BAB II LANDASAN TEORI A. Homeschooling 1. Pengertian homeschooling Dalam bahasa Indonesia, terjemahan dari homeschooling adalah “sekolah rumah”. Istilah ini dipakai secara resmi oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk menyebutkan homeschooling. Selain sekolah rumah, homeschooling terkadang diterjemahkan dengan istilah sekolah mandiri. Homeschooling merupakan model pendidikan alternatif selain di sekolah. Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan di mana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya dan mendidik anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Orangtua bertanggung jawab secara aktif atas proses pendidikan anaknya. Bertanggung jawab secara aktif di sini adalah keterlibatan penuh orangtua pada proses penyelenggaraan pendidikan, mulai dalam hal penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai (values) yang ingin dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan yang hendak diraih, kurikulum dan materi pembelajaran hingga metode belajar serta praktik belajar keseharian anak (Sumardiono, 2007). Lima syarat yang harus dimiliki orangtua yang ingin menjalankan homeschooling, yaitu mencintai anak-anak, kreatif, bersahabat dengan anak, memahami anak-anak, dan memiliki kemauan untuk mengetahui standar kompetensi dan standar isi kurikulum nasional. Sesuai namanya, proses Universitas Sumatera Utara homeschooling memang berpusat dirumah, tetapi proses homeschooling umumnya tidak hanya mengambil lokasi di rumah. Para orangtua homeschooling biasanya menggunakan sarana apa saja dan di mana saja untuk pendidikan homeschooling anaknya. Untuk melakukan pendidikan dan pengayaan (enrichment), keluarga homeschooling juga memanfaatkan semua infrastruktur dan sarana yang ada di masyarakat (Mulyadi, 2007). Semakin luas kita mengait-ngaitkan berbagai hal, maka semakin banyak kita belajar (Vos dalam Mulyadi, 2007). Proses pembelajaran keluarga homeschooling dapat memanfaatkan fasilitas yang ada di dunia nyata, seperti fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), maupun fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan). Selain itu, keluarga homeschooling dapat menggunakan guru privat, tutor, mendaftarkan anak pada kursus atau klub hobi (komik, film, fotografi), dan sebagainya. Internet dan teknologi audio visual yang semakin berkembang juga merupakan sarana belajar yang biasa digunakan oleh keluarga homeschooling (Sumardiono, 2007). Mulyadi (2007) turut menambahkan bahwa homeschooling akan membelajarkan anak-anak dengan berbagai situasi, kondisi, dan lingkungan sosial yang terus berkembang. Orangtua seharusnya memusatkan perhatian pada anakanak, selama mereka terjaga dan beraktivitas, kedekatan orangtua dengan anakanaknya dapat dijadikan cara belajar yang efektif dan bisa dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang didapatkan dari fasilitas yang ada di dunia nyata. Universitas Sumatera Utara Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Akan tetapi, homeschooling dan sekolah juga memiliki beberapa perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua. Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua. Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua (Simbolon, 2007). Dapat disimpulkan bahwa homeschooling merupakan pendidikan alternatif, dimana orangtua berperan secara aktif dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya dan anak dapat belajar dengan berbagai situasi, kondisi, lingkungan sosial yang terus berkembang. Proses pembelajaran homeschooling bersifat fleksibel baik dari segi waktu dan keinginan anak untuk belajar sesuai dengan minat dan potensinya secara mandiri dan disiplin. Universitas Sumatera Utara 2. Jenis-jenis kegiatan homeschooling Dalam sistem pendidikan nasional, penyelenggaraan homeschooling adalah sebuah kegiatan yang legal dan dijamin oleh hukum berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas No. 20/2003), Pasal 1 Ayat 1: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Direktur Pendidikan kesetaraan, Direktorat jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional, Yulaelawati menyebutkan Homeschooling merupakan jalur pendidikan informal dimana hasil belajarnya dapat disetarakan. Peserta didik jalur informal dapat pindah jalur ke jalur nonformal dengan alih kredit kompetensi. Apabila siswa ingin mengikuti ujian nasional kesetaraan (untuk ijazah SD adalah paket A, SMP paket B, dan SMA paket C), hasil belajar siswa homeschooling dapat diakui dari rapor, portofolio, CV (curiculum vitae), sertifikasi, dan berbagai bentuk prestasi lain dan atau tes penempatan (Mulyadi, 2007). Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan informal. Akan tetapi, hasil pendidikan informal ini dapat diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal jika keluarga menginginkan penilaian kesetaraan. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 dalam UU 20/2003 (dalam Sumardiono, 2007): “(1) kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, dan (2) hasil Universitas Sumatera Utara pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”. Untuk mendapatkan kesetaraan dengan pendidikan formal, penyelenggara pendidikan informal (homeschooling) harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang mengatur pendidikan formal dan nonformal yang telah dibuat. Bagi keluarga homeschooling, salah satu jalan untuk mendapatkan kesetaraan adalah membentuk Komunitas Belajar. Eksistensi Komunitas Belajar diakui sebagai salah satu satuan pendidikan nonformal yang berhak menyelenggarakan pendidikan (Sumardiono, 2007). Di Indonesia, jenis kegiatan homeschooling dibedakan atas (3) tiga format, yaitu: a. Homeschooling tunggal Mulyadi (2007) menyebutkan homeschooling tersebut dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan yang lainnya. Biasanya homeschooling jenis ini diterapkan karena adanya tujuan atau alasan khusus yang tidak dapat diketahui atau dikompromikan dengan komunitas