BURSA f2 BI Rate jadi katalis positif indeks PHEI bidik valuasi efek global Rp157 triliun Acuan harga sukuk mudharabah diterbitkan OLEH INDRA Analis Bisnis Indonesia Intelligence Unit OLEH ARIF GUNAWAN S. Bisnis Indonesia JAKARTA: Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) atau IBPA (Indonesia Bond Pricing Agency) berencana menerbitkan harga pasar wajar (HPW) obligasi global (global bond), yang diterbitkan emiten nasional senilai Rp157,5 triliun. Perseroan baru saja menerbitkan HPW untuk empat sukuk mudharabah, yang bisa menjadi acuan bagi investor menentukan valuasi harga efek tersebut di pasar sekunder. Direktur Utama PHEI Ignatius Girendroheru mengatakan empat sukuk tersebut merupakan instrumen surat utang berdenominasi rupiah terakhir yang mendapat valuasi harga wajar, sehingga seluruh surat utang berdenominasi lokal telah seluruhnya divaluasi. “Dengan penetapan HPW sukuk mudharabah ini, kami telah menyelesaikan valuasi harga wajar untuk 100% surat utang berdenominasi rupiah, dan kini tinggal surat utang berdenominasi nonrupiah seperti global bond dan samurai bond,” tuturnya kepada Bisnis kemarin. Hingga 31 Maret 2011, PHEI telah menerbitkan valuasi HPW atas 70 seri SBN dan 12 seri SBSN berdenominasi rupiah, dengan total nilai Rp674,91 triliun. PHEI kini mendapat permintaan spesifik dari investor seperti dana pensiun, reksa dana, dan asuransi mengenai valuasi HPW surat utang berdemonisasi non rupiah. Surat utang berdenominasi rupiah tercatat 81,1% dari seluruh instrumen surat berharga nasional [SBN] Sukuk korporasi mudharabah Rp JAKARTA: Indeks harga saham gabungan (IHSG) masih berpeluang terkoreksi seperti perdagangan sehari sebelumnya. Koreksi yang terjadi masih terbilang wajar karena valuasi indeks telah tinggi selama beberapa minggu terakhir. Indeks tercatat melemah 0,38% ke level 3.685,94 dan indeks BISNIS-27 terjungkal 0,41% ke level 322,79. Koreksi ini juga masih bersifat sementara setelah sejumlah emiten merilisi kinerja keuangannya indeks sudah menguat terlalu tinggi sejak minggu kemarin setelah rilis laporan sejumlah emiten keluar. Dengan valuasi yang sudah tinggi, wajar jika indeks akhirnya mengalami koreksi. Meski indeks terjatuh, pelaku pasar asing justru melakukan pembelian bersih Rp87,39 miliar. Namun, rupiah mengalami pelemahan sepertin indeks, dengan terjatuh ke level Rp8.665, melemah 0,06%. Namun, analis PT Ekocapital Securities Cece Ridwan mengemukakan indeks berpeluang untuk rebound dengan kisaran 3.6503.725. Potensi itu seiring dengan rencana bank sentral mengumumkan suku bunga acuan (BI Rate). BI kemungkinan tetap mempertahankan BI Rate pada level 6,75%. “Pengumuman itu bisa jadi katalis positif bagi laju IHSG dan sektor perbankan yang sempat terkoreksi tajam dalam 2 hari terakhir. “IHSG sebenarnya sudah pada tahap oversold. Jadi 2 hari ini merupakan koreksi wajar bagi indeks. Besok [hari ini] masih ada peluang rebound,” ujarnya kemarin. Selain pengumuman suku bunga acuan, Cece menambahkan peluang rebound masih terbuka apabila rilis data ekonomi dan data emiten-emiten Amerika Serikat pada malam ini menunjukkan hasil yang positif. Pendapat yang sama juga diungkapkan Head of Technical Analyst Batavia Prosperindo Sekuritas Billy Budiman. Menurut dia, laporan keuangan sejumlah emiten yang cukup baik bisa menjadi katalis positif bagi pergerakan indeks ke depan. “Karena gempa Jepang kemarin, investor yang semula investasi di negara itu akan pindah ke Indonesia dan India,” tuturnya. (18) Rp Efek Nilai (Rp miliar) Jatuh Tempo Seri I Adhi/ 2007 125 6 Juli 2012 Seri I Bank Nagari/ 2010 100 13 Januari 2016 Bank Muamalat/ 