BAB I - pps unud

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pembiayaan dari sebuah perusahaan diperoleh dari dua sumber yaitu sumber
dari dalam perusahaan (internal) berupa laba dan dari luar perusahaan (eksternal)
berupa hutang dan penerbitan sekuritas oleh perusahaan. Jika hutang melebihi batas
maksimum yang diindikasikan dengan tingginya dept to equity ratio (perbandingan
antara hutang dan modal sendiri), maka biaya modal perusahaan tidak lagi minimum.
Akibat hutang menjadi tidak efektif lagi sebagai sumber pembiayaan perusahaan.
Alternatif lain yang dapat dilakukan perusahaan untuk mendapatkan sumber
pembiayaan adalah menerbitkan sekuritas yang berupa surat tanda hutang (obligasi)
dan surat tanda kepemilikan (saham) melalui pasar modal. Sumber pendanaan melalui
saham dianggap paling murah sebagai sumber dana karena mempunyai risiko paling
kecil dibandingkan sumber lainnya.
Di era globalisasi ini, hampir semua negara menaruh perhatian besar terhadap
pasar modal karena memiliki peranan strategis bagi penguatan ketahanan ekonomi
suatu negara. Terjadinya pelarian modal ke luar negeri (capital flight) bukan hanya
merupakan dampak merosotnya nilai rupiah atau tingginya inflasi dan rendahnya
suku bunga di suatu negara, tetapi karena tidak tersedianya alternatif investasi yang
menguntungkan di negara tersebut, atau pada saat yang sama, investasi portofolio di
1
bursa negara lain menjanjikan keuntungan yang jauh lebih tinggi. Keadaan ini terjadi
sebagai konsekuensi dari terbukanya pasar saham terhadap investor asing.
Pasar modal yang ada di Indonesia merupakan pasar yang sedang berkembang
(emerging market) yang dalam perkembangannya sangat rentan terhadap kondisi
makroekonomi secara umum. Krisis ekonomi yang dimulai tahun 1998 merupakan
awal runtuhnya pilar-pilar perekonomian nasional Indonesia. Ini ditandai dengan
turunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan Indonesia dalam bentuk
penarikan dana besar-besaran (rush) oleh deposan untuk kemudian disimpan di luar
negeri (capital flight), dan untuk meredam melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
yang pada bulan Juli 1998 menyentuh angka 70,81 persen pertahun. Bahkan suku
bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) pada bulan Agustus 1998 sebesar 81,01
persen pertahun. Demikian juga bunga deposito berjangka menunjukkan peningkatan
hingga pada akhir Juli 1998 mencapai 59,92 persen (www.bi.go.id, diakses 27 Mei
2010). Karena suku bunga terus meningkat maka ada kecenderungan investor akan
mengalihkan modalnya ke deposito dan tentunya berakibat negatif terhadap pasar
modal. Akibat lebih jauh lagi adalah harga saham di pasar modal mengalami
penurunan yang sangat drastis. Keadaan ini diperburuk lagi bahwa 90 persen emiten
secara teknis sudah bangkrut. Hal ini terlihat dari IHSG yang terus menurun dari
tahun 1994 sampai tahun 1998.
Tingkat suku bunga yang mencapai 70% tersebut diatas dan depresiasi nilai
tukar rupiah (kurs) terhadap dolar AS sebesar 500% mengakibatkan hampir semua
2
kegiatan ekonomi terganggu (www.bi.go.id, diakses 27 Mei 2010). Dampak lain dari
menurunnya kepercayaan masyarakat berimbas sampai ke pasar modal. Harga-harga
saham menurun secara tajam sehingga menimbulkan kerugian yang cukup signifikan
bagi investor. Bagaimana tidak, jika saham yang dijual dengan harga hanya Rp 10,per lembar dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pernah turun sampai di
bawah 300 (www.jsx.co.id, diakses 27 Mei 2010).
Jogiyanto (2000) menyatakan bahwa lemahnya fondasi perekonomian
Indonesia yang menyebabkan krisis moneter di Indonesia berakibat lebih parah dan
lebih lama dibandingkan dengan Negara ASEAN. Ketidakseimbangan antara jumlah
permintaan dan penawaran dolar Amerika dalam jumlah yang relatif besar
menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika terus melemah. Hal ini
diperparah lagi pada akhir tahun 1997 dengan adanya penutupan 38 bank yang
tentunya mempengaruhi pasar modal. Chalimah (2006) menyatakan bahwa dampak
dari penutupan bank ini sangat besar karena bank sebagai sektor tersendiri dalam
pasar modal dan proporsi nilai yang disumbangkan perbankan terhadap IHSG cukup
besar.
