pendahuluan - Universitas Sumatera Utara

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di dunia terdapat sekitar 4.000 varietas kentang yang dapat dikonsumsi.
Sebagian besar dari jumlah tersebut ditemukan di daerah Andes, Amerika Selatan.
Kentang merupakan bahan makanan terpenting ketiga di dunia setelah padi dan
gandum dalam memenuhi kebutuhan manusia. Lebih dari milyaran orang di dunia
mengkonsumsi kentang, dan total produksi tanaman kentang secara global telah
melebihi 300 juta metrik ton. Oleh sebab itu, kentang menjadi tanaman penting
dalam hal ketahanan pangan untuk menghadapi pertumbuhan penduduk dan
tingkat kelaparan yang terus meningkat (International Potato Center, 2013).
Pentingnya kentang sebagai komoditi pangan dunia, tentu didasarkan pada
kandungan gizi yang dimiliki oleh tanaman ini. BPTP Jawa Tengah (2011)
menyebutkan zat gizi yang terkandung dalam 100 g kentang yaitu kalori sebesar
347 kal, protein 0,3 g, lemak 0,1 g, karbohidrat sebesar 85,6 g, kalsium (Ca) 20 g,
posfor (P) 30 g, besi (Fe) 0,5 mg dan vitamin B sebesar 0,04 mg. Mereka juga
menambahkan bahwa di Indonesia, kentang digemari oleh banyak orang karena
dapat digunakan sebagai bahan sayuran dan makanan ringan.
Akan tetapi, kapasitas produksi kentang saat ini semakin menjadi perhatian
khusus. Menurut data BPS (2011), produksi kentang di Sumatera Utara terus
mengalami penurunan dari tahun 2009-2011. Tercatat, produksi kentang di tahun
2009 sebesar 129.587 ton dengan produktivitas sebesar 16,17 ton/ha, tahun 2010
turun menjadi 126.203 ton dengan produktivitas sebesar 15,83 ton/ha dan di tahun
2011 produksi hanya sebesar 123.078 ton dengan produktivitas sebesar 17,09
ton/ha.
Sedangkan Warnita (2008) mengungkapkan produksi kentang tersebut ternyata
belum mampu mencukupi kebutuhan kentang saat ini. Demikian pula, kebutuhan
akan bahan French fries dan chip masih di impor dari Australia karena produksi
Indonesia baru mencukupi 20% dari kebutuhan Indonesia. Ketersediaan bibit kentang
bermutu merupakan salah satu kendala dalam peningkatan produksi kentang di negara
ini. Penyediaan kentang bermutu sangat terbatas karena perbanyakannya yang sangat
lambat dan adanya penyakit yang menyerang bibit sehingga menurunkan hasil panen.
Oleh sebab itulah, salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjawab
tantangan dan kendala diatas yakni melalui teknik in vitro. Karjadi (2006)
menyatakan penggunaan teknik in vitro untuk tujuan perbanyakan vegetatif
merupakan areal/bidang yang paling maju dalam teknik kultur jaringan.
Umbi mikro (umbi yang dikembangkan secara in vitro) adalah benih
kentang miniatur yang merupakan fase intermediet antara planlet in vitro dengan
umbi mini. Umbi mikro adalah generasi pertama benih kentang dari hasil kultur
jaringan, yang digunakan untuk memecahkan masalah aklimatisasi (transplanting)
planlet dari kondisi in vitro ke kondisi in vivo. Produksi umbi mikro merupakan
metode yang efisien untuk memperoleh bahan tanaman yang sehat dan
mengurangi proses produksi benih bermutu sekitar 3 - 4 tahun (Nistor et al, 2010)
Karbohidrat memainkan peran penting dalam kultur in vitro sebagai
sumber energi dan karbon. Untuk kegiatan kultur pada umumnya, baik itu kultur
sel, jaringan atau organ, penting untuk memasukkan sumber karbon ke dalam
medium. Sukrosa adalah bahan yang umumnya digunakan untuk tujuan
mikropropagasi karena manfaatnya sangat umum dalam kultur jaringan. Gula
domestik yang halus dan putih terlalu murni untuk digunakan dalam hal ini.
Kehadiran sukrosa dalam media kultur jaringan secara khusus menghambat
pembentukan klorofil dan fotosintesis serta menyebabkan pertumbuhan autroropik
kurang baik (Thorpe et al, 2008).
Tidak hanya sukrosa atau karbohidrat saja yang berperan penting. Banyak
komponen lainnya yang juga mampu mendukung terbentuknya umbi mikro ini,
salah satunya adalah sitokinin. Karjadi dan Buchory (2008) mendefenisikan
sitokinin adalah senyawa turunan adenine dan berperan dalam pengaturan
pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin digunakan untuk merangsang
terbentuknya tunas, berpengaruh dalam metabolisme sel, dan merangsang sel
dorman serta aktivitas utamanya adalah mendorong pembelahan sel. Staden et al
(2008) menambahkan beberapa komponen sitokinin yang digunakan dalam
kegiatan kultur jaringan diantaranya adalah (1) kinetin, sitokinin pertama yang
ditemukan, (2) trans zeatin (4-hydroxy-3-methyl-trans-2-butenylaminopurin), (3)
iP (N6-Δ2isopentenyladenin) dan dihydrozeatin (6-(4-hydroxy-3-methyl-trans-2butenyl)aminopurine).
Begitu banyak penelitian yang membahas mengenai peran sukrosa dan
sitokinin dalam pembentukan umbi mikro kentang. Hasil penelitian Ebadi dan
Iranbakhsh (2011) mengungkapkan bahwa penggunaan 10 mgl-1 BAP dan 80 gl-1
sukrosa memberikan hasil terbaik terhadap persentase pembentukan umbi mikro,
rataan jumlah umbi mikro yang terbentuk, bobot basah dan bobot kering umbi
serta ratio bobot kering terhadap bobot basah umbi mikro. Sedangkan Ni’mah et
al (2012) menyatakan bahwa media MS yang mengandung 80 g/l sukrosa dan 7
mg/l kinetin memberikan hasil optimum untuk penginduksian umbi mikro
kentang.
Akan
tetapi
belum
banyak
penelitian
yang
menggunakan
2-isopenteniladenina (2-ip) sebagai sumber sitokinin yang dikombinasikan dengan
sukrosa dalam pembentukan dan pertumbuhan umbi mikro kentang ini. Dari
sinilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang membahas bagaimana
pengaruh sukrosa dan 2-ip terhadap pembentukan dan pertumbuhan umbi mikro
kentang.
Tujuan Penelitian
Untuk menentukan konsentrasi sukrosa dan 2-ip serta kombinasi dari
keduanya yang sesuai untuk pembentukan dan pertumbuhan umbi mikro kentang.
Hipotesa Penelitian
Ada perbedaan pengaruh dalam pembentukan dan pertumbuhan umbi
mikro kentang akibat penggunaan tingkat konsentrasi sukrosa dan 2-ip yang
berbeda serta interaksi dari kedua faktor perlakuan tersebut.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang
membutuhkan.
Download