedua,
pluralisme
harus
dibedakan
dengan
kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme merujuk kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras,
hidup berdampingan disuatu lokasi, ialah suatu contoh kota new york, dikota ini
terdapat umat yahudi, Kristen, muslim hindu, budha, sampai orang yang tak
beragamapun ada, karena kota ini kosmopolit seakan seluruh penduduk dunia
terwakili disini, namun interaksi antar agama sangat minim, itupun kalau ada.
Ketiga, konsep pluralisme harus dibedakan dengan relativisme, seorang
relativis akan beranggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran atau nilainilai ditentukan oleh pola pikir mereka. Sebagai contoh, kebenaran dan keyakinan
yang di yakini oleh bangsa Eropa bahwa Colombus menemukan Amerika adalah
sama benarnya dengan keyakinan penduduk asli benua tersebut, bahwa Colombus
mencaplok Amerika.
Keempat, pluralisme bukan sinkretisme, yakni memedukan dua ajaran atau
lebih menjadi satu. Karena kita sudah menjumpai dari dulu hingga sekarang
perapaduan keyakinan atau agama. Contoh, New Age Religion (agama masa kini)
perpaduan yoga Hindu, meditasi Budha, tasawuf Islam dan mistik Kristen20.
Dari beberapa bahasan diatas maka terdapat kesimpulan; pertama, bahwa
pluralisme merupakan sebuah pemahaman keberbedaan sekaligus dalam arti
20
Alwi Shihab, Islam Inklusif (Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama), (Bandung; Mizan,
1999), h. 41
kemajemukan, menjalani kehidupan bersama dalam kesadaran akan sikap saling
menghargai, menghormati dan memahami berbagai perbedaan baik suku, ras agama
bahkan kehidupan sosial politik.
Kedua, pluralisme sedikitnya memiliki tiga unsur yang menjadi bagian
adanya berjalannya pluralisme yaitu
1
Adanya dialog, yaitu dialog antar agama, aliran dan keyakinan yang berbeda;
2
Penilaian positif. yaitu menilai baik terhadap berbagai kemajemukan yang ada,
dan
3
Menerima perbedaan.
Demokrasi
Pengertian demokrasi. Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang
berasal dari bahasa yunani yaitu “demos“ yang berarti rakyat atau penduduk suatu
tempat dan “cratein” atau ”cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi
secara
bahasa
demokrasi
berarti
keadaan
negara
dimana
dalam
sistem
pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tinggi berada di
tangan rakyat dan di jalankan oleh rakyat yang bertujuan untuk melindungi hak
maupun kedaulatan rakyat itu sendiri
Sementara itu pengertian demokrasi secara istilah yang dikemukakan para ahli
sebagai berikut
a. Menurut Joseph A. Schmitter, demokrasi merupakan suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas
suara rakyat.
b. Sidney Hook berpendapat demokrasi ialah bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputussan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak
langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas
dari rakyat dewasa.
c. Pilippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyatakan demokrasi sebagai
suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas
tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak
secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil
mereka yang telah terpilih.
d. Hendry B. Moyp menyatakan demokrasi sebagai suatu sistem yang
menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara aktif oleh rakyat pada pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi
oleh masyarakat oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan pada persamaan prinsip persamaan politik dan diselenggarakan
dalam susasana terjaminnya kebebasan politik. Affan Gaffar (2000) memaknai
demokrasi dalam dua bentuk, yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi
normatif) yaitu demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah
negara. Dan secara empirik (demokrasi empirik) yaitu demokrasi dalam
perwujudannya pada politik praktis21.
Dalam hubungannya dengan Islam, perdebatan (diskursus) dan wacana antara
hubungan antara Islam dan demokrasi sebagaima diakui oleh Mun’im A. Sirry masih
menjadi perdebatan dan wacana yang menarik dan belum tuntas. Berdasarkan
pemetaan yang dikembangkan oleh John L. Esposito dan James P. Picatory (Sukron
21
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic society) demokrasi, Hak
Asasi Manusia & Masayrakat Madani, (Jakarta, ICCE UIN Jakarta, 2003), Cet Ke-1
Kamil, 2002) secara umum dapat dikelompokan dalam tiga kelompok pemikiran
(Mun’im A.Sirry):
a) Pertama, Islam dan demokrasi ialah dua sistem politik yang berbeda. Islam
tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi. Islam adalah sistem politik yang
self sufficient. Hubungan keduanya bersifat mutually exclusive. Islam
dipandang sebagai sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Islam berbeda
dengan demokrasi, apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti
difahami dan dipraktikan dinegara-negara maju (barat), sedang Islam
merupakan sistem politik demokratis. Kalau demokrasi didefinisikan secara
substantif, yaitu keaulatan berada ditangan rakyat dan negara merupakan
terjemahan dari kedaulatan rakyat.
b) Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem
politik demokrasi seperti yang dipraktikan negara-negara maju. Di Indonesia
pandangan yang ketiga tampaknya lebih dominan karena demokrasi sudah
menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan negara-negara
muslim lainnya. Di antara tokoh dalam kelompok ini Fahmi Huwaidi, alAqqad, M.Husain Haikal, Zakaria Abdul Mun’im, Robert N. Bellah dan
sebagainya. Di Indonesia diwakili oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur), Amin
Rais, Munawir Syadali, A. Syafii Maarif dan Abdurrahman Wahid.
Ada beberapa alasan teoritis yang bisa menjelaskan tentang lambannya
pertumbuhan dan perkembangan demokrasi (demokratisasi) di dunia Islam:
a) Pertama, pemahaman doktrinal menghambat praktek demokrasi, teori ini
dikembangkan oleh Elie Khudorie bahwa gagasan demokrasi masih cukup
asing dalam mind-set Islam. Hal ini dikarenakan kebanyakan kaum muslim
yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan Islam.
b) Kedua, persoalan kultur, demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara
muslim sejak paruh pertama abad duapuluh tapi gagal, tampaknya ia tidak
akan sukses pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat
(komunitas) muslim sudah terbiasa dengan otokritasi dan ketaatan pasif, teori
ini dikembangkan oleh Bernard Lewis dan ‘Ajami. Karena itu langkah yang
harus ditempuh adalah penjelasan cultural mengapa demokrasi tumbuh subur
di Eropa, tetapi didunia Islam malah otoritarianisme yang tumbuh dan
berkembang.
c) Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungan
dengan teologi maupun kultur, melainkan terkait dengan sifat alamiah
demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi diperlukan kesungguhan,
kesabaran dan diatas segalanya adalah waktu. John L. Esposito dan O. Voll
adalah tokoh yang tetap optimis terhadap massa depan demokrasi.22
Masalahnya, seperti dikatakan oleh Munawir Sadzali, apakah Islam
memberikan pedoman mengenai negara dan pemerintahan? Soal pemilihan dan
suksesi kepala negara, tidak ada petunjuknya dalam Al Quran maupun sunah Nabi.
Bahkan, menurut Dr Qomaruddin Khan, tidak ada istilah dalam al-Qur’an yang
merupakan padanan “negara” atau “pemerintah”.
Kata al daulah, yang biasa dikutip sebagai istilah untuk negara, bukan istilah
al-Quran, melainkan para ahli fikih. Yang ada hanya petunjuk-petunjuk normatif yang
bisa saja dijadikan landasan teoretis mengenai negara, misalnya keadilan, prinsip
amanah, musyawarah, dan semacamnya.
22
Ibid.
Kehidupan demokrasi tidak akan lepas dari terpenuhinya unsur-unsur
demokrasi sendiri yang diantaranya adalah HAM, di mana di dalamnya terdapat
jaminan kebebasan berfikir, berargumen serta mengemukakan pendapat seperti halnya
jaminan akan kebebasan berkeyakinan. Secara lahiriah kebebasan ini dapat
meminimalisir hegemoni kekuasaan dan tekanan-tekanan situasional maupun
kondisional, yang dapat mengurangi kenyamanan individu dan kelompok dalam
dominasi mayoritas.
Bila membahas demokrasi maka akan ditemukan infrastruktur demokrasi,
adapun infrastruktur tersebut ada tiga macam yaitu:
1
Kedaulatan rakyat
2
Kepastian dan keadilan hukum
3
Budaya demokrasi.
Budaya demokrasi menempati posisi yang strategis bagi infrastruktur
demokrasi yang normal tentunya disamping kedaulatan rakyat dan kepastian keadilan
hukum. 23.
Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali kelompok mayoritas tidak
menghomati perbedaan yang mengkibatkan pemasunganhak-hak warga negara,
mungkin dapat dikarenakan kekhawatiran perubahan kemapanan yang ada pada dan
menguntungkan pihak mayoritas, bahkan gejala ini akan berlanjut pada pencegahan
atas berbagai perbedaan yang dan akan muncul.
Karena itu kebebasan berfikir, berargumen serta mengemukaan pendapat
berkaitan erat dan tidak terpisahkan dengan konsep pluralisme sebagai konsekwensi
logis sistem demokrasi.
23
Azwir Dainy Tara, Peran Pengusaha Dalam Membangun Demokrasi, (Jakarta: Nuansa
Madani, 2002), Cet Ke-1, h. 114.
Pada pemikiran seperti inilah kita dapat melihat pentingnya sesuatu atau
seseorang atau sebuah lembaga untuk mengawal proses demokrasi yang menjunjung
kebebasan berfikir dan pluralisme sebagai bagian penting kehidupan bermasyarakat
maupun bernegara.
BAB III
SEKILAS TENTANG WAHID INSTITUT
A. LATAR BELAKANG LEMBAGA WAHID INSTITUT
Nama lengkap Lembaga adalah Yayasan Lembaga Wahid Institut atau sering
disebut dengan The Wahid Institute yang secara resmi diluncurkan pada 7 September
2004 di Ballroom Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta. Sedang alamat kantor
lembaga tepatnya berada di Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Matraman Jakarta Timur.
Meski demikian pergulatan ide, penyelenggaraan kegiatan dan pengurusan legalitas
formal untuk pendirian The Wahid Intitute telah dirintis satu tahun sebelumnya yang
digagas oleh:
a. K.H. Abdurrahman Wahid
b. Dr. Gregorius Barton
c. Yenny Zanuba Wahid, dan
d. Ahmad Suaedy
Situasi dunia yang terus menerus diwarnai kekerasan dan ketegangan serta
fenomena terorisme dengan apapun alasan belakangnya, dari hal ini mengharuskan
diupayakannya usaha-usaha bersama berupa dialog dan kerjasama antar bangsa dan
kelompok tanpa membedakan suku bangsa, agama, etnis dan sebagainya.
The Wahid Institut lahir di inspirasi oleh kebutuhan semua komponen
masyarakat khususnya Islam untuk terlibat dalam upaya mencari jalan keluar bagi
persoalan tentang situasi dunia yang terus menerus diwarnai kekerasan dan
ketegangan serta fenomena terorisme dengan berbagai alasan di belakangnya, dari hal
ini mengharuskan diupayakannya usaha-usaha bersama diantaranya berupa dialog dan
23
kerjasama antar bangsa serta kelompok tanpa membedakan suku bangsa, agama, etnis
dan sebagainya.
Sejak sebelum menjadi presiden dan membentuk partai, Gus Dur selalu
bercita-cita bagaimana di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini
mempunyai sumbangan yang lebih kongkrit terhadap kepemimpinan di dunia di
dalam proses dialog peradaban. Seperti yang di ungkapkan Ketua PP Muhamadiyah
dan Ketua Yayasan Al-Mauun apa yang di sampaikan Gus Dur saat itu, "kang nanti
saya di Ciganjur ini akan buat pusat study Asia Tenggara, sampeyan, mas Habib
Chirzin tinggal di sini, nanti kita beli tanah di sini dan kita tinggal bersama".
Pusat study Asia Tenggara itulah yang di cita-citakan Gus Dur bahwa
disanalah nanti tokoh-tokoh Islam yang kemudian punya pemikiran masa depan bisa
bertemu, berkumpul kemudian membuat Indonesia sebagai simpul dinamika agama di
Asia Tenggara.
Dari hal di atas kami menemukan sebuah landasan yang kokoh dalam cita-cita
komitmen dan prisip-prinsip intelektual dari K.H. Abdurrahman Wahid diantaranya
untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu sebuah tatanan masyarakat yang adil dan
demokratis serta memperlakukan seseorang secara setara.
Semua itu tantangan yang besar dan berat dan Wahid Institut ingin mengambil
peran untuk memperkuat civil Islam dalam mewujudkan perubahan sosial,
pembaharuan dan pemikiran keagamaan, tentunya tanpa meninggalkan warisan
(turats) pemikiran dan kebudayaan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
B. VISI DAN MISI
Berdirinya Wahid Institut bertujuan mewujudkan prinsip-prinsip dan cita-cita
intelektual Gus Dur untuk membangun pemikiran Islam moderat, Yang mendorong
terciptanya demokrasi, pluralisme agama, multikulturalisme dan toleransi dikalangan
kaum muslim di Indonesia dan seluruh dunia.
Wahid Institut mengemban komitmen menyebarkan gagasan Islam progresif
yang mengedepankan toleransi dan saling pengertian dalam masyarakat dunia Islam
maupun barat. Wahid Institut juga membangun dialog di antara pemimpin agamaagama dan tokoh-tokoh politik di dunia Islam dan barat.
C. PROGRAM-PROGRAM WAHID INSTITUT
a. Kampanye Pemikiran Islam, Demokrasi dan Pluralisme
Dengan jalan memfasilitasi komunikasi dan kerjasama antara intelektual
muslim dengan non muslim yang berminat terhadap perkembangan Islam masyarakat
muslim, agama-agama dan kepercayaan, Wahid Institut membuat penerbitan website,
menyelenggarakan diskusi dan konferensi, serta merilis briefing tentang Islam dan
isu-isu strategis secara berkala dengan bertujuan memberikan kontribusi lembaga
terhadap isu-isu maupun wacana yang berkembang dalam masyarakat.
Dan dalam realisasinya lembaga melakukan beberapa kegiatan berupa:
b. Capacity-Building untuk Perkembangan Islam Progresif di Indonesia.
Setelah melakukan pemetaan gerakan Islam untuk mendapatkan gambaran
yang lengkap mengenai unsur-unsur terpenting civil Islam di Indonesia, Wahid
Institut telah memiliki database tentang person, kelompok dan gerakan yang
komprehensif. Dan saat ini telah tercipta jaringan para pelaku gerakan, organisasi
maupun individu Islam progresif di sejumlah daerah di Indonesia antara lain, Jakarta,
Cirebon, Yogyakarta, Makasar, Lombok, Padang, Aceh, Salatiga, Solo, Banjarmasin
dan sulawesi Selatan.