Pada periode setelah krisis tahun 1998 tersebut, IHSG kembali mulai
mengalami peningkatan. Tahun 1999 IHSG mencapai 676,92 poin dan terus
meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Bahkan pada tahun 2005 IHSG dapat
mencapai 1.029,61 poin. Hal ini dapat tejadi karena pada tahun 1999 Indonesia mulai
membangun kembali perekonomian nasional yang terpuruk akibat krisis. Pemerintah
3
berusaha memulihkan kondisi pasar modal dengan mengembalikan kepercayaan para
investor baik domestik maupun asing agar mau menanamkan modalnya kembali.
Dengan melihat indikator ekonomi beberapa tahun terakhir ini, gejala
pemulihan kepercayaan masyarakat mulai tampak. Pada September 2004, IHSG
mencapai 820,1 dan sampai Desember 2005 telah mencapai 1162,63. Ini merupakan
peningkatan yang cukup signifikan mengingat IHSG pada tahun 2001, 2002, dan
2003 baru mencapai 392,03, 424,94, dan 679,3 (www.jsx.co.id, diakses 27 Mei
2010). Kemudian sepanjang periode bulan Januari-Juli 2006, PT Bursa Efek Jakarta
(BEJ) terus menerus berupaya menciptakan pasar yang semakin likuid, wajar, teratur
dan transparan. Sepanjang periode di atas, bursa telah menunjukkan prestasi yang
sangat menggembirakan. Salah satunya ditunjukkan dengan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) BEJ yang berhasil mencatat rekor tertinggi pada tanggal 11 Mei
2006 di level 1.553,062 (www.jsx.co.id, diakses 27 Mei 2010).
Sayang sekali kepercayaan masyarakat yang mulai tumbuh tersebut kembali
diguncang oleh krisis yang disebut sebagai krisis global pada tahun 2008. Pada krisis
tahun 2008 ini hanya tiga pasar yang terguncang akibat krisis, yaitu pasar modal,
pasar valas, dan ekspor. Kurs rupiah yang stabil di Rp 9.000-10.000 di era
pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono sempat melemah terhadap dolar AS hingga
hampir mencapai Rp 13.000 (www.bi.go.id, diakses 26 Juli 2010). Ekspor juga
merosot hingga 30% selama Januari-April 2009 dibandingkan tahun sebelumnya
(Badan Pusat Statistik, Oktober 2009).
4
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menembus di atas 2.800,
namun anjlok drastis hingga 1.111. penyebabnya karena 67% bursa Efek Indonesia
dikuasai oleh para pemain asing (www.jsx.co.id, diakses 26 Juli 2010). Awal tahun
2008 indeks harga saham gabungan masih berada pada posisi diatas 2000, tetapi
mulai periode pertengahan hingga awal 2009 dampak resesi global mulai
berpengaruh pada pergerakan saham di Indonesia, sehingga terus mengalami
penurunan hingga level di bawah 1500 (www.jsx.co.id, diakses 26 Juli 2010). Pasar
saham yang mengalami penurunan mengindikasikan adanya kekhawatiran bahwa
resesi akan muncul. Walaupun pasar saham dalam kenyataannya berfluktuasi dan
dapat memberi tanda-tanda yang salah tentang masa depan perekonomian, meskipun
demikian sebenarnya ada keterkaitan antara pasar saham dan perekonomian.
IHSG merupakan cerminan dari kegiatan pasar modal secara umum.
Peningkatan IHSG menunjukkan kondisi pasar modal sedang bullish, sebaliknya jika
menurun menunjukkan kondisi pasar modal sedang bearish. Seorang investor harus
memahami pola perilaku harga saham di pasar modal. Pada penelitiannya, Lee (2002)
telah ditemukan bahwa perubahan tingkat suku bunga riil (real interest rate)
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap indeks harga saham. Suku bunga riil
(real interest rate) adalah suku bunga yang telah mengalami koreksi akibat inflasi
dan didefinisikan sebagai suku bunga nominal dikurangi laju inflasi. Dikatakan juga
bahwa tingkat suku bunga riil merupakan perbedaan di antara tingkat suku bunga
nominal dan tingkat inflasi harapan.
