1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air berperan penting dalam menopang kehidupan manusia. Air menjadi
kebutuhan pokok rumah tangga. Selain itu, air dapat dimanfaatkan dalam bidang
pertanian, perikanan, industri dan transportasi. Sumber air untuk memenuhi
kebutuhan tersebut didapat dari air hujan, air permukaan, maupun air tanah.
Selokan Mataram merupakan salah satu air permukaan yang dibangun pada
masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII dan Sri Sultan Hamengku
Buwana IX di era penjajahan Jepang. Pemerintah membangun Selokan Mataram
yang mendapatkan air dari Sungai Progo melalui Bendung Karangtalun yang
terletak di Kabupaten Kulonprogo dan berakhir di Sungai Opak yang terletak di
Kabupaten Sleman. Setelah Selokan Mataram dibangun, kebutuhan air masyarakat
Yogyakarta untuk pertanian, perkebunan dan perikanan tercukupi (Larasati, 2014).
Dewasa ini, telah berkembang luas pemukiman warga di dekat Selokan
Mataram. Hal tersebut menyebabkan Selokan Mataram menjadi tempat untuk
membuang limbah. Limbah tersebut berupa limbah domestik, air buangan laundry,
kotoran ternak, sisa makanan ternak, sisa pestisida pertanian yang berpotensi
mencemari air Selokan Mataram (Jannah, 2014). Pencemaran air tersebut dapat
diartikan sebagai suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air
seperti air permukaan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Perubahan ini
mengakibatkan menurunnya kualitas air hingga ke tingkat yang membahayakan,
sehingga air tidak bisa digunakan sesuai peruntukannya (Boyd,1990).
Sumber utama limbah yang mengandung deterjen berasal dari rumah tangga
atau pemukiman. Selain itu, buangan laundry ataupun tempat cuci motor mobil
yang semakin banyak di daerah Pogung, Kab. Sleman, Yogyakarta semakin
mencemari Selokan Mataram. Menurut Jannah (2014), nilai BOD, COD, NO2, NO3
air Selokan Mataram di Pogung tercatat lebih tinggi daripada air Selokan Mataram
di kawasan UGM dan UNY. Hal tersebut dapat disebabkan air limbah deterjen
lebih banyak pada Selokan Mataram di Pogung.
1
Deterjen dalam perairan sangat berbahaya bagi organisme akuatik,
meskipun konsentrasi deterjen kecil. Bahan dasar dalam deterjen, yaitu ABS atau
Alkyl Benzene Sulfonate, LAS atau Lauril Alkyl Sulfonate, dan CMC atau
Carboxymethyl Cellulose. Tingkat penguraian deterjen berbahan aktif ABS hingga
80-90% di alam yaitu, sekitar 25 hari, sedangkan LAS lebih cepat yaitu, 15 hari.
Penguraian ABS lebih lama dapat dikarenakan rantainya yang bercabang, sehingga
lebih sulit untuk diuraikan oleh mikroorganisme, sedangkan pada LAS berrantai
lurus (Manik dan Edward, 1987). Respon organisme akuatik terhadap deterjen
berbeda-beda tergantung dari kisaran toleransinya. Keracunan pada organisme akan
terjadi apabila masuknya suatu senyawa melebihi ambang batas baik yang
dibutuhkan oleh tubuh ataupun tidak, dapat mengakumulasi (bioakumulasi),
perubahan tingkah laku dan daya tahan dari respon adaptasi, tingkat reproduksi dan
distribusi hingga kematian (Connel dan Miller, 1995).
Tingkat pencemaran deterjen yang rendah dapat direhabilitasi oleh semua
komponen ekosistem akuatik. Akan tetapi, apabila konsentrasi deterjen sudah
melebihi kemampuan rehabilitasi di suatu perairan, maka kualitas ekosistem
tersebut akan mengalami penurunan karena pengaruh limbah deterjen dan
memperburuk kualitas air. Ekosistem yang mengalami penurunan dapat
diperbaharui dengan memberdayakan organisme pendegradasi bahan deterjen.
Salah satu organisme penurun kadar deterjen yang dapat digunakan adalah
hidromakrofita.
Hidromakrofita
seperti
Alternanthera
sessilis,
Commelina
nudiflora, Cyperus brevifolius, Eclipta prastrata. Ipomoea aquatica, Ludwigia
alternifolia, L. ascendens dan Marsilea crenata efektif menurunkan limbah
deterjen lebih dari 90% dari kadar deterjen awal, melalui perlakuan hidromakrofita
tersebut selama 15 hari (Ayu dkk., 2006), sedangkan menurut Purwanto (2009),
Pistia stratiotes mempunyai kemampuan untuk menurunkan kandungan surfaktan
deterjen lebih dari 90% dalam sampel air selama sembilan hari.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang
efektivitas Salvinia molesta dan Pistia stratiotes dalam menurunkan kadar limbah
deterjen berbahan aktif surfaktan anionik Alkil Benzena Sulfonat (ABS) pada skala
laboratorium.
2
B. Rumusan Permasalahan
Selokan Mataram dibangun pemerintah untuk memenuhi kebutuhan air di
bidang pertanian bagi masyarakat Yogyakarta. Namun dewasa ini, lingkungan di
sekitar selokan banyak berubah sebagai akibat meningkatnya aktivitas masyarakat
dalam penggunaan deterjen karena adanya kawasan usaha laundry dan cuci motormobil yang dapat menyebabkan perubahan kualitas maupun kuantitas perairan
(Jannah, 2014). Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menangani limbah
deterjen. Salah satu cara pengolahan limbah deterjen dengan menggunakan
organisme akuatik. Berdasarkan latar belakang yang telah ada, maka permasalahan
pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana efektivitas Salvinia molesta dan Pistia stratiotes dalam menurunkan
kadar limbah deterjen berbahan aktif surfaktan anionik Alkil Benzena Sulfonat
(ABS) pada skala laboratorium ?
2. Bagaimana efek deterjen berbahan aktif ABS terhadap kadar klorofil total pada
daun Salvinia molesta dan Pistia stratiotes ?.
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mempelajari efektivitas Salvinia molesta dan Pistia stratiotes dalam
menurunkan kadar limbah deterjen berbahan aktif surfaktan anionik Alkil
Benzena Sulfonat (ABS) pada skala laboratorium
2. Mempelajari efek deterjen berbahan aktif ABS terhadap kadar klorofil total
pada daun Salvinia molesta dan Pistia stratiotes.
D. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai
efektivitas Salvinia molesta dan Pistia stratiotes dalam menurunkan kadar limbah
deterjen berbahan aktif ABS pada skala laboratorium dan efeknya terhadap kadar
klorofil total pada daun Salvinia molesta dan Pistia stratiotes. Hal tersebut dapat
menambah nilai guna Salvinia molesta dan Pistia stratiotes sebagai kandidat
tanaman bioremediasi yang dapat menurunkan kadar limbah deterjen ABS.
3
Download