XML - E-Journal Universitas Sintuwu Maroso

advertisement
Jurnal AgroPet Vol. 9 Nomor 1 Desember 2012
ISSN: 1693-9158
PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN KALSIUM TERHADAP
SERAPAN HARA DAN PRODUKTIVITAS DUA GENOTIPE KEDELAI
PADA BUDIDAYA KERING
Oleh:
Toyip, SP., M.Si. 1)
ABSTRACT
The objectives of this research were to study the effect rates of P and Ca fertilizers on
productivity and nutrient uptake of two soybean genotypes in dry culture. The
experimental design was split split plot with three factors i.e. phosphorus, calcium and
genotype planted in dry culture. Dry culture with phosphorus fertilizer application (72 kg
P2O5/ha) increases the number of filled pods and grain weight per plot. Number of pods
of Tanggamus variety was greater than Anjasmoro variety. Liming had no effect on
productivity. Path analysis showed that largest direct effect to grain weight were plant
height and leaf weight. Increased rate of P and Ca fertilizer increased the uptake of P
and Ca, but variety Tanggamus is more responsive than variety Anjasmoro. Interaction
of phosphorus fertilizer 72 kg
P2O5/ha with lime 1 ton/ha increased grain weight per
plot. Largest direct effect on increasing grain weight is plant height and the number of
branches. Phosphorus application (72 kg P2O5/ha) and liming (1 ton/ha) also give
highest uptake of P and Ca.
Keyword: soybean, productivity, dry culture
PENDAHULUAN
Kebutuhan kedelai meningkat
setiap tahunnya, seiring dengan
meningkatnya
pertumbuhan
penduduk
dan
berkembangnya
industri-industri
olahan.
Berdasarkan data BPS (2008)
bahwa laju rata-rata pertumbuhan
penduduk Indonesia tahun 19782008 adalah 1.56 % per tahun. Data
dari
Departemen
Pertanian
menyatakan
bahwa
laju
pertumbuhan
konsumsi
kedelai
tahun 1978-2008 adalah 7.22 % per
tahun. Dari data tersebut dapat
dilihat bahwa tingkat konsumsi
kedelai di Indonesia berkembang
1)
lebih cepat dari perkembangan laju
pertumbuhan penduduk. Indonesia
dengan jumlah penduduk sebanyak
220 juta orang dan rata-rata
konsumsi per kapita kedelai sebesar
10 kg/tahun maka diperlukan kacang
kedelai untuk kebutuhan pangan
minimal 2.2 juta ton per tahun.
Usaha pemenuhan kebutuhan
kedelai ini menghadapi kendala
berupa semakin sempitnya lahan
subur. Oleh karena itu pemenuhan
dapat
dilaksanakan
dengan
intensifikasi
dan
ekstensifikasi.
Usaha intensifikasi yang
dapat
dilakukan adalah menanam kedelai
setelah
tanaman
padi
dan
ekstensifikasi adalah dengan cara
Staf Pengajar Program Studi Agroteknologi,
Fakultas Pertanian, Universitas Sintuwu Maroso
penanaman pada areal baru. Areal
baru
tersebut
adalah
lahan
marjinal/kritis.
Faktor
lingkungan
sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi tanaman, selain itu juga
dipengaruhi oleh faktor genetik serta
interaksi kedua faktor (Chozin 2006).
Komponen
teknologi
dalam
meningkatkan produksi tanaman
kedelai dapat dilakukan dengan
penggunaan varietas yang adaptif
dan berdaya hasil tinggi serta
modifikasi lingkungan tumbuh.
Modifikasi lingkungan tumbuh
dimaksud yaitu peningkatan efisiensi
input produksi. Pada lahan kering
dapat dilakukan dengan cara
pengolahan
tanah
minimal,
penggunaan pupuk yang tepat dan
penggunaan genotipe yang toleran.
Pada lahan basah bekas sawah
dapat dilakukan dengan cara
pengolahan
tanah
minimal,
penggunaan pupuk yang tepat dan
penggunaan genotipe yang toleran
dan teknik budidaya jenuh air.
Hardjowigeno
(2003)
mengungkapkan bahwa kendala
yang dapat membatasi pertumbuhan
dan produksi tanaman pada lahan
kering adalah rendahnya kesuburan
disebabkan oleh reaksi tanahnya
masam, kandungan aluminium (Al)
tinggi dan kandungan unsur hara
rendah, terutama hara makro.
