ilmu pengetahuan dalam perspektif al-qur`an - E

advertisement
8
HAK MILIK
DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Abd Barr *
*Dosen IAIT Kediri
ABSTRACT
Basically, the wealth belonging to someone is Allah‟s
possission entrusted to him in order to use it in Allah‟s way.
Therefore, that wealth should be used appropriately according
to Islamic religion teaching (Syari‟ah Islamiyah) in orser that
it gives advantage and blessing for the owner of the wealth and
the people in general.
Islam has a unique perspective about the wealth. According to
the concept of Islamic economy, there is a freedom for
moslems in owning the wealth, but that freedom is limited by
the order people right, such as the poor right and the people
included into 8 ashnaf (the people who have the right in
getting zakat). Islam has astrict rule for moslems in the way of
getting the wealth, the way to use it and the way to distribute
it, but the amount of wealth is not restricted. Although there
are many rules in owning the wealth, Islam respects very much
on the personal, group or public right in owning the wealth.
Kata kunci: Konsep Kepemilikan, Ekonomi Islam
Pendahuluan
Islam sangat memperhatikan upaya-upaya dalam mencapai kesejahteraan dan
ketentraman hidup umat manusia agar mereka dapat mencapai kebahagiaan hidup
baik dunia maupun akhirat. Demikian pula dalam hal kegiatan ekonomi umatnya,
Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kerjasama (ta‟awun) serta keadilan sosial
(social justice). Ketika Islam mengatur masalah kepentingan umat dan masyarakat
pada umumnya, kepentingan individu dan kelompok pun juga tetap mendapat
perhatian. Demikian pula sebaliknya ketika mengatur kepentingan individu dan
kelompok maka kepentingan masyarakat umum juga diperhatikan. Jadi Islam
berupaya menyelaraskan berbagai kepentingan dalam masyarakat, kelompok
maupun individu sehingga tidak terjadi jurang pemisah (gap) yang terlalu mencolok
dalam tatanan dan relasi sosial masyarakatnya.1
Demikian pula halnya dengan konsep kepemilikan (al-milkiyah), Islam
mengaturnya dengan adil dan mengutamakan kesejahteraan sosial. Sebagaimana
ditegaskan dalam al-Qur‟an surat al-Nur ayat 33 yang artinya: “Dan berikanlah
kepada mereka (budak-budak yang ingin menebus dirinya melalui perjanjian)
sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan padamu”.2 Demikian juga dalam surat
al-Hadid ayat 7, yang artinya bahwa “Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebagian hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”.3
Berdasar kedua ayat tersebut di atas, dapatlah kita pahami bahwa Islam
memiliki perspektif tersendiri dalam memandang dan menyikapi hak kepemilikan
harta kekayaan. Dalam pandangan Islam, harta kekayaan merupakan rizki yang
berarti pemberian (a‟tha) Allah Swt yang sepenuhnya merupakan kekuasaan Allah
Swt. Dari situ jelas bahwa ar-rizqu bi yadillahi wahdahu dan manusia sebagai
makhluk harus mengupayakan agar rizki tersebut didapatkan serta harus
dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah.4
Pandangan Islam sangat berbeda dengan konsep kapitalisme, yang
menganggap harta kekayaan adalah milik mutlak manusia, karena manusia
mengusahakannya, dan oleh karenanya manusia bebas mendapatkan dan bebas pula
memanfaatkannya. Dari pandangan ini muncul falsafah hurriyatu al-tamalluk
(kebebasan kepemilikan), yang merupakan bagian dari doktrin hak asasi manusia.
Menurut faham ini, manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan
memanfaatkan harta kekayaannya, bahkan dengan menghalalkan segala cara, sesuai
dengan keinginannya (hedonisme).
