4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konjungtiva 2.1.1. Anatomi

advertisement
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konjungtiva
2.1.1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersatu dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan
mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva palpebralis
melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di
tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (di forniks
superior dan inferior) dan membungkus episklera dan menjadi konjungtiva
bulbaris. Konjugtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbita di forniks
dan melipat berkali-kali. Lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Lang and Lang, 2000).
2.1.2. Histologi Konjungtiva
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresikan mukus.
Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi
lapisan airmata secara merata di seluruh prekornea (Sehu and Lee, 2005).
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid dan satu
lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang
melekat pada lempeng tarsus. Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan
wolfring) yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak
didalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas dan
Universitas Sumatera Utara
5
sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi atas tarsus
atas (Riordan-Eva, 2000).
Gambar 2.1. Anatomi Konjungtiva
Sumber : Oftalmologi Umum
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis, kedua arteri ini beranastomosis dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk
jaring-jaring vaskular konjungtiva yang banyak sekali. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf
ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri (Riordan- Eva, 2000).
Universitas Sumatera Utara
6
Gambar 2.2. Vaskularisasi Konjungtiva
Sumber : Oftalmologi Umum
2.2. Kornea
2.2.1. Anatomi Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan di sklera,
limbus, lekuk melingkar pada sambungan ini sulkus skleralis. Kornea
dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm ditengah, sekitar 0,65 mm ditepi
dan diameternya sekitar 11,5 mm (Riordan-Eva, 2002).
2.2.2. Histologi Kornea
Dari anterior ke posterior kornea memiliki 5 lapisan yaitu: (Remington,
2005)
1.
Lapisan epitel yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva
bulbaris. Lapisan epitel mempunyai 5 atau 6 lapis sel. Berupa stratified
squamous epithelium
2.
Membrane bowman,
merupakan
lapisan
jernih
aseluler,
yang
merupakan bagian stroma yang berubah
3.
Stroma kornea mencakup 90% dari ketebalan kornea. Bagian ini
tersusun dari lamellae fibril-fibril kolagen yang saling menjalin dan
hampir mencakup seluruh diameter kornea. Lamellae ini berjalan
Universitas Sumatera Utara
7
sejajar
dengan
permukaan
kornea
dan
karena
ukuran
dan
periodisitasnya secara optik menjadi jernih. Lamellae terletak didalam
suatu zat dasar proteoglikan hidrat bersama dengan keratosit yang
menghasilkan kolagen dan zat dasar.
4.
Membrane descement adalah sebuah membran elastik yang jernih yang
tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron dan merupakan
membrane basalin dari endotel kornea.
5.
2.3.
Lapisan endotel
Pterigium
2.3.1. Definisi Pterigium
Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskular non maligna dari
konjungtiva yang biasanya mencapai kornea dan berbentuk segitiga dimana
proses pertumbuhannya terdiri dari degenerasi fibroelastis dengan
proliferasi fibrotik yang dominan (Lin, et al. 2006).
Gambar 2.3 Pterigium
Sumber : www.lpeyecare.com
2.3.2. Epidemiologi
Prevalensi pterigium di dunia bervariasi mulai dari 1 hingga 25 %
dimana pterigium paling sering terjadi di daerah tropis, meskipun
mekanisme pastinya belum diketahui. Prevalensi pterigium berhubungan
dengan paparan kronis sinar matahari terutama sinar UV yang dapat
menjelaskan adanya variasi tempat pada prevalensi. Beberapa penelitian
Universitas Sumatera Utara
8
menemukan bahwa pterigium memiliki hubungan dengan usia tua, jenis
kelamin laki-laki, pendidikan, dan riwayat pekerjaan. Beberapa penelitian
menunjukkan tingkat prevalensi pterigium lebih rendah pada masyarakat
yang menggunakan kacamata hitam saat berada diluar rumah daripada yang
tidak menggunakan kacamata (Jacobs, 2012).
Prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata ditemui 3,2%
sedangkan pterigium pada salah satu mata 1,9%. Prevalensi pterigium pada
kedua mata tertinggi di Provinsi Sumatera Barat (9,4%), terendah di
Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Prevalensi pterigium pada salah satu mata
tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (4,1%), terendah di Provinsi DKI
Jakarta (0,2%). Prevalensi pterigium mengalami peningkatan dengan
bertambahnya umur. Prevalensi tertinggi ditemui pada kelompok umur≥ 70
tahun. Dan tidak didapati perbedaan yang terlalu signifikan pada jenis
kelamin laki-laki maupun perempuan (Erry, et al 2011).
Tabel 2.1. Prevalensi Pterigium Menurut Propinsi Riskesdas 2007
Sumber : Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 1 Januari 2011
Universitas Sumatera Utara
9
2.3.3. Morfologi Pterigium
Pterigium terdiri dari tiga bagian, yaitu: (Aminlari, et al. 2010).
1.
Kapsul atau puncak yang merupakan zona mendatar pada kornea yang
terdiri dari fibroblast yang menginvasi membran bowman.
2.
Kepala yang merupakan area vaskular dibawah kapsul.
3.
Badan atau ekor yang merupakan bagian pterigium yang mobile di
konjungtiva bulbar.
2.3.4. Faktor Risiko Pterigium
Beberapa faktor risiko yang diduga dapat menyebabkan timbulnya
pterigium yaitu: (Lu and Chen 2009).
1.
Lokasi geografis, berdasarkan hasil studi epidemiologi dijumpai adanya
asosiasi antara paparan yang lama terhadap sinar matahari pada daerahdaerah geografis dengan kejadian pterigium. Paparan sinar matahari dan
sinar UV, banyak dokter mata menyatakan bahwa pterigium merupakan
akibat dari paparan sinar UV disertai adanya degenerasi elastoid pada
jaringan ikat subepitel. Penelitian telah menunjukkan bahwa semakin
lama berada di luar rumah memiliki risiko yang meningkat terjadinya
pterigium. Selain itu paparan terhadap radiasi sinar UV juga memiliki
peranan yang penting sehingga dapat di simpulkan pterigium berkaitan
erat dengan paparan sinar matahari pada mata.
2.
Usia, beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan prevalensi
pterigium, dimana terjadi peningkatan angka kejadian pterigium sesuai
dengan meningkatnya usia dimana dijumpai adanya hubungan yang
erat, risiko meningkat dan mencapai puncak pada usia 70-81 tahun.
Beberapa teori mengatakan ada hubungan usia dengan kejadian
pterigium. Tetapi mekanisme pastinya belum diketahui. Sampai saat ini
mekanisme yang paling berhubungan adalah paparan sinar UV
(Rezvan, et al. 2012).
3.
Kekeringan pada mata, beberapa penelitian menemukan adanya
hubungan yang positif antara mata kering dengan pterigium akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
10
masih belum diketahui apakah mata kering menyebabkan pterigium
ataupun sebaliknya.
4.
Pekerjaan, salah satu pekerjaan yang memiliki risiko terjadinya
pterigium adalah orang-orang yang berkerja di luar ruangan seperti
petani, nelayan ataupun pelaut. Awalnya diduga pterigium timbul akibat
paparan sinar matahari beserta dengan paparan terhadap debu pasir dan
angin (Detorakis and Spandidos, 2009).
2.3.5. Patogenesis Pterigium
Sampai saat ini, patogenesis dari pterigium belum mendapatkan
suatu kejelasan yang pasti. Berbagai teori telah diajukan terhadap penyakit
ini seperti pengaruh inflamasi, degenerasi jaringan ikat, instabilitas genetik,
angiogenesis, radikal bebas, penyembuhan luka yang tidak sempurna,
gangguan metabolisme lemak, infiltrasi sel mast, dan disfungsi stem sel
(Tradjustino, 2009).
