BAB II LANDASAN TEORI A. Homeschooling

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Homeschooling
1. Pengertian homeschooling
Dalam bahasa Indonesia, terjemahan dari homeschooling adalah “sekolah
rumah”. Istilah ini dipakai secara resmi oleh Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) untuk menyebutkan homeschooling. Selain sekolah rumah,
homeschooling terkadang diterjemahkan dengan istilah sekolah mandiri.
Homeschooling merupakan model pendidikan alternatif selain di sekolah.
Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan di mana sebuah
keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya
dan mendidik anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya.
Orangtua bertanggung jawab secara aktif atas proses pendidikan anaknya.
Bertanggung jawab secara aktif di sini adalah keterlibatan penuh orangtua pada
proses penyelenggaraan pendidikan, mulai dalam hal penentuan arah dan tujuan
pendidikan, nilai-nilai (values) yang ingin dikembangkan, kecerdasan dan
keterampilan yang hendak diraih, kurikulum dan materi pembelajaran hingga
metode belajar serta praktik belajar keseharian anak (Sumardiono, 2007).
Lima syarat yang harus dimiliki orangtua yang ingin menjalankan
homeschooling, yaitu mencintai anak-anak, kreatif, bersahabat dengan anak,
memahami anak-anak, dan memiliki kemauan untuk mengetahui standar
kompetensi dan standar isi kurikulum nasional. Sesuai namanya, proses
Universitas Sumatera Utara
homeschooling memang berpusat dirumah, tetapi proses homeschooling umumnya
tidak hanya mengambil lokasi di rumah. Para orangtua homeschooling biasanya
menggunakan sarana apa saja dan di mana saja untuk pendidikan homeschooling
anaknya. Untuk melakukan pendidikan dan pengayaan (enrichment), keluarga
homeschooling juga memanfaatkan semua infrastruktur dan sarana yang ada di
masyarakat (Mulyadi, 2007). Semakin luas kita mengait-ngaitkan berbagai hal,
maka semakin banyak kita belajar (Vos dalam Mulyadi, 2007).
Proses pembelajaran keluarga homeschooling dapat memanfaatkan
fasilitas yang ada di dunia nyata, seperti fasilitas pendidikan (perpustakaan,
museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas
sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), maupun fasilitas bisnis (mall, pameran,
restoran, pabrik, sawah, perkebunan). Selain itu, keluarga homeschooling dapat
menggunakan guru privat, tutor, mendaftarkan anak pada kursus atau klub hobi
(komik, film, fotografi), dan sebagainya. Internet dan teknologi audio visual yang
semakin berkembang juga merupakan sarana belajar yang biasa digunakan oleh
keluarga homeschooling (Sumardiono, 2007).
Mulyadi (2007) turut menambahkan bahwa homeschooling akan
membelajarkan anak-anak dengan berbagai situasi, kondisi, dan lingkungan sosial
yang terus berkembang. Orangtua seharusnya memusatkan perhatian pada anakanak, selama mereka terjaga dan beraktivitas, kedekatan orangtua dengan anakanaknya dapat dijadikan cara belajar yang efektif dan bisa dikaitkan dengan
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang didapatkan dari fasilitas yang
ada di dunia nyata.
Universitas Sumatera Utara
Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama
sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan
pendidikan seperti yang diharapkan. Akan tetapi, homeschooling dan sekolah juga
memiliki beberapa perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan
anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada
homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan
orang tua. Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak
secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan
kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal belajar telah
ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar
fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua. Pengelolaan di
sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar.
Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga
homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua
(Simbolon, 2007).
Dapat
disimpulkan
bahwa
homeschooling
merupakan
pendidikan
alternatif, dimana orangtua berperan secara aktif dan bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis
pendidikannya dan anak dapat belajar dengan berbagai situasi, kondisi,
lingkungan sosial yang terus berkembang. Proses pembelajaran homeschooling
bersifat fleksibel baik dari segi waktu dan keinginan anak untuk belajar sesuai
dengan minat dan potensinya secara mandiri dan disiplin.
Universitas Sumatera Utara
2. Jenis-jenis kegiatan homeschooling
Dalam sistem pendidikan nasional, penyelenggaraan homeschooling
adalah sebuah kegiatan yang legal dan dijamin oleh hukum berdasarkan pada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas No. 20/2003), Pasal 1 Ayat 1:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara”.
Direktur Pendidikan kesetaraan, Direktorat jenderal Pendidikan Luar
Sekolah
Departemen
Pendidikan
Nasional,
Yulaelawati
menyebutkan
Homeschooling merupakan jalur pendidikan informal dimana hasil belajarnya
dapat disetarakan. Peserta didik jalur informal dapat pindah jalur ke jalur
nonformal dengan alih kredit kompetensi. Apabila siswa ingin mengikuti ujian
nasional kesetaraan (untuk ijazah SD adalah paket A, SMP paket B, dan SMA
paket C), hasil belajar siswa homeschooling dapat diakui dari rapor, portofolio,
CV (curiculum vitae), sertifikasi, dan berbagai bentuk prestasi lain dan atau tes
penempatan (Mulyadi, 2007). Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses
pelayanan pendidikan informal. Akan tetapi, hasil pendidikan informal ini dapat
diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal jika keluarga menginginkan
penilaian kesetaraan. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 dalam UU 20/2003 (dalam
Sumardiono, 2007):
“(1) kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, dan (2) hasil
Universitas Sumatera Utara
pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan
nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan”.
Untuk mendapatkan kesetaraan dengan pendidikan formal, penyelenggara
pendidikan informal (homeschooling) harus mengacu pada ketentuan-ketentuan
yang mengatur pendidikan formal dan nonformal yang telah dibuat. Bagi keluarga
homeschooling, salah satu jalan untuk mendapatkan kesetaraan adalah membentuk
Komunitas Belajar. Eksistensi Komunitas Belajar diakui sebagai salah satu satuan
pendidikan nonformal yang berhak menyelenggarakan pendidikan (Sumardiono,
2007).
Di Indonesia, jenis kegiatan homeschooling dibedakan atas (3) tiga format,
yaitu:
a. Homeschooling tunggal
Mulyadi (2007) menyebutkan homeschooling tersebut dilaksanakan
oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan yang
lainnya. Biasanya homeschooling jenis ini diterapkan karena adanya
tujuan atau alasan khusus yang tidak dapat diketahui atau
dikompromikan dengan komunitas homeschooling lain. Alasan lain
adalah karena lokasi atau tempat tinggal si pelaku homeschooling yang
tidak memungkinkan berhubungan dengan komunitas homeschooling
lain. Sumardiono (2007) menyebutkan alasan format ini dipilih oleh
keluarga karena ingin memiliki fleksibilitas maksimal dalam
penyelenggaraan
homeschooling.
