PERAN WAHID INSTITUT DALAM MENGKAMPANYEKAN PEMIKIRAN ISLAM, PLURALISME DAN DEMOKRASI DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Mencapai Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Disusun Oleh: MOH. JAZULI NIM. 103051028501 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 1429 H/2008 M PERAN WAHID INSTITUT DALAM MENGKAMPANYEKAN PEMIKIRAN ISLAM, PLURALISME DAN DEMOKRASI DI INDONESIA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I) Oleh : MOH. JAZULI NIM. 103051028501 Di Bawah Bimbingan Dr. Wahyu Prasetyawan M. A NIP : 150 271 946 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1429 H/2008 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang dilakukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mempeloreh gelar SI di Universitas Islam Negeri Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia diberikan sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis ABSTRAK PERAN WAHID INSTITUT DALAM MENGKAMPANYEKAN PEMIKIRAN ISLAM PLURALISME DAN DEMOKRASI Pemikiran Islam Pluralisme dan Demokrasi merupakan tiga komponen yang saling mengisi dalam demokratisasi, namun dalam proses tersebut tidak selamanya berjalan dengan mulus. Diperlukan sebuah usaha untuk mewujudkan kehidupan negara yang damai dan menjunjung tinggi norma masyarakat maupun hukum negara baik oleh perseorangan, kelompok aktivis atau lembaga yang konsisten dalam mewujudkan misi itu. Diantara lembaga yang berusaha mewujudkan tujuan diatas ialah Lembaga Wahid Institut, yang bergerak sebagai lembaga riset dan pengembangan kebudayaan Islam. Hampir lima tahun Wahid Institut ikut andil dalam demokratisasi di Indonesia yang tentunya sebagai lembaga yang konsisten dan aktif, telah banyak merealiasikan peran lembaga kepada negara maupun masyarakat sesuai dengan ruang lingkup programnya Sehingga, berkaitan dengan aktivitas lembaga Wahid Institut, yang perlu untuk di jawab dalam penelitian ini ialah apa peran Wahid Institut dalam mengkampanyekan pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi, sebagai salah satu program lembaga dan bagaimana lembaga mewujudkannya? Dalam menjawab pertanyaan diatas penulis menggunakan pendekatan Gross, Mason, dan A.W. Mc. Eachem sebagaimana dikutip oleh David Berry, dalam teorinya, mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan yang di kenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Menurutnya, dalam peran terdapat dua macam harapan yaitu: pertama, harapan-harapan masyarakat terhadap pemegang peran. Kedua, harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya. Lebih lanjut, Biddle dan Thomas membagi peristilahan teori peran dalam empat golongan yaitu istilah yang menyangkut orang yang mengambil bagian dalam interaksi, perilaku yang muncul dalam interaksi, kedudukan orang dalam perilaku interaksi dan kaitan antara orang dan perilaku interaksi perilaku tersebut. Sebagai sebuah lembaga gerakan Wahid Institut ingin berperan dan berkontribusi untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai, mencoba memberikan alternatif-alternatif melalui pemikiran progresif dalam nuansa demokratis dan sadar hukum tanpa ada pembedaan terhadap segala perbedaan yang ada. Setelah melakukan penelitian, Penulis menilai bahwa Yayasan lembaga the Wahid Institut telah berhasil menjalankan perannya dalam mengkampanyekan pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi di Indonesia. Melalui beberapa realisasi program, advokasi, pemantauan langsung serta turun ke dalam akar rumput (grass root). KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang karena kasih dan sayang serta ridhanya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga Allah sampaikan kepada Nabi Muhammad saw, dan semoga penulis dapat menempuh jalan tauladan dan mendapatkan tempat dihatinya. Selanjutnya terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu dan Ayahanda yang selalu memberikan ketulusan cinta serta keikhlasan do'anya semoga penulis mendapatkan tempat di dunia ini. Penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulisan ini penulis sampaikan banyak terimakasih kepada: 1. Dr. Murodi MA. Selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. Wahidin Saputra, M.Ag dan Umi Musyarofah, MA. Selaku ketua dan sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Wahyu Prasetyawan. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuannya atas penulisan skripsi ini. 4. Dosen dan staf pengajar Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Seluruh pengurus lembaga Wahid Institut yang telah membantu penyelesaian skripsi penulis 6. Segenap staf Perpustakaan Utama dan Fakultas yang telah memberikan pelayanan yang baik kepada penulis. ii 7. Seluruh keluarga yang selalu mendoakan, mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis 8. Sahabat-sahabatku yang kusayangi semoga kita akan mendapatkan kasih sayang dari Allah dan mendapatkan syafaatnya diakhirat nanti, sahabat ini berharap kita tidak akan berpisah selamanya dalam esensi persahabatan kita, dan, 9. Kepada teman-teman yang saya banggakan ku berucap dan perpesan salam. Terimakasih semuanya. Jakarta, 23 Februari 2008 Penulis iii DAFTAR ISI ABSTRAK ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ........................................... 2 C. Metodologi Penelitian ................................................................... 3 D. Tujuan Penulisan ........................................................................... 3 E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 4 F. Sistematika Penulisan ................................................................... 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Peran ................................................................................... 6 B. Teori Kampanye ........................................................................... 7 C. Teori Pemikiran Islam, Pluralisme dan Demokrasi ..................... 8 BAB III SEKILAS TENTANG WAHID INSTITUTE A. Latar belakang Lembaga Wahid Institut ....................................... 22 B. Visi dan Misi Wahid Institut ......................................................... 23 C. Program – Program Wahid Institut ................................................ 24 D. Struktur Organisasi Wahid Institut, Garis Besar Aktivitas, Program dan Managemen Wahid Institut, ..................................... 26 BAB IV PEMBAHASAN KAMPANYE PEMIKIRAN ISLAM, PLURALISME DAN DEMOKRASI DI INDONESIA A. Upaya yang dilakukan Wahid Institut dalam mengkampanyekan Pemikiran Islam, Pluralisme dan Demokrasi di Indonesia …………………………….………...….. 62 B. Faktor Pendukung dan Penghambat Kampanye Pemikiran Islam, Pluralisme dan Demokrasi……………………...……………………………….… 62 C. Analisa ………………………………………………………........ 68 BAB V PENUTUP Kesimpulan .......................................................................................... 93 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I iv PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebelum menjadi presiden dan membentuk partai, Gus Dur selalu bercita-cita bagaimana di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini mempunyai sumbangan yang lebih kongkrit terhadap kepemimpinan di dunia di dalam proses dialog peradaban yang di katakan olehnya sebagai sebuah pusat study Asia Tenggara. Pusat study inilah yang dicita-citakan oleh Gus Dur bahwa disanalah nanti tokohtokoh Islam yang kemudian punya pemikiran masa depan bisa bertemu, berkumpuldan kemudian membuat Indonesia sebagai sebagai simpul dinamika agama di Asia Tenggara. Perkembagan warga NU dalam sangatlah luar biasa dan tatkala Gus Dur bilang NU harus kembali ke khittah, yang paling berhasil di letakan olehnya adalah tradisi pemikiran yang terbuka itu. Selain tradisi bahwa NU memiliki subkultur Islam yang damai karena berasal dari pedesaan, tetapi juga subkultur Islam yang terbuka dan fleksibel untuk perubahan. Dan itulah kira-kira sumbangan Gus Dur yang terbesar, selain juga Cak Nur dengan Paramadina-nya dan juga M. Syafi'i Maarif dalam Muhammadiyah dengan ( Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) JIMMnya. Walau pun tidak sebesar NU1. Loyalitas serta konsistensi dalam membela pluralisme, demokrasi dan dalam memperjuangkan masyarakat dengan nilai Islami mendorong berbagai pihak untuk membentuk lembaga yang bertujuan untuk mewujudkan prinsip-prinsip Gus Dus 1 Dr. Muslim Abdurrahman, www.wahidinstitut.org yakni membangun lembaga dengan pemikiran Islam yang moderat agar tercipta demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan toleransi dikalangan kaum muslim di Indonesia maupun dunia. Untuk itu maka, diluncurkanlah Wahid Institut yang dihadiri oleh tokoh dari dalam maupun luar negeri. Dari penjelasan diatas, penulis ingin membahas dan meneliti tentang Wahid Institut lebih mendalam untuk mendapatkan informasi yang mencukupi tentangnya. Sehingga penulis mengajukan sebuah skripsi yang berjudul : Peran Wahid Institut dalam Mengampanyekan Pemikiran Islam, Demokrasi dan Pluralisme di Indonesia. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Bertolak dari uraian diatas, untuk mempermudahkan pembahasan dan pemfokusan penelitian penulis mendasarkan pada tema program kampanye Pemikiran Islam, Pluralisme dan Demokrasi serta aktivitas Wahid Institut secara umum. Dari pembahasan di atas, masalah yang dapat dirumuskan adalah: Apa Peran Wahid Institut dalam Mengkampanyekan Pemikiran Islam, Pluralisme dan Demokrasi Wahid Institut di Indonesia? Pilihan ini didasarkan pada isu-isu yang memang menjadi kajian dan model utama kampanye Wahid Institut dalam masyarakat, sehingga dengan demikian dapat menjadi pembatasan dan menghindari melebarnya bahasan penelitian ini. C. Metodologi Penelitian 1. Metode pengumpulan data Untuk menjawab persoalan di atas, sebagai landasan operasional penulis melakukan observasi, mencari dan mengumpulkan buku-buku, tulisan-tulisan atau dokumen-dokumen maupun situs mereka (http.//www.wahidintitute.org.) serta wawancara sebagai sumber primer, juga dokumentasi-dokumentasi lain seperti bukubuku dan artikel yang berkaitan dengannya sebagai sumber sekunder. 2. Metode pembahasan Adapun pembahasannya, penulis menggunakan : - Pendekatan deskriptif yaitu pendekatan dengan cara mengumpulkan datadata yang berkaitan dengan masalah yang diteliti kemudian dideskripsikan secara aktual akurat dan sistematis untuk memperoleh kejelasan masalah yang diteliti dan dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. - Tekhnik Analisis Isi (content Analisis) yaitu menurut R. Holsti yang mendefinisikan analisis isi sebagai tekhnik apapun yang di gunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan dan dilakukan secara obyektif dan sistematis2. 3. Tehnik penulisan Sedangkan tekhnik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman penulisan Skripsi, Tesis, dan disertasi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2007 dan metode penelitian dakwah. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian ini ialah: 1. Untuk mengetahui metode-metode yang dikembangkan oleh yayasan Wahid Institut dalam mengampanyekan pluralisme di Indonesia 2. Untuk mengetahui profile dan aktivitas yayasan lembaga Wahid Institut 2 Suejono Dan Abdurrahman, Metode Penelitian (Jakarta, PT.Rhineka Cipta, 1999) Cet 1, h.13 3. Secara akademis diharapkan dapat mampu membahas kajian gerakan kontemporer dalam rangka pengembangan kajian Islamiah bagi para praktisi dan aktivis di Indonesia 4. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat sarjana program strata satu (SI) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam E. Tinjauan Pustaka Dalam menulis skripsi ini penulis terinspirasi saat penulis membaca harian kompas saat mengetengahkan launcing Wahid Institut yang di dalamnya mengemukakan visi-misi serta program lembaga. Terdapat dua alasan ketertarikan dari penulis untuk menelitinya; pertama, lembaga ini bervisi mewujudkan prinsip-prinsip Gus Dur, di mana tokoh ini memiliki sejarah fenomena yang unik dan kontroversial; kedua, bermisi mengemban komitmen menyebarkan gagasan muslim progresif yang mengedepankan toleransi dansaling pengertian di masyarakat dunia Islam dan barat dengan mengusung isu pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi. Saat penulis melihat skripsi-skripsi di perpustakaan utama menulis menemukan beberapa skripsi tentang Gus Dur dan hanya pada pemikiran dan isu demokrasi serta plurlitas yang menjadi bagian perjuangannya. Data ilmiah dari gagasan maupun isu tersebut penulis sesuaikan dengan buku yang berjudul symbol of system, dan penulis berinisiatif melengkapi pustaka tentang ide pemikiran serta Gus Dur dengan meneliti lembaga yang menjadi pengemban komitmen tokoh tersebut. F. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan skripsi ini penulis bagi kedalam lima bab, masing-masing bab terdiri atas beberapa sub, untuk memperoleh gambaran yang jelas penulis uraikan sistematika sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan: pendahuluan ini berisikan latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. BAB II : Landasan teori: teori peran, kampanye, pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi BAB III : Sekilas tentang yayasan lembaga Wahid Institut: latar belakang, visimisi, program-program serta struktur organisasi lembaga Wahid Institut serta garis besar program, manajemen dan aktivitas Wahid Institut. BAB IV : Pembahasan tentang kampanye pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi: upaya-upaya yang di lakukan, pendukung dan penghambat serta analisa penulis tentang peran Wahid Institut dalam mengkampanyekan pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi di Indonesia BAB V : Penutup: Penulis mencoba membuat suatu kesimpulan dari bab-bab di atas dan yang terakhir adalah daftar pustaka. BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Peran Secara bahasa, peran dalam kamus besar bahasa Indonesia ialah beberapa tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dimasyarakat dan harus dilaksanakan. Dengan kata lain seseorang dapat dikatakan memainkan perannya apabila memiliki status di masyarakat. Teori peran (role theory) adalah teori yang merupakan sebuah perpaduan berbagai teori orientasi maupun disiplin ilmu pada dasarnya peran tidak bisa dipisahkan dengan status kedudukan, walaupun keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya, karenanya peran diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda.3 Jadi peran adalah seperangkat tindakan atau perbuatan, pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yang berkedudukan di masyarakat dalam suatu peristiwa atau keadaan yang sedang terjadi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam teorinya, Biddle dan Thomas seperti dikutip Sarlito membagi peristilahan dalam teori peran dalam empat golongan yaitu istilah yang menyangkut : a) Orang yang mengambil bagian dalam interaksi tersebut. b) Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut c) Kedudukan orang dalam perilaku. 4 d) Kaitan antara orang dan perilaku . Tidak hanya sekedar memiliki status, namun ia harus dapat menjalankan harapan-harapan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Gross, Mason, dan A.W. 3 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori Psikologi Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. Ke-8, h. 214 2. Ibid. h. 215. 6 Mc. Eachem sebagaimana dikutip oleh David Berry mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan yang di kenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Menurutnya pula bahwa harapan-harapan tersebut merupakan imbangan-imbangan dari norma-norma sosial. Berdasarkan hal tersebut maka norma-norma dan harapan-harapan yang ditentukan oleh masyarakat. Di dalam peran terdapat dua macam harapan yaitu: pertama, harapan-harapan masyarakat terhadap pemegang peran. Kedua, harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran terhadap orangorang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajibankewajibannya. Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan seseorang berperan apabila telah memiliki status. Di dalam status tersebut terdapat tugas-tugas yang sebelumnya disusun berdasarkan harapan-harapannya, namun, harus sesuai pula dengan harapan masyarakat. Sehingga, apabila dalam tugas-tugasnya yang semula disesuaikan dengan harapan orang atau lembaga yang berperan kemudian tidak sesuai harapan masyarakat, maka dapat dikatakan belum berhasil. B. Teori Kampanye Menurut pakar komunikasi Rice dan Paisley, dikatakan bahwa kampanye ialah keinginan seseorang untuk mempengaruhi opini individu dan publik, keperdayaan, tingkah laku, minat atau keinginan audiensi dengan daya tarik komunikator sekaligus komunikatif. Wiliam Albig mendefinisikan komunikiasi dalam kampanye merupakan proses pengoperan lambang-lambang yang bernama antar individu, Suatu lambang yang sama-sama dimengerti. Unsur-unsur kampanye: - Ada kegiatan atau proses komunikasi yang berlangsung dalam suatu kampanye. Berisikan rencana, tema/topik/isu, budget (dana), dan fasilitas - Komunikator, merupakan orang yang menyampaikan suatu pesan yang hendak disampaikan kepada pihak lain Jika ditarik sebuah kesimpulan dari uraian di atas, bahwa kampanye adalah menyangkut kepentingan organisasi, lembaga, perusahaan, peluncuran produk suatu barang atau jasa hingga bidang poitik, sosial, dan seni budaya, olahraga, pembangunan nasional dan sebagainya. Kegiatan kampanye dilakukan tertentu pada jangka waktu yang tertentu dan dirancang sedemikian rupa, aktraktif, kreatif, dan dinamis dalam rangka untuk mempengaruhi pihak lain5. C. Teori Pemikiran Islam, Pluralisme dan Demokrasi Pemikiran Islam Pemikiran Islam di Indonesia berkembang dengan cepat pada permulaan abad ke-20 dengan tumbuhnya modernisme. Dalam seajarah Islam, Mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam (650-1250 M), sedang pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M)6. Periode sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, pada hakikatnya merupakan periode formatif7. Ajaran-ajaran Islam mengalami kristalisasi dan bentuk yang komprehensif dan universal. Jadi masalah pembaharuan pemikiran 5 Ruslan Rosady, Kiat Dan Publc Relation,( Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005), cet Ke- 6 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung, Mizan 1996). Cet Ke- 1, h. 64. 1, h. 157 7 M Amin Rais, Kata Pengantar dalam John L. Dorhne dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, (Jakarta, Rajawali 1984), Cet Ke-1, h. v. Islam muncul setelah periode formatif, terutama setelah Islam sebagai agama dan sekaligus "great tradition" berhadapan dengan berbagai budaya lokal, berbagai paham non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yang ada, baik di dunia timur sendiri maupun dunia barat. Periode formatif pasca-Nabi bukanlah suatu periode sejarah yang tanpa konflik. Justru pada periode inilah telah muncul konflik tajam antara berbagai aliran dalam masyarkat Islam pada waktu itu, mengenai masalah ideologi, politik, sosial, moral, spiritual8. Ortodoksi Islam yang kemudian melembaga dan mengkristal setelah dua abad setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, adalah hasil pertarungan berbagai macam gagasan dan pemikiran di kalangan umat Islam yang meliputi hampir segala bidang kehidupan9. Arkoun, seorang tokoh besar Islam membagi epistema dalam sejarah Islam dalam beberapa penggalan untuk menjelaskan terma-terma "yang terpikirkan" (le pensable/ thinkable) yang "yang tak terpikirkan" (L 'impense/ Inthinkable) dan "yang belum terpikirkan" (L Impensable/ not yet though)10. Terpikirkan maksudnya ialah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, yang demikian bisa difikirkan, karena merupakan yang jelas dan boleh memikirkannya. Sedang “yang tak terpikirkan" atau “mustahil memikirkannya” atau belum terpikrkan (unthinkable) adalah hal-hal yang yang tidak mempunyai hubungan dan tidak saling terikatnya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan sehari-hari, atau jauhnya aplikasi agama dengan norma transenden yang semestinya seperti tak terikatnya apa yang dilakukan para ilmuwan dan apa yang 8 Ahmad Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta, Pustaka Al Husna 1989), Cet Ke-2, h.19. 9 Nurhidayat Muh Said, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta, Media Aktualisasi Pemikiran 2006), Cet ke-1 h. 37. 10 Ibid, Harun Nasution., .... dikerjakan para ulama, meskipun keduanya masih memiliki keterlibatan intelektual (intelektual link). Adalah kebijakan kerasulan yang sangat tinggi bahwa nabi menegaskan tidak adanya kerugian dalam kegiatan berijtihad dan ijtihad hanya akan membawa kebaikan ganda atau tunggal. Maka tidak ada yang salah dengan berijtihad. Kesalahan satusatunya ialah adanya rasa takut salah itu sendiri yang menjadikan manusia jadi statis dan tidak kreatif. Bias dari adanya rasa takut salah akan berdampak pada sumber taklid. Seharusnya, kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide, betapapun aneh kedengarannya harus mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak mustahil dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dianggap salah ternyata kemudian benar. Kenyaataan ini merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan, baik perorangan maupun organisasi dalam sejarah manusia di bumi ini. Dalam pertentangan pikiran dan ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang kecil, ia akan mendorong untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat. Karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar, kita telah kehilangan apa yang dinamakan psycological striking force (daya tonjok psikologis) untuk membikin ideide yang sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang. Sejalan dengan intelectual freedom, kita harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spectrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang menurut ukuran-ukuran objektif mengandung kebenaran, sulit dimengerti justru umat Islam lebih banyak bersifat tertutup dalam sikapnya padahal kitab suci al qur'an menegaskan semangat inklusivisme.11 11 Ibid, Harun Nasution., h. 45 Pembaharuan mempunyai pengertian pikiran gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembagan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern. Arti pembaharuan dan modernisasi hampir identik dengan rasionalisasi yaitu hasil perombakan pola pikir dan tata kerja tema yang tidak akilah (rasional) menjadi pola berpikir rasional dan tata kerja yang akilah. Kegunaannya adalah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Tujuan dari pembaharuan Islam adalah a. Untuk menyebarkan, menafsirkan dan mensistematisasi ajaran-ajaran Islam yang sifatnya global dan universal, sehingga dapat difahami masyarakat sesuai zamannya. b. Untuk menafsirkan ulang ajaran-ajaran yang sudah dianggap lama, sehingga menjadi pemahaman baru yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi baru. c. Menjadi bukti agama Islam adalah agama yang paling sempurna yang sesuai dengan segala bangsa dan zaman d. Menunjukan bahwa agama Islam adalah agama rasional yang menempatkan rasio berkedudukan tinggi, sehingga Islam tidak pernah bertentangan dengan kemajuan zaman e. Menunjukan bahwa agama Islam yang ajarannya bersumber dari qur'an dan hadist dan yang sifatnya qot'iyu dilalah, dan dzoniyyu dilalah sekarang masih asli tidak ada perubahan, sedang yang dzaniyyu dilalah penafsirannya disesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga tidak ketinggalan zaman. Pembaruan Islam menurut Harun Nasution mengharuskan umat Islam untuk menerima pluralitas keagamaan, dan perlunyas seruan yang di lakukan yaitu 1 Agama rasional, sebagai landasan bagi pandangan dunia dan moral Islam. Maksudnya adalah bahwa pilihan moral tidak selamanya mengasaskan pada wahyu, akan tetapi juga pada akal agamis yang berdaya yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk; 2 Budaya rasional sebagai landasan bagi pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu dalam pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan harus dilandaskan pada kerja budaya yang di topang oleh nalar sehat; 3 Teologi rasional, sebagai landasan bagi pembaruan dan pembaruan umat yaitu dimaksudkan untuk mengajak umat Islam agar selalu kritis tatkala hendak memulai membangun suatu langkah reformatif sekaligus menggagas upaya pembangunan bangsa; 4 Masyarakat rasional, sebagai landasan bagi aspirasi sosial, politik dan hubungan antar agama, yaitu dalam hubungan berbangsa hendaklah bersamasama memfungsikan nalar untuk duduk bersama saling menghargai baik antar sesama agama maupun beda agama12. Lepas dari keadaan yang ada sekarang di dunia Islam, terdapat sejumlah pemikir muslim di pelbgai negara Islam yang berusaha mengembangkan konsep Islam yang berbeda yaitu Islam yang tercerahkan, mereka percaya bahwa ideologi Islam yang ditentukan dari atas tidak mewakili konsep Islam yang sejati, melainkan sesuatu yang lebih baik jika disebut dengan "ideologi Islam politis". Para pemikir Islam yang tercerahkan tersebut sedang bekerja membuat metode baru dan ilmiah dalam menafsirtkan ayat-ayat al Qur'an yang di dasarkan pada prinsip atau keyakinan bahwa ayat-ayat tersebut pertama-tama harus dibaca dan di tafsirkan berdasarkan konteks historisnya. 12 h.52. Achmad Ghalib, Rekonstruksi Pemikiran Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press,2000) Cet Ke-I, Dengan demikian mereka akan menyadari dan memahami bahwa politik bukanlah doktrin yang tetap maupun metode yang pasti dalam Islam, selain itu mereka akan menyadari bahwa peristiwa-peristiwa politik hanyalah peristiwaperistiwa manusia karena itu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang ilahiah. Sebelumnya peristiwa-peristiwa politik tersebut harus dilihat dan dinilai oleh masyarakat sipil berdasarkan hak-hak asasi manusia. Kita berharap bahwa lewat pemikiran yang tercerahkan tersebut demokrasi akan menjadi tuntutan semua orang Islam dan dengan demikian mereka akan menyadari bahwa demokrasi merupakan satu-satunya jalan bagi perkembangan dan kemajuan mereka, dan hanya hanya melalui demokrasi mereka akan menjadi mampu untuk memerintah dan mengatur diri mereka sendiri13. Pluralisme Secara etimologis istilah ini berasal dari dua kata yaitu plural dan isme. Plural berarti jamak, lebih dari satu, pluralitas dapat berarti keanekaragaman, sehingga pluralitas merupakan kondisi obyek dalam suatu masyarakat yang terdapat sejumlah group saling berbeda, baik strata ekonomi, ideologi, keimanan maupun latar belakang etnis. Sedang isme artinya paham, pemahaman atau memahami. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa pluralisme adalah paham yang menyadari suatu kenyataan tentang adanya kemajemukan, keragaman sebagai sebuah keniscayaan sekaligus ikut secara aktif memberikan makna signifikansinya dalam konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara serta beragama14. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, karangan Prof. Dr. Js. Badudu 13 Islam & Barat, Demokrasi dalam Masyarakat Islam, (Jakarta: Fredrich-Naumann-Stiftung (FNS) Indonesia dan Pusat Studi Paramadina, 2002).cet 1, h. 11. 14 Ensklopedi Akidah Islam, (Jakarta: Prenada Media 2003), Cet Ke-1, h. 320. dan Prof. Dr. Sultan moh Zain, pluralisme ialah sifat yang menyatakan jamak, seperti kebudayaan yang tampak pada bangsa Indonesia . Sedang pluralisme agama berasal dari dua kata pluralisme dan agama. Dalam bahasa arab, pluralisme diterjemahkan dengan al-ta’addudiyyah al-diniyah dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Oleh karena pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus menggunakan kamus bahasa tersebut. Pluralisme dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan yaitu orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang satu atau lebih secara bersamaan baik bersifat kegerejaan maupun nonkegerejaan. Kedua, pengertian filosofis berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosiopolitis ialah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut dapat disederhanakan dalam satu makna yaitu, koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing. Dalam the encyclopedia of religion, Jhon Hick menjelaskan bahwa, pluralisme adalah sikap keagamaan antitesa dari eksklusivisme. Eksklusivisme ialah suatu pandangan bahwa hanya keyakinananya saja yang paling benar, yang lainnya tidak. Misalnya doktrin gereja katolik yang berbunyi extra eccesia nulla salus yang artinya diluar gereja tidak ada keselamatan15. Sedang eksklusifisme ialah suatu pandangan bahwa agama saya dan agama anda benar walaupun berbeda formalitasnya. Agama lain dianggap baik dalam kategori kebenaran dalam agama saya, misalnya pandangan Karl Rahner bahwa setiap kristiani adalah muslim universal16. Sebagaimana eksklusivisme pluralisme ialah suatu pandangan bahwa agama ajaran apapun yang mengajarkan kebenaran yang sejati dianggap sama dengan jalan keselamatan17. Jadi pluralisme adalah suatu cara untuk melihat dan memberikan nilai p bositif dan oktimis terhadap kemajemukan itu sendiri, menerima perbedaan sebagai sebuah realitas yang tak dipungkiri18. Pluralisme tidak dapat difahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fregmentasi bukan pluralisme, pluralisme juga tidak boleh difahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negatif good) hanya ditilik dari kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticm at bay). Pluralisme harus difahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of difertices within the bond of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan merupakan salah satu wujud kemurahan tuhan yang melimpah kepada umat manusia19. 15 Mercia Eliade (ed), The Encyclopedia or Religion, (New York: Macmillan Library Reference USA,1993), h. 331. 16 Ibid. h. 331-332 17 Ibid. h. 332 18 Nur Cholish Madjid, Islam Doktrin dan Agama, h. 296 19 Budy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta, Paramadina, 2002) Cet Ke-1, h. 31 Menurut Alwi Shihab sikap pluralisme sangat mendorong dalam rangka berdialog untuk terciptanya kerukunan antar umat beragama, ada beberapa konsep pluralisme yang dikemukakan oleh Alwi Shihab: Pertama, pluralisme bukan hanya kemajemukan semata, namun melibatkan diri (keterlibatan aktif) terhadap kemajemukan itu sendiri, kemajemukan bisa dilihat diberbagai macam tempat, pasar, kantor, sekolah dan lainnya. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme merujuk kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, hidup berdampingan disuatu lokasi, ialah suatu contoh kota new york, dikota ini terdapat umat yahudi, Kristen, muslim hindu, budha, sampai orang yang tak beragamapun ada, karena kota ini kosmopolit seakan seluruh penduduk dunia terwakili disini, namun interaksi antar agama sangat minim, itupun kalau ada. Ketiga, konsep pluralisme harus dibedakan dengan relativisme, seorang relativis akan beranggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran atau nilainilai ditentukan oleh pola pikir mereka. Sebagai contoh, kebenaran dan keyakinan yang di yakini oleh bangsa Eropa bahwa Colombus menemukan Amerika adalah sama benarnya dengan keyakinan penduduk asli benua tersebut, bahwa Colombus mencaplok Amerika. Keempat, pluralisme bukan sinkretisme, yakni memedukan dua ajaran atau lebih menjadi satu. Karena kita sudah menjumpai dari dulu hingga sekarang perapaduan keyakinan atau agama. Contoh, New Age Religion (agama masa kini) perpaduan yoga Hindu, meditasi Budha, tasawuf Islam dan mistik Kristen20. Dari beberapa bahasan diatas maka terdapat kesimpulan; pertama, bahwa pluralisme merupakan sebuah pemahaman keberbedaan sekaligus dalam arti 20 Alwi Shihab, Islam Inklusif (Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama), (Bandung; Mizan, 1999), h. 41 kemajemukan, menjalani kehidupan bersama dalam kesadaran akan sikap saling menghargai, menghormati dan memahami berbagai perbedaan baik suku, ras agama bahkan kehidupan sosial politik. Kedua, pluralisme sedikitnya memiliki tiga unsur yang menjadi bagian adanya berjalannya pluralisme yaitu 1 Adanya dialog, yaitu dialog antar agama, aliran dan keyakinan yang berbeda; 2 Penilaian positif. yaitu menilai baik terhadap berbagai kemajemukan yang ada, dan 3 Menerima perbedaan. Demokrasi Pengertian demokrasi. Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu “demos“ yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau ”cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demokrasi berarti keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tinggi berada di tangan rakyat dan di jalankan oleh rakyat yang bertujuan untuk melindungi hak maupun kedaulatan rakyat itu sendiri Sementara itu pengertian demokrasi secara istilah yang dikemukakan para ahli sebagai berikut a. Menurut Joseph A. Schmitter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. b. Sidney Hook berpendapat demokrasi ialah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputussan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. c. Pilippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyatakan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih. d. Hendry B. Moyp menyatakan demokrasi sebagai suatu sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara aktif oleh rakyat pada pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi oleh masyarakat oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan pada persamaan prinsip persamaan politik dan diselenggarakan dalam susasana terjaminnya kebebasan politik. Affan Gaffar (2000) memaknai demokrasi dalam dua bentuk, yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif) yaitu demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara. Dan secara empirik (demokrasi empirik) yaitu demokrasi dalam perwujudannya pada politik praktis21. Dalam hubungannya dengan Islam, perdebatan (diskursus) dan wacana antara hubungan antara Islam dan demokrasi sebagaima diakui oleh Mun’im A. Sirry masih menjadi perdebatan dan wacana yang menarik dan belum tuntas. Berdasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh John L. Esposito dan James P. Picatory (Sukron 21 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic society) demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masayrakat Madani, (Jakarta, ICCE UIN Jakarta, 2003), Cet Ke-1 Kamil, 2002) secara umum dapat dikelompokan dalam tiga kelompok pemikiran (Mun’im A.Sirry): a) Pertama, Islam dan demokrasi ialah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi. Islam adalah sistem politik yang self sufficient. Hubungan keduanya bersifat mutually exclusive. Islam dipandang sebagai sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Islam berbeda dengan demokrasi, apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti difahami dan dipraktikan dinegara-negara maju (barat), sedang Islam merupakan sistem politik demokratis. Kalau demokrasi didefinisikan secara substantif, yaitu keaulatan berada ditangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat. b) Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikan negara-negara maju. Di Indonesia pandangan yang ketiga tampaknya lebih dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan negara-negara muslim lainnya. Di antara tokoh dalam kelompok ini Fahmi Huwaidi, alAqqad, M.Husain Haikal, Zakaria Abdul Mun’im, Robert N. Bellah dan sebagainya. Di Indonesia diwakili oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur), Amin Rais, Munawir Syadali, A. Syafii Maarif dan Abdurrahman Wahid. Ada beberapa alasan teoritis yang bisa menjelaskan tentang lambannya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi (demokratisasi) di dunia Islam: a) Pertama, pemahaman doktrinal menghambat praktek demokrasi, teori ini dikembangkan oleh Elie Khudorie bahwa gagasan demokrasi masih cukup asing dalam mind-set Islam. Hal ini dikarenakan kebanyakan kaum muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam. b) Kedua, persoalan kultur, demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara muslim sejak paruh pertama abad duapuluh tapi gagal, tampaknya ia tidak akan sukses pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat (komunitas) muslim sudah terbiasa dengan otokritasi dan ketaatan pasif, teori ini dikembangkan oleh Bernard Lewis dan ‘Ajami. Karena itu langkah yang harus ditempuh adalah penjelasan cultural mengapa demokrasi tumbuh subur di Eropa, tetapi didunia Islam malah otoritarianisme yang tumbuh dan berkembang. c) Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran dan diatas segalanya adalah waktu. John L. Esposito dan O. Voll adalah tokoh yang tetap optimis terhadap massa depan demokrasi.22 Masalahnya, seperti dikatakan oleh Munawir Sadzali, apakah Islam memberikan pedoman mengenai negara dan pemerintahan? Soal pemilihan dan suksesi kepala negara, tidak ada petunjuknya dalam Al Quran maupun sunah Nabi. Bahkan, menurut Dr Qomaruddin Khan, tidak ada istilah dalam al-Qur’an yang merupakan padanan “negara” atau “pemerintah”. Kata al daulah, yang biasa dikutip sebagai istilah untuk negara, bukan istilah al-Quran, melainkan para ahli fikih. Yang ada hanya petunjuk-petunjuk normatif yang bisa saja dijadikan landasan teoretis mengenai negara, misalnya keadilan, prinsip amanah, musyawarah, dan semacamnya. 22 Ibid. Kehidupan demokrasi tidak akan lepas dari terpenuhinya unsur-unsur demokrasi sendiri yang diantaranya adalah HAM, di mana di dalamnya terdapat jaminan kebebasan berfikir, berargumen serta mengemukakan pendapat seperti halnya jaminan akan kebebasan berkeyakinan. Secara lahiriah kebebasan ini dapat meminimalisir hegemoni kekuasaan dan tekanan-tekanan situasional maupun kondisional, yang dapat mengurangi kenyamanan individu dan kelompok dalam dominasi mayoritas. Bila membahas demokrasi maka akan ditemukan infrastruktur demokrasi, adapun infrastruktur tersebut ada tiga macam yaitu: 1 Kedaulatan rakyat 2 Kepastian dan keadilan hukum 3 Budaya demokrasi. Budaya demokrasi menempati posisi yang strategis bagi infrastruktur demokrasi yang normal tentunya disamping kedaulatan rakyat dan kepastian keadilan hukum. 23. Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali kelompok mayoritas tidak menghomati perbedaan yang mengkibatkan pemasunganhak-hak warga negara, mungkin dapat dikarenakan kekhawatiran perubahan kemapanan yang ada pada dan menguntungkan pihak mayoritas, bahkan gejala ini akan berlanjut pada pencegahan atas berbagai perbedaan yang dan akan muncul. Karena itu kebebasan berfikir, berargumen serta mengemukaan pendapat berkaitan erat dan tidak terpisahkan dengan konsep pluralisme sebagai konsekwensi logis sistem demokrasi. 23 Azwir Dainy Tara, Peran Pengusaha Dalam Membangun Demokrasi, (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), Cet Ke-1, h. 114. Pada pemikiran seperti inilah kita dapat melihat pentingnya sesuatu atau seseorang atau sebuah lembaga untuk mengawal proses demokrasi yang menjunjung kebebasan berfikir dan pluralisme sebagai bagian penting kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. BAB III SEKILAS TENTANG WAHID INSTITUT A. LATAR BELAKANG LEMBAGA WAHID INSTITUT Nama lengkap Lembaga adalah Yayasan Lembaga Wahid Institut atau sering disebut dengan The Wahid Institute yang secara resmi diluncurkan pada 7 September 2004 di Ballroom Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta. Sedang alamat kantor lembaga tepatnya berada di Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Matraman Jakarta Timur. Meski demikian pergulatan ide, penyelenggaraan kegiatan dan pengurusan legalitas formal untuk pendirian The Wahid Intitute telah dirintis satu tahun sebelumnya yang digagas oleh: a. K.H. Abdurrahman Wahid b. Dr. Gregorius Barton c. Yenny Zanuba Wahid, dan d. Ahmad Suaedy Situasi dunia yang terus menerus diwarnai kekerasan dan ketegangan serta fenomena terorisme dengan apapun alasan belakangnya, dari hal ini mengharuskan diupayakannya usaha-usaha bersama berupa dialog dan kerjasama antar bangsa dan kelompok tanpa membedakan suku bangsa, agama, etnis dan sebagainya. The Wahid Institut lahir di inspirasi oleh kebutuhan semua komponen masyarakat khususnya Islam untuk terlibat dalam upaya mencari jalan keluar bagi persoalan tentang situasi dunia yang terus menerus diwarnai kekerasan dan ketegangan serta fenomena terorisme dengan berbagai alasan di belakangnya, dari hal ini mengharuskan diupayakannya usaha-usaha bersama diantaranya berupa dialog dan 23 kerjasama antar bangsa serta kelompok tanpa membedakan suku bangsa, agama, etnis dan sebagainya. Sejak sebelum menjadi presiden dan membentuk partai, Gus Dur selalu bercita-cita bagaimana di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini mempunyai sumbangan yang lebih kongkrit terhadap kepemimpinan di dunia di dalam proses dialog peradaban. Seperti yang di ungkapkan Ketua PP Muhamadiyah dan Ketua Yayasan Al-Mauun apa yang di sampaikan Gus Dur saat itu, "kang nanti saya di Ciganjur ini akan buat pusat study Asia Tenggara, sampeyan, mas Habib Chirzin tinggal di sini, nanti kita beli tanah di sini dan kita tinggal bersama". Pusat study Asia Tenggara itulah yang di cita-citakan Gus Dur bahwa disanalah nanti tokoh-tokoh Islam yang kemudian punya pemikiran masa depan bisa bertemu, berkumpul kemudian membuat Indonesia sebagai simpul dinamika agama di Asia Tenggara. Dari hal di atas kami menemukan sebuah landasan yang kokoh dalam cita-cita komitmen dan prisip-prinsip intelektual dari K.H. Abdurrahman Wahid diantaranya untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu sebuah tatanan masyarakat yang adil dan demokratis serta memperlakukan seseorang secara setara. Semua itu tantangan yang besar dan berat dan Wahid Institut ingin mengambil peran untuk memperkuat civil Islam dalam mewujudkan perubahan sosial, pembaharuan dan pemikiran keagamaan, tentunya tanpa meninggalkan warisan (turats) pemikiran dan kebudayaan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. B. VISI DAN MISI Berdirinya Wahid Institut bertujuan mewujudkan prinsip-prinsip dan cita-cita intelektual Gus Dur untuk membangun pemikiran Islam moderat, Yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama, multikulturalisme dan toleransi dikalangan kaum muslim di Indonesia dan seluruh dunia. Wahid Institut mengemban komitmen menyebarkan gagasan Islam progresif yang mengedepankan toleransi dan saling pengertian dalam masyarakat dunia Islam maupun barat. Wahid Institut juga membangun dialog di antara pemimpin agamaagama dan tokoh-tokoh politik di dunia Islam dan barat. C. PROGRAM-PROGRAM WAHID INSTITUT a. Kampanye Pemikiran Islam, Demokrasi dan Pluralisme Dengan jalan memfasilitasi komunikasi dan kerjasama antara intelektual muslim dengan non muslim yang berminat terhadap perkembangan Islam masyarakat muslim, agama-agama dan kepercayaan, Wahid Institut membuat penerbitan website, menyelenggarakan diskusi dan konferensi, serta merilis briefing tentang Islam dan isu-isu strategis secara berkala dengan bertujuan memberikan kontribusi lembaga terhadap isu-isu maupun wacana yang berkembang dalam masyarakat. Dan dalam realisasinya lembaga melakukan beberapa kegiatan berupa: b. Capacity-Building untuk Perkembangan Islam Progresif di Indonesia. Setelah melakukan pemetaan gerakan Islam untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai unsur-unsur terpenting civil Islam di Indonesia, Wahid Institut telah memiliki database tentang person, kelompok dan gerakan yang komprehensif. Dan saat ini telah tercipta jaringan para pelaku gerakan, organisasi maupun individu Islam progresif di sejumlah daerah di Indonesia antara lain, Jakarta, Cirebon, Yogyakarta, Makasar, Lombok, Padang, Aceh, Salatiga, Solo, Banjarmasin dan sulawesi Selatan. Untuk merealisasikan program ini lembaga menyelenggarakan tindak lanjut berupa: 1. Forum Refleksi bersama jaringan muslim progresif Indonesia Program ini dimaksudkan untuk memperkuat komunitas masyarakat muslim yang menginginkan demokrasi, perdamaian dan keadilan. Melalui pertemuan antar aktivis dan pemimpin agama Islam di beberapa daerah di Indonesia. Dengan membangun jaringan-jaringan di seluruh Indonesia. 2. Pendidikan Dalam program ini Wahid Institut memberi kesempatan kepada generasi muda diseluruh Indonesia yang memiliki pengetahuan cukup mengenai Islam untuk mengikuti belajar bersama selama 5-6 bulan setiap tahun tentang pemikiran dan gerakan muslim progresif. Program ini diadakan melalaui kelas usul fiqih progresif yang dilaksanakan setiap hari jum,at di kantor Wahid Institut c. Advokasi dan Penguatan Masyarakat Akar Rumput Sebagai lembaga studi riset dan sekaligus gerakan, maka Wahid Institut tidak membiarkan problem-problem mendasar yang menjadi perhatian banyak masyarakat dan publik tanpa adanya tindak lanjut. Atas dasar program tersebut lembaga mencoba memberikan solusi terhadap peristiwa maupun problem yang terjadi dengan melihat dan terjun langsung dalam masyarakat. Disamping melakukan hal-hal yang terencana dalam jangka panjang yang berkesinambungan lembaga juga tidak melupakan masalah-masalah darurat yang harus dilakukan, sejauh yang bisa dijangkau.24 D. STRUKTUR LEMBAGA WAHID INSTITUT Lembaga Wahid Institut memiliki susunan struktur pengurus dan SDM sebagai berikut: Direktur : Yenny Zannuba Wahid Direktur eksekutif : Ahmad Suaedy Manager (general secretary) : Ainun Program officer publikasi dan media relasi : Gamal ferdhi Asisten program officer CB, 24 pendidikan & pemberdayaan masyarakat : M. Subhi Editor sekaligus reporter : Nurul Huda Editor English (outsorcs) : Cris Holm Sumber Informasi Dokumen, Lembaga Wahid Institut Staf dokumentasi dan IT : Cahya Staf keuangan dan akaunting : Farid Laily S Staff administrasi dan sekretaris : Linda Ruyana Selain susunan yang tersebut diatas, Wahid Institut memiliki SDM non struktural dalam memenuhi tuntutan kerjanya. Adapun SDM nonstruktural tersebut adalah: Advisor : Rumadi dan Muqsith Ghazali Translator : Aref Hakim Budiawan Staff program khusus, Satpam dan Officeboy Outsorces program dan proposal dan Staff operasional kafe25 E. GARIS BESAR AKTIVITAS, PROGRAM DAN MANAGEMENT WAHID INSTITUT 1. Aktivitas Secara garis besar, aktivitas di lembaga Wahid Institut terbagi dalam empat kegiatan yaitu: 1. Program/ kegiatan 2. Managemet/ kinerja 3. Pengembangan SDM 4. Sarana dan prasarana 2. Program Dalam aktivitasnya, secara umum lembaga program, yaitu: 25 Ibid ini menjalankan dua kategori 1. Program Kerja Pada kategori ini dalam pelaksanaannya terbagi menjadi 2 divisi yaitu: a. Divisi publikasi dan media relasi b. Divisi capacity building, pendidikan dan pemberdayaan, 2. Program Charity. Program-program charity meliputi dua hal yaitu a. Kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah b. Memberikan bantuan untuk berbagai lembaga dan relawan-relawan. 2. Manajemen Dalam mangementnya, Wahid Institut melakukan beberapa kinerja yang selanjutnya adalah menciptakan profesonalisme kerja di lingkungan Wahid Institut itu sendiri diantaranya dengan berusaha memberikan job description dan mengadakan perbaikan serta peningkatan kinerja baik ditingkat managerial, tingkat staf maupun karyawan. 4. Sarana dan prasarana Sarana dan prasarana pendukung dalam lembaga ini diantaranya: a. Kantor permanen, dengan semua fasilitasnya b. Perlengkapan IT c. Perlengkapan dokumentasi d. Internet e. Indovision f. Alat-alat peliputan g. Alat transportasi h. Ruang training dengan fasilitasnya i. Kafe dan toko buku dengan perlengkapannya j. Mesin fotokopi k. Ruang file dan perpustakaan l. Dan lainnya26. 26 Ibid BAB IV A. UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN WAHID INSTITUT DALAM MENGKAMPANYEKAN PEMIKIRAN ISLAM, PLURALISME DAN DEMOKRASI DI INDONESIA 1. Kampanye Pemikiran Islam Progresif dan Pluralisme. Dalam rangka mendukung sekaligus mengkampanyekan pemikiran Islam progresif dan pluralisme Wahid Institut mengadakan berbagai kegiatan sebagai realisasi nyata dalam bingkai perjuangan lembaga yang berwawasan kebangsaan dengan menjunjung tinggi demokrasi berupa pemberian hak bicara kepada setiap warganegara, mendorong terciptannya toleransi, kesadaran pentingnya pluralisme agama-agama dan multikulturalisme. Untuk memperjuangkan hal-hal tersebut lembaga melakukan gerakan sosial agama dengan gerakan-gerakan nyata secara konsisten demi terlaksananya visi dan misi program yang di usung Wahid Institut sendiri. Adapun upaya yang dilakukan lembaga antara lain a. Peluncuran Website Sebagai upaya membangun media jaringan komunikasi, Wahid Institut mengelola dua website dan masing-masing situs tersebut disajikan dalam dua bahasa yaitu berbahasa Inggris dan Indonesia yang di up-date setiap hari, proses up-date dimulai pada bulan Januari sampai Desember yaitu http//www.wahidinstitute.org/ dan http://www.gusdur.net/ dengan beragam rubrik, adapun rincian rubrik tersebut adalah: a. Home Merupakan tampilan alamat situs lembaga yang berisi pilihan pengguanaan situs dengan bahasa Indonesia atau bahasa inggris. 