2008 314 10 Juli 2018 Seri I/ 2008 200 5 Juni 2013 Total 739 Sumber: PT Bursa Efek Indonesia (per 31 Maret 2011) dan surat berharga nasional syariah [SBSN]. Sisanya SBN dan SBSN berdenominasi global yang belum mendapat valuasi HPW nilainya sebesar Rp157,5 triliun. ”Kami menargetkan menutup kebutuhan valuasi HPW seluruh instrumen efek dan sukuk bersifat utang. Saat ini kami selesai sudah selesai 100% untuk efek berdenominasi rupiah, dan kami targetkan bisa menutup seluruhnya termasuk yang berdenominasi nonrupiah pada tahun ini,” tutur Ignatius. Pencarian harga Kendala valuasi HPW surat utang berdenominasi nonrupiah, lanjutnya, adalah pencarian harga yang mencerminkan pergerakan pasar (marked to market), mengacu pada kuotasi transaksi yang valid untuk pasar sekunder global. Perseroan tengah mengupayakan pendataan data pasar sekunder di pasar global atas instrumen global yang diterbitkan entitas nasional itu. “Misalnya untuk samurai bond yang diterbitkan di Jepang, kami akan melihat aktivitas transaksi di Peringkat Tenor (tahun) A- 5 A 5 A- 10 A+ 5 BISNIS/T. PURNAMA sana dan mengumpulkan sumber informasi reliable,” ujar Ignatius. Sekretaris Perusahaan PHEI Tumpal Sihombing mengatakan perseroan menerbutkan HPW untuk sukuk perusahaan swasta Indonesia dan tercatat di PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Sukuk Mudharabah yang ditetapkan itu berjumlah empat seri senilai total Rp739 miliar. “Penerbitan HPW sukuk mudharabah ini makin menambah ragam instrumen sukuk yang telah divaluasi IBPA selama ini yang meliputi surat berharga syariah negara (SBSN) dan sukuk korporasi tipe ijarah.” Surat berharga syariah mudharabah ini diterbitkan berdasarkan perjanjian (akad) mudharabah, antara penyedia modal (shahibul maal) dan pihak lain penyedia tenaga dan keahlian (mudharib). Keuntungan kerja sama tersebut dibagi berdasarkan proporsi perbandingan (nisbah) yang disepakati. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, sepanjang kerugian tersebut tidak mengandung unsur moral hazard.([email protected]) KPEI kaji larangan dapen untuk transaksi PME BISNIS INDONESIA JAKARTA: PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia akan mengkaji ulang peraturan yang melarang pengelola dana pensiun (dapen) dan lembaga asuransi untuk melakukan transaksi pinjam meminjam efek (PME). Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI ) Lily Widjaja mengemukakan aktivitas aktivitas PME saat ini masih terkendala oleh minimnya perusahaan efek yang memiliki portofolio untuk transaksi jangka panjang. “Portofolio dapen dan asuransi merupakan sarana ideal bagi aktivitas PME. Perusahaan efek biasanya memiliki portofolio itu untuk trading, bukan untuk hold atau jangka panjang. Berarti kita lihat ke pengelola dana yang memang punya porsi yang available dan long term, seperti dapen dan asuransi,” ujarnya kemarin. Namun, Lily menambahkan keterlibatan dapen dan asuransi untuk aktivitas PME masih terbentur regulasi yang melarang kedua instrumen untuk meminjam atau mengagunkan kekayaannya sebagai jaminan atas suatu pinjaman. Regulasi mengenai dapen itu tertuang dalam UU No. 11/ 1992 tentang Dana Pensiun. Salah satu menyebutkan dana pensiun tidak diperkenankan meminjam atau mengagunkan kekayaannya sebagai jaminan atas suatu pinjaman. Padahal, tuturnya, potensi bisnis PME di Indonesia masih sangat besar karena tuntutan pasar yang juga tinggi. Namun, dia mengatakan penyedia pinjaman efek masih sangat terbatas karena dinilai berisiko tinggi. “Potensi bisnis ini sangat besar, sangat layak untuk ditindaklanjuti dan berguna bagi mereka yang ingin short selling dan earning extra