Mereka
bertanggung
jawab
sepenuhnya atas seluruh proses yang ada dalam homeschooling, mulai
Universitas Sumatera Utara
dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga
penyediaan
sarana
pendidikan.
Disebutkan
bahwa
format
homeschooling tunggal memiliki kompleksitas tinggi karena seluruh
beban/tanggung jawab berada di tangan keluarga.
b. Homeschooling majemuk
Mulyadi
(2007)
mengatakan
bahwa
homeschooling
tersebut
dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu
sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masingmasing.
Alasannya
terdapat
kebutuhan-kebutuhan
yang
dapat
dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan
bersama. Contohnya kurikulum dari kegiatan olahraga, seni/musik,
sosial, dan keagamaan. Sumardiono (2007) menambahkan bahwa jenis
kegiatan ini memberikan kemungkinan pada keluarga untuk saling
bertukar pengalaman dan sumber daya yang dimiliki tiap keluarga.
Selain itu, jenis kegiatan ini dapat menambah sosialisasi sebaya dalam
kegiatan bersama di antara anak-anak homeschooling. Tantangan
terbesar dari format homeschooling majemuk adalah mencari titik
temu dan kompromi dan kompromi atas hal-hal yang disepakati antara
para anggota homeschooling majemuk karena tidak adanya keterikatan
struktural.
c. Komunitas homeschooling
Mulyadi (2007) menyebutkan komunitas homeschooling merupakan
gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan
Universitas Sumatera Utara
menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olahraga, musik/seni,
dan bahasa), sarana/prasarana, dan jadwal pembelajaran. Komitmen
penyelenggaraan orangtua dan komunitasnya kurang lebih 50:50.
Sumardiono (2007) menyebutkan bahwa komunitas homeschooling
membuat struktur yang lebih lengkap dalam penyelenggaraan aktivitas
pendidikan
akademis
untuk
pembangunan
akhlak
mulia,
pengembangan inteligensi, keterampilan hidup dalam pembelajaran,
penilaian, dan kriteria keberhasilan dalam standar mutu tertentu tanpa
menghilangkan jati diri dan identitas diri yang dibangun dalam
keluarga dan lingkungannya. Selain itu, komunitas homeschooling
diharapkan dapat dibangun fasilitas belajar mengajar yang lebih baik
yang tidak diperoleh dalam Homeschooling tunggal/majemuk,
misalnya bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium
IPA/bahasa, auditorium, fasilitas olahraga, dan kesenian.
Komunitas homeschooling merupakan satuan pendidikan jalur
nonformal. Acuan mengenai eksistensi komunitas homeschooling
terdapat dalam UU 20/2003 pasal 26 ayat (4) (dalam Sumardiono,
2007):
“Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidkan yang
sejenis.”
Sebagai satuan pendidikan nonformal, komunitas homeschooling dapat
berfungsi
menjalankan
pendidikan
nonformal,
termasuk
Universitas Sumatera Utara
menyelanggarakan ujian kesetaraan. Hal itu sejalan dengan UU
20/2003 pasal 26 ayat (6):
“ Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil
program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau
pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan.”
Izin badan hukum yang menaungi kepentingan dan keberadaan
komunitas homeschooling antara lain, PKBM (Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat), PT atau Yayasan, dan komunitas homeschooling
(Sumardiono, 2007).
3. Program Kegiatan Belajar Komunitas Homeschooling
Berdasarkan landasan penyusunan program kegiatan belajar Pendidikan
Luar Sekolah (PLS) yang diksanakan dan dikembangkan oleh warga masyarakat
dalam bentuk kelompok belajar (Satokhid, 1986). Program kegiatan belajar
komunitas homeschooling diatur berdasarkan 11 (sebelas) aspek, yaitu:
a. Tujuan program belajar
Dalam merumuskan tujuan baik tujuan umum maupun tujuan khusus
hendaknya dikemukakan secara jelas. Tujuan umum menyatakan
kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh warga belajar setelah
selesai mengikuti keseluruhan program. Tujuan khusus menyatakan
kemampuan khusus yang diharapkan dimiliki oleh warga belajar
setelah selesai mengikuti suatu kegiatan belajar/mendapatkan suatu
pengalaman belajar. kemampuan yang diharapkan untuk dimiliki oleh
Universitas Sumatera Utara
warga belajar seharusnya mencakup aspek, keterampilan, sikap dan
pengetahuan. Tujuan khusus hendaknya disusun dengan menggunakan
kalimat dengan kata kerja yang bersifat operasional dan dapat diukur.
Yang menjadi tujuan umum komunitas homeschooling adalah
mempersiapkan anak untuk terjun ke dunia nyata (real world) karena
proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di
sekitarnya.
Untuk
tujuan
khusus
komunitas
homeschooling
memberikan peluang bagi anak untuk belajar secara mandiri dan
berkreativitas
sesuai
dengan
potensi
masing-masing
anak
(Sumardiono, 2007).
b. Sumber belajar
Sumber belajar ditentukan sesuai dengan hasil identifikasi dan
konsultasi, banyaknya ditentukan menurut kebutuhan.
Komunitas homeschooling membagi aturan dalam menentukan sumber
belajar
antara
orangtua
penyelenggara
homeschooling
dengan
komunitasnya sebesar 50:50. Rumah maupun komunitas homeshooling
yang sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan dimana orangtua
dan para pengajar bertanggung jawab untuk mengajar sesuai keahlian
masing-masing. Homeschooling menggunakan media penunjang yang
variatif dan memberikan kebebasan pada anak untuk belajar apa saja
sesuai minat dan hal-hal yang disukai. Anak homeschooling dapat
berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi objek pelajaran,
Universitas Sumatera Utara
seperti persawahan, taman burung, pemandian air panas, kebun
binatang, ataupun tempat kerja (Mulyadi, 2007).
c. Warga belajar
Jumlah warga belajar hendaknya dibatasi, menurut kemampuan
pelayanan. Jumlah yang efektif tidak lebih dari 20 orang warga belajar.