Tisdale et al. (1993) mengemukakan
bahwa di lahan kering kandungan
unsur hara makro N, P, K, Ca dan
Mg rendah, serta keracunan Al, Mn,
dan Fe. Kandungan Al dan Fe yang
tinggi dapat memfiksasi fosfor (P)
dalam membentuk Al-P dan Fe-P
yang tidak larut dengan air. Kondisi
tersebut mengakibatkan P tidak
tersedia
bagi
tanaman
(Leiwakabessy
1988)
dan
berdampak juga pada kandungan P
menjadi rendah (Sanchez & Salinas
1981; Marschner 1995; Subagyo et
al. 2000). Selain itu kapasitas fiksasi
P
yang
tinggi
pada
tanah
menyebabkan P tersedia menjadi
rendah (Sanyal et al. 1993;
Ruaysoongnern
dan
KeeratiKasikorn 1996). Selanjutnya Mulyani
(2006) berpendapat bahwa kendala
lingkungan
lainnya
adalah
ketersediaan air rendah terutama di
musim kemarau, sehingga indeks
pertanaman di lahan kering lebih
rendah daripada di lahan sawah.
Samira (2003) menjelaskan
bahwa mengelola P dalam tanah
untuk
produksi
tanaman
menguntungkan
sekaligus
melindungi
lingkungan
dan
merupakan salah satu peluang dan
tantangan para ilmuwan dan peneliti
tanah saat ini.
Hal tersebut
disebabkan oleh kandungan P total
dalam tanah yang tinggi, akan tetapi
ketersediaannya
bagi
tanaman
sangat rendah.
Mikanova dan
Novakova
(2002)
menyatakan
bahwa tanaman hanya mengambil
10-25% P yang diberikan melalui
pemupukan,
sebagian
besar
mengalami perubahan kimia dalam
tanah menjadi bentuk tidak larut dan
tidak tersedia bagi tanaman.
Unsur
hara
yang
ketersediannya terbatas di lahan
marjinal
dan
mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi tanaman
adalah kalsium (Ca). Ca merupakan
salah satu unsur esensial dalam
tanaman yang diperlukan untuk
46
berbagai peranan dalam struktur
dinding dan membran sel. Hong-Bo
(2008)
mengemukakan
bahwa
fungsi Ca yaitu penyeimbang kation
untuk anion-anion organik dan
anorganik dalam vakuola (divalent
Ca), dan konsentrasi Ca sitosolik
[(Ca2+)cyt].
Ca sitosolik adalah
mensenger obligat intraseluler yang
mengkoordinasikan respon berbagai
isyarat perkembangan dan kondisi
lingkungan.
Faktor lainnya selain faktor
unsur hara P dan Ca yang
mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi tanaman kedelai yang
merupakan faktor internal adalah
genotipe.
Keragaman karakter
lahan dan kendala di lahan marjinal
maka diperlukan varietas atau
genotipe yang spesifik lokasi.
Purwantoro et al. (2009)
memperoleh tiga galur kedelai
dengan rerata hasil lebih tinggi
daripada
varietas
Tanggamus
sebagai
pembanding
dalam
identifikasi galur-galur harapan yang
adaptif
lahan
kering
masam.
Ghulamahdi (2009) memperoleh
varietas
Tanggamus
sebagai
varietas tahan lahan masam dengan
teknik budidaya jenuh air di lahan
pasang surut dan berdaya hasil
tinggi. Hal ini disebabkan kedelai
relatif toleran terhadap kelebihan air
sesaat
dibandingkan
dengan
kacang-kacangan lainnya dan cepat
memperbaiki pertumbuhan setelah
air berkurang (Stanley et al. 1980).
Tanggap varietas kedelai terhadap
keadaan jenuh air berbeda-beda.
Kedelai yang berumur lebih panjang
biasanya mempunyai pertumbuhan
lebih baik dan produksi lebih tinggi
daripada kedelai
yang berumur
pendek (CSIRO 1983; Ghulamahdi
et al. 1991; Ghulamahdi et al. 2006).
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa
Krawangsari, Kecamatan Natar,
Kabupaten
Lampung
Selatan,
Propinsi Lampung, 110 m dpl.