homeschooling lain. Alasan lain adalah karena lokasi atau tempat tinggal si pelaku homeschooling yang tidak memungkinkan berhubungan dengan komunitas homeschooling lain. Sumardiono (2007) menyebutkan alasan format ini dipilih oleh keluarga karena ingin memiliki fleksibilitas maksimal dalam penyelenggaraan homeschooling. Mereka bertanggung jawab sepenuhnya atas seluruh proses yang ada dalam homeschooling, mulai Universitas Sumatera Utara dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga penyediaan sarana pendidikan. Disebutkan bahwa format homeschooling tunggal memiliki kompleksitas tinggi karena seluruh beban/tanggung jawab berada di tangan keluarga. b. Homeschooling majemuk Mulyadi (2007) mengatakan bahwa homeschooling tersebut dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masingmasing. Alasannya terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari kegiatan olahraga, seni/musik, sosial, dan keagamaan. Sumardiono (2007) menambahkan bahwa jenis kegiatan ini memberikan kemungkinan pada keluarga untuk saling bertukar pengalaman dan sumber daya yang dimiliki tiap keluarga. Selain itu, jenis kegiatan ini dapat menambah sosialisasi sebaya dalam kegiatan bersama di antara anak-anak homeschooling. Tantangan terbesar dari format homeschooling majemuk adalah mencari titik temu dan kompromi dan kompromi atas hal-hal yang disepakati antara para anggota homeschooling majemuk karena tidak adanya keterikatan struktural. c. Komunitas homeschooling Mulyadi (2007) menyebutkan komunitas homeschooling merupakan gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan Universitas Sumatera Utara menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olahraga, musik/seni, dan bahasa), sarana/prasarana, dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan orangtua dan komunitasnya kurang lebih 50:50. Sumardiono (2007) menyebutkan bahwa komunitas homeschooling membuat struktur yang lebih lengkap dalam penyelenggaraan aktivitas pendidikan akademis untuk pembangunan akhlak mulia, pengembangan inteligensi, keterampilan hidup dalam pembelajaran, penilaian, dan kriteria keberhasilan dalam standar mutu tertentu tanpa menghilangkan jati diri dan identitas diri yang dibangun dalam keluarga dan lingkungannya. Selain itu, komunitas homeschooling diharapkan dapat dibangun fasilitas belajar mengajar yang lebih baik yang tidak diperoleh dalam Homeschooling tunggal/majemuk, misalnya bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA/bahasa, auditorium, fasilitas olahraga, dan kesenian. Komunitas homeschooling merupakan satuan pendidikan jalur nonformal. Acuan mengenai eksistensi komunitas homeschooling terdapat dalam UU 20/2003 pasal 26 ayat (4) (dalam Sumardiono, 2007): “Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidkan yang sejenis.” Sebagai satuan pendidikan nonformal, komunitas homeschooling dapat berfungsi menjalankan pendidikan nonformal, termasuk Universitas Sumatera Utara menyelanggarakan ujian kesetaraan. Hal itu sejalan dengan UU 20/2003 pasal 26 ayat (6): “ Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.” Izin badan hukum yang menaungi kepentingan dan keberadaan komunitas homeschooling antara lain, PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), PT atau Yayasan, dan komunitas homeschooling (Sumardiono, 2007). 3. Program Kegiatan Belajar Komunitas Homeschooling Berdasarkan landasan penyusunan program kegiatan belajar Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang diksanakan dan dikembangkan oleh warga masyarakat dalam bentuk kelompok belajar (Satokhid, 1986). Program kegiatan belajar komunitas homeschooling diatur berdasarkan 11 (sebelas) aspek, yaitu: a. Tujuan program belajar Dalam merumuskan tujuan baik tujuan umum maupun tujuan khusus hendaknya dikemukakan secara jelas. Tujuan umum menyatakan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh warga belajar setelah selesai mengikuti keseluruhan program. Tujuan khusus menyatakan kemampuan khusus yang diharapkan dimiliki oleh warga belajar setelah selesai mengikuti suatu kegiatan belajar/mendapatkan suatu pengalaman belajar. kemampuan yang diharapkan untuk dimiliki oleh Universitas Sumatera Utara warga belajar seharusnya mencakup aspek, keterampilan, sikap dan pengetahuan. Tujuan khusus hendaknya disusun dengan menggunakan kalimat dengan kata kerja yang bersifat operasional dan dapat diukur. Yang menjadi tujuan umum komunitas homeschooling adalah mempersiapkan anak untuk terjun ke dunia nyata (real world) karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya. Untuk tujuan khusus komunitas homeschooling memberikan peluang bagi anak untuk belajar secara mandiri dan berkreativitas sesuai dengan potensi masing-masing anak (Sumardiono, 2007). b. Sumber belajar Sumber belajar ditentukan sesuai dengan hasil identifikasi dan konsultasi, banyaknya ditentukan menurut kebutuhan. Komunitas homeschooling membagi aturan dalam menentukan sumber belajar antara orangtua penyelenggara homeschooling dengan komunitasnya sebesar 50:50. Rumah maupun komunitas homeshooling yang sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan dimana orangtua dan para pengajar bertanggung jawab untuk mengajar sesuai keahlian masing-masing. Homeschooling menggunakan media penunjang yang variatif dan memberikan kebebasan pada anak untuk belajar apa saja sesuai minat dan hal-hal yang disukai. Anak homeschooling dapat berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi objek pelajaran, Universitas Sumatera Utara seperti persawahan, taman burung, pemandian air panas, kebun binatang, ataupun tempat kerja (Mulyadi, 2007). c. Warga belajar Jumlah warga belajar hendaknya dibatasi, menurut kemampuan pelayanan. Jumlah yang efektif tidak lebih dari 20 orang warga belajar. Berbeda dengan siswa sekolah yang terekspos dengan sosialisasi sebaya (horizontal socialization), siswa homeschooling lebih terekspos dengan pergaulan lintas-usia (vertical socialization). Komunitas homeschooling sendiri