30 b. Tentang Kami Dalam rubrik ini di deskripsikan secara singkat tentang lembaga Wahid Insitut, bagaimana seminar dan peluncuran lembaga yang dapat di klik didalamnya, latar belakang sejarah, visi-misi, program-program, pengurus organisasi, termasuk juga alamat dan rekening lembaga. Keberadaan rubrik ini memberikan perkenalan awal bagi pengguna web dalam mengakses situs tersebut, sehingga pengunjung secara umum mengetahui garis besar keberadaan maupun gambaran aktivitas serta program lembaga c. Berita dan Agenda Rubrik berita dan agenda merupakan bagian penting bagi para pengunjung situs lembaga, di mana pengguna dapat membaca dan mengetahui berbagai aktivitas maupun kegiatan-kegiatan apa saja yang telah dan sedang di lakukan oleh lemabaga. Rubrik ini berguna bagi peneliti maupun kolega yang ingin mengetahiu detail perjuangan, gerakan dan upaya-upaya berkaitan dengan program lembaga, yang menitik beratkan perjuangan tersebut pada beritaberita dan apa yang terjadi di sekitar lembaga. d. Aktivitas Berkenaan dengan aktivitas lembaga dalam rubrik ini, penggunjung dapat mengetahui informasi-informasi penting pada lembaga, di mana diantara aktivitas-aktivitas tersebut tersirat apa garis besar kegiatan lembaga, sehingga penguna, peneliti maupun kolega dapat melihat dan dapat menilai peran apa yang dilakukan oleh lembaga dalam rangka menerjemahkan komitmen Gus Dur di Indonesia maupun dunia internasional. Bagaimana sepak terjang yang telah dilakukan dan gigihnya lembaga membela komitmen tersebut e. Opini Pada rubrik ini pengguna dapat membaca opini-opini yang berkaitan dengan pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi yang sedang di usung Wahid Institut, diharapkan penguna dapat mengetahui bagaimana masyarakat harus memahami masalah dan isu-isu yang tumbuh di tengah mereka.. Masyarakat kadang melihat sebuah masalah pada kondisi yang dhahir saja, sehingga esensi masalah sesungguhnya menjadi kabur.. Penyebaran infirmasi opini ini dapat memberikan arti dan alternatif-alternatif baru terhadap isu-isu yang sedang berkembang. Serta bagaimana opini versi lembaga menanggapi berbagai hal maupun wacana yang muncul. Seperti opini tentang bagaimana Solusi terhadap Masalah Jamaah Ahmadiyah oleh Johan Effendi yang di tulis di Tempo, 12 januari 2008. f. Buku Rubrik buku ini memberikan informasi buku-buku yang di terbitkan oleh lembaga sendiri maupun hasil kerjasama dengan penerbit lain lengkap dengan resensinya. Lembaga berhasil menerbitkan beberapa buku diantaranya buku Islamku, Islam anda dan Islam semua, karya Abdurrahman Wahid, Gus Dur Memilih Kebenaran daripada Kekuasaan, Wawancara dengan KH. Syarif Utsman yahya, Islam Kosmopolitan, karya KH. Abdurrahman Wahid, Dua Wajah Islam: Moderatisme Vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, Karya Stephen Sualaiman Schwartz.dan buku-buku lainnya. Juga buku berjudul Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia, Karya Ahamad Suaedy dkk. Adapun buku yang ditulis Suaedy dkk menginformasikan bahwa keterbukaan dan kebebasan berekspresi tak selamanya menjadi garansi bagi terwujudnya sikap saling menghormati. Ancaman kebebasaan beragama atau berkeyakinannya, terus hadir hilir mudik di depan mata. Gelombag penyesatan atas kelompok agama atau keyakinan yang dianggap berbeda, terus terjadi tiada henti. Konflik komunal terus berlangsung . isu kristenisasi juga tak kunjung pudar. g. Jaringan Pada rubrik ini lembaga menampilkan beberapa jaringan dari lembaga dalam melaksanakan aktivitas dan merealisasikan visi dan misi lembaga masing-masing. Pada rubrik ini terdaftar LSM serta organisasi tersebut lengkap dengan alamat dan yang berkaitan dengannya. Di antara jaringan lembaga tersebut ialah Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS), Lemabaga Studi Kemanusiaan (LenSA), Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS ), Desantara-Institut For Cultural Studies dan lembaga-lembaga lainnya. h. gusdur.net. Rubrik ini merupakan akses khusus bagi para pengguna http://www.wahidinstitute.org/ yang ingin melihat situs kedua lembaga yaitu http://www.gusdur.net/. Misi pendirian lembaga diantaranya ialah mengimplementasikan komitmen-komitmen Gus Dur, oleh karenanya penting kiranya penguna situs, maupun para kolega mengetahui secara utuh program, isu maupun wacana yang diangkat oleh lembaga dan pemikiran-pemikiran dari Gus Dur. Adapun situs http;//www.gusdur.net/ berisi rubrik: Editorial, Kolom, Pemikiran Gus Gur, Biografi Gus dur, Gus Dur yang saya kenal, Anekdot, dan Alamat klik situs Wahid Institut27. Dari monitoring yang dilakukan keredaksian situs-situs ini di peroleh kesimpulan bahwa ada indikasi peningkatan minat yang cukup signifikan terhadap perkembangan wacana dan program yang ada dalam wahid Institut informasi dan berita Gus Dur, hal ini terlihat dari data yang ada pada lembaga periode JanuariDesember 2005, tercatat pengunjung situs www.gusdur.net sebanyak 180.691 unit pc, sedang www.wahidinstitut.org tercatat 16.01428. Dari jumlah rubrik yang di minati dapat dijadikan parameter karakteristik pengunjung masing-masing situs ini. Pada 10 Desember 2007 penulis mencoba membuka situs www. Gusdur.net dan tercatat sebagai pengunjung situs yang ke 999.999. Dari data-data ini terdapat Indikasi yang membuktikan keberhasilan penggunaan media situs ini terhadap visi dan misi yang ada. b. Suplemen di Majalah Wahid Institut bekerjasama dengan majalah GATRA, menerbitkan suplemensuplemen. Suplemen ini diterbitkan dalam kolom-kolom majalah seperti GATRA yang diterbitkan secara berkala di akhir bulan pada setiap penerbitan suplemen dengan tema-tema pilihan pada tahun 2005. 27 28 http : / / www.wahidinstitut.org/ Arsip The Wahid Institut, laporan tahunan periode 2005 Kerjasama dalam penerbitan suplemen Wahid Institut pada tahun berikutnya yaitu 2006 di fokuskan di majalah TEMPO yang beroplah 120.000 eks. Tema berkisar pada misi Wahid Institut menyebarkan Islam yang damai dan plural dengan isinya seputar bagaimana masyarakat menjalani kehidupan dalam pluralitas melalui atau mencoba alternatif-alternatif yang efektif dalam rangka kehidupan yang damai jauh dari tindak-tindak kekerasan. Tercermin tersebut terlihat seperti petikan penerbitan suplemen Wahid Institut IV/ Tempo, edisi 29 Januari - 4 Februari 2007 bertema Hijrah dari Kekerasan. Kekerasan atas nama agama belum juga reda.namun banyak fakta, para pelakunya kini hijrah menjadi penyeru perdamaian dan Islam toleran, bukan hanya di Indonesia tapi juga di dunia Arab. Dan karena respon pembaca yang luar biasa, setelah menerbitkan 12 edisi, suplemen diperpanjang enam edisi. Kini, pada edisi ke-13 menampilkan dakwah Islam yang damai melalui radio swasta dan radio komunitas29 dari gejala ini setidaknya kita dapat melihat indikasi dan sedikit dari keberhasilan penggunaan media tersebut oleh lembaga. Kebutuhan pengetahuan walaupun ringan apabila kemas dengan apik akan menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat bahkan dapat sama dan lebih mengena dibandingkan dengan suguhan wacana-wacana aktual dan berat. Kadang sebuah pengetahuan terlewati begitu saja karena di pandang soal mudah padahal anggapan mudah ini bisa menjerumuskan orang itu sendiri. Keberadaan suplemen mengetengahkan nilai bantu pengetahuan-pengetahuan umum yang dapat dinikmati dan di cermati sebagai informasi-informasi baru. 29 Wahid Institut, Nawala, The Wahid Institut seeding Plural and Peaceful Islam. No 3, JuliOktober 2007, h.8 c. Buletin Manajemen Wahid Institut menerbitkan kajian-kajian dan tema-tema yang berkaitan dengan programnya dalam bentuk media cetak berupa bulletin. Penerbitan ini disosialisaikan berkala setiap bulan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat akan pentingnya pengetahuan pada berbagai isu yang sedang berkembang Buletin bertema Agama dan Keyakinan dalam R-KUHP yang dari awal terbit bulan Mei sampai Februari mengulas Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia pada pasal 28e ayat 1dan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, pasal 8 dan 22 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, terutama 156a KUHP yang selengkapnya berbunyi : "Di pidana dengan pidanan penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan Yang Maha Esa." Pasal 156a, dalam praktiknya memang menjadi semacam peluru yang mengancam daripada melindungi warga negara. Ancaman itu terutama bila digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama30. Bentuk peran media ini berupa manivestasi-manivestasi dengan berbagai variasi-variasi pemikiran bagi para pembaca terhadap wacana yang di perlukan untuk membangun pluralisme dan demokrasi yang sudah terlampai oleh tindakan maupun pemahaman yang tergejala doktrin konservatisme dan inkonstitutsionalisasi kelembagaan negara. Sehingga dari tulisan-tulisan ini terdapat harapan akan adanya 30 Tim Wahid Institut, Buletin The Wahid institute, Agama dan Keyakinan dalam R-KUHP, .(jakarta: Penerbit Wahid Institut No 2/ Juni 2006).h. 2 pemahaman-pemahaman dan perilaku-perilaku baru dalam masyarakat secara umum maupun khusus. d. Newsletter Selain bulletin, Wahid Institut menerbitkan newsletter, kegiatan ini bertujuan untuk membahas berbagai masalah dalam masyarakat yang berkaitan dengan program Wahid Institut berupa wacana demokrasi, pluralisme maupun pemikiran Islam. Ada dua Newsletter yang diterbitkan lembaga yaitu Nawala yang terbit empat bulanan sebanuya enam edisi dengan tema seputara Legislasai,. Pluralisme dan pilkada, nawala yang terbit terakhir menyoal FKUB yang "direkayasa" untuk merukunkan umat beragama. Sedang majalah Warta terbit tiap bulan edisi 1 sampai 4 dari bulan Juni sampai desember. Termasuk yang menjadi tujuan penerbitan newsletter ini adalah menyebarkan isu dan program pemantauan pluralisme terebut. Penerbitan ini bersifat aksidental, dalam artian kegiatan ini merupakan upaya untuk menanggapi beberapa hal-hal, isu-isu, maupun problem yang terjadi dan berkembang di masyarakat atau hal yang berkaitan dengan program lembaga Wahid Institut. e. Indeks pelanggaran pluralisme Indeks pelanggaran pluralisme ini diadakan berkenaan dengan berbagai masalah-masalah yang terjadi di Indonesia dengan tujuan meminimalisir pengaruh negatif berbagai isu-isu, memberikan kritik, pesan-pesan, maupun saran-saran terhadap masyarakat serta ikut menawarkan solusi-solusi alternatif yang dapat digunakan dalam rangka menanggapi berbagai perkembangan suatu kejadian berupa kegiatan memberikan penjelasan secara langsung kepada khalayak semisal program pemantauan plurlisme dan legislasi (pluralism and legislation watch program) yang diselenggarakan Wahid Institut bekerjasama dengan the Asia Fondation dari Mei 2006 sampai Oktober 2007. Dalam rangka pemanauan tersebut Wahid Institut dan mitra selama tahun terakhir itu melakukan serangkaian kegiatan konsultasi publik di enam daerah, yakni NAD, Jawa Timur, Makasar, DIY, Jawa Barat, dan Jakarta. f. Penerbitan buku Dalam upaya meningkatkan pengetahuan wawasan masyarakat, Wahid Institut ikut andil dalam perkembangan khazanah wacana di Indonesia. Hal tersebut dilakukan dengan kegiatan dalam bentuk penerbitkan buku-buku ilmiah khususnya dari karya tulis KH. Abdurrahman Wahid seperti buku yang berjudul Islam Kosmopolitan yang tampaknya Gus Dur hendak mengatakan berbagai peristiwa sosial, politik dan budaya yang menyisakan konflik harus didekati dengan kacamata sosiologis dan pengertian yang bijak. Bukan malah memeposisikan agama sebagai alternatif yang justru akan melemahkan fungsi agama dalam ranah sosial. Islam haruslah tetap berperan dalam penegakan msalah-masalah kemanusiaan. Islam pernah mencapai titik twertinggi dalam peradaban manusia, justru ketika ia memberikan kebebasan kepada semua orang untuk berekspresi dan berkreasi. Hanya dengan cara yang sama, menulis, berargumentasi ,orang boleh berbeda tapi tidak boleh dengan kekerasan apalagi penindasan. Buku karya lain Abdurrahman Wahid seperti buku Islam ku, Islam anda, dan Islam kita yang mengulas berbagai dinamika sosial politik Indonesia dan dunia Islam mutakhir juga penulis-penulis lain; seperti kala MUI jadi penjara yang mengetengahkan kumpulan tokoh muslim Indonesia dalam menyikapi fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI tentang haramnya pluralisme, liberalisme dan sekulerisme, serta mendirikan penerbitan buku dari hasil kerjasama dengan penerbit lain seperti Lib Forall, Blantika, LKiS, majalah GATRA, Asia Fondation, dll. Contoh Kasus Aliran Sesat Dalam beberapa tahun ini masyarakat Indonesia diramaikan dengan fenomena fatwa penyesatan terhadap berbagai aliran dan kelompok terutama oleh MUI sebagai organisasi yang mengatasnamakan diri sebagai lembaga atau representasi dari masyarakat Indonesia, sehingga MUI baik pusat dan daerah muncul seolah-olah ingin menunjukan dirinya sebagai kekuatan yang dianggap paling otoritatif untuk menentukan sesat tidaknya sebuah aliran keagamaan. Hal ini di perparah dengan keikutsertaan berbagai kelompok fundamentalis yang dengan mudah mengklaim sesat terhadap berbagai kelompok ajaran Islam lain. Fatwa penyesatan dan pengharaman terhadap beberapa aliran pemikiran ini menjadi polemik yang semakin ramai karena berimbas pada terjadinya tindak anarkis di mana-mana dengan pembakaran masjid, mushalla, rumah, mobil bahkan jatuhnya korban jiwa tanpa ada tindakan nyata dari pemerintah atau aparat yang berwajib. Tindakan anarkis yang marak, relatif lama dan selalu ramai di Indonesia adalah penyesatan terhadap aliran Ahmadiyah Pada 6 November 2007 MUI merilis sepuluh pedoman untuk mendeteksi aliran sesat. Seseorang atau sekelompok orang akan dapat dengan mudah dianggap sesat jika mengingkari salah satu poin tersebut. Sepuluh pedoman itu yaitu; pertama, mengingkari salah satu rukun iman yag enam; kedua, meyakini dan atau mengingkari akidah yag tidak sesuai dengan al-Quran dan sunnah; ketiga, meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; keempat, mengingkari otentisistas dan atau kebenaran alQuran; kelima, melakukan penafsiran al-Quran yang tak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; keenam, mengingkari kedudukan hadist nabi sebagai sumber ajaran Islam; ketujuh, meghina, melecehkan dan atau merendahkanpara nabi dan rasul; kedelapan, mengingkari nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; kesembilan, mengubah, menambah atau mengurangi pokok-pokok ibadah yag telah di tetapkan oleh syariah, seperti haji tidak baitullah, shalat wajib tidak lima waktu; kesepuluh, mengkafirkan sesame muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan muslim karena bukan kelompoknya31. Seperti di kemukakan dalam Montly report on Religious Issus, pedoman ini dihasilkan dalam Rapat Kerja Nasional MUI 2007, yang digelar di hotel Sari Pan Pasific di Jln. Thamrin Jakarta selama tiga hari, mulai 4 sampai 6 November dan di hadiri seluruh pengurus MUI, ketua dan sekretaris MUI provinsi se-Indonesia. Pada pertmuan itu juga menghasilkan tigabelas rekomendasi terkait situasi terakhir. Pihak MUI beralasan, 10 kriteria aliran sesat itu menjadi menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat, yang konsekwensinya MUI meminta tambahan anggaran sebesar 13% untuk proyek penyesatan ini dari Rp 16 triliyun menjadi 18 triliyun pertahun (Detik.Com, 3/11/2007) dan ketika membuka Rakernas MUI di istana Negara, presiden dengan tegas menyatakan akan mengikuti dan mengamini langkah MUI. Kapolripun berjanji akan menindak tegas penganut dan aktor intelektual aliran sesat32. Langkah MUI ini di khawatirkan akan memicu anarkis seperti kasus terhadap Ahmadiyah yang telah terjadi belakangan, karena fakta yang terjadi setiap fatwa dan pelarangan terhadap paham keagamaan selalu menimbulkan masalah baru. Sehingga perlu di rumuskan kembali bagaimana menyelesaikan isu tersebut tanpa menimbulkan 31 Tim Wahid Institut, Monthly Report on Religious Issues. (Jakarta: Penerbit Wahid Institut, edisi 4 Tahun 2007), Cet Ke-1, h. 2 32 Ibid…h. 1 hal-hal yang tidak di inginkan. Kasus Ahmadiyah merupakan contoh kasus yang terjadi di Indonesia dengn persoalan yang relatif lama. Jamaah Ahmadiyah merupakan gerakan Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 M/1306 H. Kelahiran Ahmadiyah sendiri beriorientasi pada pembaruan pemikiran yang bertujuan memperbaiki kehidupan agama Islam yang mempersatukan ummat Islam Menjelang sejarah lahir dan berdirinya Ahmadiyah, keadaan dunia diliputi oleh berbagai masalah pelik yang hampir sulit dicarikan solusinya bahkan masyarakat waktu itu sudah mulai melepaskan agama sebagai pondasi dan pegangan hidup. Pada tahun 1914 M. akibat perbedaan prinsipil tentang kenabian Mirza Gulam Ahmad aliran Ahmadiyah terpecah menjadi dua aliran; pertama, aliran