Untuk merealisasikan program ini lembaga menyelenggarakan tindak lanjut
berupa:
1. Forum Refleksi bersama jaringan muslim progresif Indonesia
Program ini dimaksudkan untuk memperkuat komunitas masyarakat
muslim yang menginginkan demokrasi, perdamaian dan keadilan. Melalui
pertemuan antar aktivis dan pemimpin agama Islam di beberapa daerah di
Indonesia. Dengan membangun jaringan-jaringan di seluruh Indonesia.
2. Pendidikan
Dalam program ini Wahid Institut memberi kesempatan kepada generasi muda diseluruh Indonesia yang
memiliki pengetahuan cukup mengenai Islam untuk mengikuti belajar bersama selama 5-6 bulan setiap tahun
tentang pemikiran dan gerakan muslim progresif. Program ini diadakan melalaui kelas usul fiqih progresif yang
dilaksanakan setiap hari jum,at di kantor Wahid Institut
c. Advokasi dan Penguatan Masyarakat Akar Rumput
Sebagai lembaga studi riset dan sekaligus gerakan, maka Wahid Institut tidak membiarkan problem-problem
mendasar yang menjadi perhatian banyak masyarakat dan publik tanpa adanya tindak lanjut. Atas dasar program tersebut
lembaga mencoba memberikan solusi terhadap peristiwa maupun problem yang terjadi dengan melihat dan terjun langsung
dalam masyarakat. Disamping melakukan hal-hal yang terencana dalam jangka panjang yang berkesinambungan lembaga
juga tidak melupakan masalah-masalah darurat yang harus dilakukan, sejauh yang bisa dijangkau.24
D. STRUKTUR LEMBAGA WAHID INSTITUT
Lembaga Wahid Institut memiliki susunan struktur pengurus dan SDM
sebagai berikut:
Direktur
: Yenny Zannuba Wahid
Direktur eksekutif
: Ahmad Suaedy
Manager (general secretary)
: Ainun
Program officer publikasi dan media relasi
: Gamal ferdhi
Asisten program officer CB,
24
pendidikan & pemberdayaan masyarakat
: M. Subhi
Editor sekaligus reporter
: Nurul Huda
Editor English (outsorcs)
: Cris Holm
Sumber Informasi Dokumen, Lembaga Wahid Institut
Staf dokumentasi dan IT
: Cahya
Staf keuangan dan akaunting
: Farid Laily S
Staff administrasi dan sekretaris
: Linda Ruyana
Selain susunan yang tersebut diatas, Wahid Institut memiliki SDM non
struktural dalam memenuhi tuntutan kerjanya. Adapun SDM nonstruktural
tersebut adalah:
Advisor
: Rumadi dan Muqsith
Ghazali
Translator
: Aref Hakim Budiawan
Staff program khusus, Satpam dan Officeboy Outsorces program dan proposal dan
Staff operasional kafe25
E. GARIS BESAR AKTIVITAS, PROGRAM DAN MANAGEMENT WAHID
INSTITUT
1. Aktivitas
Secara garis besar, aktivitas di lembaga Wahid Institut terbagi dalam empat
kegiatan yaitu:
1.
Program/ kegiatan
2.
Managemet/ kinerja
3.
Pengembangan SDM
4.
Sarana dan prasarana
2. Program
Dalam aktivitasnya, secara umum lembaga
program, yaitu:
25
Ibid
ini menjalankan dua kategori
1. Program Kerja
Pada kategori ini dalam pelaksanaannya terbagi menjadi 2 divisi yaitu:
a. Divisi publikasi dan media relasi
b. Divisi capacity building, pendidikan dan pemberdayaan,
2. Program Charity.
Program-program charity meliputi dua hal yaitu
a. Kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah
b. Memberikan bantuan untuk berbagai lembaga dan relawan-relawan.
2. Manajemen
Dalam mangementnya, Wahid Institut melakukan beberapa kinerja yang
selanjutnya adalah menciptakan profesonalisme kerja di lingkungan Wahid Institut itu
sendiri diantaranya dengan berusaha memberikan job description dan mengadakan
perbaikan serta peningkatan kinerja baik ditingkat managerial, tingkat staf maupun
karyawan.
4. Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana pendukung dalam lembaga ini diantaranya:
a. Kantor permanen, dengan semua fasilitasnya
b. Perlengkapan IT
c. Perlengkapan dokumentasi
d. Internet
e. Indovision
f. Alat-alat peliputan
g. Alat transportasi
h. Ruang training dengan fasilitasnya
i. Kafe dan toko buku dengan perlengkapannya
j. Mesin fotokopi
k. Ruang file dan perpustakaan
l. Dan lainnya26.
26
Ibid
BAB IV
A. UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN WAHID INSTITUT DALAM
MENGKAMPANYEKAN PEMIKIRAN ISLAM, PLURALISME DAN
DEMOKRASI DI INDONESIA
1. Kampanye Pemikiran Islam Progresif dan Pluralisme.
Dalam rangka mendukung sekaligus mengkampanyekan pemikiran Islam
progresif dan pluralisme Wahid Institut mengadakan berbagai kegiatan sebagai
realisasi nyata dalam bingkai perjuangan lembaga yang berwawasan kebangsaan
dengan menjunjung tinggi demokrasi berupa pemberian hak bicara kepada setiap
warganegara, mendorong terciptannya toleransi, kesadaran pentingnya pluralisme
agama-agama dan multikulturalisme. Untuk memperjuangkan hal-hal tersebut
lembaga melakukan gerakan sosial agama dengan gerakan-gerakan nyata secara
konsisten demi terlaksananya visi dan misi program yang di usung Wahid Institut
sendiri. Adapun upaya yang dilakukan lembaga antara lain
a. Peluncuran Website
Sebagai upaya membangun media jaringan komunikasi, Wahid Institut
mengelola dua website dan masing-masing situs tersebut disajikan dalam dua bahasa
yaitu berbahasa Inggris dan Indonesia yang di up-date setiap hari, proses up-date
dimulai pada bulan Januari sampai Desember yaitu http//www.wahidinstitute.org/ dan
http://www.gusdur.net/ dengan beragam rubrik, adapun rincian rubrik tersebut adalah:
a. Home
Merupakan tampilan alamat situs lembaga yang berisi pilihan
pengguanaan situs dengan bahasa Indonesia atau bahasa inggris.
30
b. Tentang Kami
Dalam rubrik ini di deskripsikan secara singkat tentang lembaga
Wahid Insitut, bagaimana seminar dan peluncuran lembaga yang dapat di
klik didalamnya, latar belakang sejarah, visi-misi, program-program,
pengurus organisasi, termasuk juga alamat dan rekening lembaga.
Keberadaan rubrik ini memberikan perkenalan awal bagi pengguna
web dalam mengakses situs tersebut, sehingga pengunjung secara umum
mengetahui garis besar keberadaan maupun gambaran aktivitas serta
program lembaga
c. Berita dan Agenda
Rubrik berita dan agenda merupakan bagian penting bagi para
pengunjung situs lembaga, di mana pengguna dapat membaca dan
mengetahui berbagai aktivitas maupun kegiatan-kegiatan apa saja yang
telah dan sedang di lakukan oleh lemabaga.
Rubrik ini berguna bagi
peneliti maupun kolega yang ingin
mengetahiu detail perjuangan, gerakan dan upaya-upaya berkaitan dengan
program lembaga, yang menitik beratkan perjuangan tersebut pada beritaberita dan apa yang terjadi di sekitar lembaga.
d. Aktivitas
Berkenaan dengan aktivitas lembaga dalam rubrik ini, penggunjung
dapat mengetahui informasi-informasi penting pada lembaga, di mana
diantara aktivitas-aktivitas tersebut tersirat apa garis besar kegiatan
lembaga, sehingga penguna, peneliti maupun kolega dapat melihat dan
dapat menilai peran apa yang dilakukan oleh lembaga dalam rangka
menerjemahkan komitmen Gus Dur di Indonesia maupun dunia
internasional. Bagaimana sepak terjang yang telah dilakukan dan gigihnya
lembaga membela komitmen tersebut
e. Opini
Pada rubrik ini pengguna dapat membaca opini-opini yang berkaitan
dengan pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi yang sedang di usung
Wahid Institut, diharapkan penguna dapat mengetahui bagaimana
masyarakat harus memahami masalah dan isu-isu yang tumbuh di tengah
mereka..
Masyarakat kadang melihat sebuah masalah pada kondisi yang dhahir
saja, sehingga esensi masalah sesungguhnya menjadi kabur.. Penyebaran
infirmasi opini ini dapat memberikan arti dan alternatif-alternatif baru
terhadap isu-isu yang sedang berkembang.
Serta bagaimana opini versi lembaga menanggapi berbagai hal maupun
wacana yang muncul. Seperti opini tentang bagaimana Solusi terhadap
Masalah Jamaah Ahmadiyah oleh Johan Effendi yang di tulis di Tempo,
12 januari 2008.
f. Buku
Rubrik buku ini memberikan informasi buku-buku yang di terbitkan
oleh lembaga sendiri maupun hasil kerjasama dengan penerbit lain lengkap
dengan resensinya. Lembaga berhasil menerbitkan beberapa buku
diantaranya buku Islamku, Islam
anda dan Islam semua, karya
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Memilih Kebenaran daripada Kekuasaan,
Wawancara dengan KH. Syarif Utsman yahya, Islam Kosmopolitan, karya
KH. Abdurrahman Wahid, Dua Wajah Islam: Moderatisme Vs
Fundamentalisme dalam Wacana Global, Karya Stephen Sualaiman
Schwartz.dan buku-buku lainnya.
Juga buku berjudul Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa
Isu Penting di Indonesia, Karya Ahamad Suaedy dkk.
Adapun buku yang ditulis Suaedy dkk menginformasikan bahwa
keterbukaan dan kebebasan berekspresi tak selamanya menjadi garansi
bagi terwujudnya sikap saling menghormati. Ancaman kebebasaan
beragama atau berkeyakinannya, terus hadir hilir mudik di depan mata.
Gelombag penyesatan atas kelompok agama atau keyakinan yang
dianggap berbeda, terus terjadi tiada henti. Konflik komunal terus
berlangsung . isu kristenisasi juga tak kunjung pudar.
g. Jaringan
Pada rubrik ini lembaga menampilkan beberapa jaringan dari lembaga
dalam melaksanakan aktivitas dan merealisasikan visi dan misi lembaga
masing-masing. Pada rubrik ini terdaftar LSM serta organisasi tersebut
lengkap dengan alamat dan yang berkaitan dengannya.
Di antara jaringan lembaga tersebut ialah Lembaga Kajian untuk
Transformasi Sosial (LKTS), Lemabaga Studi Kemanusiaan (LenSA),
Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS ), Desantara-Institut For Cultural
Studies dan lembaga-lembaga lainnya.
h. gusdur.net.
Rubrik
ini
merupakan
akses
khusus
bagi
para
pengguna
http://www.wahidinstitute.org/ yang ingin melihat situs kedua lembaga
yaitu http://www.gusdur.net/.
Misi pendirian lembaga diantaranya ialah mengimplementasikan
komitmen-komitmen Gus Dur, oleh karenanya penting kiranya penguna
situs, maupun para kolega mengetahui secara utuh program, isu maupun
wacana yang diangkat oleh lembaga dan pemikiran-pemikiran dari Gus
Dur.
Adapun situs http;//www.gusdur.net/ berisi rubrik: Editorial, Kolom,
Pemikiran Gus Gur, Biografi Gus dur, Gus Dur yang saya kenal, Anekdot,
dan Alamat klik situs Wahid Institut27.
Dari monitoring yang dilakukan keredaksian situs-situs ini di peroleh
kesimpulan bahwa ada indikasi peningkatan minat yang cukup signifikan terhadap
perkembangan wacana dan program yang ada dalam wahid Institut informasi dan
berita Gus Dur, hal ini terlihat dari data yang ada pada lembaga periode JanuariDesember 2005, tercatat pengunjung situs www.gusdur.net sebanyak 180.691 unit pc,
sedang www.wahidinstitut.org tercatat 16.01428. Dari jumlah rubrik yang di minati
dapat dijadikan parameter karakteristik pengunjung masing-masing situs ini. Pada 10
Desember 2007 penulis mencoba membuka situs www. Gusdur.net dan tercatat
sebagai pengunjung situs yang ke 999.999. Dari data-data ini terdapat Indikasi yang
membuktikan keberhasilan penggunaan media situs ini terhadap visi dan misi yang
ada.
b. Suplemen di Majalah
Wahid Institut bekerjasama dengan majalah GATRA, menerbitkan suplemensuplemen. Suplemen ini diterbitkan dalam kolom-kolom majalah seperti GATRA
yang diterbitkan secara berkala di akhir bulan pada setiap penerbitan suplemen
dengan tema-tema pilihan pada tahun 2005.
27
28
http : / / www.wahidinstitut.org/
Arsip The Wahid Institut, laporan tahunan periode 2005
Kerjasama dalam penerbitan suplemen Wahid Institut pada tahun berikutnya
yaitu 2006 di fokuskan di majalah TEMPO yang beroplah 120.000 eks. Tema berkisar
pada misi Wahid Institut menyebarkan Islam yang damai dan plural dengan isinya
seputar bagaimana masyarakat menjalani kehidupan dalam pluralitas melalui atau
mencoba alternatif-alternatif yang efektif dalam rangka kehidupan yang damai jauh
dari tindak-tindak kekerasan. Tercermin tersebut terlihat seperti petikan penerbitan
suplemen Wahid Institut IV/ Tempo, edisi 29 Januari - 4 Februari 2007 bertema
Hijrah dari Kekerasan.
Kekerasan atas nama agama belum juga reda.namun banyak fakta, para
pelakunya kini hijrah menjadi penyeru perdamaian dan Islam
toleran, bukan hanya di Indonesia tapi juga di dunia Arab.
Dan karena respon pembaca yang luar biasa, setelah menerbitkan 12 edisi,
suplemen diperpanjang enam edisi. Kini, pada edisi ke-13 menampilkan dakwah
Islam yang damai melalui radio swasta dan radio komunitas29 dari gejala ini
setidaknya kita dapat melihat indikasi dan sedikit dari keberhasilan penggunaan media
tersebut oleh lembaga.