Analisis dilakukan di Laboratorium
Pasca Panen, Fakultas Pertanian,
Institut
Pertanian
Bogor
dan
Laboratorium
Tanah,
Balai
Penelitian
Tanah,
Kementerian
Pertanian
Republik
Indonesia,
Bogor.
Penelitian dilaksanakan
pada bulan Juli 2011 sampai Maret
2012.
Rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan petakpetak terpisah (split split plot design)
pola
RAKL
(rancangan
acak
kelompok lengkap) 3 faktor dan 3
ulangan.
Faktor pertama adalah
pemberian pupuk P terdiri atas 4
taraf, yaitu: 0, 36, 72, dan 108 kg
P2O5/ha. Faktor kedua adalah
pemberian pupuk Ca terdiri atas 4
taraf, yaitu: 0, 0.5, 1, dan 1.5 ton
CaCO3/ha.
Faktor ketiga adalah
genotipe kedelai yaitu: Anjasmoro
dan Tanggamus.
Petak utama adalah dosis
pupuk P, anak petak adalah dosis
pupuk Ca dan anak anak petak
adalah genotipe kedelai.
Pengolahan data dilakukan
dengan
menggunakan
analisis
ragam
(Anova)
pada
selang
kepercayaan 95%.
Apabila hasil
analisis berpengaruh nyata, maka
data
diuji
lanjut
dengan
menggunakan Uji Wilayah Berganda
47
Duncan (DMRT) pada taraf 5%
(Gomez
&
Gomez
1976).
Selanjutnya
untuk
mengetahui
pengaruh
langsung
dan
tak
langsung antar peubah dilakukan
analisis sidik lintas (Path Way
Analysis) dan korelasi.
Pengamatan pada 2, 4, 6 dan
8 MST meliputi Jumlah daun
trifoliate, Tinggi tanaman (cm),
Jumlah cabang dihitung.
Saat
panen peubanh pengamatan yaitu
Jumlah polong isi dan hampa per
tanaman, Bobot biji kering (g) dan
Bobot
100
biji
kering
(g).
Pengamatan destruksi pada 6 MST
dan 8 MST, Peubah pengamatan
meliputi: Bobot kering (g) akar,
batang dan daun, Kandungan hara
(P dan Ca) jaringan tanaman.
Kandungan P dengan metode
pengabuan kering, untuk Ca dengan
metode HClO4 +HNO3 dengan
Atomic Absorption Spectrometer dan
Analisis hara tanah awal dan setelah
panen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Tanah
Hasil analisis sifat fisik tanah
pada lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 1 dan hasil analisis berbagai
sifat kimia tanah disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Fisik Tanah Percobaan Budidaya Kering
Variabel
Satuan
Hasil Analisis
Kriteria
Tekstur
Pasir
%
36
Debu
%
21
Liat berpasir
Liat
%
43
Bahan Organik
C
%
0.65
Sangat Rendah
N
%
0.18
Rendah
C/N
%
4
Sangat Rendah
Keterangan: Penilaian kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam
Hardjowigeno (1987).
Tabel 1 menunjukkan bahwa
tanah yang digunakan bertekstur liat
berpasir dengan komposisi liat lebih
tinggi dibanding dengan fraksi pasir
dan terendah adalah fraksi debu.
Komposisi tanah yang demikian
dapat memberikan pengaruh baik
untuk
pertumbuhan
tanaman.
Pentingnya sifat-sifat fisik tanah
yang
baik
dalam
menunjang
pertumbuhan tanaman sering tidak
disadari karena kesuburan tanah
selalu dititikberatkan hanya pada
kesuburan kimianya (Rohlini dan
Soeprapto 1989).
Tekstur yang baik tersebut
tidak diikuti oleh kandungan bahan
organik.
Tabel 1 menunjukkan
bahwa kandungan bahan organik
pada tanah lokasi penelitian sangat
rendah. Hal ini disebabkan oleh
lahan tersebut adalah lahan kering.
Dengan
demikian
proses
perombakan dan pelapukan yang
terjadi sangat cepat. Bahan organik
disamping berpengaruh terhadap
48
pasokan hara tanah juga tidak kalah
pentingnya terhadap sifat fisik,
biologi dan kimia tanah lainnya.
Keadaan fisik tanah yang baik dapat
menjamin
pertumbuhan
akar
tanaman dan mampu sebagai
tempat aerasi dan lengas tanah,
semuanya berkaitan dengan peran
bahan organik. Komponen kualitas
bahan organik yang penting meliputi
nisbah C/N, kandungan lignin,
kandungan polifenol, dan kapasitas
polifenol
mengikat
protein
(Handayanto 1997).
