BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Produk fashion, seperti tas, jam tangan, topi, sepatu, pakaian, ikat pinggang dan lainnya merupakan aksesoris yang sering digunakan untuk mendukung penampilan sehari-hari. Telah banyak brand-brand yang memproduksi berbagai jenis produk fashion dengan berbagai keunikannya masing-masing dan pada tingkatan harga tertentu. Brand-brand mewah misalnya, memiliki benefits yang bermacam-macam sehingga mampu memunculkan keinginan untuk berasosisasi bagi konsumen, hal tersebut dikarenakan sebuah brand mampu memberikan identitas bagi konsumennya, begitu juga dengan mengonsumsi suatu brand tertentu yang mampu menunjukkan simbol status serta pencapaian. Brand-brand seperti Louis Vuitton, Gucci, Nike, Rolex dan sebagainya banyak diminati oleh para pecinta fashion. Akan tetapi, dengan tingkatan harga yang tinggi, tidak semua orang mampu membeli produk dari brand mewah tersebut. Produk KW muncul sebagai alternatif dari keberadaan luxury goods. Mulai dari regular brand, premium brand hingga luxury brand banyak ditemukan produk KW-nya. Perlu diketahui istilah produk KW merupakan sebuah istilah yang menunjukkan bahwa barang tersebut adalah barang palsu. Belum ada definisi yang secara resmi mendefinisikan mengenai produk KW ini. Namun, pada masyarakat Indonesia penggunaan istilah produk KW sudah sangat familiar pada istilah-istilah seperti replika, imitasi, kw ori, kw super, ori Thailand, ori Singapura dan sebagainya dimana semuanya mengarah pada produk palsu atau bajakan. Tingginya minat konsumen terhadap brand mewah seringkali berbenturan dengan kemampuan finansial, sehingga bagi individu yang tetap ingin mengasosiasikan dirinya terhadap produk mewah, produk KW menjadi alternatif. Namun, apakah hanya karena masalah harga yang lebih rendah hingga kemudian banyak orang yang memilih produk KW? Terdapat banyak produk lokal yang menjual produk dengan kualitas dan fungsi yang sama dan harga yang mungkin sama dengan harga produk KW, namun tetap saja masih banyak yang memilih mengonsumsi produk KW. Merebaknya produk KW khususnya di Indonesia tidak bisa dipungkiri telah menjadi fenomena tersendiri bagi dunia perdagangan. Mudahnya produk tersebut beredar menjadi masalah bagi perekonomian maupun sosial. Lemahnya hukum di Indonesia semakin memberikan angin segar bagi para pamasok barang ilegal tersebut. Menurut Masyarakat Anti Pemalsuan dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, produk fashion seperti aksesoris dan pakaian menjadi produk yang paling banyak dipalsukan atau dibuat versi KW di Indonesia selain tinta printer, produk farmasi serta software. Adanya individu yang memilih menggunakan produk KW, ada juga yang tidak atau bahkan anti untuk menggunakan produk KW. Seseorang dengan berbagai latar belakang memiliki kontrol tersendiri dalam memilih produk apa yang akan dikonsumsi. Selain kontrol diri seperti pemahaman terhadap suatu hal, seseorang dalam melakukan pembelian akan dipengaruhi oleh subyek lingkungan yang berinteraksi dengannya, mulai dari keluarga dan teman-temannya. Nilai, norma, peraturan yang ada melingkupi hidup seseorang dapat memengaruhi perilaku maupun sikapnya. Motif yang mendasari seseorang sangat beragam, seperti keinginan untuk terlihat lebih eksklusif di mata orang-orang di sekitar dan sebagai simbol pencapaian. Seperti yang sudah peneliti paparkan sebelumnya, konsumsi seseorang sedikit banyak akan terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Berkaitan dengan konsumsi produk KW yang notabene adalah produk ilegal, produk KW tidak diiklankan melalui media massa konvensional seperti radio, surat kabar maupun televisi. Namun, keberadaan produk KW telah diketahui secara luas. Dimana salah satu sumber yang memungkinkan adalah adanya peran word of mouth pada masayarakat. Peneliti merasa fenomena ini unik dan penting untuk meneliti pengaruh informasi dari interaksi orang-orang terdekat terhadap perilaku konsumen khususnya dalam menyikapi produk KW yang telah diketahui memiliki permintaan tinggi khususnya produk fashion, serta apa yang memengaruhi seseorang dalam mengonsumsi produk tersebut. Apakah akan tetap memengaruhi untuk membeli produk KW jika lingkungan disekitarnya khususnya orang-orang terdekat/informal reference group juga mengonsumsi produk KW? Informasi, persepsi, rekomendasi maupun saran dari orang terdekat individu apakah akan berpengaruh terhadap sikapnya pada produk KW? B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan pada latar belakang, permasalahan pada penelitian ini adalah untuk menjawab “bagaimana pengaruh informal reference group terhadap sikap pada produk KW fashion.” C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh yang ada pada informal reference group terhadap sikap pada produk KW fashion. 2. Mengetahui peran informal reference group dalam memengaruhi sikap seseorang pada produk KW fashion. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan bermanfaat bagi: a. Praktisi, sebagai salah satu referensi untuk mengetahui perilaku konsumen, sekaligus sebagai upaya memerangi minat mengonsumsi produk KW, sehingga dapat menguatkan loyalitas terhadap brand. b. Akademisi, sebagai landasan untuk melakukan riset audiens lebih lanjut pada bidang perilaku konsumen dan mencari solusi terkait komunikasi krisis pada suatu brand. E. Objek Penelitian Penelitian ini akan membahas mengenai sikap individu pada produk KW dalam menerima stimulus dari informal group. Sehingga lokus dari penelitian ini adalah riset audiens. Lebih lanjut, fokus dari penelitian ini adalah perilaku konsumen yang mendapatkan pengaruh dari informal reference group dimana pengaruhnya tersebut akan dilihat melalui sikap yang diambil oleh individu. F. Kerangka Teori 1. Perilaku konsumen Memahami mengenai perilaku konsumen bertujuan untuk mencari tau mengapa konsumen melakukan apa yang mereka lakukan. Schiffman dan Kanuk (2008:6) mengemukakan bahwa studi perilaku konsumen adalah suatu studi mengenai bagaimana seorang individu membuat keputusan untuk mengalokasikan sumber daya yang tersedia (waktu, uang, usaha, dan energi). Konsumen memiliki keragaman yang menarik untuk dipelajari karena ia meliputi seluruh individu dari berbagai usia, latar belakang budaya, pendidikan, dan keadaan sosial ekonomi lainnya. Terdapat adanya interaksi antara konsumen dan brand dalam pembuatan keputusan konsumen yang terdiri atas proses merasakan dan mengevaluasi informasi merek produk, mempertimbangkan bagaimana alternatif merek dapat memenuhi kebutuhan konsumen, dan pada akhirnya memutuskan produk dari brand apa yang akan dibeli. Perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh keadaan dan situasi lapisan masyarakat dimana ia tinggal. Hal tersebut menjadikan konsumen yang berasal dari lapisan masyarakat atau lingkungan berbeda akan mempunyai penilaian, kebutuhan, pendapat, sikap, dan selera yang berbeda-beda pula, sehingga pengambilan