Terdapat banyak teori yang mencoba mengemukakan tahap
patogenesis dari penyakit ini, dan teori-teori tersebut mencakup :
1.
Paparan terhadap sinar UV
Paparan terhadap sinar UV terutama UV-B menyebabkan terjadinya
perubahan sel di dekat limbus dan juga terjadi peningkatan produksi
dari interleukin yang signifikan yaitu, IL-I, IL-6, IL-8 dan TNFα. Selain
itu, terdapat peningkatan proliferasi dari jaringan akibat peningkatan
pembentukan enzim metalloproteinase (MMP) dalam kadar yang lebih
tinggi daripada tissue inhibitors (Feng, et al. 2010). Beberapa teori
menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi dari supresor
gen tumor TP53 sehingga terjadi proliferasi abnormal pada epitel
limbus (Aminlari, et al. 2010).
Dushku et al, 2001 juga menyatakan bahwa sinar UV menyebabkan
mutasi pada gen tumor suppressor TP53 yang sensitif terhadap sinar
UV di sel basal limbus dan gen elastin di epitel limbus. Dikarenakan
adanya mutasi pada gen tersebut, maka otomatis akan tejadi gangguan
pada kematian sel. Gangguan apoptosis ini menyebabkan terjadinya
Universitas Sumatera Utara
11
mutasi gen-gen yang lain sehingga terbentuk pterigium dan sel tumor
limbus yang melapisi pinguikula dari fibroblast dan menghasilkan
berbagai matrix metalloproteinase (MMP).
Mutasi pada gen TP53 juga menghasilkan TGF-B sehingga disebutkan
bahwa pterigium merupakan tumor penghasil TGF-B dimana sekresi
berlebihan dari TGF-B bahkan menimbulkan berbagai perubahan
jaringan dan ekspresi dari MMP. Awalnya sel pterigium menghasilkan
MMp-2, MMp-9, MT1-MMp, dan MT2-MMP yang akan menyebabkan
kerusakan ikatan hemidesmosom dan terjadi penyebaran pterigium ke
segala arah yang akibat produksi TGF-B, jaringan di sekitar pterigium
memiliki lapisan sel yang lebih tipis (Dushku, et al, 2001).
Pada saat sel pterigium mencapai kornea, maka MMP akan
menghancurkan
menyebabkan
membran
bowman
serta
peningkatan
monosit
dan
TGF-B
kapiler
yang
dalam
akan
epitel.
Kemudian, terdapat sel fibroblast yang terletak di ujung epitel limbus
untuk menghasilkan MMP-1 dan MMP-3 yang membantu dalam
penghancuran membran bowman. Fibrobalst ini akan diaktifasi oleh
TGF-B dan sitokin-sitokin untuk bermigrasi ke membran basal kornea
dan membentuk pulau-pulau fibroblast.
Tradjustino pada tahun 2009 juga menambahkan bahwa radiasi sinar
UV tidak hanya berperan secara langsung tetapi juga secara tidak
langsung melalui pembentukan radikal bebas (ROS). ROS merusak
protein, lipid, dan DNA sel melalui proses stress oksidatif. ROS juga
dapat menginduksi pembentukan cyclooxygenase2 (COX-2). Baik ROS
maupun COX-2 memiliki peranan penting didalam pembentukan
pterigium dan kanker kulit lainnya.
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.4. Patogenesis Pterigium Akibat Sinar UV
Sumber: Dushku, et al 2001 in Arch Opthalmol volume 119
2. Teori Growth Factor dan Sitokin proinflamasi
Pterigium memiliki komponen vaskular yang dapat menginvasi ke
jaringan mata. Komponen vaskular ini timbul melalui proses
angiogenesis yang dirangsang oleh VEGF (Vascular Endothelial
Growth factor). Inflamasi kronis pada pterigium merangsang keluarnya
berbagai growth factor dan sitokin seperti, FGF, PDGF, TGF-β, dan
TNF-α serta VEGF yang akan mengakibatkan proliferasi sel,
remodeling matriks ektra sel dan angiogenesis. Selain meningkatnya
growth factor ditemukan menurunnya faktor penghambat pertumbuhan
seperti TSP-I ( Aspiotis, et al. 2006).