income.” Direktur Utama KPEI Hoesen mengatakan minimnya perusahaan yang bersedia meminjamkan efek disebabkan oleh tingginya risiko. “Pemegang efek takut asetnya Bapepam-LK proses IPO 2 calon emiten OLEH GITA A. CAKTI Bisnis Indonesia Rp PREDIKSI Bisnis Indonesia, Rabu, 6 April 2011 tidak kembali setelah dipinjam oleh pihak lain. Larangan mengenai peminjaman efek itu juga diatur dalam anggaran dasar masing-masing dana pensiun.” Lily memaparkan saat ini PME hanya dilakukan untuk kebutuhan menanggulangi kegagalan penyerahan efek. Padahal, menurutnya, PME bisa menjadi bisnis tersendiri karena keuntungan yang dapat diperoleh oleh pemegang efek, terutama yang jangka panjang sangat besar. (18) JAKARTA: PT Jaya Agra Wattie, perusahaan di sektor perkebunan, telah menyerahkan berkas dokumen pernyataan pelepasan umum perdana (IPO) kepada Bapepam-LK. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Anis Baridwan mengatakan pihaknya telah menerima berkas dokumen IPO itu sejak pekan lalu dan tengah ditelaah. Dia mengatakan aksi korporasi itu diharapkan terlaksana pada semester I/2011, tetapi dia enggan membicarakan hal itu secara lebih detail lagi. “Yang sudah masuk itu perusahaan perkebunan kelapa sawit, Jaya Agra Wattie. Dokumennya masuk minggu lalu. Diharapkan dapat terlaksana semester I tahun ini. Namun, jangan tanya berapanya,” ujarnya kemarin. Sebelumnya, Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Eddy Sugito mengatakan perusahaan perkebunan itu berencana melepas 30% sahamnya melalui IPO dan paling lambat dilaksanakan pada Mei 2011. Namun, untuk target perolehan dananya belum dapat diketahui. Perusahaan yang ditunjuk sebagai penjamin pelaksana emisi (underwriter) untuk aksi korporasi adalah PT OSK Nusadana Securities dan PT Mandiri Sekuritas. Untuk melaksanakan IPO, perseroan menggunakan laporan keuangan Desember 2010 sebagai acuannya. Berdasarkan catatan Bisnis, saat ini Jaya Agra Wattie memiliki sekitar 60.000 hektare kebun, yang terdiri dari kebun karet, sawit, kopi, dan teh. Dari lahan tersebut, luas lahan tertanam sekitar 29.000 hektare, sisa- nya akan ditanami dalam kurun waktu 3-5 tahun ke depan. Selain Jaya Agra Wattie, Anis juga mengatakan dokumen IPO anak usaha PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang bergerak di bidang agribisnis yakni PT Salim Ivomas Pratama juga sudah masuk ke Bapepam-LK. Target dana Perusahaan penghasil minyak goremg itu berencana melepas sahamnya ke publik pada Juni tahun ini dengan target perolehan US$240 jutaUS$280 juta. Perseroan menunjuk Kim Eng Securities, Mandiri Sekuritas, and Deutsche Securities sebagai penjamin pelaksana IPO. Ketika dikonfirmasikan mengenai hal tersebut, Direktur Investment Banking PT Mandiri Sekuritas Iman Rachman, selaku underwriter yang menangani dua IPO perusahaan tersebut, enggan memberikan penjelasan terperinci. “Belum diputuskan [target raupan dana], belum bisa komentar karena masih proses,” ujarnya melalui pesan singkat kepada Bisnis. Analis PT Eko Capital Securities Cece Ridwan mengatakan jika dilihat dari sektor perusahaan yang akan IPO, sektor perkebunan memang masih sangat bagus. Harga-harga komoditas seperti CPO dan batu bara yang terus naik pada masa yang akan datang dinilai sebagai indikator baiknya prospek sektor tersebut. Namun, dia mengatakan investor agaknya lebih berhati-hati dalam membeli saham perdana, belajar dari IPO sejumlah perusahaan sebelumnya, di mana harga saham justru turun pada hari perdana pencatatan di bursa. Dia menyebutkan kekuatan fundamental perseroan yang akan IPO merupakan salah satu hal terpenting yang akan diperhatikan investor.