BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Struktur Modal 2.1.1.1 Pengertian Struktur Modal Wiksuana, dkk. (2001:179) memberikan definisi struktur modal sebagai perimbangan antara hutang jangka panjang dengan modal sendiri. Sjahrial (2014:250) mendefinisikan struktur modal sebagai perimbangan antara penggunaan modal pinjaman (hutang jangka pendek yang bersifat permanen, dan hutang jangka panjang) dengan modal sendiri (saham preferen dan saham biasa). Struktur modal merupakan campuran antara hutang jangka panjang dan euitas, dalam rangka mendanai investasi perusahaan (operating assets). Dalam suatu aktivitas bisnis menentukan struktur modal yang tepat merupakan tantangan bagi para eksekutif perusahaan. Perusahaan akan berupaya untuk memperoleh dana dengan biaya modal yang minimal dengan hasil yang maksimal (Raharjaputra, 2009:212). Dari pengertian-pengertian yang telah dipaparkan dapat ditarik kesimpulan bahwa struktur modal merupakan kombinasi antara hutang jangka panjang dengan modal sendiri (ekuitas) suatu perusahaan. 11 2.1.1.2 Komponen Struktur Modal Struktur modal suatu perusahaan secara umum terdiri atas dua komponen (Riyanto, 2001:227) yaitu: 1) Modal asing atau hutang jangka panjang Modal asing atau hutang jangka panjang adalah hutang jangka dengann jangka waktu umumnya lebih dari sepuluh tahun. Hutang jangka panjang ini pada umumnya digunakan untuk membelanjai perluasan perusahaan (ekspansi) atau modernisasi dari perusahaan karena kebutuhan modal untuk keperluan tersebut meliputi jumlah yang besar. Komponen - komponen hutang jangka panjang ini terdiri dari: (1) Hutang hipotik (mortgage) Hutang hipotik adalah bentuk hutang jangka panjang yang dijamin dengan aktiva tidak bergerak (tanah dan bangunan). (2) Obligasi (bond) Obligasi adalah sertifikat yang menunjukan pengakuan bahwa perusahaan meminjam uang dan menyetujui untuk membayarnya kembali dalam jangka waktu tertentu. Pelunasan atau pembayaran kembali obligasi dapat diambil dari penyusutan aktiva tetap yang dibelanjai dengan pinjaman obligasi tersebut dan dari keuntungan. 2) Modal Sendiri (Shareholder Equity) Modal Sendiri adalah modal yang berasal dari pemilik perusahaan dan yang tertanam dalam perusahaan dalam jangka waktu tertentu lamanya. Modal sendiri berasal dari sumber intern maupun extern, sumber intern didapat dari 12 keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan, sedangkan sumber extern berasal dari modal yang berasal dari pemilik perusahaan. Komponen Modal sendiri terdiri dari: (1) Modal Saham Saham adalah tanda bukti kepemilikan suatu Perusahaan Terbatas (PT), dimana modal saham terdiri dari: a. Saham Biasa (Common Stock) Saham biasa adalah bentuk komponen modal jangka panjang yang ditanamkan oleh investor, dengan memiliki saham ini berarti investor membeli prospek dan siap menanggung segala risiko sebesar dana yang ditanamkan. b. Saham Preferen (Preferred Stock) Saham preferen bentuk komponen modal jangka panjang yang merupakan kombinasi antara modal sendiri dengan hutang jangka panjang. (2) Laba Ditahan Laba ditahan adalah sisa laba dari keuntungan yang tidak dibayarkan sebagai deviden. Komponen modal sendiri ini merupakan modal perusahan yang dipetaruhkan untuk segala risiko, baik risiko usaha maupun risiko–risiko kerugian lainnya. Modal sendiri ini tidak memperlukan jaminan atau keharusan untuk pembayaran kembali dalam setiap keadaan maupun tidak adanya kepastian tentang jangka waktu pembayaran kembali modal sendiri. Oleh karena itu, tiap– tiap perusahaan harus mempunyai jumlah minimum modal yang diperlukan untuk 13 menjamin kelangsungan hidup perusahaan. 2.1.2 Teori Struktur Modal Teori struktur modal menjelaskan pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan dengan asumsi cateris paribus. Struktur modal yang mampu memaksimumkan nilai perusahaan atau harga saham adalah struktur modal yang terbaik (Husnan dan Pudjiastuti, 2006:263). Teori struktur modal terdiri dari Modigliani and Miller Theory, trade-off theory, pecking order theory, dan signalling theory. 2.1.2.1 Modigliani and Miller Theory Teori yang dikembangkan oleh Modigliani dan Miller (MM) pada tahun 1958 dalam artikerlnya yang berjudul “The Cost of Capital, Corporation Finance, and The Theory of Investment” membuktikan bahwa nilai suatu perusahan tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya (Brigham dan Houston, 2011:179-182). Hasil yang diperoleh MM menunjukkan bagaimana sebuah perusahaan akan mendanai operasinya tidak akan berarti apa-apa, sehingga struktur modal adalah sesuatu yang tidak relevan. Studi MM ini didasarkan pada beberapa asumsi yag tidak realistis, antara lain : 1) Tidak ada biaya pialang. 