memiliki ruang gerak sosialisasi peserta didik yang lebih luas dibandingkan homeschooling tunggal dan homeschooling majemuk tetapi masih dapat dikendalikan dikarenakan homeschooling memungkinkan untuk melakukan penyesuaian pendidikan secara individual (Sumardiono, 2007). d. Waktu belajar Menentukan waktu belajar hendaknya memperhatikan waktu senggang baik bagi para warga belajar maupun bagi sumber belajar. Lamanya waktu belajar tergantung pada tingkat kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh warga belajar sebagaimana dinyatakan dalam tujuan program belajar. Sebagai bentuk dari sistem pendidikan informal, kunci utama penyelenggaraan homeschooling adalah adanya kelenturan atau fleksibilitas. Jadi tidak boleh kaku dan terlalu berstruktur sebagaimana sekolah formal. Meski kedisiplinan dan tanggung jawab tetap Universitas Sumatera Utara ditekankan dalam homeschooling dengan membuat jadwal-jadwal belajar, namun kekakuan bisa diminimalkan (Mulyadi, 2007). e. Bahan belajar Dalam menentukan materi/bahan pelajaran berdasarkan kebutuhan belajar dan juga disertakan bahan pelajaran yang sesuai dengan misi pemerintah, seperti Pancasila, Kewarganegaraan, dan lain-lain. Untuk komunitas homeschooling bahan belajar untuk pendidikan akademik lebih terstruktur. Komunitas homeschooling tertentu juga menyediakan paket belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan belajar anak. Untuk belajar, siswa homeschooling dapat menggunakan bahanbahan yang tersedia di dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, keluarga homeschooling dapat membeli kurikulum dan materi-materi ajar secara online melalui internet dan juga dapat menggunakan kurikulum Diknas sebagai acuan yang dapat diambil gratis via internet. Untuk materi ajar, keluarga homeschooling dapat menggunakan buku-buku yang ada tanpa tergantung keharusan memilih buku dari penerbit tertentu bahkan tidak harus membeli buku baru karena buku-buku lama masih dapat digunakan sepanjang materinya relevan (Sumardiono, 2007). f. Metode mengajar/belajar Merumuskan metode-metode yang tepat untuk dipergunakan dalam kegiatan belajar mengajar tersebut, misalnya: ceramah, diskusi, kerja kelompok, demonstrasi, dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara Pengajaran di dalam komunitas homeschooling bisa diserahkan kepada orangtua atau menyewa guru-guru berkualitas dalam mendidik anaknya sesuai dengan potensinya. Pengajaran antara teori dengan praktek seimbang. Para orangtua membentuk network untuk membagi pengalamannya kepada orangtua lain yang mendidik anaknya di homeschooling. Bahkan, jika minat anak-anak sama, beberapa orangtua membentuk kelompok pendidikan dan mengajak anak belajar bersama dengan anak-anak lain yang memiliki minat sama. Jadi, homeschooling memberikan kebebasan untuk belajar secara fleksibel, menyenangkan dan sesuai dengan minatnya (Kembara, 2007). g. Alat-alat belajar Menentukan alat-alat belajar yang diperlukan dalam setiap satuan kegiatan belajar. Di komunitas homeschooling tersedia fasilitas pembelajaran yang baik, misalnya bengkel kerja, laboratorium IPA/Bahasa, auditorium, fasilitas olahraga dan kesenian. Keluarga homeschooling juga dapat menggunakan sarana pembelajaran, baik barang cetakan (majalah, ensiklopedia, rosur), alat-alat audio (kaset CD), audio visual (TV, VCD, film), internet (tersedia lembar kerja, ide pengajaran, aktivitas, keterampilan, dan sebagainya) (Mulyadi, 2007). h. Dana belajar Menentukan besar anggaran kebutuhan dana untuk melaksanakan kegiatan belajar. Universitas Sumatera Utara Kunci dari pengelolaan biaya dalam penyelenggaraan homeschooling adalah kreativitas orangtua dalam mengatur biaya pendidikan bagi anaknya. Melalui komunitas, para keluarga homeschooling dapat saling bertukar pengalaman dan bahan pengajaran, saling bertukar keahlian; misalnya saling mengajar antara keluarga homeschooling. Biaya yang ditawarkan komunitas homeschooling sifatnya beragam (Sumardiono, 2007). i. Tempat belajar Tempat belajar hendaknya diusahakan tidak jauh dari tempat kediaman warga belajar. Bagi pelaksana homeschooling tempat belajar dapat dilaksanakan di indoor maupun outdoor (rumah, luar rumah ataupun komunitas homeschooling tertentu) dengan suasana belajar yang kondusif bagi anak yang melaksanakan kegiatan homeschooling. j. Evaluasi belajar Merumuskan cara-cara dan alat evaluasi, baik formatif maupun sumatif, dihubungkan dengan tujuan khusus yang ingin dicapai. Hasil belajar siswa homeschooling dapat diakui dari rapor, portofolio (dokumentasi proses dan karya-karya selama proses pembelajaran), CV (curiculum vitae), sertifikasi, dan berbagai bentuk prestasi lain dan atau tes penempatan. Evaluasi kegiatan belajar dapat dilaksanakan dengan acara berdiskusi antara orangtua dan anak juga dapat digunakan untuk mengetahui apa yang berhasil dan gagal untuk Universitas Sumatera Utara diperbaiki di waktu yang berikutnya (Yulaelawati dalam Sumardiono, 2007). k. Jadwal pelajaran Jadwal pelajaran disusun menurut kebutuhan atau persatuan warga belajar dan sumber belajar. Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling, jadwal belajar fleksibel tergantung kesepakatan antara orangtua dan anak. Di komunitas homeschooling pembagian jadwal pelajaran antara orangtua dan komunitasnya sebesar 50:50 (Sumardiono, 2007). Dalam menetukan komponen objek sikap seharusnya mengetahui tujuan pengukuran yang dilakukan dan mempunyai gambaran yang jelas, luas dan relevan mengenai objek sikapnya (Azwar, 2000). Yang menjadi komponen objek sikap adalah program kegiatan belajar komunitas homeschooling. Hal ini dikarenakan pengaturan kegiatan komunitas homeschooling lebih terstruktur dan komunitas homeschooling merupakan satuan pendidikan jalur nonformal yang dapat menyelenggarakan pendidikan nonformal dikarenakan komunitas homeschooling berbentuk kelompok belajar. Dari 11 (sebelas) aspek tersebut akan dijadikan dasar dalam pembuatan alat ukur yakni skala sikap terhadap