qodian, yang meyakini Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi sebagai penutup kenabian; kedua, Ahmadiyah Lahore yaitu aliran Ahmadiyah yang meyakini bahwa pintu kenabian telah tertutup dan Mirza Gulam Ahmad hanya sebagai mujadid, al Mahdi dan Masih Masud sama seperti khalifah I. Perlu kita catat bahwa Jamaah Ahmadiyah Indonesia sudah hadir di bumi Nusantara ini sejak 82 tahun yang lalu. Mubalig Ahmadiyah pertama datang ke Indonesia pada 1925 M. Kedatangan Ahmadiyah sendiri di dahului dengan perginya beberapa orang Indonesia untuk belajar ke Qodian di India. Dikatakan oleh Hamka masuknya informsi Ahmadiyah adalah melalui majalah-majalah yang datang ke Indonesia seperti majalah Islamic Review edisi melayu yang terbit di Singapura. Sejak awal kedatangan aliran ini telah timbul reaksi dari kalangan ulama Islam sampai terjadi perdebatan dan polemik. Hal ini terjadi di Minangkabau dan Jakarta yang dilakukan dengan adu argumentasi. Saat itu tidak ada tuntutan pelarangan, tidak ada berita perusakan. Kedua belah pihak saling menghormati pendirian masingmasing. Persoalan Ahmadiyah kembali menjadi hangat setelah Rabithah Alam Islami memfatwakan bahwa Ahmadiyah nonmuslim, dan meminta negeri-negeri Islam melakukan tindakan terhadap Ahmadiyah. Karena itu, pemerintah Arab Saudi, misalnya, tidak memperkenankan penganut Ahmadiyah masuk ke tanah haram untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah. Adapun lembaga legislatif Republik Islam Pakistan menerbitkan amendemen konstitusi Pakistan dan menetapkan bahwa penganut paham Ahmadiyah minoritas nonmuslim, namun Pemerintah Pakistan tidak melarang organisasi Ahmadiyah bahkan, sesuai dengan konstitusi, menyediakan kursi dalam parlemen Pakistan selaku kelompok minoritas. Masalah yang timbul di Indonesia bukan pada fatwa sesat, karena fatwa semacam itu bukan hal baru, bahkan muncul sejak awal kehadiran jemaah tersebut di negeri kita. Fatwa sesat-menyesatkan adalah masalah yang terjadi di semua agama sejak mula. Semua paham keagamaan mengklaim bahwa paham keagamaannyalah yang benar dan yang lain salah, bahkan sesat. Sebab, kehadiran sebuah paham baru justru karena menganggap paham-paham keagamaan yang lain tidak benar. Seperti bagi semua aliran seperti halnya kaum salaf mereka akan mengatakan bahwa yang dianut merekalah yang paling benar dan yang lain salah atau menyimpang Muhammadiyah tidak akan muncul sekiranya mereka menganggap paham dan praktek keagamaan yang dianut dan dilakukan oleh kaum Nahdliyin itu benar. Justru karena kalangan Muhammadiyah dan organisasi sealiran dengannya menganggap banyak praktek di kalangan Nahdliyin yang merupakan bidah, setiap bidah adalah sesat dan setiap kesesatan dalam neraka, mereka mengajarkan dan melakukan praktek keagamaan berbeda yang mereka anggap benar33. Sehubungan dengan pelarangan dan penyesatan terhadap suatu paham keagamaan atau kepercayaan, Johan Effendi menuliskan opini tentang bagaimana Solusi terhadap Masalah Jamaah Ahmadiyah di Tempo, 12 januari 2008. opini tersebut penulis kutip karena sesuai dengan sikap yang di berikan lembaga Wahid Institut sesuai hasil wawancara yang di lakukan penulis dengan staff Pendidikan dan Pemberdayaan M. Subhi. "Menanggapi wacana pelarangan suatu paham keagamaan atau kepercayaan saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang perlu direnungkan, terutama oleh aparatur pemerintah. Pertama, kalau tindak pelarangan itu didasarkan atas fatwa sebuah lembaga keagamaan, di manakah tempat lembaga keagamaan itu dalam struktur kenegaraan Republik Indonesia? Apakah ia berada dalam struktur kenegaraan atau bahkan berada di atas struktur kenegaraan, sehingga setiap fatwa lembaga tersebut mengikat dan karena itu harus ditaati dan dilaksanakan oleh negara dalam ini pemerintah RI? Kedua, kalau sebuah paham keagamaan dilarang, apakah hak sipil para penganutnya sebagai warga negara RI hilang, terutama dalam kaitan kebebasan berkeyakinan? Kalau para penganut paham tersebut berkukuh tetap meyakini paham yang dilarang itu, apakah mereka akan dianggap sebagai pelaku tindak kriminal dan karena itu harus dikenai sanksi hukum pidana? Ketiga, kebebasan beragama tegas-tegas dijamin oleh konstitusi. Begitu juga Piagam Hak Asasi Manusia dan dokumen-dokumen pelengkapnya telah diratifikasi oleh negara kita. Dengan demikian, bukankah pelarangan dan kriminalisasi penganutan suatu paham keagamaan merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia? Mengingat hal-hal di atas, saya kira tak ada alternatif lain kecuali melaksanakan ketentuan yang ditegaskan dalam konstitusi dan karena itu tidaklah selayaknya negara ikut campur dalam fenomena sesat-menyesatkan kemudian mengambil tindakan melanggar konstitusi dengan mengurangi, apalagi menafikan, kebebasan berkeyakinan warga negara. Jaminan konstitusi atas kebebasan berkeyakinan adalah jaminan bagi warga negara untuk menganut keyakinannya, entah agama, entah paham keagamaan atau kepercayaan secara tulus tanpa paksaan dari siapa pun dan golongan apa pun. Apabila negara ikut campur atau memihak suatu kelompok dalam fenomena kontroversi pemahaman agama, rasa aman dan berkeyakinan akan terganggu. Penganutan suatu paham keagamaan atau kepercayaan, betapapun anehnya 33 Effendi, Johan, Solusi terhadap Masalah Jamaah Ahmadiyah, http :// www.wahidinstitut.org/ paham tersebut, tidak boleh dikriminalisasikan selama tidak melanggar ketertiban masyarakat dan kesopanan umum. Berbeda atau menyimpang dari paham anutan mayoritas tidak bisa menjadi alasan pelarangan sebuah paham. Kalau Tuhan Al-Khaliq sendiri memberikan kebebasan kepada manusia ciptaan-Nya untuk beriman atau tidak kepada-Nya, bagaimana mungkin sebuah negara bertindak melebihi Tuhan sendiri?"34. Adapun, untuk merespon beberapa tindakan anarkis akibat penyesatan oleh MUI dan menteri agama kepada Jamaah Ahmadiyah, maka Wahid Institut melakukan beberapa hal, diantara kegiatan yang dilakukan lembaga yaitu mengelar pertemuan tokoh lintas agama yang digelar dikantor Wahid Institut, tempatnya pada 16 Mei 2006 yang bertujuan mensomasi menteri agama soal kasus Ahmadiyah tersebut Di tempat yang sama dengan peserta 80 orang diantaranya tokoh agama dan pro demokrasi mengadakan jumpa pers yaitu pada tanggal 23 mei 2006 guna mengecam tindakan kelompok preman berjubah yang kerap melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Juga mendiskusikan buku berjudul kala fatwa jadi penjara terbitan Wahid Institut di gedung PBNU pada l6 Juni 2006. di mana buku tersebut berisi kumpulan artikel tentang Ahmadiyah yang terpenjara karena fatwa MUI35. 34 Ibid…, http : www.wahidinstitut.org 35 35 Ibid…, Nawala, No. 3, h. 8 B. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT WAHID INSTITUT DALAM MENGKAMPANYEKAN PEMIKIRAN ISLAM, PLURALISME DAN DEMOKRASI Pada dasarnya semua upaya memiliki berbagai macam faktor pendukung dan penghambat sebagai konsekwensi alami sebuah tindakan, karenanya penulis akan mencoba mengemukakan beberapa faktor pendukung dan penghambat yang serkiranya dapat mewakili kedua faktor tersebut yang diantara ialah : a. Faktor pendukung Penulis mencoba melihat faktor pendukung kampanye lembaga ini dari dua sisi yaitu: dari faktor internal, pertama adanya kepercayaan dan ketertarikan dari masyarakat pada tokoh sentral lembaga yaitu Gus Dur, diakui oleh beberapa pemerhati maupun peneliti seperti disebutkan dalam sebuah buku bahwa tokoh tersebut dapat di sebut sebagai symbol of system dalam masyarakat yang dapat menyedot khalayak dalam berbagai hal tentangnya.. Tokoh kharismatik atau apapun namanya yang sering disebut sebagai kyai nyleneh sekaligus kontrofersial ini sangat kental dalam kancah politik maupun agama sehingga seolah-olah berita darinya tidak akan ada habisnya, hal tersebut terlihat bila kita mengetahui biografi tentang sepak terjang bapak bangsa ini yang notabenenya pernah menjabat ketua tanfidziah PBNU dan sebagai mantan orang nomor satu di negara Indonesia. Apabila orang mendengar nama Gus Dur mereka akan faham dan pada gilirannya bila di hubungkan dengan lembaga Wahid Institut akan berefek pada sisi kelembagaan minimal membatu realisasi aktivitas program lembaga yang boleh dikatakan sebagai pengemban dan agen realisasi pemikirannya. Diantara efek faktor ini pertama, mudah diterimanya keberadaan Wahid Institut sebagai sebuah organisasi sosial agama yang ditangani secara profesional dalam menterjemahkan program maupun aktivitas-aktifitasnya dan efek kedua mudahnya lembaga memperoleh simpati masyarakat yang ingin mengetahui dan membantu program lembaga, hal ini terlihat dari kegiatan banyaknya sowan ke berbagai pesantren dan kyai di berbagai daerah yang di jadikan bentuk program regular lembaga, efek ini juga dapat dilihat dari banyaknya kegiatan ilmiah pada berbagai seminar nasional serta diskusi keagamaan di berbagai kalangan masyarakat mulai dari akademisi hingga santri maupun pelajar. Kekentalan dan keharmonisan hubungan beberapa lembaga ini memperlihatkan simbiosis mutualism antar agen masyarakat untuk membantu pelaksanaan program Wahid Institut. Kedua adalah faktor sarana dan prasarana dan alat pendukung. Lembaga mempunyai keuntungan secara fisik sehubungan berbagai aktivitasasnya berkenaan dengan pembenahan dan pengembangan prasarana lembaga. Dalam beberapa hal, dari adanya kedua faktor ini menjadikan kegiatan lebih efektif berupa dukungan cukupnya media komunikasi, dukungan alat transportasi dan sumber daya yang berkualitas. Meskipun tidak dapat dianggap sempurna, setidaknya dari faktor ini berbagai kegiatan dan aktivitas program dapat dilaksanakan dengan baik Faktor tersebut diatas merupakan nilai positif yang sangat membantu pelaksanaan program lembaga. Singkronisasi situasi dengan program lembaga mempengaruhi kinerja lembaga sebagai basis lembaga riset dan pengembangan kebudayaan Islam yang tercermin dalam penyebaran gagasan Muslim progresif yang mengedepankan toleransi dan saling pengertian di masyarakat dunia Islam dan barat, serta membangun dialog diantara pemimpin agama-agama dan tokoh-tokoh politik di dunia Islam dan barat. Ketiga adalah faktor finansial, di lihat dari sisi ini lembaga memiliki keuntungan dengan cukupnya alur kas lembaga, hal tersebut tidak lepas dari manegement accounting yang baik terhadap input dan output yang harus di lakukan dalam setiap kegiatan. Baiknya situasi ini sehingga tidak mengganggu aktivitas bahkan menjadi faktor pendukung yang cukup urgen (meskipun terdapat beberapa kekurangan dalam pemenuhan ekonomis pada berbagai aktivitas, penulis melihat ini sebagai pendukung karena baiknya alur kas dan manjemen keuangan yang telah penulis sebutkan diatas). Sedang dari faktor eksternal yang mendukung operasional lembaga diantaranya pertama, kondisi sosial budaya baik formal maupun non formal yang mendukung adanya lembaga sejenis. Dengan UUD Negara yang berpancasila, berasas demokrasi dan berketuhanan yang maha esa sebuah lembaga seperti Wahid Institut dapat lebih leluasa dalam menjalankan aktivitasnya. Lembaga Wahid Institut sebagai lembaga sosial agama yang mencoba membangun pemikiran moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturlisme dan toleransi dikalangan kaum muslim Indonesia dan seluruh dunia mendapatkan tempat dalam sosiokultur keislaman sedemikian tinggi sehingga memungkinkan lembaga seperti wahid Institut mengembangkan kreatifitas kerjanya dan hal ini berdampak positif bagi kelangsungan program lembaga baik secara moril maupun materil. Keberadaan situasi seperti diatas memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap keberlangsungan suksesnya program dan merupakan bagian kendala penanganan lembaga kepada sebagian orang yang masih belum menyadari isu-isu yang menjadi program Wahid Institut, hal tersebut boleh jadi karena kurangnya pemahaman atas pluralisme dan pemikiran Islam yang di tuangkan dalam keragaman masyarakat atas berbagai variasi budaya dan agama (pluralitas). Faktor kedua berupa sistem jaringan komunikasi yang saling mendukung. jaringan komunikasi menjadi hal yang penting bagi lembaga manakala lembaga ingin mengembangkan programnya, disadari dari hal demikian Wahid Institut membangun jaringan komunikasi dengan berbagai kalangan baik lembaga formal maupun non formal dan terbukti dari demikian ini menjadi pendukung yang tidak sedikit nilainya terhadap perjuangan lembaga selanjutnya.. Secara non formal salah satu dukungan adalah dari pesantren dan kiyai, dukungan ini menjadi salah satu pondasi kekuatan Wahid Institut yang lahir dari visi dan misi tokoh PBNU, jaringan komunikasi antara lembaga dengan pesantren dan kiyai yang dibangun ini merupakan media utama sebagai tempat bernaung dan berkonsultasi. Sistem komunikasi yang intensif antara lembaga dengan pesantren maupun kiyai memberikan nilai plus dalam pengembangan misi lembaga, walaupun dengan perjuangan yang berwawasan pluralisme demokratis yang oleh sebagian masyarakat masih sulit diterima namun dalam operasiolisasi program masih lekat dasar religiusitasnya dengan kaidah-kaidah fikih ala NU yang dikenal toleran dan inklusif. Selain membangun jaringan komunikasi dengan kaum nahdliyin lembaga akrab dengan dewan gereja Indonesia. Dari berbagai kerjasama dalam berbagai hal, nilai lebih dari kerjasama ini terutama terdapat pada program pluralisme. Masyarakat melihat, dari kerjasaama ini aplikasi terhadap program benar-benar kompleks dan berefek pada dukungan yang lebih luas pada masyarakat Indonesia, bukan lagi dari satu agama saja, namun dari berbagai agama setidaknya anggapan tersebut keluar dari kaum kristiani dan para agamawan dan cendikiawan muslim yang berhaluan nasionalis, pluralis, liberalis dan akademisi yang berwawasan inklusif b. Faktor penghambat Faktor penghambat bagi Wahid Institut dalam mengampanyekan programnya pun dapat dilihat dari dua sisi yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Diantara faktor intern tersebut adalah; pertama, masih kurangnya sosialisasi keberadaan lembaga Wahid Institut sendiri. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan keberadaan lembaga berakibat pada kurang maksimalnya realisasi program yang sedang di jalankan mengingat program pluralisme, demokrasi dan pemikiran islam merupakan problem sosial, dalam artian masalah ini bukanlah tanggung jawab seseorang atau sekelompok orang, lembaga atau oleh satu komunitas saja namun perlu difahami, disadari dan dilakukan bersama seluruh komponen masyarakat yang ada. Usaha yang dilakukan lembaga dalam sosialisai atas lembaga diantaranya dengan melakukan louncing Wahid Institut di hotel season kuningan Jakarta yang mengundang tokoh dalam maupun luar negeri, meluncurkan website yaitu www. www.wahidinstitut.org dan www.gudur.net, juga melakukan event-event diskusi, seminar dan penggunaan media cetak seperti menerbitkan bulletin maupun suplemen sehingga dari adanya media-media ini akan bertambah pengetahuan masyarakat tentang keberadaan Wahid Institut. Usaha yang lain yang dilakukan dalam mensosialisasikan lembaga ini sebenarnya telah terbantu atas keberadaan Gus Dur sendiri minimal apabila ada seseorang yang ingin lebih jauh mengetahui tentang tokoh ini akan mengetahui keberadaan Wahid Institut seperti halnya posisi penulis sekarang ini, untuk mengetahui bagaimana wahid Institut maka penulis harus mengetahui bagaimana Gus Dur, begitu pula sebaliknya siapa yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Gus Dur maka Perlu menggalinya dari Wahid Institut karena pada lembaga inilah peneliti maupun siapa yang ingin mengetahui Gus Dur mendapatkan data dan berbagai kegiatannya. Kedua adalah faktor penerimaan masyarakat terhadap lembaga berkaitan dengan programnya yang mengedepankan pemikiran Islam, pluralisme dan demokrasi. Hal ini menjadi penghambat karena mengakibatkan kurangnya respon terhadap apa yang akan menjadi realisasi semua program Wahid Institut sendiri. Faktor ini bisa dilihat dari dua hal : 1. Kekontroversialan tokoh dan pemikiran Gus Dur yang kadang-kadang dianggap sering nggampangin masalah, membuat hal-hal nyleneh dan ngawur. Hal ini tentunya berimbas pada sinisme masyarakat yang kurang setuju terhadap pemikiran dan tindakan tokoh ini dengan begitu mengganggu stabilitas program kerja lembaga. 