2) Tidak ada pajak. 3) Tidak ada biaya kebangkrutan. 4) Investor dapat meminjam pada tingkat yang sama dengan perusahaan. 14 5) Semua investor memiliki informasi yang sama dengan manajemen tentang peluang-peluang investasi di masa depan. 6) EBIT tidak terpengaruh oleh penggunaan hutang. Pada tahun 1963 dikembangkan model MM yaitu dengan menggunakan pajak. MM menyimpulkan bahwa penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Hal ini dikarenakan biaya hutang adalah biaya yang mengurangi pembayaran pajak. Menurut MM, perusahaan akan mencapai nilai maksimal jika perusahaan sepenuhnya menggunakan hutang 100 persen. Namun, pada kenyataannya perusahaan jarang menggunakan hutang 100 persen karena perusahaan akan membatasi penggunaan hutangnya untuk menjaga biaya-biaya yang berhubungan dengan kebangkrutan agar tetap rendah. 2.1.2.2 Trade-off Theory Trade-off theory menjelaskan hubungan antara pajak, risiko kebangkrutan, dan penggunaan hutang yang disebabkan karena keputusan struktur modal perusahaan (Almandana, 2014). Dalam konsep trade-off theory nilai suatu perusahaan yang menggunakan hutang sama dengan nilai dari suatu perusahaan yang tidak menggunakan hutang ditambah nilai dari beberapa efek sampingannya termasuk tax shield dan biaya-biaya yang diperkirakan berkaitan dengan financial distress (Sjahrial, 2014:277). The Trade-off Theory memang tidak dapat digunakan untuk menentukan struktur modal yang optimal secara akurat dari suatu perusahaan. Model trade-off ini memungkinkan untuk dibuat tiga kesimpulan tentang penentuan struktur 15 modal, yaitu (Mutamimah dan Rita, 2009 dalam Solekha, 2014): 1) Perusahaan dengan risiko bisnis tinggi harus menggunakan lebih kecil hutang dibanding perusahaan yang mempunyai risiko bisnis rendah, karena semakin tinggi risiko bisnis, penggunaan hutang yang semakin besar akan meningkatkan beban bunga, sehingga akan mempersulit keuangan perusahaan. 2) Perusahaan yang dikenai pajak tinggi pada batas tertentu sebaiknya menggunakan banyak hutang karena adanya tax shield. 3) Target rasio hutang akan berbeda antara perusahaan satu dengan perusahaan yang lain. Perusahaan yang profitable, dan tangible assets mempunyai target rasio hutang lebih tinggi. Perusahaan yang unprofitable dengan risiko tinggi dan intangible assets mempunyai rasio hutang lebih rendah dan mengandalkan pada ekuitas. 2.1.2.3 Pecking Order Theory Pendekatan yang dikemukakan oleh Myers dan Majluf tahun 1984 (dalam Wiksuana, dkk., 2001:196) berpandangan bahwa pemilihan struktur modal mengikuti pecking order theory. Secara ringkas teori tersebut menjelaskan bahwa: 1) Perusahaan menyukai internal financing 2) Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian deviden yang ditargerkan dengan berusaha pembayaran deviden secara derastis 16 menghindari perubahan-perubahan 3) Kebijakan deviden yang cenderung kaku, disertai fluktuasi profitabilitas dan kesempatan investasi yang dihadapi, mengakibatkan perusahaan kadang kelebihan dana atau kekurangan dana untuk investasi. Apabila kekuarangan dana, maka perusahaan akan mencoba mengurangi saldo kas atau menjual sekuritas yang dimiliki 4) Apabila pendanaan eksternal diperlukan, perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu baru diikuti dengan sekuritas yang berkarakteristik opsi, dan akhirnya menerbitkan saham baru. Pecking order theory menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan yang profitable umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut dikarenakan perusahaan yang profitabel memerlukan external financing yang sedikit. Hal yang berbeda berlaku pada perusahaan yang kurang profitable yang cenderung mempunyai hutang yang lebih besar karena dua alasan, yaitu (1) dana internal tidak cukup, dan (2) hutang merupakan sumber eksternal yang lebih disukai. 2.1.2.4 Signalling Theory Isyarat atau signal menurut Bringham dan Houston (2011:185-186) adalah suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Teori ini mengungkapkan bahwa investor dapat membedakan antara perusahaan yang memiliki nilai tinggi dengan perusahaan yang memiliki nilai rendah dengan mengobservasi struktur permodalannya. Perusahaan dengan prospek yang 17 menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham, sedangkan perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya. Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan merupakan suatu isyarat (signal) bahwa manajemen memandang prospek perusahaan tersebut suram. Apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan saham baru lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya akan menurun, karena menerbitkan saham baru berarti memberikan isyarat negatif yang kemudian dapat menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah. Pengumuman penggunaan hutang yang lebih banyak dalam capital structure perusahaan menunjukkan adanya optimisme pihak insiders mengenai prospek di masa depan perusahaan, dimana perusahaan akan lebih profitable dan dapat memenuhi kewajiban finansial yang harus dipenuhinya. Menurut Bringham dan Houston (2011:185-186) asymmetric information adalah situasi dimana manajer memiliki informasi yang berbeda mengenai prospek perusahaan daripada yang dimiliki investor. Kondisi ini dapat dilihat dari reaksi harga saham ketika manajemen mengumumkan sesuatu (seperti peningkatan pembayaran deviden). Dengan demikian, pihak manajemen berpikir bahwa harga saham saat ini sedang overvalue (terlalu mahal). Apabila hal tersebut yang dipikirkan terjadi, maka manajemen tentu akan berpikir lebih baik menawarkan saham baru, sehingga dapat dijual dengan harga yang yang lebih mahal dari yang seharusnya. Di sisi lain, apabila perusahaan menawarkan saham baru, pemodal akan menafsirkan bahwa salah satu kemungkinannya adalah harga saham saat ini sedang terlalu mahal (sesuai dengan persepsi pihak manajemen). 18 Sebagai akibatnya para pemodal akan menawar harga saham baru tersebut dengan harga yang lebih rendah. Karena itu emisi saham baru akan menurunkan harga saham. 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal Menurut Riyanto (2001:296) struktur modal suatu perusahaan dipengaruhi oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor yang utama adalah: 1) Tingkat bunga Tingkat bunga akan mempengaruhi pemilihan jenis modal apa yang akan ditarik, apakah perusahaan akan mengeluarkan saham ataukah obligasi. 2) Stabilitas earning Suatu perusahaan yang mempunyai earning yang stabil akan selalu dapat memenuhi kewajiban finansialnya sebagai akibat dari penggunaan modal asing. Sebaliknya perusahaan yang mempunyai earning yang tidak stabil dan unpredictable akan menanggung risiko tidak dapat membayar beban bunga pada tahun atau keadaan yang memburuk. 3) Struktur aktiva Perusahaan yang sebagian besar modalnya tertanam dalam aktiva tetap, akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan modalnya dari modal sendiri, sedangkan modal asing sifatnya sebagai pelengkap. Sementara itu, perusahaan yang sebagian besar aktivanya berupa aktiva lancar akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan dananya dengan hutang jangka pendek. 19 4) Kadar risiko dari aktiva Makin panjang jangka waktu penggunaan suatu aktiva dalam perusahaan, makin besar risikonya. Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, serta ilmu pengetahuan yang tiada henti, dalam artian ekonomis dapat mempercepat tidak digunakannya suatu aktiva, meskipun dalam artian teknis masih dapat digunakan. 5) Besarnya jumlah modal yang dibutuhkan Apabila jumlah modal yang dibutuhkan sangat besar, maka dirasakan perlu bagi perusahaan untuk mengeluarkan beberapa golongan sekuritas secara bersama-sama. Sedangkan bagi perusahaan yang membutuhkan modal yang tidak begitu besar cukup hanya mengeluarkan satu golongan sekuritas saja. 6) Keadaan pasar modal Keadaan pasar modal sering mengalami perubahan disebabkan adanya gelombang konjungtor, sehingga perusahaan harus menyesuaikan dengan keadaan pasar modal tersebut. Pada umumnya apabila gelombang meninggi (up-saving) para investor lebih tertarik untuk menanamkan modalnya dalam saham. 7) Sifat manajemen Sifat manajemen akan mempunyai pengaruh langsung dalam pengambilan keputusan mengenai cara pemenuhan kebutuhan dana. 8) Besarnya suatu perusahaan Perusahaan yang lebih besar yang sahamnya tersebar luas akan lebih 20 berani mengeluarkan saham baru dalam memenuhi kebutuhanannya untuk membiayai pertumbuhan penjualannya dibanding perusahaan yang lebih kecil. Menurut Wiksuana, dkk. (2001:201) pemilihan struktur modal dipengaruhi oleh berbagai faktor. Fakor-faktor tersebut diantaranya adalah : 1) Tingkat penjualan Perusahaan dengan penjualan yang relative stabil dapat menggunakan leverage/hutang lebih besar daripada perusahaan dengan penjualan yang tidak stabil. 2) Struktur aset Perusahaan dengan struktur aset yang fleksibel cenderung menggunakan leverage lebih besar daripada perusahaan yang struktur asetnya tidak fleksibel. 