pendidikan homeschooling. Universitas Sumatera Utara 4. Faktor-faktor pemicu dan pendukung homechooling Beberapa faktor pemicu dan pendukung homeschooling menurut Simbolon (2007), antara lain: a. Kegagalan sekolah formal Kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu. b. Teori inteligensi ganda Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah teori inteligensi ganda (multiple intelligences) yang digagas oleh Howard Gardner. Pada awalnya, ada 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, ditambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenisjenis inteligensi tersebut adalah: inteligensi linguistik; inteligensi matematis-logis; inteligensi ruang-visual; inteligensi kinestetik-badani; inteligensi musikal; inteligensi interpersonal; inteligensi intrapersonal; inteligensi ligkungan; dan inteligensi eksistensial. Teori Gardner ini memicu para orangtua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak. Universitas Sumatera Utara c. Sosok homeschooling terkenal Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya. Pendidikan homeschooling ini sudah lama berkembang di Indonesia, hal ini ditandai banyaknya para kiai, buya dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya dirumah secara pribadi atau di pesantrenpesantren ketimbang memercayakan pendidikannya kepada orang lain. d. Tersedianya aneka sarana Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual). Universitas Sumatera Utara 5. Manfaat homeschooling Mulyadi (2007), menyebutkan beberapa manfaat dalam model pendidikan homeschooling, antara lain adalah: a. Anak menjadi subyek belajar Melalui homeschooling, anak-anak diberi peluang untuk menentukan materi-materi yang ingin dipelajarinya. Anak menjadi subjek dalam kegiatan belajar. Selain materi yang dapat dipilih sesuai keinginan anak, gaya belajar si anak dapat dilayani sehingga anak dapat merasa nyaman serta menyenangkan dalam melakukan kegiatan belajar. b. Objek yang dipelajari sangat luas dan nyata Homeschooling akan membawa anak-anak untuk belajar di dunia nyata, di alam yang sangat terbuka. Di samping itu, objek yang dipelajari anak bisa sangat luas, seluas langit dan bumi. Homeschooling dapat membebaskan anak untuk belajar apa yang sesuai minat dan hal-hal yang disukainya. Mereka dapat berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi objek pelajaran, seperti persawahan, taman burung, pemandian air panas, stadion olahraga, dan tempat-tempat lain yang menarik perhatiannya serta dapat dijadikan tempat belajarnya. c. Ajang menanamkan cinta belajar Homeschooling berusaha menyadarkan kepada orangtua bahwa belajar bisa dilakukan di mana saja, termasuk di rumah. Untuk menanamkan rasa cinta belajar kepada anak sejak dini, hanya orangtualah yang Universitas Sumatera Utara mungkin paling layak untuk mewujudkannya. Secara naluriah, anak sejak berada di kandungan ibunya sudah dilengkapi dengan kemauan kuat untuk belajar. Apabila, lingkungan di rumahnya tidak mendukung, ada kemungkinan kemauan kuat itu semakin lama semakin hilang dan akhirnya tidak ada lagi semangat atau rasa cinta belajar dalam diri si anak. d. Memberikan kemudahan belajar karena fleksibel Sebagai bentuk dari sistem pendidikan informal, kunci utama penyelenggaraan homeschooling adalah adanya kelenturan atau fleksibilitas. Jadi, tidak boleh kaku dan terlalu berstruktur sebagaimana sekolah formal. Kalau terlalu disusun dalam kurikulum yang baku, maka homeschooling justru akan kehilangan makna utamanya. e. Mendukung belajar secara kontekstual Kontekstual berasal dari kata kerja latin yang berarti “menjalin bersama”. Kata konteks merujuk pada “keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan” yang berhubungan dengan diri yang terjalin bersamanya. Untuk menyadari seluruh potensinya, semua organisme hidup, termasuk manusia, harus berada di dalam gabungan yang tepat dengan konteks mereka. Homeschooling sangat memungkinkan untuk menampung sekaligus mendukung kegiatan belajar yang kontekstual. Ketika seorang anak dapat mengaitkan isi materi pelajaran yang dipelajarinya dengan pengalaman mereka Universitas Sumatera Utara sendiri, mereka menemukan makna, dan memberi alasan kepada mereka untuk belajar (Johnson dalam Mulyadi, 2007). B. Pendidikan 1. Definisi pendidikan Definisi pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian pendidikan yang luas dan representatif, pendidikan ialah seluruh tahapan pengembangan kemampuankemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan (Syah, 1995). Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik, untuk mencapai tujuan pendidikan, yang berlangsung dalam lingkungan tertentu. Interaksi ini disebut interaksi pendidikan, yaitu saling pengaruh antara pendidik dengan peserta didik. Proses pendidikan selalu berlangsung dalam suatu lingkungan, yaitu lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan keluarga menempati kedudukan yang paling sentral, sebab ada suatu kecenderungan yang sangat kuat pada manusia bahwa mereka ingin melestarikan keturunannya, dan ini dapat dicapai melalui pendidikan. Pendidikan di keluarga lebih bersifat informal. Cita-cita orangtua tentang anak dan cucunya direalisasikan Universitas Sumatera Utara melalui pendidikan. Pendidikan segi moral, agama, ekonomi, intelektual, estetika, bahkan politis. Ibu dan bapak berperan sebagai pendidik dalam keluarga. Sedangkan pelanjut dari pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan dalam lingkungan sekolah. Pendidikan di sekolah lebih bersifat formal karena di sekolah ada kurikulum sebagai rencana pendidikan dan pengajaran, ada guru-guru yang lebih profesional, ada sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan. Lingkungan ketiga didalam pendidikan adalah lingkungan masyarakat. Sebagai peserta didik (anak, remaja ataupun orang dewasa) sebenarnya mereka telah berada, hidup dan berkembang dalam lingkungan masyarakat, tetapi setelah selesai masa pendidikan, maka mereka masuk ke masyarakat dengan status yang lain, yang menunjukkan tingkat kedewasaan dan kemandirian yang lebih tinggi, baik itu melalui kegiatan yang lebih formal, bahkan tidak formal (Sukmadinata, 2005). Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa homeschooling merupakan bentuk pendidikan yang mengembangkan metode-metode sedemikian rupa, dilaksanakan orangtua atau orang dewasa lainnya yang memiliki keahlian sebagai pendidik untuk memberikan pengetahuan, pemahaman dan peningkatan keterampilan atau kemampuan kepada anak yang menjadi peserta didik. Dan proses pendidikan homeschooling terjadi di dalam lingkungan keluarga dan mayarakat. 2. Lembaga pendidikan Pelaksanaan pendidikan diselenggarakan pada Lembaga Pendidikan Sekolah dan Lembaga Pendidikan Luar Sekolah. Pendidikan Sekolah diartikan Universitas Sumatera Utara dengan penyelenggaraan pendidikan yang mempunyai persyaratan beserta kurikulum yang ketat, teratur dengan mempunyai struktur yang bertingkat dan berjenjang, dimulai dari Sekolah Dasar sampai Universitas dan yang setaraf dengannya, termasuk kegiatan pendidikan yang berorientasi akademis dan umum, bermacam-macam spesialisasi dan latihan-latihan teknik serta profesional yang dilaksanakan secara terus-menerus. Sedangkan Pendidikan Luar Sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negara (Abdulhak, 1986). Coomba (dalam Abdulhak, 1986) memandang pembagian pendidikan dalam 3 (tiga) bagian, yaitu pendidikan informal, formal dan nonformal. Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini berlangsung dalam keluarga, dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, keluarga, dan organisasi. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat, dan mengikuti syaratsyarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah. Sedangkan pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian diatas, kesimpulan mengenai pembagian pendidikan dapat diringkaskan ke dalam bentuk bagan dibawah ini: Bagan 1. Pembagian Pendidikan PENDIDIKAN PENDIDIKAN SEKOLAH PENDIDIKAN FORMAL PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH PENDIDIKAN INFORMAL PENDIDIKAN NON FORMAL C. Sikap 1. Definisi sikap Sikap atau attitude sudah sejak lama menjadi salah satu konsep yang dianggap paling penting dalam psikologi sosial khususnya dan dalam berbagai ilmu sosial umumnya. Spencer (dalam Azwar, 2000) mengartikan istilah sikap pertama kali sebagai status mental seseorang. Di masa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep untuk mengartikan postur fisik atau posisi tubuh seseorang (Wrightsman & Deaux dalam Azwar, 2000). Istilah ini kemudian berkembang menjadi kesiapan subjek dalam menghadapi stimulus yang datang tiba-tiba (Lange dalam Azwar, 2000). Pada perkembangan selanjutnya istilah sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan mencakup pula aspek respons fisik. Telah banyak ahli yang memberikan definisi mengenai sikap. Salah satu kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Thurstone, Likert, dan Osgood (dalam Azwar, 2000) menyatakan bahwa sikap adalah suatu Universitas Sumatera Utara bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Secara lebih spesifik, Thurstone sendiri menformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologi meliputi simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide, dan sebagainya (Hogg dan Vaughan, 2002). Secord & Backman (dalam Azwar, 2000) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Sobur (2003) menarik sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa sikap pada dasarnya meliputi rasa suka dan tidak suka, penilaian serta reaksi menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap objek, orang, situasi, dan mungkin aspek-aspek lain dunia, termasuk ide abstrak dan kebijakan sosial. Menurut para ahli, dalam memahami sikap harus diperhatikan tentang ambivalensi sikap. Istilah ini mengacu pada kenyataan bahwa evaluasi manusia terhadap objek, isu, orang, atau peristiwa tidak selalu secara seragam positif atau negatif; sebaliknya, evaluasi itu sering terdiri dari dua reaksi baik positif maupun negatif (Baron & Byrne, 2004). Hogg dan Vaughan (2002) menyatakan bahwa mengukur sikap adalah pekerjaan yang tidak mudah, karena sikap tidak dapat diobservasi secara langsung. Cara yang paling umum dilakukan untuk mengetahui sikap adalah bertanya langsung pada orang tersebut. Sikap diukur dengan pertanyaan untuk membuat evaluasi positif atau negatif pada objek tertentu. Ada 8 (delapan) teknik Universitas Sumatera Utara pengukuran sikap, yaitu: skala Thurstone (skala interval tampak setara), skala Likert (skala rating yang dijumlahkan), skala Bogardus (skala jarak social), skala Osgood (skala diferensi semantik), skala Guttman (scalogram), skala Fishbein, pengukuran fisiologikal, dan mengukur sikap yang terbuka. Pernyataan sikap (attitude statements) adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai objek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap dapat berisi kalimat-kalimat yang bersifat mendukung atau memihak dan juga bersifat yang tidak mendukung atau tidak memihak. Skala sikap berisi kalimat yang bersifat mendukung atau disebut sebagai pernyataan favorable dan untuk kalimat yang bersifat tidak mendukung disebut sebagai penyataan tak favorable dalam jumlah kurang lebih seimbang. Variasi pernyataan favorable dan non favorable akan membuat responden untuk memikirkan secara hati-hati isi pernyataannya sebelum memberikan respons sehingga streotipe responden dalam menjawab dapat dihindari (Azwar, 2000). Dapat disimpulkan bahwa sikap adalah evaluasi terhadap suatu objek. Evaluasinya bisa positif atau negatif, dan juga bisa tercampur antara positif dan negatif. Dalam penelitian ini sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling, yaitu pernyataan positif atau negatif yang ditampilkan orangtua dalam memperlihatkan respon terhadap pendidikan homeschooling. Universitas Sumatera Utara 2. Komponen sikap Calhoun & Acocella (dalam Sobur, 