Berbeda dengan siswa sekolah yang terekspos dengan sosialisasi
sebaya (horizontal socialization), siswa homeschooling lebih terekspos
dengan pergaulan lintas-usia (vertical socialization). Komunitas
homeschooling sendiri memiliki ruang gerak sosialisasi peserta didik
yang
lebih
luas
dibandingkan
homeschooling
tunggal
dan
homeschooling majemuk tetapi masih dapat dikendalikan dikarenakan
homeschooling
memungkinkan
untuk
melakukan
penyesuaian
pendidikan secara individual (Sumardiono, 2007).
d. Waktu belajar
Menentukan waktu belajar hendaknya memperhatikan waktu senggang
baik bagi para warga belajar maupun bagi sumber belajar. Lamanya
waktu belajar tergantung pada tingkat kemampuan yang diharapkan
dimiliki oleh warga belajar sebagaimana dinyatakan dalam tujuan
program belajar.
Sebagai bentuk dari sistem pendidikan informal, kunci utama
penyelenggaraan homeschooling adalah adanya kelenturan atau
fleksibilitas. Jadi tidak boleh kaku dan terlalu berstruktur sebagaimana
sekolah formal. Meski kedisiplinan dan tanggung jawab tetap
Universitas Sumatera Utara
ditekankan dalam homeschooling dengan membuat jadwal-jadwal
belajar, namun kekakuan bisa diminimalkan (Mulyadi, 2007).
e. Bahan belajar
Dalam menentukan materi/bahan pelajaran berdasarkan kebutuhan
belajar dan juga disertakan bahan pelajaran yang sesuai dengan misi
pemerintah, seperti Pancasila, Kewarganegaraan, dan lain-lain.
Untuk komunitas homeschooling bahan belajar untuk pendidikan
akademik lebih terstruktur. Komunitas homeschooling tertentu juga
menyediakan paket belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan belajar
anak. Untuk belajar, siswa homeschooling dapat menggunakan bahanbahan yang tersedia di dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di
Indonesia, keluarga homeschooling dapat membeli kurikulum dan
materi-materi ajar secara online melalui internet dan juga dapat
menggunakan kurikulum Diknas sebagai acuan yang dapat diambil
gratis via internet. Untuk materi ajar, keluarga homeschooling dapat
menggunakan buku-buku yang ada tanpa tergantung keharusan
memilih buku dari penerbit tertentu bahkan tidak harus membeli buku
baru karena buku-buku lama masih dapat digunakan sepanjang
materinya relevan (Sumardiono, 2007).
f. Metode mengajar/belajar
Merumuskan metode-metode yang tepat untuk dipergunakan dalam
kegiatan belajar mengajar tersebut, misalnya: ceramah, diskusi, kerja
kelompok, demonstrasi, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Pengajaran di dalam komunitas homeschooling bisa diserahkan kepada
orangtua atau menyewa guru-guru berkualitas dalam mendidik
anaknya sesuai dengan potensinya. Pengajaran antara teori dengan
praktek seimbang. Para orangtua membentuk network untuk membagi
pengalamannya kepada orangtua lain yang mendidik anaknya di
homeschooling. Bahkan, jika minat anak-anak sama, beberapa
orangtua membentuk kelompok pendidikan dan mengajak anak belajar
bersama dengan anak-anak lain yang memiliki minat sama. Jadi,
homeschooling memberikan kebebasan untuk belajar secara fleksibel,
menyenangkan dan sesuai dengan minatnya (Kembara, 2007).
g. Alat-alat belajar
Menentukan alat-alat belajar yang diperlukan dalam setiap satuan
kegiatan belajar.
Di komunitas homeschooling tersedia fasilitas pembelajaran yang baik,
misalnya bengkel kerja, laboratorium IPA/Bahasa, auditorium, fasilitas
olahraga
dan
kesenian.
Keluarga
homeschooling
juga
dapat
menggunakan sarana pembelajaran, baik barang cetakan (majalah,
ensiklopedia, rosur), alat-alat audio (kaset CD), audio visual (TV,
VCD, film), internet (tersedia lembar kerja, ide pengajaran, aktivitas,
keterampilan, dan sebagainya) (Mulyadi, 2007).
h. Dana belajar
Menentukan besar anggaran kebutuhan dana untuk melaksanakan
kegiatan belajar.
Universitas Sumatera Utara
Kunci dari pengelolaan biaya dalam penyelenggaraan homeschooling
adalah kreativitas orangtua dalam mengatur biaya pendidikan bagi
anaknya. Melalui komunitas, para keluarga homeschooling dapat
saling bertukar pengalaman dan bahan pengajaran, saling bertukar
keahlian; misalnya saling mengajar antara keluarga homeschooling.
Biaya yang ditawarkan komunitas homeschooling sifatnya beragam
(Sumardiono, 2007).
i. Tempat belajar
Tempat belajar hendaknya diusahakan tidak jauh dari tempat kediaman
warga belajar.
Bagi pelaksana homeschooling tempat belajar dapat dilaksanakan di
indoor maupun outdoor (rumah, luar rumah ataupun komunitas
homeschooling tertentu) dengan suasana belajar yang kondusif bagi
anak yang melaksanakan kegiatan homeschooling.
j. Evaluasi belajar
Merumuskan cara-cara dan alat evaluasi, baik formatif maupun
sumatif, dihubungkan dengan tujuan khusus yang ingin dicapai.
Hasil belajar siswa homeschooling dapat diakui dari rapor, portofolio
(dokumentasi proses dan karya-karya selama proses pembelajaran),
CV (curiculum vitae), sertifikasi, dan berbagai bentuk prestasi lain dan
atau tes penempatan. Evaluasi kegiatan belajar dapat dilaksanakan
dengan acara berdiskusi antara orangtua dan anak juga dapat
digunakan untuk mengetahui apa yang berhasil dan gagal untuk
Universitas Sumatera Utara
diperbaiki di waktu yang berikutnya (Yulaelawati dalam Sumardiono,
2007).
k. Jadwal pelajaran
Jadwal pelajaran disusun menurut kebutuhan atau persatuan warga
belajar dan sumber belajar.
Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk
seluruh siswa. Pada homeschooling, jadwal belajar fleksibel tergantung
kesepakatan antara orangtua dan anak. Di komunitas homeschooling
pembagian jadwal pelajaran antara orangtua dan komunitasnya sebesar
50:50 (Sumardiono, 2007).
Dalam menetukan komponen objek sikap seharusnya mengetahui tujuan
pengukuran yang dilakukan dan mempunyai gambaran yang jelas, luas dan
relevan mengenai objek sikapnya (Azwar, 2000). Yang menjadi komponen objek
sikap adalah program kegiatan belajar komunitas homeschooling. Hal ini
dikarenakan pengaturan kegiatan komunitas homeschooling lebih terstruktur dan
komunitas homeschooling merupakan satuan pendidikan jalur nonformal yang
dapat
menyelenggarakan
pendidikan
nonformal
dikarenakan
komunitas
homeschooling berbentuk kelompok belajar. Dari 11 (sebelas) aspek tersebut
akan dijadikan dasar dalam pembuatan alat ukur yakni skala sikap terhadap
pendidikan homeschooling.