Kebutuhan pengetahuan walaupun ringan apabila kemas dengan apik akan
menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat bahkan dapat sama dan lebih mengena
dibandingkan dengan suguhan wacana-wacana aktual dan berat. Kadang sebuah
pengetahuan terlewati begitu saja karena di pandang soal mudah padahal anggapan
mudah ini bisa menjerumuskan orang itu sendiri. Keberadaan suplemen
mengetengahkan nilai bantu pengetahuan-pengetahuan umum yang dapat dinikmati
dan di cermati sebagai informasi-informasi baru.
29
Wahid Institut, Nawala, The Wahid Institut seeding Plural and Peaceful Islam. No 3, JuliOktober 2007, h.8
c. Buletin
Manajemen Wahid Institut menerbitkan kajian-kajian dan tema-tema yang
berkaitan dengan programnya dalam bentuk media cetak berupa bulletin. Penerbitan
ini disosialisaikan berkala setiap bulan untuk memberikan wawasan kepada
masyarakat akan pentingnya pengetahuan pada berbagai isu yang sedang berkembang
Buletin bertema Agama dan Keyakinan dalam R-KUHP yang dari awal terbit
bulan Mei sampai Februari mengulas Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia
pada pasal 28e ayat 1dan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, pasal 8 dan 22 UU No. 39 Tahun
1999 Tentang HAM, terutama 156a KUHP yang selengkapnya berbunyi : "Di pidana
dengan pidanan penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja
dimuka umum mengeluarkan perasaaan atau melakukan perbuatan: a. yang
pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak
menganut agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan Yang Maha Esa."
Pasal 156a, dalam praktiknya memang menjadi semacam peluru yang
mengancam daripada melindungi warga negara. Ancaman itu terutama bila digunakan
oleh kekuatan yang anti demokrasi dan pluralisme, sehingga orang dengan mudah
menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama30.
Bentuk peran media ini berupa manivestasi-manivestasi dengan berbagai
variasi-variasi pemikiran bagi para pembaca terhadap wacana yang di perlukan untuk
membangun pluralisme dan demokrasi yang sudah terlampai oleh tindakan maupun
pemahaman yang tergejala doktrin konservatisme dan inkonstitutsionalisasi
kelembagaan negara. Sehingga dari tulisan-tulisan ini terdapat harapan akan adanya
30
Tim Wahid Institut, Buletin The Wahid institute, Agama dan Keyakinan dalam R-KUHP,
.(jakarta: Penerbit Wahid Institut No 2/ Juni 2006).h. 2
pemahaman-pemahaman dan perilaku-perilaku baru dalam masyarakat secara umum
maupun khusus.
d. Newsletter
Selain bulletin, Wahid Institut menerbitkan newsletter, kegiatan ini bertujuan
untuk membahas berbagai masalah dalam masyarakat yang berkaitan dengan program
Wahid Institut berupa wacana demokrasi, pluralisme maupun pemikiran Islam.
Ada dua Newsletter yang diterbitkan lembaga yaitu Nawala yang terbit empat
bulanan sebanuya enam edisi dengan tema seputara Legislasai,. Pluralisme dan
pilkada, nawala yang terbit terakhir menyoal FKUB yang "direkayasa" untuk
merukunkan umat beragama. Sedang majalah Warta terbit tiap bulan edisi 1 sampai 4
dari bulan Juni sampai desember. Termasuk yang menjadi tujuan penerbitan
newsletter ini adalah menyebarkan isu dan program pemantauan pluralisme terebut.
Penerbitan ini bersifat aksidental, dalam artian kegiatan ini merupakan upaya
untuk menanggapi beberapa hal-hal, isu-isu, maupun problem yang terjadi dan
berkembang di masyarakat atau hal yang berkaitan dengan program lembaga Wahid
Institut.
e. Indeks pelanggaran pluralisme
Indeks pelanggaran pluralisme ini diadakan berkenaan dengan berbagai
masalah-masalah yang terjadi di Indonesia dengan tujuan meminimalisir pengaruh
negatif berbagai isu-isu, memberikan kritik, pesan-pesan, maupun saran-saran
terhadap masyarakat serta ikut menawarkan solusi-solusi alternatif yang dapat
digunakan dalam rangka menanggapi berbagai perkembangan suatu kejadian berupa
kegiatan memberikan penjelasan secara langsung kepada khalayak semisal program
pemantauan plurlisme dan legislasi (pluralism and legislation watch program) yang
diselenggarakan Wahid Institut bekerjasama dengan the Asia Fondation dari Mei
2006 sampai Oktober 2007.
Dalam rangka pemanauan tersebut Wahid Institut dan mitra selama tahun
terakhir itu melakukan serangkaian kegiatan konsultasi publik di enam daerah, yakni
NAD, Jawa Timur, Makasar, DIY, Jawa Barat, dan Jakarta.
f. Penerbitan buku
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan wawasan masyarakat, Wahid Institut
ikut andil dalam perkembangan khazanah wacana di Indonesia. Hal tersebut
dilakukan dengan kegiatan dalam bentuk penerbitkan buku-buku ilmiah khususnya
dari karya tulis KH. Abdurrahman Wahid seperti buku yang berjudul Islam
Kosmopolitan yang tampaknya Gus Dur hendak mengatakan berbagai peristiwa
sosial, politik dan budaya yang menyisakan konflik harus didekati dengan kacamata
sosiologis dan pengertian yang bijak. Bukan malah memeposisikan agama sebagai
alternatif yang justru akan melemahkan fungsi agama dalam ranah sosial. Islam
haruslah tetap berperan dalam penegakan msalah-masalah kemanusiaan. Islam pernah
mencapai titik twertinggi dalam peradaban manusia, justru ketika ia memberikan
kebebasan kepada semua orang untuk berekspresi dan berkreasi. Hanya dengan cara
yang sama, menulis, berargumentasi ,orang boleh berbeda tapi tidak boleh dengan
kekerasan apalagi penindasan.
Buku karya lain Abdurrahman Wahid seperti buku Islam ku, Islam anda, dan
Islam kita yang mengulas berbagai dinamika sosial politik Indonesia dan dunia Islam
mutakhir juga penulis-penulis lain; seperti kala MUI jadi penjara yang
mengetengahkan kumpulan tokoh muslim Indonesia dalam menyikapi fatwa-fatwa
yang dikeluarkan MUI tentang haramnya pluralisme, liberalisme dan sekulerisme,
serta mendirikan penerbitan buku dari hasil kerjasama dengan penerbit lain seperti
Lib Forall, Blantika, LKiS, majalah GATRA, Asia Fondation, dll.
Contoh Kasus Aliran Sesat
Dalam beberapa tahun ini masyarakat Indonesia diramaikan dengan fenomena
fatwa penyesatan terhadap berbagai aliran dan kelompok terutama oleh MUI sebagai
organisasi yang mengatasnamakan diri sebagai lembaga atau representasi dari
masyarakat Indonesia, sehingga MUI baik pusat dan daerah muncul seolah-olah ingin
menunjukan dirinya sebagai kekuatan yang dianggap paling otoritatif untuk
menentukan sesat tidaknya sebuah aliran keagamaan. Hal ini di perparah dengan
keikutsertaan berbagai kelompok fundamentalis yang dengan mudah mengklaim sesat
terhadap berbagai kelompok ajaran Islam lain. Fatwa penyesatan dan pengharaman
terhadap beberapa aliran pemikiran ini menjadi polemik yang semakin ramai karena
berimbas pada terjadinya tindak anarkis di mana-mana dengan pembakaran masjid,
mushalla, rumah, mobil bahkan jatuhnya korban jiwa tanpa ada tindakan nyata dari
pemerintah atau aparat yang berwajib.
Tindakan anarkis yang marak, relatif lama dan selalu ramai di Indonesia
adalah penyesatan terhadap aliran Ahmadiyah
Pada 6 November 2007 MUI merilis sepuluh pedoman untuk mendeteksi
aliran sesat. Seseorang atau sekelompok orang akan dapat dengan mudah dianggap
sesat jika mengingkari salah satu poin tersebut. Sepuluh pedoman itu yaitu; pertama,
mengingkari salah satu rukun iman yag enam; kedua, meyakini dan atau mengingkari
akidah yag tidak sesuai dengan al-Quran dan sunnah; ketiga, meyakini turunnya
wahyu setelah al-Quran; keempat, mengingkari otentisistas dan atau kebenaran alQuran; kelima, melakukan penafsiran al-Quran yang tak berdasarkan kaidah-kaidah
tafsir; keenam, mengingkari kedudukan hadist nabi sebagai sumber ajaran Islam;
ketujuh, meghina, melecehkan dan atau merendahkanpara nabi dan rasul; kedelapan,
mengingkari nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; kesembilan, mengubah,
menambah atau mengurangi pokok-pokok ibadah yag telah di tetapkan oleh syariah,
seperti haji tidak baitullah, shalat wajib tidak lima waktu; kesepuluh, mengkafirkan
sesame muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan muslim karena bukan
kelompoknya31.
Seperti di kemukakan dalam Montly report on Religious Issus, pedoman ini
dihasilkan dalam Rapat Kerja Nasional MUI 2007, yang digelar di hotel Sari Pan
Pasific di Jln. Thamrin Jakarta selama tiga hari, mulai 4 sampai 6 November dan di
hadiri seluruh pengurus MUI, ketua dan sekretaris MUI provinsi se-Indonesia. Pada
pertmuan itu juga menghasilkan tigabelas rekomendasi terkait situasi terakhir.
Pihak MUI beralasan, 10 kriteria aliran sesat itu menjadi menjadi kebutuhan
mendesak bagi masyarakat, yang konsekwensinya MUI meminta tambahan anggaran
sebesar 13% untuk proyek penyesatan ini dari Rp 16 triliyun menjadi 18 triliyun
pertahun (Detik.Com, 3/11/2007) dan ketika membuka Rakernas MUI di istana
Negara, presiden dengan tegas menyatakan akan mengikuti dan mengamini langkah
MUI. Kapolripun berjanji akan menindak tegas penganut dan aktor intelektual aliran
sesat32.
Langkah MUI ini di khawatirkan akan memicu anarkis seperti kasus terhadap
Ahmadiyah yang telah terjadi belakangan, karena fakta yang terjadi setiap fatwa dan
pelarangan terhadap paham keagamaan selalu menimbulkan masalah baru. Sehingga
perlu di rumuskan kembali bagaimana menyelesaikan isu tersebut tanpa menimbulkan
31
Tim Wahid Institut, Monthly Report on Religious Issues. (Jakarta: Penerbit Wahid Institut,
edisi 4 Tahun 2007), Cet Ke-1, h. 2
32
Ibid…h. 1
hal-hal yang tidak di inginkan. Kasus Ahmadiyah merupakan contoh kasus yang
terjadi di Indonesia dengn persoalan yang relatif lama.
Jamaah Ahmadiyah merupakan gerakan Islam yang didirikan oleh Mirza
Ghulam Ahmad pada tahun 1889 M/1306 H. Kelahiran Ahmadiyah sendiri
beriorientasi pada pembaruan pemikiran yang bertujuan memperbaiki kehidupan
agama Islam yang mempersatukan ummat Islam
Menjelang sejarah lahir dan berdirinya Ahmadiyah, keadaan dunia diliputi
oleh berbagai masalah pelik yang hampir sulit dicarikan solusinya bahkan masyarakat
waktu itu sudah mulai melepaskan agama sebagai pondasi dan pegangan hidup.
Pada tahun 1914 M. akibat perbedaan prinsipil tentang kenabian Mirza Gulam
Ahmad aliran Ahmadiyah terpecah menjadi dua aliran; pertama, aliran qodian, yang
meyakini Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi sebagai penutup kenabian; kedua,
Ahmadiyah Lahore yaitu aliran Ahmadiyah yang meyakini bahwa pintu kenabian
telah tertutup dan Mirza Gulam Ahmad hanya sebagai mujadid, al Mahdi dan Masih
Masud sama seperti khalifah I.
Perlu kita catat bahwa Jamaah Ahmadiyah Indonesia sudah hadir di bumi
Nusantara ini sejak 82 tahun yang lalu. Mubalig Ahmadiyah pertama datang ke
Indonesia pada 1925 M. Kedatangan Ahmadiyah sendiri di dahului dengan perginya
beberapa orang Indonesia untuk belajar ke Qodian di India. Dikatakan oleh Hamka
masuknya informsi Ahmadiyah adalah melalui majalah-majalah yang datang ke
Indonesia seperti majalah Islamic Review edisi melayu yang terbit di Singapura.
Sejak awal kedatangan aliran ini telah timbul reaksi dari kalangan ulama Islam
sampai terjadi perdebatan dan polemik. Hal ini terjadi di Minangkabau dan Jakarta
yang dilakukan dengan adu argumentasi. Saat itu tidak ada tuntutan pelarangan, tidak
ada berita perusakan. Kedua belah pihak saling menghormati pendirian masingmasing.
Persoalan Ahmadiyah kembali menjadi hangat setelah Rabithah Alam Islami
memfatwakan bahwa Ahmadiyah nonmuslim, dan meminta negeri-negeri Islam
melakukan tindakan terhadap Ahmadiyah. Karena itu, pemerintah Arab Saudi,
misalnya, tidak memperkenankan penganut Ahmadiyah masuk ke tanah haram untuk
melaksanakan ibadah haji atau umrah.
Adapun lembaga legislatif Republik Islam Pakistan menerbitkan amendemen
konstitusi Pakistan dan menetapkan bahwa penganut paham Ahmadiyah minoritas
nonmuslim, namun Pemerintah Pakistan tidak melarang organisasi Ahmadiyah
bahkan, sesuai dengan konstitusi, menyediakan kursi dalam parlemen Pakistan selaku
kelompok minoritas.
Masalah yang timbul di Indonesia bukan pada fatwa sesat, karena fatwa
semacam itu bukan hal baru, bahkan muncul sejak awal kehadiran jemaah tersebut di
negeri kita. Fatwa sesat-menyesatkan adalah masalah yang terjadi di semua agama
sejak mula. Semua paham keagamaan mengklaim bahwa paham keagamaannyalah
yang benar dan yang lain salah, bahkan sesat. Sebab, kehadiran sebuah paham baru
justru karena menganggap paham-paham keagamaan yang lain tidak benar.