keputusan dalam tahap pembelian akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang memengaruhi perilaku konsumen menurut Kotler (2008:25) terdiri dari: a. Faktor kebudayaan. Faktor kebudayaan berpengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen. Faktor kebudayaan terdiri dari: budaya, subbudaya, kelas sosial. b. Faktor sosial. Faktor sosial dipengaruhi oleh kelompok acuan, keluarga serta status sosial. c. Faktor pribadi. Faktor pribadi yang memberikan kontribusi terhadap perilaku konsumen terdiri dari: usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan dan lingkungan ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri. d. Faktor psikologis. Pilihan pembelian seseorang dipengaruhi oleh empat faktor psikologis utama yaitu motivasi, persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan pendirian. Konsumen sebagai individu memiliki berbagai macam persepsi dalam melihat sebuah brand, selain itu persepsi tersebut bersifat subyektif. Persepsi yang dimiliki oleh seseorang sangat bergantung dengan isi memorinya, dimana masa lalu menjadi salah satu hal yang sangat memengaruhi persepsi seseorang. Namun, perlu diperhatikan bahwa persepsi secara substansial bisa jadi sangat berbeda dengan realitas. Hal tersebut dikarenakan persepsi tercipta karena adanya rangsangan serta sensasi yang ada pada pikiran seseorang sehingga membuat orang tersebut memberikan arti bagi setiap rangsangan yang ada. Dalam pengambilan keputusan untuk mengonsumsi suatu brand, konsumen dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan dan ditimbulkan oleh stimulus. Terlibat atau tidaknya seseorang bisa dikatakan apakah ia merasa penting atau tidak dalam pengambilan keputusan pembelian. Oleh karena itu, Mowen (2005) dalam Sutisna (2003:11) keterlibatan konsumen dibedakan menjadi dua yaitu konsumen dengan keterlibatan rendah atau low involvement dan konsumen dengan keterlibatan tinggi atau high involvement. Mereka yang termasuk dalam konsumen dengan keterlibatan tinggi akan sangat selektif dalam memilih produk pada brand tertentu, hal tersebut menyebabkan konsumen lebih banyak mencari informasi dan lebih hati-hati dalam mengambil keputusan. Sedangkan konsumen dengan keterlibatan rendah, mereka cenderung tidak memerhatikan brand apa yang harus dibeli, bagi konsumen brand apapun sebenarnya tidak menjadi masalah karena yang terpenting kepuasan minimalnya telah terpenuhi. 2. Fenomena produk KW di Indonesia Counterfeit product dalam bahasa Indonesia berarti produk palsu, dimana masyarakat Indonesia biasa menyebutnya dengan istilah produk “KW” yang merupakan singkatan lafal “kualitas”. Produk KW merupakan produk yang meniru brand resmi dengan menggunakan atribut yang sama seperti nama, bentuk, logo dan desain. Dalam persepsi pemilik brand, keberadaan produk KW ini merupakan pelanggaran terhadap value yang dimiliki oleh brand orisinal. Masih banyak masyarakat yang belum memahami mengenai produk yang mereka beli apakah asli atau palsu. Konsumen produk KW pun dibedakan menjadi dua yaitu konsumen yang tidak mengetahui produk tersebut KW dan konsumen yang secara sadar mengonsumsi produk KW (Grossmann and Shapiro, 1998; Nia and Zaichowski 2000:79). Masyarakat Indonesia sendiri sudah familiar dengan penyebutan produk-produk tiruan maupun produk palsu tersebut dengan sebutan “KW”. Banyak perbedaan penyebutan pada produk tiruan, mulai dari replika, kw ori, kw cina, kw super, ori Thailand dan sebagainya. Sedangkan produk KW yang berasal dari kata ‘kualitas’ digunakan oleh para pedagang dalam menentukan tingkatan kualitas suatu produk, akan tetapi karena produk KW adalah ilegal, penentuan kualitas pun tidak ada aturan pokok, sehingga ditentukan oleh para penjual. Pengertian definisi secara resmi mengenai produk KW juga belum tersedia, hal tersebut dikarenakan produk KW sendiri menjadi salah satu konotasi dalam penyebutan produk palsu. Namun, sejauh peneliti mencari pendefinisian produk KW, melalui berbagi situs di internet dan forum-forum diskusi online, produk KW adalah sebuah barang yang diproduksi sebagai tiruan, replika, atau imitasi dari barang lain. Barang KW ini bukan hanya diproduksi sebagai tiruan atau replika merek terkenal saja, tetapi juga untuk semua merek dan merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk produk palsu. Barang KW diproduksi tanpa menggunakan hak merek yang bersangkutan, para produsen membuatnya dengan cara seperti meniru. Banyak definisi yang menyebutkan mengenai counterfeit product/produk palsu. Salah satunya yang diungkapkan oleh Cordell (1996:42) counterfeit product merupakan apapun barang manufaktur yang memiliki karakter spesial dilindungi oleh hak kekayaan intelektual (trademark, hak paten, dan copyrights). Ini berarti, bahwa produk KW/palsu mencontoh atau mengimitasi produk yang telah dipatenkan dan memiliki merek dagang tanpa ijin dari manufaktur produk asli atau orisinal. Produk-produk KW terlihat sangat mirip hingga identik dengan produk asli. Hal tersebut termasuk packaging, labelling, dan trademarks yang secara disengaja terlihat mirip dengan produk asli. Pemalsuan produk hampir dapat ditemukan dalam produk apapun, mulai dari obat-obatan, produk elektronik, buku, makanan, tas, pakaian dan sebagainya. Brand yang telah memiliki pamor, seperti brand–brand produk mewah sangat menarik untuk dibuat produk palsunya atau KW. Kehadiran barang-barang KW jelas melanggar UU perdagangan dalam Pasal 90 – Pasal 94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dimana dalam UU tersebut diatur mengenai pelarangan tindakan pemalsuan merek. Begitu banyak produk-produk tiruan dijual dengan terang-terangan bahkan menjadi komoditas di pasar internasional. Barang-barang KW ini dijadikan pilihan oleh konsumennya dengan berbagai macam motif pertimbangan, tentu salah satunya adalah harga yang lebih murah. Meskipun barang tiruan, tidak jarang harga yang ditawarkan tetap relatif tinggi. Produk palsu di Indonesia meningkat hampir 1,5 kali lipat secara nominal dalam periode waktu 5 tahun. Hal tersebut diungkapkan oleh sebuah studi tahun 2014 yang dirilis oleh Masyarakat Anti Pemalsuan (MIAP) dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menurut hasil studi tersebut angka potensi kerugian negara akibat peredaran produk palsu mencapai Rp 65,1 triliun di 2014 dan melonjak dari Rp 43,2 triliun di tahun 2010. Produk fashion, perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan piranti elektronik menjadi produk-produk dengan barang tiruan terbanyak di Indonesia menurut hasil survei MIAP kepada Kementrian Perindustrian pada tahun 2014. Penjualan barang KW kini telah menjadi fenomena yang biasa, tingginya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap barang-barang premium turut meningkatkan minat masyarakat untuk mencari alternatif lain produk premium yang memiliki harga tinggi dengan produk KW yang memiliki harga lebih rendah, hal tersebut kemudian menjadikan