BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gingivitis merupakan penyakit dalam rongga mulut yang memiliki tingkat insidensi tinggi dan mempengaruhi 50% populasi dewasa (Sculley dan Evans, 2003). National Health and Nutrition Examination Survey III (NHANES III) yang diselenggarakan di Amerika Serikat antara tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa 50% populasi dewasa menderita inflamasi pada gingiva (Ababneh dkk., 2012). Laporan Survey Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia (SKRT) menyebutkan bahwa prevalensi penyakit gigi dan mulut tergolong tinggi, yaitu sebesar 60% penduduk, dan sebanyak 40%-nya menderita gingivitis (Depkes RI, 2001). Insidensi dan tingkat keparahan gingivitis meningkat pada anak-anak hingga dewasa, dan mencapai puncak pada usia 11-13 tahun (Junior dkk., 2004). Inflamasi mereda pasca pubertas, namun setelah dewasa inflamasi kembali meningkat (Manson dan Eley, 2004). Gingivitis secara klinis didefinisikan sebagai inflamasi pada margin gingiva tanpa disertai hilangnya tulang atau perlekatan jaringan ikat (Fedi dan Vernino, 2000). Margin gingiva tampak merah (eritema), bengkak (edema), dan mudah berdarah ketika dilakukan probing (Junior, dkk., 2004). Selain itu, secara klinis terlihat adanya supurasi, eksudat gingiva, dan ulserasi (Axelsson, 2002). Plak gigi merupakan faktor etiologi primer gingivitis kronis (Solomon dan Patricia, 2011). Plak gigi merupakan lapisan bakteri yang tidak terkalsifikasi, menumpuk, dan melekat pada gigi geligi atau objek lain di dalam mulut, misalnya 1 restorasi dan gigi tiruan (Manson dan Eley, 2004). Semakin banyak akumulasi plak dapat memperparah gingivitis (Solomon dan Patricia, 2011). Plak gigi telah terbukti dapat menginisiasi dan menyebabkan inflamasi pada gingiva (Lang dkk., 2009). Inflamasi pada gingiva menyebabkan akumulasi sel leukosit PMN, makrofag, dan sel mast pada jaringan yang mengalami inflamasi (Manson dan Eley, 2004). Selsel tersebut berperan penting dalam perlindungan terhadap infeksi. Pada saat memfagosit bakteri sel leukosit PMN dan makrofag akan menghasilkan reactive oxygen species (ROS) (Phuong dkk., 2006; Sculley dan Evans, 2003). Reactive oxygen species akan dikeluarkan di jaringan dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Manson dan Eley, 2004; Sculley dan Evans, 2003). Reactive oxygen species adalah senyawa yang mengandung oksigen yang cenderung bereaksi dengan senyawa lain, contohnya adalah radikal bebas seperti superoxide anion (O2-), hydrogen peroxide (H2O2), dan hydroxyl radical (OH-) (Proctor dan Reynolds, 1984). Reactive oxygen species dalam tubuh manusia diperoleh melalui metabolisme normal dan terlibat dalam patogenesis penyakit pada manusia termasuk kanker, penuaan, diabetes, dan atherosclerosis (Vyas dkk., 2010). Produksi ROS yang berlebihan akan menimbulkan kerusakan jaringan (Manson dan Eley, 2004). Reactive oxygen species juga dapat menyebabkan stres oksidatif yang bertanggung jawab terhadap sebagian besar penyakit (Kaur dkk., 2009). Antioksidan dapat didefinisikan sebagai bahan alami atau buatan yang mampu menetralisir radikal bebas sehingga dapat mengimbangi produksi ROS yang berlebihan (Hyun Yu dkk., 2011; Taju dkk., 2011). Antioksidan mampu memberikan 2 perlindungan pada tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit degenerasi (Taju dkk., 2011; Varghese dkk., 2012). Tubuh memiliki berbagai mekanisme pertahanan antioksidan yang beraksi secara bersamaan. Mekanisme pertahanan antioksidan ini meliputi perlindungan terhadap sel dan jaringan dengan menghilangkan produksi ROS yang dihasilkan atau memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas ROS (Varghese dkk., 2012). Saliva memiliki beberapa mekanisme pertahanan antioksidan untuk melindungi rongga mulut dari stres oksidatif karena mengandung asam urat, vitamin C (asam askorbat), albumin, dan glutathione (GSH) (Rai, 2008). Menurut Chapple dkk. (1997) kapasitas antioksidan saliva pada kelompok individu sakit lebih rendah dibanding dengan kelompok individu yang sehat. Kadar GSH dalam saliva dipengaruhi oleh beberapa faktor dan kadarnya terbukti menurun pada penyakit periodontal (Ozturk dkk., 2008). Glutathione yang juga dikenal sebagai master antioxidants, adalah tripeptida yang diproduksi oleh sebagian besar sel dalam tubuh. Glutathione membantu mencegah kerusakan komponen penting sel yang disebabkan oleh ROS (Varghese dkk., 2012). Glutathione memiliki peran penting dalam melindungi sel dari stres oksidatif (Iwasaki dkk., 2006 