Konsep ekonomi Islam juga berbeda dengan sistem sosialisme, yang
merupakan kebalikan dari kapitalisme, yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Semua harta kekayaan adalah milik negara, sebagai pengejawantahan milik
bersama/umum dan berupaya menciptakan pemerataan dalam segala hal di
masyarakat. Kepada individu hanya diberikan sebatas yang diperlukan untuk hidup
dan dia bekerja sebatas yang dia bisa. Sosialisme mematikan kreativitas manusia,
dimensi individualitas dan motif-motif manusia dihilangkan. Prinsip ini ternyata
berakibat sangat fatal, karena kepemilikan individu tidak diakui sehingga dorongandorongan untuk maju serta pencapaian pribadi tidak ada dan mereka menjadi tidak
memiliki gairah kerja. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan penurunan secara
drastis produktifitas masyarakat, karena masyarakat telah kehilangan hasrat untuk
memperoleh keuntungan (profit motives) yang merupakan sesuatu yang sangat
manusiawi. Maka tidak aneh apabila produksi pertanian kolektif di negara-negara
sosialis tidak mungkin melebihi tingkat produksi individual rakyat negara non
sosialis.5
Macam-Macam Kepemilikan
Kepemilikan, menurut Syekh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitab An Nidzam
al-Iqtishady fi al-Islam, dibagi menjadi tiga macam, yaitu kepemilikan individu
(private property/milkiyah fardiyah), kepemilikan umum /kelompok (collective
property/milkiyah „ammah), dan kepemilikan negara (state property/milkiyah
daulah).
1. Kepemilikan Individu (milkiyah fardiyah)
Yang dimaksud dengan hak milik pribadi adalah izin syara pada individu
untuk memanfaatkan (utility) sesuatu, baik berupa benda maupun jasa. Ada lima
sebab-sebab kepemilikan individu (ashabu al-tamalluk), yaitu karena hasil dari
bekerja (al-„amal), karena hak waris (al-irts), karena keperluan harta untuk
mempertahankan hidup dari pemberian negara (i‟thau al-daulah) yang
dibutuhkan untuk kesejahteraan rakyat berupa hasil pertanian, hasil pajak, dan
uang modal, serta harta yang diperoleh individu tanpa daya upaya atau dari
hadiah dan santunan.6
Islam menghargai dan menghormati hak milik pribadi. Karenanya Islam
memberikan sanksi hukum yang cukup berat terhadap siapa saja yang berani
melanggar hak milik pribadi atau menyerobot hak orang lain. Misalnya dengan
jalan pencurian, perampokan, penyerobotan, penggelapan, korupsi, manipulasi
dan menipu. Perilaku kejahatan tersebut dapat menimbulkan kekacauan di
masyarakat.
Terhadap pencurian misalnya, dapat dikenakan hukuman potong tangan,
apabila telah memenuhi syarat-syaratnya. Tetapi perlu diingat, bahwa tidak
setiap pencurian boleh dihukum potong tangan. Hukuman potong tangan ini
merupakan hukuman maksimal saja, yang mempunyai tujuan edukatif dan untuk
melindungi hak asasi manusia, antara lain hak memiliki harta benda.