2. Belum diterimanya secara penuh program yang diusung dalam lembaga seperti pluralisme dan pemikiran Islam bahkan asas demokrasi negara oleh sebagian kelompok masyarakat yang menginginkan ideologi lain. Hal ini menjadi kendala tersendiri mengingat pemahaman masyarakat terhadap beberapa program tersebut masih sangat kurang bahkan dari hal tersebut ada sebagian masyarakat cenderung menolak dan melawannya. C. ANALISA 1. Analisa Peran Wahid Institut dalam Mengkampanyekan Pemikiran Islam Program kampanye terhadap pemikiran Islam yang demokrat dirancang agar dapat memiliki dampak positif terhadap kelangsungan berbangsa. Dari program ini masyarakat diajak untuk bersama mengetahui dan memahami pemikiran-pemikiran Islam yang merepresentasikan Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam yang selalu mencirikan dakwah menggunakan metode hikmah dan contoh yang baik. Di negara yang berbhineka tunggal ika dan berasas Pancasila, negara menjamin keragaman suku ras dan agama terhadap ajaran keyakinannya masing-masing bersama catatan akan menghormati agama lain. Dari programnya lembaga mencoba memperjuangkan komitmen Gus Dur akan pemikiran moderat dalam Islam yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan toleransi di Indonesia maupun di seluruh dunia. Apabila dilihat lebih lanjut apa yang dilakukan Wahid Institut merupakan upaya sebuah lembaga yang mencoba mengakses, membuka wacana-wacana dan memberikan alternatif yang bersesuaian dengan jiwa pancasila dan demokrasi pada pemikiran Islam yang dianggap masih kurang diterima dalam masyarakat. Pemikiran yang tersebut diatas kadang terkesan tabu bahkan masih dalam pro kontra sehingga perlu kiranya melakukan tindakan-tindakan nyata agar pemahaman sosial dari pemikiran tersebut dikenal dan disadari, karena dalam pemikiran tersebut kadang masih di lihat sepotong-sepotong, dalam artian masyarakat dihadapkan pada sebuah pemikiran ditingkat penggenalan dan tidak diberikan wacana alternatif, sehingga masyarakat seolah hanya disuguhkan satu jalan di jalan bebas. Dalam kerangka seperti inilah yang coba di berikan oleh Wahid Institut yaitu membangun kesadaran akan adanya hak manusia dalam wacana keagamaan untuk berfikir dan menemukan nilai-nilai positif dalam masyarakat meskipun secara tidak langsung kerangka ini masih harus di dilihat dalam bingakai madzhab mayoritas berupa pemikiran ke NU an aliran Sunni dari Asy 'ariyah sehingga bersesuaian dengan jiwa agama bangsa. Tantangan besar bagi agama dewasa ini adalah globalisasi, karena berperan dalam peningkatan jumlah orang miskin di dunia. Dalam Islam kemiskinan itu bisa menghantarkan seseorang pada sikap tidak lagi dekat dengan agama. Untuk itu Direktur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid menyampaikan penghargaan yang tinggi terhadap upaya membangun dialog antar agama, iman, dan kepercayaan. "Di harapkan dialog semacam itu tidak hanya berhenti pada pencarian titik temu dalam hal pemikiran dan ajaran, "tetapi berangkat Dari ajaran agama masing-masing dan harus mencoba memecahkn persoalan kongkrit bangsa ini, Ke depan perlu ada upaya-upaya yang lebih sistematis dan kongkrit terhadap adanya inisiatif semacam ini akan ada jawaban karena yang paling utama bagi menemukan solusi ialah adanya niatan untuk bergerak kearah hal ini", tuturnya36. Pebedaan merupakan sunatullah yang tidak akan bisa di rubah sampai kapanpun sepanjang zaman dunia ada. Kemajuan umat maupun rakyat sekarang ini adalah apabila setiap orang mampu untuk melihat perbedaan sebagai keniscayaan sehingga di sadari bahwa perbedaan bukanlah masalah sebenarnya namun bagaimana mengelola perbedaan itu sehingga pasal itu bukan lagi di pandang sebagai aspek mutlak yang negatif bahkan bagaimana dapat menjadikannya sesuatu yang lebih bermanfaat bagi orang lain. 36 Tim Wahid Institut, Warta The Wahid Institut, Seeding Plural and Peaceful Islam.(jakarta: Penerbit Wahid Institut, No. 4/ Th 1/ November-Desember 2007), h.5. Sebuah teladan bagus dan merupakan kemajuan yang cukup bagus dalam bingkai proses pluralisme seperti dilakukan oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bandung, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kota Bandung dan para tokoh agama lainnya yaitu penandatanganan Deklarasi Sancang di bandung, 10 November 2007. Dinamakan deklarasi sancang karena komitmen umat beragama di bandung untuk menjaga tali persaudaraan. Deklarasi sancang ini berisi : 1. Kami umat beragama kota Bandung adalah bagian dari bangsa Indonesia yang senantiasa menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan. 2. Kami umat beragama kota Bandung menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 3. Kami umat beragama kota Bandung selalu berjuang untuk tegaknya hukum dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kerukunan hidup demi mencapai kebahagiaan bersama. 4. Kami umat beragama kota Bandung selalu mengembangkan sikap toleransi, tenggang rasa dan saling menghormati. 5. Kami umat beragama kota Bandung selalu bekerjasama untuk berperan dalam mengatasi masalah-masalah sosial dan lingkungan37. Menurut ketua tanfidziah PCNU kota Bandung KH. Maftuh Khalil terinspirasi oleh Piagam Madinah yang dibuat oleh Rasulallah Muhammad saw ketika datang ke Madinah38. "Menghadapi realitas keragaman suku bangsa, agama dan keyakinan, Rasulallah membuat deklarasi, yang disebut Shahifah Madinah. Inti Shahifah madinah menyatakan nahnu ummatun wahidah, kami satu bangsa, maka harus membangun kerjasama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada". Jelas Maftuh. Menutut kyai Maftuh, Qs.Ali Imran: 64 menamakan pemeluk agama luar Islam sebagai ahlul kitab. 37 38 Ibid, Warta No 4, h. 2 Ibid…, h. 2 "Penghargaan seperti ini yang dijadikan inspirasi untuk direalisasikan dengan mencari titik-titik persamaan sepanjang sama-sama umat beriman yang mengesakan tuhan. Lebih dari itu niatan ini adalah untuk membumikan kerukunan umat beragama,"tambah kyai Maftuh39. Adapun media yang di gunakan oleh lembaga dalam program ini diantaranya berupa penerbitan buku-buku karangan Abdurrahman Wahid dan penulis lain, penerbitan buletin setiap bulan, pengiriman opini Gus Dur pada berbagai media nasional maupun Internasional, suplemen-suplemen di majalah seperti GATRA dan sebagainya, pengadaan seminar-seminar terhadap isu-isu dalam masyarakat maupun diskusi ilmiah yang diadakan di seluruh wilayah Indonesia dan penggunaan media pers maupun internet untuk sosialisasi program pemikiran-pemikiran Islam yang sesuai dengan program. Berkaitan dengan diadakannya kegiatan ini Wahid Institut berharap agar masyarakat lebih mengetahui perkembangan wacana yang ada sehingga dampak negatifnya dapat di minimalisir, begitu juga apabila terdapat dampak yang positif dapat lebih di ketahui dan dipahami lebih lanjut. 2. Analisa Peran Wahid Institut dalam Mengkampanyekan Pluralisme. Ide pluralisme yang diklaim berasal dari dunia barat sering masih dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami, santernya anggapan ini berasal dari orang-orang atau terutama lembaga agama berhaluan fundamentalis konservatif dengan penekananan di terapkannya syariat Islam sebagaimana doktrin keagamaan mereka. padahal boleh jadi hal tersebut malah akan menutup ruang gerak bagi pemikiran keagamaan yang lain Kurangnya toleransi masyarakat maupun pemahaman atas penerimaan kemajukan penafsiran keagamaan seringakali menimbulkan kesenjangan antar 39 Ibid, Warta, No. 4, h. 2 kelompok lapisan masyarakat dan berdampak pada terganggunya harmonisasi yang telah ada, terlebih gejala kekerasan bahkan sering mengemuka dalam kancah publik atas nama agama di Indonesia pada dewasa-dewasa ini yang seharusnya dapat dihindari. Berbagai penangganan atas persoalan kekerasan dan vonis-vonis tertentu justru akan menyudutkan Islam sendiri40. dan hal demikian oleh Wahid Institut dianggap kurang mencerminkan nilai budaya keagamaan negara Indonesia. Kepentingan Wahid Institut adalah untuk mempersiapkan masyarakat dalam memasuki era penuh keragaman, dan pluralitas. Pluralitas merupakan sebuah idiom atau istilah yang yang bisa dipahami berbeda-beda. Sebagaimana MUI yang mengharamkan pluralisme sebagai bahwa semua agama adalah benar. Hal demikian adalah kekeliruan dari pemahaman MUI akan pluralisme secara salah secara definitif. Pluralisme bukanlah menyamakan semua agama atau menganggap semua agama sama atau benar, namun pluralisme adalah menghormati orang lain karena perbedaan keyakinan dan agama, atau sepakat untuk berbeda. Karena bila kita tidak melakukan hal demikian berarti Islam di Amerika maupun Eropa dan negara-negara non-Islam itu akan dibiarkan untuk tidak dihormati. Muslim harus bisa menghormati orang lain agar muslim di manapun dapat di hormati, sebagaimana menghormati tetangga yang non-Islam, berkulit hitam atau putih supaya kita juga di hormati, yang dalam prinsip HAM namanya prinsip resiprositas, sedang dalam al Qur'an jelas "Li ta'arufu. Inna akromakum 'inda Allah atqa kum". Jadi persisnya semua agama adalah baik dan benar menurut pemeluknya dan siapapun harus menghormati keyakinan masing-masing. bukan menganggap bahwa semua benar dan sama. Hal ini persis dengan tuntutan dalil inna diina 'inda Allah al40 Tim Wahid Institut, The Wahid Institut, Seeding Plural and Peaceful Islam. (Jakarta:Penerbit Wahid Institut, Tahun 2006), Cet Ke-1, h. 3 Islam. Bahwa bagi kita orang muslim, Islam adalah agama yang paling benar dan terbaik bagi kita tetapi tidak berarti kita boleh memaksakan Islam sebagai agama kepada mereka yang beragama lain. Seperti juga tugas Rasulallah saw yang tidak diwajibkan untuk memaksakan mengislamkan orang lain kalau mereka tidak mau, sebagaimana yang telah digariskan Allah, "wama arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin". Bagaimana kita sebagai orang Islam bisa menjadi payung besar pengayom di muka bumi41. Seperti yang di ungkapkan direktur Wahid Institut Yenny Zannuba Wahid dalam ulang tahun ke tiga lembaga tersebut pada tahun 2005 bahwa: "Kecenderungan kekerasan dan konservatisme tidak semakin berkurang melainkan semakin meningakat dari tahun ke tahun, (sehingga) kelompok moderat perlu bersatu lebih erat dan berteriak lebih keras dan Wahid Institut akan berusaha untuk terus melibatkan diri dalam isu tersebut bersama dengan yang lain demi terwujudnya dunia yang damai, harmonis dan toleran yang diinspirasi oleh keyakinan agama Islam"42. Pernyataan direktur lembaga Wahid Institut diatas mengisyaratkan implementasi dari komitmen-komitmen yang hendak di wujudkan oleh lembaga, karena meskipun situasi demokrasi di Indonesia semakin menggembirakan, tetapi tidak dapat dipungkiri dalam kenyataan fenomena kekerasan terus berlanjut, intoleransi dan ketidakadilan belum berkurang. Dari tantangan pluralisme diatas Wahid Institut berusaha tidak putus asa untuk terus melewati rintangan dengan melakukan berbagai advokasi dan penguatan masyarakat akar rumput, mengadakan halaqah, workshop dan seminar rancangan kitab undang-undang hukum pidana tentang misi dan pasal-pasal penodaan agama, mengadakan group discussion tentang pluralisme maupun melakukan indeks 41 Ibid.Warta, Gus Yusuf dan A. Suaedy, Pesantren Harus Menjadi Bagian Bagian Proses Demokrsi, edisi Juni-Juli 2007, h. 4-5. 42 Ibid, seeding Plural….., h. 1 pelanggaran pluralisme di Indonesia. Dari agenda dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut di harapkan akan mengurangi pro kontra terhadap pluralisme43. 3. Analisa Peran Wahid Institut dalam Mengampanyekan Demokrasi di Indonesia. Infrastruktur Demokrasi Dalam kaitan ini, yang menjadi obyek pembicaraan hanya infrastrukturnya bukan suprastrukturnya. Pasalnya sebagai sebuah sistem, infrastruktur adalah fondasi bagi tegaknya demokrasi. Maksimal dan tidaknya demokrasi mau tidak mau harus berurusan dengan infrastruktur tersebut. Adapun yang termasuk infrastruktur adalah pertama, kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat adalah inti dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Tanpa kedaulatan atau kedaulatan di kurangi, berarti demokrasi telah cacat. Kedua, kepastian dan keadilan hukum. Alasannya sangat sederhana.sebagai negara hukum (rule of law), hukum adalah panglima bagi penyelenggaraan bernegara. Tanpa hukum, penyelenggaraan kenegaraan dapat dilaksanakan secara semena-mena menurut selera penguasa, dan pada gilirannya yang rugi adalah rakyat lagi. Ketiga, budaya demokrasi. Budaya demokrasi menempati posisi yang strategis bagi infrastruktur demokrasi yang normal tentunya disamping kedaulatan rakyat dan kepastian keadilan hukum. 44. Kehidupan demokrasi saat ini masih dalam perjuangan yang sangat berat setidaknya hal ini di katakan oleh Yenny Zannuba Wahid dalam sambutan ulang tahun Wahid Institut yang ketiga. Kehidupan demokrasi yang lakukan oleh Indonesia ini telah mengalami perkembangan pasca reformasi. Kungkungan demokrasi seakan 43 Ibid, seeding Plural….., h. 1 44 Azwir Dainy Tara, Peran Pengusaha Dalam Membangun Demokrasi, (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), cet 1, h. 114. pudar dari belenggunya bahkan proses dramatis ini begitu semaraknya terutama dalam praktek politik praktis dengan munculnya puluhan partai baru yang pada masa orde baru hanya ada tiga partai. Perkembangan demokrasi di Indonesia berjalan sangat cepat meninggalkan negara-negara lain. Sebagai bangsa yang memiliki wilayah geografis cukup luas dan penduduk yang cukup banyak dengan mayoritas muslim membuat dunia internasional mengakui keberhasilan demokrasi Indonesia. Penilaian tersebut dapat dibilang masih dini, walaupun demikian kacamata dunia Internasional melihat terutama pada perjalanan demokrasi pasca reformasi mereka cenderung mengangakat citra Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar setelah Amerika Serikat45. Proses perjuangan demokrasi hingga seperti saat ini tidaklah mudah dan masih perlu pembenahan-pembenahan lebih lanjut untuk menyempurnakan proses tersebut, penilaian umum terhadap asas demokrasi tersebut perlu di pertahankan, dan masyarakat perlu terus menambah pemahaman terhadap kesadaran demokrasi. Dengan upaya tersebut diharapkan akan tercipta kehidupan berbangsa yang lebih kondusif dalam kesetabilan proses demokrasi di tingkat legislatif, eksekutif maupun yudikatif termasuk rakyat biasa sebagai tolak ukur dari asas tersebut. Adapun peran Wahid Institut dalam kaitannya dengan demokrasi mencoba mengawal proses demokrasi sebagaimana Gus Dur, sebagai bapak demokrasi mencoba menegakan demokrasi tanpa melihat latar belakang ras, suku, agama maupun latar belakang budayanya. Dalam kaitannya penegakan kedaulatan rakyat, Wahid Institut dapat berpartisipasi dalam menyuarakan suara-suara masyarakat terhadap setiap kondisi yang terjadi sehingga lembaga mencoba mengingatkan semua pihak terutama 45 Ibid, Seeding ……,Tahun 2007, Cet Ke-1, h. 3 pemerintah dan pengambil kebijakan bahwa aspirasi rakyat merupakan opini kedaulatan yang harus di tindak lanjuti. Hal inipun dapat kita lihat dalam tataran ideologis yaitu hak warga negara dalam berkeyakinan dan menjalankan aqidah sesuai dengan apa yang di yakininya. Hal ini tidak dapat di tolak oleh siapapun karena Indonesia memiliki hukum yang cukup untuk hal ini terutama pancasila butir pertama, dan apabila ada orang atau lembaga yang ingin memaksakan keyakinan mayoritas sebagai sebuah aqidah yang dapat di jalankan berarti akan menodai jiwa pancasila dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Padahal perlu dingat bahwa para pencetus ideologi negara adalah para negarawan dan para ulama. Sehingga apabila mereka ingin melakukan tindak-tindak diskriminatif diatas, mereka akan mencederai ideologi negara dan menghianati para fathers founding kemerdekaan yaitu yang dengan sangat bijaksana mengedepankan toleransi dalam kesadaran pluralitas yang tinggi terhadap realitas yang ada dan harus dihadapi. Di kisahkan berkenaan dengan mantapnya para pendahulu bangsa membela ideologi negara, KH. Rd. Imam Sonhaji dengan suara tercekat, mengisahkan pendiri NU Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari yang dengan tegas membela Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Mama Sonhaji-panggilan akrab KH. Imam Sonhajimenuturkan suasana deklarasi negara berdasar Pancasila di Jogjakarta yang dihadiri ribuan tokoh agama bagi seluruh nusantara. Dan saat forum terbelah dalam dua pendirian antara Islam dan bukan Islam sebagai dasar negara. Mendengar ketegangan itu, Hadratusyaikh yang hadir dalam acara itu pun naik ke mimbar, walau keadaan sakit dan tertatih-tatih dipapah para pembantunya. Di mimbar Hadratusyaikh