permintaan terhadap produk KW semakin meningkat. Terlebih hukum di Indonesia masih terkesan kurang sigap dalam menangani kasus jual beli produk KW, sehingga semakin mempermudah masyarakat dalam mendapatkan produk tersebut. Sandang sebagai salah satu kebutuhan manusia yang harus dipenuhi menjadikan fashion tidak akan pernah terlepas dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Kebutuhan untuk berbusana tidak hanya semata-mata sebagai penutup tubuh saja, namun setiap pakaian serta aksesoris sebagai pelengkap dalam penampilan mampu mengomunikasikan mengenai identitas diri seseorang. Sehingga tidak mengherankan jika kebutuhan dalam pemenuhan fashion akan terus bergulir. Telah banyak brand yang menjual produk fashion, mulai dari pakaian, tas, sepatu, jam tangan, kaca ma brand internasional. Kebutuhan untuk tampil maksimal menjadikan permintaan produk fashion ini kian meningkat. Fungsional produk sebagai pelengkap busana, kemudian didukung dengan adanya kebutuhan emosional seperti asosiasi konsumen dengan merek mewah. Sebut saja luxury brand seperti Chanel, Gucci, Louis Vuitton, Nike, Rolex, Armany dan lainnya memiliki produk-produk fashion yang mampu menunjang konsumen dalam berbusana baik itu secara penampilan hingga menunjukkan kelas sosial tinggi. Negara berkembang seperti Indonesia, dengan hukum yang masih lemah dalam menanggapi fenomena produk KW, semakin membuka peluang besar untuk komoditi ilegal ini diperjual-belikan secara bebas. Produk fashion seperti pakaian dan aksesoris dengan bahan dasar kulit menjadi salah satu dari tujuh komoditi yang paling banyak dijumpai produk KW-nya menurut survei MIAP. 3. Word of mouth pada reference group terhadap preferensi individu Keberadaan produk KW tidak dipromosikan melalui media publik seperti televisi dan surat kabar karena sifat produknya yang ilegal. Meskipun begitu, produk KW mampu dikenal oleh masyarakat luas dan diminati oleh banyak orang. Kekuatan word of mouth menjadi salah satu faktor yang paling memungkinkan tersebarnya keberadaan produk KW ini dan memberikan tanggapan positif maupun negatif terhadap sikap individu pada counterfeit products (Mir 2011:51). Word of mouth menurut Arndt (1967:3) didefinisikan sebagai lisan, komunikasi antara satu orang dan orang lain antara penerima pesan dan komunikator yang menganggap sebagai bukan sebuah bentuk komersil dari suatu merek, produk maupun jasa. Word of mouth memungkinkan satu individu dan individu lainnya untuk bertukar informasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lan,M., dkk., (2012) ditemukan bahwa word of mouth memiliki peran signifikan dalam menemukan produk-produk palsu (counterfeit goods). Individu memiliki naluri alami untuk menceritakan pada orang lain mengenai suatu produk ataupun jasa yang telah dibeli. Baik itu mendiskusikan kebaikan atau keburukan suatu produk bersama teman ataupun keluarganya. Menggunakan logika pada teori word of mouth ini, suatu stimulus dalam hal ini informal reference group dengan berbagai tipe pengaruh yang dimilikinya dijadikan dalam menggambarkan proses pertukaran pesan/informasi kepada komunikan yaitu individu. Word of mouth merupakan suatu cara untuk mengurangi ketidakpastian, karena dengan bertanya kepada teman, tetangga, atau keluarga, informasinya lebih dapat dipercaya, sehingga akan mengurangi penelusuran dan evaluasi merek (Sutisna 2001:185). Reference group/kelompok acuan seperti yang disampaikan Solomon (2006:376) merupakan pemikiran aktual ataupun imajinasi individu atau grup yang memiliki relevansi tinggi terhadap evaluasi, aspirasi, serta perilaku. Reference group memengaruhi konsumen dalam tiga cara yaitu informational, utilitarian, dan value-expressive. Tipe pengaruh informational menurut Solomon (2006:377) seseorang mencari informasi mengenai berbagai macam brand pada orang-orang disekitarnya yang dianggap kompeten, ia juga mencari informasi dengan mencari tau pengalaman pembelian dan membandingkannya dengan brand lain. Informasi yang diberikan oleh reference group kepada individu terhadap suatu produk sangat berarti dalam proses pengambilan keputusan. Pembelian suatu produk yang dilakukan oleh seorang individu cenderung didasarkan pada opini orang lain. Hal tersebut biasa terjadi pada orang yang kurang mengetahui mengenai informasi mengenai kategori produk, khususnya dalam hal kualitas serta kredibilitas serta mencari tau apakah pembelian yang dilakukan sudah tepat atau belum. Bagi individu, opini orang lain menjadi penting karena digunakan sebagai teladan dalam menentukan sikap salah satunya adalah pembelian, terlebih ketika seseorang sangat minim pengetahuan terhadap produk yang akan dibeli tersebut. Tipe pengaruh utilitarian seperti yang disebutkan oleh Bearden dkk., (1989) dalam Mehdi Mourali (2005:165) mengatakan bahwa utilitarian tercermin sebagai upaya individu dalam memengaruhi orang lain untuk mendapatkan persetujuan atau menghindari penolakan. Pengaruh utilitarian ini menjadi suatu proses penyesuaian individu pada lingkungan di sekitarnya. Dengan melakukan penyesuaian, individu berharap diterima dalam kelompok tersebut dengan mematuhi setiap perilaku, nilai dan norma sosial. Kelman (1958) dalam Mourali dkk., (2005) mengatakan the person, therefore adopts group norms, value, and behaviors not out if genuine conviction of their worth, but because they are instrumental in producing a desired social outcome. Utilitarian influence is most likely to take place when the person’s behavior is visible to the influencer. Melalui pengaruh utilitarian ini, seorang individu untuk memuaskan harapan kelompok atau grup, mereka mengonsumsi brand yang sama dengan orang disekitarnya. Keputusan dalam memilih brand juga dipengaruhi oleh saran yang diberikan orang-orang yang memiliki interaksi sosial dengannya. Pengaruh self-expressive terjadi ketika individu menggunakan norma, nilai dan perilaku orang lain sebagai teladan ia dalam bertindak dan berperilaku, (Mourali dkk., 2005; Roche, 2005:164). Value expressive dilakukan melalui proses identifikasi, dimana proses identifikasi ini terjadi ketika individu mengadopsi sikap dan perilaku sehingga dapat berasosiasi antara definisi diri dengan orang lain atau grup, (Kelman, 1958; Roche, 2005:164). Solomon dkk., (2006:377) menyebutkan pengaruh self-expressive menjadikan individu merasa pembelian atau penggunaan brand tertentu dapat meningkatkan citra diri mereka di mata orang lain. Individu merasa bahwa brand tertentu memiliki karakteristik yang mereka inginkan. Individu juga merasa orang-orang yang membeli brand tertentu akan dikagumi atau dihormati oleh orang lain. Selain itu iklan yang ditampilkan oleh brand cenderung memengaruhi individu untuk dapat terlihat seperti figur yang ada pada iklan. Manusia sebagai makhluk sosial, dengan kebutuhannya untuk berinteraksi dengan orang lain, seorang individu pasti masuk dalam kelompok tertentu. Schiffman dan Kanuk (2006:295) menyebutkan