Universitas Sumatera Utara
4. Faktor-faktor pemicu dan pendukung homechooling
Beberapa faktor pemicu dan pendukung homeschooling menurut Simbolon
(2007), antara lain:
a. Kegagalan sekolah formal
Kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang
lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia
maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling.
Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.
b. Teori inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan
homeschooling adalah teori inteligensi ganda (multiple intelligences)
yang digagas oleh Howard Gardner. Pada awalnya, ada 7 jenis
inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, ditambahkan 2 jenis
inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenisjenis inteligensi tersebut adalah: inteligensi linguistik; inteligensi
matematis-logis; inteligensi ruang-visual; inteligensi kinestetik-badani;
inteligensi musikal; inteligensi interpersonal; inteligensi intrapersonal;
inteligensi ligkungan; dan inteligensi eksistensial. Teori Gardner ini
memicu para orangtua untuk mengembangkan potensi-potensi
inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu
mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering
kali malahan memasung inteligensi anak.
Universitas Sumatera Utara
c. Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam
hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya
homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison,
KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Pendidikan homeschooling ini sudah lama berkembang di Indonesia,
hal ini ditandai banyaknya para kiai, buya dan tuan guru secara khusus
mendidik anak-anaknya dirumah secara pribadi atau di pesantrenpesantren ketimbang memercayakan pendidikannya kepada orang lain.
d. Tersedianya aneka sarana
Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas
yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas
pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas
umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan,
rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah,
perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan
audivisual).
Universitas Sumatera Utara
5. Manfaat homeschooling
Mulyadi (2007), menyebutkan beberapa manfaat dalam model pendidikan
homeschooling, antara lain adalah:
a. Anak menjadi subyek belajar
Melalui homeschooling, anak-anak diberi peluang untuk menentukan
materi-materi yang ingin dipelajarinya. Anak menjadi subjek dalam
kegiatan belajar. Selain materi yang dapat dipilih sesuai keinginan
anak, gaya belajar si anak dapat dilayani sehingga anak dapat merasa
nyaman serta menyenangkan dalam melakukan kegiatan belajar.
b. Objek yang dipelajari sangat luas dan nyata
Homeschooling akan membawa anak-anak untuk belajar di dunia
nyata, di alam yang sangat terbuka. Di samping itu, objek yang
dipelajari
anak
bisa
sangat
luas,
seluas
langit
dan
bumi.
Homeschooling dapat membebaskan anak untuk belajar apa yang
sesuai minat dan hal-hal yang disukainya. Mereka dapat berkunjung ke
berbagai tempat yang bisa menjadi objek pelajaran, seperti
persawahan, taman burung, pemandian air panas, stadion olahraga, dan
tempat-tempat lain yang menarik perhatiannya serta dapat dijadikan
tempat belajarnya.
c. Ajang menanamkan cinta belajar
Homeschooling berusaha menyadarkan kepada orangtua bahwa belajar
bisa dilakukan di mana saja, termasuk di rumah. Untuk menanamkan
rasa cinta belajar kepada anak sejak dini, hanya orangtualah yang
Universitas Sumatera Utara
mungkin paling layak untuk mewujudkannya. Secara naluriah, anak
sejak berada di kandungan ibunya sudah dilengkapi dengan kemauan
kuat untuk belajar. Apabila, lingkungan di rumahnya tidak
mendukung, ada kemungkinan kemauan kuat itu semakin lama
semakin hilang dan akhirnya tidak ada lagi semangat atau rasa cinta
belajar dalam diri si anak.
d. Memberikan kemudahan belajar karena fleksibel
Sebagai bentuk dari sistem pendidikan informal, kunci utama
penyelenggaraan homeschooling adalah adanya kelenturan atau
fleksibilitas. Jadi, tidak boleh kaku dan terlalu berstruktur sebagaimana
sekolah formal. Kalau terlalu disusun dalam kurikulum yang baku,
maka homeschooling justru akan kehilangan makna utamanya.
e. Mendukung belajar secara kontekstual
Kontekstual berasal dari kata kerja latin yang berarti “menjalin
bersama”. Kata konteks merujuk pada “keseluruhan situasi, latar
belakang, atau lingkungan” yang berhubungan dengan diri yang
terjalin bersamanya. Untuk menyadari seluruh potensinya, semua
organisme hidup, termasuk manusia, harus berada di dalam gabungan
yang
tepat
dengan
konteks
mereka.
Homeschooling
sangat
memungkinkan untuk menampung sekaligus mendukung kegiatan
belajar yang kontekstual. Ketika seorang anak dapat mengaitkan isi
materi pelajaran yang dipelajarinya dengan pengalaman mereka
Universitas Sumatera Utara
sendiri, mereka menemukan makna, dan memberi alasan kepada
mereka untuk belajar (Johnson dalam Mulyadi, 2007).
B. Pendidikan
1. Definisi pendidikan
Definisi pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan
dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga
orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang
sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian pendidikan yang luas dan
representatif, pendidikan ialah seluruh tahapan pengembangan kemampuankemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir
seluruh pengalaman kehidupan (Syah, 1995).
Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan
peserta didik, untuk mencapai tujuan pendidikan, yang berlangsung dalam
lingkungan tertentu. Interaksi ini disebut interaksi pendidikan, yaitu saling
pengaruh antara pendidik dengan peserta didik. Proses pendidikan selalu
berlangsung dalam suatu lingkungan, yaitu lingkungan pendidikan. Lingkungan
pendidikan keluarga menempati kedudukan yang paling sentral, sebab ada suatu
kecenderungan yang sangat kuat pada manusia bahwa mereka ingin melestarikan
keturunannya, dan ini dapat dicapai melalui pendidikan. Pendidikan di keluarga
lebih bersifat informal. Cita-cita orangtua tentang anak dan cucunya direalisasikan
Universitas Sumatera Utara
melalui pendidikan. Pendidikan segi moral, agama, ekonomi, intelektual, estetika,
bahkan politis. Ibu dan bapak berperan sebagai pendidik dalam keluarga.
