Jurnal AgroPet Vol. 9 Nomor 1 Desember 2012 ISSN: 1693-9158 PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN KALSIUM TERHADAP SERAPAN HARA DAN PRODUKTIVITAS DUA GENOTIPE KEDELAI PADA BUDIDAYA KERING Oleh: Toyip, SP., M.Si. 1) ABSTRACT The objectives of this research were to study the effect rates of P and Ca fertilizers on productivity and nutrient uptake of two soybean genotypes in dry culture. The experimental design was split split plot with three factors i.e. phosphorus, calcium and genotype planted in dry culture. Dry culture with phosphorus fertilizer application (72 kg P2O5/ha) increases the number of filled pods and grain weight per plot. Number of pods of Tanggamus variety was greater than Anjasmoro variety. Liming had no effect on productivity. Path analysis showed that largest direct effect to grain weight were plant height and leaf weight. Increased rate of P and Ca fertilizer increased the uptake of P and Ca, but variety Tanggamus is more responsive than variety Anjasmoro. Interaction of phosphorus fertilizer 72 kg P2O5/ha with lime 1 ton/ha increased grain weight per plot. Largest direct effect on increasing grain weight is plant height and the number of branches. Phosphorus application (72 kg P2O5/ha) and liming (1 ton/ha) also give highest uptake of P and Ca. Keyword: soybean, productivity, dry culture PENDAHULUAN Kebutuhan kedelai meningkat setiap tahunnya, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan berkembangnya industri-industri olahan. Berdasarkan data BPS (2008) bahwa laju rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 19782008 adalah 1.56 % per tahun. Data dari Departemen Pertanian menyatakan bahwa laju pertumbuhan konsumsi kedelai tahun 1978-2008 adalah 7.22 % per tahun. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi kedelai di Indonesia berkembang 1) lebih cepat dari perkembangan laju pertumbuhan penduduk. Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 220 juta orang dan rata-rata konsumsi per kapita kedelai sebesar 10 kg/tahun maka diperlukan kacang kedelai untuk kebutuhan pangan minimal 2.2 juta ton per tahun. Usaha pemenuhan kebutuhan kedelai ini menghadapi kendala berupa semakin sempitnya lahan subur. Oleh karena itu pemenuhan dapat dilaksanakan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Usaha intensifikasi yang dapat dilakukan adalah menanam kedelai setelah tanaman padi dan ekstensifikasi adalah dengan cara Staf Pengajar Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sintuwu Maroso penanaman pada areal baru. Areal baru tersebut adalah lahan marjinal/kritis. Faktor lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor genetik serta interaksi kedua faktor (Chozin 2006). Komponen teknologi dalam meningkatkan produksi tanaman kedelai dapat dilakukan dengan penggunaan varietas yang adaptif dan berdaya hasil tinggi serta modifikasi lingkungan tumbuh. Modifikasi lingkungan tumbuh dimaksud yaitu peningkatan efisiensi input produksi. Pada lahan kering dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah minimal, penggunaan pupuk yang tepat dan penggunaan genotipe yang toleran. Pada lahan basah bekas sawah dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah minimal, penggunaan pupuk yang tepat dan penggunaan genotipe yang toleran dan teknik budidaya jenuh air. Hardjowigeno (2003) mengungkapkan bahwa kendala yang dapat membatasi pertumbuhan dan produksi tanaman pada lahan kering adalah rendahnya kesuburan disebabkan oleh reaksi tanahnya masam, kandungan aluminium (Al) tinggi dan kandungan unsur hara rendah, terutama hara makro. Tisdale et al. (1993) mengemukakan