reference group adalah setiap orang atau kelompok yang dianggap sebagai dasar perbandingan atau rujukan bagi seseorang dalam membentuk nilai-nilai dan sikap umum atau khusus bagi perilaku. Sehingga, reference group bisa dikatakan sebagai kelompok sosial yang menjadi ukuran seseorang untuk membentuk kepribadian dan perilakunya. Masing-masing kelompok memiliki shared meaning yang diikuti oleh anggotanya, begitupun dengan norma, nilai, persepsi yang dapat membantu membentuk sikap seseorang. Sebagai bagian dalam kelompok tertentu, individu akan terpapar berbagai macam tekanan sosial dari lingkungan sekitarnya melalui proses komunikasi. Hal tersebut secara tidak langsung dapat memengaruhi bagaimana individu bertindak dan berperilaku. Misalnya, ketika orang-orang disekitar seseorang merupakan kelompok yang memiliki lingkungan kelompok orang yang peduli akan kesehatan, banyak anggota kelompok tersebut yang memiliki profesi di bidang kesehatan. Paparan mengenai informasi atau pesan hidup sehat secara langsung maupun tidak akan berpengaruh pada gaya hidup individu tersebut, sehingga ia juga akan cenderung bersikap untuk menjaga kesehatan seperti yang orang dilakukan ataupun disarankan oleh lingkungan sekitarnya. Memiliki pengaruh yang kuat, Solomon dkk., (2006:377) mengatakan “some groups and individuals exert a greater influence than others and affect a broader range of consumption decision”. Kuatnya pengaruh terjadi dalam dua tipe pengaruh yaitu normatif dan komparatif. Tipe normatif menjelaskan bahwa kelompok referensi membantu untuk membentuk dan menguatkan dasar-dasar berperilaku. Sedangkan komparatif mengacu pada nilai atau norma yang spesifik sebagai dasar perbandingan individu terhadap suatu hal, misalnya seseorang melihat orang lain yang berpenampilan lebih menarik dari dirinya sehingga kemudian menjadikan orang tersebut role model dalam berpenampilan. 4. Korelasi informal group reference terhadap sikap Bourne (1957) menyebutkan bahwa reference group merupakan kelompok yang perspektifnya digunakan oleh individu dalam membentuk values, beliefs, attitudes, opinions dan overt behaviours. Lebih lanjut ia melanjutkan, individu mempertimbangkan kelompok ini sebagai ‘point of reference’ ketika mengevaluasi bagaimana seorang melihat keberadaan dirinya dirinya di dunia. Berbagai penelitian telah menyebutkan bahwa adanya relevansi pada pengaruh sosial dan reference group terhadap sikap dan pembuatan keputusan khususnya pada konteks perilaku konsumen (Asch, 1951; Bearden and Etzel, 1982; Bond and Smith, 1996; Bourne, 1957; Burnkrant and Cousineau, 1975; Fitzgerald and Arndt, 2002; Sherif, 1935; Witt,1970; Hammerld dkk., 2014:34) Sebagian besar pada penelitian tersebut menganalisis normatif dan pengaruh informasi pada reference group seperti teman sebaya, keluarga dan para ahli. Sebuah kelompok sosial memiliki posisi dalam memengaruhi perilaku dan sikap anggotanya. Dikarenakan sikap dan perilaku dikomunikasikan dan dipelajari melalui orang lain. Individu dipengaruhi oleh orang lain, disamping itu individu juga memungkinkan untuk memengaruhi orang lain dan terlebih pada teman-temannya, (Festinger, Leon., dkk., 1954:4). Begitu juga dengan keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan anggota keluarga dalam kehidupan pembeli (Kotler, 2009:170-171). Secara alamiah, grup menurut James H. Leigh dan Terrance G.Gabel dalam Matin (2008:79) menjelaskan bahwa grup akan memengaruhi kebiasaan anggotanyan jika mereka memiliki nilai dan norma yang sama, sering terjadi interaksi dan membuat kesempatan lebih untuk memengaruhi yang lainnya serta distinctive dan exclusive. Pada reference group terdapat beberapa bentuk kelompok yaitu formal dan informal. Grup formal memiliki ciri khas adanya struktur yang mengatur anggotanya. Selain itu keanggotaan dari formal grup bersifat secara tertulis dan terdaftar secara resmi. Pada perspektif komunikasi, grup formal menggunakan jalur komunikasi formal seperti komunikasi yang terjadi antara seorang atasan memberikan tugas kepada bawahannya. Sedangkan grup informal menggunakan jalur komunikasi informal seperti ‘grapevine’ atau ‘slentingan’ yang terjadi di antara anggotanya dimana interaksi tersebut didasarkan pada karakteristik personal dan status (Dainty, 2006:77). Formal grup juga memiliki spesial kriteria keanggotaan tertentu (Solomon dkk., 2006:378). Grup formal terbentuk dengan didasarkan pada penyempurnaan pada suatu organisasi dan berorientasi pada tugas, serta terkoordinasi pada aktivitas kerja dan struktur organisasi (Brooks, 2005:89). Lebih lanjut, Brooks menyampaikan bahwa goals are identified and developed by management, and rules, relationship and norms of behaviour are established. Kontras dengan grup formal, grup informal tidak memiliki struktur maupun kriteria keanggotaan tertentu. Grup informal terbentuk sebagai hasil interaksi terus menerus dalam kehidupan sehari-hari individu. Teman sepermainan, keluarga, kelompok penyuka drama korea dan sebagainya termasuk dalam grup informal. Selain itu, grup informal terbentuk karena memiliki ketertarikan yang sama serta interaksi yang terus terjadi. Grup informal juga cenderung memengaruhi seleksi produk, proses informasi, perubahan sikap dan perilaku belanja ((Bearden et al., 1989; Childers and Rao, 1992; Lachance et al., 2003; Makgosa 2007:66). Dalam grup informal, individu saling berinteraksi pada level personal, hal tersebut yang membuat hubungan pada grup informal dapat terjalin dalam jangka waktu yang lama, sehingga bukan sekedar hubungan sementara. Teman dekat, keluarga dan orang-orang terdekat individu secara personal cenderung mampu memberikan banyak pengaruh terhadap sikap individu, termasuk dalam keputusan pembelian (Solomon dkk., 2006:378). Grup memenuhi kebutuhan individu terhadap rasa aman, kebutuhan afiliasi sosial, pemenuhan ego serta pemenuhan aktualisasi diri serta berbagai kebutuhan yang sama dengan anggota lainnya. Khususnya pada grup informal, pemenuhan pada kebutuhankebutuhan tersebut dapat terpenuhi (Mukherjee, 2005: 131) Perilaku konsumen dipengaruhi tidak hanya oleh personaliti individu dan motivasi namun juga dengan ikatan yang ada pada keluarga. Kuatnya hubungan yang ada pada keluarga menjadikan pengaruh antar anggotanya kuat terlebih dalam membuat keputusan (Matin 2006:68). Consumer socialisation (Matin, 2006:70) merupakan proses yang membuat anak muda memperoleh kemampuan, pengetahuan dan sikap yang relevan pada fungsi mereka sebagai konsumen, dimana agen sosialisasi tersebut seperti media, anggota keluarga, teman sebaya serta guru. Keluarga sebagai salah satu anggota pada grup informal sekaligus agen sosialisasi memiliki peran yang dapat memengaruhi individu dalam menilai suatu produk. Hal tersebut dikarenakan interaksi yang terjadi di dalamnya, dimana di dalam keluarga dapat mengembangkan selera, preferensi, gaya berbelanja, pemilihan pakaian yang dipakai, selain itu juga seberapa banyak uang yang dihabiskan, dimana untuk membeli dan apa yang harus dikenakan pada acara tertentu (Matin, 2006:70). Teman-teman individu yang juga merupakan bagian dari grup informal, ditemukan bahwa pengaruhnya akan memberikan dampak pada beberapa produk lebih dari yang lainnya, dan dapat dikatakan teman-teman memegang peranan penting daripada pengaruh dari orang tua atau keluarga serta televisi khususnya pada remaja kecenderungan terhadap pemilihan merek dalam pembelian pakaian (Lanhance et al., 2003; Makgosa 2007:65). Pada penelitian ini akan berfokus pada informal reference group dimana akan melihat bagaimana lingkungan individu khususnya orang-orang terdekat yang sering berinteraksi secara personal memiliki kecenderungan yang besar dalam memengaruhi konsumen. Pada kaitannya dengan mengonsumsi produk KW, penelitian ini ingin melihat bagaimana lingkungan sekitar dan orangorang terdekat memiliki pengaruh dalam membuat individu dalam menyikapi konsumsi produk KW khusunya produk fashion. 