Sedangkan pelanjut dari pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan dalam
lingkungan sekolah. Pendidikan di sekolah lebih bersifat formal karena di sekolah
ada kurikulum sebagai rencana pendidikan dan pengajaran, ada guru-guru yang
lebih profesional, ada sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan. Lingkungan
ketiga didalam pendidikan adalah lingkungan masyarakat. Sebagai peserta didik
(anak, remaja ataupun orang dewasa) sebenarnya mereka telah berada, hidup dan
berkembang dalam lingkungan masyarakat, tetapi setelah selesai masa
pendidikan, maka mereka masuk ke masyarakat dengan status yang lain, yang
menunjukkan tingkat kedewasaan dan kemandirian yang lebih tinggi, baik itu
melalui kegiatan yang lebih formal, bahkan tidak formal (Sukmadinata, 2005).
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa homeschooling merupakan
bentuk pendidikan yang mengembangkan metode-metode sedemikian rupa,
dilaksanakan orangtua atau orang dewasa lainnya yang memiliki keahlian sebagai
pendidik untuk memberikan pengetahuan, pemahaman dan peningkatan
keterampilan atau kemampuan kepada anak yang menjadi peserta didik. Dan
proses pendidikan homeschooling terjadi di dalam lingkungan keluarga dan
mayarakat.
2. Lembaga pendidikan
Pelaksanaan pendidikan diselenggarakan pada Lembaga Pendidikan
Sekolah dan Lembaga Pendidikan Luar Sekolah. Pendidikan Sekolah diartikan
Universitas Sumatera Utara
dengan penyelenggaraan pendidikan yang mempunyai persyaratan beserta
kurikulum yang ketat, teratur dengan mempunyai struktur yang bertingkat dan
berjenjang, dimulai dari Sekolah Dasar sampai Universitas dan yang setaraf
dengannya, termasuk kegiatan pendidikan yang berorientasi akademis dan umum,
bermacam-macam spesialisasi dan latihan-latihan teknik serta profesional yang
dilaksanakan secara terus-menerus. Sedangkan Pendidikan Luar Sekolah adalah
setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar
sekolah, seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun
bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan dengan tujuan
mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan
baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan
keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negara (Abdulhak, 1986).
Coomba (dalam Abdulhak, 1986) memandang pembagian pendidikan
dalam 3 (tiga) bagian, yaitu pendidikan informal, formal dan nonformal.
Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman
sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini
berlangsung dalam keluarga, dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam
pekerjaan, masyarakat, keluarga, dan organisasi. Pendidikan formal, yaitu
pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat, dan mengikuti syaratsyarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah. Sedangkan
pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan
sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, kesimpulan mengenai pembagian pendidikan
dapat diringkaskan ke dalam bentuk bagan dibawah ini:
Bagan 1. Pembagian Pendidikan
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN SEKOLAH
PENDIDIKAN FORMAL
PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
PENDIDIKAN INFORMAL
PENDIDIKAN NON FORMAL
C. Sikap
1. Definisi sikap
Sikap atau attitude sudah sejak lama menjadi salah satu konsep yang
dianggap paling penting dalam psikologi sosial khususnya dan dalam berbagai
ilmu sosial umumnya. Spencer (dalam Azwar, 2000) mengartikan istilah sikap
pertama kali sebagai status mental seseorang. Di masa-masa awal itu pula
penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep untuk mengartikan
postur fisik atau posisi tubuh seseorang (Wrightsman & Deaux dalam Azwar,
2000). Istilah ini kemudian berkembang menjadi kesiapan subjek dalam
menghadapi stimulus yang datang tiba-tiba (Lange dalam Azwar, 2000). Pada
perkembangan selanjutnya istilah sikap tidak hanya merupakan aspek mental
semata melainkan mencakup pula aspek respons fisik.
Telah banyak ahli yang memberikan definisi mengenai sikap. Salah satu
kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Thurstone,
Likert, dan Osgood (dalam Azwar, 2000) menyatakan bahwa sikap adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah
perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak
mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Secara lebih
spesifik, Thurstone sendiri menformulasikan sikap sebagai derajat afek positif
atau afek negatif terhadap suatu objek psikologi meliputi simbol, kata-kata,
slogan, orang, lembaga, ide, dan sebagainya (Hogg dan Vaughan, 2002).
Secord & Backman (dalam Azwar, 2000) mendefinisikan sikap sebagai
keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan
predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan
sekitarnya. Sobur (2003) menarik sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa
sikap pada dasarnya meliputi rasa suka dan tidak suka, penilaian serta reaksi
menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap objek, orang, situasi, dan
mungkin aspek-aspek lain dunia, termasuk ide abstrak dan kebijakan sosial.
Menurut para ahli, dalam memahami sikap harus diperhatikan tentang
ambivalensi sikap. Istilah ini mengacu pada kenyataan bahwa evaluasi manusia
terhadap objek, isu, orang, atau peristiwa tidak selalu secara seragam positif atau
negatif; sebaliknya, evaluasi itu sering terdiri dari dua reaksi baik positif maupun
negatif (Baron & Byrne, 2004).
Hogg dan Vaughan (2002) menyatakan bahwa mengukur sikap adalah
pekerjaan yang tidak mudah, karena sikap tidak dapat diobservasi secara
langsung. Cara yang paling umum dilakukan untuk mengetahui sikap adalah
bertanya langsung pada orang tersebut. Sikap diukur dengan pertanyaan untuk
membuat evaluasi positif atau negatif pada objek tertentu. Ada 8 (delapan) teknik
Universitas Sumatera Utara
pengukuran sikap, yaitu: skala Thurstone (skala interval tampak setara), skala
Likert (skala rating yang dijumlahkan), skala Bogardus (skala jarak social), skala
Osgood (skala diferensi semantik), skala Guttman (scalogram), skala Fishbein,
pengukuran fisiologikal, dan mengukur sikap yang terbuka.
Pernyataan sikap (attitude statements) adalah rangkaian kalimat yang
mengatakan sesuatu mengenai objek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan
sikap dapat berisi kalimat-kalimat yang bersifat mendukung atau memihak dan
juga bersifat yang tidak mendukung atau tidak memihak. Skala sikap berisi
kalimat yang bersifat mendukung atau disebut sebagai pernyataan favorable dan
untuk kalimat yang bersifat tidak mendukung disebut sebagai penyataan tak
favorable dalam jumlah kurang lebih seimbang. Variasi pernyataan favorable dan
non favorable akan membuat responden untuk memikirkan secara hati-hati isi
pernyataannya sebelum memberikan respons sehingga streotipe responden dalam
menjawab dapat dihindari (Azwar, 2000).
Dapat disimpulkan bahwa sikap adalah evaluasi terhadap suatu objek.