Seperti bagi semua aliran seperti halnya kaum salaf mereka akan mengatakan
bahwa yang dianut merekalah yang paling benar dan yang
lain salah atau
menyimpang
Muhammadiyah tidak akan muncul sekiranya mereka menganggap paham dan
praktek keagamaan yang dianut dan dilakukan oleh kaum Nahdliyin itu benar. Justru
karena kalangan Muhammadiyah dan organisasi sealiran dengannya menganggap
banyak praktek di kalangan Nahdliyin yang merupakan bidah, setiap bidah adalah
sesat dan setiap kesesatan dalam neraka, mereka mengajarkan dan melakukan praktek
keagamaan berbeda yang mereka anggap benar33.
Sehubungan dengan pelarangan dan penyesatan terhadap suatu paham
keagamaan atau kepercayaan, Johan Effendi menuliskan opini tentang bagaimana
Solusi terhadap Masalah Jamaah Ahmadiyah di Tempo, 12 januari 2008. opini
tersebut penulis kutip karena sesuai dengan sikap yang di berikan lembaga Wahid
Institut sesuai hasil wawancara yang di lakukan penulis dengan staff Pendidikan dan
Pemberdayaan M. Subhi.
"Menanggapi wacana pelarangan suatu paham keagamaan atau
kepercayaan saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang perlu
direnungkan, terutama oleh aparatur pemerintah. Pertama, kalau tindak
pelarangan itu didasarkan atas fatwa sebuah lembaga keagamaan, di manakah
tempat lembaga keagamaan itu dalam struktur kenegaraan Republik
Indonesia? Apakah ia berada dalam struktur kenegaraan atau bahkan berada di
atas struktur kenegaraan, sehingga setiap fatwa lembaga tersebut mengikat dan
karena itu harus ditaati dan dilaksanakan oleh negara dalam ini pemerintah
RI?
Kedua, kalau sebuah paham keagamaan dilarang, apakah hak sipil para
penganutnya sebagai warga negara RI hilang, terutama dalam kaitan
kebebasan berkeyakinan? Kalau para penganut paham tersebut berkukuh tetap
meyakini paham yang dilarang itu, apakah mereka akan dianggap sebagai
pelaku tindak kriminal dan karena itu harus dikenai sanksi hukum pidana?
Ketiga, kebebasan beragama tegas-tegas dijamin oleh konstitusi.
Begitu juga Piagam Hak Asasi Manusia dan dokumen-dokumen pelengkapnya
telah diratifikasi oleh negara kita. Dengan demikian, bukankah pelarangan dan
kriminalisasi penganutan suatu paham keagamaan merupakan sebuah
pelanggaran terhadap hak asasi manusia?
Mengingat hal-hal di atas, saya kira tak ada alternatif lain kecuali
melaksanakan ketentuan yang ditegaskan dalam konstitusi dan karena itu
tidaklah selayaknya negara ikut campur dalam fenomena sesat-menyesatkan
kemudian mengambil tindakan melanggar konstitusi dengan mengurangi,
apalagi menafikan, kebebasan berkeyakinan warga negara. Jaminan konstitusi
atas kebebasan berkeyakinan adalah jaminan bagi warga negara untuk
menganut keyakinannya, entah agama, entah paham keagamaan atau
kepercayaan secara tulus tanpa paksaan dari siapa pun dan golongan apa pun.
Apabila negara ikut campur atau memihak suatu kelompok dalam fenomena
kontroversi pemahaman agama, rasa aman dan berkeyakinan akan terganggu.
Penganutan suatu paham keagamaan atau kepercayaan, betapapun anehnya
33
Effendi, Johan, Solusi terhadap Masalah Jamaah Ahmadiyah, http ://
www.wahidinstitut.org/
paham tersebut, tidak boleh dikriminalisasikan selama tidak melanggar
ketertiban masyarakat dan kesopanan umum. Berbeda atau menyimpang dari
paham anutan mayoritas tidak bisa menjadi alasan pelarangan sebuah paham.
Kalau Tuhan Al-Khaliq sendiri memberikan kebebasan kepada manusia
ciptaan-Nya untuk beriman atau tidak kepada-Nya, bagaimana mungkin
sebuah negara bertindak melebihi Tuhan sendiri?"34.
Adapun, untuk merespon beberapa tindakan anarkis akibat penyesatan oleh
MUI dan menteri agama kepada Jamaah Ahmadiyah, maka Wahid Institut melakukan
beberapa hal, diantara kegiatan yang dilakukan lembaga yaitu mengelar pertemuan
tokoh lintas agama yang digelar dikantor Wahid Institut, tempatnya pada 16 Mei 2006
yang bertujuan mensomasi menteri agama soal kasus Ahmadiyah tersebut
Di tempat yang sama dengan peserta 80 orang diantaranya tokoh agama dan
pro demokrasi mengadakan jumpa pers yaitu pada tanggal 23 mei 2006 guna
mengecam tindakan kelompok preman berjubah yang kerap melakukan tindakan
kekerasan atas nama agama.
Juga mendiskusikan buku berjudul kala fatwa jadi penjara terbitan Wahid
Institut di gedung PBNU pada l6 Juni 2006. di mana buku tersebut berisi kumpulan
artikel tentang Ahmadiyah yang terpenjara karena fatwa MUI35.
34
Ibid…, http : www.wahidinstitut.org
35 35
Ibid…, Nawala, No. 3, h. 8
B. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT WAHID INSTITUT
DALAM MENGKAMPANYEKAN PEMIKIRAN ISLAM, PLURALISME
DAN DEMOKRASI
Pada dasarnya semua upaya memiliki berbagai macam faktor pendukung dan
penghambat sebagai konsekwensi alami sebuah tindakan, karenanya penulis akan
mencoba mengemukakan beberapa faktor pendukung dan penghambat yang
serkiranya dapat mewakili kedua faktor tersebut yang diantara ialah :
a. Faktor pendukung
Penulis mencoba melihat faktor pendukung kampanye lembaga ini dari dua
sisi yaitu: dari faktor internal, pertama adanya kepercayaan dan ketertarikan dari
masyarakat pada tokoh sentral lembaga yaitu Gus Dur, diakui oleh beberapa
pemerhati maupun peneliti seperti disebutkan dalam sebuah buku bahwa tokoh
tersebut
dapat di sebut sebagai symbol of system dalam masyarakat yang dapat
menyedot khalayak dalam berbagai hal tentangnya..
Tokoh kharismatik atau apapun namanya yang sering disebut sebagai kyai
nyleneh sekaligus kontrofersial ini sangat kental dalam kancah politik maupun agama
sehingga seolah-olah berita darinya tidak akan ada habisnya, hal tersebut terlihat bila
kita mengetahui biografi tentang sepak terjang bapak bangsa ini yang notabenenya
pernah menjabat ketua tanfidziah PBNU dan sebagai mantan orang nomor satu di
negara Indonesia. Apabila orang mendengar nama Gus Dur mereka akan faham dan
pada gilirannya bila di hubungkan dengan lembaga Wahid Institut akan berefek pada
sisi kelembagaan minimal membatu realisasi aktivitas program lembaga yang boleh
dikatakan sebagai pengemban dan agen realisasi pemikirannya.
Diantara efek faktor ini pertama, mudah diterimanya keberadaan Wahid
Institut sebagai sebuah organisasi sosial agama yang ditangani secara profesional
dalam menterjemahkan program maupun aktivitas-aktifitasnya dan efek kedua
mudahnya lembaga memperoleh simpati masyarakat yang ingin mengetahui dan
membantu program lembaga, hal ini terlihat dari kegiatan banyaknya sowan ke
berbagai pesantren dan kyai di berbagai daerah yang di jadikan bentuk program
regular lembaga, efek ini juga dapat dilihat dari banyaknya kegiatan ilmiah pada
berbagai seminar nasional serta diskusi keagamaan di berbagai kalangan masyarakat
mulai dari akademisi hingga santri maupun pelajar. Kekentalan dan keharmonisan
hubungan beberapa lembaga ini memperlihatkan simbiosis mutualism antar agen
masyarakat untuk membantu pelaksanaan program Wahid Institut.
Kedua adalah faktor sarana dan prasarana dan alat pendukung. Lembaga
mempunyai keuntungan secara fisik sehubungan berbagai aktivitasasnya berkenaan
dengan pembenahan dan pengembangan prasarana lembaga. Dalam beberapa hal, dari
adanya kedua faktor ini menjadikan kegiatan lebih efektif berupa dukungan cukupnya
media komunikasi, dukungan alat transportasi dan sumber daya yang berkualitas.
Meskipun tidak dapat dianggap sempurna, setidaknya dari faktor ini berbagai kegiatan
dan aktivitas program dapat dilaksanakan dengan baik
Faktor tersebut diatas merupakan nilai positif yang sangat membantu
pelaksanaan program lembaga. Singkronisasi situasi dengan program lembaga
mempengaruhi kinerja lembaga sebagai basis lembaga riset dan pengembangan
kebudayaan Islam yang tercermin dalam penyebaran gagasan Muslim progresif yang
mengedepankan toleransi dan saling pengertian di masyarakat dunia Islam dan barat,
serta membangun dialog diantara pemimpin agama-agama dan tokoh-tokoh politik di
dunia Islam dan barat.
Ketiga adalah faktor finansial, di lihat dari sisi ini lembaga memiliki
keuntungan dengan cukupnya alur kas lembaga, hal tersebut tidak lepas dari
manegement accounting yang baik terhadap input dan output yang harus di lakukan
dalam setiap kegiatan. Baiknya situasi ini
sehingga tidak mengganggu aktivitas
bahkan menjadi faktor pendukung yang cukup urgen (meskipun terdapat beberapa
kekurangan dalam pemenuhan ekonomis pada berbagai aktivitas, penulis melihat ini
sebagai pendukung karena baiknya alur kas dan manjemen keuangan yang telah
penulis sebutkan diatas).
Sedang dari faktor eksternal yang mendukung operasional lembaga
diantaranya pertama, kondisi sosial budaya baik formal maupun non formal yang
mendukung adanya lembaga sejenis. Dengan UUD Negara yang berpancasila, berasas
demokrasi dan berketuhanan yang maha esa sebuah lembaga seperti Wahid Institut
dapat lebih leluasa dalam menjalankan aktivitasnya.
Lembaga Wahid Institut sebagai lembaga sosial agama yang mencoba
membangun pemikiran moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme
agama-agama, multikulturlisme dan toleransi dikalangan kaum muslim Indonesia dan
seluruh dunia mendapatkan tempat dalam sosiokultur keislaman sedemikian tinggi
sehingga memungkinkan lembaga seperti wahid Institut mengembangkan kreatifitas
kerjanya dan hal ini berdampak positif bagi kelangsungan program lembaga baik
secara moril maupun materil.
Keberadaan situasi seperti diatas memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap keberlangsungan suksesnya program dan merupakan bagian kendala
penanganan lembaga kepada sebagian orang yang masih belum menyadari isu-isu
yang menjadi program Wahid Institut, hal tersebut boleh jadi karena kurangnya
pemahaman atas pluralisme dan pemikiran Islam yang di tuangkan dalam keragaman
masyarakat atas berbagai variasi budaya dan agama (pluralitas).
Faktor kedua berupa sistem jaringan komunikasi yang saling mendukung.
jaringan komunikasi menjadi hal yang penting bagi lembaga manakala lembaga ingin
mengembangkan programnya, disadari dari hal demikian Wahid Institut membangun
jaringan komunikasi dengan berbagai kalangan baik lembaga formal maupun non
formal dan terbukti dari demikian ini menjadi pendukung yang tidak sedikit nilainya
terhadap perjuangan lembaga selanjutnya..
Secara non formal salah satu dukungan adalah dari pesantren dan kiyai,
dukungan ini menjadi salah satu pondasi kekuatan Wahid Institut yang lahir dari visi
dan misi tokoh PBNU, jaringan komunikasi antara lembaga dengan pesantren dan
kiyai yang dibangun ini merupakan media utama sebagai tempat bernaung dan
berkonsultasi. Sistem komunikasi yang intensif antara lembaga dengan pesantren
maupun kiyai memberikan nilai plus dalam pengembangan misi lembaga, walaupun
dengan perjuangan yang berwawasan pluralisme demokratis yang oleh sebagian
masyarakat masih sulit diterima namun dalam operasiolisasi program masih lekat
dasar religiusitasnya dengan kaidah-kaidah fikih ala NU yang dikenal toleran dan
inklusif.
Selain membangun jaringan komunikasi dengan kaum nahdliyin lembaga
akrab dengan dewan gereja Indonesia. Dari berbagai kerjasama dalam berbagai hal,
nilai lebih dari kerjasama ini terutama terdapat pada program pluralisme. Masyarakat
melihat, dari kerjasaama ini aplikasi terhadap program benar-benar kompleks dan
berefek pada dukungan yang lebih luas pada masyarakat Indonesia, bukan lagi dari
satu agama saja, namun dari berbagai agama setidaknya anggapan tersebut keluar dari
kaum kristiani dan para agamawan dan cendikiawan muslim yang berhaluan
nasionalis, pluralis, liberalis dan akademisi yang berwawasan inklusif
b. Faktor penghambat
Faktor penghambat bagi Wahid Institut dalam mengampanyekan programnya
pun dapat dilihat dari dua sisi yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Diantara faktor
intern tersebut adalah; pertama, masih kurangnya sosialisasi keberadaan lembaga
Wahid Institut sendiri. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan keberadaan lembaga
berakibat pada kurang maksimalnya realisasi program yang sedang di jalankan
mengingat program pluralisme, demokrasi dan pemikiran islam merupakan problem
sosial, dalam artian masalah ini bukanlah tanggung jawab seseorang atau sekelompok
orang, lembaga atau oleh satu komunitas saja namun perlu difahami, disadari dan
dilakukan bersama seluruh komponen masyarakat yang ada.
Usaha yang dilakukan lembaga dalam sosialisai atas lembaga diantaranya
dengan melakukan louncing Wahid Institut di hotel season kuningan Jakarta yang
mengundang tokoh dalam maupun luar negeri, meluncurkan website yaitu www.
www.wahidinstitut.org dan www.gudur.net, juga melakukan event-event diskusi,
seminar dan penggunaan media cetak seperti menerbitkan bulletin maupun suplemen
sehingga dari adanya media-media ini akan bertambah pengetahuan masyarakat
tentang keberadaan Wahid Institut.