5. S-O-R theory Sebelum teori S-O-R ini berkembang, terlebih dulu terdapat teori bernama S-R yaitu stimulus (S) dan respon (R). Teori S-R menggunakan komponen stimulus dan respon, sehingga akan diperoleh timbal balik atau respon sesuai dengan stimulus yang diberikan. Pada teori S-R pemberi stimulus mengabaikan atau bahkan meniadakan kemungkinan penolakan dari objek yang menerima stimulus. Efek tersebut hingga saat ini dikenal sebagai the magic bullet effect dan hypodermic needle effect (Katherine Miller, 2002:237). Dengan mengabaikannya faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, sehingga menganggap apa yang akan didapatkan sesuai pesan yang disampaikan, teori ini dapat dikatakan sebagai proses komunikasi satu arah. Teori komunikasi semakin berkembang dengan proses komunikasi yang tidak hanya satu arah, akan tetapi menjadi dua arah. Melalui komunikasi dua arah, pemberi pesan mengharapkan adanya respon atau timbal balik yang diberikan oleh penerima pesan. Dalam teori S-O-R (stimulus-organismresponse) elemen O (organism) telah diperhatikan. Menurut Rokeach, dalam Katherine Miller (2002:238) terdapat elemen organism yang menengahi antara stimulus (S) dan response (R) sehingga terbentuklah teori S-O-R. Teori ini melihat bahwa pesan yang disampaikan akan menghasilkan respon yang bervariasi dari individu yang menerimanya. Sebagai proses aksi-reaksi yang sederhana, teori S-O-R menurut Aubrey Fisher (1986:194) stimulus (S) atau rangsangan dapat didefinisikan sebagai penangkapan objek lingkungan oleh alat indera yang diubah menjadi sensasi, yakni ragam atau pola tertentu yang memiliki sifat visual, pendengaran, rabaan atau ras. Organism (O) yang merupakan komunikan berfungsi sebagai pihak yang menerima pesan dalam proses komunikasi. Response (R) sebagai efek yang muncul merupakan reaksi yang bersifat khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Respon tersebut dapat berupa perubahan sikap, maupun cara pandang terhadap suatu hal. Elemen organism (O) sebagai elemen antara stimulus dan respon, sangat peduli dan memerhatikan seluruh faktor yang dapat memengaruhi organism tersebut. Menurut DeFleur & Ball-Rokeach dalam Katherine Miller (2002:238) terdapat beberapa hal yang dapat memengaruhi organism sehingga memengaruhi respon yang dihasilkan. Hal yang pertama adalah individual difference dimana masyarakat merupakan kumpulan berbagai macam kepribadian, latar belakang dan cara berpikir. Kedua adalah social categories with subcultures, yang menyebutkan bahwa pesan dapat dibuat dengan khusus untuk sub-kebudayan tertentu. Serta social relationship dimana hubungan sosial tiap individu berbeda satu dengan lainnya. Maka dari itu latar belakang, perbedaan kebudayaan dan hubungan sosial antar individu sangat memengaruhi kualitas respon dari setiap individu. Gambar 1.1 Model S-O-R ORGANISM STIMULUS Perhatian Pengertian Penerimaan Model teori S-O-R (Effendy, 1993:255) RESPONSE Sesuai gambar diatas menunjukkan bahwa stimulus yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan berupa informasi maupun pesan melalui kelompok informal mungkin saja diterima dan mungkin juga terjadi penolakan. Dalam tahapan berikutnya bila penerima pesan menerima stimulus yang disampaikan maka akan memperhatikan. Proses selanjutnya, penerima pesan akan mengerti pesan apa yang disampaikan dan proses akhir adalah kesediaan dari komunikan untuk mengubah sikap yang menandakan keberhasilan dalam proses komunikasi (Effendy, 1993:256). 6. Sikap sebagai respon pengaruh pembentukan opini Sikap merupakan kecenderungan untuk memberikan reaksi yang menyenangkan atau netral terhadap suatu objek atau sebuah kumpulan objek. Sikap relatif menetap, berbagai bidang studi menunjukkan bahwa sikap kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan (Rakhmat, 2002:39). Setiap individu memiliki banyak sikap, dan terkadang tidak mengetahui bagaimana bisa individu memiliki sikap tersebut. Sikap dapat terbangun melalui berbagai cara tergantung dengan hirarki efek yang dioperasikan (Solomon, 2006:138). Sikap memiliki tiga komponen yaitu cognitive, affective dan behaviour. Cognitive merupakan komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikapnya. Melalui pengetahuan ini kemudian dapat membentuk suatu keyakinan tertentu terhadap objek sikapnya. Pengetahuan yang dimiliki seorang mengenai produk KW, akan merujuk pada cara berpikir sehingga ia akan dapat menentukan sikapnya. Affective merupakan cara konsumen merasakan tentang suatu hal. Afektif merupakan reaksi emosional mengenai objek sikapnya (Solomon, 2006:140). Dengan reaksi emosional yang dimiliki, seorang akan berbedabeda dalam memikirkan suatu hal khususnya pada penelitian ini adalah produk KW, nilai dan kepercayaan yang ada pada dirinya menjadi hal dibalik terbentuknya sikap. Behaviour, komponen behaviour ini mengacu pada cara seorang berperilaku terhadap suatu obyek sikap. Terbentuknya perilaku didasarkan pada proses belajar yang dilakukan oleh individu. Dalam mengonsumsi suatu produk, perilaku konsumen didorong oleh pengalamannya mengenai baik atau burunya suatu produk, Solomon (2006:169). Setiap konsumen memiliki kemampuan untuk menentukan sikapnya terhadap suatu produk tertentu, karena memiliki saringan untuk mengontrol setiap langkah yang akan dilakukan seperti perhatian, penerimaan dan pengertian. Informal reference group sebagai salah satu elemen pemberi stimulus pada individu, dengan kontrol organism yang dimiliki akan membantu membentuk opini terhadap pesan yang diberikan oleh stimulus, yang kemudian akan menentukan lebih jauh tindakan apa yang akan dilakukan. Intinya sikap individu senantiasa disesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan sekaligus menjadi lebih nyaman dalam berinteraksi dengan lingkungan maupun orang-orang disekitar. G. Kerangka Konsep Wimmer dan Domminick (1997) dalam Prajarto (2010:50) mengartikan konsep sebagai sebuah istilah untuk