2003) mengemukakan bahwa sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, suatu sikap mengandung 3 komponen dasar yaitu kognitif (keyakinan), afektif (emosi/perasaan), dan konatif (tindakan). Selanjutnya Krech, Cruthchfield, dan Ballachey (dalam Sobur, 2003) merumuskan ketiga komponen tersebut. Komponen kognitif adalah kepercayaan (belief) seseorang terhadap objek sikap. Belief bergantung pada sistem sikap, yang merupakan evaluative belief mencakup ciri-ciri menyenangkan atau tidak menyenangkan, menguntungkan atau tidak menguntungkan, berkualitas baik atau buruk, dan belief tentang cara merespons yang sesuai dan tidak sesuai terhadap objek. Komponen afektif menunjuk pada emosionalitas terhadap objek. Objek dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. Dan komponen konatif adalah kecenderungan tindakan seseorang, baik positif maupun negatif, terhadap objek sikap. Mann (dalam Azwar, 2000), menyatakan sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: a. Komponen kognitif Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. Azwar Universitas Sumatera Utara (2000) menyatakan kepercayaan terhadap sesuatu datang dari apa yang telah dilihat atau dari yang telah diketahui. Berdasarkan hal ini kemudian terbentuk ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu objek. Sekali kepercayaan terbentuk akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang diharapkan dari objek tertentu. b. Komponen afektif Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin mengubah sikap seseorang. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun, pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap. Azwar (2000) menyatakan bahwa reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang dipercayai sebagai benar dan berlaku bagi objek termaksud. c. Komponen konatif Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Menurut Azwar (2000) komponen konatif menunjukkan bagaimana cara berperilaku sesuai dengan objek sikap yang dihadapi. Asumsinya adalah bahwa kepercayaan dan perasaan banyak Universitas Sumatera Utara mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Azwar (2000) menyatakan bahwa ketiga komponen diatas adalah selaras dan konsisten. Konsistensi antara kepercayaan (kognitif), perasaan (afektif), dan tendensi perilaku (konatif) menjadi landasan dalam usaha penyimpulan sikap yang dicerminkan oleh jawaban terhadap skala sikap. Apabila salah satu diantara ketiga komponen tersebut tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap. 3. Faktor-faktor pembentukan sikap Hudaniah (2003) menyatakan bahwa pada dasarnya sikap bukan merupakan suatu pembawaan, melainkan hasil interaksi dinamis antara individu dengan lingkungan sehingga sikap bersifat dinamis. Faktor pengalaman besar peranannya dalam pembentukan sikap. Azwar (2000) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, diantaranya adalah: a. Pengalaman pribadi Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai Universitas Sumatera Utara pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologi. Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif ataupun sikap negatif, akan tergantung pada berbagai faktor lain. Sehubungan dengan hal ini, Middlebrook (dalam Azwar, 2000) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan lebih lama berbekas. Namun, individu biasanya tidak melepaskan pengalaman yang sedang dialaminya dari pengalaman-pengalaman yang terdahulu, yang relevan. b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, biasanya orang yang dianggap penting bagi individu adalah orangtua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, isteri atau suami, dan lain-lain. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk Universitas Sumatera Utara berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. c. Pengaruh kebudayaan Skinner (dalam Azwar, 2000) sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Menurutnya, kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami. Kita memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement (penguat, ganjaran) dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain. kebudayaan juga telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya. Hanya kepribadian individu yang telah mapan dan kuat yang dapat memudarkan dominansi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual. d. Media massa Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lainnya mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh Universitas Sumatera Utara informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Walaupun pengaruh media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung, namun dalam proses pembentukan dan perubahan sikap, peranan media massa tidak kecil artinya. Dalam pemberitaan di surat kabar maupun di radio atau media komunikasi lainnya, berita-berita faktual yang seharusnya di sampaikan secara objektif seringkali dimasuki unsur subjektivitas penulis berita, baik secara sengaja maupun tidak. Hal ini seringkali berpengaruh terhadap sikap pembaca atau pendengarnya, sehingga dengan hanya menerima berita-berita yang sudah dimasuki unsur subjektif itu, terbentuklah sikap tertentu. 4. Perubahan sikap Pada hakikatnya sikap itu relatif tetap, tetapi dapat berubah. Perubahan sikap dipengaruhi oleh (a) Sistem sikap (b) kepribadian dan (c) afiliasi individu dalam kelompok (Krech, Couthfield, & ballachey dalam Mujiyati, 2004). Menurut Kelman (dalam Mujiyati, 2004) ada tiga proses sosial yang berperan dalam proses perubahan sikap yaitu kesediaan (compliance), identifikasi (identification) dan internalisasi (internalization). Selanjutnya Newcomb, Turner, & Converse (dalam Mujiyati, 2004) menambahkan bahwa perubahan sikap tidak hanya tergantung dari sifat sikap yang dibawa seseorang tetapi juga dari ciri-ciri lain yaitu berita Universitas Sumatera Utara yang persuasif dan ciri-ciri badan yang menyampaikan informasi itu, atau sumber informasi. Menurut Walgito (dalam Hudaniah, 2003) bahwa perubahan sikap ditentukan oleh dua faktor, yaitu: a. Faktor internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak. b. Faktor eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk mengubah sikap. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan sikap pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam diri individu dan ada faktor di luar diri individu yang keduanya saling berinteraksi. Proses ini akan berlangsung selama perkembangan individu (Hudaniah, 2003). Sikap dapat pula dinyatakan sebagai hasil belajar, karenanya sikap dapat mengalami perubahan. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sherif & Sherif (dalam Hudaniah, 2003) bahwa sikap dapat berubah karena kondisi dan pengaruh yang diberikan. Sebagai hasil dari belajar sikap tidaklah terbentuk dengan sendirinya karena pembentukan sikap senantiasa akan berlangsung dalam interaksi manusia berkenaan dengan objek tertentu. Universitas Sumatera Utara D. Orangtua 1. Pengertian orangtua Orangtua biasanya terdiri dari ayah dan ibu atau siapa saja yang berperan dan bertanggung jawab dalam suatu keluarga. Keluarga biasanya terdiri dari ayah dan ibu atau orang-orang yang menggantikan peran mereka. Orangtua adalah orang-orang yang telah dewasa lahir dan batin, yang telah memiliki kematangan secara fisik dan non-fisik, keamatangan/keseimbangan emosi/perasaan dan rasio/pemikiran dan adanya kemandirian dalam bidang ekonomi, sosial dan mental serta berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagai orangtua dalam mengelola dan membina/mengasuh peserta didik/orang-orang yang belum dewasa dalam keluarganya, seperti anaknya. Orangtua yang ideal adalah mereka yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang relatif cukup dalam mengelola berbagai aspek dalam kehidupan dan pendidikan keluarganya (Yacub, 2005). Menurut Verkuyl (dalam ahmadi, 1999) ada 3 (tiga) tugas dan panggilan untuk orangtua, yaitu: a. Mengurus keperluan materil anak Merupakan tugas pertama dimana orangtua harus memberi makan, tempat perlindungan dan pakaian kepada anak. Anak sepenuhnya masih tergantung kepada orangtuanya karena anak belum mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. b. Menciptakan suatu “home” bagi anak “Home” disini berarti bahwa di dalam keluarga itu anak dapat berkembang dengan subur, merasakan kemesraan, kasih sayang, Universitas Sumatera Utara keramahtamahan, merasa aman, terlindungi, dan lain-lain. Di rumah anak merasa tentram, tidak pernah kesepian dan selalu gembira. c. Tugas pendidikan Tugas mendidik merupakan tugas terpenting dari orangtua terhadap anaknya. 2. Masa dewasa Istilah adolescene yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. Masa dewasa merupakan periode yang paling penting dalam masa kehidupan, umunya dibagi atas tiga periode, yaitu masa dewasa dini, dari umur 18-40 tahun, masa dewasa pertengahan, dari umur 40-60 tahun, dan masa dewasa akhir atau ”usia lanjut”, dari 60 tahun hingga kematian (Hurlock, 1980). Peran orangtua dimulai dari masa dewasa dini. Diantara sekian banyak tugas perkembangan orang dewasa dini, tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan hidup keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, sangat penting dan sangat sulit diatasi. Hal ini disebabkan kurangnya dasar-dasar yang harus dibangun dalam menyesuaikan diri dengan peran baru yang terjadi di dewasa dini. Masa sebagai orangtua dipandang sebagai ”masa krisis” dalam kehidupan seseorang karena masa tersebut menuntut perubahan dalam sikap, nilai dan peran (Hurlock, 1980). Universitas Sumatera Utara Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami/isteri, orangtua, dan pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas barunya. Sebagai orang dewasa, mereka diharapakan mengadakan penyesuaian diri secara mandiri (Hurlock, 1980). 3. Peran orangtua dalam pendidikan di lingkungan keluarga Anak sebagai generasi unggul pada dasarnya tidak akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Anak memerlukan lingkungan subur yang khusus diciptakan untuk itu. Lingkungan yang kondusif tersebut akan memungkinkan anak untuk berkembang secara optimal. Dalam hal ini, peranan orangtua amatlah penting. Seperti halnya dalam mendidik anak, yang menjadi model utama dan paling dekat dalam kehidupan anak adalah orangtua (Mulyadi, 2004). Khumas (2003) menyebutkan bahwa selain pemerintah yang bertugas sebagai penyelenggara dan penanggung jawab kelangsungan proses pendidikan, tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak juga tidak kalah besarnya. Peranan orangtua dalam proses pendidikan anak cukup penting. Sejalan dengan pendapat tersebut, Hamalik (dalam khumas, 2003) mengatakan bahwa orangtua turut bertanggung jawab atas kemajuan belajar anak-anaknya. Pemenuhan kebutuhan anak tidak cukup hanya dari segi materi melainkan orangtua juga diharapkan memenuhi kebutuhan belajar anak secara psikis, seperti memuji, menegur, memberi hadiah, mengawasi, serta turut serta pada program kegiatan Universitas Sumatera Utara belajar anak. Haditono (dalam Khumas, 2003) menyebutkan bahwa semakin tinggi keikutsertaan orangtua dalam kegiatan belajar anak maka semakin baik pula pengawasan yang diberikan terhadap anaknya, dalam hal ini membantu anak mencapai prestasi belajar yang baik. kondisi yang demikian memberi sumbangan terhadap kemauan dan ketekunan anak untuk belajar. Gunarsa & Gunarsa (2000) menyebutkan orangtua berperan penting bagi perkembangan anak. Peran ibu dalam pendidikan di lingkungan kelurga, yakni sebagai pendidik yang mampu mengatur dan mengendalikan anak yang bertujuan untuk mendidik anak dan mengembangkan kepribadiannya, ibu juga menjadi contoh teladan bagi anaknya, memberi rangsangan bagi perkembangan anak dan pelajaran yang bertujuan agar anak senang belajar di rumah. Peran ayah dalam pendidikan anak di lingkungan keluarga, yakni ayah turut berpartisipasi dalam pendidikan anak, di mana peran ayah sangat besar terhadap anak laki-lakinya