3) Tingkat pertumbuhan perusahaan Apabila faktor lain sama, maka perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi cenderung akan menggunakan sumber dana dari luar. Alasan lain adalah karena biaya emisi saham biasanya lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya pengeluaran obligasi. 4) Profitabilitas dan pajak Perusahaan dengan profitabilitas tinggi akan menggunakan hutang yang lebih kecil karena perusahaan mampu menyediakan dana yang cukup melalui laba ditahan. Selain itu, karena pembayaran bunga merupakan 21 pengurangan pajak, maka semakin tinggi tingkat pajak perusahaan semakin besar leverage perusahaan. 5) Kebijakan deviden Apabila perusahaan cenderung membagikan deviden yang besarnya tetap, maka pembayaran deviden tersebut akan merupakan beban tetap bagi perusahaan. Dengan demikian maka perusahaan yang menggunakan leverage yang tinggi akan sulit untuk mempertahankan pembayaran deviden yang tetap tersebut. Hal ini disebabkan karena leverage yang tinggi juga akan menimbulkan beban yang tinggi pula. 6) Kondisi interen perusahaan Perusahaan suatu saat perlu menanti saat yang tepat untuk mengeluarkan saham atau obligasi tergantung kondisi intern. Perusahaan lebih baik menggunakan hutang untuk membiayai produk baru dan menunggu hingga keuntugan atas produk baru cukup material tercermin pada harga saham yang lebih tinggi. Setelah itu perusahaan dapat mengeluarkan saham dan sebagian dari penjualan saham tersebut dapat digunakan untuk membayar kembali hutang perusahaan. 7) Pengendalian Pemilik perusahaan mungkin memilih menggunakan hutang hanya karena tidak ingin kehilangan kendali atas perusahaan tersebut. Apabila perusahaan mengeluarkan saham baru maa proporsi kepemilikan pemegang saham lama akan berkurang, kecuali perusahaan juga dapat membeli saham baru tersebut dengan proporsi yang sama. Masalahnya 22 adalah bahwa mungkin saha pemilik saham yang lama tidak mempunyai uang yang cukup, padahal perusahaan memerlukan tambahan dana. Dalam situasi ini mungkin saja pemilik memutuskan untuk menerbitkan obligasi dengan maksud agar tidak kehilangan kendali atas perusahaan. 8) Attitude management Karena tidak seorangpun dapat membuktikan bahwa satu struktur modal akan mengakibatkan harga saham lebih tinggi dari struktur modal yang lain, maka manajemen dapat menentukan sesuai dengan penilaian mereka sendiri tentang struktur modal yang tepat. Beberapa manajemen cenderung menggunakan hutang yang lebih besar sementara manajemen lain sebaliknya. 2.1.4 Profitability Profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan memperoleh laba atau ukuran efektivitas pengelolaan manajemen perusahaan. Kemampuan memperoleh laba bisa diukur dari modal sendiri maupun dari seluruh dana yang diivestasikan ke dalam perusahaan (Wiagustini, 2010:76). Rasio profitabilitas merupakan sekelompok rasio yang menunjukkan kombinasi dari pengaruh likuiditas, manajemen aset, dan utang pada hasil operasi (Husnan dan Pudjiastuti, 2006:146). Rasio profitabilitas terdiri dari (Wiagustini, 2010:81) : 1) Profit Margin Mengukur laba yang dicapai dibandingkan dengan penjualan. Profit margin dihitung dengan formulasi sebagai berikut : 23 ππππππ‘ ππππππ = !"#" !"#$%! !"#$%&'&# ×100% ...................................................... (1) 2) Return on Investment (ROI)/Return on Total Assets (ROA)/Earning Power (EP) Mengukur kemampuan menghasilkan laba dari total aktiva yang digunakan. Rasio ini dihitung dengan formulasi sebagai berikut : !"#" !"#$%! π ππΌ = !"#$% !"#$%& ×100% ....................................................................... (2) !"#" !"#$%! π ππ΄ = !"#$% !"#$%& ×100% ....................................................................... (3) !"#" !"#$%! πΈπ = !"#$% !"#$%& ×100% ......................................................................... (4) 3) Return on Net Worth atau Return on Equity Mengukur return atas modal sendiri, rasio ini dihitung dengan formulasi sebagai berikut : !"#" !"#$%! π ππΈ = !"#$% !"#$%&% ×100% .................................................................... (5) Dalam penelitian ini, profitabilitas diproksikan dengan menggunakan Return On Equity (ROE), hal ini dikarenakan ROE mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba yang tersedia bagi pemegang saham perusahaan dalam bentuk penyertaan modal sendiri yang ditanamkan oleh pemegang saham. Menurut Kasmir (2008:199) ROE merupakan rasio untuk mengukur laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. ROE menunjukkan efisiensi dari penggunaan modal sendiri (equity). ROE yang tinggi menujukkan posisi pemilik perusahaan semakin kuat, demikian pula sebaliknya. Brigham dan Houston (2011: 40), mengatakan bahwa perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi menggunakan hutang yang relatif 24 kecil. Tingkat pengembalian yang tinggi memungkinkan untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan dengan dana yang dihasilkan secara internal. Pecking order theory juga mengimplikasikan apabila perusahaan lebih profitable maka pendanaannya lebih banyak berasal dari sumber internal yang diperoleh dari laba ditahan. Hal ini kemudian menyebabkan penggunaaan hutang sebagai sumber pendanaan cenderung menurun (Myers, 1977). Hasil studi empiris yang sejalan dengan teori pecking order menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal (Akhtar dan Oliver, 2009; Olayinka, 2011; dan Sharif et al., 2012). Perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi mampu mencadangkan lebih banyak retained earnings untuk mendanai kegiatan perusahaan (Haryanto, 2012). Dapat diartikan bahwa perusahaan tidak memerlukan penggunaan hutang apabila perusahaan memiliki profitabilitas yang tinggi karena mampu membiayai kembali kegiatan perusahaan dengan modal sendiri berupa laba ditahan. 2.1.5 Liquidity Liquidity (likuiditas) adalah kemampuan yang dimiliki perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya dalam jangka pendek dengan dana lancar yang tersedia, seperti gaji, membayar hutang jangka pendek dan membayar biaya operasional (Wiagustini, 2010:76). Menurut Kasmir (2008:129) rasio likuiditas digunakan untuk mengukur seberapa likuidnya suatu perusahaan. Caranya adalah dengan membandingkan komponen yang ada di neraca, yaitu total aktiva lancar dengan total pasiva lancar. 25 Current ratio merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewaiban jangka pendek atau hutang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih (Kasmir, 2008:146). Penelitian Masnoon dan Saeed (2014) mengukur likuiditas dengan menggunakan current ratio yaitu membandingkan aktiva lancar dengan hutang lancar yang dimiliki oleh perusahaan. Current ratio menunjukkan tingkat keamanan (margin safety) kredit jangka pendek, atau kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutang jangka pendek (Nugroho, 2011). Menurut Mulianti (2010) perusahaan yang memiliki kemampuan untuk membayar hutang jangka pendek disebut perusahaan yang likuid. Apabila perusahaan mempunyai tingkat likuiditas yang tinggi, berarti bahwa perusahaan tersebut mampu segera mengembalikan hutang-hutangnya. Hal ini, memberikan kepercayaan terhadap kreditor untuk memberikan pinjaman. Hasil studi empiris telah menemukan bahwa likuiditas merupakan faktor yang mempengaruhi struktur modal, dan memiliki pengaruh yang negatif signifikan (Sari dan Haryanto, 2013). Menurut Nugrahani (2012) setiap perusahaan memiliki kemampuan masing-masing dalam memenuhi kewajiban atau hutang lancarnya. Semakin besar kemampuan likuiditasnya, perusahaan tersebut semakin mampu untuk membayar hutang atau pendanaan eksternal perusahaan. Dengan kemampuan likuiditasnya, perusahaan dapat mengurangi tingkat risiko perusahaan oleh hutang dengan mengurangi tingkat hutang atas kemampuannya. 26 2.1.6 Asset Tangibility Asset tangibility adalah kekayaan atau sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh perusahaan yang diharapkan akan memberikan manfaat dimasa yang akan datang, yang terdiri dari aktiva tetap dan aktiva tidak lancar (Kesuma, 2009). Asset tangibility diukur dengan fixed asset terhadap total asset (Chevalier et al., 2006; Margaretha dan Ramadhan, 2010; Murhadi, 2011; dan Sari, dkk., 2013). Seperti yang dijelaskan oleh Sartono (2010: 248) besarnya fixed assets yang ada dari total keseluruhan aset perusahaan dapat digunakan perusahaan sebagai jaminan atau kolateral hutang perusahaan. Sehingga, perusahaan yang memiliki aset tetap dalam jumlah yang banyak akan menggunakan hutang dalam jumlah besar, hal ini disebabkan karena dari skalanya perusahaan besar akan lebih mudah mendapatkan akses ke sumber dana dibandingkan perusahaan kecil. Hasil studi empiris telah menemukan bahwa, asset tangibility berpengaruh positif signifikan terhadap struktur modal (Jong et al., 2008; Akhtar dan Olliver, 2009; Aggarwal dan Kyaw, 2010; dan Ali, 2011). Asset tangibility menurut Delcoure (2006) dapat mempengaruhi struktur modal perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki fixed assets yang lebih besar dapat menggunakan hutang yang lebih besar. Sebab, fixed assets yang besar dapat dijadikan agunan perusahaan terhadap kreditor sehingga kreditor memiliki tingkat keamanan apabila perusahaan mengalami gagal bayar. 