Tabel 2. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Percobaan Budidaya Kering Di
Lampung Selatan
Variabel
pH H2O
pH KCl
Satuan
Metode
Hasil Analisis
Kriteria
5.49
Masam
4.74
Masam
Ekstrak HCl 25 %
114.00
Sangat Tinggi
P2O5
mg/kg
Bray I
3.13
Sangat Rendah
K2O
mg/kg
Ekstrak HCl 25 %
55.00
Tinggi
Ekstrak Morgan Vanema
54.31
Tinggi
K
mg/kg
0.11
Rendah
Ca
cmol(+)/kg
4.31
Rendah
Ekstrak Amonium Asetat
Mg
cmol(+)/kg
0.96
Rendah
(CH3COONH4) 1 M pH
Na
cmol(+)/kg
0.09
Sangat Rendah
7
KTK
6.04
Rendah
KB
%
90.00
Sangat Tinggi
Al
cmol(+)/kg
Ekstrak KCl 1 M
0.00
ND
H
cmol(+)/kg
0.02
Fe
mg/kg
Ekstrak DTPA
22.88
Sangat Tinggi
Mn
mg/kg
159.43
Sangat Tinggi
Keterangan: Penilaian kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam
Hardjowigeno (1987).
Tabel 2 di atas menunjukkan
bahwa pH H2O dan pH KCl masam
dan di peroleh pH cadangan (KCl)
lebih rendah dari pH aktual (H2O).
Hal ini diduga oleh adanya ion Fe
yang terikat pada koloid tanah
bereaksi
dengan
KCl
dan
3+
melepaskan ion Fe dan dengan
adanya
air
akan
terhidrolisis
3+
membentuk
Fe(OH)
yang
+
sekaligus melepas H . Selain itu,
dipengaruhi oleh unsur Mn dalam
jumlah yang sangat tinggi sehingga
dapat memicu penurunan pH. Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
kandungan Al tidak terdeteksi
sehingga yang paling berpengaruh
adalah unsur Fe.
Nilai pH memiliki hubungan
dengan kandungan Fe, kejenuhan
basa dan unsur hara lainnya. Hal ini
terlihat pada kandungan unsur P
dengan P cadangan memiliki
kandungan sangat tinggi sedangkan
P tersedia sangat rendah. Unsur
hara K juga demikian yaitu K
cadangan tinggi sedangkan K
tersedia rendah. Kondisi demikian
49
berimplikasi pada kandungan Ca,
Mg, Na dan KTK juga rendah.
bahwa
peningkatan
dosis
pemupukan fosfor dan kapur dapat
meningkatkan serapan hara P dan
Ca pada varietas Anjasmoro dan
Tanggamus di tanah masam.
Serapan Hara P dan Ca
Hasil
analisis
regresi
(Gambar 1 dan 2) menunjukkan
Serapan hara P daun (mg)
Anjasmoro
Tanggamus
6
y = 1.3754x + 2.3063
R² = 0.8975
4
2
y = 1.5555x + 2.7363
R² = 0.8249
0
0.0
0.5
1.0
Dosis kapur (ton/ha)
1.5
(a)
Serapan hara P daun (mg)
Anjasmoro
0.4
Tanggamus
y = 0.0014x + 0.18
R² = 0.9496
0.3
0.2
y = 0.0011x + 0.1953
R² = 0.8812
0.1
0
0
36
72
Dosis pupuk fosfor (kg P2O5/ha)
108
(b)
Gambar 1. Serapan Hara P (a) Dosis Pupuk Fosfor (Kg P2O5/ha); (b) Dosis
Kapur (ton/ha) Dua Varietas Kedelai.
50
Serapan hara daun Ca (mg)
Anjasmoro
0.4
Tanggamus
y = 0.0007x + 0.2144
R² = 0.8442
0.3
0.2
y = 0.0013x + 0.1891
R² = 0.9228
0.1
0
0
36
72
Dosis pupuk fosfor (kg P2O5/ha)
108
(a)
Serapan Hara Ca daun (mg)
Anjasmoro
6
Tanggamus
y = 0.5734x + 2.9078
R² = 0.5144
4
2
y = 1.1442x + 3.0445
R² = 0.7698
0
0
0.5
1
Dosis kapur (ton/ha)
1.5
(b)
Gambar 2. Serapan Hara Ca (a) Dosis Pupuk Fosfor (Kg P2O5/ha); (b) Dosis
Kapur (ton/ha) Dua Varietas Kedelai.
