8 HAK MILIK DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Abd Barr * *Dosen IAIT Kediri ABSTRACT Basically, the wealth belonging to someone is Allah‟s possission entrusted to him in order to use it in Allah‟s way. Therefore, that wealth should be used appropriately according to Islamic religion teaching (Syari‟ah Islamiyah) in orser that it gives advantage and blessing for the owner of the wealth and the people in general. Islam has a unique perspective about the wealth. According to the concept of Islamic economy, there is a freedom for moslems in owning the wealth, but that freedom is limited by the order people right, such as the poor right and the people included into 8 ashnaf (the people who have the right in getting zakat). Islam has astrict rule for moslems in the way of getting the wealth, the way to use it and the way to distribute it, but the amount of wealth is not restricted. Although there are many rules in owning the wealth, Islam respects very much on the personal, group or public right in owning the wealth. Kata kunci: Konsep Kepemilikan, Ekonomi Islam Pendahuluan Islam sangat memperhatikan upaya-upaya dalam mencapai kesejahteraan dan ketentraman hidup umat manusia agar mereka dapat mencapai kebahagiaan hidup baik dunia maupun akhirat. Demikian pula dalam hal kegiatan ekonomi umatnya, Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kerjasama (ta‟awun) serta keadilan sosial (social justice). Ketika Islam mengatur masalah kepentingan umat dan masyarakat pada umumnya, kepentingan individu dan kelompok pun juga tetap mendapat perhatian. Demikian pula sebaliknya ketika mengatur kepentingan individu dan kelompok maka kepentingan masyarakat umum juga diperhatikan. Jadi Islam berupaya menyelaraskan berbagai kepentingan dalam masyarakat, kelompok maupun individu sehingga tidak terjadi jurang pemisah (gap) yang terlalu mencolok dalam tatanan dan relasi sosial masyarakatnya.1 Demikian pula halnya dengan konsep kepemilikan (al-milkiyah), Islam mengaturnya dengan adil dan mengutamakan kesejahteraan sosial. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟an surat al-Nur ayat 33 yang artinya: “Dan berikanlah kepada mereka (budak-budak yang ingin menebus dirinya melalui perjanjian) sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan padamu”.2 Demikian juga dalam surat al-Hadid ayat 7, yang artinya bahwa “Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”.3 Berdasar kedua ayat tersebut di atas, dapatlah kita pahami bahwa Islam memiliki perspektif tersendiri dalam memandang dan menyikapi hak kepemilikan harta kekayaan. Dalam pandangan Islam, harta kekayaan merupakan rizki yang berarti pemberian (a‟tha) Allah Swt yang sepenuhnya merupakan kekuasaan Allah Swt. Dari situ jelas bahwa ar-rizqu bi yadillahi wahdahu dan manusia sebagai makhluk harus mengupayakan agar rizki tersebut didapatkan serta harus dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah.4 Pandangan Islam sangat berbeda dengan konsep kapitalisme, yang menganggap harta kekayaan adalah milik mutlak manusia, karena manusia mengusahakannya, dan oleh karenanya manusia bebas mendapatkan dan bebas pula memanfaatkannya. Dari pandangan ini muncul falsafah hurriyatu al-tamalluk (kebebasan kepemilikan), yang merupakan bagian dari doktrin hak asasi manusia. Menurut faham ini, manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan memanfaatkan harta kekayaannya, bahkan dengan menghalalkan segala cara, sesuai dengan keinginannya (hedonisme). Konsep ekonomi Islam juga berbeda dengan sistem sosialisme, yang merupakan kebalikan dari kapitalisme, yang tidak mengakui kepemilikan individu. Semua harta kekayaan adalah milik negara, sebagai pengejawantahan milik bersama/umum dan berupaya menciptakan pemerataan dalam segala hal di masyarakat. Kepada individu hanya diberikan sebatas yang diperlukan untuk hidup dan dia bekerja sebatas yang dia bisa. Sosialisme mematikan kreativitas manusia, dimensi individualitas dan motif-motif manusia dihilangkan. Prinsip ini ternyata berakibat sangat fatal, karena kepemilikan individu tidak diakui sehingga dorongandorongan untuk maju serta pencapaian pribadi tidak ada dan mereka menjadi tidak memiliki gairah kerja. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan penurunan secara drastis produktifitas masyarakat, karena masyarakat telah kehilangan hasrat untuk memperoleh keuntungan (profit motives) yang merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Maka tidak aneh apabila produksi pertanian kolektif di negara-negara sosialis tidak mungkin melebihi tingkat produksi individual rakyat negara non sosialis.5 Macam-Macam Kepemilikan Kepemilikan, menurut Syekh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitab An Nidzam al-Iqtishady fi al-Islam, dibagi menjadi tiga macam, yaitu kepemilikan individu (private property/milkiyah fardiyah), kepemilikan umum /kelompok (collective property/milkiyah „ammah), dan kepemilikan negara (state property/milkiyah daulah). 1. Kepemilikan Individu (milkiyah fardiyah) Yang dimaksud dengan hak milik pribadi adalah izin syara pada individu untuk memanfaatkan (utility) sesuatu, baik berupa benda maupun jasa. Ada lima sebab-sebab kepemilikan individu (ashabu al-tamalluk), yaitu karena hasil dari bekerja (al-„amal), karena hak waris (al-irts), karena keperluan harta untuk mempertahankan hidup dari pemberian negara (i‟thau al-daulah) yang dibutuhkan untuk kesejahteraan rakyat berupa hasil pertanian, hasil pajak, dan uang modal, serta harta yang diperoleh individu tanpa daya upaya atau dari hadiah dan santunan.6 Islam menghargai dan menghormati hak milik pribadi. Karenanya Islam memberikan sanksi hukum yang cukup berat terhadap siapa saja yang berani melanggar hak milik pribadi atau menyerobot hak orang lain. Misalnya dengan jalan pencurian, perampokan, penyerobotan, penggelapan, korupsi, manipulasi dan menipu. Perilaku kejahatan tersebut dapat menimbulkan kekacauan di masyarakat. Terhadap pencurian misalnya, dapat dikenakan hukuman potong tangan, apabila telah memenuhi syarat-syaratnya. Tetapi perlu diingat, bahwa tidak setiap pencurian boleh dihukum potong tangan. Hukuman potong tangan ini merupakan hukuman maksimal saja, yang mempunyai tujuan edukatif dan untuk melindungi hak asasi manusia, antara lain hak memiliki harta benda. Pencurian yang dilakukan karena terpaksa oleh keadaan, misalnya karena kelaparan, demi menyambung/mempertahankan hidupnya, tidak dikenakan hukuman potong tangan. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab. Umar adalah khalifah yang dikenal sangat tegas dan konsekwan dalam menegakkan hukum Islam. Beliau pernah membebaskan hukuman potong tangan terhadap beberapa anak buah Hatib bin Abu Balta‟a, yang mencuri unta milik seorang suku Muznah. Pencurian tersebut dilakukan karena terdorong oleh keadaan kurang makan atau kelaparan. Bahkan beliau (Khalifah Umar) menjatuhkan hukuman kepada majikan anak-anak tersebut (Hatib) berupa keharusan membayar kerugian dua kali harga unta yang dicuri oleh anak buahnya itu kepada pemiliknya.7 Sebagai konsekuensi dari diakuinya hak milik pribadi tersebut, maka si pemilik berhak sepenuhnya menggunakan dan memanfaatkan harta bendanya, selama ia (pemilik harta) menurut hukum dipandang cakap menggunakan harta bendanya sendiri. Apabila orang tersebut dipandang tidak mampu atau kurang cakap dalam mengatur harta bendanya sendiri, karena misalnya lemah ingatan, belum dewasa atau pemboros, maka dalam hal ini harus ditunjuk seorang wali yang bertanggung jawab mengurusnya. Aturan semacam ini tercantum dalam alQur‟an surat An Nisa‟ ayat 5 yang artinya: “Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (anak yatim yang belum dewasa atau orang-orang dewasa yang tidak bisa mengatur harta bendanya), harta (mereka yang ada dalam kekuasaannya) yang kamu sendiri dijadikan Allah Swt. sebagai pemeliharanya. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan berkatalah kepada mereka dengan kata-kata yang baik”.8 Dengan demikian secara jelas terlibat bahwa Islam mengakui hak milik pribadi. Dalam hak milik pribadi itu harus bersifat sosial, karena hak milik pribadi itu adalah hak milik Allah yang diamanatkan kepada orang-orang yang kebetulan memilikinya agar digunakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat. Sebagai konsekuensinya, Islam melarang orang memborong/menyimpan/ menyembunyikan barang yang sangat dibutuhkan orang banyak. Misalnya menimbun bahan makanan atau bahan bakar dengan maksud agar barang tersebut sukar dicari di pasaran bebas, sehingga masyarakat susah payah dan membelinya dengan harga yang tinggi. Dengan cara semacam ini, pemilik barang akan mendapat keuntungan yang berlebih-lebihan dengan cara yang tidak wajar.9 Rasulullah sendiri telah memperingatkan kepada orang yang bermental merugikan masyarakat semacam ini, sebagaimana sabdanya: “Siapa saja yang mengumpulkan barang dan menyimpan atau menyembunyikannya dengan maksud agar harga barang tersebut naik atau mahal, maka orang tersebut benar-benar berbuat kesalahan /dosa”. (HR. Muslim dan Tirmidzi). 2. Pemilikan Umum Yang dimaksud dengan pemilikan umum adalah izin dari syara kepada masyarakat secara bersama untuk memanfaatkan sesuatu, berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, api atau bahan bakar lainnya, padang rumput (hasil hutan), barang yang memang tidak mungkin dimiliki individu seperti sungai, danau, lautan, udara, masjid dan sebagainya, dan barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak dan sebagainya. Pengelolaan milik umum dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat dengan cara memberikan cuma-cuma atau dengan harga murah. Dengan cara ini, rakyat dapat memperoleh beberapa kebutuhan pokoknya dengan murah. Implikasinya, kesejahteraan mereka meningkat. Demikian pula, tanah-tanah yang dimiliki oleh perseorangan atau kelompok, juga harus dibatasi, disesuaikan dengan luas tanah dan jumlah penduduknya. Islam melarang tanah-tanah yang dimiliki seseorang itu dibiarkan saja telantar sehingga tidak menghasilkan apa-apa. Islam menuntut agar tanah milik pribadi itu dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Pemanfaatannya dapat menggunakan tenaga kerja dan usaha lain yang dapat meningkatkan produksiya. Dengan cara semacam ini, tanah itu dapat bermanfaat untuk kesejahteraan si pemilik dan keluarganya, masyarakat, dan juga negara yang mendapat manfaat dari hasil produksi tanah itu, berupa pajak dan devisa negara (jika hasil produksinya dapat di ekspor) yang sangat berguna untuk pembangunan. Islam tidak membenarkan tertumpuknya kekayaan dan cabang-cabang produksi yang penting bagi masyarakat dan negara pada perorangan atau sekelompok kecil orang-orang kaya saja, sebab dengan penguasaan semacam itu dapat terjadi kesewenang-wenangan yang merugikan masyarakat dan negara. Dalam masalah ini, Allah telah memperingatkan di dalam al-Qur‟an surat alHasyr ayat 7: “Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja”.10 Terhadap barang yang sangat dibutuhkan orang banyak, Islam sangat melarang barang semacam itu dimiliki oleh perorangan, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw.: “Manusia itu bersama-sama memiliki tiga macam barang, yaitu: air,rumput, dan api.” (Hadits ini terdapat dalam kitab Mashabihus Salam). Penyebutan tiga macam benda tersebut sekedar untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta lingkungan masyarakat Arab pada waktu Nabi hidup. Barang lain yang benar-benar menguasai hajat hidup orang banyak, seperti minyak bumi, batu bara dan kekayaan alam lainnya dapat disamakan (diqiyaskan) dengan ketiga macam benda yang disebutkan dalam hadist Nabi itu. Hal ini berarti bahwa harta yang masuk dalam jenis tersebut tidak boleh dikuasai oleh perorangan atau sekelompok masyarakat, melainkan harus dikuasai oleh negara agar dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan negara. 3. Pemilikan Negara Pemilikan negara adalah izin dari syara atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada ditangan khalifah sebagai kepala negara, atau hak kepemilikan harta merupakan hak seluruh warga negara /umat. Misalnya harta ghanimah, fai‟, khumus, kharaj, jiszyah, seperlima harta rikaz, ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah milik negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara seperti menggaji pegawai, keperluan jihad, dsb.11 Negara juga memiliki hak dan kekuasaan untuk mendistribusikan harta untuk kepentingan umat serta dalam upaya menyeimbangkan hak kepemilikan dalam masyarakat. Menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk menghapuskan