27 2.1.7 Business Risk Business risk merupakan ketidakpastian yang dihadapi perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya (Nuswandari, 2013). Risiko bisnis merupakan risiko yang mencakup intrinsic business risk, financial leverage risk, dan operating leverage risk. Risiko bisnis tergantung pada sejumlah faktor, yaitu variabilitas penjualan, variabilitas biaya operasi, dan operating leverage. Jika ketiga variabilitas tersebut meningkat, maka risiko bisnis juga meningkat. Apabila manajer perusahaan menginginkan mengurangi risiko bisnis tindakan yang dilakukan adalah menstabilkan penjualan, menstabilkan biaya operasi, dan menurunkan leverage operasi (Brigham dan Houston, 2011:157). Sartono (2010:343-345) mendefinisikan risiko bisnis sebagai risiko ketidakpastian tingkat EBIT yang akan diperoleh oleh perusahaann. Leverage operasi adalah seberapa besar biaya tetap digunakan dalam operasi suatu perusahaan, dengan menggunakan leverage operasi maka perusahaan mengharapkan bahwa perubahan penjualan akan mengakibatkan perubahan EBIT. Multiplier effect hasil penggunaan biaya operasi tetap terhadap laba sebelum bunga dan pajak yang disebut dengan Degree of Operating Leverage (DOL). Risiko bisnis dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan DOL yang menggambarkan risiko yang timbul akibat kegiatan operasi perusahaan. DOL yang tinggi menujukkan bahwa risiko bisnis terkait dengan kegiatan operasi perusahaan juga tinggi. Pengukuran DOL yaitu dengan membandingkan perubahan EBIT terhadap perubahan penjualan, merefleksikan kemampuan perusahaan dalam meminimalkan risiko bisnis yang dihadapi oleh perusahaan. 28 Hasil penelitian membuktikan bahwa perusahaan dengan risiko yang tinggi seharusnya menggunakan hutang yang lebih sedikit untuk menghindari kemungkinan kebangrutan. Risiko bisnis perusahaan yang semakin besar akan menjadikan rasio hutang perusahaan akan semakin rendah (Mulianti, 2010). Hal ini dikarenakan earning yang tidak menentu akan menyebabkan arus kas masuk yang tidak menentu pula. Apabila ternyata arus kas masuk tidak cukup untuk membayar bunga, maka perusahaan dapat mengalami kebangkrutan. Menurut trade-off theory, semakin tinggi kemungkinan financial distress akan semakin tinggi pula financial distress cost yang harus ditanggung perusahaan. Sehingga, perusahaan seharusnya menggunakan hutang dalam jumlah yang sedikit (Indrajaya, dkk., 2011). 2.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan pada teori dan penelitian terdahulu, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 2.2.1 Beda Stuktur Modal antara Manufacture MNc dan DMc Lumbantobing (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa DMc dalam mengoptimalkan struktur modalnya ditenggarai mengarah pada validitas teori trade-off. Hal ini berarti, DMc cenderung memprioritaskan pilihan pendanaannya dari sumber eksternal, sedangkan MNc lebih mengarah pada sumber pendanaan internal (pecking order theory) yaitu dengan mengandalkan daya profit untuk membiayai operasi perusahaan. 29 Husnan (2002) menemukan bahwa perusahaan multinasional akan lebih konservatif dalam penggunaan hutang dbandingkan dengan perusahaan domestik. Level rasio hutang yang lebih konservatif berarti bahwa biaya keagenan karena penggunaan hutang masih lebih kecil daripada manfaat penggunaan hutang tersebut. Hal ini berarti penggunaan hutang akan lebih rendah untuk perusahaan multinasional daripada perusahaan domestik. Penelitian yang dilakukan oleh Perwitasari (2011) menemukan bahwa terdapat perbedaan struktur modal MNc dan DMc. Hasil penelitian tersebut mendukung penelitian yang dilakukan oleh Vera, dkk. (2005) menemukan bahwa, terdapat perbedaan struktur modal perusahaan MNc dan perusahaan DMc. Semakin besar biaya kebangkrutan maka semakin lebar perbedaan tingkat leverage perusahaan MNc dan DMc, sedemikian juga semakin tinggi profitabilitas maka semakin lebar perbedaan tingkat leverage perusahaan MNc dan DMc. Hasil penelitian Lee dan Kwok (1988), Chen et al. (1997), Burgman (1996), Akhtar dan Oliver (2009), Aggarwal dan Kyaw (2011), Lin dan Hung (2012), menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara leverage perusahaan multinasional dengan perusahaan domestik. Hal ini juga ditandai dengan adanya rasio hutang yang lebih rendah antara MNc dibanding DMc. Dengan merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Kwok (1988), Chen et al. (1997), Burgman (1996), Akhtar dan Oliver (2009), Aggarwal dan Kyaw (2011), Lin dan Hung (2012), Perwitasari (2011), Lumbantobing (2008), dan Vera, dkk. (2005) dapat diajukan hipotesis alternatif dalam penelitian 30 ini sebagai berikut : H1: terdapat perbedaan signifikan