menyatakan ide yang abstrak dengan mengeneralisasikan hal-hal khusus dan kemudian memformulasikan hal-hal yang relevan. Dua alasan tentang pentingnya konsep menurut mereka adalah konsep menyederhanakan proses penelitian dengan mengombinasikan karakter-karakter khusus, objek-objek dan individu-individu yang lebih umum serta konsep memudahkan komunikasi antarpeneliti melalui pengorganisasian observasi menjadi rangkuman bermakna yang dapat dilakukan bersama-sama. Pada penelitian ini, peneliti akan memaparkan mengenai pengaruh referensi grup informal terhadap sikap individu pada produk kw fashion. Konsep referensi grup informal merupakan cara melihat individu sebagai makhluk sosial yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat tertentu, tentulah setiap sikap serta perilakunya akan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, terlebih dengan orang-orang terdekat yang berinteraksi secara personal. Kemampuan seorang untuk beradaptasi dengan lingkungannya, didasarkan pada kebutuhannya untuk dapat diterima dan menghindari penolakan. Pengaruh yang diberikan oleh grup informal dilihat melalui tiga cara yaitu informational, utilitarian, dan self-expressive. Ketiganya merupakan stimulus/rangsangan yang akan mengenai objek pada kaitannya dalam menyikapi produk kw fashion. Konsep attitude/sikap merupakan konsep yang merujuk pada respon individu terhadap stimulus yang telah diberikan. Sikap menjadi bentuk respon yang diberikan melalui korelasinya terhadap stimulus yang diberikan oleh kelompok informal. Melalui sikap akan diketahui apakah referensi kelompok acuan dan sikap individu pada produk KW memiliki pengaruh atau tidak. Konsep sikap akan dilihat melalui tiga dimensi yaitu cognitive, affective dan behaviour. Gambar 1.2 Kerangka konsep STIMULUS ORGANISM RESPONSE Informal group reference: • Perhatian (X1,1) • Pengertian (X1,2) • Penerimaan (X1,3) Attitude • Informational (X2,1) • Utilitarian (X2,2) • Self-expresssive (X2,3) • Cognitive (Y1) • Affective (Y2) • Behaviour (Y3) Skema diatas menunjukan ada tiga variabel dalam penelitian ini. Variabel yang pertama adalah informal group reference yang merupakan variabel independen dalam penelitian ini. Variabel kedua adalah organisme yang merupakan variabel intervening. Kemudian variabel dependennya adalah sikap individu dari produk yang diteliti. Untuk memperjelas mengenai variabel yang akan diteliti, lebih lanjut akan dijelaskan pada definisi operasional konsep Operasional Konsep No Konsep Variabel Dimensi Item Skala 1 Informal group reference Informational - Pemberian informasi - Pemberian saran - Pemenuhan harapan - Pemberian penghargaan - Citra diri Interval Interval Interval Interval Interval Affective - Perhatian selektif - Perhatian terbagi - Perhatian terus-menerus - Minat - Pengalaman - Penerimaan positif - Penerimaan negatif - Belief - Thought - Attribute - Feelings Interval Interval Interval Interval Interval Interval Interval Interval Interval Interval Interval Behaviour - Experience Interval Stimulus Utilitarian Self-expressive 2 Organism Perhatian, pengertian penerimaan audiens dan Perhatian Pengertian Penerimaan 3 Response Attitude pada produk KW Cognitive H. Definisi Operasional Definisi operasional merupakan petunjuk atau cara agar suatu variabel dapat diukur. Bentuk uraian dari definisi operasional mencakup pemahaman tentang variabel, cara mengukur dan makna pengukurannya. Dengan menggunakan pedoman ilmiah yang tergambar dalam definisi operasional diharapkan hasil antarpenelitian yang dilakukan dapat sama atau setidaknya sama (Prajarto 2010:87). Berikut adalah definisi operasional variabel untuk masing-masing variabel serta indikatornya sebagai berikut : 1. Dimensi informal reference group Informal reference group merupakan variabel bebas dalam penelitian ini. Variabel bebas adalah variabel yang memengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2006:33). Berikut variabel bebas (X2) dalam penelitian ini terdapat tiga item yaitu: a. informational (X2,1) Merupakan informasi yang diberikan oleh informal reference group, pengetahuan, saran maupun opini orang lain yang relevan dapat memengaruhi sikap seorang terhadap suatu hal. Hal ini diukur dengan indikator: (1) Pemberian informasi. Setiap orang dengan informasi yang dimilikinya, mampu memberikan pengaruh bagi orang lain. Hal tersebut dikarenakan individu memiliki pengetahuan yang orang lain tidak memiliki dan keinginan untuk mengetahui, (Solomon dkk., 2006:377). Dengan informasi yang dimiliki, seorang mampu memberikan pengaruh pada opini orang lain, yang kemudian dapat berimbas pada preferensi perilaku, dalam hal ini preferensi brand juga dapat dipengaruhi. Informasi tersebut dijadikan asumsi untuk memperkuat bahwa tindakan dan perilakunya sudah benar. Pada pengaruh informational termasuk pada konten pesan, kredibilitas sumber dan kepercayaan pada grup referensinya (Grimm et al., 1999; Makgosa, 2007:65). (2) Pemberian saran. Informational menjadikan individu harus peduli ataupun menyadari akan pengetahuan ataupun informasi, dimana saran atas informasi dan pengetahuan tersebut didapatkan dari grup referensinya. Baik itu melalui komunikasi langsung ataupun tidak langsung, individu sebagai anggota dari grup belajar mengenai norma dan nilai pada grup informalnya (Stafford 1966:66). Saran seperti pemberian referensi sangat berguna dalam strategi marketing communication karena individu memungkinkan secara sukarela mau merubah perilakunya melalui pesan/informasi yang hanya untuk menyenangkan ataupun menyamakan dengan kelompok referensinya. Hal tersebut dijadikan sebagai panduan dalam preferensi mengonsumsi produk serta brand tertentu. b. utilitarian (X2,2) Merupakan pesan yang membuat individu menginginkan untuk diterima pada lingkungan kelompok tertentu, sehingga perilaku yang dilakukan cenderung mengikuti kondisi informal reference group. Pengaruh utilitarian adalah ketika individu patuh dengan preferensi ataupun harapan pada orang lain untuk menghindari hukuman sehingga mendapatkan penghargaan (Bearden and Etzel, 1982; Park and Lessig, 1977; Makgosa, 2007:66). Hal ini diukur dengan indikator: (1) Pemenuhan harapan. Sebagai upaya individu menyesuaikan diri dengan kelompoknya, cenderung akan mengikuti harapan-harapan yang diberikan pada kelompok referensi, seperti pada pemilihan produk dan merek tertentu, disamping mengikuti nilai serta norma yang melekat pada kelompok (Solomon, 2006:351). (2) Penghargaan. Merupakan kemampuan seorang atau kelompok dalam memengaruhi perilaku orang lain dengan menyediakan atau mereka suatu hal yang ingin didapatkan (Bearden and Etzel, 1982:184). Salah satu penghargaan tersebut berupa penerimaan sosial, hal ini sebagai hasil pertukaran perilaku pembelian brand tertentu pada seseorang, dimana brand tersebut sesuai dengan harapan anggota kelompok (Solomon dkk., 2006:378). c. self-expressive (X2,3) Merupakan pesan yang pengaruhnya pada individu merasa pembelian atau penggunaan produk dan brand tertentu dapat meningkatkan citranya dimata orang lain. Hal tersebut diukur dengan indikator: (1) Citra diri. Mengacu pada bagaimana diri dilihat oleh diri sendiri maupun orang lain.Individu merasa bahwa pembelian ataupun pemakaian merek tertentu akan memengaruhi citra dirinya terhadap orang lain, merek dan produk memiliki karakter seperti yang ingin dimiliki oleh individu, adanya perasaan dikagumi oleh orang lain jika ia menggunakan merek tertentu (Solomon dkk., 2006:351). 