Usaha yang lain yang dilakukan dalam mensosialisasikan lembaga ini
sebenarnya telah terbantu atas keberadaan Gus Dur sendiri minimal apabila ada
seseorang yang ingin lebih jauh mengetahui tentang tokoh ini akan mengetahui
keberadaan Wahid Institut seperti halnya posisi penulis sekarang ini, untuk
mengetahui bagaimana wahid Institut maka penulis harus mengetahui bagaimana Gus
Dur, begitu pula sebaliknya siapa yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Gus Dur
maka Perlu menggalinya dari Wahid Institut karena pada lembaga inilah peneliti
maupun siapa yang ingin mengetahui Gus Dur mendapatkan data dan berbagai
kegiatannya.
Kedua adalah faktor penerimaan masyarakat terhadap lembaga berkaitan
dengan programnya yang mengedepankan pemikiran Islam, pluralisme dan
demokrasi. Hal ini menjadi penghambat karena mengakibatkan kurangnya respon
terhadap apa yang akan menjadi realisasi semua program Wahid Institut sendiri.
Faktor ini bisa dilihat dari dua hal :
1. Kekontroversialan tokoh dan pemikiran Gus Dur yang kadang-kadang
dianggap sering nggampangin masalah, membuat hal-hal nyleneh dan ngawur.
Hal ini tentunya berimbas pada sinisme masyarakat yang kurang setuju
terhadap pemikiran dan tindakan tokoh ini dengan begitu mengganggu
stabilitas program kerja lembaga.
2. Belum diterimanya secara penuh program yang diusung dalam lembaga
seperti pluralisme dan pemikiran Islam bahkan asas demokrasi negara oleh
sebagian kelompok masyarakat yang menginginkan ideologi lain. Hal ini
menjadi kendala tersendiri mengingat pemahaman masyarakat terhadap
beberapa program tersebut masih sangat kurang bahkan dari hal tersebut ada
sebagian masyarakat cenderung menolak dan melawannya.
C. ANALISA
1. Analisa Peran Wahid Institut dalam Mengkampanyekan Pemikiran
Islam
Program kampanye terhadap pemikiran Islam yang demokrat dirancang agar
dapat memiliki dampak positif terhadap kelangsungan berbangsa. Dari program ini
masyarakat diajak untuk bersama mengetahui dan memahami pemikiran-pemikiran
Islam yang
merepresentasikan Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas
Islam yang selalu mencirikan dakwah menggunakan metode hikmah dan contoh yang
baik. Di negara yang berbhineka tunggal ika dan berasas Pancasila, negara menjamin
keragaman suku ras dan agama terhadap ajaran keyakinannya masing-masing
bersama catatan akan menghormati agama lain. Dari programnya lembaga mencoba
memperjuangkan komitmen Gus Dur akan pemikiran moderat dalam Islam yang
mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan
toleransi di Indonesia maupun di seluruh dunia.
Apabila dilihat lebih lanjut apa yang dilakukan Wahid Institut merupakan
upaya sebuah lembaga yang mencoba mengakses, membuka wacana-wacana dan
memberikan alternatif yang bersesuaian dengan jiwa pancasila dan demokrasi pada
pemikiran Islam yang dianggap masih kurang diterima dalam masyarakat. Pemikiran
yang tersebut diatas kadang terkesan tabu bahkan masih dalam pro kontra sehingga
perlu kiranya melakukan tindakan-tindakan nyata agar pemahaman sosial dari
pemikiran tersebut dikenal dan disadari, karena dalam pemikiran tersebut kadang
masih di lihat sepotong-sepotong, dalam artian masyarakat dihadapkan pada sebuah
pemikiran ditingkat penggenalan dan tidak diberikan wacana alternatif, sehingga
masyarakat seolah hanya disuguhkan satu jalan di jalan bebas.
Dalam kerangka seperti inilah yang coba di berikan oleh Wahid Institut yaitu
membangun kesadaran akan adanya hak manusia dalam wacana keagamaan untuk
berfikir dan menemukan nilai-nilai positif dalam masyarakat meskipun secara tidak
langsung kerangka ini masih harus di dilihat dalam bingakai madzhab mayoritas
berupa pemikiran ke NU an aliran Sunni dari Asy 'ariyah sehingga bersesuaian
dengan jiwa agama bangsa.
Tantangan besar bagi agama dewasa ini adalah globalisasi, karena berperan
dalam peningkatan jumlah orang miskin di dunia. Dalam Islam kemiskinan itu bisa
menghantarkan seseorang pada sikap tidak lagi dekat dengan agama. Untuk itu
Direktur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid menyampaikan penghargaan
yang tinggi terhadap upaya membangun dialog antar agama, iman, dan kepercayaan.
"Di harapkan dialog semacam itu tidak hanya berhenti pada pencarian
titik temu dalam hal pemikiran dan ajaran, "tetapi berangkat Dari ajaran
agama masing-masing dan harus mencoba memecahkn persoalan kongkrit
bangsa ini, Ke depan perlu ada upaya-upaya yang lebih sistematis dan
kongkrit terhadap adanya inisiatif semacam ini akan ada jawaban karena yang
paling utama bagi menemukan solusi ialah adanya niatan untuk bergerak
kearah hal ini", tuturnya36.
Pebedaan merupakan sunatullah yang tidak akan bisa di rubah sampai
kapanpun sepanjang zaman dunia ada. Kemajuan umat maupun rakyat sekarang ini
adalah apabila setiap orang mampu untuk melihat perbedaan sebagai keniscayaan
sehingga di sadari bahwa perbedaan bukanlah masalah sebenarnya namun bagaimana
mengelola perbedaan itu sehingga pasal itu bukan lagi di pandang sebagai aspek
mutlak yang negatif bahkan bagaimana dapat menjadikannya sesuatu yang lebih
bermanfaat bagi orang lain.
36
Tim Wahid Institut, Warta The Wahid Institut, Seeding Plural and Peaceful Islam.(jakarta:
Penerbit Wahid Institut, No. 4/ Th 1/ November-Desember 2007), h.5.
Sebuah teladan bagus dan merupakan kemajuan yang cukup bagus dalam
bingkai proses pluralisme seperti dilakukan oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama
(PCNU) Bandung, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kota Bandung dan
para tokoh agama lainnya yaitu penandatanganan Deklarasi Sancang di bandung, 10
November 2007.
Dinamakan deklarasi sancang karena komitmen umat beragama di bandung
untuk menjaga tali persaudaraan. Deklarasi sancang ini berisi :
1. Kami umat beragama kota Bandung adalah bagian dari bangsa Indonesia yang
senantiasa menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan.
2. Kami umat beragama kota Bandung menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
3. Kami umat beragama kota Bandung selalu berjuang untuk tegaknya hukum
dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kerukunan hidup demi
mencapai kebahagiaan bersama.
4. Kami umat beragama kota Bandung selalu mengembangkan sikap toleransi,
tenggang rasa dan saling menghormati.
5. Kami umat beragama kota Bandung selalu bekerjasama untuk berperan dalam
mengatasi masalah-masalah sosial dan lingkungan37.
Menurut ketua tanfidziah PCNU kota Bandung KH. Maftuh Khalil terinspirasi
oleh Piagam Madinah yang dibuat oleh Rasulallah Muhammad saw ketika datang ke
Madinah38.
"Menghadapi realitas keragaman suku bangsa, agama dan keyakinan,
Rasulallah membuat deklarasi, yang disebut Shahifah Madinah. Inti Shahifah
madinah menyatakan nahnu ummatun wahidah, kami satu bangsa, maka harus
membangun kerjasama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada". Jelas
Maftuh.
Menutut kyai Maftuh, Qs.Ali Imran: 64 menamakan pemeluk agama luar
Islam sebagai ahlul kitab.
37
38
Ibid, Warta No 4, h. 2
Ibid…, h. 2
"Penghargaan seperti ini yang dijadikan inspirasi untuk direalisasikan
dengan mencari titik-titik persamaan sepanjang sama-sama umat beriman yang
mengesakan tuhan. Lebih dari itu niatan ini adalah untuk membumikan
kerukunan umat beragama,"tambah kyai Maftuh39.
Adapun media yang di gunakan oleh lembaga dalam program ini diantaranya
berupa penerbitan buku-buku karangan Abdurrahman Wahid dan penulis lain,
penerbitan buletin setiap bulan, pengiriman opini Gus Dur pada berbagai media
nasional maupun Internasional, suplemen-suplemen di majalah seperti GATRA dan
sebagainya, pengadaan seminar-seminar terhadap isu-isu dalam masyarakat maupun
diskusi ilmiah yang diadakan di seluruh wilayah Indonesia dan penggunaan media
pers maupun internet untuk sosialisasi program pemikiran-pemikiran Islam yang
sesuai dengan program.
Berkaitan dengan diadakannya kegiatan ini Wahid Institut berharap agar
masyarakat lebih mengetahui perkembangan wacana yang ada sehingga dampak
negatifnya dapat di minimalisir, begitu juga apabila terdapat dampak yang positif
dapat lebih di ketahui dan dipahami lebih lanjut.
2. Analisa Peran Wahid Institut dalam Mengkampanyekan Pluralisme.
Ide pluralisme yang diklaim berasal dari dunia barat sering masih dianggap
tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami, santernya anggapan ini berasal dari orang-orang
atau terutama lembaga agama berhaluan fundamentalis konservatif dengan
penekananan di terapkannya syariat Islam sebagaimana doktrin keagamaan mereka.
padahal boleh jadi hal tersebut malah akan menutup ruang gerak bagi pemikiran
keagamaan yang lain
Kurangnya toleransi masyarakat maupun pemahaman atas penerimaan
kemajukan penafsiran keagamaan seringakali menimbulkan kesenjangan antar
39
Ibid, Warta, No. 4, h. 2
kelompok lapisan masyarakat dan berdampak pada terganggunya harmonisasi yang
telah ada, terlebih gejala kekerasan bahkan sering mengemuka dalam kancah publik
atas nama agama di Indonesia pada dewasa-dewasa ini yang seharusnya dapat
dihindari. Berbagai penangganan atas persoalan kekerasan dan vonis-vonis tertentu
justru akan menyudutkan Islam sendiri40. dan hal demikian oleh Wahid Institut
dianggap kurang mencerminkan nilai budaya keagamaan negara Indonesia.
Kepentingan Wahid Institut adalah untuk mempersiapkan masyarakat dalam
memasuki era penuh keragaman, dan pluralitas. Pluralitas merupakan sebuah idiom
atau istilah yang yang bisa dipahami berbeda-beda. Sebagaimana MUI yang
mengharamkan pluralisme sebagai bahwa semua agama adalah benar. Hal demikian
adalah kekeliruan dari pemahaman MUI akan pluralisme secara salah secara definitif.
Pluralisme bukanlah menyamakan semua agama atau menganggap semua
agama sama atau benar, namun pluralisme adalah menghormati orang lain karena
perbedaan keyakinan dan agama, atau sepakat untuk berbeda. Karena bila kita tidak
melakukan hal demikian berarti Islam di Amerika maupun Eropa dan negara-negara
non-Islam itu akan dibiarkan untuk tidak dihormati.
Muslim harus bisa menghormati orang lain agar muslim di manapun dapat di
hormati, sebagaimana menghormati tetangga yang non-Islam, berkulit hitam atau
putih supaya kita juga di hormati, yang dalam prinsip HAM namanya prinsip
resiprositas, sedang dalam al Qur'an jelas "Li ta'arufu. Inna akromakum 'inda Allah
atqa kum".
Jadi persisnya semua agama adalah baik dan benar menurut pemeluknya dan
siapapun harus menghormati keyakinan masing-masing. bukan menganggap bahwa
semua benar dan sama. Hal ini persis dengan tuntutan dalil inna diina 'inda Allah al40
Tim Wahid Institut, The Wahid Institut, Seeding Plural and Peaceful Islam.
(Jakarta:Penerbit Wahid Institut, Tahun 2006), Cet Ke-1, h. 3
Islam. Bahwa bagi kita orang muslim, Islam adalah agama yang paling benar dan
terbaik bagi kita tetapi tidak berarti kita boleh memaksakan Islam sebagai agama
kepada mereka yang beragama lain.
Seperti juga tugas Rasulallah saw yang tidak diwajibkan untuk memaksakan
mengislamkan orang lain kalau mereka tidak mau, sebagaimana yang telah digariskan
Allah, "wama arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin". Bagaimana kita sebagai orang
Islam bisa menjadi payung besar pengayom di muka bumi41.
Seperti yang di ungkapkan direktur Wahid Institut Yenny Zannuba Wahid
dalam ulang tahun ke tiga lembaga tersebut pada tahun 2005 bahwa:
"Kecenderungan kekerasan dan konservatisme tidak semakin
berkurang melainkan semakin meningakat dari tahun ke tahun, (sehingga)
kelompok moderat perlu bersatu lebih erat dan berteriak lebih keras dan
Wahid Institut akan berusaha untuk terus melibatkan diri dalam isu tersebut
bersama dengan yang lain demi terwujudnya dunia yang damai, harmonis dan
toleran yang diinspirasi oleh keyakinan agama Islam"42.
Pernyataan
direktur
lembaga
Wahid
Institut
diatas
mengisyaratkan
implementasi dari komitmen-komitmen yang hendak di wujudkan oleh lembaga,
karena meskipun situasi demokrasi di Indonesia semakin menggembirakan, tetapi
tidak dapat dipungkiri dalam kenyataan fenomena kekerasan terus berlanjut,
intoleransi dan ketidakadilan belum berkurang.
Dari tantangan pluralisme diatas Wahid Institut berusaha tidak putus asa
untuk terus melewati rintangan dengan melakukan berbagai advokasi dan penguatan
masyarakat akar rumput, mengadakan halaqah, workshop dan seminar rancangan
kitab undang-undang hukum pidana tentang misi dan pasal-pasal penodaan agama,
mengadakan group discussion tentang pluralisme maupun melakukan indeks
41
Ibid.Warta, Gus Yusuf dan A. Suaedy, Pesantren Harus Menjadi Bagian Bagian Proses
Demokrsi, edisi Juni-Juli 2007, h. 4-5.
42
Ibid, seeding Plural….., h. 1
pelanggaran pluralisme di Indonesia. Dari agenda dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan
tersebut di harapkan akan mengurangi pro kontra terhadap pluralisme43.
3. Analisa Peran Wahid Institut dalam Mengampanyekan Demokrasi di
Indonesia.