antara struktur modal manufacture MNc dan DMc. 2.2.2 Pengaruh Profitability terhadap Struktur Modal Pecking order theory menyebukan bahwa perusahaan menyukai internal financing. Hasil penelitian yang konsisten dengan teori pecking order membuktikan bahwa profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal (Moh’d et al., 1998; Hall et al., 2004; Akhtar, 2005; Sayilgan et al., 2006; dan Thippayana, 2014). Penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa perusahaan dengan profitabilitas tinggi lebih dominan menggunakan sumber pendanaan internal yang lebih tinggi. Sementara itu, ketika profitabilitas rendah maka kapasitas menghasilkan laba untuk aktivitas investasi akan berkurang sehingga perusahaan lebih bergantung pada pendanaan eksternal. Validitas pecking order theory akan terkonfirmasi manakala perusahaan yang profitabel lebih memungkinkan menggunakan dana internal (Voulgaris et al., 2002). Baskin (1989) dalam Lumbantobing (2008) berpendapat bahwa semakin profitable suatu perusahaan diharapkan semakin memiliki pendanaan internal yang lebih tinggi. Oleh karena itu, profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal (Lin dan Hung, 2012). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ali (2011), Olayinka (2011), Sharif et al. (2012), dan Masnoon dan Saeed (2014) yang menemukan validitas teori pecking order, yaitu 31 terdapat hubungan negatif signifikan antara profitabilitas dengan struktur modal. Ketika profitabilitas meningkat, perusahaan pertama kali akan memenuhi pendanaannya melalui laba ditahan yang akan mengurangi tingkat hutang perusahaan, sehingga terjadi invers antara profitabilitas dan tingkat hutang. Hasil penelitian Perwitasari (2008) dan Akhtar (2005) menunjukkan bahwa profitbilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal MNc dan DMc. Hal ini sejalan dengan teori pecking order, yaitu MNc dan DMc akan memilih menggunakan pendanaan internal ketika memperoleh profit yang tinggi. Dengan demikian, ketika sumber pendanaan internal melalui laba ditahan semakin besar maka perusahaan akan menurunkan jumlah pendanaan eksternal. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengajukan hipotesis sebagai berikut : H2a: profitability berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal manufacture MNc. H2b: profitability berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal manufacture DMc. 2.2.3 Pengaruh Liquidity terhadap Struktur Modal Menurut pecking order theory, perusahaan yang mempunyai likuiditas yang tinggi akan cenderung tidak menggunakan pembiayaan dari hutang. Hal ini disebabkan perusahaan dengan likuiditas yang tinggi mempunyai dana internal yang besar, sehingga perusahaan tersebut akan lebih menggunakan dana internalnya terlebih dahulu untuk membiayai investasinya sebelum menggunakan 32 pembiayaan eksternal melalui hutang. Validitas pecking order theory dibuktikan dengan hasil penelitian dari Jong et al. (2008), Sari dan Haryanto (2013), dan Masnoon dan Saeed (2014) yaitu likuiditas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap struktur modal. Eiteman, Stonehill, dan Moffet (1995:282-286) dalam Yuliati dan Prasetyo (2002:243) menyatakan bahwa MNc memiliki keunggulan dari DMc dalam hal kemampuan likuiditas. Likuiditas yang tinggi merupakan suatu keunggulan bagi MNc sehingga mampu meminimumkan tingkat hutangnya dibandingkan dengan DMc. Menurut Lumbantobing (2008) dalam konteks struktur modal, konsep likuiditas mencerminkan kemampuan perusahaan untuk melunasi hutang-hutang jangka pendek yang jatuh tempo dengan kas yang tersedia. Studi Yuliati (2011), Hakim (2013) serta Dewi dan Badjra (2014) menunjukkan bukti empiris bahwa semakin besar likuditas perusahaan maka akan semakin kecil penggunaan hutang oleh perusahaan. Hal ini dikarenakan perusahaan memiliki sumber dana internal yang melimpah, sehingga perusahan lebih cenderung menggunakan dana internalnya terlebih dahulu untuk mebiayai investasinya sebelum menggunakan pembiayan eksternal melalui hutang. Berdasarkan argumentasi tersebut, maka penelitian ini mencoba mengajukan hipotesis alternatif tentang pengaruh liquidity terhadap struktur modal, yang dirumuskan sebagai berikut : H3a: liquidity berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal manufacture MNc. H3b: liquidity berpegaruh negatif signifikan terhadap struktur modal manufacture 33 DMc. 2.2.4 Pengaruh Asset Tangibility terhadap Struktur Modal Trade off theory menjelaskan bahwa perusahaan perlu menyeimbangkan antara manfaat dan biaya dari penggunaan hutang. Menurut Hossain dan Ali (2012) asset tangibility