bahwa di lahan kering kandungan unsur hara makro N, P, K, Ca dan Mg rendah, serta keracunan Al, Mn, dan Fe. Kandungan Al dan Fe yang tinggi dapat memfiksasi fosfor (P) dalam membentuk Al-P dan Fe-P yang tidak larut dengan air. Kondisi tersebut mengakibatkan P tidak tersedia bagi tanaman (Leiwakabessy 1988) dan berdampak juga pada kandungan P menjadi rendah (Sanchez & Salinas 1981; Marschner 1995; Subagyo et al. 2000). Selain itu kapasitas fiksasi P yang tinggi pada tanah menyebabkan P tersedia menjadi rendah (Sanyal et al. 1993; Ruaysoongnern dan KeeratiKasikorn 1996). Selanjutnya Mulyani (2006) berpendapat bahwa kendala lingkungan lainnya adalah ketersediaan air rendah terutama di musim kemarau, sehingga indeks pertanaman di lahan kering lebih rendah daripada di lahan sawah. Samira (2003) menjelaskan bahwa mengelola P dalam tanah untuk produksi tanaman menguntungkan sekaligus melindungi lingkungan dan merupakan salah satu peluang dan tantangan para ilmuwan dan peneliti tanah saat ini. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan P total dalam tanah yang tinggi, akan tetapi ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah. Mikanova dan Novakova (2002) menyatakan bahwa tanaman hanya mengambil 10-25% P yang diberikan melalui pemupukan, sebagian besar mengalami perubahan kimia dalam tanah menjadi bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Unsur hara yang ketersediannya terbatas di lahan marjinal dan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah kalsium (Ca). Ca merupakan salah satu unsur esensial dalam tanaman yang diperlukan untuk 46 berbagai peranan dalam struktur dinding dan membran sel. Hong-Bo (2008) mengemukakan bahwa fungsi Ca yaitu penyeimbang kation untuk anion-anion organik dan anorganik dalam vakuola (divalent Ca), dan konsentrasi Ca sitosolik [(Ca2+)cyt]. Ca sitosolik adalah mensenger obligat intraseluler yang mengkoordinasikan respon berbagai isyarat perkembangan dan kondisi lingkungan. Faktor lainnya selain faktor unsur hara P dan Ca yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai yang merupakan faktor internal adalah genotipe. Keragaman karakter lahan dan kendala di lahan marjinal maka diperlukan varietas atau genotipe yang spesifik lokasi. Purwantoro et al. (2009) memperoleh tiga galur kedelai dengan rerata hasil lebih tinggi daripada varietas Tanggamus sebagai pembanding dalam identifikasi galur-galur harapan yang adaptif lahan kering masam. Ghulamahdi (2009) memperoleh varietas Tanggamus sebagai varietas tahan lahan masam dengan teknik budidaya jenuh air di lahan pasang surut dan berdaya hasil tinggi. Hal ini disebabkan kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air sesaat dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya dan cepat memperbaiki pertumbuhan setelah air berkurang (Stanley et al. 1980). Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda. Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai pertumbuhan lebih baik dan produksi lebih tinggi daripada kedelai yang berumur pendek (CSIRO 1983; Ghulamahdi et al. 1991; Ghulamahdi et al. 2006). BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Desa Krawangsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung, 110 m dpl. Analisis dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Maret 2012. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petakpetak terpisah (split split plot design) pola RAKL (rancangan acak kelompok lengkap) 3 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pemberian pupuk P terdiri atas 4 taraf, yaitu: 0, 36, 72, dan 108 kg P2O5/ha. Faktor kedua adalah pemberian pupuk Ca terdiri atas 4 taraf, yaitu: 0, 0.5, 1, dan 1.5 ton CaCO3/ha. Faktor ketiga adalah genotipe kedelai yaitu: Anjasmoro dan Tanggamus. Petak utama adalah dosis pupuk P, anak petak adalah dosis pupuk Ca dan anak anak petak adalah genotipe kedelai. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam (Anova) pada selang kepercayaan 95%. Apabila hasil analisis berpengaruh nyata, maka data diuji lanjut dengan menggunakan Uji Wilayah Berganda 47 Duncan (DMRT) pada taraf 5% (Gomez & Gomez 1976). Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh langsung dan tak langsung antar peubah dilakukan analisis sidik lintas (Path Way Analysis) dan korelasi. Pengamatan pada 2, 4, 6 dan 8 MST meliputi Jumlah daun trifoliate, Tinggi tanaman (cm), Jumlah cabang dihitung. Saat panen peubanh pengamatan yaitu Jumlah polong isi dan hampa per tanaman, Bobot biji kering (g) dan Bobot 100 biji kering (g). Pengamatan destruksi pada 6 MST dan 8 MST, Peubah pengamatan meliputi: Bobot kering (g) akar, batang dan daun, Kandungan hara (P dan Ca) jaringan tanaman. Kandungan P dengan metode pengabuan kering, untuk Ca dengan metode HClO4 +HNO3 dengan Atomic Absorption Spectrometer dan Analisis hara tanah awal dan setelah panen. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tanah Hasil analisis sifat fisik tanah pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1 dan hasil analisis berbagai sifat kimia tanah disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Fisik Tanah Percobaan Budidaya Kering Variabel Satuan Hasil Analisis Kriteria Tekstur Pasir % 36 Debu % 21 Liat berpasir Liat % 43 Bahan Organik C % 0.65 Sangat Rendah N % 0.18 Rendah C/N % 4 Sangat Rendah Keterangan: Penilaian kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (1987). Tabel 1 menunjukkan bahwa tanah yang digunakan bertekstur liat berpasir dengan komposisi liat lebih tinggi dibanding dengan fraksi pasir dan terendah adalah fraksi debu. Komposisi tanah yang demikian dapat memberikan pengaruh baik untuk pertumbuhan tanaman. Pentingnya sifat-sifat fisik tanah yang baik dalam menunjang pertumbuhan tanaman sering tidak disadari karena kesuburan tanah selalu dititikberatkan hanya pada kesuburan kimianya (Rohlini dan Soeprapto 1989). Tekstur yang baik tersebut tidak diikuti oleh kandungan bahan organik. Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan bahan organik pada tanah lokasi penelitian sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh lahan tersebut adalah lahan kering. Dengan demikian proses perombakan dan pelapukan yang terjadi sangat cepat. Bahan organik disamping berpengaruh terhadap 48 pasokan hara tanah juga tidak kalah pentingnya terhadap sifat fisik, biologi dan kimia tanah lainnya. Keadaan fisik tanah yang baik dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman dan mampu sebagai tempat aerasi dan lengas tanah, semuanya berkaitan dengan peran bahan organik. Komponen kualitas bahan organik yang penting meliputi nisbah C/N, kandungan lignin, kandungan polifenol, dan kapasitas polifenol mengikat protein (Handayanto 1997). Tabel 2. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Percobaan Budidaya Kering Di Lampung Selatan Variabel pH H2O pH KCl Satuan Metode Hasil Analisis Kriteria 5.49 Masam 4.74 Masam Ekstrak HCl 25 % 114.00 Sangat Tinggi P2O5 mg/kg Bray I 3.13 Sangat Rendah K2O mg/kg Ekstrak HCl 25 % 55.00 Tinggi Ekstrak Morgan Vanema 54.31 Tinggi K mg/kg 0.11 Rendah Ca cmol(+)/kg 4.31 Rendah Ekstrak Amonium Asetat Mg cmol(+)/kg 0.96 Rendah (CH3COONH4) 1 M pH Na cmol(+)/kg 0.09 Sangat Rendah 7 KTK 6.04 Rendah KB % 90.00 Sangat Tinggi Al cmol(+)/kg Ekstrak KCl 1 M 0.00 ND H cmol(+)/kg 0.02 Fe mg/kg Ekstrak DTPA 22.88 Sangat Tinggi Mn mg/kg 159.43 Sangat Tinggi Keterangan: Penilaian kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (1987). Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa pH H2O dan pH KCl masam dan di peroleh pH cadangan (KCl) lebih rendah dari pH aktual (H2O). Hal ini diduga oleh adanya ion Fe yang terikat pada koloid tanah bereaksi dengan KCl dan 3+ melepaskan ion Fe dan dengan adanya air akan terhidrolisis 3+ membentuk Fe(OH) yang + sekaligus melepas H . Selain itu, dipengaruhi oleh unsur Mn dalam jumlah yang sangat tinggi sehingga dapat memicu penurunan pH. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan Al tidak terdeteksi sehingga yang paling berpengaruh adalah unsur Fe. Nilai pH memiliki hubungan dengan kandungan Fe, kejenuhan basa dan unsur hara lainnya. Hal ini terlihat pada kandungan unsur P dengan P cadangan memiliki kandungan sangat tinggi sedangkan P tersedia sangat rendah. Unsur hara K juga demikian yaitu K cadangan tinggi sedangkan K tersedia rendah. Kondisi demikian 49 berimplikasi pada kandungan Ca, Mg, Na dan KTK juga rendah. bahwa peningkatan dosis pemupukan fosfor dan kapur dapat meningkatkan serapan hara P dan Ca pada varietas Anjasmoro dan Tanggamus di tanah masam. Serapan Hara P dan Ca Hasil analisis regresi (Gambar 1 dan 2) menunjukkan Serapan hara P daun (mg) Anjasmoro Tanggamus 6 y = 1.3754x + 2.3063 R² = 0.8975 4 2 y = 1.5555x + 2.7363 R² = 0.8249 0 0.0 0.5 1.0 Dosis kapur (ton/ha) 1.5 (a) Serapan hara P daun (mg) Anjasmoro 0.4 Tanggamus y = 0.0014x + 0.18 R² = 0.9496 0.3 0.2 y = 0.0011x + 0.1953 R² = 0.8812 0.1 0 0 36 72 Dosis pupuk fosfor (kg P2O5/ha) 108 (b) Gambar 1. Serapan Hara P (a) Dosis Pupuk Fosfor (Kg P2O5/ha); (b) Dosis Kapur (ton/ha) Dua Varietas Kedelai. 50 Serapan hara daun Ca (mg) Anjasmoro 0.4 Tanggamus y = 0.0007x + 0.2144 R² = 0.8442 0.3 0.2 y = 0.0013x + 0.1891 R² = 0.9228 0.1 0 0 36 72 Dosis pupuk fosfor (kg P2O5/ha) 108 (a) Serapan Hara Ca daun (mg) Anjasmoro 6 Tanggamus y = 0.5734x + 2.9078 R² = 0.5144 4 2 y = 1.1442x + 3.0445 R² = 0.7698 0 0 0.5 1 Dosis kapur (ton/ha) 1.5 (b) Gambar 2. Serapan Hara Ca (a) Dosis Pupuk Fosfor (Kg P2O5/ha); (b) Dosis Kapur (ton/ha) Dua Varietas Kedelai. Respon genotipe Anjasmoro dan Tanggamus pada pemupukan P dan kapur terhadap serapan hara P dan Ca (Gambar 1 dan 2) menunjukkan bahwa genotipe Tanggamus lebih responsif terhadap pemupukan kapur untuk meningkatkan serapan hara P dan Ca. Genotipe Anjasmoro lebih responsif terhadap pemupukan P dalam meningkatkan serapan hara P. Responsifnya Tanggamus 51 terhadap pemupukan disebabkan karena Tanggamus merupakan genotipe yang adaptif terhadap lahan kering masam. Kondisi pertumbuhan yang demikian dapat menyebabkan Tanggamus memiliki serapan hara lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon dua genotipe kedelai terhadap pemupukan P dan Ca merupakan garis linear. Hal ini menunjukkan bahwa pemupukan P dan Ca belum terdapat titik optimum terhadap serapan hara P dan Ca. Kondisi ini terjadi karena pada lahan percobaan merupakan lahan kering, sehingga tanaman mengalami cekaman kekeringan dan ketersediaan P dan Ca pada taraf pemupukan yang diberikan masih rendah. Dengan demikian, tanaman melakukan penyerapan sebesarbesarnya terhadap kebutuhan hara yang digunakan untuk adaptasi dalam merespon cekaman kekeringan. Menurut Sopandie (2006) bahwa suatu genotipe yang mengalami cekaman kekeringan mempunyai hasil yang lebih baik dari genotipe lain karena mampu menjaga tekanan turgor daun, laju transpirasi dan pertukaran CO2 