Respon genotipe Anjasmoro
dan Tanggamus pada pemupukan P
dan kapur terhadap serapan hara P
dan Ca (Gambar 1 dan 2)
menunjukkan
bahwa
genotipe
Tanggamus lebih responsif terhadap
pemupukan
kapur
untuk
meningkatkan serapan hara P dan
Ca.
Genotipe Anjasmoro lebih
responsif terhadap pemupukan P
dalam meningkatkan serapan hara
P.
Responsifnya
Tanggamus
51
terhadap pemupukan disebabkan
karena
Tanggamus
merupakan
genotipe yang adaptif terhadap
lahan kering masam. Kondisi
pertumbuhan yang demikian dapat
menyebabkan Tanggamus memiliki
serapan hara lebih tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa respon dua genotipe kedelai
terhadap pemupukan P dan Ca
merupakan garis linear.
Hal ini
menunjukkan bahwa pemupukan P
dan Ca belum terdapat titik optimum
terhadap serapan hara P dan Ca.
Kondisi ini terjadi karena pada lahan
percobaan merupakan lahan kering,
sehingga
tanaman
mengalami
cekaman
kekeringan
dan
ketersediaan P dan Ca pada taraf
pemupukan yang diberikan masih
rendah. Dengan demikian, tanaman
melakukan penyerapan sebesarbesarnya terhadap kebutuhan hara
yang digunakan untuk adaptasi
dalam
merespon
cekaman
kekeringan.
Menurut Sopandie
(2006) bahwa suatu genotipe yang
mengalami cekaman kekeringan
mempunyai hasil yang lebih baik dari
genotipe
lain
karena
mampu
menjaga tekanan turgor daun, laju
transpirasi dan pertukaran CO2
bersih.
Berdasarkan Gambar 1 dan 2
bahwa model regresi tersebut
memiliki nilai koefisien regresi (R2)
yang tinggi. Hal ini menjelaskan
bahwa serapan hara P dan Ca
sangat
di
pengaruhi
oleh
pemupukan fosfor dan kapur.
Artinya bahwa seiring dengan
peningkatan dosis pemupukan fosfor
dan kapur, maka serapan hara P
dan Ca juga akan meningkat.
Kondisi yang demikian dapat
dikaitkan dengan hasil analisis sifat
kimia tanah (Tabel 2) menunjukkan
bahwa kandungan P dan Ca
tersedia cukup rendah, walaupun P
potensial sangat tinggi. Rendahnya
P dan Ca disebabkan oleh adanya
unsur Fe yang mengikat P dan Ca
menjadi senyawa yang sukar larut.
Menurut Suswanto et al.
(2007) bahwa pengapuran dapat
menghilangkan Fe yang bersifat
racun, sehingga unsur hara lainnya
menjadi tersedia.
Selanjutnya
dengan kemampuan Tanggamus
yang memiliki bobot kering daun dan
bobot kering akar lebih tinggi mampu
meningkatkan serapan unsur P dan
Ca. Selain itu, tanaman memiliki
strategi untuk meningkatkan serapan
P dan Ca. Menurut Morgan et al.
(2005) dan Hermans et al. (2006)
bahwa
tanaman
meningkatkan
proporsi yang lebih besar dari
biomassa pada sistem akar. Hal ini
tidak hanya untuk mengeksplorasi
volume tanah lebih efektif tetapi juga
untuk mengeksploitasi setiap bagian
tanah yang memiliki ketersediaan Pi
tinggi.
Produksi Tanaman
Tabel 3 menunjukkan bahwa
perlakuan dosis pupuk fosfor 72 Kg
P2O5/ha memberikan jumlah polong
isi dan bobot per petak tertinggi.
Bobot terendah pada perlakuan
tanpa pemupukan fosfor. Perlakuan
genotipe memberikan hasil yang
berbeda yaitu Tanggamus memiliki
jumlah polong isi dan bobot per
petak
tertinggi,
sedangkan
52
anjasmoro memiliki bobot butir
tertinggi.