Pencurian yang dilakukan karena terpaksa oleh keadaan, misalnya karena
kelaparan, demi menyambung/mempertahankan hidupnya, tidak dikenakan
hukuman potong tangan. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar Bin
Khattab. Umar adalah khalifah yang dikenal sangat tegas dan konsekwan dalam
menegakkan hukum Islam. Beliau pernah membebaskan hukuman potong
tangan terhadap beberapa anak buah Hatib bin Abu Balta‟a, yang mencuri unta
milik seorang suku Muznah. Pencurian tersebut dilakukan karena terdorong oleh
keadaan kurang makan atau kelaparan. Bahkan beliau (Khalifah Umar)
menjatuhkan hukuman kepada majikan anak-anak tersebut (Hatib) berupa
keharusan membayar kerugian dua kali harga unta yang dicuri oleh anak
buahnya itu kepada pemiliknya.7
Sebagai konsekuensi dari diakuinya hak milik pribadi tersebut, maka si
pemilik berhak sepenuhnya menggunakan dan memanfaatkan harta bendanya,
selama ia (pemilik harta) menurut hukum dipandang cakap menggunakan harta
bendanya sendiri. Apabila orang tersebut dipandang tidak mampu atau kurang
cakap dalam mengatur harta bendanya sendiri, karena misalnya lemah ingatan,
belum dewasa atau pemboros, maka dalam hal ini harus ditunjuk seorang wali
yang bertanggung jawab mengurusnya. Aturan semacam ini tercantum dalam alQur‟an surat An Nisa‟ ayat 5 yang artinya:
“Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya (anak yatim yang belum dewasa atau orang-orang dewasa yang tidak
bisa mengatur harta bendanya), harta (mereka yang ada dalam kekuasaannya)
yang kamu sendiri dijadikan Allah Swt. sebagai pemeliharanya. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan berkatalah kepada mereka
dengan kata-kata yang baik”.8
Dengan demikian secara jelas terlibat bahwa Islam mengakui hak milik
pribadi. Dalam hak milik pribadi itu harus bersifat sosial, karena hak milik
pribadi itu adalah hak milik Allah yang diamanatkan kepada orang-orang yang
kebetulan memilikinya agar digunakan semaksimal mungkin untuk
kesejahteraan masyarakat.
Sebagai konsekuensinya, Islam melarang orang memborong/menyimpan/
menyembunyikan barang yang sangat dibutuhkan orang banyak. Misalnya
menimbun bahan makanan atau bahan bakar dengan maksud agar barang
tersebut sukar dicari di pasaran bebas, sehingga masyarakat susah payah dan
membelinya dengan harga yang tinggi. Dengan cara semacam ini, pemilik
barang akan mendapat keuntungan yang berlebih-lebihan dengan cara yang
tidak wajar.9
Rasulullah sendiri telah memperingatkan kepada orang yang bermental
merugikan masyarakat semacam ini, sebagaimana sabdanya: “Siapa saja yang
mengumpulkan barang dan menyimpan atau menyembunyikannya dengan
maksud agar harga barang tersebut naik atau mahal, maka orang tersebut
benar-benar berbuat kesalahan /dosa”. (HR. Muslim dan Tirmidzi).
2. Pemilikan Umum
Yang dimaksud dengan pemilikan umum adalah izin dari syara kepada
masyarakat secara bersama untuk memanfaatkan sesuatu, berupa barang-barang
yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, api
atau bahan bakar lainnya, padang rumput (hasil hutan), barang yang memang
tidak mungkin dimiliki individu seperti sungai, danau, lautan, udara, masjid dan
sebagainya, dan barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak
seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.
Pengelolaan milik umum dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat
dengan cara memberikan cuma-cuma atau dengan harga murah. Dengan cara
ini, rakyat dapat memperoleh beberapa kebutuhan pokoknya dengan murah.
Implikasinya, kesejahteraan mereka meningkat.
Demikian pula, tanah-tanah yang dimiliki oleh perseorangan atau
kelompok, juga harus dibatasi, disesuaikan dengan luas tanah dan jumlah
penduduknya. Islam melarang tanah-tanah yang dimiliki seseorang itu dibiarkan
saja telantar sehingga tidak menghasilkan apa-apa. Islam menuntut agar tanah
milik pribadi itu dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Pemanfaatannya
dapat menggunakan tenaga kerja dan usaha lain yang dapat meningkatkan
produksiya. Dengan cara semacam ini, tanah itu dapat bermanfaat untuk
kesejahteraan si pemilik dan keluarganya, masyarakat, dan juga negara yang
mendapat manfaat dari hasil produksi tanah itu, berupa pajak dan devisa negara
(jika hasil produksinya dapat di ekspor) yang sangat berguna untuk
pembangunan.