untuk menjadi model dan contoh teladan dalam bersikap sebagai seorang laki-laki dan peran ayah untuk anak perempuannya sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana, mengasihi keluarga. Interaksi dalam keluarga juga berpengaruh besar terhadap proses sosialisasi anak-anak, baik terhadap lingkungan maupun kegiatan belajarnya (Vembriarto dalam Khumas, 2003). Penelitian Komisi Bullock di Inggris (dalam Khumas, 2003), menemukan bahwa peran aktif orangtua sangat vital dalam pendidikan anak. Orangtua yang bersikap pasif, hanya sekedar memberi fasilitas, tetapi tidak menindaklanjuti dengan usaha konkrit yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan psikologis anak, kurang memberikan hasil yang maksimal. Universitas Sumatera Utara Sears (2004) mengatakan investasi dalam pendidikan anak berarti kesediaan orangtua untuk mencurahkan waktu dan tenaga yang banyak untuk membesarkan anak. Orangtua harus mempelajari perilaku dan kemampuan anak pada setiap tahapan. Membaca buku ataupun artikel majalah membantu orangtua memahami perkembangan anak. Dan yang paling penting, cobalah melihat dunia dari sudut pandang anak. Anak-anak tidak berpikir seperti orang dewasa. Orangtua perlu mengetahui apa yang diharapkan pada setiap tahap perkembangan sehingga bisa membimbing anak dengan baik. Cara pendidikan anak akan berjalan dengan lancar jika orangtua belajar mentoleransi perilaku yang terkait dengan usia dan tahap perkembangan anak. Suyanto & Abbas (2004) menyebutkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan memeransertakan orangtua dan masyarakat pada proses pengelolaan pendidikan, khususnya di sekolah sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, yaitu sejak dipahaminya konsep tri pusat pendidikan. Tri pusat pendidikan dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara (dalam Ahmadi & Uhbiyati, 1991) meliputi pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat. Keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh satu keturunan, yakni kesatuan antara ayah, ibu dan anak yang merupakan kesatuan kecil dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat. Keluarga mempunyai hak otonom untuk melaksanakan pendidikan. Orangtua mau tidak mau, berkeahlian atau tidak, berkewajiban secara kodrati untuk menyelenggarakan pendidikan terhadap anakanaknya. Bagi anak, keluarga merupakan tempat pertama dikenal dan merupakan lembaga pertama ia menerima pendidikan. Universitas Sumatera Utara Sears (2004) menyebutkan rumah sebagai masyarakat bagi setiap anak untuk pertama kali. Bagaimana dia belajar untuk hidup dalam dunia masyarakat mini ini, membentuk pola-pola interaksi sosial lainnya di sekolah, dalam kelompok, dan kemudian dalam pernikahan serta dalam karir. Batasan-batasan di rumah membantu anak menyalurkan energi sosial dan kreatif mereka ke arah yang bermanfaat. Batasan-batasan ini juga memungkinkan bagi orang dewasa dan anak-anak, untuk bekerjasama, dan menikmati hidup mereka bersama. E. Sikap Orangtua Terhadap Pendidikan Homeschooling Thurstone, Likert, dan Osgood (dalam Azwar, 2000) menyatakan bahwa sikap seseorang terhadap objek adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Ada tiga komponen dalam sikap: pertama, komponen kognitif yang merupakan persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu; kedua, komponen afektif yang merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi dan ketiga, komponen konatif yang merupakan tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan caracara tertentu (Mann dalam Azwar, 2000). Sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling dimaksudkan sebagai tendensi mental yang diaktualkan atau diverbalkan terhadap pendidikan homeschooling yang didasarkan pada pengetahuan atau perasaannya terhadap pendidikan homeschooling. Yang menjadi komponen objek sikap adalah 11 Universitas Sumatera Utara (sebelas) aspek dari program kegiatan belajar komunitas homeschooling, yaitu tujuan program belajar, sumber belajar, warga belajar, waktu belajar, bahan belajar, metode mengajar/belajar , alat belajar, dana belajar, tempat belajar, evaluasi belajar, dan jadwal pelajaran. Berkaitan dengan komponen-komponen sikap, maka sikap terhadap pendidikan homeschooling dapat di jelaskan sebagai berikut: a. Komponen kognitif Komponen ini merupakan bagian sikap orangtua yang muncul berdasarkan pengetahuannya atau pemahamannya terhadap program kegiatan belajar homeschooling, misalnya anak yang belajar di homeschooling lebih mandiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa komponen kognitif menjawab pertanyaan-pertanyaan apa yang diyakini, dipikirkan orangtua terhadap pendidikan homeschooling. b. Komponen afektif Komponen ini merupakan bagian sikap orangtua yang muncul berdasarkan apa yang dirasakan orangtua terhadap program kegiatan belajar homeschooling. Komponen ini menjawab pertanyaan: “apa yang dirasakan orangtua terhadap pendidikan homeschooling?” Misalnya orangtua senang dengan murahnya penyelenggaran pendidikan seperti homeschooling maka hal tersebut termasuk komponen afeksi. Perasaan seperti senang atau tidak senang yang berhubungan dengan pendidikan homeschooling, termasuk komponen afektif. Jadi afektif menimbulkan evaluasi emosional terhadap objek. Universitas Sumatera Utara c. Komponen konatif Berdasarkan komponen-komponen kognitif dan afektif nampak adanya kecenderungan untuk bertindak sebagai reaksi terhadap program kegiatan belajar komunitas homeschooling. Komponen ini menjawab pertanyaan-pertanyaan bagaimana kesediaan atau kesiapan orangtua untuk bertindak terhadap pendidikan homeschooling. Orangtua yang memperlihatkan tingkah laku seperti aktif mencari tahu tentang homeschooling melalui media cetak, televisi maupun melalui internet, mengikuti seminar yang berhubungan dengan homeschooling, ataupun membeli buku yang membahas tentang homeschooling dan sebagainya merupakan contoh yang tergolong dalam komponen konatif. Universitas Sumatera Utara