Universitas Sumatera Utara
13
3.
Teori stem cell
Faktor lingkungan (angin, debu) menyebabkan kerusakan sel basal
limbus dan merangsang keluarnya sitokin proinflamasi. Sitokin ini
akan memproduksi matriks metaloproteinase untuk merusak matriks
ektrasel, sehingga pterigium dapat mencapai kornea. Sitokin ini juga
dapat merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem sel,
dimana stem sel ini juga akan memproduksi sitokin sambil juga
menyembuhkan kornea. Sitokin dan berbagai growth faktor akan
mempengaruhi stem sel di limbus sehingga terjadi perubahan sel
fibroblast endotel dan epitel yang akhirnya akan menimbulkan
pterigium (Ye, et al. 2004).
Beberapa penelitian juga memberikan hasil yang serupa dimana
radiasi sinar UV akan menyebabkan mikro trauma
yang menyebabkan
timbulnya lesi inflamasi. Gen p53 diduga memegang peranan utama dalam
patogenesis pterigium, sedangkan faktor lain seperti “debu, angin, panas,
dan kekeringan” merupakan faktor yang sekunder. Keseluruhan faktor ini
akan menyebabkan kerusakan lapisan lemak pada lapisan air mata yang
akan menyebabkan meningkatnya penguapan dan kekeringan konjugtiva
(dellen). Dellen akan merangsang timbulnya respon sikatriks disertai dengan
proliferasi
dari
jaringan
konjungtiva
yang
mengalami
inflamasi
(Tradjutrisno, 2009).
Proliferasi sel, inflamasi, modifikasi jaringan konjungtiva, dan
angiogenesis dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor pertumbuhan seperti
FGF, PDGF, TGF, dan TNF-α. Peranan angiogenesis juga dijumpai pada
patogenesis pterigium dimana dijumpai adanya peningkatan ketebalan
pembuluh darah mikro dan dijumpai kadar VEGF (Vascular Endothelial
Growth Factor) yang meningkat pada pterigium dibandingkan dengan
konjugtiva normal (Tradjutrisno, 2009).
Universitas Sumatera Utara
14
2.3.6. Gejala Klinis Pterigium
Pasien biasanya mengeluhkan adanya iritasi ringan dengan keluhan
mata merah, kering, atau terasa ada benda pada mata. Keluhan ini dapat
diperparah dengan adanya peradangan akut pada pterigium. Selain gejala
ini, pasien juga mengeluhkan masalah kosmetik (Clinical Management
Guideline, 2012).
Pada
pemeriksaan
dapat
dijumpai
benjolan
atau
tonjolan
fibrovaskular berbentuk segitiga dengan pinggiran yang meninggi dengan
apeks yang mencapai kornea dan badannya terletak pada konjugtiva inter
palpebra. Bagian puncak dari jaringan pterigium ini biasanya menampakkan
garis coklat-kemerahan yang merupakan tempat deposisi besi yang disebut
garis Stocker. Pada umumnya jaringan ini memiliki vaskularisasi yang baik
dan biasanya terletak di nasal (Zwerling).
Pada keadaan ringan pterigium dapat menyebabkan kekaburan
pandang yang ringan yang dapat diobati menggunakan kaca mata. Pterigium
yang lebih dari 3 mm dapat menimbulkan sedikit astigmat yang masih dapat
dikoreksi. Pterigium yang lebih dari 3.5 mm berarti telah mencapai setengah
bahkan menyinggung pupil pada kornea yang biasanya berukuran 11-12
mm. Biasanya dapat menyebabkan astigmat lebih dari 1 dioptri dan
menyebabkan mata kabur dan tidak dapat di koreksi lagi, seiring dengan
meluasnya pterigium maka astigmat akan semakin berat (Jacobs, 2009).