Evaluasinya bisa positif atau negatif, dan juga bisa tercampur antara positif dan
negatif. Dalam penelitian ini sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling,
yaitu pernyataan positif atau negatif yang ditampilkan orangtua dalam
memperlihatkan respon terhadap pendidikan homeschooling.
Universitas Sumatera Utara
2. Komponen sikap
Calhoun & Acocella (dalam Sobur, 2003) mengemukakan bahwa sikap
adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu
dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu.
Berdasarkan definisi tersebut, suatu sikap mengandung 3 komponen dasar yaitu
kognitif (keyakinan), afektif (emosi/perasaan), dan konatif (tindakan).
Selanjutnya Krech, Cruthchfield, dan Ballachey (dalam Sobur, 2003)
merumuskan ketiga komponen tersebut. Komponen kognitif adalah kepercayaan
(belief) seseorang terhadap objek sikap. Belief bergantung pada sistem sikap,
yang merupakan evaluative belief mencakup ciri-ciri menyenangkan atau tidak
menyenangkan, menguntungkan atau tidak menguntungkan, berkualitas baik atau
buruk, dan belief tentang cara merespons yang sesuai dan tidak sesuai terhadap
objek. Komponen afektif menunjuk pada emosionalitas terhadap objek. Objek
dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai
atau tidak disukai. Dan komponen konatif adalah kecenderungan tindakan
seseorang, baik positif maupun negatif, terhadap objek sikap.
Mann (dalam Azwar, 2000), menyatakan sikap terdiri dari 3 (tiga)
komponen, yaitu:
a. Komponen kognitif
Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang
dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini
dapat disamakan dengan pandangan (opini) terutama apabila
menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. Azwar
Universitas Sumatera Utara
(2000) menyatakan kepercayaan terhadap sesuatu datang dari apa yang
telah dilihat atau dari yang telah diketahui. Berdasarkan hal ini
kemudian terbentuk ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik
umum suatu objek. Sekali kepercayaan terbentuk akan menjadi dasar
pengetahuan seseorang mengenai apa yang diharapkan dari objek
tertentu.
b. Komponen afektif
Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap
dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah yang
biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh
yang mungkin mengubah sikap seseorang. Secara umum, komponen
ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
Namun, pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda
perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap. Azwar (2000) menyatakan
bahwa reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa
yang dipercayai sebagai benar dan berlaku bagi objek termaksud.
c. Komponen konatif
Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk
bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara
tertentu. Menurut Azwar (2000) komponen konatif menunjukkan
bagaimana cara berperilaku sesuai dengan objek sikap yang dihadapi.
Asumsinya
adalah
bahwa
kepercayaan
dan
perasaan
banyak
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten,
selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap
individual.
Azwar (2000) menyatakan bahwa ketiga komponen diatas adalah selaras
dan konsisten. Konsistensi antara kepercayaan (kognitif), perasaan (afektif), dan
tendensi perilaku (konatif) menjadi landasan dalam usaha penyimpulan sikap yang
dicerminkan oleh jawaban terhadap skala sikap. Apabila salah satu diantara ketiga
komponen tersebut tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi
ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap.
3. Faktor-faktor pembentukan sikap
Hudaniah (2003) menyatakan bahwa pada dasarnya sikap bukan
merupakan suatu pembawaan, melainkan hasil interaksi dinamis antara individu
dengan lingkungan sehingga sikap bersifat dinamis. Faktor pengalaman besar
peranannya dalam pembentukan sikap.
Azwar (2000) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap, diantaranya adalah:
a. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan
akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat
mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai
Universitas Sumatera Utara
pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologi. Apakah
penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif ataupun
sikap negatif, akan tergantung pada berbagai faktor lain. Sehubungan
dengan hal ini, Middlebrook (dalam Azwar, 2000) mengatakan bahwa
tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis
cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut.
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi
haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih
mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam
situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang
melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan
lebih lama berbekas. Namun, individu biasanya tidak melepaskan
pengalaman yang sedang dialaminya dari pengalaman-pengalaman
yang terdahulu, yang relevan.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen
sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap
penting, biasanya orang yang dianggap penting bagi individu adalah
orangtua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya,
teman dekat, guru, teman kerja, isteri atau suami, dan lain-lain. Pada
umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis
atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk
Universitas Sumatera Utara
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang
yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh kebudayaan
Skinner
(dalam
Azwar,
2000)
sangat
menekankan
pengaruh
lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi
seseorang. Menurutnya, kepribadian tidak lain daripada pola perilaku
yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita
alami. Kita memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita
mendapat reinforcement (penguat, ganjaran) dari masyarakat untuk
sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.
kebudayaan juga telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya. Hanya
kepribadian individu yang telah mapan dan kuat yang dapat
memudarkan dominansi kebudayaan dalam pembentukan sikap
individual.
d. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti
televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lainnya mempunyai pengaruh
besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam
penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa
membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat
mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai
sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh
Universitas Sumatera Utara
informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif
dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
Walaupun pengaruh media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi
individual secara langsung, namun dalam proses pembentukan dan
perubahan sikap, peranan media massa tidak kecil artinya. Dalam
pemberitaan di surat kabar maupun di radio atau media komunikasi
lainnya, berita-berita faktual yang seharusnya di sampaikan secara
objektif seringkali dimasuki unsur subjektivitas penulis berita, baik
secara sengaja maupun tidak. Hal ini seringkali berpengaruh terhadap
sikap pembaca atau pendengarnya, sehingga dengan hanya menerima
berita-berita yang sudah dimasuki unsur subjektif itu, terbentuklah
sikap tertentu.
4. Perubahan sikap
Pada hakikatnya sikap itu relatif tetap, tetapi dapat berubah. Perubahan
sikap dipengaruhi oleh (a) Sistem sikap (b) kepribadian dan (c) afiliasi individu
dalam kelompok (Krech, Couthfield, & ballachey dalam Mujiyati, 2004). Menurut
Kelman (dalam Mujiyati, 2004) ada tiga proses sosial yang berperan dalam proses
perubahan sikap yaitu kesediaan (compliance), identifikasi (identification) dan
internalisasi (internalization). Selanjutnya Newcomb, Turner, & Converse (dalam
Mujiyati, 2004) menambahkan bahwa perubahan sikap tidak hanya tergantung
dari sifat sikap yang dibawa seseorang tetapi juga dari ciri-ciri lain yaitu berita
Universitas Sumatera Utara
yang persuasif dan ciri-ciri badan yang menyampaikan informasi itu, atau sumber
informasi.