5
Pada artikel yang ditulis oleh Moradoglu, et al. (2000), dikemukakan bahwa
penelitian tentang perilaku harga saham telah banyak dilakukan, terutama dalam
kaitannya dengan variabel makroekonomi, diantaranya Chen et al. (2006), Geske and
Roll (2003), dan Fama (2001). Hasil penelitian mereka mengatakan bahwa harga
saham dipengaruhi oleh fluktuasi makroekonomi. Beberapa variabel makroekonomi
yang digunakan antara lain; tingkat inflasi, tingkat bunga, nilai tukar, indeks produksi
industri dan harga minyak.
Berbagai informasi yang masuk di pasar modal maupun kejadian-kejadian
yang tidak berhubungan dengan pasar modal dapat mempengaruhi volatilitas atau
naik turunnya harga saham. Pergerakan IHSG dipengaruhi oleh berbagai faktor baik
internal maupun eksternal. Pengaruh-pengaruh eksternal seperti pergerakan tingkat
suku bunga begitu juga dengan pergerakan indeks saham luar negeri dipercaya telah
menjadi faktor dominan yang mempengaruhi IHSG, sedangkan faktor internal lebih
dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa dalam negeri seperti ekspektasi rasional investor
serta pengaruh dari pergerakan variabel-variabel ekonomi makro lainnya seperti nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika, tingkat inflasi, suku bunga (Deposit Rate), suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan jumlah uang beredar (money supply).
Ajayi dan Mougoue (2006) juga menggunakan variabel makroekonomi nilai
tukar riil dan harga saham. Nilai tukar riil atau kurs riil (real exchange rate) adalah
harga relatif dari barang-barang di antara dua Negara. Dengan demikian nilai tukar
riil didefinisikan sebagai nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga
relatif yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar
6
negeri. Mereka meneliti hubungan dinamis antara harga saham dan nilai tukar riil
pada “Delapan Besar” pasar saham, yaitu Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang,
Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat dengan menggunakan bivariate error
correction model. Hasil penelitian mereka menunjukkan hubungan yang signifikan
antara nilai tukar dan harga saham (pasar modal dan pasar uang). Hasil ini kemudian
didukung juga oleh Sudjono (2008) serta Sitinjak dan Kurniasari (2008) bahwa nilai
tukar rupiah riil (kurs riil) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap IHSG.
Gupta (2000) telah mengadakan penelitian di Indonesia dengan menggunakan
data periode 1993-1997 dan menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas
antara tingkat bunga riil, nilai tukar riil, dan harga saham. Hasil ini bertolak belakang
dengan Sitinjak dan Kurniasari (2008) yang menemukan bahwa nilai tukar riil dan
tingkat suku bunga riil berpengaruh terhadap IHSG, namun Saadah dan Panjaitan
(2006) menyimpulkan bahwa tidak ada interaksi dinamis yang signifikan antara harga
saham dan nilai tukar riil.
Perkembangan ekonomi akan selalu mengalami pasang surut (fluktuasi) yang
mana pada periode tertentu tumbuh pesat, tetapi pada periode lain tumbuh lambat,
maka pemerintah atau otoritas moneter perlu melakukan kebijakan stabilisasi makro
agar perekonomian dapat tumbuh berkesinambungan. Kondisi demikian dicapai
dengan pengelolaan sisi permintaan dan penawaran yang dikelola sedemikian rupa
sehingga mengarah pada keseimbangan (ekuilibrium). Kebijakan moneter sebagai
bagian dari pengelolaan stabilisasi ekonomi makro, diterapkan sejalan dengan
fluktuasi ekonomi (Business Cycle). Kebijakan moneter pada saat boom akan berbeda
7
dengan saat perekonomian melambat. Pada saat boom, kebijakan moneter biasanya
cenderung kontraktif, sementara pada saat perekonomian melambat, kebijakan
moneter akan cenderung ekspansif.
Kebijakan moneter dapat mempengaruhi sektor riil melalui transmisi
kebijakan moneter. Mekanisme transmisi kebijakan moneter umumnya dapat terjadi
melalui lima jalur yaitu jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga aset, jalur
kredit, dan jalur ekspektasi. Transmisi kebijakan moneter masing-masing Negara
berbeda-beda tergantung pada perbedaan struktur perekonomian, perkembangan
pasar keuangan, dan sistem nilai tukar yang dianut.