Derajat keparahan pterigium dinilai berdasarkan lokasinya dan
keterlibatannya dengan kornea, yaitu: (Zhong, et al. 2012)
1.
Grade 0, tidak ada pterigium
2.
Grade 1, kepala pterigium mengenai limbus
3.
Grade 2, kepala pterigium antara limbus dengan batas pupil
4.
Grade 3, kepala pterigium mengenai batas pupil
5.
Grade 4, kepala pterigium menutupi pupil.
Universitas Sumatera Utara
15
2.3.7. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan penanganan medis dan bedah yang
optimal untuk pterigium. Tatalaksana awal yang digunakan biasanya
konservatif, yaitu: (Aminlari, et al. 2010).
1.
Mencegah mata kering dengan lubrikasi
2.
Penggunakan obat pelindung mata.
Pengobatan dengan menggunakan dekongestan lokal, NSAID, ataupun
steroid dapat mengurangi gejala akan tetapi sebaiknya dihindari karena
pterigium merupakan penyakit kronis yang tidak dapat dicegah dengan obatobatan ini dan efek samping yang dihasilkan cukup besar (Jacobs, 2009).
Pembedahan pada pterigium di indikasikan pada: (Aminlari, et al. 2010)
1.
Astigmatismat yang mempengaruhi penglihatan.
2.
Ancaman mengenai axis visual.
3.
Iritasi berat.
4.
Kosmetik.
Pembedahan pterigium terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu teknik
bare sclera excision, excision with conjunctival closure/transposition,
excision
with
antimitotic
adjunctive
therapies,
danocular
surface
transplantation technique (Lee and Slomovic, 2004).
1.
Teknik Bare Sclera Excision
Teknik ini dilakukan dengan cara eksisi kepala dan badan pterigium
sampai ke region kantus nasal, dan sklera dibiarkan terpapar untuk
mengalami re-epiteliasasi. Meskipun memiliki tingkat kesuksesan yang
tinggi, teknik ini memiliki tingkat rekurensi yang tinggi sehingga tidak
lagi disarankan untuk dipakai baik untuk pterigium primer ataupun
rekuren (Lee and Slomovic, 2004).
2.
Teknik Excision with conjunctival clusore/transposition
Teknik ini mirip dengan teknik sebelumnya, hanya saja pada teknik ini
dilakukan penutupan bekas luka pada konjungtiva baik dengan
aproksimasi sederhana ataupun dengan flap rotational. Teknik ini
memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi (Lee and Slomovic, 2004).
Universitas Sumatera Utara
16
3.
Teknik Excision with adjunctive medical theraphy
Teknik ini menggunakan terapi tambahan setelah dilakukan eksisi
pterigium, yaitu dengan radiasi Beta dan Mitomycin C (MMC).
Penggunaan radiasi akan menghambat
pembelahan sel, akan tetapi
dapat menimbulkan komplikasi yang cukup serius seperti sel-sel mata
yang dapat menjadi nekrosis. MMC merupakan antibiotik dan agen anti
kanker yang menghambat sintesis DNA, RNA, dan protein. Dosis yang
biasa dipakai adalah MMC topical 0.02% setelah eksisi pterigium 2x
sehari selama 5 hari. Untuk mengurangi komplikasi dan toksisitas pada
penggunaan MMC maka beberapa penelitian menyarankan untuk
memakai MMC 1x intraoperatif (Lee and Slomovic, 2004).
4.