Infrastruktur Demokrasi
Dalam kaitan ini, yang menjadi obyek pembicaraan hanya infrastrukturnya
bukan suprastrukturnya. Pasalnya sebagai sebuah sistem, infrastruktur adalah fondasi
bagi tegaknya demokrasi. Maksimal dan tidaknya demokrasi mau tidak mau harus
berurusan dengan infrastruktur tersebut.
Adapun yang termasuk infrastruktur adalah pertama, kedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat adalah inti dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Tanpa
kedaulatan atau kedaulatan di kurangi, berarti demokrasi telah cacat.
Kedua, kepastian dan keadilan hukum. Alasannya sangat sederhana.sebagai
negara hukum (rule of law), hukum adalah panglima bagi penyelenggaraan bernegara.
Tanpa hukum, penyelenggaraan kenegaraan dapat dilaksanakan secara semena-mena
menurut selera penguasa, dan pada gilirannya yang rugi adalah rakyat lagi.
Ketiga, budaya demokrasi. Budaya demokrasi menempati posisi yang strategis
bagi infrastruktur demokrasi yang normal tentunya disamping kedaulatan rakyat dan
kepastian keadilan hukum. 44.
Kehidupan demokrasi saat ini masih dalam perjuangan yang sangat berat
setidaknya hal ini di katakan oleh Yenny Zannuba Wahid dalam sambutan ulang
tahun Wahid Institut yang ketiga. Kehidupan demokrasi yang lakukan oleh Indonesia
ini telah mengalami perkembangan pasca reformasi. Kungkungan demokrasi seakan
43
Ibid, seeding Plural….., h. 1
44
Azwir Dainy Tara, Peran Pengusaha Dalam Membangun Demokrasi, (Jakarta: Nuansa
Madani, 2002), cet 1, h. 114.
pudar dari belenggunya bahkan proses dramatis ini begitu semaraknya terutama dalam
praktek politik praktis dengan munculnya puluhan partai baru yang pada masa orde
baru hanya ada tiga partai.
Perkembangan demokrasi di Indonesia berjalan sangat cepat meninggalkan
negara-negara lain. Sebagai bangsa yang memiliki wilayah geografis cukup luas dan
penduduk yang cukup banyak dengan mayoritas muslim membuat dunia internasional
mengakui keberhasilan demokrasi Indonesia. Penilaian tersebut dapat dibilang masih
dini, walaupun demikian kacamata dunia Internasional melihat terutama pada
perjalanan demokrasi pasca reformasi mereka cenderung mengangakat citra Indonesia
menjadi negara demokrasi terbesar setelah Amerika Serikat45.
Proses perjuangan demokrasi hingga seperti saat ini tidaklah mudah dan masih
perlu pembenahan-pembenahan lebih lanjut untuk menyempurnakan proses tersebut,
penilaian umum terhadap asas demokrasi tersebut perlu di pertahankan, dan
masyarakat perlu terus menambah pemahaman terhadap kesadaran demokrasi.
Dengan upaya tersebut diharapkan akan tercipta kehidupan berbangsa yang
lebih kondusif dalam kesetabilan proses demokrasi di tingkat legislatif, eksekutif
maupun yudikatif termasuk rakyat biasa sebagai tolak ukur dari asas tersebut.
Adapun peran Wahid Institut dalam kaitannya dengan demokrasi mencoba
mengawal proses demokrasi sebagaimana Gus Dur, sebagai bapak demokrasi
mencoba menegakan demokrasi tanpa melihat latar belakang ras, suku, agama
maupun latar belakang budayanya.
Dalam kaitannya penegakan kedaulatan rakyat, Wahid Institut dapat
berpartisipasi dalam menyuarakan suara-suara masyarakat terhadap setiap kondisi
yang terjadi sehingga lembaga mencoba mengingatkan semua pihak terutama
45
Ibid, Seeding ……,Tahun 2007, Cet Ke-1, h. 3
pemerintah dan pengambil kebijakan bahwa aspirasi rakyat merupakan opini
kedaulatan yang harus di tindak lanjuti.
Hal inipun dapat kita lihat dalam tataran ideologis yaitu hak warga negara
dalam berkeyakinan dan menjalankan aqidah sesuai dengan apa yang di yakininya.
Hal ini tidak dapat di tolak oleh siapapun karena Indonesia memiliki hukum yang
cukup untuk hal ini terutama pancasila butir pertama, dan apabila ada orang atau
lembaga yang ingin memaksakan keyakinan mayoritas sebagai sebuah aqidah yang
dapat di jalankan berarti akan menodai jiwa pancasila dan bertentangan dengan hak
asasi manusia.
Padahal perlu dingat bahwa para pencetus ideologi negara adalah para
negarawan dan para ulama. Sehingga apabila mereka ingin melakukan tindak-tindak
diskriminatif diatas, mereka akan mencederai ideologi negara dan menghianati para
fathers founding kemerdekaan yaitu yang dengan sangat bijaksana mengedepankan
toleransi dalam kesadaran pluralitas yang tinggi terhadap realitas yang ada dan harus
dihadapi.
Di kisahkan berkenaan dengan mantapnya para pendahulu bangsa membela
ideologi negara, KH. Rd. Imam Sonhaji dengan suara tercekat, mengisahkan pendiri
NU Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari yang dengan tegas membela Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia. Mama Sonhaji-panggilan akrab KH. Imam Sonhajimenuturkan suasana deklarasi negara berdasar Pancasila di Jogjakarta yang dihadiri
ribuan tokoh agama bagi seluruh nusantara. Dan saat forum terbelah dalam dua
pendirian antara Islam dan bukan Islam sebagai dasar negara.
Mendengar ketegangan itu, Hadratusyaikh yang hadir dalam acara itu pun naik
ke mimbar, walau keadaan sakit dan tertatih-tatih dipapah para pembantunya. Di
mimbar Hadratusyaikh berseru, untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah dar'ul mafasid muqoddam ala jalbi al mashalih (menolak
kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan). Maka dia setuju Pancasila
sebagai dasar negara.
"Beliau ingin NKRI utuh. Sebab jika dipaksakan negara Islam, maka
yang terjadi bukan negara kesatuan, tapi negara perseteruan, jelas Mama
Sonhaji"46.
Sejatinya setiap negara yang memiliki bermacam perbedaan harus menerima
setiap perbedaan itu sendiri dan perlunya bertindak dengan penuh kedewasaan dalam
menyikapi setiap masalah yang akan timbul di kemudian hari sehingga tidak
menganggu proses kemasyarakatan yang ada.
Masalah yang sangat krusial dalam demokratisasi adalah penegakan hukum.
Hal ini sangatlah rasional, karena tanpa adanya kepastian bagi penegakan dan
tindakan hukum yang adil, masyarakat akan kehilangan haknya sebagai warga negara
yang harus dilindungi yang menjadi tanggungjawab dari negara.
Pada kasus aliran Ahmadiyah misalnya. Aliran ini di vonis dengan fatwa
sebagai aliran sesat oleh MUI, hal ini merupakan diskriminasi terhadap keyakinan
karena perbedaan penafsiran yang kemudian dimasukan dalam kasus penodaan
terhadap agama, sehingga dampak dari fatwa ini terjadi teror di mana-mana terhadap
penganut aliran tersebut, serta perusakan fasilitas-fasilitas yang di milikinya, hal ini
merupakan tindak kriminalitas terhadap penduduk warga negara serta jelas melanggar
hak asasi manusia yang seharusnya perlu ada peran dari pemerintah, dalam hal ini
adalah aparat berwajib untuk melindungi setiap warga negara.
Dan juga seperti tentang jaminan kebebasan agama, pasal-pasal penodaan
agama dalam KUHP dan praktik peradilan yang terjadi di Indonesia. Dari peristiwa
46
Ibid, Warta, No. 4, h. 1 & 2
ini terdapat catatan yang memberikan persepektif kepada pembaca bahwa
pelanggararan peradilan perundangan tentang penodaan agama sangat di tentukan
oleh pembacaan penguasa, di satu sisi ada upaya merinci jenis tindak pidana itu agar
terhindar dari pasal karet, namun disisi lain tetap saja memiliki potensi kesewenangwenangan.
Salah satu analisis atas berbagai kasus penodaan agama oleh lembaga dalam
berbagai kasus berupa adanya kecenderungan, orang yang diadili dengan tuduhan
penodaan agama sulit untuk di vonis bebas. Namun jelas belakangan ada fenomena
lain tentang kasus yang terjadi pada Muhammad Abdul Rahman sebagai orang ke-2
komunitas Lia Eden dan Teguh Santoso, pemimpin redaksi media rakyat merdeka
online yang menayangkan kartun Jyllands Posten yang dianggap menghina Nabi di
putus bebas
Hal seperti ini setidaknya terjadi karena enam hal; pertama, kasus-kasus
penodaan agama senantiasa terkait dengan agama apa, siapa yang dinodai; kedua,
suara mainstream seringkali diambil sebagai referensi kebenaran; ketiga, kasus
peradilan agama selalu melibatkan massa; keempat, bila seseorang telah masuk dalam
proses peradilan sulit untuk bebas, apalagi jika tekanan kuat seperti pada kasus
Yusman Roy yang di tuduh melakukan penodaan agama karena melakukan praktek
shalat dwi bahasa; kelima, khusus kasus Lia Eden, perlu di jawab agama apa yang
dinodai?; keenam, kasus-kasus yang telah di vonis sebagai penodaan agama hampir
seluruhnya merupakan wilayah perbedaan tafsir atas agama47.
Tindak-kekerasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat merupakan
tindakan pelanggaran hukum baik itu atas nama agama atau faktor-faktor yang lain.
Ukuran yang yang dapat dipakai untuk menilai kriminalisasi dan dekrimininalisasi
47
Ibid , Buletin, No. 5
secara doktrinal harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut: a. Kriminalisasi tidak
boleh berkesan menimbulkan "overcriminalization" yang masuk kategori " the misues
of criminal sanction"; b. Kriminalisasi harus tidak bersifat "ad hoc"; c. Kriminalisasi
harus mengandung unsur korban baik secara aktual maupun potensial; d.
Kriminalisasi harus mempertimbangkan analisa biaya dan hasil (cost benefit
principle); e. Kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support); f.
Kriminalisasinharus menghasilkan peraturan yang "enforceable". g. Kriminalisasi
harus bersifat subsosialitet (mengakibatkan bahaya bagi masyarakat meskipun kecil
sekali); h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan
pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat
penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.48
Di Indonesia,
kesadaran akan nilai-nilai penegakan hukum dan tingkat
kriminalitas terhadap keyakinan masih sangat tinggi, hal inipun masih bertambah
panjang bila kita melihat fenomena belakangan seperti kasus shalat dwi bahasa M.
Yusman Roy, kasus komunitas Lia Eden, formalisasi agama di Maros, dan lain
sebagainya.
Disadari Penegakan keadilaan tidak akan terjadi dengan sendirinya tanpa kerja
keras dari semua pihak baik dari pemerintah, dewan rakyat, aparat maupun lembaga
yudikatif dan rakyat sendiri, Karena tanpa kerjasama dari berbagai elemen negara ini
demokrasi tidak akan terasa dan vakum sehingga simbol-simbolnya hanya ada dalam
pelajaran sekolah, perpustakaan, seminar-seminar dan diskusi saja tanpa ada bukti
nyata bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Peran kedua yang dapat dilakukan Wahid Institut bersama dengan pihak,
lembaga, instansi dan yang lain yaitu mendorong terlaksananya negara demokratis
48
Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP, (Jakarta:
Yayasan Tifa dan The Wahid Institut, 2007), Cet Ke-1,h. 70.
yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Meskipun tidak mudah namun hal
ini akan memberikan efek yang cukup urgen dalam perkembangan demokrasi
selanjutnya, demikian ini karena, sebagai lembaga potensi tersebut cukup besar
sebagaimana organisasi yang di ketuai Gus Dur dalam membela demokrasi yaitu
Fordem (forum demokrasi).
Adapun dalam dorongan suksesnya demokrasi perlu diupayakan oleh Wahid
Institut, rakyat dan negara (pemerintah) secara bersama-sama yaitu terhadap beberapa
indikator; pertama; dibentuknya kekuatan politik oleh rakyat dan berfungsi sebagai
instrument yang menyuarakan aspirasi mereka. Kekuatan ini biasannya dalam bentuk
partai
(political
party),
kelompok
kepentingan
(interst
group).
Kedua;
diselenggarakannya pemilu secara berkala dan demokratis sebagi simbol adanya
posisi tawar menawar (bargaining position) dan posisi kekuatanyang sejajar (equality
of acced) antara pemerintah dan rakyat. Ketiga; ada kekuatan mayoritas yang
memerintah, namun tetap mengharagai kelompok-kelompok minoritas (majority rule
with respect tominority rights). Keempat; ada mekanisme keseimbangan (check and
balance) antar kekuatan-kekuatan politik, yang tercermin dalam hubungan tata kerja
lembaga negara. Kelima; ada ruang dan wacana publik yang tidak diintervensi oleh
pemerintah (unintervented) (Riswanda Imawan: 2000)49.
Selain itu dalam tataran individual, juga harus dipenuhi beberapa indikator
berikut, pertama; positive freedom. Setiap orang bebas nenentukan sikap dan
pilihannya tanpa diintervensi oleh kekuatan di luar dirinya. Prakteknya, ada jaminan
perlindungan hukum atas pilihan tersebut dan pilihan ini diakui sebagai hak asasinya.
Kedua; adanya keseimbangan antara rakyat sebgai subordinate dapat mempengaruhi
negara sebagai superior (Riswanda Imawan: 2000)
49
Azwir Dainy Tara, Peran Pengusaha Dalam Membangun Demokrasi, (Jakarta: Nuansa
Madani, 2002), cet 1, h. 114
Peran ketiga yang dapat diambil lembaga yaitu ikut serta mengontrol aturan
main (the rules of games) proses demokrasi itu sendiri. Dalam kerangka demokrasi,
aturan main juga sangat mutlak di butuhkan. Tanpa aturan main yang jelas, demokrasi
yang berinti dasar kebebasan menyuarakan pendapat dan kebebasan berkehendak
akan menimbulkan suatu petaka tersendiri jika tidak ada pranata yang jelas.