Komponen hasil masih cukup
rendah bila dibandingkan dengan
potensi yang dimiliki kedua genotipe
tersebut.
Hal ini diduga karena
kedelai tersebut ditanam pada lahan
kering dan pada musim kering. Fagi
dan Tangkuman (1985) menegaskan
bahwa
rendahnya
produktivitas
kedelai karena keterbatasan air
untuk menunjang pertumbuhan yang
optimal.
Varietas
kedelai
secara
genetik mempunyai kemampuan
yang berbeda untuk bertahan pada
cekaman kekeringan. Disisi lain
cekaman kekeringan yang terjadi
berbeda tingkat, lama dan stadia
tumbuh pada setiap musim tanam.
Untuk itu perakitan varietas unggul
baru ditujukan untuk mengantisipasi
berbagai saat cekaman kekeringan
yang terjadi. Di lapang produksi
cekaman kekeringan selama periode
pengisian polong menurunkan hasil
55% (Suyamto dan Soegiyatni 2002)
sedangkan pada kondisi percobaan
pot penurunan hasil per tanaman
lebih sedikit yaitu hanya mencapai
22-34% (Hanum et al. 2007).
Tabel 3. Pengaruh Pupuk Fosfor, Pupuk Kapur Dan Genotipe Terhadap RataRata Jumlah Polong Isi, Bobot Per Petak Dan Bobot 100 Butir
Perlakuan
Jumlah Polong
Isi
Bobot Per Petak
(g)
Bobot 100 Butir
(g)
Dosis Fosfor
(kg P2O5/ha)
0
12.67c
35.26b
8.57b
36
15.90b
52.35b
9.06b
72
18.75a
64.05a
9.28a
108
14.14bc
38.35b
8.76b
Dosis Kapur
(ton/ha)
0
15.96
47.10
8.67
0.5
13.78
42.15
8.81
1
16.19
46.07
8.99
1.5
15.53
54.66
9.20
Genotipe
Anjasmoro
13.74b
43.64b
10.40a
Tanggamus
16.99a
51.36a
7.43b
Keterangan: Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan
nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
53
Tabel 4. Nilai Koefisien Korelasi Antara Karakter Fenotipik Kedelai Pada
Budidaya Kering
Karakter BBU
TT
JD
JC
B100
BA
BB
BU
1.00
0.47**
-0.18
0.06
0.05
0.47**
0.48**
TT
1.00
0.09
0.02
0.49**
0.44**
0.39**
JD
1.00
0.09
0.09
-0.16
-0.33**
JC
1.00
-0.20*
0.01
-0.01
B100
1.00
-0.01
0.27**
B1
1.00
0.53**
BB
1.00
BD
Keterangan : BBU = Bobot Biji Ubinan; TT = Tinggi Tanaman; JD = Jumlah
B100 = Bobot 100 Biji; BA = Bobot Akar; BB = Bobot Batang;
Bobot Daun.
Korelasi nyata positif terjadi
antara bobot biji ubinan dengan
tinggi tanaman (0.47**), bobot akar
(0.47**), bobot batang (0.48**) dan
bobot daun (0.50**).
Hal ini
mengindikasikan bahwa peningkatan
bobot ubinan dipengaruhi oleh
peningkatan tinggi tanaman, bobot
akar, bobot batang dan bobot daun.
BD
0.50**
0.45**
-0.13
0.02
0.28**
0.68**
0.76**
1.00
Daun;
BD =
Selanjutnya
peningkatan
tinggi
tanaman diikuti dengan peningkatan
bobot 100 butir, bobot akar, bobot
batang dan bobot daun.
Korelasi nyata negatif terjadi
antara jumlah daun dengan bobot
batang
(-0.33**), artinya bahwa
apabila jumlah daun meningkat
maka bobot batang menurun.
Tabel 5. Koefisien Lintasan Beberapa Sifat Fenotipik Terhadap Hasil Kedelai
Pada Budidaya Kering
Pengaruh
Sisa= 0.76
TT
JD
JC
B100
B1
BB
BD
Keterangan :
Pengaruh
Langsung
Pengaruh Tidak Langsung
TT
JD
JC
B100
BA
BB
BD
Pengaruh
Total
0.47
0.44
-0.01 0.00 -0.13 0.00
0.06
0.10
-0.11 0.04
0.00 -0.02 0.00 -0.05 -0.03
-0.01 0.01 -0.01
0.05 0.00 -0.01
0.06
-0.27 0.22 -0.01 0.00
0.00
0.04
0.07
0.01 0.19
0.01 0.00
0.03
0.08
0.16
0.16 0.17
0.03 0.00 -0.07 0.00
0.18
0.24 0.19
0.01 0.00 -0.07 0.00
0.12
TT = Tinggi Tanaman; JD = Jumlah Daun; B100 = Bobot 100 Biji;
= Bobot Akar; BB = Bobot Batang; BD = Bobot Daun.