Transmisi kebijakan moneter yang dapat berlangsung dalam berbagai jalur
tersebut akan berpengaruh terhadap sektor riil, sektor riil identik dengan pergerakan
perekonomian dimana pergerakan sektor riil yang cepat merupakan sinyal bagi pasar
bahwa perekonomian sedang bergairah. Pada konteks mekanisme transmisi kebijakan
moneter melalui pasar saham, perlakuan kebijakan moneter mempengaruhi harga
saham, dimana hal itu dihubungkan terhadap ekonomi riil melalui pengaruhnya atas
pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi (Kontonikas, 2006).
Pasar saham membentuk ekspektasi melalui perkiraan kemajuan perusahaan
dengan mengharapkan dividen sebagai hasil dari investasi. Hal ini terkait dengan
pergerakan aktivitas perekonomian di suatu negara sehingga pergerakan sektor riil
dalam perekonomian sangat mempengaruhi tindakan para pelaku di lantai bursa.
Kebijakan moneter merupakan salah satu faktor pembentuk ekspektasi pada pasar
saham, karena melalui kebijakan moneter akan sangat berpengaruh pada kinerja
8
sektor riil, dimana kebijakan moneter akan mempengaruhi perkembangan sektor riil
terutama konsumsi dan investasi yang kemudian akan membentuk ekspektasi untuk
menjual atau membeli saham bagi para pelaku perdagangan saham di lantai bursa.
Penjualan dan pembelian saham akan membentuk harga saham-saham yang
diperdagangkan dilantai bursa, maka sebagai indikator kemajuan perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah kenaikan harga saham. Akibat dari
struktur perekonomian yang belum menetap, faktor-faktor lain pembentuk ekspektasi,
serta tindakan spekulatif dari para pelaku akan mempengaruhi perdagangan pasar
saham yang berarti juga mempengaruhi naik turunnya IHSG. Sehingga ada
kemungkinan pasar saham kurang respon terhadap kebijakan moneter sebagai salah
satu pembentuk ekspektasi yang berpengaruh terhadap naik turunnya perkembangan
IHSG tersebut.
Kenaikan nilai tukar dan fluktuasi IHSG selama krisis finansial global
menjadi topik yang populer di surat kabar terutama di surat kabar keuangan dan di
kalangan akademisi. Kita masih dapat mengingat kembali kehebohan dunia saat
terjadi krisis keuangan global yang bermula di Amerika Serikat, dimana krisis
tersebut juga mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Kinerja pasar saham pada awal tahun 2008 masih cukup baik, namun
menjelang akhir triwulan III-2008, perekonomian dunia dihadapkan pada satu babak
baru yaitu runtuhnya stabilitas ekonomi global, seiring dengan meluasnya krisis
finansial ke berbagai negara. Krisis finansial global mulai muncul sejak bulan
Agustus 2007, yaitu pada saat salah satu bank terbesar Perancis BNP Paribas
9
mengumumkan pembekuan beberapa sekuritas yang terkait dengan kredit perumahan
berisiko tinggi AS (subprime mortgage). Pembekuan ini lantas mulai memicu gejolak
di pasar finansial dan akhirnya merambat ke seluruh dunia. Di penghujung triwulan
III-2008, intensitas krisis semakin membesar seiring dengan bangkrutnya bank
investasi terbesar AS Lehman Brothers, yang diikuti oleh kesulitan keuangan yang
semakin parah di sejumlah lembaga keuangan berskala besar di AS, Eropa, dan
Jepang.
Krisis keuangan dunia tersebut telah berimbas ke perekonomian Indonesia
sebagaimana tercermin dari gejolak di pasar modal dan pasar uang. Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) pada bulan Desember 2008 ditutup pada level 1.355,4,
terpangkas hampir separuhnya dari level pada awal tahun 2008 sebesar 2.627,3,
bersamaan dengan jatuhnya nilai kapitalisasi pasar dan penurunan tajam volume
perdagangan saham (www.jsx.co.id, diakses 26 Juli 2010). Nilai tukar rupiah juga
ikut terkoreksi tajam hingga mencapai level Rp10.900/USD pada akhir Desember
2008. (www.bi.go.id, diakses 26 Juli 2010).
Krisis finansial global diperkirakan berakhir pada kuartal ketiga 2009 saat
perekonomian AS mulai bergerak tipis, meski perlambatan ekonomi masih akan
terjadi. Hal ini dikemukakan Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Ben Bernanke.