bersih. Berdasarkan Gambar 1 dan 2 bahwa model regresi tersebut memiliki nilai koefisien regresi (R2) yang tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa serapan hara P dan Ca sangat di pengaruhi oleh pemupukan fosfor dan kapur. Artinya bahwa seiring dengan peningkatan dosis pemupukan fosfor dan kapur, maka serapan hara P dan Ca juga akan meningkat. Kondisi yang demikian dapat dikaitkan dengan hasil analisis sifat kimia tanah (Tabel 2) menunjukkan bahwa kandungan P dan Ca tersedia cukup rendah, walaupun P potensial sangat tinggi. Rendahnya P dan Ca disebabkan oleh adanya unsur Fe yang mengikat P dan Ca menjadi senyawa yang sukar larut. Menurut Suswanto et al. (2007) bahwa pengapuran dapat menghilangkan Fe yang bersifat racun, sehingga unsur hara lainnya menjadi tersedia. Selanjutnya dengan kemampuan Tanggamus yang memiliki bobot kering daun dan bobot kering akar lebih tinggi mampu meningkatkan serapan unsur P dan Ca. Selain itu, tanaman memiliki strategi untuk meningkatkan serapan P dan Ca. Menurut Morgan et al. (2005) dan Hermans et al. (2006) bahwa tanaman meningkatkan proporsi yang lebih besar dari biomassa pada sistem akar. Hal ini tidak hanya untuk mengeksplorasi volume tanah lebih efektif tetapi juga untuk mengeksploitasi setiap bagian tanah yang memiliki ketersediaan Pi tinggi. Produksi Tanaman Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk fosfor 72 Kg P2O5/ha memberikan jumlah polong isi dan bobot per petak tertinggi. Bobot terendah pada perlakuan tanpa pemupukan fosfor. Perlakuan genotipe memberikan hasil yang berbeda yaitu Tanggamus memiliki jumlah polong isi dan bobot per petak tertinggi, sedangkan 52 anjasmoro memiliki bobot butir tertinggi. Komponen hasil masih cukup rendah bila dibandingkan dengan potensi yang dimiliki kedua genotipe tersebut. Hal ini diduga karena kedelai tersebut ditanam pada lahan kering dan pada musim kering. Fagi dan Tangkuman (1985) menegaskan bahwa rendahnya produktivitas kedelai karena keterbatasan air untuk menunjang pertumbuhan yang optimal. Varietas kedelai secara genetik mempunyai kemampuan yang berbeda untuk bertahan pada cekaman kekeringan. Disisi lain cekaman kekeringan yang terjadi berbeda tingkat, lama dan stadia tumbuh pada setiap musim tanam. Untuk itu perakitan varietas unggul baru ditujukan untuk mengantisipasi berbagai saat cekaman kekeringan yang terjadi. Di lapang produksi cekaman kekeringan selama periode pengisian polong menurunkan hasil 55% (Suyamto dan Soegiyatni 2002) sedangkan pada kondisi percobaan pot penurunan hasil per tanaman lebih sedikit yaitu hanya mencapai 22-34% (Hanum et al. 2007). Tabel 3. Pengaruh Pupuk Fosfor, Pupuk Kapur Dan Genotipe Terhadap RataRata Jumlah Polong Isi, Bobot Per Petak Dan Bobot 100 Butir Perlakuan Jumlah Polong Isi Bobot Per Petak (g) Bobot 100 Butir (g) Dosis Fosfor (kg P2O5/ha) 0 12.67c 35.26b 8.57b 36 15.90b 52.35b 9.06b 72 18.75a 64.05a 9.28a 108 14.14bc 38.35b 8.76b Dosis Kapur (ton/ha) 0 15.96 47.10 8.67 0.5 13.78 42.15 8.81 1 16.19 46.07 8.99 1.5 15.53 54.66 9.20 Genotipe Anjasmoro 13.74b 43.64b 10.40a Tanggamus 16.99a 51.36a 7.43b Keterangan: Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. 53 Tabel 4. Nilai Koefisien Korelasi Antara Karakter Fenotipik Kedelai Pada Budidaya Kering Karakter BBU TT JD JC B100 BA BB BU 1.00 0.47** -0.18 0.06 0.05 0.47** 0.48** TT 1.00 0.09 0.02 0.49** 0.44** 0.39** JD 1.00 0.09 0.09 -0.16 -0.33** JC 1.00 -0.20* 0.01 -0.01 B100 1.00 -0.01 0.27** B1 1.00 0.53** BB 1.00 BD Keterangan : BBU = Bobot Biji Ubinan; TT = Tinggi Tanaman; JD = Jumlah B100 = Bobot 100 Biji; BA = Bobot Akar; BB = Bobot Batang; Bobot Daun. Korelasi nyata positif terjadi antara bobot biji ubinan dengan tinggi tanaman (0.47**), bobot akar (0.47**), bobot batang (0.48**) dan bobot daun (0.50**). Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan bobot ubinan dipengaruhi oleh peningkatan tinggi tanaman, bobot akar, bobot batang dan bobot daun. BD 0.50** 0.45** -0.13 0.02 0.28** 0.68** 0.76** 1.00 Daun; BD = Selanjutnya peningkatan tinggi tanaman diikuti dengan peningkatan bobot 100 butir, bobot akar, bobot batang dan bobot daun. Korelasi nyata negatif terjadi antara jumlah daun dengan bobot batang (-0.33**), artinya bahwa apabila jumlah daun meningkat maka bobot batang menurun. Tabel 5. Koefisien Lintasan Beberapa Sifat Fenotipik Terhadap Hasil Kedelai Pada Budidaya Kering Pengaruh Sisa= 0.76 TT JD JC B100 B1 BB BD Keterangan : Pengaruh Langsung Pengaruh Tidak Langsung TT JD JC B100 BA BB BD Pengaruh Total 0.47 0.44 -0.01 0.00 -0.13 0.00 0.06 0.10 -0.11 0.04 0.00 -0.02 0.00 -0.05 -0.03 -0.01 0.01 -0.01 0.05 0.00 -0.01 0.06 -0.27 0.22 -0.01 0.00 0.00 0.04 0.07 0.01 0.19 0.01 0.00 0.03 0.08 0.16 0.16 0.17 0.03 0.00 -0.07 0.00 0.18 0.24 0.19 0.01 0.00 -0.07 0.00 0.12 TT = Tinggi Tanaman; JD = Jumlah Daun; B100 = Bobot 100 Biji; = Bobot Akar; BB = Bobot Batang; BD = Bobot Daun. Analisis sidik lintas (Tabel 5) menunjukkan bahwa pengaruh langsung terbesar terhadap peningkatan bobot biji ubinan adalah tinggi tanaman (0.44), bobot daun (0.24) dan bobot batang (0.16). Hal -0.18 0.06 0.05 0.47 0.48 0.50 BA ini menguatkan hasil analisis korelasi bahwa apabila koefisien korelasi antara faktor penyebab dan akibat hampir sama dengan nilai koefisien lintasnya, maka korelasi menerangkan adanya hubungan 54 langsung antara kedua karakter tersebut (Singh dan Chaudhary 1979). KESIMPULAN Budidaya kering dengan pemupukan P dan Ca meningkatkan serapan hara P dan Ca. Pemupukan fosfor 72 Kg P2O5/ha pada budidaya kering meningkatkan jumlah polong isi dan bobot biji per petak. Peningkatan bobot ubinan dipengaruhi oleh peningkatan tinggi tanaman, bobot akar, bobot batang dan bobot daun. Selanjutnya peningkatan tinggi tanaman diikuti dengan peningkatan bobot 100 butir, bobot akar, bobot batang dan bobot daun. Pengaruh langsung antar peubah terbesar terhadap peningkatan bobot biji ubinan adalah tinggi tanaman dan bobot daun. DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik 2008. Indonesia dalam Angka. Produksi tanaman pangan 1978-2008. http://bps.go.id [21 Januari 2011]. [BPS] Badan Pusat Statistik 2008. Indonesia dalam Angka. Produksi tanaman pangan 2009-2010. http://bps.go.id [09 Maret 2012]. Chozin MA. 2006. Peran Fisiologi Tanaman dalam Pengembangan Teknologi Budidaya Pertanian. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Agronomi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. CSIRO 1983. Soybean response to contolled waterlogging. P:4-8. In R. Lehane (ed.) Rural Research. The Science Communication Unit of CSIRO’S Bureau of Scientiic Services. Fagi AM dan Freddy Tangkuman 1985. Pengelolaan Air untuk Tanaman Kedelai. Hlm. 135158. Dalam: Kedelai (II). Edt: Sadikin Somaatmadja, M.Ismunadji, Sumarno, M.Syam, SO.Manurung dan Yuswadi. Puslitbangtan, Bogor. Ghulamahdi M, Rumawas F, Wiroatmodjo J, Koswara J. 1991. Pengaruh Pemupukan Fospor Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr) pada Budidaya Jenuh Air. Forum Pascasarjana. 14:25-34. Ghulamahdi M et al. 2006. Aktivitas Nitrogenase, serapan hara dan pertumbuhan dua varietas kedelai pada kondisi jenuh air dan kering. Bul. Aron. (34)(1)32-38. Ghulamahdi M. 2009. Kedelai Ditanam Dengan Sistem Budidaya Jenuh Air. http://bangkittani.com/litbang/k edelai-ditanam-dengan-sistembudidaya-jenuh-air/ diakses 25 Mei 2011. 