Analisis sidik lintas (Tabel 5)
menunjukkan
bahwa
pengaruh
langsung
terbesar
terhadap
peningkatan bobot biji ubinan adalah
tinggi tanaman (0.44), bobot daun
(0.24) dan bobot batang (0.16). Hal
-0.18
0.06
0.05
0.47
0.48
0.50
BA
ini menguatkan hasil analisis
korelasi bahwa apabila koefisien
korelasi antara faktor penyebab dan
akibat hampir sama dengan nilai
koefisien lintasnya, maka korelasi
menerangkan adanya hubungan
54
langsung antara kedua karakter
tersebut (Singh dan Chaudhary
1979).
KESIMPULAN
Budidaya
kering
dengan
pemupukan P dan Ca meningkatkan
serapan hara P dan Ca. Pemupukan
fosfor 72 Kg P2O5/ha pada budidaya
kering meningkatkan jumlah polong
isi dan bobot biji per petak.
Peningkatan
bobot
ubinan
dipengaruhi oleh peningkatan tinggi
tanaman, bobot akar, bobot batang
dan bobot daun.
Selanjutnya
peningkatan tinggi tanaman diikuti
dengan peningkatan bobot 100 butir,
bobot akar, bobot batang dan bobot
daun.
Pengaruh langsung antar
peubah
terbesar
terhadap
peningkatan bobot biji ubinan adalah
tinggi tanaman dan bobot daun.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik 2008.
Indonesia
dalam
Angka.
Produksi tanaman pangan
1978-2008. http://bps.go.id [21
Januari 2011].
[BPS] Badan Pusat Statistik 2008.
Indonesia
dalam
Angka.
Produksi tanaman pangan
2009-2010. http://bps.go.id [09
Maret 2012].
Chozin MA. 2006. Peran Fisiologi
Tanaman
dalam
Pengembangan
Teknologi
Budidaya Pertanian. Orasi
Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Agronomi. Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
CSIRO 1983. Soybean response to
contolled waterlogging. P:4-8.
In R. Lehane (ed.) Rural
Research.
The
Science
Communication
Unit
of
CSIRO’S Bureau of Scientiic
Services.
Fagi AM dan Freddy Tangkuman
1985. Pengelolaan Air untuk
Tanaman Kedelai. Hlm. 135158. Dalam: Kedelai (II). Edt:
Sadikin
Somaatmadja,
M.Ismunadji,
Sumarno,
M.Syam, SO.Manurung dan
Yuswadi.
Puslitbangtan,
Bogor.
Ghulamahdi
M,
Rumawas
F,
Wiroatmodjo J, Koswara J.
1991. Pengaruh Pemupukan
Fospor
Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi
Kedelai (Glycine max (L.)
Merr) pada Budidaya Jenuh
Air.
Forum Pascasarjana.
14:25-34.
Ghulamahdi M et al. 2006. Aktivitas
Nitrogenase, serapan hara dan
pertumbuhan dua varietas
kedelai pada kondisi jenuh air
dan kering.
Bul. Aron.
(34)(1)32-38.
Ghulamahdi M. 2009.
Kedelai
Ditanam
Dengan
Sistem
Budidaya
Jenuh
Air.
http://bangkittani.com/litbang/k
edelai-ditanam-dengan-sistembudidaya-jenuh-air/ diakses 25
Mei 2011.
55
Gomez A, Gomez K. 1995. Prosedur
Statistik
Untuk
Penelitian
Pertanian.
Universitas
Indonesia. Jakarta.
Handayanto E, Cadisch G and Giller
KE. (1997) Regulating N
mineralization
from
plant
residues by manipulation of
quality. In Driven by Nature
Plant
Litter
Quality and
Decomposition, (Eds Cadisch,
G. and Giller, K.E.), pp. 175186. Department of Biological
Sciences,
Wey
College.,University of London,
UK.