Islam tidak membenarkan tertumpuknya kekayaan dan cabang-cabang
produksi yang penting bagi masyarakat dan negara pada perorangan atau
sekelompok kecil orang-orang kaya saja, sebab dengan penguasaan semacam itu
dapat terjadi kesewenang-wenangan yang merugikan masyarakat dan negara.
Dalam masalah ini, Allah telah memperingatkan di dalam al-Qur‟an surat alHasyr ayat 7: “Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang
kaya saja”.10
Terhadap barang yang sangat dibutuhkan orang banyak, Islam sangat
melarang barang semacam itu dimiliki oleh perorangan, sebagaimana
disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw.: “Manusia itu bersama-sama memiliki
tiga macam barang, yaitu: air,rumput, dan api.” (Hadits ini terdapat dalam
kitab Mashabihus Salam).
Penyebutan tiga macam benda tersebut sekedar untuk disesuaikan dengan
situasi dan kondisi serta lingkungan masyarakat Arab pada waktu Nabi hidup.
Barang lain yang benar-benar menguasai hajat hidup orang banyak, seperti
minyak bumi, batu bara dan kekayaan alam lainnya dapat disamakan
(diqiyaskan) dengan ketiga macam benda yang disebutkan dalam hadist Nabi
itu. Hal ini berarti bahwa harta yang masuk dalam jenis tersebut tidak boleh
dikuasai oleh perorangan atau sekelompok masyarakat, melainkan harus
dikuasai oleh negara agar dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan
negara.
3. Pemilikan Negara
Pemilikan negara adalah izin dari syara atas setiap harta yang hak
pemanfaatannya berada ditangan khalifah sebagai kepala negara, atau hak
kepemilikan harta merupakan hak seluruh warga negara /umat. Misalnya harta
ghanimah, fai‟, khumus, kharaj, jiszyah, seperlima harta rikaz, ushr, harta orang
murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah milik negara.
Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban
negara seperti menggaji pegawai, keperluan jihad, dsb.11
Negara juga memiliki hak dan kekuasaan untuk mendistribusikan harta
untuk kepentingan umat serta dalam upaya menyeimbangkan hak kepemilikan
dalam masyarakat. Menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk
menghapuskan gap/jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin.
Pada umumnya, negara mengelola harta kekayaan yang dimilikinya
melalui lembaga yang ditunjuk seperti Baitul Maal atau Kas Negara sebagai
lembaga sentral cadangan dana negara yang harus disalurkan ke segala penjuru
bidang sesuai dengan kebutuhannya dan harus dicegah kemacetan di satu tempat
atau mengalir secara berlebihan ke salah satu arah saja dan meninggalkan bagian
yang lain di dalam masyarakat dalam keadaan kekurangan atau sama sekali
tidak mampu.12
Pemanfaatan Pemilikan (al-thasharruf al-milkiyyah)
Kejelasan konsep pemilikan sangat berpengaruh terhadap konsep pemanfaatan
harta milik (al-thasharruf), yakni siapa sesungguhnya yang berhak mengelola dan
memanfaatkan harta tersebut. Pemanfaatan pemilikan adalah cara bagaimana, sesuai
syara, seorang muslim memperlakukan harta miliknya. Ada dua arah pemanfaatan
harta yakni pengembangan harta (tanmiyatu al-mal) dan penggunaan harta (infaqu
a-mal)
1. Pengembangan harta (tanmiyatul al-mal)
Setiap individu diberi kebebasan mengembangkan hartanya, tetapi dalam
batas-batas yang diizinkan agama. Seseorang boleh menanamkan modalnya
dalam bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, industri, perdagangan, dan
sebagainya, tetapi harus dengan cara yang jujur, tidak boleh menipu, memalsu
barang/kualitasnya, atau menjual barang dengan harga yang tidak wajar. Dalam
hal bisnis, Nabi Muhammad Saw. telah memperingatkan: “Penjual dan pembeli
itu mempunyai hak khiyar, artinya bisa meneruskan atau membatalkan akad
jual beli, selama keduanya belum meninggalkan tempat akad jual beli.