Teknik Ocular Surface Transplantation
Konsep dasar teknik ini adalah konsep bahwa pterigium merupakan
penyakit permukaan mata yang bersifat lokal sehingga dapat dilakukan
transplantasi dari jaringan permukaan mata lain (Lee and Slomovic,
2004). Autograft dari konjungtiva merupakan prosedur pilihan untuk
pterigium primer dan dilakukan bersamaan dengan pemberian MMC
pada kasus yang rekuren. Teknik ini merupakan teknik yang aman dan
efektif, serta merupakan gold standard terhadap seluruh operasi
pterigium serta memberikan hasil kosmetik yang baik. Autograft dari
konjungtiva lumbal didasari dengan adanya teori defisiensi stem sel
limbus yang menyebabkan pterigium sehingga teknik ini disarankan
menjadi modalitas dalam penatalaksanaan. Prosedurnya mirip dengan
autograft konjungtiva hanya saja transplantasi mencakup epitel limbus
sehingga stem sel limbus dari epitel tersebut dapat merangsang
epitelisasi (Lee and Slomovic, 2004).
Transplantasi dari membrane amnion dapat digunakan sebagai
membran dasar pada pencangkokan, dimana penelitian menunjukkan
terjadinya penurunan kekambuhan dan penurunan fibrosis pada jaringan
mata setelah operasi. Teknik ini memberikan hasil dan kosmetik yang
baik (Lee and Slomovic, 2004).
Universitas Sumatera Utara
17
2.3.8. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi dari pterigium antara lain : (Fisher, 2013).
1.
Distorsi dan/atau penurunan penglihatan
2.
Kemerahan
3.
Iritasi
4.
Parut pada konjungtiva dan kornea
5.
Diplopia
akibat
keterlibatan
otot
ekstraokular
yang
akan
menghambat pergerakan bola mata. Pada pasien yang belum
menjalani operasi, parut pada rektus media merupakan penyebab
tersering.
Komplikasi pasca operatif: (Fisher, 2013).
1.
Infeksi
2.
Reaksi alergi terhadap bahan jahit
3.
Diplopia
4.
Tidak bersatunya graft konjungtiva
5.
Parut konrea
6.
Komplikasi yang jarang antara lain : perforasi bola mata,
perdarahan vitreus, atau retinal detachment
Komplikasi jangka panjang post operasi dengan radiasi beta
adalah penipisan kornea dan/atau sklera atau disebut juga ektasia yang
dapat timbul tahunan setelah operasi. Komplikasi tersering operasi
pterigium adalah kekambuhan post operasi, dimana eksisi sederhana
memilki tingkat kekambuhan 50-80%. Akan tetapi tingkat kekambuhan
telah
menurun
hingga
5-15%
dengan
teknik
autograft
konjungtiva/limbal atau dengan transplantasi membrane amnion
(Fisher, 2013).
Prognosis visual dan kosmetik setelah eksisi pterigium termasuk
baik. Prosedur dapat ditoleransi oleh pasien dan selain rasa tidak
nyaman beberapa hari post operasi, sebagian besar pasien dapat
menjalankan aktivitas semula dalam 48 jam post operasi. Pasien yang
Universitas Sumatera Utara
18
mengalami kekambuhan dapat diterapi dengan berbagai teknik operasi
(Fisher, 2013).
2.3.9.
Pencegahan
Berdasarkan patogenesis yang menyatakan bahwa penyebab
utama pterigium adalah paparan sinar UV, maka pencegahan pterigium
yang utama adalah dengan meminimalisir paparan terhadap sinar UV.
Edukasi pasien merupakan pencegahan utama untuk pterigium. Pasien
di edukasi mengenai pemakaian topi dan kacamata dengan lensa yang
dilapisi untuk mencegah masuknya sinar UV ke mata. Edukasi ini
sangat penting terutama pada individu yang tinggal atau beraktivitas di
daerah tropis dan subtropis dan pekerjaan yang berisiko tinggi seperti
nelayan, petani, pekerja bangunan, dan lain-lain (Fisher, et al., 2013).
Universitas Sumatera Utara
Download