Hanum C, Mugnisjah WQ, Yahya S,
Sopandy D, Idris K, dan Sahar
A. 2007. Pertumbuhan akar
kedelai
pada
cekaman
aluminium, kekeringan dan
cekaman ganda aluminium
dan kekeringan. Agritrop, 26
(1) : 13 – 18.
Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi
Tanah
dan
Pedogenesis.
Akademi Pressindo, Jakarta.
Hong-Bo S, Song Wei-Yi and Chu
Li-Ye, 2008.
Advances of
calcium signals involved in
plant anti-drought.
C. R.
Biologies 331 (2008) 587–596.
Leikawakabessy
FM.
1988.
Kesuburan
Tanah.
Departemen
Ilmu
Tanah,
Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Marschner H. 1995. Mineral Nutrition
of Higher Plants. Institute of
Plant Nutrition University of
Hohenhaim. Federal Republic
of Germany.
Mikanova O and Novakova 2002.
Evaluation of the Psolubilitizing
Activity of Soil Microorganism
and Its Sensitivity to Soluble
Phosphate. Rostlinna Vyroba
48:397-400.
Mulyani A. 2006. Potensi Lahan
Kering
Masam
untuk
Pengembangan
Pertanian.
Warta
Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian,
Vol. 28, No. 2.
Purwantoro, Kuswantoro H & Arsyad
DM. 2009. Identifikasi GalurGalur Harapan Kedelai Adaptif
Lahan
Kering
Masam.
Balitkabi, Malang.
Rohlini
dan
Soeprapto
Soekodarmodjo
1989.
Pengaruh pemberian bahan
organik, kapur dan errisulat
terhadap beberapa siat fisik
tanah
kaitannya
dengan
pertumbuhan tanaman pada
lahan kritis. Berkala Penelitian
UGM No.2(1B), Yogyakarta.
185-195.
Ruaysoongnern S and Keeratikasikorn P. 1996. Role of
Phosphorus Fertilization in
Improving Soil Fertility of Acid
Tropical and Subtropical Soils
in
Asia
In
NuIrient
Management for Sustainable
Food Production in Asia.
International Conference in
Asia, at December 9-12, 1996,
Bali, Indonesia. Agency for
Agricultural
Rese.dI
and
Development (AARD). Ministry
56
of
Agriculture-Republic
Indonesia. p.149-167.
of
Samira
H
Darouba,
Argyrios
Gerakisa, Joe T Ritchiea,
Dennis K Friesenb, John
Ryanc 2003. Development of
a
soil-plant
Phosphorus
simulation
model
for
calcareous and weathered
Tropical soils. Agricultural
Systems 76, 1157–1181.
Sanchez PA and Salinas JG. 1981.
Low
Input Technology for
Managing Oxisols and Ultisols
in Tropical America. Advance
in Agriculture 34:280-399.
Singh RK. and Chaudary BD. 1979.
Biometrical
methods
in
quantitative genetic analysis.
Kalyani Publishers. New Delhi.
304 p.
management on rice (Oryza
sativa) cultivated on an acid
sulfate soil. Malaysian Journal
of Soil Science Vol.11 : 1-16.
Suyamto dan Soegiyatni 2002.
Evaluasi Toleransi Galur-Galur
Kedelai Terhadap Kekeringan :
hlm
218-224.
Prosiding
Teknologi Inovatif Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbiumbian
Mendukung
Ketahanan
Pangan.
Puslitbangtan. Bogor.
Sopandie D. 2006.
Perspektif
Fisiologi
dalam
Pengembangan
Tanaman
Pangan di Lahan Marjinal.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap
Fisiologi Tanaman. Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Stanley CD, Kaspar TC and Taylor
HM. 1980. Soybean top and
root response to temporary
water tables impose at three
different stages of growth.
Agron. J. 72:341-346.
Subagyo H, Saharta N dan Siswanto
AB.
2000.
Tanah-tanah
pertanian di Indonesia. Dalam
Sumber Daya Lahan Indonesia
dan Pengelolaannya. Pusat
Penelitian
Tanah
dan
Agroklimat, Badan Litbang
Pertanian. Bogor. hlm. 21-65.
Suswanto T, Shamshuddin J, Syed
Omar SR, Peli Mat & Teh
CBS, 2007. Effects of lime
and fertiliser application in
combination
with
water
57
Download