Menurut Walgito (dalam Hudaniah, 2003) bahwa perubahan sikap
ditentukan oleh dua faktor, yaitu:
a. Faktor internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam
menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang
datang akan diterima atau ditolak.
b. Faktor eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang
merupakan stimulus untuk mengubah sikap.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan sikap pada
dasarnya dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam diri individu dan ada faktor di
luar diri individu yang keduanya saling berinteraksi. Proses ini akan berlangsung
selama perkembangan individu (Hudaniah, 2003).
Sikap dapat pula dinyatakan sebagai hasil belajar, karenanya sikap dapat
mengalami perubahan. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sherif & Sherif
(dalam Hudaniah, 2003) bahwa sikap dapat berubah karena kondisi dan pengaruh
yang diberikan. Sebagai hasil dari belajar sikap tidaklah terbentuk dengan
sendirinya karena pembentukan sikap senantiasa akan berlangsung dalam
interaksi manusia berkenaan dengan objek tertentu.
Universitas Sumatera Utara
D. Orangtua
1. Pengertian orangtua
Orangtua biasanya terdiri dari ayah dan ibu atau siapa saja yang berperan
dan bertanggung jawab dalam suatu keluarga. Keluarga biasanya terdiri dari ayah
dan ibu atau orang-orang yang menggantikan peran mereka. Orangtua adalah
orang-orang yang telah dewasa lahir dan batin, yang telah memiliki kematangan
secara fisik dan non-fisik, keamatangan/keseimbangan emosi/perasaan dan
rasio/pemikiran dan adanya kemandirian dalam bidang ekonomi, sosial dan
mental serta berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagai orangtua
dalam mengelola dan membina/mengasuh peserta didik/orang-orang yang belum
dewasa dalam keluarganya, seperti anaknya. Orangtua yang ideal adalah mereka
yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang relatif cukup dalam mengelola
berbagai aspek dalam kehidupan dan pendidikan keluarganya (Yacub, 2005).
Menurut Verkuyl (dalam ahmadi, 1999) ada 3 (tiga) tugas dan panggilan
untuk orangtua, yaitu:
a. Mengurus keperluan materil anak
Merupakan tugas pertama dimana orangtua harus memberi makan,
tempat perlindungan dan pakaian kepada anak. Anak sepenuhnya
masih tergantung kepada orangtuanya karena anak belum mampu
mencukupi kebutuhannya sendiri.
b. Menciptakan suatu “home” bagi anak
“Home” disini berarti bahwa di dalam keluarga itu anak dapat
berkembang dengan subur, merasakan kemesraan, kasih sayang,
Universitas Sumatera Utara
keramahtamahan, merasa aman, terlindungi, dan lain-lain. Di rumah
anak merasa tentram, tidak pernah kesepian dan selalu gembira.
c. Tugas pendidikan
Tugas mendidik merupakan tugas terpenting dari orangtua terhadap
anaknya.
2. Masa dewasa
Istilah adolescene yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Oleh karena itu,
orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap
menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.
Masa dewasa merupakan periode yang paling penting dalam masa kehidupan,
umunya dibagi atas tiga periode, yaitu masa dewasa dini, dari umur 18-40 tahun,
masa dewasa pertengahan, dari umur 40-60 tahun, dan masa dewasa akhir atau
”usia lanjut”, dari 60 tahun hingga kematian (Hurlock, 1980).
Peran orangtua dimulai dari masa dewasa dini. Diantara sekian banyak
tugas perkembangan orang dewasa dini, tugas-tugas yang berkaitan dengan
pekerjaan dan hidup keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, sangat
penting dan sangat sulit diatasi. Hal ini disebabkan kurangnya dasar-dasar yang
harus dibangun dalam menyesuaikan diri dengan peran baru yang terjadi di
dewasa dini. Masa sebagai orangtua dipandang sebagai ”masa krisis” dalam
kehidupan seseorang karena masa tersebut menuntut perubahan dalam sikap, nilai
dan peran (Hurlock, 1980).
Universitas Sumatera Utara
Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola
kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan
memainkan peran baru, seperti peran suami/isteri, orangtua, dan pencari nafkah,
dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru
sesuai dengan tugas barunya. Sebagai orang dewasa, mereka diharapakan
mengadakan penyesuaian diri secara mandiri (Hurlock, 1980).
3. Peran orangtua dalam pendidikan di lingkungan keluarga
Anak sebagai generasi unggul pada dasarnya tidak akan tumbuh dan
berkembang dengan sendirinya. Anak memerlukan lingkungan subur yang khusus
diciptakan untuk itu. Lingkungan yang kondusif tersebut akan memungkinkan
anak untuk berkembang secara optimal. Dalam hal ini, peranan orangtua amatlah
penting. Seperti halnya dalam mendidik anak, yang menjadi model utama dan
paling dekat dalam kehidupan anak adalah orangtua (Mulyadi, 2004).
Khumas (2003) menyebutkan bahwa selain pemerintah yang bertugas
sebagai penyelenggara dan penanggung jawab kelangsungan proses pendidikan,
tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak juga tidak kalah besarnya.
Peranan orangtua dalam proses pendidikan anak cukup penting. Sejalan dengan
pendapat tersebut, Hamalik (dalam khumas, 2003) mengatakan bahwa orangtua
turut bertanggung jawab atas kemajuan belajar anak-anaknya. Pemenuhan
kebutuhan anak tidak cukup hanya dari segi materi melainkan orangtua juga
diharapkan memenuhi kebutuhan belajar anak secara psikis, seperti memuji,
menegur, memberi hadiah, mengawasi, serta turut serta pada program kegiatan
Universitas Sumatera Utara
belajar anak. Haditono (dalam Khumas, 2003) menyebutkan bahwa semakin
tinggi keikutsertaan orangtua dalam kegiatan belajar anak maka semakin baik pula
pengawasan yang diberikan terhadap anaknya, dalam hal ini membantu anak
mencapai prestasi belajar yang baik. kondisi yang demikian memberi sumbangan
terhadap kemauan dan ketekunan anak untuk belajar.
Gunarsa & Gunarsa (2000) menyebutkan orangtua berperan penting bagi
perkembangan anak. Peran ibu dalam pendidikan di lingkungan kelurga, yakni
sebagai pendidik yang mampu mengatur dan mengendalikan anak yang bertujuan
untuk mendidik anak dan mengembangkan kepribadiannya, ibu juga menjadi
contoh teladan bagi anaknya, memberi rangsangan bagi perkembangan anak dan
pelajaran yang bertujuan agar anak senang belajar di rumah. Peran ayah dalam
pendidikan anak di lingkungan keluarga, yakni ayah turut berpartisipasi dalam
pendidikan anak, di mana peran ayah sangat besar terhadap anak laki-lakinya
untuk menjadi model dan contoh teladan dalam bersikap sebagai seorang laki-laki
dan peran ayah untuk anak perempuannya sebagai pelindung atau tokoh yang
tegas, bijaksana, mengasihi keluarga.