55 Gomez A, Gomez K. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Universitas Indonesia. Jakarta. Handayanto E, Cadisch G and Giller KE. (1997) Regulating N mineralization from plant residues by manipulation of quality. In Driven by Nature Plant Litter Quality and Decomposition, (Eds Cadisch, G. and Giller, K.E.), pp. 175186. Department of Biological Sciences, Wey College.,University of London, UK. Hanum C, Mugnisjah WQ, Yahya S, Sopandy D, Idris K, dan Sahar A. 2007. Pertumbuhan akar kedelai pada cekaman aluminium, kekeringan dan cekaman ganda aluminium dan kekeringan. Agritrop, 26 (1) : 13 – 18. Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademi Pressindo, Jakarta. Hong-Bo S, Song Wei-Yi and Chu Li-Ye, 2008. Advances of calcium signals involved in plant anti-drought. C. R. Biologies 331 (2008) 587–596. Leikawakabessy FM. 1988. Kesuburan Tanah. Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Institute of Plant Nutrition University of Hohenhaim. Federal Republic of Germany. Mikanova O and Novakova 2002. Evaluation of the Psolubilitizing Activity of Soil Microorganism and Its Sensitivity to Soluble Phosphate. Rostlinna Vyroba 48:397-400. Mulyani A. 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 28, No. 2. Purwantoro, Kuswantoro H & Arsyad DM. 2009. Identifikasi GalurGalur Harapan Kedelai Adaptif Lahan Kering Masam. Balitkabi, Malang. Rohlini dan Soeprapto Soekodarmodjo 1989. Pengaruh pemberian bahan organik, kapur dan errisulat terhadap beberapa siat fisik tanah kaitannya dengan pertumbuhan tanaman pada lahan kritis. Berkala Penelitian UGM No.2(1B), Yogyakarta. 185-195. Ruaysoongnern S and Keeratikasikorn P. 1996. Role of Phosphorus Fertilization in Improving Soil Fertility of Acid Tropical and Subtropical Soils in Asia In NuIrient Management for Sustainable Food Production in Asia. International Conference in Asia, at December 9-12, 1996, Bali, Indonesia. Agency for Agricultural Rese.dI and Development (AARD). Ministry 56 of Agriculture-Republic Indonesia. p.149-167. of Samira H Darouba, Argyrios Gerakisa, Joe T Ritchiea, Dennis K Friesenb, John Ryanc 2003. Development of a soil-plant Phosphorus simulation model for calcareous and weathered Tropical soils. Agricultural Systems 76, 1157–1181. Sanchez PA and Salinas JG. 1981. Low Input Technology for Managing Oxisols and Ultisols in Tropical America. Advance in Agriculture 34:280-399. Singh RK. and Chaudary BD. 1979. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. Kalyani Publishers. New Delhi. 304 p. management on rice (Oryza sativa) cultivated on an acid sulfate soil. Malaysian Journal of Soil Science Vol.11 : 1-16. Suyamto dan Soegiyatni 2002. Evaluasi Toleransi Galur-Galur Kedelai Terhadap Kekeringan : hlm 218-224. Prosiding Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian Mendukung Ketahanan Pangan. Puslitbangtan. Bogor. Sopandie D. 2006. Perspektif Fisiologi dalam Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan Marjinal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Stanley CD, Kaspar TC and Taylor HM. 1980. Soybean top and root response to temporary water tables impose at three different stages of growth. Agron. J. 72:341-346. Subagyo H, Saharta N dan Siswanto AB. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Dalam Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian. Bogor. hlm. 21-65. Suswanto T, Shamshuddin J, Syed Omar SR, Peli Mat & Teh CBS, 2007. Effects of lime and fertiliser application in combination with water 57