sit. Sies, 1997). Glutathione tidak hanya berpartisipasi pada sistem pertahanan antioksidan, tetapi juga berperan dalam berbagai proses metabolisme. Sistem GSH memiliki daya tarik bagi farmakologis sebagai target yang potensial untuk intervensi medis (Lushchack, 2011). Jambu biji tergolong dalam family Myrtaceae tersebar di daerah tropis dan 3 subtropis (Musa dkk., 2011). Tanaman ini tersebar hampir di setiap pulau di wilayah Indonesia dengan spesies yang bervariasi (Mesah, 2013). Beberapa bagian dari tanaman jambu biji dapat dimanfaatkan untuk pengobatan antara lain untuk mengobati diare, disentri, demam berdarah, inflamasi, gusi bengkak, sariawan, karies, luka, nyeri, menurunkan demam, jantung, dan diabetes (Parimin, 2005; Martha dkk., 2008). Ekstrak jambu biji dari kulit kayu, buah, dan daun juga menunjukkan adanya aktivitas antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, hipoglikemi, analgesik, antipiretik, spasmolitik, dan tekanan sistem saraf (Weni, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun dari jambu biji berguna sebagai sumber antioksidan alami (Hyun You dkk., 2011). Daunnya mengandung phenolic dalam jumlah banyak yang dapat menghambat reaksi peroksidasi dalam tubuh dan oleh karena itu diharapkan dapat mencegah berbagai macam penyakit kronik (He dan Venant, 2013 sit. Kimura dkk., 1985). Analisis beberapa komponen phenolic dari daun jambu biji terdiri dari gallic acid, quercetin, procatechuic acid, chlorogenic acid, caffeic acid, kaempferol, dan ferulic acid. Komponen ini berperan penting dalam aktivitas antioksidan oleh daun jambu biji (Hyun You dkk., 2011). Aktivitas antioksidan dari komponen phenolic ditentukan oleh struktur molekul dan terutama oleh posisi dan derajat hidroksilasi dari struktur cincinnya. Mekanisme antioksidan daun jambu biji ini berhubungan dengan kemampuan dalam menghambat radikal bebas (Chen dan Yen, 2007). Masyarakat memanfaatkan daun jambu biji dengan cara membuat ekstrak secara sederhana (Mesah, 2013). Ekstrak dari jambu biji merupakan sumber 4 antioksidan alami dan mempunyai aktivitas yang kuat sebagai antioksidan (Martha dkk., 2008; Chen dan Yen, 2010). Ekstrak daun jambu biji konsentrasi 5% memiliki aktivitas antioksidan terbesar yaitu sebesar 29,92% bila dibandingkan dengan konsentrasi 1% dan 10% (Mesah, 2013). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan masalah, yaitu: bagaimana perubahan kadar glutathione saliva penderita gingivitis kategori sedang setelah berkumur dengan ekstrak daun jambu biji konsentrasi 5%. C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang daun jambu biji sebagai antioksidan telah banyak dilakukan, salah satunya diteliti oleh Chen dan Yen (2007) dan Vyas dkk. (2010). Penelitian Chen dan Yen (2007) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun jambu biji konsentrasi 100 µg/ml dapat menghambat 94,4%-96,2% oksidasi asam linoleat. Ekstrak daun jambu biji konsentrasi lebih dari 10 µg/ml mempunyai kemampuan menangkap radikal bebas (Chen dan Yen, 2007). Pada penelitian Taju dkk. (2011) diketahui bahwa ekstrak daun jambu biji mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan dengan acetaminophen. Berdasarkan penelitian Hardjawinata dkk. (2009) terjadi penurunan jumlah bakteri Streptococcus sanguinis pada 40 siswi SMP pubertas yang menderita gingivitis sesudah berkumur ekstrak daun jambu biji, dengan pengurangan jumlah bakteri mencapai 64,09%. Sifat antioksidan ekstrak daun 5 jambu biji telah diteliti oleh Mesah (2013), hasil menunjukkan bahwa ekstrak daun jambu biji konsentrasi 5% memiliki aktivitas antioksidan terbesar dalam menghambat proses oksidasi asam linoleat yaitu sebesar 29,92% bila dibandingkan dengan konsentrasi 1% dan 10%. Namun, penelitian mengenai kadar glutathione saliva pada penderita gingivitis setelah berkumur ekstrak daun jambu biji konsentrasi 5% belum pernah dilaporkan. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kadar glutathione saliva penderita gingivitis kategori sedang setelah berkumur dengan ekstrak daun jambu biji konsentrasi 5%. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kadar glutathione saliva pada penderita gingivitis kategori sedang setelah berkumur dengan ekstrak daun jambu biji. 2. Mendapatkan informasi ilmiah mengenai efektivitas berkumur ekstrak daun jambu biji untuk menaikkan kadar glutathione saliva pada penderita gingivitis kategori sedang. 3. Masyarakat memperoleh informasi tentang manfaat daun jambu biji sebagai alternatif obat kumur alami untuk penyembuhan gingivitis. 6