dapat dijadikan perusahaan sebagai jaminan atas kreditnya apabila perusahaan mengalami gagal bayar. Trade off theory memprediksi bahwa terdapat pengaruh yang positif antara asset tangibility terhadap struktur modal. Validitas trade off theory ditunjukkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elsas dan Florysiak (2008) dalam Indrajaya, dkk. (2011) dimana aktiva tetap dapat dijadikan jaminan/collateral dalam melakukan pinjaman hutang, dan karenanya dapat mereduksi biaya dari kesulitan keuangan (cost of financial distress) dan ini akan semakin meningkatkan kapastitas tingkat hutang yang dapat menguntungkan perusahaan. Indrajaya, dkk. (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa asset tangibility berpengaruh positif signifikan terhadap struktur modal. Apabila diasumsikan hal lain konstan, maka ketika aktiva tetap perusahaan meningkat, penggunaan hutang juga akan semakin meningkat. Tingginya jaminan yang diberikan perusahaan kepada kreditor dapat menjadikan semakin besar pula jumlah hutang yang dapat kepada perusahaan. Jaminan/collaterall yang memberikan kepastian perlindungan bagi kepentingan mereka, dan collateral yang dapat memberikan kepastian perlindungan bagi pihak kreditor adalah aktiva tetap yang dimiliki perusahaan. 34 Hasil serupa juga ditemukan oleh Margaretha dan Ramadhan (2010), dan Murhadi (2011), yaitu asset tangibility berpengaruh positif signifikan. Aset berwujud merupakan salah satu jaminan perusahaan untuk mendapatkan pinjaman dari kreditor, hal ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara tangibility of asset dengan keputusan struktur permodalan perusahaan. Lumbantobing (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa asset tangibility berpengaruh positif signifikan terhadap struktur modal DMc. Akhtar dan Oliver (2009) menunjukkan bahwa asset tangibility berpengaruh positif signifikan terhadap struktur modal baik pada MNc maupun DMc. Hal ini berarti perusahaan yang memiliki jaminan terhadap hutang, akan lebih mudah mendapatkan hutang daripada perusahaan yang tidak memiliki jaminan terhadap hutang. Berdasarkan argumentasi tersebut, maka penelitian ini mencoba mengajukan hipotesis alternatif tentang pengaruh asset tangibility terhadap struktur modal, yang dirumuskan sebagai berikut : H4a: asset tangibility berpengaruh positif signifikan terhadap struktur modal manufacture MNc. H4b: asset tangibility berpegaruh positif signifikan terhadap struktur modal manufacture DMc. 2.2.5 Pengaruh Business Risk terhadap Struktur Modal Perspektif teori pecking order menjelaskan bahwa perusahaan dengan risiko bisnis yang tinggi akan mengurangi hasrat berinvestasi pada aktiva fisik. 35 Laba ditahan yang tinggi diinvestasikan pada aktiva keuangan seperti membeli kembali saham-saham perusahaan yang bernilai rendah. Laba ditahan digunakan untuk melunasi hutang disamping melakukan capital gain, dan untuk mengurangi risiko bisnis yang tinggi. Dengan membeli kembali saham-saham, melakukan capital gain, dan menjaga tingkat leverage rendah akan berakibat pada risiko kebangkrutan dan total biaya modal perusahaan menjadi lebih rendah. (Lumbantobing, 2008). Seperti pecking order theory, perspektif trade-off theory juga menyebutkan bahwa risiko bisnis berkorelasi negatif dengan rasio hutang. Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari Jong et al. (2008), Sharif et al. (2012), Lim (2011), dan Pontoh dan Ilat (2013) yang menemukan bahwa, terdapat pengaruh yang negatif signifikan antara risiko bisnis dengan struktur modal. Hasil penelitian Akhtar dan Oliver (2009) menunjukkan bukti empiris bahwa risiko bisnis berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal DMc. Hasil serupa juga ditemukan oleh Lumbantobing (2008) bahwa risiko bisnis berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal DMc. Perusahaan akan menurunkan jumlah hutang apabila risiko bisnis semakin tinggi. Hal ini dikarenakan, penambahan hutang justru akan meningkatkan risiko bisnis perusahaan. Oleh karena itu, dapat diajukan hipotesis penelitian dalam studi ini sebagai berikut : H5a: business risk berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal manufacture MNc. 36 H5b: business risk berpengaruh negatif signifikan terhadap struktur modal manufacture DMc. 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan telaah pustaka dan hasil penelitian sebelumnya, maka kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.3 berikut : Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Sumber: Lumbantobing (2008), dan Vera, dkk. (2005) yang dikembangkan untuk penelitian 37