Interaksi dalam keluarga juga berpengaruh besar terhadap proses
sosialisasi anak-anak, baik terhadap lingkungan maupun kegiatan belajarnya
(Vembriarto dalam Khumas, 2003). Penelitian Komisi Bullock di Inggris (dalam
Khumas, 2003), menemukan bahwa peran aktif orangtua sangat vital dalam
pendidikan anak. Orangtua yang bersikap pasif, hanya sekedar memberi fasilitas,
tetapi tidak menindaklanjuti dengan usaha konkrit yang langsung bersentuhan
dengan kebutuhan psikologis anak, kurang memberikan hasil yang maksimal.
Universitas Sumatera Utara
Sears (2004) mengatakan investasi dalam pendidikan anak berarti
kesediaan orangtua untuk mencurahkan waktu dan tenaga yang banyak untuk
membesarkan anak. Orangtua harus mempelajari perilaku dan kemampuan anak
pada setiap tahapan. Membaca buku ataupun artikel majalah membantu orangtua
memahami perkembangan anak. Dan yang paling penting, cobalah melihat dunia
dari sudut pandang anak. Anak-anak tidak berpikir seperti orang dewasa.
Orangtua perlu mengetahui apa yang diharapkan pada setiap tahap perkembangan
sehingga bisa membimbing anak dengan baik. Cara pendidikan anak akan berjalan
dengan lancar jika orangtua belajar mentoleransi perilaku yang terkait dengan usia
dan tahap perkembangan anak.
Suyanto & Abbas (2004) menyebutkan kesadaran tentang pentingnya
pendidikan memeransertakan orangtua dan masyarakat pada proses pengelolaan
pendidikan, khususnya di sekolah sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, yaitu
sejak dipahaminya konsep tri pusat pendidikan. Tri pusat pendidikan
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara (dalam Ahmadi & Uhbiyati, 1991)
meliputi pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat. Keluarga adalah bentuk
masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh satu
keturunan, yakni kesatuan antara ayah, ibu dan anak yang merupakan kesatuan
kecil dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat. Keluarga mempunyai hak otonom
untuk melaksanakan pendidikan. Orangtua mau tidak mau, berkeahlian atau tidak,
berkewajiban secara kodrati untuk menyelenggarakan pendidikan terhadap anakanaknya. Bagi anak, keluarga merupakan tempat pertama dikenal dan merupakan
lembaga pertama ia menerima pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
Sears (2004) menyebutkan rumah sebagai masyarakat bagi setiap anak
untuk pertama kali. Bagaimana dia belajar untuk hidup dalam dunia masyarakat
mini ini, membentuk pola-pola interaksi sosial lainnya di sekolah, dalam
kelompok, dan kemudian dalam pernikahan serta dalam karir. Batasan-batasan di
rumah membantu anak menyalurkan energi sosial dan kreatif mereka ke arah yang
bermanfaat. Batasan-batasan ini juga memungkinkan bagi orang dewasa dan
anak-anak, untuk bekerjasama, dan menikmati hidup mereka bersama.
E. Sikap Orangtua Terhadap Pendidikan Homeschooling
Thurstone, Likert, dan Osgood (dalam Azwar, 2000) menyatakan bahwa
sikap seseorang terhadap objek adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan
mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau
tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Ada tiga komponen dalam
sikap: pertama, komponen kognitif yang merupakan persepsi, kepercayaan dan
stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu; kedua, komponen afektif
yang merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah
emosi
dan
ketiga,
komponen
konatif
yang
merupakan
tendensi
atau
kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan caracara tertentu (Mann dalam Azwar, 2000).
Sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling dimaksudkan sebagai
tendensi mental yang diaktualkan atau diverbalkan terhadap pendidikan
homeschooling yang didasarkan pada pengetahuan atau perasaannya terhadap
pendidikan homeschooling. Yang menjadi komponen objek sikap adalah 11
Universitas Sumatera Utara
(sebelas) aspek dari program kegiatan belajar komunitas homeschooling, yaitu
tujuan program belajar, sumber belajar, warga belajar, waktu belajar, bahan
belajar, metode mengajar/belajar , alat belajar, dana belajar, tempat belajar,
evaluasi belajar, dan jadwal pelajaran.
Berkaitan dengan komponen-komponen sikap, maka sikap terhadap
pendidikan homeschooling dapat di jelaskan sebagai berikut:
a. Komponen kognitif
Komponen ini merupakan bagian sikap orangtua yang muncul
berdasarkan pengetahuannya atau pemahamannya terhadap program
kegiatan belajar homeschooling, misalnya anak yang belajar di
homeschooling lebih mandiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa
komponen kognitif menjawab pertanyaan-pertanyaan apa yang
diyakini, dipikirkan orangtua terhadap pendidikan homeschooling.
b. Komponen afektif
Komponen ini merupakan bagian sikap orangtua yang muncul
berdasarkan apa yang dirasakan orangtua terhadap program kegiatan
belajar homeschooling. Komponen ini menjawab pertanyaan: “apa
yang dirasakan orangtua terhadap pendidikan homeschooling?”
Misalnya
orangtua
senang
dengan
murahnya
penyelenggaran
pendidikan seperti homeschooling maka hal tersebut termasuk
komponen afeksi. Perasaan seperti senang atau tidak senang yang
berhubungan dengan pendidikan homeschooling, termasuk komponen
afektif. Jadi afektif menimbulkan evaluasi emosional terhadap objek.
Universitas Sumatera Utara
c. Komponen konatif
Berdasarkan komponen-komponen kognitif dan afektif nampak adanya
kecenderungan untuk bertindak sebagai reaksi terhadap program
kegiatan belajar komunitas homeschooling. Komponen ini menjawab
pertanyaan-pertanyaan bagaimana kesediaan atau kesiapan orangtua
untuk bertindak terhadap pendidikan homeschooling. Orangtua yang
memperlihatkan tingkah laku seperti aktif mencari tahu tentang
homeschooling melalui media cetak, televisi maupun melalui internet,
mengikuti seminar yang berhubungan dengan homeschooling, ataupun
membeli buku yang membahas tentang homeschooling dan sebagainya
merupakan contoh yang tergolong dalam komponen konatif.
Universitas Sumatera Utara
Download