Kemudian jika keduanya berbuat jujur dan menerangkan keadaan sebenarnya
(misalnya kalau ada cacat barangnya, juga harus diterangkan), maka diberkahi
jual-belinya; dan jika keduanya tidak jujur dan berdusta, maka lenyaplah
berkah jual-belinya”. (Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Islam juga melarang memborong barang yang sangat dibutuhkan
masyarakat luas, lalu disembunyikan/disimpan dengan maksud agar harga naik,
kemudian baru dilepas kepasaran bebas. Dengan cara demikian, orang tersebut
merugikan masyarakat dan memperoleh keuntungan yang tidak wajar.13
Demikian pula Islam melarang riba/ rente, sebagaimana disabdakan Allah
dalam surat Ali Imran ayat 130: “Hai orang- orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipatganda dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat sukses”.14
Dan Hadits Nabi riwayat Muslim dari Jabir yang artinya: “Allah mengutuk
pemakan riba, wakilnya, penulisnya dan kedua saksinya” (HR. Muslim dari
Jabir).
Islam melarang riba, karena riba itu hanya menguntungkan orang-orang
yang bermodal uang saja (pada umumnya), tanpa perlu jerih payah; sedang fihak
yang menerima pinjaman/ kredit berbunga itu yang dengan susah payah
mengembangkan harta itu, yang kadang-kadang rugi, apalagi kalau pinjamannya
itu untuk konsumsi/kebutuhan hidup sehari-hari.15
Pinjam-meminjam (al-„ariyah) itu perbuatan yang diperbolehkan agama,
karena mengandung unsur tolong-menolong, tetapi hendaknya tidak disertai
dengan ikatan janji rente. Hanya Islam menganjurkan kepada peminjam
hendaknya kalau mengembalikan pinjamannya dengan suka rela menambah ala
kadarnya, sebagaimana yang disabdakan Nabi Saw.:“Berikanlah (unta berumur
6 tahun sebagai pengganti unta berumur 5 tahun yang telah dipinjam Nabi)
kepada pemiliknya, karena sesungguhnya sebaik-baik orang adalah yang
paling baik melunasi hutangnya.”
Dan kalau yang berhutang itu dalam kesulitan membayar hutangnya,
maka hendaklah diberi kesempatan sampai ia bisa membayar hutangnya,
sebagaimana di firmankan Allah dalam surat al- Baqarah ayat 280: “Jika orang
berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu,
lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya”.16
Islam mengharuskan kepada orang yang berhutang agar berusaha dengan
sungguh-sungguh membayar hutang pada waktu yang telah dijanjikan, sebab
menunda-nunda pambayaran hutang padahal ia mampu adalah perbuatan aniaya,
sebagaimana disabdakan Nabi Saw.: “Menunda-nunda pembayaran hutang itu
aniaya” (hadits riwayat Lima Ahli Hadits, yakni al- Bukhari dan lain- lain). Dan
Sabdanya yang lain:“Siapa yang mengambil harta benda orang lain dengan
maksud mengembalikannya, maka Allah menolong pembayarannya. Siapa yang
mengambil harta benda orang lain dengan maksud merusak/melenyapkan,
maka Allah akan merusak/ menghancurkan harta benda orang itu” (Hadits
riwayat al- Bukhari).17
2. Penggunaan Harta (infaqu al-mal)
Penggunaan harta adalah pemanfaatan harta dengan atau tanpa manfaat
material yang diperoleh. Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam mendorong
umatnya untuk menggunakan hartanya bukan hanya sebatas kepentingan pribadi
dengan pemanfaatannya (material) yang tampak, tetapi juga untuk kepentingan
orang lain (sehingga harta berfungsi sosial) atau kepentingan ibadah. Misalnya,
zakat, nafkah anak istri dan orang tua, dorongan untuk memberi hadiah, hibah
sedekah kepada fakir miskin dan orang yang memerlukan (terlibat utang,
keperluan pengobatan, musibah dan sebagainya) dan infak jihad fisabilillah.