Hal ini belum tentu langsung berimbas positif terhadap perekonomian Indonesia,
disebabkan karena elastisitas nilai permintaan ekspor dari pasar AS tidak terlalu
tinggi, (Agustian, 2009).
10
Uraian diatas menyatakan seberapa parah dampak kondisi ekonomi di
Indonesia selama krisis finansial global, sehingga penulis bermotivasi untuk
menemukan apakah kehancuran pasar modal menyebabkan depresiasi nilai tukar atau
depresiasi nilai tukar mempengaruhi kejatuhan harga saham dan apakah krisis
finansial global akan mengubah hubungan ini.
Kenyataannya, hubungan diantara nilai tukar dan harga saham dapat dilihat
sebagai hubungan kausalitas. Hal ini berarti bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah secara
substansial akan mempengaruhi nilai dari suatu perusahaan, dan pada akhirnya akan
berpengaruh kuat pada harga saham atau disebut traditional approach. Pergerakan
pasar modal akan menyebabkan pergerakan modal di suatu negara mengakibatkan
fluktuasi nilai tukar. Fenomena ini disebut juga portfolio approach. (Halim, Lean dan
Wong, 2005).
Berdasarkan penelitian terdahulu yang masih menunjukkan hasil kontradiktif,
sedangkan uraian di atas menunjukkan adanya hubungan kausalitas dan kointegrasi
antara nilai tukar riil dan tingkat suku bunga riil terhadap IHSG, namun krisis
finansial global diduga mempengaruhi keberadaan hubungan kausalitas dan
kointegrasi antara nilai tukar dan IHSG, sehingga dalam penelitian ini, penulis
membagi penelitian menjadi dua periode yaitu sebelum krisis dan semasa krisis. Oleh
karena itu, dalam tesis ini, peneliti mengambil judul “PENGARUH NILAI TUKAR
RIIL DAN TINGKAT SUKU BUNGA RIIL TERHADAP INDEKS HARGA
SAHAM GABUNGAN DI BURSA EFEK INDONESIA”.
11
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
a.
Apakah
nilai
tukar riil berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebelum dan sesudah krisis global?
b.
Apakah tingkat suku bunga riil berpengaruh signifikan terhadap Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebelum dan
sesudah krisis global?
c.
Apakah nilai tukar riil dan tingkat suku bunga riil secara bersama-sama
(secara simultan) berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebelum dan sesudah krisis
global?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a.
Untuk
mengetahui signifikansi pengaruh nilai tukar riil terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebelum dan sesudah krisis
global.
12
b.
Untuk mengetahui signifikansi pengaruh tingkat
suku bunga riil terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek
Indonesia (BEI) sebelum dan sesudah krisis global.
c.
Untuk mengetahui signifikansi pengaruh nilai tukar
riil dan tingkat suku bunga riil secara bersama-sama (secara simultan) terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebelum
dan sesudah krisis global.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai macam manfaat baik
secara teoritis mapun praktis empiris, yang berguna bagi perkembangan ilmu
pengetahuan maupun pemecahan masalah bagi masyarakat. Secara terperinci manfaat
penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.4.1
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam bentuk bukti empiris
dalam manajemen keuangan tentang Pengaruh Nilai Tukar Riil dan Tingkat suku
Bunga Riil terhadap Indeks Harga Saham Gabungan. Penelitian ini diharapkan akan
didapatkan informasi tambahan mengenai model pendugaan IHSG berdasarkan pada
variabel-variabel nilai tukar riil dan suku bunga riil, selain itu hasil penelitian ini
secara teoritis dapat dijadikan dasar pijakan untuk penelitian selanjutnya tentang
pergerakan IHSG baik yang dipengaruhi oleh nilai tukar riil atau suku bunga riil
ataupun variabel-variabel fundamental lainnya.
13
1.4.2
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu investor dalam pengambilan
keputusan sebagai dasar pertimbangan dalam menjual, membeli atau menahan saham
yang mereka miliki berkenaan dengan perubahan kurs rupiah riil dan tingkat suku
bunga riil. Penentuan dalam penerapan strategi perdagangan di pasar modal, akan
membantu investor dalam memaksimalkan manfaat finansialnya secara optimal
dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi IHSG.
.
14
Download