Kebebasan
menyuarakan
pendapat
yang
berlebihan
misalnya,
dapat
berimplikasi negatif dengan adanya motivasi yang buruk dibalik penyuaraan pendapat
tersebut, boleh jadi karena ada dendam dimasa lalu, kebencian terhadap orang yang
dikritik atau sekedar eforia politik. Harus diingat apa yang kita suarakan belum tentu
di terima sebagai kebenaran bagi orang lain. Begitu juga dalam kebebasan
berkehendak, apa yang kita tempuh sedikit banyak akan bersentuhan atau malahan
akan melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu aturan main adalah jawabannya.
Adapun yang layak dan sangat mungkin dijadikan sebagai aturan main adalah
penegakan hukum (law enforcement). Hukum yang dimaksud tentunya hukum yang
menjunjung prinsip-prinsip umum sebagai aturan hukum. Meminjam kategori R. S.
Downie dalam bukunya, Roles and Voles: An Introduction to Social Ethics, prinsip
umum hukum ada empat macam. Pertama, prinsip persamaan di muka hukum
(Rechtsgleichheit) dan undang-undang (Gleichheit vor dem Gesetsz), kedua
kebebasan, ketiga. Solidaritas dan keempat asas manfaat50.
Kondisi masyarakat kita masih sangat jauh dari kesadaran akan aturan main
bernegara. Hal ini terlihat dari banyaknya indeks pelangaran hukum yang terjadi
dalam masyarakat. Dapat diakui selain hukum formal masih ada dalam dalam tatanan
kehidupan masyarakat dalam kaitannya penertiban masyarakat yaitu norma-norma
baik norma budaya (adat-istiadat) maupun norma agama sesamanya baik formal
50
Ibid, Azwir Dainy Tara, h. 86.
maupun non formal saling membantu, namun dalam prakteknya prilaku
penyimpangan-penyimpangan hukum selalu terjadi dan bahkan menjadi gejala yang
terbiasa karena terlalu seringnya hal demikian terjadi padahal jelas jelas melangar
hukum yang ada.
Masih kita ingat peristiwa pembakaran dan pengerusakan gereja-gereja pada
kasus Saleh di Situbondo hanya karena masalah yang bisa dianggap sepele namun
berdampak sangat mengerikan. Dalam faktanya beberapa orang tewas dan luka luka
bahkan dari insiden ini tercatat gereja yang dirusak sebanyak 24 gereja51. Hal ini
menunjukan belum adanya kedewasaan dalam memahami aturan-aturan hukum yang
ada karena dalam keadan seperti apapun tindakan menteror, merusak, membakar, dan
main hakim sendiri tidaklah dapat di benarkan menurut hukum.
Pesantren dalam Proses Demokrasi
Selain hal diatas apa yang sedang dilakukan Wahid Institut adalah berupaya
membangun demokrasi dari basis lembaga sendiri yaitu pesantren. Pada pesantren
inilah seperti dikatakan Suaedy bahwa lembaga yang dipimpinnya berkomitmen
untuk senantiasa memberikan kontribusinya kepada pesantren, salah satu caranya
adalah dengan membuat berbagai kegiatan di pesantren dan memunculkan tokohtokoh dari pesantren di ranah publik52.
Demokrasi adalah alat untuk mencapai keadilan dan juga menjadi tujuan
Islam. Oleh karena itu pesantren sebagai bagian dari Islam harus berpartisipasi dalam
perubahan dan pembangunan masyarakat. Pada intinya demokrasi bukanlah ghayah
(tujuan) melainkan wasilah (sarana) terbaik untuk mewujudkan keadilan. Karena itu
51
52
Ibid. Rumadi, h. 31.
Ibid, Warta, No. 1, h. 2
demokrasi dan Islam sangatlah dekat atau bahkan sama ghayahnya. Demokrasi
mungkin wasilah terbaik untuk mewujudkan keadilan53.
Pesantren memiliki potensi yang luar biasa untuk mendukung demokratisasi
dalam kerangka mewujudkan keadilan. salah satu contoh hal ini adalah Gus Dur,
sebagai produk pesantren sekarang dianggap sebagai ikon, kampium atau pelopor
demokrasi. Bahkan pelopor pluralisme, toleransi dalam membina hubungan baik
dengan semua kelompok dan agama, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia.
Agar ide dan tujuan terdistribusi dengan baik, lembaga menggelar halaqah.
Melalui halaqah lembaga mendiskusikan tentang toleransi, penguatan demokrasi, dan
penegakan hak asasi serta wacana dan praktik-praktik pengembangan demokrasi
melelui pengembangan ekonomi dan pendidikan, karena demokrasi akan sulit bersemi
tanpa penguatan ekonomi dan pendidikan ekonomi.
Dikatakannya juga bahwa tujuan Wahid Institut melakukan halaqah di
pesantren adalah agar dapat mendorong lembaga-lembaga pesantren terlibat dan
berperan aktif dalam pergumulan atau proses demokrasi dan bagi generasi muda
podok pesantren untuk memperluas cakrawala dan kehidupan yang semakin
berkembang. "Pesantren harus juga mengambil peran perubahan di Indonesia sesuai
kapasitasnya, dan The Wahid Institut sendiri tidak bisa lepas dari pesantren dan
tradisi-tradisinya"54.
Pemuda adalah pemegang tampuk kepemimpinan dimasa yang akan datang.
Aksioma itu disadari oleh Wahid Institut sepenuhnya. karena itu lembaga
mengadakan diskusi demokrasi, Islam, dan penegakan keadilan dengan peserta dan
pra pemimpin pesantren muda, baik perempuan maupun laki-laki dan aktivis sosial
daerah.
53
54
Ibid, Warta, No. 4
Ibid, Warta, No. 1, h.1
Pertimbangan kesesuaian demokrasi sebagai nilai-nilai yang bersesuaian
dengan Islam adalah dasar partisipasi peran pesantren dalm proses demokratisasi
tersebut. Menurut Imdadun Rahmat, dalam demokrasi terdapat ajaran Islam antara
lain tentang mementingkan musyawarah, menjunjung tinggi amanah, kejujuran,
solidarits sesama manusia, kedudukan persamaan kedudukan di depan hukum,
perlindungan pada kaum lemah (mustadzafin) dan kaum minoritas, penghargaan pada
perbedaaan keyakinan, pendapat, keragaman budaya dan pandangan dunia (world
view)
Adapun tantangan bagi umat Islam saat ini adalah memberikan spirit Islam
dalam pelaksanaan demokrasi yang mengacu kepada ajaran kemaslahatan bersama
(mashalih amah) dan keadilan (al-adalah) bagi semua. Dalam alam demokrasi semua
orang berhak mendapat pendidikan "jadi, pesantren Indonesia sebenarnya bisa
dibilang pionir tradisi demokrasi. Dulu masuk pesantren tidak perlu bayar mahal,
semuanya dengan keikhlasan" kata Ahmad Bahruddin, namun sekarang sebaliknya
pesantren justru ingin meniru model persekolahan yang di gagas barat55.
Menurut Kyai Maftuh Khalil substansi demokrasi sangat qur'ani. Sedikitnya
tiga hal diungkap al-Qur'an
dalam menjelaskan demokrasi; Pertama, kebebasan
berbicara, berekspresi serta berkeyakinan (QS. Quraisy:3). "Dulu umat Islam
berupaya mendapatkan kebebasan beribadah. Sekarang juga jangan kita melarang
orang melaksanakan ibadahnya. Kita bertanggung jawab memberi kebebasan kepada
siapapun untuk melakukan ibadah menurut ibadahnya masing-masing".
Kedua, menjamin kompetisi dan persaingan yang sehat (QS. Al-Baqarah:
148). "Realitasnya Allah tidak menginginkan manusia menjadi satu umat, agar
manusia ber-fastabiqul khairat (berlomba berbuat kebajikan). Karenanya, perbedaan
55
Ibid, Warta, No. 1, h. 2 & 3
harus disikapi secara positif karena agama bukanlah sumber konflik, namun hal itu
adalah akibat nafsu manusia. Ketiga, terwujudnya keadilan sosial (QS. Quraisy: 4)
keadilan dalam Islam bukan hanya di bibir tapi harus diaplikasikan dalam kehidupan
nyata di bumi.
Intinya proses demokrasi harus memuat nilai-nilai keadilan, karena dalam al
Quran ditegaskan bahwa keragaman dan perbedaan merupakan sunatullah. Dari
perbedaan itulah harus muncul cita penghargaan, tsamuh atau toleran dan ghayah
dari demokrasi itu sendiri yaitu al 'adl (keadilan) 56.
Demokrasi juga sebuah nilai penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan
yang menuntut adanya kohesivitas sosial, tenggang rasa, dan ketulusan. Tanpa itu,
prosedur demokrasi tidak bisa menjamin tercapainya cita cita yang dijanjikan oleh
demokrasi itu sendiri. Karena itu, tanpa basis nilai yang memadai untuk terbangunnya
demokrasi, cita-cita itu sulit tercapai. Dengan demikian, moralitas sama pentingnya
dengan prosedur dalam demokrasi.
"Sayangnya, di satu pihak selama ini proses demokrasi di negeri ini
terlalu menekankan pada membangun prosedur ketimbang mendorong dan
memperkuat nilai-nilai dalam masyarakat. Kita telah menghabiskan triliunan
rupiah untuk pemilu, baik pemilu presiden maupun pemilu legislatif, serta
pemilu daerah atau pilkada. Namun kita kurang memperhatikan bangunan
budaya yang menjamin dan menopang prosedur tersebut" Ungkap Gus Dur57.
Demokrasi di Indonesia
Di Indonesia demokratisasi merupakan sebuah alternatif. Pakar ilmu politik
berkata "there is no road to democracy, democracy is the road, tidak ada jalan untuk
mencapai demokrasi, demokrasi adalah jalan itu sendiri". Namun fakta dilapangan tak
seindah yang dibayangkan. Perjalanan demokrasi di Indonesia menemukan berbagai
kendala. Pertama, adanya budaya dan perilaku dari kalangan elite strategis yang
56
. Ibid. h.5.
Ahmad Suaedy, Moralitas Publik dalam Demokasi, www.gusdur.net.
57
kurang kondusif bagi demokratisasi. Sebagian elite memiliki budaya dan sikap
monopolistik. Hampir selalu ada yang berbeda dari yang dikhotbahkan dan yang
dilakukan. Ketika para elite berpidato mengenai urgensi penegakan demokrasi, pada
saat yang sama mereka tengah mengerus prinsip-prinsip demokrasi. Banyak elite
menggunakan cara tak demokratis dalam menyelesaikan problem dan demokrasi
hanya sebagai pemanis bibir.
Kedua masih lekatnya kultur paternalistik dengan pola hubungan patron-klien.
Kepemimpinan karismatis-paternalistik, baik steruktural maupun kultural
masih
dalam puncak pola-pola kepemimpinan di Indonesia. Kultur dan struktur paternalistik
ini memposisiskan hubungan antar manusia secara vertikal. Interaksi antar manusia
bergerak dari atas kebawah.
Belum kuat dan meratanya sikap taat asas dan tunduk pada aturan main (rule
of the game). Konflik di internal partai politik belakangan adalah etalase yang
mempertontonkan tidak dipatuhinya mekanisme internal dalam bentuk AD/ ART.
Orang-orang partai terfragmentasi kedalam berbagai kelompok yang hanya
berorientasi kekuasaan.
Keempat, idealisasi tentang penyatuan agama-agama yang berlanjut pada citacita pendirian negara Islam dan khilafah masih menguat dalam memori kolektif
agamawan dan funamentalis. Isu yang kerap diusung adalah diakomodasikannya
syariat Islam (fikih) dalam perundang-undangan negara. Mereka menuntut agar
negara menjadi polisi dalam penegakan syari'at di tengah masyarakat. Padahal, dalam
berbagai eksperimen gagasan kesatuan agama-agama mengalami kegagalan dan tidak
menjanjikan apa-apa buat kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. System
khilafah yang pernah diuji coba dalam pemerintahan dawlah Umaiyah dan dawlah
Abbasiyah justru melahirkan sejarah kelabu yang menyengsarakan rakyat. Atas nama
syariat, tindakan represif berupa minhah (inkuisisi) dijalankan58.
Perubahan politik menuju demokrasi disatu pihak memberikan harapan bagi
terjadinya proses sosial dan politik yang lebih transparan dan redistribusi ekonomi
yang lebih adil. Namun di sisi lain perubahan itu juga memberikan agenda
mencemaskan jika tidak ditangani dengan baik dan dihadapi dengan bijaksana.
Pada dasarnya demokrasi bukanlah tujuan melainkan sarana menuju suatu
tujuan yang lebih hakiki dan luhur, yaitu keadilan. Demokrasi prosedural yang sedang
dicoba di Indonesia sekarang ini seperti pemilihan presiden langsung dan sebagainya
belum menunjukan dampaknya bagi tujuan yang sedang dituju yaitu keadilan. Yang
terjadi justru terbangunnya raja-raja kecil yang memonopoli sumber-sumber daya
ekonomi, politik dan sosial.
Dengan kata lain, demokrasi prosedural di Indonesia sekarang ini belum
cukup untuk mengantarkan cita-cita luhur tersebut yaitu Indonesia yang adil dan
makmur atau baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur. Demokrasi bisa mengantarkan
sebuah masyarakat kearah tercapainya cita-cita tersebut jika ada infrastruktur sosial
dan budaya yang mendukungnya.
Proses demokrasi tidak bisa diserahkan kepada lembaga-lembaga demokrasi
melainkan mensyaratkan adanya partisipasi penuh dari masyarakat. Di Amerika
sendiri demokrasi membutuhkan apa yang oleh Robert D. Putnam dalam bowling
alone (2000) disebut sebagai social capital (modal sosial). Ketika modal sosial ini
tidak berjalan, maka demokrasi terancam atau dengan kata lain modal sosial inilah
yang membuat demokrasi bisa bekerja atau berjalan
58
Ibid, Azwir Dainy Tara, h. 86.
Modal sosial membutuhkan adanya saling percaya (trust) antara kelompok
yang satu dengan kelompok yang lainnya, disamping itu dalam modal sosial juga juga
harus ada aturan-aturan moral yang disepakati bersama, diluar aturan formal yang
menjadi tanggung jawab negara atau pemerintah, baik diantara kelompok itu sendiri
maupun antar kelompok59.
Kita belum banyak beranjak dari demokrasi ‘ala’ pemerintahan Orde Baru,
yang mempunyai ciri adanya lembaga-lembaga demokrasi, namun tidak berfungsi
sebenarnya.
Dalam
keadaan
demikian,
“tradisi
demokrasi”
dilupakan.