Islam mengharamkan penggunaan harta yang bersifat syara‟ seperti
riswah (sogok), israf, tadzbir, dan taraf (membeli barang atau jasa haram), serta
bakhil. Pelarangan pemanfaatan harta pada jalan-jalan tersebut berarti menutup
pintu bagi dibukanya kegiatan-kegiatan jenis itu. Dengan jalan yang halal dalam
penggunan harta, individu dan masyarakat akan terselamatkan dari kerusakan.18
Konsep Distribusi Kekayaan (tauzi’u al-tsawah)
Islam telah menetapkan sistem distribusi kekayaan diantara manusia yang
akan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama, yakni:
 Wajibnya muzakki (orang yang wajib berzakat) membayar zakat yang diberikan
kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat) khususnya kalangan fakir
miskin.
 Hak setiap warga negara untuk memanfaatkan pemilikan umum. Negara berhak
mengolah dan mendistribusikannya kepada masyarakat secara cuma-cuma atau
dengan harga murah.
 Pembagian harta negara seperti tanah, barang dan uang sebagai modal kepada
yang memerlukan.
 Pemberian harta waris kepada ahli waris.
 Larangan menimbun emas dan perak walaupun dikeluarkan zakatnya.19
Penutup
Islam memperbolehkan terjadinya tingkat (gradasi) dalam ekonomi
masyarakat, namun Islam tidaklah menyukai perbedaan harta yang dimiliki individu
atau kelompok melebihi batas kewajaran, karena hal tersebut justru akan
menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Dan negara mempunyai hak dan
kewajiban untuk menciptakan kondisi masyarakat yang adil dan seimbang dengan
mendistribusikan harta kekayaan negara pada masyarakat dan berupaya menjamin
agar kehidupan masyarakat makmur dan sejahtera.
Endnote
1
Smith Athif Az Zain, Al Islam Khuthutun „Aridhah:al-iqtishad, al-Hakim, al-Ijtima‟,
(Kairo: t.p.,1986), h. 12.
2
Depag RI, Al-Qur‟an al-Karim danTerjemahan, (Jakarta: PT.Bhumi Restu, 1977), h. 549.
3
Ibid., h. 901.
4
Hasan Abdurrahman, Islam, “Politik Dan Spiritual”, (Singapura: Lisanul–Haq, 1998), h.
54.
5
Abu Azzam, “Sistem Ekonomi Islam”, Makalah Seminar Nasional dan Bedah Buku,UKKI
UPN Surabaya, 1997.
6
Syekh Taqiyyudin al-Nabhani, Al-Nidzam al-Iqtishady fi al-Islam, terjemah, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1997).
7
Muhhamad Qutub, Islam The Misunderstood Religion, (Kuwait: Ministry of Auqaf and
Islamic, 1967), h. 249.
8Depag RI, Al-Qur‟an, h.115.
9
Masyfuk Zuhdi, Studi Islam, Jilid 3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1988), h. 93.
10
Depag RI, Al-Qur‟an, h. 916.
11
M. Ismail Yusanto, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h.28.
12
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam I, terjemahan, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1995).
13
Sayid Qutub, al-„Adatu al-Ijtima‟iyah fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1968), h.
103-106.
14
Depag RI, Al-Qur‟an, h. 97.
15
MA. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Edisi III Terj. (Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1997).
16
Depag RI, Al-Qur‟an, h.70.
17
Ali Ahmad al-Jurawi, Hikamtu al-Tasyri‟I al-Islami, (Kairo: t.p., 1931), h.1534.
18
Wachid M. Magfur, ”Mencari Sistem Ekonomi Alternatif”, Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional dan Bedah Buku , UKKI UPN, Surabaya, 1997.
19
Moh. Ahmad Al-Assal, dkk., Sistem Ekonomi Islam, Prinsip dan Tujuannya, terjemahan,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1980).
Download