gap/jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Pada umumnya, negara mengelola harta kekayaan yang dimilikinya melalui lembaga yang ditunjuk seperti Baitul Maal atau Kas Negara sebagai lembaga sentral cadangan dana negara yang harus disalurkan ke segala penjuru bidang sesuai dengan kebutuhannya dan harus dicegah kemacetan di satu tempat atau mengalir secara berlebihan ke salah satu arah saja dan meninggalkan bagian yang lain di dalam masyarakat dalam keadaan kekurangan atau sama sekali tidak mampu.12 Pemanfaatan Pemilikan (al-thasharruf al-milkiyyah) Kejelasan konsep pemilikan sangat berpengaruh terhadap konsep pemanfaatan harta milik (al-thasharruf), yakni siapa sesungguhnya yang berhak mengelola dan memanfaatkan harta tersebut. Pemanfaatan pemilikan adalah cara bagaimana, sesuai syara, seorang muslim memperlakukan harta miliknya. Ada dua arah pemanfaatan harta yakni pengembangan harta (tanmiyatu al-mal) dan penggunaan harta (infaqu a-mal) 1. Pengembangan harta (tanmiyatul al-mal) Setiap individu diberi kebebasan mengembangkan hartanya, tetapi dalam batas-batas yang diizinkan agama. Seseorang boleh menanamkan modalnya dalam bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, industri, perdagangan, dan sebagainya, tetapi harus dengan cara yang jujur, tidak boleh menipu, memalsu barang/kualitasnya, atau menjual barang dengan harga yang tidak wajar. Dalam hal bisnis, Nabi Muhammad Saw. telah memperingatkan: “Penjual dan pembeli itu mempunyai hak khiyar, artinya bisa meneruskan atau membatalkan akad jual beli, selama keduanya belum meninggalkan tempat akad jual beli. Kemudian jika keduanya berbuat jujur dan menerangkan keadaan sebenarnya (misalnya kalau ada cacat barangnya, juga harus diterangkan), maka diberkahi jual-belinya; dan jika keduanya tidak jujur dan berdusta, maka lenyaplah berkah jual-belinya”. (Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim). Islam juga melarang memborong barang yang sangat dibutuhkan masyarakat luas, lalu disembunyikan/disimpan dengan maksud agar harga naik, kemudian baru dilepas kepasaran bebas. Dengan cara demikian, orang tersebut merugikan masyarakat dan memperoleh keuntungan yang tidak wajar.13 Demikian pula Islam melarang riba/ rente, sebagaimana disabdakan Allah dalam surat Ali Imran ayat 130: “Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipatganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat sukses”.14 Dan Hadits Nabi riwayat Muslim dari Jabir yang artinya: “Allah mengutuk pemakan riba, wakilnya, penulisnya dan kedua saksinya” (HR. Muslim dari Jabir). Islam melarang riba, karena riba itu hanya menguntungkan orang-orang yang bermodal uang saja (pada umumnya), tanpa perlu jerih payah; sedang fihak yang menerima pinjaman/ kredit berbunga itu yang dengan susah payah mengembangkan harta itu, yang kadang-kadang rugi, apalagi kalau pinjamannya itu untuk konsumsi/kebutuhan hidup sehari-hari.15 Pinjam-meminjam (al-„ariyah) itu perbuatan yang diperbolehkan agama, karena mengandung unsur tolong-menolong, tetapi hendaknya tidak disertai dengan ikatan janji rente. Hanya Islam menganjurkan kepada peminjam hendaknya kalau mengembalikan pinjamannya dengan suka rela menambah ala kadarnya, sebagaimana yang disabdakan Nabi Saw.:“Berikanlah (unta berumur 6 tahun sebagai pengganti unta berumur 5 tahun yang telah dipinjam Nabi) kepada pemiliknya, karena sesungguhnya sebaik-baik orang adalah yang paling baik melunasi hutangnya.” Dan kalau yang berhutang itu dalam kesulitan membayar hutangnya, maka hendaklah diberi kesempatan sampai ia bisa membayar hutangnya, sebagaimana di firmankan Allah dalam surat al- Baqarah ayat 280: “Jika orang berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya”.16 Islam mengharuskan kepada orang yang berhutang agar berusaha dengan sungguh-sungguh membayar hutang pada waktu yang telah dijanjikan, sebab menunda-nunda pambayaran hutang padahal ia mampu adalah perbuatan aniaya, sebagaimana disabdakan Nabi Saw.: “Menunda-nunda pembayaran hutang itu aniaya” (hadits riwayat Lima Ahli Hadits, yakni al- Bukhari dan lain- lain). Dan Sabdanya yang lain:“Siapa yang mengambil harta benda orang lain dengan maksud mengembalikannya, maka Allah menolong pembayarannya. Siapa yang mengambil harta benda orang lain dengan maksud merusak/melenyapkan, maka Allah akan merusak/ menghancurkan harta benda orang itu” (Hadits riwayat al- Bukhari).17 2. Penggunaan Harta (infaqu al-mal) Penggunaan harta adalah pemanfaatan harta dengan atau tanpa manfaat material yang diperoleh. Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam mendorong umatnya untuk menggunakan hartanya bukan hanya sebatas kepentingan pribadi dengan pemanfaatannya (material) yang tampak, tetapi juga untuk kepentingan orang lain (sehingga harta berfungsi sosial) atau kepentingan ibadah. Misalnya, zakat, nafkah anak istri dan orang tua, dorongan untuk memberi hadiah, hibah sedekah kepada fakir miskin dan orang yang memerlukan (terlibat utang, keperluan pengobatan, musibah dan sebagainya) dan infak jihad fisabilillah. Islam mengharamkan penggunaan harta yang bersifat syara‟ seperti riswah (sogok), israf, tadzbir, dan taraf (membeli barang atau jasa haram), serta bakhil. Pelarangan pemanfaatan harta pada jalan-jalan tersebut berarti menutup pintu bagi dibukanya kegiatan-kegiatan jenis itu. Dengan jalan yang halal dalam penggunan harta, individu dan masyarakat akan terselamatkan dari kerusakan.18 Konsep Distribusi Kekayaan (tauzi’u al-tsawah) Islam telah menetapkan sistem distribusi kekayaan diantara manusia yang akan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama, yakni: Wajibnya muzakki (orang yang wajib berzakat) membayar zakat yang diberikan kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat) khususnya kalangan fakir miskin. Hak setiap warga negara untuk memanfaatkan pemilikan umum. Negara berhak mengolah dan mendistribusikannya kepada masyarakat secara cuma-cuma atau dengan harga murah. Pembagian harta negara seperti tanah, barang dan uang sebagai modal kepada yang memerlukan. Pemberian harta waris kepada ahli waris. Larangan menimbun emas dan perak walaupun dikeluarkan zakatnya.19 Penutup Islam memperbolehkan terjadinya tingkat (gradasi) dalam ekonomi masyarakat, namun Islam tidaklah menyukai perbedaan harta yang dimiliki individu atau kelompok melebihi batas kewajaran, karena hal tersebut justru akan menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Dan negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menciptakan kondisi masyarakat yang adil dan seimbang dengan mendistribusikan harta kekayaan negara pada masyarakat dan berupaya menjamin agar kehidupan masyarakat makmur dan sejahtera. Endnote 1 Smith Athif Az Zain, Al Islam Khuthutun „Aridhah:al-iqtishad, al-Hakim, al-Ijtima‟, (Kairo: t.p.,1986), h. 12. 2 Depag RI, Al-Qur‟an al-Karim danTerjemahan, (Jakarta: PT.Bhumi Restu, 1977), h. 549. 3 Ibid., h. 901. 4 Hasan Abdurrahman, Islam, “Politik Dan Spiritual”, (Singapura: Lisanul–Haq, 1998), h. 54. 5 Abu Azzam, “Sistem Ekonomi Islam”, Makalah Seminar Nasional dan Bedah Buku,UKKI UPN Surabaya, 1997. 6 Syekh Taqiyyudin al-Nabhani, Al-Nidzam al-Iqtishady fi al-Islam, terjemah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997). 7 Muhhamad Qutub, Islam The Misunderstood Religion, (Kuwait: Ministry of Auqaf and Islamic, 1967), h. 249. 8Depag RI, Al-Qur‟an, h.115. 9 Masyfuk Zuhdi, Studi Islam, Jilid 3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1988), h. 93. 10 Depag RI, Al-Qur‟an, h. 916. 11 M. Ismail Yusanto, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h.28. 12 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam I, terjemahan, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995). 13 Sayid Qutub, al-„Adatu al-Ijtima‟iyah fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1968), h. 103-106. 14 Depag RI, Al-Qur‟an, h. 97. 15 MA. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Edisi III Terj. (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997). 16 Depag RI, Al-Qur‟an, h.70. 17 Ali Ahmad al-Jurawi, Hikamtu al-Tasyri‟I al-Islami, (Kairo: t.p., 1931), h.1534. 18 Wachid M. Magfur, ”Mencari Sistem Ekonomi Alternatif”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Bedah Buku , UKKI UPN, Surabaya, 1997. 19 Moh. Ahmad Al-Assal, dkk., Sistem Ekonomi Islam, Prinsip dan Tujuannya, terjemahan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980).