2. Dimensi perhatian, pengertian dan penerimaan individu Pada penelitian ini, perhatian, pengertian dan penerimaan individu merupakan variabel intervening. Variabel intervening merupakan variabel yang mendahului terjadinya hubungan antara variabel dependen dan independen. Variabel intervening mampu memediasi hubungan antara variabel independen dan dependen. a. perhatian atau atensi (X1,1) Merupakan cara individu secara aktif memproses sejumlah informasi yang terbatas dari sejumlah besar informasi yang disediakan oleh indra, memori yang tersimpan dan proses kognitif yang lain (Robert J.Sternberg, 2008:124). Perhatian atau atensi ini diukur menggunakan tiga indikator yaitu: (1) Perhatian selektif, merupakan situasi dimana individu memantau beberapa sumber informasi, dan memilih mana yang paling penting dan mengabaikan yang lainnya (Groover, 2005:76). (2) Perhatian terbagi terjadi ketika penerima informasi diharuskan menerima informasi dari berbagai sumber dan melakukan beberapa jenis pekerjaan sekaligus (Groover, 2005:76). (3) Perhatian terus menerus, merupakan situasi dimana seorang diberikan input namun harus fokus pada satu input saja selama selang waktu tertentu. Faktor yang terpengaruh pada jenis perhatian ini adalah jarak dan arah serta gangguan lingkungan sekitar penerima informasi, dan akan lebih mudah menangkap informasi jika berhadapan langsung (Groover 2005:76) b. pengertian (X1,2) Merupakan tahap disaat responden mencoba memahami stimulus yang diterima. Pengertian ini dapat terjadi bila responden memberikan perhatian pada stimulus tersebut. Pengertian pada penelitian ini akan diukur dengan indikator: (1) Minat merupakan kecenderungan dalam diri individu untuk tertarik pada suatu obyek, ditandai dengan adanya rasa senang atau tertarik (Suryobroto, 1988:109). (2) Pengalaman, ketika individu berinteraksi dengan produk, menguji dan mengevaluasi baik itu secara langsung maupun tidak (Hoch, 1986). c. Penerimaan (X1,3) Merupakan tahap responden mengambil kesimpulan kepada stimulus yang diberikan. Hal ini akan diukur dengan indikator (1) Penerimaan positif, merupakan tanggapan positif atau menyetujui oleh individu terhadap berbagai respon yang diberikan, sehingga semakin memperkuat pesan. dan (2) Penerimaan negatif tanggapan yang cenderung menolak terhadap pesan yang diberikan. 3. Dimensi Sikap Pada penelitian ini sikap merupakan variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena variabel bebas. Terdapat tiga item pada variabel terikat ini, yaitu: a. cognitive (Y1) Merupakan komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikapnya. Hal ini diukur dengan indikator: (1) Belief, suatu sikap yang ditunjukan bagaimana seorang memercayai atau meyakini dalam menyimpulkan suatu informasi (Gergen, 1986:176). (2) Thought, suatu sikap dengan menggunakan daya berpikirnya dalam menentukan tindakan maupun perilaku (Gergen, 1986:176). (3) Attribute, sikap yang didasarkan pada pemahamannya terhadap keunggulan yang dimiliki oleh produk tertentu (Mowen, 1999:312). b. affective (Y2) Merupakan reaksi emosional seorang terhadap obyek sikapnya. Hal ini diukur dengan indikator: (1) Feelings, sikap yang didasarkan pada perasaan individu terhadap produk maupun merek dan sifatnya evaluatif (Schwarz, 2001:437). c. behaviour (Y3) Merupakan cara seorang untuk berperilaku terhadap suatu obyek sikapnya. Hal ini diukur dengan indikator: (1) Experience, pengalaman yang dimiliki oleh individu terhadap produk ataupun merek tertentu tentang baik buruk sehingga dijadikan sebagai pertimbangan dalam berperilaku dan menyikapi suatu produk (Solomon 2006:169). I. Hipotesis Dari kerangka konsep yang telah dipaparkan diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah: Ho : Informal reference group tidak memiliki hubungan korelasional dengan sikap seseorang pada produk KW fashion. Ha : Informal reference group memiliki hubungan korelasional dengan sikap seseorang pada produk KW fashion. J. Metodologi 1. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang menggunakan metode survei. Penelitian ini akan menjawab permasalahan pengaruh informal reference group terhadap sikap pada produk KW fashion. Metode survei dianggap sebagai metode yang tepat dalam menggali relasi pada pengaruh perilaku orang terdekat disekitar dan sikap yang diambil oleh individu terhadap suatu hal yaitu produk KW fashion. Penelitian survei mengkaji populasi (universe) yang besar maupuun kecil dengan menyeleksi serta mengaji sampel yang dipilih dari populasi itu, untuk menemukan insidensi, distribusi, dan interelasi relatif dari variabel-variabel (Fred N.Kerlinger, 2004:660) Asmadi Alsa (2004:20) mengemukakan rancangan survei merupakan prosedur dimana peneliti melaksanakan survei atau memberikan angket atau skala pada satu sampel untuk mendeskripsikan sikap, opini, perilaku, atau karakteristik responden. Dari hasil survei ini, peneliti membuat claim tentang kecenderungan yang ada dalam populasi. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yaitu variabel independen, dependen dan intervening. Variabel yang pertama adalah informal group reference yang merupakan variabel independen dalam penelitian ini. Variabel kedua adalah organisme yang merupakan variabel intervening. Kemudian variabel dependennya adalah sikap individu terhadap produk KW fashion. 2. Populasi dan Sampel Populasi merupakan keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang ingin diteliti. Penelitian ini tidak akan menggunakan seluruh pengguna produk KW fashion di Indonesia menjadi populasi penelitian, mengingat terlalu besarnya populasi. Selain itu untuk juga mempertimbangkan efektifitas waktu, biaya serta tenaga, populasi dalam penelitian ini akan dibatasi. Pembatasan juga dilakukan pada rentang usia responden serta latar belakang pendidikan, yaitu rentang umur 19-24 tahun dan merupakan pelajar atau mahasiswa. Pembatasan selanjutnya adalah lokasi penelitian, dimana akan di lakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jumlah populasi mahasiswa S1 menurut data penduduk Yogyakarta tahun 2013 berjumlah 127.082 baik itu lakilaki maupun perempuan. Mereka yang masuk dalam rentang umur 19-24 tahun tergolong usia dewasa muda. Hurlock (2002:20) kemampuan mental mencapai puncaknya dalam usia 20 tahun untuk mempelajari dan menyesuaikan diri pada situasi-situasi baru misalnya mengingat hal yang pernah dipelajari, penalaran