Jika “demokrasi kelembagaan” di masa Orde Baru tidak membawa
pemerintahan yang benar-benar demokratis, maka “demokrasi prosedural” kita
dewasa ini juga tidak menunjukkan adanya demokrasi yang sesungguhnya. Karenanya
kita masih harus menunggu sekali lagi tindakan bersama, untuk mengakhiri keadaan
"asal-asalan" itu untuk menjadi demokrasi yang sebenarnya. Jalan untuk itu adalah
pemilihan umum yang jujur dan bebas untuk memilih caleg-caleg dan Presiden/Wakil
Presiden
yang
akan
datang60.
Dasar dari demokrasi adalah kedaulatan hukum, dan perlakuan sama bagi
semua warga negara di hadapan undang-undang, yang seluruhnya bertumpu pada
kemauan kuat untuk melaksanakan peraturan-peraturan dengan konsisten. Dari
parpol-parpol yang ada, melalui lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat di pusat dan
daerah, sehingga diharapkan akan muncul aturan main yang jelas di masa depan. Hal
itu belum terwujud pada saat ini, karena keinginan-keinginan baik itu memang belum
ada secara kongkret pada saat ini. Kita baru sampai pada tahap memimpikan sesuatu,
yang dalam kenyataan hidup memang belum ada. Kita baru sampai ke tahap
59
60
2004).
Ahmad Suaedy, Warta, No. 2, h.6
Abdurrhman Wahid, Demokratisasi hidup Bangsa, (Jakarta: www.gusdur.net. 24 Februari
menghitung-hitung kekuatan sebagai bangsa, apakah upaya memulai proses
demokratisasi secara benar, ataukah hanya melamun saja tentang hal itu.
Di sini kita harus dapat membedakan antara lembaga-lembaga politik
demokrasi, tetapi tidak memiliki tradisi demokrasi dalam kenyataan sejarah, yang
terhampar dihadapan mata kita. Karena kita memang adalah bangsa yang cepat
berpuas diri, maka kita tidak memiliki sikap nekat untuk memenuhi persyaratanpersyaratan yang diperlukan untuk mendirikan masyarakat demokratis yang benarbenar sesuai antara kata dan kenyataan61.
Membaca pelbagai faktor yang menghambat pertumbuhan demokrasi itu,
maka tantangan Wahid Institut akan demokratisasi di Indonesia tidak sederhana.
Karenanya Direktur Wahid Institut Ahmad Suaedy mengungkapkan:
"Terbentuknya Indonesia demokratis adalah perjalanan panjang yang
penuh liku. Oleh karena itu diperlukan kerja-kerja "militant" dari berbagai
kelompok pro demokrasi. Jika tidak, maka yang dihasilkan bukah tegaknya
kultur demokrasi melainkan justru otoritarianisme"62
Media komunikasi
Media komunikasi merupakan media yang sangat efektif dalam rangka
memantapkan dan mensukseskan program sebuah instansi, lembaga maupun tujuan
seseorang .
Hal yang disadari lembaga dalam penyebaran ide demokratisasi adalah
pendayagunaan media komunikasi dan sosialisasi yang memadai sehingga apa yang di
lakukan dapat di manfaatkan secara maksimal, selanjutnya berkaitan dengan ini
adalah bagimana membentuk komunikasi dan kampanye ide tersebut termasuk di
61
Abdurrhman Wahid, Pandangan Politik dan Tradisinya, (Jakarta: www.gusdur.net. 14
Oktober 2004).
62
Abd Muqsith Ghazali, Warta, No. 1, h. 3
dalamnya pemberdayaan jaringan. Tidak dapat dihindari oleh siapapun dan lembaga
manapun bahwa diantaranya komunikasilah yang mempengaruhi serta membentuk
citra dan paradigma masyarakat pada dewasa ini.
Pengunaan media begitu penting, seperti penggunaan media elektronik berupa
siaran- siaran, media massa dan penerbitan buku, opini-opini, majalah, jurnal, buletin
dan sebagainya. juga penggunaan event-event dan kegiatan tertentu seperti jalur
budaya dan lainnya merupakan hal yang tidak dapat di kesampingkan dalam
pengimbangan tujuan dengan arus modernisasi yang berjalan dengan cepat.
Pemanfaatan dari media elektronik maupun massa yang baik berdampak hasil
tidak kecil bagi suksesnya sebuah sosialisasi ide dan informasi. Hal demikian menjadi
alternatif cukup baik dalam realisasi program yang membutuhkan jangkauan
informasi cukup luas dan kompleks seperti program Wahid Institut tentunya.
Sedang untuk jalur diskusi, seminar, maupun bedah buku yaitu yang bersifat
bil hal tentunya menjadi bagian dari media kampanye dan propaganda yang efektif
dalam membangun pemahaman dalam jalur komunikasi langsung, diharapkan tingkat
pemahaman dan transfer pengetahuan akan dapat di terima langsung oleh subyek
yang di butuhkan serta meminimalisasi noise yang memungkinkan, terlepas apakah
komunikan melakukan feedback atau hanya akan diserap langsung untuk diri mereka
sendiri. Dan diakui penggunaan media sangat bermanfaat bagi Wahid Institut, dan
lembaga berusaha menggunakan media yang memungkinkan dalam rangka
memaksimalkan realisasi visi-misi lembaga.
Ekonomi dan Pengetahuan dalam Proses Demokrasi
Tantangan Indonesia kedepan sangatlah berat, yaitu saat bersamaan harus
dapat memulihkan perekonomian dan mengembangkan demokrasi. Demokrasi yang
kurang dipersiapkan dan terjadi sangat mendadak akan membuka berbagai
kesempatan bagi setiap masyarakat, entah atas nama agama, etnisitas, kedaerahan,
pekerja atau siapapun, berhak menyuarakan kepentingan masing-masing yang selama
ini merasa kurang diperhatikan.
Akibatnya
demokratisasi
menampilkan
wajah
ketidakaturan
dan
ketidakpastian yang berimplikasi negatif terhadap pemulihan ekonomi. Sekalipun
tidak semuanya demikian, saat ini arah demokrasi sering bertentangan dengan
ketertiban dan kepastian yang menjadi prasyarat pemulihan ekonomi. Bagi
pemerintah, mendamaikan dua hal tersebut sekaligus mensinergiskannya sangatlah
sulit. Pengalaman belakangan ini hanyalah retorika demokrasi, demi kepentingan
rakyat, mengorbankan langkah-langkah yang sebenarnya ditempuh untukmemulihkan
perekonomian63.
Adapun untuk mengukur kesejahteraan masyarakat dapat kita lihat dalam
beberapa item; pertama, kekayaan rata-rata; kedua, pemertaan; ketiga, kualitas
kehidupan; keempat, kerusakan lingkungan; dan kelima, keadilan sosial dan
berkelanjutan64.
Gejala-gejala semacam ini sangatlah berkaitan erat dengan apa yang kita
sering sebut sebagai problem kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat
secara umum dengan kuantitas ekonomi tidak akan menjamin kemakmuran
masyarakat sehingga yang di butuhkan adalah bagaimana kondisi-kondisi yang
mendesaklah
sebenarnya
yang
perlu
ditangani
dalam rangka
memberikan
pengayoman rakyat tanpa mengesampingkan tindakan-tindakan nyata peningkatan
ekonomi dalam sekala yang lebih luas.
63
Azwir Dainy Tara, Peran……, h. 139
Azwir Dainy Tara, Peran……,h. 75
64
Terdapat langkah strategis yang dapat dilakukan dalam hal ini yaitu
memulihkan kehidupan ekonomi bagi masyarakat yang terkena dan terimbas atas
terjadinya sebuah insiden maupun gejala alam yang menimpa masyarakat. Hal ini
memerlukan tidakan kongkrit dari berbagai pihak untuk mengurangi penderitaan yang
terjadi.
Dalam hal ini seperti yang sedang dan telah di kerjakan dan akan terus di
kembangkan oleh Wahid Institut dalam programnya advokasi dan penguatan akar
rumput dimana sebagai lembaga riset tidak membiarkan problem sosial terjadi tanpa
ada tindak lanjut nyata, sehingga mengundang lembaga membantu melakukan
gerakan dan kegiatan yang di perlukan seperti melalui posko Gus Dur untuk
kemanusiaan dengan membangun 220 rumah transisi untuk korban gempa Jogjakarta
dan jawa tengah.
Langkah strategis lain dapat dilakukan yaitu memberdayakan problemproblem sosial yang mendasar di masyarakat seperti program kualitas dan kuantitas
pendidikan. Pengetahuan (knowledge) adalah jembatan semua kesuksesan baik dunia
maupun akhirat dan dapat merupakan duta kebenaran.
Demokrasi
membutuhkan
kawalan
pengetahuan
yang
cukup
untuk
memberikan sumbangsih dari efek demokratisasi yang ada. Tanpa pemahaman yang
cukup terhadap ide tersebut dan ide-ide pendukungnya demokrasi akan vakum
Karenanyalah dalam hal ini Wahid Institut mengadakan program pendidikan terutama
dalam mendukung pluralisme.
Diantara pendidikan yang sukses diadakan yaitu seperti kelas Islam dan
pluralisme yang dilakukan delapan kali pertemuan dan di hadiri oleh pembicara
Wahid Intitut dan di pelajari oleh aggota pendidikan dari barbagai agama yang
diantaranya bertujuan untuk mempererat solidaritas maupun toleransi keagamaan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Wahid Institut
merupakan lembaga riset dan pengembangan kebudayaan Islam yang menitik
beratkan perjuangan lembaga untuk masyarakat Indonesia khususnya dan dunia
secara umum. Peran itu berbentuk pengaplikasian pemikiran Gus Dur dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat dalam keberagamaan yaitu pemikiran Islam
yang moderat, kesadaran pluralisme agama-agama dan demokratisasi.
2
Berkaitan dengan peran lembaga terhadap pemikiran Islam, lembaga mencoba
memberikan wacana dan mengikuti perkembangan pemikiran yang ada di
masyarakat yang selanjutnya diharapkan dapat memperkaya khazanah pemikiran
keislaman dalam memberikan alternatif masalah-masalah yang akan dan sedang
terjadi sekaligus memberikan pengetahuan maupun pemahaman pada masyarakat
bahwa pemikiran Islam merupakan bentuk ijtihad yang harus di hormati
keberadaannya.
3
Wahid Institut mencoba memberikan suport dan jalan pemahaman bagi
masyarakat atas kesadaran kemajemukan keberagamaan maupun dalam
perikehidupan masyarakat. Pemahaman yang baik terhadap pluralisme akan
menjadikan adanya stabilitas serta menumbuhkan sikap toleransi terhadap
pelaksanaan keyakinan masing-masing agama yang mencerminkan konsep akhlak
keberagamaan Islam, sehingga pandangan masyarakat dunia terutama barat yang
menganggap bahwa Islam adalah agama radikal dapat diminimalisir dan pada
93
gilirannya mereka memahami bahwa Islam adalah agama terbaik dalam realisasi
keberagamaan yang cinta damai.
4
Sedang Program demokrasi lembaga adalah realisasi bentuk misi Gus Dur pada
perjuangan demokratisasinya sebagai bentuk konsekwensi kemanusiaan dan
kepluralitanian Indonesia. Di fahamkan pada masyarakat bahwa demokrasi
walaupun di kenal berasal dari konsep barat khususnya Amerika Serikat sebagai
kampium demokrasi, ide tersebut sesuai dengan jiwa Islam atas pemahaman
idealisasi kehidupan yang penuh dengan persamaan sekaligus perbedaan dan
berbagai keseimbagan-keseimbangan lainya.
DAFTAR PUSTAKA
Drajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan, 1991, Cet. Ke-8.
Eliade, Mercia, The Encyclopedia or Religion. New York: Macmillan Library
Reference USA,1993, Cet Ke-1
Ensklopedi Akidah Islam. Jakarta: Prenada Media 2003, Cet Ke-1
Hanafi, Ahmad, Pengantar Theologi Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1989, Cet.2.
Hidayati Nurul, Metodologi Penelitian Dakwah, Jakarta, 2006, UIN Jakarta Press.
Cet. Ke-1
Madjid, Nur Cholish, Islam Doktrin dan Agama, Jakarta: Paramadina, Cet Ke-1
Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1996. Cet
Ke-1.
Nawala, The Wahid Institut, Seeding Plural and Peaceful Islam.jakarta: Penerbit
Wahid Institut, No. 1-4/ Th 1/ 2007.
Rachman, Budy Munawar, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,
Jakarta: Paramadina, 2002, Cet Ke-1.
Rahardjo, Dawam, (Ed), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3S, 1985. Cet 1
Rais, M Amin, Kata Pengantar dalam John L. dorhne dan John L. Esposito, Islam
dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah. Jakarta: Rajawali, 1984,
Cet Ke- 1
Rosady, Ruslan, Kampanye dan Public Relation. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005, Cet Ke-1
Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP,
Jakarta: Yayasan Tifa dan The Wahid Institut, 2007, Cet Ke-1
Said, Nurhidayat Muh, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia. Jakarta: MediaAktualisasi Pemikiran, 2006, Cet ke 1
Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori Psikologi Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), Cet. Ke-8.
Shihab Alwi, Islam Inklusif (Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama), Bandung,
Mizan, 1999
Thaha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis,. Jakarta, 2005, Cet KeI.
Tara, Azwir Dainy, Peran Pengusaha Dalam Membangun Demokrasi, Jakarta:
Nuansa Madani, 2002, Cet-1
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic society) demokrasi,
Hak Asasi Manusia & Masayrakat Madani, Jakarta, 2003
Tim INCReS, Beyond The Symbols. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. Ke-1
Tim Wahid Institut, Buletin The Wahid institute, Agama dan Keyakinan dalam RKUHP, No 1-10/ Mei 2006-Februari 2007.
Tim Wahid Institut, The Wahid Institut, Seeding Plural and Peaceful Islam. Jakarta:
Penerbit Wahid Institut, Tahun 2005, 2006 dan 2007, Cet Ke-1
Tim Wahid Institut, Monthly Report on Religious Issues. Jakarta: Penerbit Wahid
Institut, edisi 1-5 Tahun 2007-2008, Cet Ke-1
Warta The Wahid Institut, Seeding Plural and Peaceful Islam.jakarta: Penerbit Wahid
Institut, No. 1-4/ Th 1/ 2007.
http : / / www.wahidinstitut.org
http : / /www.gusdur.net
Download