berseru, untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah dar'ul mafasid muqoddam ala jalbi al mashalih (menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan). Maka dia setuju Pancasila sebagai dasar negara. "Beliau ingin NKRI utuh. Sebab jika dipaksakan negara Islam, maka yang terjadi bukan negara kesatuan, tapi negara perseteruan, jelas Mama Sonhaji"46. Sejatinya setiap negara yang memiliki bermacam perbedaan harus menerima setiap perbedaan itu sendiri dan perlunya bertindak dengan penuh kedewasaan dalam menyikapi setiap masalah yang akan timbul di kemudian hari sehingga tidak menganggu proses kemasyarakatan yang ada. Masalah yang sangat krusial dalam demokratisasi adalah penegakan hukum. Hal ini sangatlah rasional, karena tanpa adanya kepastian bagi penegakan dan tindakan hukum yang adil, masyarakat akan kehilangan haknya sebagai warga negara yang harus dilindungi yang menjadi tanggungjawab dari negara. Pada kasus aliran Ahmadiyah misalnya. Aliran ini di vonis dengan fatwa sebagai aliran sesat oleh MUI, hal ini merupakan diskriminasi terhadap keyakinan karena perbedaan penafsiran yang kemudian dimasukan dalam kasus penodaan terhadap agama, sehingga dampak dari fatwa ini terjadi teror di mana-mana terhadap penganut aliran tersebut, serta perusakan fasilitas-fasilitas yang di milikinya, hal ini merupakan tindak kriminalitas terhadap penduduk warga negara serta jelas melanggar hak asasi manusia yang seharusnya perlu ada peran dari pemerintah, dalam hal ini adalah aparat berwajib untuk melindungi setiap warga negara. Dan juga seperti tentang jaminan kebebasan agama, pasal-pasal penodaan agama dalam KUHP dan praktik peradilan yang terjadi di Indonesia. Dari peristiwa 46 Ibid, Warta, No. 4, h. 1 & 2 ini terdapat catatan yang memberikan persepektif kepada pembaca bahwa pelanggararan peradilan perundangan tentang penodaan agama sangat di tentukan oleh pembacaan penguasa, di satu sisi ada upaya merinci jenis tindak pidana itu agar terhindar dari pasal karet, namun disisi lain tetap saja memiliki potensi kesewenangwenangan. Salah satu analisis atas berbagai kasus penodaan agama oleh lembaga dalam berbagai kasus berupa adanya kecenderungan, orang yang diadili dengan tuduhan penodaan agama sulit untuk di vonis bebas. Namun jelas belakangan ada fenomena lain tentang kasus yang terjadi pada Muhammad Abdul Rahman sebagai orang ke-2 komunitas Lia Eden dan Teguh Santoso, pemimpin redaksi media rakyat merdeka online yang menayangkan kartun Jyllands Posten yang dianggap menghina Nabi di putus bebas Hal seperti ini setidaknya terjadi karena enam hal; pertama, kasus-kasus penodaan agama senantiasa terkait dengan agama apa, siapa yang dinodai; kedua, suara mainstream seringkali diambil sebagai referensi kebenaran; ketiga, kasus peradilan agama selalu melibatkan massa; keempat, bila seseorang telah masuk dalam proses peradilan sulit untuk bebas, apalagi jika tekanan kuat seperti pada kasus Yusman Roy yang di tuduh melakukan penodaan agama karena melakukan praktek shalat dwi bahasa; kelima, khusus kasus Lia Eden, perlu di jawab agama apa yang dinodai?; keenam, kasus-kasus yang telah di vonis sebagai penodaan agama hampir seluruhnya merupakan wilayah perbedaan tafsir atas agama47. Tindak-kekerasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat merupakan tindakan pelanggaran hukum baik itu atas nama agama atau faktor-faktor yang lain. Ukuran yang yang dapat dipakai untuk menilai kriminalisasi dan dekrimininalisasi 47 Ibid , Buletin, No. 5 secara doktrinal harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut: a. Kriminalisasi tidak boleh berkesan menimbulkan "overcriminalization" yang masuk kategori " the misues of criminal sanction"; b. Kriminalisasi harus tidak bersifat "ad hoc"; c. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban baik secara aktual maupun potensial; d. Kriminalisasi harus mempertimbangkan analisa biaya dan hasil (cost benefit principle); e. Kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support); f. Kriminalisasinharus menghasilkan peraturan yang "enforceable". g. Kriminalisasi harus bersifat subsosialitet (mengakibatkan bahaya bagi masyarakat meskipun kecil sekali); h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.48 Di Indonesia, kesadaran akan nilai-nilai penegakan hukum dan tingkat kriminalitas terhadap keyakinan masih sangat tinggi, hal inipun masih bertambah panjang bila kita melihat fenomena belakangan seperti kasus shalat dwi bahasa M. Yusman Roy, kasus komunitas Lia Eden, formalisasi agama di Maros, dan lain sebagainya. Disadari Penegakan keadilaan tidak akan terjadi dengan sendirinya tanpa kerja keras dari semua pihak baik dari pemerintah, dewan rakyat, aparat maupun lembaga yudikatif dan rakyat sendiri, Karena tanpa kerjasama dari berbagai elemen negara ini demokrasi tidak akan terasa dan vakum sehingga simbol-simbolnya hanya ada dalam pelajaran sekolah, perpustakaan, seminar-seminar dan diskusi saja tanpa ada bukti nyata bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Peran kedua yang dapat dilakukan Wahid Institut bersama dengan pihak, lembaga, instansi dan yang lain yaitu mendorong terlaksananya negara demokratis 48 Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP, (Jakarta: Yayasan Tifa dan The Wahid Institut, 2007), Cet Ke-1,h. 70. yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Meskipun tidak mudah namun hal ini akan memberikan efek yang cukup urgen dalam perkembangan demokrasi selanjutnya, demikian ini karena, sebagai lembaga potensi tersebut cukup besar sebagaimana organisasi yang di ketuai Gus Dur dalam membela demokrasi yaitu Fordem (forum demokrasi). Adapun dalam dorongan suksesnya demokrasi perlu diupayakan oleh Wahid Institut, rakyat dan negara (pemerintah) secara bersama-sama yaitu terhadap beberapa indikator; pertama; dibentuknya kekuatan politik oleh rakyat dan berfungsi sebagai instrument yang menyuarakan aspirasi mereka. Kekuatan ini biasannya dalam bentuk partai (political party), kelompok kepentingan (interst group). Kedua; diselenggarakannya pemilu secara berkala dan demokratis sebagi simbol adanya posisi tawar menawar (bargaining position) dan posisi kekuatanyang sejajar (equality of acced) antara pemerintah dan rakyat. Ketiga; ada kekuatan mayoritas yang memerintah, namun tetap mengharagai kelompok-kelompok minoritas (majority rule with respect tominority rights). Keempat; ada mekanisme keseimbangan (check and balance) antar kekuatan-kekuatan politik, yang tercermin dalam hubungan tata kerja lembaga negara. Kelima; ada ruang dan wacana publik yang tidak diintervensi oleh pemerintah (unintervented) (Riswanda Imawan: 2000)49. Selain itu dalam tataran individual, juga harus dipenuhi beberapa indikator berikut, pertama; positive freedom. Setiap orang bebas nenentukan sikap dan pilihannya tanpa diintervensi oleh kekuatan di luar dirinya. Prakteknya, ada jaminan perlindungan hukum atas pilihan tersebut dan pilihan ini diakui sebagai hak asasinya. Kedua; adanya keseimbangan antara rakyat sebgai subordinate dapat mempengaruhi negara sebagai superior (Riswanda Imawan: 2000) 49 Azwir Dainy Tara, Peran Pengusaha Dalam Membangun Demokrasi, (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), cet 1, h. 114 Peran ketiga yang dapat diambil lembaga yaitu ikut serta mengontrol aturan main (the rules of games) proses demokrasi itu sendiri. Dalam kerangka demokrasi, aturan main juga sangat mutlak di butuhkan. Tanpa aturan main yang jelas, demokrasi yang berinti dasar kebebasan menyuarakan pendapat dan kebebasan berkehendak akan menimbulkan suatu petaka tersendiri jika tidak ada pranata yang jelas. Kebebasan menyuarakan pendapat yang berlebihan misalnya, dapat berimplikasi negatif dengan adanya motivasi yang buruk dibalik penyuaraan pendapat tersebut, boleh jadi karena ada dendam dimasa lalu, kebencian terhadap orang yang dikritik atau sekedar eforia politik. Harus diingat apa yang kita suarakan belum tentu di terima sebagai kebenaran bagi orang lain. Begitu juga dalam kebebasan berkehendak, apa yang kita tempuh sedikit banyak akan bersentuhan atau malahan akan melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu aturan main adalah jawabannya. Adapun yang layak dan sangat mungkin dijadikan sebagai aturan main adalah penegakan hukum (law enforcement). Hukum yang dimaksud tentunya hukum yang menjunjung prinsip-prinsip umum sebagai aturan hukum. Meminjam kategori R. S. Downie dalam bukunya, Roles and Voles: An Introduction to Social Ethics, prinsip umum hukum ada empat macam. Pertama, prinsip persamaan di muka hukum (Rechtsgleichheit) dan undang-undang (Gleichheit vor dem Gesetsz), kedua kebebasan, ketiga. Solidaritas dan keempat asas manfaat50. Kondisi masyarakat kita masih sangat jauh dari kesadaran akan aturan main bernegara. Hal ini terlihat dari banyaknya indeks pelangaran hukum yang terjadi dalam masyarakat. Dapat diakui selain hukum formal masih ada dalam dalam tatanan kehidupan masyarakat dalam kaitannya penertiban masyarakat yaitu norma-norma baik norma budaya (adat-istiadat) maupun norma agama sesamanya baik formal 50 Ibid, Azwir Dainy Tara, h. 86. maupun non formal saling membantu, namun dalam prakteknya prilaku penyimpangan-penyimpangan hukum selalu terjadi dan bahkan menjadi gejala yang terbiasa karena terlalu seringnya hal demikian terjadi padahal jelas jelas melangar hukum yang ada. Masih kita ingat peristiwa pembakaran dan pengerusakan gereja-gereja pada kasus Saleh di Situbondo hanya karena masalah yang bisa dianggap sepele namun berdampak sangat mengerikan. Dalam faktanya beberapa orang tewas dan luka luka bahkan dari insiden ini tercatat gereja yang dirusak sebanyak 24 gereja51. Hal ini menunjukan belum adanya kedewasaan dalam memahami aturan-aturan hukum yang ada karena dalam keadan seperti apapun tindakan menteror, merusak, membakar, dan main hakim sendiri tidaklah dapat di benarkan menurut hukum. Pesantren dalam Proses Demokrasi Selain hal diatas apa yang sedang dilakukan Wahid Institut adalah berupaya membangun demokrasi dari basis lembaga sendiri yaitu pesantren. Pada pesantren inilah seperti dikatakan Suaedy bahwa lembaga yang dipimpinnya berkomitmen untuk senantiasa memberikan kontribusinya kepada pesantren, salah satu caranya adalah dengan membuat berbagai kegiatan di pesantren dan memunculkan tokohtokoh dari pesantren di ranah publik52. Demokrasi adalah alat untuk mencapai keadilan dan juga menjadi tujuan Islam. Oleh karena itu pesantren sebagai bagian dari Islam harus berpartisipasi dalam perubahan dan pembangunan masyarakat. Pada intinya demokrasi bukanlah ghayah (tujuan) melainkan wasilah (sarana) terbaik untuk mewujudkan keadilan. Karena itu 51 52 Ibid. Rumadi, h. 31. Ibid, Warta, No. 1, h. 2 demokrasi dan Islam sangatlah dekat atau bahkan sama ghayahnya. Demokrasi mungkin wasilah terbaik untuk mewujudkan keadilan53. Pesantren memiliki potensi yang luar biasa untuk mendukung demokratisasi dalam kerangka mewujudkan keadilan. salah satu contoh hal ini adalah Gus Dur, sebagai produk pesantren sekarang dianggap sebagai ikon, kampium atau pelopor demokrasi. Bahkan pelopor pluralisme, toleransi dalam membina hubungan baik dengan semua kelompok dan agama, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Agar ide dan tujuan terdistribusi dengan baik, lembaga menggelar halaqah. Melalui halaqah lembaga mendiskusikan tentang toleransi, penguatan demokrasi, dan penegakan hak asasi serta wacana dan praktik-praktik pengembangan demokrasi melelui pengembangan ekonomi dan pendidikan, karena demokrasi akan sulit bersemi tanpa penguatan ekonomi dan pendidikan ekonomi. Dikatakannya juga bahwa tujuan Wahid Institut melakukan halaqah di pesantren adalah agar dapat mendorong lembaga-lembaga pesantren terlibat dan berperan aktif dalam pergumulan atau proses demokrasi dan bagi generasi muda podok pesantren untuk memperluas cakrawala dan kehidupan yang semakin berkembang. "Pesantren harus juga mengambil peran perubahan di Indonesia sesuai kapasitasnya, dan The Wahid Institut sendiri tidak bisa lepas dari pesantren dan tradisi-tradisinya"54. Pemuda adalah pemegang tampuk kepemimpinan dimasa yang akan datang. Aksioma itu disadari oleh Wahid Institut sepenuhnya. karena itu lembaga mengadakan diskusi demokrasi, Islam, dan penegakan keadilan dengan peserta dan pra pemimpin pesantren muda, baik perempuan maupun laki-laki dan aktivis sosial daerah. 53 54 Ibid, Warta, No. 4 Ibid, Warta, No. 1, h.1 Pertimbangan kesesuaian demokrasi sebagai nilai-nilai yang bersesuaian dengan Islam adalah dasar partisipasi peran pesantren dalm proses demokratisasi tersebut. Menurut Imdadun Rahmat, dalam demokrasi terdapat ajaran Islam antara lain tentang mementingkan musyawarah, menjunjung tinggi amanah, kejujuran, solidarits sesama manusia, kedudukan persamaan kedudukan di depan hukum, perlindungan pada kaum lemah (mustadzafin) dan kaum minoritas, penghargaan pada perbedaaan keyakinan, pendapat, keragaman budaya dan pandangan dunia (world view) Adapun tantangan bagi umat Islam saat ini adalah memberikan spirit Islam dalam pelaksanaan demokrasi yang mengacu kepada ajaran kemaslahatan bersama (mashalih amah) dan keadilan (al-adalah) bagi semua. Dalam alam demokrasi semua orang berhak mendapat pendidikan "jadi, pesantren Indonesia sebenarnya bisa dibilang pionir tradisi demokrasi. Dulu masuk pesantren tidak perlu bayar mahal, semuanya dengan keikhlasan" kata Ahmad Bahruddin, namun sekarang sebaliknya pesantren justru ingin meniru model persekolahan yang di gagas barat55. Menurut Kyai Maftuh Khalil substansi demokrasi sangat qur'ani. Sedikitnya tiga hal diungkap al-Qur'an dalam menjelaskan demokrasi; Pertama, kebebasan berbicara, berekspresi serta berkeyakinan (QS. Quraisy:3). "Dulu umat Islam berupaya mendapatkan kebebasan beribadah. Sekarang juga jangan kita melarang orang melaksanakan ibadahnya. Kita bertanggung jawab memberi kebebasan kepada siapapun untuk melakukan ibadah menurut ibadahnya masing-masing". Kedua, menjamin kompetisi dan persaingan yang sehat (QS. Al-Baqarah: 148). "Realitasnya Allah tidak menginginkan manusia menjadi satu umat, agar manusia ber-fastabiqul khairat (berlomba berbuat kebajikan). Karenanya, perbedaan 55 Ibid, Warta, No. 1, h. 2 & 3 harus disikapi secara positif karena agama bukanlah sumber konflik, namun hal itu adalah akibat nafsu manusia. Ketiga, terwujudnya keadilan sosial (QS. Quraisy: 4) keadilan dalam Islam bukan hanya di bibir tapi harus diaplikasikan dalam kehidupan nyata di bumi. Intinya proses demokrasi harus memuat nilai-nilai keadilan, karena dalam al Quran ditegaskan bahwa keragaman dan perbedaan merupakan sunatullah. Dari perbedaan itulah harus muncul cita penghargaan, tsamuh atau toleran dan ghayah dari demokrasi itu sendiri yaitu al 'adl (keadilan) 56. Demokrasi juga sebuah nilai penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang menuntut adanya kohesivitas sosial, tenggang rasa, dan ketulusan. Tanpa itu, prosedur demokrasi tidak bisa menjamin tercapainya cita cita yang dijanjikan oleh demokrasi itu sendiri. Karena itu, tanpa basis nilai yang memadai untuk terbangunnya demokrasi, cita-cita itu sulit tercapai. Dengan demikian, moralitas sama pentingnya dengan prosedur dalam demokrasi. "Sayangnya, di satu pihak selama ini proses demokrasi di negeri ini terlalu menekankan pada membangun prosedur ketimbang mendorong dan memperkuat nilai-nilai dalam masyarakat. Kita telah menghabiskan triliunan rupiah untuk pemilu, baik pemilu presiden maupun pemilu legislatif, serta pemilu daerah atau pilkada. Namun kita kurang memperhatikan bangunan budaya yang menjamin dan menopang prosedur tersebut" Ungkap Gus Dur57. Demokrasi di Indonesia Di Indonesia demokratisasi merupakan sebuah alternatif. Pakar ilmu politik berkata "there is no road to democracy, democracy is the road, tidak ada jalan untuk mencapai demokrasi, demokrasi adalah jalan itu sendiri". Namun fakta dilapangan tak seindah yang dibayangkan. Perjalanan demokrasi di Indonesia menemukan berbagai kendala. Pertama, adanya budaya dan perilaku dari kalangan elite strategis yang 56 . Ibid. h.5. Ahmad Suaedy, Moralitas Publik dalam Demokasi, www.gusdur.net. 57 kurang kondusif bagi demokratisasi. Sebagian elite memiliki budaya dan sikap monopolistik. Hampir selalu ada yang berbeda dari yang dikhotbahkan dan yang dilakukan. Ketika para elite berpidato mengenai urgensi penegakan demokrasi, pada saat