analogis dan berfikir kreatif. Selain itu ketika remaja memasuki usia dewasa muda, individu akan berinteraksi dengan masyarakat dewasa dan terdapat perbedaan intelektual yang mencolok, sehingga akan mendorong adanya perubahan perilaku maupun sikap. Hurlock melanjutkan, beberapa karakteristik dewasa awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya. Berdasarakan pertimbangan diatas, peneliti menilai usia dewasa awal yaitu pada rentang 19-24 tahun sesuai untuk dijadikan populasi penelitian karena pada rentang usia ini individu telah menunjukkan kemampuannya dalam berinteraksi menerima berbagai stimulus dari orang-orang disekitar hingga menentukan sikapnya. Hal ini sesuai dengan fokus penelitian dimana individu menentukan sikapnya atas stimulus yang diberikan oleh orang-orang terdekat disekitarnya, khususnya pada produk KW fashion. Sampel menurut Prajarto (2010:93) merupakan bagian dari populasi yang dijadikan objek kajian penelitian. Pengambilan sampel ini bertujuan untuk mengatasi masalah pada populasi yang terlampau besar, sehingga diambillah sebagian dari populasi. Sampel haruslah representatif, lebih lanjut Prajarto meneruskan bahwa bila suatu sampel dapat mencerminkan secara tepat hal-hal yang ada dalam populasi, maka sampel ini kemudian disebut sebagai sampel yang representatif. Dalam menentukan responden, penelitian ini akan menggunakan teknik purposive sampling, dimana teknik ini masuk dalam kategori non-probability sampling. Non-probability sampling merupakan teknik pengambilan sampel dengan menempatkan sebagian anggota kelompok dalam populasi guna memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk mewakili populasinya dibandingkan dengan anggota kelompok yang lain (Prajarto, 2010:97). Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan kepentingan atau tujuan penelitian. Sampel pada penelitian ini akan ditentukan melalui rumus Slovin, dengan toleransi kesalahan 1%, 5% dan 10%. Data untuk penelitian ini diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada masyarakat Indonesia yang pernah ataupun belum pernah menggunakan produk KW fashion namun mengetahui keberadaan produk KW , dengan tingkat kesalahan 5%. Ukuran sampel yang akan diteliti adalah sebagai berikut: Keterangan : n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = presentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan, dalam penelitian ini sebesar 5%. Berdasarkan rumus diatas, dari populasi sebesar 127.082 diperoleh hasil yang telah dibulatkan yaitu 400 orang. Maka sampel untuk penelitian ini adalah 400 orang baik itu yang pernah atau belum pernah menggunakan produk KW fashion, mahasiswa S1 dengan rentang umur 19-24 tahun berada di Yogyakarta serta mengetahui keberadaan produl KW fashion. 3. Data dan Jenis Data Penelitian ini akan menggunakan sumber data primer. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari aktivitas penelitian yang dilakukan (Prajarto, 2010:103). Pada penelitian ini data primer dikumpulkan secara langsung oleh peneliti menggunakan kuesioner online. 4. Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini akan digunakan dua teknik pengumpulan data yaitu kuesioner dan studi pustaka. Studi pustaka dilakukan peneliti dengan tujuan untuk mengumpulkan data dan teori-teori yang dapat memperkuat serta melengkapi data. Sedangkan kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang harus diisi oleh responden (Kriyantono, 2009:95). Metode kuesioner pada penelitian ini yaitu menggunakan Likert yang yang merupakan skala interval. Skala Likert mengukur opini atau persepsi responden berdasarkan tingkat persetujuan dan ketidaksetujuan (Purwanto, 2011:63). Pada penelitian ini skala Likert menggunakan 7 kategori peringkat mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju. 5. Uji Validitas Suatu kuesioner dikatakan valid atau sah apabila tingkat validitasnya tinggi. Pada penelitian ini, uji validitas dilakukan terhadap 30 orang mengisi kuesioner. Kemudian hasil uji validitas diukur menggunakan Pearson test,yaitu membandingkan nilai angka r hitung dengan nilai korelasi tabel (r tabel), yang memiliki derajat kebebasan = n-2. 6. Uji Reliabilitas Sebagai suatu pengukuran yang menunjukkan kestabilan dan konsistensi dari suatu instrumen diperlukan uji reliabilitas. Alat bantu yang digunakan adalah SPSS, dimana mampu memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistik melalui Cronbach Alpha. Cronbach Alpha adalah koefisien reliabilitas yang menunjukkan seberapa baik item dalam suatu kumpulan secara positif berkorelasi satu sama lain. 7. Teknik Analisis Data Setelah proses pengumpulan data selesai dilakukan, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah pengolahan dan analisis data. Proses analisis data dilakukan mulai dari data diperoleh dari kegiatan penelitian hingga data disajikan untuk dikomunikasikan (Purwanto, 2010:93). Penelitian ini akan menggunakan tiga teknik analisis data yaitu analisis deskriptif, analisis regresi dan analisis korelasional. • Analisis Deskriptif (Statistika Deskriptif) Merupakan teknik analisis yang memberikan informasi hanya mengenai data yang diamati dan tidak bertujuan menguji hipotesis serta menarik kesimpulan yang digeneralisasikan terhadap populasi (Purwanto, 2010:94). Tujuannya untuk menyajikan data dan menganalisa data agar bermakna dan komunikatif. Pada analisis deskriptif akan dilakukan analisis mean dan cross tabulation. • Analisis Regresi Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis regresi sederhana. Analisis regresi sederhana dilakukan untuk melakukan estimasi/produksi nilai variabel dependen (Y) dengan menggunakan variabel independen (X2), variabel intervening (X1) dan variabel dependen (Y). Formula persamaan linear sebagai berikut: Y = a0 + b1X1+b2X2+b3X1.X2 Keterangan: Y : Variabel dependen X1 : Variabel anteseden X2 : Variabel independen a : Konstantan (nilai Y apabila X=0) b1 : Koefisien regresi untuk X1 b2 : Koefisien regresi untuk X2 b3 : Koefisien regresi untuk X3 • Analisis Korelasi (Pearson Correlation Test) Tujuan dilakukannya analisis korelasi adalah untuk mencari bukti terdapat tidaknya hubungan (korelasi) antar variabel, bila sudah ada hubungan, untuk melihat tingkat keeratan hubungan antarvariabel, dan untuk memperoleh kejelasan dan kepastian apakah hubungan tersebut berarti (meyakinkan/signifikan) atau tidak berarti (tidak meyakinkan), Muhidin (2007:105). Tinggi rendah, kuat lemah dan besar kecilnya suatu korelasi dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya angka koefisien. Koefisien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1 sampai dengan -1. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan dua variabel penulis memberikan kriteria sebagai berikut (Muhidin, 2011:128). 0,00 - < 0,20 : Hubungan sangat lemah ≥0.20 - <0,40 : Hubungan rendah ≥0,40 - <0,70 : Hubungan sedang/cukup ≥0,07 - <0,90 : Hubungan kuat/tinggi ≥0,90 -≤1,00 : Hubungan sangat kuat/tinggi