yang sama mereka tengah mengerus prinsip-prinsip demokrasi. Banyak elite menggunakan cara tak demokratis dalam menyelesaikan problem dan demokrasi hanya sebagai pemanis bibir. Kedua masih lekatnya kultur paternalistik dengan pola hubungan patron-klien. Kepemimpinan karismatis-paternalistik, baik steruktural maupun kultural masih dalam puncak pola-pola kepemimpinan di Indonesia. Kultur dan struktur paternalistik ini memposisiskan hubungan antar manusia secara vertikal. Interaksi antar manusia bergerak dari atas kebawah. Belum kuat dan meratanya sikap taat asas dan tunduk pada aturan main (rule of the game). Konflik di internal partai politik belakangan adalah etalase yang mempertontonkan tidak dipatuhinya mekanisme internal dalam bentuk AD/ ART. Orang-orang partai terfragmentasi kedalam berbagai kelompok yang hanya berorientasi kekuasaan. Keempat, idealisasi tentang penyatuan agama-agama yang berlanjut pada citacita pendirian negara Islam dan khilafah masih menguat dalam memori kolektif agamawan dan funamentalis. Isu yang kerap diusung adalah diakomodasikannya syariat Islam (fikih) dalam perundang-undangan negara. Mereka menuntut agar negara menjadi polisi dalam penegakan syari'at di tengah masyarakat. Padahal, dalam berbagai eksperimen gagasan kesatuan agama-agama mengalami kegagalan dan tidak menjanjikan apa-apa buat kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. System khilafah yang pernah diuji coba dalam pemerintahan dawlah Umaiyah dan dawlah Abbasiyah justru melahirkan sejarah kelabu yang menyengsarakan rakyat. Atas nama syariat, tindakan represif berupa minhah (inkuisisi) dijalankan58. Perubahan politik menuju demokrasi disatu pihak memberikan harapan bagi terjadinya proses sosial dan politik yang lebih transparan dan redistribusi ekonomi yang lebih adil. Namun di sisi lain perubahan itu juga memberikan agenda mencemaskan jika tidak ditangani dengan baik dan dihadapi dengan bijaksana. Pada dasarnya demokrasi bukanlah tujuan melainkan sarana menuju suatu tujuan yang lebih hakiki dan luhur, yaitu keadilan. Demokrasi prosedural yang sedang dicoba di Indonesia sekarang ini seperti pemilihan presiden langsung dan sebagainya belum menunjukan dampaknya bagi tujuan yang sedang dituju yaitu keadilan. Yang terjadi justru terbangunnya raja-raja kecil yang memonopoli sumber-sumber daya ekonomi, politik dan sosial. Dengan kata lain, demokrasi prosedural di Indonesia sekarang ini belum cukup untuk mengantarkan cita-cita luhur tersebut yaitu Indonesia yang adil dan makmur atau baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur. Demokrasi bisa mengantarkan sebuah masyarakat kearah tercapainya cita-cita tersebut jika ada infrastruktur sosial dan budaya yang mendukungnya. Proses demokrasi tidak bisa diserahkan kepada lembaga-lembaga demokrasi melainkan mensyaratkan adanya partisipasi penuh dari masyarakat. Di Amerika sendiri demokrasi membutuhkan apa yang oleh Robert D. Putnam dalam bowling alone (2000) disebut sebagai social capital (modal sosial). Ketika modal sosial ini tidak berjalan, maka demokrasi terancam atau dengan kata lain modal sosial inilah yang membuat demokrasi bisa bekerja atau berjalan 58 Ibid, Azwir Dainy Tara, h. 86. Modal sosial membutuhkan adanya saling percaya (trust) antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya, disamping itu dalam modal sosial juga juga harus ada aturan-aturan moral yang disepakati bersama, diluar aturan formal yang menjadi tanggung jawab negara atau pemerintah, baik diantara kelompok itu sendiri maupun antar kelompok59. Kita belum banyak beranjak dari demokrasi ‘ala’ pemerintahan Orde Baru, yang mempunyai ciri adanya lembaga-lembaga demokrasi, namun tidak berfungsi sebenarnya. Dalam keadaan demikian, “tradisi demokrasi” dilupakan. Jika “demokrasi kelembagaan” di masa Orde Baru tidak membawa pemerintahan yang benar-benar demokratis, maka “demokrasi prosedural” kita dewasa ini juga tidak menunjukkan adanya demokrasi yang sesungguhnya. Karenanya kita masih harus menunggu sekali lagi tindakan bersama, untuk mengakhiri keadaan "asal-asalan" itu untuk menjadi demokrasi yang sebenarnya. Jalan untuk itu adalah pemilihan umum yang jujur dan bebas untuk memilih caleg-caleg dan Presiden/Wakil Presiden yang akan datang60. Dasar dari demokrasi adalah kedaulatan hukum, dan perlakuan sama bagi semua warga negara di hadapan undang-undang, yang seluruhnya bertumpu pada kemauan kuat untuk melaksanakan peraturan-peraturan dengan konsisten. Dari parpol-parpol yang ada, melalui lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat di pusat dan daerah, sehingga diharapkan akan muncul aturan main yang jelas di masa depan. Hal itu belum terwujud pada saat ini, karena keinginan-keinginan baik itu memang belum ada secara kongkret pada saat ini. Kita baru sampai pada tahap memimpikan sesuatu, yang dalam kenyataan hidup memang belum ada. Kita baru sampai ke tahap 59 60 2004). Ahmad Suaedy, Warta, No. 2, h.6 Abdurrhman Wahid, Demokratisasi hidup Bangsa, (Jakarta: www.gusdur.net. 24 Februari menghitung-hitung kekuatan sebagai bangsa, apakah upaya memulai proses demokratisasi secara benar, ataukah hanya melamun saja tentang hal itu. Di sini kita harus dapat membedakan antara lembaga-lembaga politik demokrasi, tetapi tidak memiliki tradisi demokrasi dalam kenyataan sejarah, yang terhampar dihadapan mata kita. Karena kita memang adalah bangsa yang cepat berpuas diri, maka kita tidak memiliki sikap nekat untuk memenuhi persyaratanpersyaratan yang diperlukan untuk mendirikan masyarakat demokratis yang benarbenar sesuai antara kata dan kenyataan61. Membaca pelbagai faktor yang menghambat pertumbuhan demokrasi itu, maka tantangan Wahid Institut akan demokratisasi di Indonesia tidak sederhana. Karenanya Direktur Wahid Institut Ahmad Suaedy mengungkapkan: "Terbentuknya Indonesia demokratis adalah perjalanan panjang yang penuh liku. Oleh karena itu diperlukan kerja-kerja "militant" dari berbagai kelompok pro demokrasi. Jika tidak, maka yang dihasilkan bukah tegaknya kultur demokrasi melainkan justru otoritarianisme"62 Media komunikasi Media komunikasi merupakan media yang sangat efektif dalam rangka memantapkan dan mensukseskan program sebuah instansi, lembaga maupun tujuan seseorang . Hal yang disadari lembaga dalam penyebaran ide demokratisasi adalah pendayagunaan media komunikasi dan sosialisasi yang memadai sehingga apa yang di lakukan dapat di manfaatkan secara maksimal, selanjutnya berkaitan dengan ini adalah bagimana membentuk komunikasi dan kampanye ide tersebut termasuk di 61 Abdurrhman Wahid, Pandangan Politik dan Tradisinya, (Jakarta: www.gusdur.net. 14 Oktober 2004). 62 Abd Muqsith Ghazali, Warta, No. 1, h. 3 dalamnya pemberdayaan jaringan. Tidak dapat dihindari oleh siapapun dan lembaga manapun bahwa diantaranya komunikasilah yang mempengaruhi serta membentuk citra dan paradigma masyarakat pada dewasa ini. Pengunaan media begitu penting, seperti penggunaan media elektronik berupa siaran- siaran, media massa dan penerbitan buku, opini-opini, majalah, jurnal, buletin dan sebagainya. juga penggunaan event-event dan kegiatan tertentu seperti jalur budaya dan lainnya merupakan hal yang tidak dapat di kesampingkan dalam pengimbangan tujuan dengan arus modernisasi yang berjalan dengan cepat. Pemanfaatan dari media elektronik maupun massa yang baik berdampak hasil tidak kecil bagi suksesnya sebuah sosialisasi ide dan informasi. Hal demikian menjadi alternatif cukup baik dalam realisasi program yang membutuhkan jangkauan informasi cukup luas dan kompleks seperti program Wahid Institut tentunya. Sedang untuk jalur diskusi, seminar, maupun bedah buku yaitu yang bersifat bil hal tentunya menjadi bagian dari media kampanye dan propaganda yang efektif dalam membangun pemahaman dalam jalur komunikasi langsung, diharapkan tingkat pemahaman dan transfer pengetahuan akan dapat di terima langsung oleh subyek yang di butuhkan serta meminimalisasi noise yang memungkinkan, terlepas apakah komunikan melakukan feedback atau hanya akan diserap langsung untuk diri mereka sendiri. Dan diakui penggunaan media sangat bermanfaat bagi Wahid Institut, dan lembaga berusaha menggunakan media yang memungkinkan dalam rangka memaksimalkan realisasi visi-misi lembaga. Ekonomi dan Pengetahuan dalam Proses Demokrasi Tantangan Indonesia kedepan sangatlah berat, yaitu saat bersamaan harus dapat memulihkan perekonomian dan mengembangkan demokrasi. Demokrasi yang kurang dipersiapkan dan terjadi sangat mendadak akan membuka berbagai kesempatan bagi setiap masyarakat, entah atas nama agama, etnisitas, kedaerahan, pekerja atau siapapun, berhak menyuarakan kepentingan masing-masing yang selama ini merasa kurang diperhatikan. Akibatnya demokratisasi menampilkan wajah ketidakaturan dan ketidakpastian yang berimplikasi negatif terhadap pemulihan ekonomi. Sekalipun tidak semuanya demikian, saat ini arah demokrasi sering bertentangan dengan ketertiban dan kepastian yang menjadi prasyarat pemulihan ekonomi. Bagi pemerintah, mendamaikan dua hal tersebut sekaligus mensinergiskannya sangatlah sulit. Pengalaman belakangan ini hanyalah retorika demokrasi, demi kepentingan rakyat, mengorbankan langkah-langkah yang sebenarnya ditempuh untukmemulihkan perekonomian63. Adapun untuk mengukur kesejahteraan masyarakat dapat kita lihat dalam beberapa item; pertama, kekayaan rata-rata; kedua, pemertaan; ketiga, kualitas kehidupan; keempat, kerusakan lingkungan; dan kelima, keadilan sosial dan berkelanjutan64. Gejala-gejala semacam ini sangatlah berkaitan erat dengan apa yang kita sering sebut sebagai problem kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat secara umum dengan kuantitas ekonomi tidak akan menjamin kemakmuran masyarakat sehingga yang di butuhkan adalah bagaimana kondisi-kondisi yang mendesaklah sebenarnya yang perlu ditangani dalam rangka memberikan pengayoman rakyat tanpa mengesampingkan tindakan-tindakan nyata peningkatan ekonomi dalam sekala yang lebih luas. 63 Azwir Dainy Tara, Peran……, h. 139 Azwir Dainy Tara, Peran……,h. 75 64 Terdapat langkah strategis yang dapat dilakukan dalam hal ini yaitu memulihkan kehidupan ekonomi bagi masyarakat yang terkena dan terimbas atas terjadinya sebuah insiden maupun gejala alam yang menimpa masyarakat. Hal ini memerlukan tidakan kongkrit dari berbagai pihak untuk mengurangi penderitaan yang terjadi. Dalam hal ini seperti yang sedang dan telah di kerjakan dan akan terus di kembangkan oleh Wahid Institut dalam programnya advokasi dan penguatan akar rumput dimana sebagai lembaga riset tidak membiarkan problem sosial terjadi tanpa ada tindak lanjut nyata, sehingga mengundang lembaga membantu melakukan gerakan dan kegiatan yang di perlukan seperti melalui posko Gus Dur untuk kemanusiaan dengan membangun 220 rumah transisi untuk korban gempa Jogjakarta dan jawa tengah. Langkah strategis lain dapat dilakukan yaitu memberdayakan problemproblem sosial yang mendasar di masyarakat seperti program kualitas dan kuantitas pendidikan. Pengetahuan (knowledge) adalah jembatan semua kesuksesan baik dunia maupun akhirat dan dapat merupakan duta kebenaran. Demokrasi membutuhkan kawalan pengetahuan yang cukup untuk memberikan sumbangsih dari efek demokratisasi yang ada. Tanpa pemahaman yang cukup terhadap ide tersebut dan ide-ide pendukungnya demokrasi akan vakum Karenanyalah dalam hal ini Wahid Institut mengadakan program pendidikan terutama dalam mendukung pluralisme. Diantara pendidikan yang sukses diadakan yaitu seperti kelas Islam dan pluralisme yang dilakukan delapan kali pertemuan dan di hadiri oleh pembicara Wahid Intitut dan di pelajari oleh aggota pendidikan dari barbagai agama yang diantaranya bertujuan untuk mempererat solidaritas maupun toleransi keagamaan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1 Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Wahid Institut merupakan lembaga riset dan pengembangan kebudayaan Islam yang menitik beratkan perjuangan lembaga untuk masyarakat Indonesia khususnya dan dunia secara umum. Peran itu berbentuk pengaplikasian pemikiran Gus Dur dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dalam keberagamaan yaitu pemikiran Islam yang moderat, kesadaran pluralisme agama-agama dan demokratisasi. 2 Berkaitan dengan peran lembaga terhadap pemikiran Islam, lembaga mencoba memberikan wacana dan mengikuti perkembangan pemikiran yang ada di masyarakat yang selanjutnya diharapkan dapat memperkaya khazanah pemikiran keislaman dalam memberikan alternatif masalah-masalah yang akan dan sedang terjadi sekaligus memberikan pengetahuan maupun pemahaman pada masyarakat bahwa pemikiran Islam merupakan bentuk ijtihad yang harus di hormati keberadaannya. 3 Wahid Institut mencoba memberikan suport dan jalan pemahaman bagi masyarakat atas kesadaran kemajemukan keberagamaan maupun dalam perikehidupan masyarakat. Pemahaman yang baik terhadap pluralisme akan menjadikan adanya stabilitas serta menumbuhkan sikap toleransi terhadap pelaksanaan keyakinan masing-masing agama yang mencerminkan konsep akhlak keberagamaan Islam, sehingga pandangan masyarakat dunia terutama barat yang menganggap bahwa Islam adalah agama radikal dapat diminimalisir dan pada 93 gilirannya mereka memahami bahwa Islam adalah agama terbaik dalam realisasi keberagamaan yang cinta damai. 4 Sedang Program demokrasi lembaga adalah realisasi bentuk misi Gus Dur pada perjuangan demokratisasinya sebagai bentuk konsekwensi kemanusiaan dan kepluralitanian Indonesia. Di fahamkan pada masyarakat bahwa demokrasi walaupun di kenal berasal dari konsep barat khususnya Amerika Serikat sebagai kampium demokrasi, ide tersebut sesuai dengan jiwa Islam atas pemahaman idealisasi kehidupan yang penuh dengan persamaan sekaligus perbedaan dan berbagai keseimbagan-keseimbangan lainya. DAFTAR PUSTAKA Drajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan, 1991, Cet. Ke-8. Eliade, Mercia, The Encyclopedia or Religion. New York: Macmillan Library Reference USA,1993, Cet Ke-1 Ensklopedi Akidah Islam. Jakarta: Prenada Media 2003, Cet Ke-1 Hanafi, Ahmad, Pengantar Theologi Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1989, Cet.2. Hidayati Nurul, Metodologi Penelitian Dakwah, Jakarta, 2006, UIN Jakarta Press. Cet. Ke-1 Madjid, Nur Cholish, Islam Doktrin dan Agama, Jakarta: Paramadina, Cet Ke-1 Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1996. Cet Ke-1. Nawala, The Wahid Institut, Seeding Plural and Peaceful Islam.jakarta: Penerbit Wahid Institut, No. 1-4/ Th 1/ 2007. Rachman, Budy Munawar, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2002, Cet Ke-1. Rahardjo, Dawam, (Ed), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3S, 1985. Cet 1 Rais, M Amin, Kata Pengantar dalam John L. dorhne dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah. Jakarta: Rajawali, 1984, Cet Ke- 1 Rosady, Ruslan, Kampanye dan Public Relation. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Cet Ke-1 Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP, Jakarta: Yayasan Tifa dan The Wahid Institut, 2007, Cet Ke-1 Said, Nurhidayat Muh, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia. Jakarta: MediaAktualisasi Pemikiran, 2006, Cet ke 1 Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori Psikologi Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. Ke-8. Shihab Alwi, Islam Inklusif (Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama), Bandung, Mizan, 1999 Thaha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis,. Jakarta, 2005, Cet KeI. Tara, Azwir Dainy, Peran Pengusaha Dalam Membangun Demokrasi, Jakarta: Nuansa Madani, 2002, Cet-1 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic society) demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masayrakat Madani, Jakarta, 2003 Tim INCReS, Beyond The Symbols. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. Ke-1 Tim Wahid Institut, Buletin The Wahid institute, Agama dan Keyakinan dalam RKUHP, No 1-10/ Mei 2006-Februari 2007. Tim Wahid Institut, The Wahid Institut, Seeding Plural and Peaceful Islam. Jakarta: Penerbit Wahid Institut, Tahun 2005, 2006 dan 2007, Cet Ke-1 Tim Wahid Institut, Monthly Report on Religious Issues. Jakarta: Penerbit Wahid Institut, edisi 1-5 Tahun 2007-2008, Cet Ke-1 Warta The Wahid Institut, Seeding Plural and Peaceful Islam.jakarta: Penerbit Wahid Institut, No. 1-4/ Th 1/ 2007. http : / / www.wahidinstitut.org http : / /www.gusdur.net